Unit Bisnis E-commerce Enabler Milik Shipper “Aloshop” Resmi Masuk ke Pasar Thailand

Aloshop, salah satu unit bisnis milik Shipper, mengumumkan ekspansi strategisnya ke pasar Thailand. Setelah sukses dengan uji coba layanan di sana dan bermitra dengan TikTok, Aloshop siap membawa keahliannya dalam pemberdayaan e-commerce dan social commerce ke negara tersebut.

Sejak awal 2024, Aloshop telah melakukan uji coba layanannya di Thailand dengan menggandeng klien seperti McJeans, Super Sport, dan Warrix. Fase uji coba ini telah menunjukkan hasil yang signifikan, membuktikan potensi pertumbuhan di lanskap e-commerce Thailand yang dinamis.

Layanan komprehensif Aloshop, termasuk pemasaran media sosial, pemasaran KOL, pemasaran kinerja, pemasaran afiliasi, dan live shopping, telah memberikan dampak besar.

Pada bulan April 2024, Aloshop didapuk TikTok sebagai salah satu dari tiga TikTok Seller Partners terbaik dalam menghasilkan Gross Merchandise Value (GMV) yang tinggi. Penghargaan ini menegaskan strategi efektif dan pendekatan inovatif Aloshop dalam sektor e-commerce.

Super Sport, salah satu klien Aloshop juga menerima penghargaan sebagai merek top yang menghasilkan GMV tinggi, menyoroti kolaborasi sukses dan nilai yang diberikan Aloshop kepada kliennya. Tidak berhenti sampai di situ, pada Mei 2024, Aloshop meraih penghargaan puncak sebagai TikTok Shop partner dengan pertumbuhan GMV tertinggi.

Keputusan Aloshop untuk berekspansi ke Thailand didorong oleh pasar e-commerce negara tersebut yang tumbuh pesat. Lanskap e-commerce Thailand mengalami pertumbuhan eksponensial yang didorong oleh penetrasi internet yang meningkat, adopsi smartphone yang luas, dan infrastruktur logistik yang semakin baik. Pemain besar seperti Lazada, Shopee, dan Central memimpin pasar, dengan lebih dari setengah populasi aktif berbelanja online.

Penelitian menunjukkan bahwa 69,5% populasi Thailand menggunakan internet, dan 52,3% terlibat dalam e-commerce, menjadikannya pasar yang berkembang baik untuk ritel online. Dengan hampir 99% pengguna internet mengakses web melalui perangkat mobile, adopsi smartphone yang luas memfasilitasi belanja online yang nyaman dan mendukung pertumbuhan mobile commerce, pendorong utama di sektor e-commerce yang dipimpin oleh live shopping.

CIO Shipper & Aloshop Jessica Hendrawidjaja menyatakan, “Kami sangat senang mengumumkan ekspansi strategis kami ke Thailand. Langkah ini adalah bukti komitmen kami untuk membawa solusi inovatif ke pasar baru dan mendukung bisnis lokal dalam perjalanan pertumbuhan mereka.”

Country Head Aloshop Thailand Fern Niti menambahkan, “Proyek percontohan kami telah menunjukkan potensi yang luar biasa, dan kami yakin solusi ecommerce dan social commerce inovatif kami akan membawa nilai signifikan bagi bisnis di Thailand. Pengakuan dari TikTok dan kesuksesan klien kami seperti Super Sport memvalidasi pendekatan kami dan memotivasi kami untuk mencapai tonggak yang lebih besar di Thailand.”

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Perluas Pasar di Asia Tenggara, Xendit Resmi Masuk Thailand

Xendit kembali menambah cakupan bisnisnya di Asia Tenggara dengan masuk ke Thailand. Menyusul ekspansi tersebut, Tessa Wijaya, Co-Founder dan COO Xendit Indonesia, didapuk menjadi CEO Xendit di Thailand.

Kemudian, Xendit juga menunjuk Visit Yindisiriwong sebagai COO dan Korn Chatikavanij sebagai Chairman di Thailand. Dengan demikian, startup fintech ini sekarang resmi beroperasi di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand.

Xendit menyebut akan menawarkan solusi pembayaran digital dan embedded finance yang menyasar segmen UMKM, pelaku startup, hingga korporasi besar di Thailand.

“Kami akan membawa lebih banyak metode pembayaran lokal dan integrasi langsung ke perbankan di Thailand yang dapat membantu mempercepat progres ekonomi dan membawa dampak positif bagi masyarakat Thailand,” tutur Tessa sebagaimana dilansir dari TechinAsia.

Berdasarkan informasi di situs resminya, Xendit telah melayani lebih dari 4000 bisnis, serta memproses $21 miliar transaksi, dan 250 juta volume transaksi setiap tahunnya.

Dalam pemberitaan sebelumnya, Xendit sempat menyatakan akan melakukan diversifikasi bisnis untuk mendongkrak pendapatan dan bisnisnya secara berkelanjutan.

Pada 2022, Xendit berinvestasi di Bank Sahabat Sampoerna dan merilis aplikasi bank digital Nex. Pihaknya memperluas segmen pasar pembayaran digital, tak hanya di B2C tetapi juga B2B.

Layanan  embedded finance salah satu keuangan digital yang tengah berkembang di Indonesia. Solusi ini memungkinkan perusahaan atau pelaku usaha untuk memiliki layanan keuangan digital tanpa perlu membangun infrastruktur atau membuat lisensi baru.

Beberapa solusi embedded finance yang banyak digunakan adalah pembayaran digital, investasi, asuransi, hingga remitansi. Beberapa pengembang embedded finance di Indonesia antara lain DigiAsia, Nikel, Finfra, dan DOKU.

Menurut proyeksi ResearchandMarkets, nilai pasar embedded finance di Indonesia diestimasi tumbuh sebesar 34,2% CAGR dalam periode 2023-2029 dengan perkiraan pendapatan naik dari $2 miliar di 2023 menjadi $8.2 miliar di 2029.

Xendit juga dilaporkan baru saja melakukan PHK gelombang kedua pada Januari 2024. Gelombang pertama terjadi pada 2022, di mana sebanyak 5% karyawan di Indonesia dan Filipina terdampak.

Insurtech Asal Thailand “Sunday” Akuisisi Penuh KSK Insurance Indonesia

Perusahaan insurtech asal Thailand Sunday Ins Holding mengumumkan telah merampungkan akuisisi atas PT KSK Insurance Indonesia pada Januari 2024 usai mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan. Sunday mengakuisisi 99% kepemilikan saham PT KSK Insurance Indonesia dengan nilai yang tidak disebutkan.

Dalam keterangan resminya, akuisisi ini disebutkan telah mempercepat pertumbuhan lini bisnis yang berfokus pada inovasi produk dan saluran distribusi alternatif dalam skala nasional. Lewat kolaborasinya dengan Sunday, KSK Insurance tercatat menghasilkan premi senilai $10 juta pada 2023 untuk asuransi kesehatan dan kendaraan bermotor.

Selain itu, akuisisi ini disebut berpotensi menjadikan Sunday sebagai salah satu grup insurtech terbesar yang memegang lisensi di dua negara, yakni Thailand dan Indonesia sebagai pasar asuransi umum terbesar di Asia Tenggara dengan pendapatan melampaui $100 juta.

Sekadar informasi, PT KSK Insurance Indonesia adalah perusahaan asuransi umum dengan perolehan premi bruto tertanggung mencapai $40 juta pada 2023, mencakup asuransi kendaraan bermotor, asuransi properti, dan asuransi kargo.

“Kemitraan ini menandakan komitmen kami yang mendalam di Indonesia dan misi kami untuk menjadi grup insurtech terdepan di wilayah ini. Fokus utama kami adalah memperluas solusi produk kepada klien korporat, mitra, agen, dan broker dalam ekosistem kami untuk melayani masyarakat kelas menengah yang jumlahnya terus tumbuh dengan layanan klaim, gaya hidup, dan pencegahan risiko yang lebih baik,” ucap Co-Founder & CEO Sunday Cindy Kua.

Sunday memiliki misi menjadi pemimpin grup asuransi digital pertama yang menerapkan kecerdasan buatan (AI) atau machine learning serta arsitektur layanan mikro di seluruh segmen asuransi, mulai dari asuransi kesehatan, asuransi kendaraan bermotor, produk komersial, serta produk retail lainnya di wilayah ini.

Klaimnya, Sunday telah tumbuh organik dua kali lipat secara regional mencapai lebih dari $70 juta premi di 2023. Adapun di Indonesia, Sunday pertama kali beroperasi sebagai insurtech terdaftar dan broker berlisensi pada 2022.

Digitalisasi produk asuransi diproyeksi masih akan terus berkembang di Indonesia. Menurut Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Budi Herawan, pasar insurtech diperkirakan tumbuh empat kali lipat selama 2021-2026 dengan ukuran premi bruto mencapai miliaran dolar AS. Per Oktober 2023, penetrasi asuransi di Indonesia baru menyentuh angka 2,75%.

Terlepas potensinya, industri insurtech masih berupaya untuk mendorong penetrasi layanannya di Indonesia. Menurut Startup Report 2023, beberapa pemain telah pivot dan menutup bisnisnya karena terhambat tantangan sulitnya berinovasi dan menjadi bisnis yang berkelanjutan. Futuready telah menghentikan operasionalnya tahun lalu, sedangkan Aigis beralih menjadi platform finansial dan manajemen proyek dengan brand baru Finnix.

Application Information Will Show Up Here

Mengenal Sejarah Mata Uang Thailand, Mulai dari Manik-Manik, Koin hingga Pecahan Baht Saat ini!

Thailand adalah negara yang dikenal dengan julukan gajah putih, negara ini berada di wilayah asia tenggara seperti Indonesia. Mungkin kalian sudah familiar dengan negara satu ini, dimana thailand dikenal juga dengan kulinernya yang cukup ekstrim seperti, kalajengking bakar, jangkrik goreng dan lain sebagainya.

Tapi pernah tidak kalian mendengar mengenai sejarah mata uang di negara thailand? Bagaimana nenek moyang zaman dulu melakukan pertukaran barang dan berkembang dengan menggunakan mata uang baht. Simak penjelasan selengkapnya di bawah sini!

Sejarah Mata Uang Thailand

Pada mulanya pertukaran barang atau kegiatan pertukaran barang dilakukan dengan menggunakan kerang, manik-manik kuno sampai Pot Duang (koin peluru). Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Thailand menganut sistem pemerintahan monarki konstitusional dan dipimpin oleh seorang Raja. 

Pada masa pemerintahan Raja Mongkut, Thailand menyebar luas pengaruhnya dengan menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara barat, sehingga menyebabkan kondisi perdagangan semakin meningkat.

Hal ini menyebabkan kebutuhan pertukaran uang semakin meningkat, dimana pada saat itu benda yang digunakan dalam transaksi adalah Pot Duang (koin peluru). Kebutuhan yang meningkat menyebabkan Raja Mongkut harus mencari alternatif lain dengan memesan uang kertas pertama yang disebut Mai pada tahun 1853, meskipun pada saat diimplementasikan banyak masyarakat yang lebih suka pembayaran dilakukan dengan Pot Duang.

Seiring berkembangnya waktu pada tahun 1873 yang dipimpin oleh Raja Chulalongkorn, pembayaran dengan koin tembaga mengalami kelangkaan karena naiknya nilai timah dan tembaga di pasar dunia. Hal ini menyebabkan rakyat saat ini menggunakan uang di kasino sebagai alat transaksi, untuk mengatasi masalah tersebut Raja Chulalongkorn menggunakan uang kertas dengan nilai terendah yaitu Att Kradat.

Koin pada Kerajaan Awal Thailand

Pada abad ke-1 sampai ke-7 Thailand memiliki beragam bentuk dan ukuran uang, hal ini ditandai juga oleh pengaruh munculnya kerajaan Indochina di Thailand. Penggunaan koin di Thailand digunakan dalam kurun waktu yang cukup lama. 

Beberapa mata uang koin yang digunakan dalam proses transaksi seperti, koin Dok Jan yang berasal dari kerajaan Sriwijaya. koin tanah liat, koin kerajaan Lenna hingga koin Pot Duang. Mata uang koin yang cukup lama beredar di masyarakat adalah koin Pot Duang.

Koin Pot Duang (koin peluru) saat ini menjadi alat transaksi yang paling lama digunakan, koin ini muncul sekitar abad ke-13 sampai ke-14 selama periode kerajaan Sukhothai. Koin peluru ini dibuat dengan tangan, dimana logam dibentuk dengan cara dibengkokkan dan dilita menjadi sebuah bola menyerupai peluru. 

Koin Pot Duang (koin peluru) beredar hingga masa pemerintahan Rattanakosin dan mengalami penarikan saat tahun 1904 di masa pemerintahan Raja Rama V. Sehingga peredaran mata uang Pot Duang ini berlangsung selama 600 tahun di Thailand.

Munculnya Uang Kertas

Melalui berbagai penolakan dan kurangnya kesuksesan atas penggunaan mata uang kertas, maka pada tahun 1890 pemerintah Thailand berencana mengeluarkan uang kertas yang disebut Ngoen Kradat Luang atau Treasury Notes. Tindakan ini didukung oleh kondisi pemerintah Thailand yang tidak bisa memberikan koin sebagai tanggapan saat perluasan ekonomi dan perdagangan terjadi.

Pada akhirnya treasury notes tidak berhasil diedarkan karena dianggap tidak cukup efisien dalam pengelolaan uang kertas. Sampai pada tahun 1902 dibentuk Kementerian Keuangan yang secara resmi ada di Thailand. Melalui kementerian inilah terjadi penerbitan dan pertukaran transaksi dengan uang kertas yang diedarkan pada 23 September 1902, disinilah awal mula munculnya peresmian uang kertas modern milik Thailand. 

Uang Kertas Baht di Thailand

Ketika Thailand berada pada masa pemerintahan Raja Rama dan Raja Chulalongkorn mata uang kertas kembali disederhanakan menjadi dua bentuk pecahan, yaitu satang dan baht. Saat ini kita mengenalnya dengan mata uang baht yang lebih modern.

Mata uang kertas baht yang diterbitkan oleh pemerintah pada awalnya memiliki klasifikasi nilai nominal dari, 1,5,10,40 sampai 800 baht. Tetapi, saat ini nilai mata uang Thailand kembali disederhanakan dengan angka 25.  Sebagai contoh seperti 25 dan 50 koin satang, serta 1,2,5,10, hingga 1.000 baht

Itu dia sejarah perkembangan mata uang di Thailand yang sampai saat ini masih digunakan dengan uang kertas Baht. Alat tukar digunakan untuk menghitung nilai suatu barang yang dapat kita berikan dan miliki. Semoga informasi tersebut dapat menambah wawasanmu ya!

Perusahaan JV Traveloka dan SCB di Thailand “Trex Ventures” Ditutup

Trex Ventures, perusahaan patungan antara Siam Commercial Bank Group melalui SCB 10X dan Traveloka, dikabarkan tutup operasional dan sedang dalam proses likuidasi. Mengutip dari Kaohoon, pengumuman yang disampaikan pada 20 Desember 2021 ini telah menyelesaikan pendaftaran pembubarannya di departemen pengembangan bisnis Kementerian Perdagangan setempat sesuai dengan keputusan RUPSLB.

Di Trex Ventures, SCB menguasai 51% saham, sementara Traveloka melalui Godwit Rock memegang 49% dari modal disetor perusahaan. Perusahaan patungan pertama dari Traveloka ini masih seumur jagung sejak pertama kali diumumkan operasionalnya pada Maret 2021. SCB merupakan salah satu jajaran investor di Traveloka.

Pernyataan resmi terkait kabar ini turut juga dikonfirmasi langsung oleh Traveloka melalui Head of Communications Traveloka Reza Juniarshah. Mengutip dari DealStreetAsia, dia bilang bahwa Traveloka dan SCB baru-baru ini memutuskan bahwa kemitraan langsung adalah struktur yang optimal untuk hubungan ke depan. Sayangnya ia tidak merinci maksud dari “kemitraan langsung” tersebut.

Reza melanjutkan, Thailand adalah salah satu negara penting bagi Traveloka. Oleh karenanya, perusahaan akan terus memperkuat basis penggunanya dan berkolaborasi dengan lebih banyak mitra lokal di negara tersebut. “

“Kami berharap dapat terus bekerja sama dengan mitra kami untuk memperluas portofolio layanan kami untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup konsumen baik di Thailand maupun di seluruh wilayah.”

Saat peluncurannya, ambisi yang ingin ditawarkan adalah Trex Ventures dapat memanfaatkan platform perbankan terkemuka di pasar SCB dan kemampuan digital Traveloka untuk menawarkan produk keuangan yang inovatif kepada masing-masing penggunanya di Thailand.

“Menyadari potensi industri pariwisata dan perhotelan sebagai kunci untuk membantu menggerakkan perekonomian bangsa baik sebelum dan sesudah pandemi, SCB 10X menyambut baik kesempatan untuk bermitra dengan Traveloka, unicorn kelas dunia dan platform perjalanan dan gaya hidup terkemuka dengan sekitar 40 juta pengguna di seluruh wilayah,” ucap Kepala Pengembangan Bisnis dan Keuangan SCB 10X Pitiporn Phanaphat.

President of Traveloka Group Caesar Indra turut menyampaikan, “Kami percaya pasar konsumen Thailand menawarkan banyak peluang bagi Traveloka. Dengan hanya 30% pelanggan Thailand yang memiliki kartu kredit, kami melihat kebutuhan serupa dengan apa yang kami lihat di Indonesia. Memanfaatkan rekam jejak kami yang kuat di Indonesia, kami berharap dapat menghadirkan solusi keuangan yang disesuaikan dan dapat diakses yang memberdayakan masyarakat Thailand untuk menikmati pengalaman baru dan menjelajahi dunia di sekitar mereka.”

Potensi BNPL di Thailand

DailySocial.id sebelumnya pernah menuliskan potensi bila Traveloka mampu membawa solusi BNPL di Thailand akan sangat membantu perekonomian di negara tersebut. Pasalnya, di Thailand dan Vietnam masih minim pemain BNPL, dibandingkan di Indonesia, Malaysia, dan Filipina.

Di satu sisi, tantangan para pemain startup fintech di sana adalah mencari cara untuk memanfaatkan database lembaga keuangan mapan untuk skoring kredit. Otoritas Thailand secara hukum melarang startup menggunakan fasilitas berbagi data kredit.

Hal ini menghambat para pekerja lepas, wiraswasta, karyawan, yang belum pernah mendapat akses keuangan dari perbankan karena pendapatannya yang tidak konsisten. Karena alasan inilah sebagian besar perbankan memilih untuk menawarkan pinjaman kepada peminjam yang memiliki riwayat kredit yang baik atau klien baru yang berpenghasilan tetap dengan laporan bank yang diverifikasi.

Penghuni pasar ini dikuasai bank komersial karena punya basis data pelanggan yang besar. Persetujuan pinjaman pada dasarnya masih berdasarkan data konvensional. Dengan kata lain data pendapatan atau laporan bank yang mencerminkan kemampuan membayar utang pelanggan.

Karena wewenang ini, perbankan bermitra dengan sekutu bisnis dan penyedia layanan lainnya pada platform online terkemuka, seperti marketplace dan platform pengiriman makanan online besar dengan jaringan toko dan restoran yang luas.

Lancarkan Ekspansi ke Thailand, Qoala Akuisisi Startup Setempat “Fairdee”

Startup insurtech Qoala mengumumkan ekspansi bisnisnya ke Thailand sekaligus melancarkan akuisisi strategis pada startup setempat Fairdee. Kolaborasi ini bertujuan untuk mempercepat skalabilitas dan inovasi teknologi di semua bisnis Qoala. Pembelajaran dari Indonesia dan Thailand akan memperkuat kompetensi dan penawaran digital perusahaan.

Fairdee sendiri telah membantu mendigitalkan broker independen melalui platformnya di Thailand sejak 2019. Dengan akuisisi FairDee, Qoala kini memasuki Thailand, pasar asuransi konsumen terbesar di Asia Tenggara.

Dalam 18 bulan terakhir, FairDee mengklaim telah meningkatkan Premi Bruto tahunannya sebanyak 7x lipat di tengah pandemi dengan komando para pendirinya Yujun Chean, Prateek Jogani, dan Thanasak Hoontrakul. Seluruh tim FairDee akan bergabung dengan Qoala untuk melanjutkan langkahnya di pasar Thailand.

Dengan memanfaatkan teknologi, visi Qoala menyediakan produk asuransi yang terjangkau dan relevan untuk kebutuhan dinamis konsumen di Asia Tenggara. Sejalan dengan Qoala, Fairdee juga disebut memiliki visi yang sama tentang bagaimana asuransi dapat ditata ulang lewat digitalisasi.

“Dengan akuisisi ini, kami mengambil lompatan besar dalam ambisi regional untuk menjadi insurtech nomor satu di Asia Tenggara. Mengingat visi dan keahlian bersama yang dapat dikembangkan oleh tim FairDee sejak awal, kami yakin untuk terus melayani jutaan orang yang kurang diasuransikan di wilayah ini,” ujar Founder & CEO Qoala Harshet Lunani.

Didirikan sejak tahun 2018, Qoala telah bermitra dengan perusahaan asuransi seperti Allianz, Zurich, Chubb, Great Eastern, Tokio Marine. Selain itu juga telah menjadi kerja sama strategis dengan perusahaan digital seperti seperti OYO, Grab, Traveloka, OVO, Dana, Momo menciptakan produk dan pengalaman layanan terbaik selama kurang lebih 3 tahun.

Berbekal pendanaan dari Sequoia Capital, Centauri Fund, Flourish Ventures, Mirae Asset Management, Central Capital Ventura, MassMutual Ventures, dan SeedPlus; Qoala berambisi menjadi perusahaan rintisan insurtech skala regional terbesar di Asia Tenggara pada 2021.

Sebelumnya, Qoala telah lebih dulu memperluas jejak regionalnya ke Malaysia dan Vietnam pada tahun lalu. Sepanjang tahun 2020, Qoala mengklaim telah berkembang 6x lipat di Indonesia, Malaysia, dan Vietnam. Harshet menegaskan, akses asuransi sangat penting, terutama saat terjadi pandemi, untuk melindungi masyarakat yang terkena pandemi Covid-19.

Meski menjadi satu dari kawasan dengan pertumbuhan tercepat secara global selama dekade terakhir, penetrasi asuransi di Asia Tenggara hanya 3,77%, yang hanya separuh dari tingkat penetrasi asuransi global.

Menurut laporan Ernst and Young, tren pasar InsurTech di Asia Tenggara akan terus berubah dengan cepat selama tiga hingga lima tahun ke depan terkait dengan adopsi perubahan teknologi oleh bisnis. Peran dan model bisnis konvensional seperti pencatatan dan verifikasi manual diharapkan segera luntur. Dengan lebih dari 40% penduduk kelas menengah yang belum melek asuransi di Asia Tenggara. Peluang penetrasi bisnis asuransi melalui media teknologi menjadi sangat besar

Selain Qoala, startup sejenis PasarPolis saat ini juga telah beroperasi di Vietnam dan Thailand. Dengan kondisi pasar yang kurang lebih sama di Indonesia, PasarPolis menarik strategi penetrasi pasar dengan menggandeng platform digital utama di sana dan menawarkan produk asuransi yang terjangkau.

Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

Potensi Traveloka PayLater Bersaing di Pasar Vietnam dan Thailand

Kemunculan paylater atau buy now pay later (BNPL), atau yang di Indonesia dikenal sebagai paylater, yang hadir di dalam platform digital berupaya mendefinisikan ulang persepsi “utang”.

Dalam suatu wawancara, Executive VP Products and Innovation Asia Pacific Mastercard Sandeep Malhotra menerangkan, Covid-19 mampu mengakselerasi transformasi digital di berbagai sektor, termasuk layanan e-commerce tanpa terkecuali.

Transaksi digital beralih secara cepat dan mulus, membuka peluang besar bagi merchant dan issuer yang menawarkan fleksibillitas kepada konsumen untuk membayar nanti saat melakukan pembayaran di toko dan platform online.

“Menggunakan cicilan untuk melakukan pembelian saat ini menjadi lebih populer bagi orang-orang di seluruh dunia yang menginginkan pilihan pembayaran yang lebih luas, kemampuan untuk mengelola arus kas dengan lebih baik, dan kenyamanan menggunakan uang mereka sendiri untuk mengatur pembayaran, sekaligus untuk peralatan rumah tangga, perangkat TV, dan berbagai item lain yang lebih besar,” terangnya Malhotra.

Di negara maju, popularitas BNPL menjamur di banyak negara. Di Amerika Serikat, misalnya, disebutkan BNPL telah menyumbang $24 miliar pada tahun lalu dari total transaksi e-commerce. Angka ini tumbuh drastis daripada volume kartu kredit tradisional. Diproyeksikan transaksi BNPL di seluruh dunia tembus $350 miliar hingga 2025.

Inisiasi BNPL dipionirkan startup yang berada di negara Barat, seperti Klarna (Swedia), Affirm (Amerika Serikat), dan Afterpay (Australia). Di negara-negara Asia Tenggara sendiri, dengan tingkat penetrasi akses produk keuangan yang masih rendah, pemain BNPL kian memberikan warna.

Dalam perjalanannya Asia Tenggara, memiliki sejumlah champion di segmen BNPL dan hadir di lebih dari satu negara. Beberapa nama adalah Akulaku, Kredivo, Atome, Home Credit, Hoolah, OctiFi, Oriente, Pace, dan Pine Labs.

Indonesia, Malaysia, dan Filipina menjadi negara sasaran para pemain di atas.  Thailand dan Vietnam menjadi negara tersisa dengan populasi pemain BNPL yang minim. Singapura tidak masuk dalam radar mengingat posisinya yang dominan di semua aspek ekonomi dibanding negara tetangganya.

Saat ini, Thailand baru dihuni oleh Pace dan Pine Labs, sementara Vietnam dihuni oleh Akulaku, Atome, dan Home Credit. Pemain lain, seperti Hoolah, Oriente, dan Pine Labs, sedang mempersiapkan kehadirannya.

Traveloka, yang memiliki produk BNPL di Indonesia, berencana memboyong layanannya ini ke Thailand dan Vietnam dalam waktu dekat. Mengutip dari Reuters, kehadiran BNPL diharapkan dapat mendongkrak transaksi perjalanan domestik di kedua negara tersebut, mengingat keduanya telah berhasil melalui melampaui level pra-Covid-19.

Kondisi ekonomi di sana merefleksikan kinerja Traveloka yang membaik, terutama di bisnis perjalanan yang diklaim sudah mencetak untung pada akhir tahun lalu. “Rencananya adalah berinvestasi di fintech secara besar-besaran untuk memungkinkan lebih banyak konsumen melakukan perjalanan di kawasan ini,” kata Presiden Traveloka Caesar Indra.

Untuk mewujudkan wacana tersebut, perusahaan sedang berdiskusi dengan calon mitra institusi lokal di kedua negara tersebut.

Traveloka PayLater, yang merupakan produk Caturnusa Finance Sejahtera Finance, juga bermitra dengan Danamas, anak usaha Grup Sinarmas. Indra mengklaim, sejak dirilis dua tahun lalu, layanannya telah memfasilitasi lebih dari enam juta pinjaman.

DailySocial pernah membuat ulasan bagaimana memandang Traveloka (baca: Caturnusa) sebagai perusahaan fintech. Dengan besarnya ticket size belanja produk akomodasi, hal ini menjadi sumber bisnis yang bagus buat perusahaan.

Kondisi di Vietnam dan Thailand

Dalam suatu laporan disebutkan, Singapura, Indonesia, Vietnam, dan Thailand adalah empat negara yang paling menjanjikan buat industri p2p lending. Singapura bisa dibilang pusat regional terkuat di kawasan ini.

Vietnam kaya akan inovasi dan jumlah perusahaan rintisan dari negara tersebut telah meningkat secara eksponensial selama beberapa tahun terakhir. Salah satu pasar yang harus diperhatikan. Sementara Indonesia adalah rumah bagi banyak unicorn dan startup yang menjanjikan dan Thailand adalah penghasil bakat dan inovasi teknologi yang kuat.

Faktor pendorong lainnya, dibalik menariknya Thailand dan Vietnam, selain karena pemain yang masih sedikit, juga potensi adopsi digital yang terus tumbuh. Laporan e-Conomy 2020 menyebutkan, Thailand memiliki pertumbuhan 30% konsumen baru yang berkontribusi terhadap layanan ekonomi digital. Diprediksi GMV dari negara tersebut tumbuh 25% menjadi $53 miliar pada 2025 mendatang dari posisi $18 miliar di 2020.

Sementara Vietnam mencatatkan pertumbuhan 41% konsumen baru yang menggunakan layanan digital sepanjang pandemi. GMV diestimasi tumbuh 19% menjadi $52 miliar pada 2025 dari posisi tahun lalu sebesar $14 miliar.

BNPL sebenarnya bukan konsep baru. Secara konvensional, pengalaman bayar cicilan fleksibel adalah paket yang sudah umum hadir di kartu kredit yang diterbitkan bank. Namun pengalaman tersebut mengharuskan konsumen memiliki rekening bank dan lolos skoring kredit sebelum memiliki kartu kredit.

Metode tersebut membuat besarnya kesenjangan antara unbanked dan underbanked di kawasan ini. Menurut laporan Bain & Company di 2019, lebih dari 70% orang dewasa (sekitar 450 juta orang) masuk ke dalam dua kategori tersebut.

BNPL mengambil metode skoring yang berbeda untuk menyasar pengguna tanpa harus memiliki riwayat kartu kredit. Alhasil dua kategori yang tadinya tidak masuk radar perbankan kini jadi incaran para pemain BNPL, salah satunya Traveloka.

Menurut laporan National Financial Supervision Commission, pinjaman konsumtif di Vietnam berkembang pesat sejak 2015 dengan tingkat pertumbuhan 65% pada tahun 2017 dibandingkan dengan 50,2% pada tahun sebelumnya, persentase pinjaman konsumen dalam total kredit naik menjadi 18% pada tahun 2017 dari 12,3% pada tahun 2016.

Di balik itu, meski sebagian besar masyarakat Vietnam paham teknologi (84% dari populasi adalah pengguna smartphone pada akhir 2017), namun proses mendapatkan pinjaman sebagian besar dilakukan secara manual dan akibatnya, memakan waktu setidaknya 4-5 hari.

Menurut McKinsey, hingga akhir 2019, mayoritas pemain BNPL di Vietnam – delapan dari 16 perusahaan – dimiliki oleh atau bermitra dengan bank dengan pangsa pasar 60%, dipimpin oleh FE Credit, yang memegang hampir 50 persen. Sisanya, diisi pemain non bank yang mulai ramai dengan persentase 25%.

“Bisnis kredit konsumer juga semakin menjadi penyedia utama keuangan tanpa jaminan untuk segmen pelanggan yang secara tradisional tidak akan dilayani oleh bank dan yang harus menggunakan pemberi pinjaman uang,” kata Partner McKinsey & Co. Sumit Popli.

McKinsey juga menemukan bahwa Vietnam memiliki laba atas ekuitas (ROE) yang jauh lebih tinggi untuk kredit konsumen, sebesar 38% dengan margin yang meningkat pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata ASEAN, pada 15%-25%. Selain itu, pangsa pinjaman konsumer dalam total pinjaman Vietnam hanya sekitar 12%, dibandingkan dengan 34% di ASEAN dan 40%-50% di negara-negara maju.

Negara ini sedang bergerak dari fase jaminan tanah ke pinjaman konsumen yang lebih profesional, dengan pemain membangun tim manajemen profesional dan kapabilitas kelembagaan dan mengadopsi infrastruktur digital dan teknologi mutakhir.

Cara yang paling populer untuk perusahaan asing yang ingin masuk ke pasar keuangan Vietnam adalah dengan mengakuisisi saham di bank lokal atau membeli perusahaan keuangan alih-alih mendirikan perusahaan sendiri. Pasalnya, pembiayaan konsumen mengharuskan pemain memiliki pemahaman yang mendalam tentang pasar lokal dan kapabilitas operasional, yang hanya dapat dibawa oleh mitra lokal.

Masataka Yoshida, Senior Managing Director, Head of the Cross-Border Division, and CEO Vietnam Recof Corporation mengatakan, “Mendirikan perusahaan keuangan yang benar-benar baru di Vietnam akan menimbulkan banyak kesulitan hukum dan prosedural, sementara bekerja sama dengan mitra domestik memungkinkan investor asing masuk ke Vietnam dengan lebih cepat dan mudah.”

Kondisi tak jauh berbeda ditunjukkan Thailand. Pinjaman konsumtif baru menyumbang 0,2% dari total pinjaman ritel di industri perbankan Thailand, meskipun ada potensi untuk pertumbuhan lebih lanjut.

Di satu sisi, tantangan para pemain startup fintech di sini adalah mencari cara untuk memanfaatkan database lembaga keuangan mapan untuk skoring kredit. Otoritas Thailand secara hukum melarang startup menggunakan fasilitas berbagi data kredit.

Hal ini menghambat para pekerja lepas, wiraswasta, karyawan, yang belum pernah mendapat akses keuangan dari perbankan karena pendapatannya yang tidak konsisten. Karena alasan inilah sebagian besar perbankan memilih untuk menawarkan pinjaman kepada peminjam yang memiliki riwayat kredit yang baik atau klien baru yang berpenghasilan tetap dengan laporan bank yang diverifikasi.

Penghuni pasar ini dikuasai bank komersial karena punya basis data pelanggan yang besar. Persetujuan pinjaman pada dasarnya masih berdasarkan data konvensional. Dengan kata lain data pendapatan atau laporan bank yang mencerminkan kemampuan membayar utang pelanggan.

Karena kewewenangan ini, perbankan bermitra dengan sekutu bisnis dan penyedia layanan lainnya pada platform online terkemuka, seperti marketplace dan platform pengiriman makanan online besar dengan jaringan toko dan restoran yang luas.

Bank akhirnya mendapatkan akses ke data alternatif dari kelompok sasaran baru calon pelanggan untuk analisis pendapatan yang lebih efisien, misalnya omset penjualan, pesanan pembelian, dan pengembalian dana produk, bersama dengan ulasan produk dan layanan.


*Foto header: depositphotos.com 

Investree Thailand Obtains License, Optimizing SME’s Market Growth in Southeast Asia

The p2p lending startup Investree announced its expansion to Thailand after successfully obtaining a license from the Securities and Exchange Commission of Thailand (SEC) as of February 23, 2021. Investree Thailand will focus on providing more SMEs (underserved) with institutional financing access by connecting them with investors through the marketplace platform.

Investree Thailand’s Co-Founder Worakorn Sirijinda said, “We are very grateful for the approval and support from the SEC. This is the first step for Investree to provide innovative financing and service solutions for Thai SMEs that we hope will be able to contribute to the country’s economic recovery in a challenging situation like today.”

In Thailand and the Philippines, regulation is a bigger challenge due to distance constraints and limited knowledge and relations with the current regulators. In addition to the presence of a pandemic that has slowed down movement around the world, the crowdfunding permit process has been delayed for a while.

In addition, different situations and cultures in each country are quite a challenge in introducing new ideas of crowdfunding to the public. Therefore, to accelerate knowledge about the market and ecosystem, Investree focuses on collaborating with local partners.

Several well-known companies have collaborated, including Pantavanij, Thailand’s leading e-procurement platform, and B2B marketplace, 2C2P payment gateway provider, and FlowAccount, a provider of online billing and accounting solution software for small businesses, entrepreneurs, and freelancers.

Through this collaboration, Investree Thailand created several innovations. Together with Pantavanij, Investree provides supply chain financing to sellers and suppliers registered in the e-procurement system. Together with 2C2P, Investree utilizes technology and data to provide working capital financing facilities for 2C2P merchants. Still in line, Investree is also collaborating with FlowAccount to provide financing solutions for MSMEs on its platform.

Investree Thailand presents 2 (two) products, Bullet Payment Security and Installment Payment Security which have similarities with Invoice Financing and Working Capital Term Loan (WCTL) offered in Indonesia and the Philippines. For these two financing products, Investree offers various benefits for SMEs: interest rates based on a modern credit scoring model, fast funding, and transparent terms and fees.

“In our opinion, this partnership really helps Investree in channeling loans that focus more with measurable risks, therefore, they can maintain the stability of the Investree lending and borrowing business while exploring more collaboration opportunities with actors in other ecosystems,” Adrian said.

SME Market in Southeast Asia

Based on a study by the Asian Development Bank entitled “Asia Small and Medium-Sized Enterprise Monitor 2020”, MSMEs account for an average of 97% of all types/scales of enterprises, 69% of the total workforce, and 41% of the country’s gross domestic product (GDP) during 2010-2019. The Covid-19 pandemic in 2020 exacerbates the increasing global trade tension and economic uncertainty in the region. In many ways, MSMEs are the key to economic recovery in developing Asian countries.

Indonesia is a country in Southeast Asia with the largest number of MSMEs in the region with 64 million, followed by Thailand with 3.5 million and the Philippines with 1.2 million MSME units.

MSMEs are a major and important force to drive the Southeast Asian economy. This is 97 percent of the business world and absorbs 97 percent of the national workforce in the 2010 to 2019 period. MSMEs also contributed an average of 41 percent of the GDP of each country in the same period.

However, there are many business players still having difficulty with financial access. Many of them are deemed ineligible to borrow from a bank and do not have a credit history.

Fintech can make it easier for MSMEs to optimize the effectiveness and efficiency of business operations, also for MSMEs without sufficient requirements to access bank financing for working capital financing. Some of the players that offer similar solutions include KoinWorks, Modalku, and Amartha.

Previously, in 2019, Investree is available in Vietnam under the name eLoan, after which it continued to expand to the Philippines by partnering with the conglomerate company Filinvest Development Corporation (FDC) earlier this year. To date, Investree has successfully obtained a license to operate in 4 countries including Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Investree Thailand Peroleh Izin Regulator, Maksimalkan Momentum Pertumbuhan UMKM di Asia Tenggara

Startup p2p lending Investree mengumumkan peresmian ekspansi ke Thailand setelah berhasil mengantongi lisensi dari Komisi Sekuritas dan Bursa Thailand (SEC) per tanggal 23 Februari 2021. Investree Thailand akan fokus melayani lebih banyak UKM yang tidak terjangkau akses pembiayaan lembaga konvensional (underserved) dengan menghubungkan mereka dengan para investor melalui platform marketplace.

Co-Founder Investree Thailand Worakorn Sirijinda mengungkapkan, “Kami sangat bersyukur atas persetujuan dan dukungan dari SEC. Ini adalah langkah pertama bagi Investree untuk menyediakan solusi pembiayaan dan layanan yang inovatif bagi UKM Thailand yang kami harapkan mampu berkontribusi dalam pemulihan ekonomi Negara di situasi penuh tantangan seperti sekarang ini.”

Di Thailand dan Filipina, regulasi menjadi tantangan yang lebih besar akibat terhambat jarak dan keterbatasan akan pengetahuan serta relasi dengan regulator di sana. Ditambah lagi kehadiran pandemi yang memperlambat pergerakan di seluruh dunia, proses perizinan crowdfunding pun tertunda untuk beberapa saat.

Selain itu, perbedaan situasi dan budaya di setiap negara juga merupakan tantangan tersendiri untuk mengenalkan ide baru crowdfunding kepada masyarakat. Oleh sebab itu, untuk mengakselerasi pengetahuan tentang pasar dan ekosistem di sana, Investree fokus melangsungkan kolaborasi dengan rekanan lokal.

Beberapa perusahaan ternama yang sudah bekerja sama seperti Pantavanij, platform e-procurement dan B2B marketplace terdepan di Thailand, 2C2P penyedia payment gateway, dan FlowAccount penyedia software solusi penagihan dan akuntansi online untuk bisnis kecil, wirausaha, dan pekerja lepas.

Melalui kolaborasi tersebut, Investree Thailand menciptakan beberapa inovasi. Bersama Pantavanij, Investree menyediakan pembiayaan rantai pasokan kepada penjual dan pemasok yang terdaftar di sistem e-procurement. Bersama 2C2P, Investree mamanfaatkan teknologi dan data untuk menyediakan fasilitas pembiayaan modal kerja (working capital financing) untuk para merchant 2C2P. Masih sejalan, Investree juga berkolaborasi dengan FlowAccount untuk menyediakan solusi pembiayaan bagi UMKM yang ada di platformnya.

Investree Thailand menghadirkan 2 (dua) produk yaitu Bullet Payment Security dan Installment Payment Security yang memiliki kesamaan dengan Invoice Financing dan Working Capital Term Loan (WCTL) yang ditawarkan di Indonesia dan Filipina. Untuk kedua produk pembiayaan ini, Investree menawarkan berbagai manfaat untuk UKM: suku bunga berdasarkan model credit scoring yang modern, pendanaan cepat, serta ketentuan dan biaya yang transparan.

“Menurut kami, kemitraan ini sangat membantu Investree dalam menyalurkan pinjaman secara lebih tepat sasaran dengan risiko yang terukur sehingga dapat menjaga kestabilan bisnis pinjam meminjam Investree seraya mengeksplorasi lebih banyak peluang kolaborasi dengan pelaku di ekosistem lainnya,” ujar Adrian.

Pasar UMKM di Asia Tenggara

Berdasarkan studi oleh Asian Development Bank bertajuk “Asia Small and Medium Sized Enterprise Monitor 2020”, UMKM menyumbang rata-rata 97% dari semua jenis/skala perusahaan, 69% dari total tenaga kerja, dan 41% dari produk domestik bruto (PDB) negara selama 2010-2019. Pandemi Covid-19 pada tahun 2020 memperburuk tensi perdagangan global yang sudah meningkat dan ketidakpastian ekonomi di wilayah regional. Dalam banyak hal, UMKM memegang kunci pemulihan ekonomi di negara berkembang Asia.

Indonesia menjadi negara di Asia Tenggara yang mempunyai jumlah UMKM terbesar di kawasan sebanyak 64 juta disusul oleh Thailand dengan 3,5 juta dan Filipina dengan 1,2 juta unit UMKM.

UMKM merupakan kekuatan utama dan penting untuk mendorong perekonomian Asia Tenggara. Jumlahnya 97 persen dari dunia usaha dan menyerap 97 persen angkatan kerja nasional dalam periode 2010 hingga 2019.UMKM juga menyumbang rata-rata 41 persen dari PDB tiap negara dalam periode yang sama.

Namun, masih ada banyak pelaku usaha yang belum memiliki akses terhadap pembiayaan. Banyak dari mereka dianggap tidak memenuhi syarat meminjam di bank dan tidak memiliki histori kredit.

Fintech dapat memudahkan UMKM untuk mengoptimalkan efektivitas dan efisiensi operasional usaha, serta memudahkan UMKM yang tidak memiliki persyaratan cukup untuk mengakses pembiayaan perbankan, dalam mengakses pembiayaan modal kerja. Beberapa pemain yang juga menawarkan solusi serupa termasuk KoinWorksModalku, dan Amartha.

Sebelumnya, di tahun 2019, Investree telah hadir di Vietnam dengan nama eLoan, setelah itu melanjutkan ekspansi ke Filipina dengan menggandeng perusahaan konglomerat Filinvest Development Corporation (FDC) di awal tahun ini. Hingga saat ini, Investree berhasil mendapat lisensi untuk beroperasi di 4 negara termasuk Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Peroleh Izin, Grup Modalku Resmi Ekspansi ke Thailand

Modalku (dikenal sebagai Funding Societies di Singapura dan Malaysia) mengumumkan ekspansi ke Thailand, pasca mengantongi lisensi crowdfunding pinjaman oleh regulator Thailand Securities and Exchange Commission (SEC). Di bawah brand Funding Societies, perusahaan akan fokus menawarkan pinjaman usaha untuk pelaku UMKM dan alternatif investasi untuk para pendana.

Bicara pangsa pasar, terdapat lebih dari 50% dari total 3 juta UMKM di Thailand terhambat bisnisnya karena sulit memperoleh pinjaman usaha, khususnya pinjaman modal usaha jangka pendek. Sama seperti di Indonesia, institusi keuangan konvensional di sana lebih fokus ke pinjaman jangka panjang atau pinjaman dengan agunan.

Menurut International Finance Corporation, situasi ini menyebabkan adanya kesenjangan dana usaha lebih dari $40 miliar bagi UMKM Thailand. Kurangnya pendanaan ini diperparah oleh pandemi Covid-19, yang mana kreditur telah mengurangi akses pinjaman demi mengelola risiko finansial.

“UMKM berkontribusi terhadap 40% dari PDB Thailand, tetapi segmen ini menghadapi banyak tantangan saat berusaha mengakses pinjaman dari institusi konvensional, mulai dari kurangnya aset untuk jaminan, persyaratan dokumen yang sulit, dan proses persetujuan yang panjang,” ucap Country Head Funding Societies Thailand Varun Bhandari dalam keterangan resmi, Rabu (10/2).

Di negara tersebut, Funding Societies akan menyediakan berbagai opsi pinjaman tanpa agunan untuk membantu UMKM ekspansi bisnis, memperoleh usaha, atau membiayai proyek. Pemilik usaha dapat mengisi formulir aplikasi online yang simpel, mengirimkan beberapa dokumen, lalu menerima persetujuan pinjaman dalam tiga hari kerja.

Grup Modalku juga telah mengadakan kerja sama regional dengan Lazada, Zilingo, dan Bank CIMB untuk turut melayani UMKM dalam ekosistem mereka.

Dari sisi pendana, mereka dapat masuk ke dalam platform crowdfunding untuk mengakses kesempatan mendanai berbagai pinjaman usaha. Melalui aktivitas pendanaan, pendana mendapat kesempatan diversifikasi alternatif investasi yang menarik.

Co-Founder & CEO Modalku Reynold Wijaya menambahkan, “Harapan kami dengan semakin luasnya jangkauan Grup Modalku di Asia Tenggara, khususnya Thailand, kami bisa mendukung lebih banyak UMKM berpotensi untuk mengembangkan bisnisnya. [..] Melalui kolaborasi antar negara, Grup Modalku akan terus berinovasi untuk menjadi platform fintech terpilih.”

Di tengah pandemi, manajemen risiko Grup Modalku yang kuat telah mempertahankan tingkat default pinjaman di bawah 2%.

Modalku menyediakan layanan p2p lending untuk UMKM yang berpotensi dengan pinjaman modal tanpa jaminan hingga Rp2 miliar. Sampai saat ini, Grup Modalku telah menyalurkan pinjaman usaha sekitar Rp21,8 triliun kepada lebih dari 3,7 juta transaksi pinjaman.

Di Negeri Gajah Putih ini, juga diwarnai oleh segelintir startup dari Indonesia yang pede untuk keluar kandang. Investree dan DanaCita adalah dua perusahaan yang datang dari fintech lending. Investree sendiri dalam kabar terakhir tinggal menunggu izin di keluarkan oleh SEC, perusahaan ini baru mengantongi izin operasional di Filipina.

Sebagian besar perusahaan datang dari luar Indonesia, mayoritas dari Singapura, lalu masuk ke Indonesia dengan melokalisasi nama brand-nya. Kredit Pintar termasuk dalam kelompok ini.

Di vertikal lain, ada Gojek, Jet Commerce, JavaMifi, PasarPolis, Jala (masih finalisasi) yang beroperasi di Thailand. Sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Vietnam dan Filipina juga turut disasar oleh Ruangguru, Sociolla, Xendit, dan lainnya.

Application Information Will Show Up Here