Grouu Kembali Terima Investasi dari Teja Ventures, Akan Perkuat Strategi Omnichannel

Startup pengembang produk makanan bayi dan anakGrouu kembali menerima pendanaan dari Teja Ventures. Tidak disebutkan nominal yang diraih kali ini. Sebelumnya Teja menyuntikkan dana untuk putaran baru yang diumumkan pada September 2022.

Pendanaan akan dimanfaatkan untuk mendiversifikasi produk, termasuk mengembangkan produk kemasan yang dirancang khusus untuk pemenuhan gizi anak. Selain itu sebagian dana juga akan dialokasikan untuk meningkatkan kinerja platform Grouu dan memperkuat strategi omnichannel di berbagai kanal e-commerce maupun jaringan ritel offline, seperti supermarket dan toko perlengkapan anak.

Founding Partner Teja Ventures Virginia Tan menjelaskan, pihaknya beralasan menyuntik kembali Grouu karena melihat potensi besar dalam kategori ibu dan bayi di Asia Tenggara, yakni nilai pasarnya mencapai $9,48 miliar pada tahun ini. Diproyeksikan akan tumbuh secara tahunan sebesar 5,38% hingga 2028 mendatang.

“Teja sangat memahami pentingnya nutrisi bagi keluarga, dan kami sepenuhnya mendukung visi Grouu untuk menjadi pemimpin pasar dalam kebutuhan nutrisi untuk ibu dan anak, serta upaya mereka dalam membangun platform eksklusif yang memenuhi kebutuhan,” terang dia dalam keterangan resmi, Selasa (5/9).

Co-founder & CEO Grouu Jessica Marthin menuturkan, startupnya berkomitmen untuk menyediakan produk terbaik bagi generasi muda. Setiap produk Grouu dikembangkan oleh tim mumpuni di bidangnya, seperti ahli gizi & pangan, koki, dan dokter spesialis anak. Mereka semua berkolaborasi untuk menciptakan berbagai produk pilihan dengan cita rasa dan kandungan nutrisi yang tinggi.

“Hubungan erat kami dengan para pelanggan sangat membantu Grouu untuk memahami kebutuhan dan harapan orang tua secara langsung. Untuk memastikan bahwa produk Grouu lebih mudah didapatkan, kami terus memperkuat distribusi melalui berbagai kanal, termasuk platform e-commerce dan jaringan ritel offline, seperti supermarket dan toko perlengkapan bayi,” jelas Jessica.

Grouu dirintis pada Agustus 2020 dengan visi memenuhi kebutuhan nutrisi dan perkembangan anak usia dini. Pada awal berdiri, perusahaan menjadi pelopor dalam menyediakan layanan katering siap santap dan produk konsumen, menawarkan pilihan praktis bagi orang tua untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak mulai dari usia enam bulan ke atas.

“Kami merayakan tiga tahun perjalanan kami pada bulan Agustus lalu. Kami akan terus berkomitmen untuk bekerja tanpa henti memenuhi kebutuhan pelanggan dan menciptakan dampak yang berkelanjutan. Kami selalu menyabut hangat ketertarikan investor strategis yang ingin menyumbangkan keahlian, sumber daya, dan visi mereka untuk mendukung pertumbuhan jangka panjang kami,” tutupnya.

Startup Katering Bayi “Grouu” Umumkan Putaran Baru Dipimpin Teja Ventures

Startup katering makanan bayi Grouu mengumumkan perolehan dana segar yang dipimpin oleh Teja Ventures dengan partisipasi dari Arkana Venture dan Javas Capital. Tidak disebutkan dana yang diraih dalam putaran ini.

Grouu akan memanfaatkan dana tersebut untuk perluas lini produk, saluran distribusi dengan membuka fasilitas produksi di Surabaya, dan mulai penetrasi ke jaringan ritel, baik online maupun offline.

Sebelumnya, pada akhir Januari ini, perusahaan mengantongi pendanaan tahap awal senilai $400 ribu dari Selera Kapital, lengan investasi dari Sour Sally Group. Diikuti sejumlah angel investor, seperti Wesley Harjono (Managing Director Plug and Play Indonesia) dan Rama Notowidigdo (Co-founder Sayurbox dan AwanTunai).

Masuknya Grouu ke dalam portofolio Teja Ventures mengukuhkan komitmen VC asal Singapura tersebut sebagai investasi lensa gender (gender lens investing). Teja Ventures melihat besarnya dampak yang diberikan Grouu pada konsumer yang mayoritas adalah perempuan, didukung pula oleh potensi pasar ibu dan anak di Indonesia.

Dalam keterangan resmi, Kepala Investasi untuk Teja Ventures di Indonesia David Soukhasing menyampaikan, pihaknya sudah menjalin hubungan baik dengan para founder Grouu sejak lama. Konsistensi mereka dalam menyajikan makanan berkualitas bagi anak Indonesia sangat selaras dengan misi Teja dalam mendukung perusahaan yang berdampak positif pada pemberdayaan perempuan.

“Serta, mengedepankan visi untuk menekan angka stunting atau gizi buruk di Indonesia. Sehingga, suatu kebanggaan untuk kami bisa mendukung Grouu dalam mengembangkan model bisnis yang juga masuk pada kategori The Future of Food yang kami junjung,” kata Soukhasing, Selasa (13/9).

Co-founder dan CEO Grouu Jessica Marthin mengatakan, perusahaan menerima animo positif sejak berdiri pada dua tahun lalu hingga kini. Pada bulan pertama beroperasi, permintaan setiap hari berada di kisaran belasan hingga puluhan porsi. Tapi di Agustus 2022 lalu, angkanya tembus mencapai ribuan porsi.

“Hal ini tentu menjadi motivasi kami untuk terus memberikan yang terbaik bagi para orang tuan yang mempercayakan pemenuhan gizi buah hati mereka kepada Grouu. Itu sebabnya kami juga melibatkan nutritionist, food scientist, chef, dan dokter spesialis anak dalam proses pengembangan produk dan menu Grouu,” ujarnya.

Potensi pasar Grouu

Jessica melanjutkan, pada tahun kedua ini, dia menyebutkan Grouu telah mencapai product-market-fit. Berkat itu, pihaknya akan merilis produk katering untuk anak usia satu tahun ke atas bernama Mini Meals yang dijual melalui situs e-commerce. Menu baru tersebut merupakan salah satu upaya perusahaan untuk memperpanjang nilai umur pelanggan (customer life time).

“Kami akan terus mengembangkan kinerja website sebagai salah satu platform yang mempermudah pelanggan untuk berlangganan, serta dapat diintegrasi dengan layanan lainnya di masa mendatang.”

Awalnya, Grouu menempatkan diri sebagai penyedia makanan pendamping asi (MPASI) untuk bayi usia enam bulan ke atas dengan pemilihan bahan baku berkualitas, memiliki cita rasa, dan kandungan gizi yang lengkap di tiap hidangannya. Di tengah aktivitas yang padat dalam mengurus anak usia dini, kehadiran menu makanan yang praktis, sehat dan bergizi menjadi salah satu hal yang sangat dibutuhkan oleh para orang tua masa kini.

Adapun, permasalahan gizi dan kesehatan anak masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah Indonesia. Data Kementerian Kesehatan Indonesia tahun 2020 menyebutkan bahwa prevalensi stunting (pendek) pada balita Indonesia tercatat sebesar 27,7%, atau 28 dari 100 balita mengalami stunting. Padahal, 1.000 hari pertama kehidupan bayi merupakan usia emas bagi tumbuh kembang anak. Sayangnya, anak-anak yang seharusnya menjadi harapan masa depan bangsa masih banyak yang mengalami masalah gizi di usia dini.

Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), angka kelahiran di Indonesia mencapai 4,8 juta pada 2021 dan diprediksi akan melampaui 5 juta pada 2022 ini. Pertumbuhan populasi ini menjadi salah satu faktor utama kepercayaan para investor akan potensi pasar kebutuhan ibu dan anak, serta visi Grouu dalam menghadirkan solusi terintegrasi untuk para orang tua milenial di Indonesia.

Startup Femtech “Wilov” Hadirkan Aplikasi Kesehatan Khusus Wanita

Terminologi femtech sudah mulai ramai dibicarakan sejak beberapa tahun terakhir. Kini telah berkembang mencakup berbagai produk dan solusi berbasis konsumen yang didukung teknologi.

Femtech sendiri bisa diartikan sebagai bisnis yang didirikan oleh perempuan dan kebanyakan menyasar kebutuhan khusus untuk kalangan perempuan. Di Indonesia sendiri, perlahan tapi pasti, sudah mulai banyak startup yang memposisikan diri sebagai femtech, salah satunya adalah Wilov.

Inisiatif ini mulai dikembangkan sejak akhir tahun 2020 oleh Ivana Wiyono. Ketika itu, ia melihat bahwa masih banyak perempuan yang belum begitu mengenal tubuhnya, ditambah lagi beberapa hal yang kerap dianggap tabu terkait pemeliharaan kesehatan perempuan yang kemudian menimbulkan limitasi. Banyak perempuan yang pada akhirnya enggan untuk melakukan konsultasi karena takut dihakimi. Padahal, hal ini bisa berdampak signifikan pada kesehatan tubuh perempuan.

Dengan latar belakang keluarga yang bergerak di bidang healthcare, Ivana mencoba menciptakan solusi yang berfokus pada isu-isu terkait kesehatan tubuh perempuan. Dalam mengembangkan platform ini, Ivana juga dibantu oleh Co-Founder dan COO Fillian Witarsa. Pada bulan Maret 2021, mereka berhasil terpilih untuk mengikuti Demo Day yang menjadi bagian dari rangkaian acara 1000 Startup Digital.

Wilov memiliki misi yang cukup sederhana, yaitu untuk menciptakan sebuah ekosistem layanan kesehatan yang informatif, inklusif, nyaman, dan mudah diakses untuk perempuan Indonesia. Selain itu, Wilov ingin membantu wanita untuk mendapatkan layanan kesehatan lengkap dengan data yang dipersonalisasi, lingkungan yang transparan & aman, dan perawatan terstandardisasi, dimulai dari menstrual tracker atau pemantau siklus menstruasi.

Ekspansi layanan dan potensi pasar

Setelah resmi meluncur di bulan Juni 2021, Wilov terus bertumbuh dengan layanan mereka. Perusahaan mendapat profit dari setiap transaksi yang dilakukan melalui platform, mulai dari telekonsultasi, resep dan produk on the counter (OTC), juga tes laboratorium di rumah.

Perusahaan mengembangkan layanannya ke arah personalisasi program kesehatan secara holistik untuk mengatasi diabetes, PCOS, haid yang tidak teratur, dan penurunan berat badan.

Disinggung mengenai potensi pasar, Ivana juga melihat perkembangan yang cukup signifikan pada perempuan yang semakin menyadari pentingnya memelihara kesehatan tubuh dan area kewanitaan mereka. Di samping itu, semakin banyak perempuan yang sudah cukup mandiri dan memiliki alokasi dana untuk hal ini.

Belum lama ini Wilov resmi memperkenalkan model berlangganan untuk layanannya, mulai dari Rp7.300-18.300 per hari atau bisa per bulan. Layanan yang ditawarkan meliputi konseling one-on-one dengan ahli gizi, cek kondisi gizi, personalisasi menu makanan, materi gaya hidup sehat hingga panduan aktivitas fisik.

Berbicara mengenai femtech, ada berbagai solusi yang bisa ditawarkan terkait pemeliharaan kesehatan bagi wanita di sejumlah kondisi khusus, termasuk kesehatan ibu, kesehatan menstruasi, kesehatan panggul dan seksual, kesuburan, menopause, dan kontrasepsi, serta sejumlah kondisi kesehatan umum yang mempengaruhi wanita secara tidak proporsional atau berbeda (seperti osteoporosis atau penyakit kardiovaskular).

Berdasarkan data dari McKinsey & Company, perkiraan ukuran pasar femtech saat ini berkisar dari $500 juta hingga $1 miliar. Proyeksi peluang untuk pertumbuhan pendapatan telah mencapai dua digit. Di bidang healthtech, perusahaan femtech telah menerima 3% dari total pendanaan di industri. Tim mereka juga menemukan fokus dukungan pada kesehatan ibu, produk menstruasi, perangkat ginekologi, dan solusi fertilitas.

Per awal tahun 2022, Wilov sudah mendapatkan pendanaan pre-seed dari East Ventures dan Teja Ventures. Ivona juga mengungkapkan bahwa pendanaan tersebut telah dialokasikan untuk pengembangan tahap pertama (menstrual tracker) serta akuisisi pengguna. Saat ini, perusahaan tengah mengembangkan layanan healthcare, bekerja sama dengan beberapa klinik terpercaya.

Di Indonesia sendiri, Wilov belum memiliki kompetitor langsung dengan model bisnis serupa. Aplikasi serupa yang telah meluncur adalah Newfemme dan Nona.

Di luar itu, layanan healthtech seperti Halodoc dan Alodokter juga sudah memiliki segmen khusus yang fokus terhadap isu-isu terkait kesehatan perempuan. Di ranah global, layanan Wilov memiliki model yang serupa dengan aplikasi Flo yang fokus pada period tracker.

Application Information Will Show Up Here

Startup Healthtech Lifepack Rampungkan Pendanaan Seri A yang Dipimpin Golden Gate Ventures

PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia (ITMI) melalui brand Lifepack, berhasil meraih pendanaan Seri A senilai $7 juta atau lebih dari 103 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin Golden Gate Ventures dan diikuti beberapa investor terdahulu, seperti Teja Ventures, Jungle Ventures, dan SkyStar Capital.

Natali Ardianto, Co-Founder dan CEO Lifepack, mengungkapkan bahwa dana segar ini akan digunakan untuk memperkuat kehadiran di luar Jakarta. Hingga saat ini apotek Lifepack sudah tersedia di Jakarta dan Surabaya. Perusahaan juga sudah mendapat lisensi untuk membuka cabang di Bandung.

“Targetnya, perusahaan akan menambah 7 apotek baru di masing-masing kota, seperti Bekasi, Tangerang, dan Bogor,” sambung Natali.

Justin Hall, partner di Golden Gate Ventures mengungkapkan, bahwa Lifepack memiliki formula terbaik dengan kombinasi dari para pendiri hebat dengan visi yang kuat dan ide bisnis yang relevan dengan pasar. “Kami siap untuk mendukung pertumbuhan bisnis Lifepack melalui jaringan kami yang luas dan wawasan mendalam kami untuk berbagai kesempatan kolaborasi di wilayah segitiga emas start-up di Indonesia, Vietnam, dan Singapura,” ujarnya.

Sejak awal perusahaan ini berdiri, Golden Gate Ventures telah memberikan dukungan besar pada Lifepack sebagai salah satu start-up yang mengusahakan digitalisasi industri tradisional di Indonesia. Golden Gate Ventures merupakan salah satu pelopor ekosistem start-up di Asia Tenggara yang sudah lama berfokus di industri teknologi kesehatan, yang juga sudah turut mendukung pemain kuat di sektor yang sama seperti Medigo, Alodokter, dan Hanna Life Technologies.

Lifepack mulai beroperasi di masa awal pandemi. Ketika itu, PPKM masih ketat dan rumah sakit masih dipenuhi pasien Covid-19. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi penderita penyakit kronis seperti diabetes, jantung, stroke dan lainnya dalam mendapatkan obat. Hal ini yang kemudian menjadi fokus perusahaan dalam menyediakan layanan terpadu dan cepat.

Dari sisi bisnis, Natali mengaku bahwa hadirnya Covid-19 sempat memberi keuntungan bagi perusahaan. Namun, dampak signifikan dari pandemi ini adalah pembelajaran mengenai kesehatan. Covid-19 menjadi gerbang awal dari literasi kesehatan dan katalisator bagi para konsumen dalam hal kesadaran kesehatan.

Sebagai digital pharmacy, Natali mengungkapkan, perusahaan saat ini memiliki dua model bisnis. Pertama, model B2B2C yang melayani peresepan digital atau e-prescription oleh dokter. Lalu, layanan B2C produk OTC (over the counter). Apotek Lifepack memberikan pelayanan kefarmasian dengan menjamin kualitas obat, memberikan harga yang terjangkau, terlengkap, serta lebih hemat dengan program gratis ongkos kirim (ongkir) ke seluruh Indonesia.

Potensi pasar apotek di Indonesia sendiri terbilang masih sangat besar.Di tahun 2025, industri farmasi di Indonesia diprediksi akan tumbuh dua kali lipat dengan estimasi nilai pasar mendekati US$ 20 milyar. Farmasi online sendiri baru mencakup 3.5% dari total pangsa pasar farmasi yang besar ini. Populasi masyarakat Indonesia yang mencapai lebih dari 245 juta jiwa dan tersebar di 34 provinsi menjadikan Indonesia sebagai pasar yang potensial untuk pasar apotek.

Selain Lifepack, pemain lain yang juga memiliki model bisnis serupa adalah perusahaan farmasi asal Singapura SwipeRx, yang sebelumnya bernama mClinica Pharmacy Solutions. Perusahaan belum lama ini berhasil mengumpulkan pendanaan seri B dan siap mengakselerasi bisnis di Indonesia.

Pertumbuhan bisnis dan target ke depan

Lifepack bukanlah satu-satunya produk di bawah bendera ITMI yang bergerak dalam industri kesehatan. Sebelumnya ada Jovee, sebuah layanan yang fokus menyediakan kebutuhan suplemen bagi masyarakat. Perusahaan ini mengandalkan “data science” dalam memberikan rekomendasi suplemen sesuai kebutuhan.

Natali mengakui, ketika didirikan pada tahun 2019, perusahaan masih dalam tahap discovery. Lifepack menemukan model bisnisnya di tahun 2021. Setelah dirasa scalable, maka timnya mulai menggalang dana dan akhirnya memasuki growth stage di tahun 2022 ini.

Hingga saat ini, apotek Lifepack menyediakan lebih dari 5.000 produk dari mulai obat-obatan, vitamin, hingga alat kesehatan yang dapat dipastikan orisinal. Lifepack juga menawarkan pengiriman secara instan dengan durasi maksimal 2 jam, sedangkan untuk seluruh pulau Jawa, pengiriman dalam waktu 24 jam. Melalui aplikasi ini, pihaknya mengaku ingin mengimplementasi Good Pharmacy Practice dalam memberikan pelayanan kefarmasian.

Natali juga memaparkan dari sisi pertumbuhan bisnis MoM perusahaan yang mencapai 30%, dengan total 60 ribu pengguna per bulannya. Selain itu, jumlah dokter yang mendaftar di ekosistem Lifepack sudah menginjak lebih dari 1000. Ini membuktikan bahwa Lifepack sudah berada di jalur yang berkelanjutan.

Dalam diskusi bersama DailySocial, Natali turut mengangkat salah satu inisiatif pemerintah untuk Uji Coba Platform Indonesia Health Service yang akan mengintegrasikan data kesehatan dari berbagai pelaku di industri ini. Menurutnya, hal ini penting, mengingat industri kesehatan yang sangat terfragmentasi, padahal layanan kesehatannya sudah sangat baik.

Dari sisi kolaborasi, perusahaan mengaku selalu menjalin hubungan yang baik dengan pihak-pihak yang terlibat di industri. Menurutnya, regulasi pemerintah untuk industri ini juga sudah terbilang baik.

“Kita sangat terbuka untuk kolaborasi. Kita sendiri sudah melakukan kolaborasi dengan banyak pihak terkait seperti asosiasi di bidang farmasi dan kedokteran. Karena kita hadir untuk membangun industri farmasi yang lebih baik.”

Menurut Natali, permasalahan fundamental dari farmasi di Indonesia adalah apoteker yang seringkali dinilai sebatas tukang obat. Padahal, apoteker mempelajari farmakologi (interaksi obat) jauh lebih lama daripada dokter. Tidak banyak orang-orang yang menganggap serius hal ini. Call center Lifepack dilayani langsung oleh apoteker handal dan terbuka untuk konsultasi.

“Saat ini Indonesia sudah berada di awal revolusi layanan kesehatan berbasis teknologi. Kurang dari dua tahun, masyarakat sudah merubah kebiasaannya hingga 180 derajat, di mana semua hal terkait kesehatan dapat diakses melalui ponsel. Lifepack akan memimpin revolusi apotek tersebut dan menciptakan layanan omnichannel – sebagai satu destinasi kesehatan untuk pasien dan tenaga medis profesional agar mendapatkan layanan kesehatan yang prima,” ungkap Natali.

Application Information Will Show Up Here

Shox Is Reportedly Secures 79 Billion Rupiah Funding, Introducing Social Commerce Platform for Household

The Shox platform developer is reported to have received $5.5 million funding or equivalent to 79 billion Rupiah in the series A round. Also participated in this round Ephesus United, AC Ventures, Teja Ventures, SGInnovate, Partech, and a number of investors.

The data has been submitted to the regulator. DailySocial.id has tried to confirm the news regarding this investment from related parties, however,  there had been no response until this article was published.

This startup was founded by Sonat Yalcinkaya (Kaya) and Vyani. Kaya himsel previously had experience in handling e-commerce businesses for big brands such as Philips and Midea. Meanwhile, Vyani is known as the co-founder of the logistics startup Pakde, which acquired by Shipper in 2020.

In fact, Shox has been operating since 2019 and currently has tens of thousands of application users. Shox’s service focuses on users in rural areas, targeting the unbanked population.

Shox Rumahan is currently being transformed as an application to fulfill household demands– from kitchen utensils, electronic equipment, and so on. With a social commerce concept, this platform allows its users to earn additional income by entrepreneurship through the partnership/community program with the social gathering feature in the application.

Evolution from Soyaka AI

Previously, Kaya was also known as the founder of Soyaka AI – a developer of artificial intelligence-based social commerce platforms. The Soyaka site and team are currently rerouted to fully work on Shox Rumahan. Even though in terms of backend, Shox also utilizes the engine from the Soyaka platform.

Saoyaka’s AI capabilities allow Shox to offer excellent features, such as using scanned photos or images to find products; then come up with product ideas and inspiration according to existing trends.

Shox Rumahan is growing quite rapidly, to the day this article was published, they already have around 150 employees stated on LinkedIn. Some of the team is headquartered in Yogyakarta.

From an article published by Kaya in 2021, Shox is said to have gathered users in more than 5000 villages in various regions. By analyzing existing purchasing trends, their team has helped build a credit scoring system, which will then be used as capital to create a comprehensive digital banking and payments ecosystem.

It is also said with the current business model, the cost for customer acquisition is much cheaper than the general e-commerce concept. “Our CAC (customer acquisition cost) in this rural community is 10 times cheaper than existing players. And these customers stay because they see true value,” he wrote.

In terms of logistics efficiency, Shox is more focused on serving bulk purchases (usually on a per RT scale). Ordering in large quantities makes it easier for them to reduce logistics costs, around 5-10x cheaper. Although it must be taken to a location far enough from the city center. “Our current average order value (AOV) exceeds $200, which is 5 to 10 times that of other social commerce players,” Kaya said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Shox Dikabarkan Terima Pendanaan 79 Miliar Rupiah, Hadirkan Platform Social Commerce Kebutuhan Rumahan

Pengembang platform Shox dikabarkan telah mendapatkan pendanaan senilai $5,5 juta atau setara 79 miliar Rupiah di putaran seri A. Ephesus United, AC Ventures, Teja Ventures, SGInnovate, Partech, dan sejumlah investor berpartisipasi dalam investasi ini.

Data pendanaan telah diinputkan ke regulator. DailySocial.id juga telah mencoba meminta keterangan seputar kabar investasi tersebut ke pihak terkait, namun sampai artikel ini terbit belum mendapatkan respons.

Startup ini didirikan oleh Sonat Yalcinkaya (Kaya) dan Vyani. Kaya sendiri sebelumnya berpengalaman memegang bisnis e-commerce untuk brand besar seperti Philips dan Midea. Sementara Vyani dikenal sebagai co-founder dari startup logistik Pakde yang telah diakuisisi Shipper tahun 2020 lalu.

Sejatinya Shox sudah beroperasi sejak tahun 2019  dan saat ini sudah memiliki puluhan ribu pengguna aplikasi. Fokus layanan Shox adalah pengguna di area rural, menargetkan populasi unbankable.

Shox Rumahan saat ini menjelma sebagai aplikasi untuk pemenuhan kebutuhan rumah — mulai dari perlengkapan dapur, alat elektronik, dan sebagainya. Berkonsep social commerce, platform ini juga memungkinkan penggunanya untuk mendapatkan pundi-pundi penghasilan dengan berwirausaha melalui program kemitraan/komunitas yang ada di dalamnya dengan fitur arisan yang ada di aplikasi.

Evolusi dari Soyaka AI

Sebelumnya Kaya juga diketahui sebagai founder dari startup Soyaka AI — pengembang platform social commerce berbasis kecerdasan buatan. Situs dan tim Soyaka saat ini dialihkan untuk sepenuhnya menggarap Shox Rumahan. Kendati secara backend, Shox juga memanfaatkan engine dari platform Soyaka.

Kapabilitas AI yang dimiliki Sayoka memungkinkan Shox untuk memiliki beberapa fitur unggulan, misalnya menggunakan pindaian foto atau gambar untuk menemukan produk; kemudian memunculkan ide dan inspirasi produk sesuai tren yang ada.

Shox Rumahan berkembang cukup pesat, hingga tulisan ini diterbitkan di LinkedIn mereka telah memiliki sekitar 150 pegawai. Sebagian dari tim berkantor pusat di Yogyakarta.

Dari tulisan yang diterbitkan Kaya tahun 2021 lalu, Shox dikatakan telah merangkul pengguna di lebih dari 5000 desa di berbagai daerah. Dengan menganalisis tren pembelian yang ada, tim mereka juga turut membangun sebuah sistem skoring kredit, untuk selanjutnya digunakan sebagai modal untuk menciptakan ekosistem perbankan dan pembayaran  digital yang komprehensif.

Turut dikatakan dengan model bisnis yang ada saat ini, biaya untuk akuisisi pelanggan jauh lebih murah dibandingkan dengan konsep e-commerce pada umumnya. “CAC (customer acquisition cost) kami di komunitas pedesaan ini 10 kali lebih murah daripada pemain yang ada. Dan pelanggan ini bertahan karena mereka melihat nilai yang sebenarnya,” tulisnya.

Untuk efisiensi logistik, Shox juga lebih fokus untuk melayani pembelian borongan (biasanya dengan skala per RT). Pemesanan dalam jumlah banyak ini memudahkan mereka dalam menurunkan biaya logistik 5-10x lebih murah. Kendati harus dibawa ke lokasi yang cukup jauh dari pusat kota. “Nilai pesanan rata-rata (AOV) kami saat ini melebihi $200, yaitu 5 hingga 10 kali lipat dari pemain social commerce lainnya,” ungkap Kaya.

Application Information Will Show Up Here

Green Rebel Dapat Pendanaan 100 Miliar Rupiah, Gencarkan Ekspansi Asia Tenggara

Salah satu startup pertama di segmen protein alternatif Indonesia, Green Rebel, berhasil meraih pendanaan pra-seri A senilai $7 juta atau setara 100 miliar Rupiah. Putaran pendanaan ini diikuti oleh beberapa investor termasuk Unovis, Betterbite Ventures, AgFunder, Teja Ventures, Grup CJ, dan pengusaha kelahiran Singapura Kane Lim.

Pendanaan kali ini disebut akan digunakan untuk mendorong ekspansi regional dan pengembangan produk baru, menjelang pendanaan seri A. Singapura adalah negara pertama di luar Indonesia yang jadi tujuan Green Rebel, diikuti Malaysia, Filipina, Korea Selatan, dan Australia yang dijadwalkan pada akhir tahun 2022.

“Pendanaan putaran baru ini akan membantu kami memperluas tim R&D kami lebih jauh dan meningkatkan produksi, untuk memungkinkan kami meluncurkan ke pasar baru dalam beberapa tahun ke depan,” ujar Helga, salah satu Founder Green Rebel.

Diluncurkan di Indonesia pada September 2020, Green Rebel menawarkan alternatif daging nabati utuh untuk konsumen Asia Tenggara yang mencari pola makan fleksibel yang lebih sehat. Green Rebel tersedia di lebih dari 800 perusahaan F&B di Indonesia termasuk Starbucks, Ikea dan Domino, dan lebih dari 100 pengecer nasional.

Rintisan karya anak bangsa ini didirikan oleh pasangan Indonesia Helga Angelina Tjahjadi dan Max Mandias — keduanya vegan lama — yang berkomitmen untuk mendemokratisasi makanan nabati dengan membuatnya terjangkau dan mudah diakses.

“Tujuan kami dengan Green Rebel adalah membuat lebih banyak orang terbuka untuk makan nabati lebih sering — memungkinkan konsumen Asia untuk menganut pola makan fleksibel yang berpusat pada tumbuhan,” kata Helga.

Green Rebel telah menggabungkan keahlian kuliner, pengetahuan nutrisi, dan teknologi pangan untuk menciptakan bahan dasar alternatif daging nabati yang benar-benar lezat. Semua produk Green Rebel dikuratori dan dibuat dari bahan nabati alami, dan tanpa tambahan MSG, pengawet, dan gula rafinasi. Hasilnya adalah rangkaian cita rasa khas Indonesia dan Asia yang menarik dan menggugah selera di belahan dunia ini.

Semua produk Green Rebel dirancang dengan cermat untuk dimasak dengan metode berbeda yang populer di wilayah ini, mulai dari hotpot dan tumis hingga memanggang, mengukus, dan banyak lagi. Perusahaan telah memiliki sejumlah kemitraan makanan dan minuman yang signifikan di seluruh Indonesia, bekerja dengan Domino’s Pizza, Starbucks dan IKEA, serta jaringan lokal ABUBA Steak dan Pepperlunch. Green Rebel juga menawarkan produknya di rantai pabrik Burgreens, yang juga dimiliki Angelina dan Andias.

Rencana ke depan

Belum lama ini, Green Rebel telah diluncurkan di Singapura. Pengunjung dapat merasakan cita rasa yang unik di kawasan ini, mulai dari masakan klasik Tiongkok nabati seperti daging sapi lada hitam dan babi asam manis, masakan favorit Asia Tenggara tanpa daging seperti rendang dan sate, dan bahkan makanan pokok Barat yang sangat disukai seperti steak dan pasta yang lezat

Dinamai berdasarkan salah satu pendiri dan kepala inovasi Max Mandias, ini adalah serangkaian proses unik yang berhasil meniru pengalaman makan daging asli. Di antaranya adalah formulasi eksklusif dari minyak kelapa, air dan bumbu vegan alami. Dibuat melalui teknologi emulsi, ia bertindak sebagai pengganti lemak hewani untuk mencapai rasa, aroma, dan kesegaran khas yang diasosiasikan dengan protein hewani.

“Kami ingin membuktikan bahwa alternatif daging nabati bisa lezat dan sehat,” kata Max, yang memanfaatkan pengalaman kulinernya di Amsterdam untuk menghadirkan cita rasa khas Green Rebel. “Buktinya ada di makan.”

Untuk peluncurannya di Singapura, Green Rebel telah bermitra dengan restoran-restoran populer untuk menawarkan kepada para pengunjung di sini sajian hidangan populer yang lezat, menggunakan produk-produknya seperti Rendang Tanpa Daging yang laris dan Steak Tanpa Daging yang inovatif, serta Potongan Tanpa Daging Sapi, Fillet Chick’n dan Chick’n Karaage. Selain itu, perusahaan katering Invictus Asia juga akan memperkenalkan produk Green Rebel ke dalam pilihan hidangan mereka.

Salah satu pionir di segmen protein alternatif di Indonesia adalah Green Rebel. Rintisan karya anak bangsa ini didirikan oleh Max Mandias dan Helga Angelina – pasangan aktivis praktisi pola makan sehat dan ramah lingkungan untuk di Indonesia. Mereka menjadi startup teknologi pangan pertama di Indonesia yang memproduksi daging dan keju nabati “Michal dan Simon percaya pada kami dan potensi kami sejak awal, melalui semua pasang surut” ungkap Helga Angelina, salah satu pendiri Green Rebel.

“Satu hal yang paling penting yang kami lihat pada Green Rebel adalah konsep lokal yang ditawarkan. Di antara sekian banyak restoran yang menawarkan konsep protein alternatif dengan gaya “western food”, Green Rebel hadir dengan pendekatan yang lebih lokal, menggunakan menu-menu tradisional,” ungkap Michal.

Dalam beberapa bulan mendatang, daging Green Rebel akan ditampilkan di restoran lain termasuk restoran speakeasy Dragon Chamber, roastery kopi Indonesia dan kafe Tanamera Coffee, dan kafe kasual Grain Traders. Green Rebel juga akan bermitra dengan pusat gaya hidup F&B multi-label, The Refectory untuk menu khusus untuk bazaar artisanal dua bulanan yang terakhir pada akhir April. Green Rebel akan didistribusikan secara eksklusif oleh penyedia solusi makanan terkemuka, Indoguna Singapura di seluruh dunia F&B kota, dan dalam beberapa bulan ke depan, paket ritel yang ditujukan untuk masakan rumahan akan diluncurkan untuk konsumen

Mental Health Startup Riliv to Secure Seed Funding Led by East Ventures

The mental health startup, Riliv, has secured seed round funding led by East Ventures. The total amount is still undisclosed, participated in this round several investors, including Benson Capital, Sankalpa Ventures, Teja Ventures, Telkom Indonesia through the Indigo acceleration program, and angel investor Shweta Shrivastava.

The fresh money will be used to expand Riliv’s mental health services to wider sectors, including the general publicin need of integrated health services, as well as specific industries providing access to mental health workers for employees.

“Riliv users experience a significant increase by nearly 400% during the pandemic, both from workers and common users, including students and housewives. Most of them have problems with feelings of anxiety and insecurity regarding the current condition,” Riliv’s Co-Founder & CEO, Audrey Maximillian Herli.

He also said, “The presence of Riliv’s online counseling and integrated mindfulness content can introduce mental health as a common need for Gen Y, Z, and Alpha in Indonesia’s current demographic bonus. We open the door for all levels to work together to tackle mental health.”

Along with its development, Riliv continues to grow to provide online psychologist counseling services through an application. Users can take advantage of self-help such as meditation, journalling, and also sleepcasts to help them rest. In addition, Riliv also offers Employee Assistance Program services, Riliv for Company, for company’s counseling services and wellness programs for employees.

“COVID-19 is increasing public awareness of the importance of mental health. Riliv’s services are becoming increasingly relevant to today’s market and we believe Riliv can help Indonesians to gain easy access to mental health services. We are pleased to be able to support Maxi and Audy to advance the mental health industry in Indonesia,” East Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Willson Cuaca.

Mental health-related services are rising

Recently, mental health issues have become a popular topic. The 2018 Basic Health Research conducted by the Ministry of Health shows that more than 21 million Indonesians experience emotional psychological problems and depression. Research in 2020 also showed that mental disorders almost doubled during the Covid-19 pandemic.

Regarding this opportunity, several startups have come up with various forms of mental health services. Some players are offering similar services, including Kalbu, Kalm, Talk.id, to Halodoc, who have also rolled out mental health service packages in their telemedicine ecosystem.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Startup Kesehatan Mental Riliv Bukukan Pendanaan Awal Dipimpin East Ventures

Startup penyedia layanan kesehatan mental (mental health) Riliv mengumumkan telah meraih pendanaan tahap awal (seed round) yang dipimpin oleh East Ventures. Tidak disebutkan nominal investasi yang diberikan, sejumlah investor turut andil di putaran ini termasuk Benson Capital, Sankalpa Ventures, Teja Ventures, Telkom Indonesia melalui program akselerasi Indigo, dan angel investor Shweta Shrivastava.

Dana segar akan dimanfaatkan untuk memperluas layanan kesehatan mental Riliv ke sektor yang lebih luas, seperti masyarakat umum yang membutuhkan layanan kesehatan terintegrasi, serta industri yang spesifik memberikan akses tenaga kesehatan mental bagi karyawan.

“Terdapat peningkatan pengguna Riliv hingga hampir 400% selama pandemi baik dari pekerja maupun pengguna umum seperti pelajar dan ibu rumah tangga. Kebanyakan dari mereka memiliki masalah yang dengan perasaan cemas dan tidak aman terkait kondisi mereka saat ini,” ujar Co-Founder & CEO Riliv Audrey Maximillian Herli.

Lebih lanjut Audrey mengatakan, “Kehadiran konseling daring dan konten-konten mindfulness yang terpadu dari Riliv dapat memperkenalkan kesehatan mental sebagai kebutuhan yang wajar bagi Gen Y, Z, dan Alpha dalam bonus demografi Indonesia saat ini. Kami membuka pintu bagi semua pihak untuk bekerja sama menanggulangi kesehatan mental bersama.”

Seiring perkembangannya, Riliv terus bertumbuh hingga menyediakan layanan konseling psikolog daring lewat sebuah aplikasi. Pengguna bisa memanfaatkan self-help seperti meditasi, journalling, dan juga sleepcast untuk membantu istirahat. Selain itu, Riliv juga menawarkan layanan Employee Assistance Program yaitu Riliv for Company yang menjangkau perusahaan untuk mendapatkan layanan konseling dan program wellness bagi karyawan.

“COVID-19 semakin meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan mental. Layanan Riliv menjadi semakin relevan dengan kebutuhan pasar saat ini dan kami yakin Riliv dapat membantu masyarakat Indonesia untuk mendapatkan akses layanan kesehatan mental dengan mudah. Kami senang bisa mendukung Maxi dan Audy untuk memajukan industri mental health di Indonesia,” sambut Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Layanan terkait mental health bermunculan

Isu kesehatan mental memang tengah menjadi topik populer akhir-akhir ini. Riset Kesehatan Dasar 2018 yang diselenggarakan oleh Kemenkes menunjukkan bahwa lebih dari 21 juta jiwa masyarakat Indonesia mengalami masalah psikologis emosional dan depresi. Riset pada tahun 2020 juga menunjukkan bahwa gangguan mental meningkat hampir 2 kali lipat saat pandemi Covid-19.

Melihat peluang tersebut, sejumlah startup hadir dengan berbagai bentuk layanan kesehatan mental. Beberapa pemain yang mirip dengan Riliv adalah Kalbu, Kalm, Bicarakan.id, hingga Halodoc yang turut gulirkan paket layanan kesehatan mental di ekosistem telemedisnya.

Application Information Will Show Up Here

Teja Ventures Closes Its First Managed Fund of 143,6 Billion Rupiah

As a venture capital with a gender lens focus, Teja Ventures announced the closing of its first funding. The managed funds total value is at $10 million or around 143.6 billion Rupiah. The money obtained by a number of family offices in Asia.

Teja Ventures’ Partner, David Soukhasing revealed to DailySocial, using this fresh fund, his team has plans to support the 18 portfolios that they currently have.

“Especially because some of them are currently experiencing business growth and in the process of finalizing a fundraising, where Teja Ventures is leading the act,” David said.

Several platforms, including Siklus, Binar, Riliv, Burgreens, Lifepack, Green Rebel, Klikdaily are startups that have been funded by Teja Ventures. Currently they are in the stage of finalizing the second funding and claim to have received investors’ support.

Teja Ventures claims to be the first venture capital to commit to investing with a gender lens in all of Asia. Countries such as China to Southeast Asia are their target markets. Meanwhile, the targeted startup categories are financial inclusion/fintech, consumption, edutech, and the new economy.

Supporting business for women

Also known as ANGIN’s Managing Director, David and his partner Virginia Tan, who is also a client of ANGIN, founded Teja Ventures. Teja Ventures targets companies with positive impact on the female demographic as consumers as part of the supply chain and as a whole as an economic driver in their business model.

Even though it claims to be a gender lens investor, this concept does not apply only to support female startup founders. It is possible for male startup founders to attract Teja Ventures’ interest, what needs to be considered is that they must understand and effectively capture female users.

“We are pleased to see that some investors are now incorporating this mindset into their investment theses and we see it will lead to more opportunities for scale, capital flows and gender impact in Indonesia,” David said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian