J&T Express Is Reportedly Secured 35,6 Trillion Rupiah Funding and Now a Decacorn

J&T Express logistics startup is reported to secur $2.5 billion funding or equivalent to 35.6 trillion Rupiah with a valuation of $20 billion (around Rp.285 trillion), an now officially a “decacorn”. This round is part of J&T’s plan to go public on the Hong Kong Exchange in the first quarter of 2022.

Based on Reuters, this round was backed by a number of major investors, including Boyu Capital, Hillhouse Capital Group, and Sequoia Capital China. In addition, Chinese gaming and internet giant Tencent Holdings, as well as SIG China and Susquehanna International Group.

“This fundraising is in line with J&T’s expansion steps into China and Latin America, in addition to the IPO plan on the Hong Kong stock exchange,” some undisclosed sources said.

In a general note, J&T Express plans to raise $1 billion fund ahead of the IPO. In fact, CB Insights reported that J&T had achieved unicorn status with a $7.8 billion valuation in April.

The source revealed that J&T appointed Bank of America (BAC.N), China International Capital Corp., and Morgan Stanley (MS.N) to help with the IPO plan.

Regarding the news, a number of investors involved declined to comment to Reuters, including Tencent and China’s Sequioa.

Logistics market competition

For the record, J&T Express was founded in 2015 by Jet Lee and Tony Chen, top executives from Oppo mobile phone company, and has expanded its business to a number of countries in Southeast Asia. Aside from Indonesia, J&T is available in Malaysia, Vietnam, the Philippines, and Thailand.

The founders used their previous experience to build a massive logistics network throughout Southeast Asia which is accelerating thanks to the popularity of e-commerce services.

In 2020, J&T entered the Chinese market and competed with leading rivals in logistics, including S.F. Holding, ZTO Express, as well as the Alibaba backed logistics network, JD.com.

In Indonesia, J&T is in tight competition with a number of logistics startups, including SiCepat and Ninja Xpress, both of which take advantage of the e-commerce trend to accelerate their business. J&T’s CEO, Robin Lo said at the time, logistics services from the e-commerce business contributed 50% to the company’s revenue in 2017.

E-commerce is driving the digital economy in Indonesia, which continues to grow. Based on the e-Conomy SEA 2021 research released by Google, Temasek, and Bain & Company, the e-commerce sector is still driving the digital economy with 52% or $53 billion growth.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

J&T Express Dilaporkan Memperoleh Pendanaan 35,6 Triliun Rupiah, Capai Tonggak “Decacorn”

Startup logistik J&T Express dilaporkan telah memperoleh putaran pendanaan sebesar $2,5 miliar atau setara 35,6 triliun Rupiah dengan valuasi mencapai $20 miliar (sekitar Rp285 triliun), alias sudah menyandang gelar “decacorn”. Penggalangan dana ini merupakan bagian dari rencana J&T melantai di Bursa Hong Kong pada kuartal pertama 2022.

Berdasarkan laporan Reuters, pendanaan tersebut disokong oleh sejumlah investor utama, antara lain Boyu Capital, Hillhouse Capital Group, dan Sequoia Capital China. Selain itu, perusahaan game dan internet raksasa Tiongkok, Tencent Holdings, serta SIG China dan Susquehanna International Group juga ikut berpartisipasi.

“Penggalangan dana ini dilakukan sejalan dengan langkah ekspansi J&T ke Tiongkok dan Amerika Latin, selain rencana terdaftar di bursa Hong Kong,” ungkap sejumlah sumber yang dirahasiakan ini.

Sebagaimana diketahui, J&T Express berencana mengumpulkan dana sebesar $1 miliar menjelang IPO. Bahkan, CB Insights melaporkan J&T telah menyandang status unicorn valuasi $7,8 miliar pada April lalu.

Sumber tersebut mengungkap bahwa J&T menunjuk Bank of America (BAC.N), China International Capital Corp, dan Morgan Stanley (MS.N) untuk memuluskan rencana IPO ini.

Terkait pemberitaan tersebut, sejumlah investor terlibat menolak berkomentar kepada Reuters, termasuk Tencent dan Sequioa China.

Persaingan pasar logistik

Sekadar informasi, J&T Express didirikan di 2015 oleh Jet Lee dan Tony Chen, para petinggi perusahaan ponsel Oppo, dan telah melebarkan sayap bisnis ke sejumlah negara di Asia Tenggara. Setelah Indonesia, J&T sudah hadir di Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Thailand.

Para founder tersebut menggunakan pengalaman mereka terdahulu untuk membangun jaringan logistik besar-besaran di seluruh Asia Tenggara yang tengah terakselerasi berkat popularitas layanan e-commerce.

Di 2020, J&T masuk ke pasar Tiongkok dan bersaing dengan rival terkemuka di bidang logistik, termasuk S.F. Holding, ZTO Express, serta jaringan logistik raksasa yang dimiliki Alibaba Group dan JD.com.

Sementara di Indonesia, J&T juga bersaing ketat dengan sejumlah startup logistik, termasuk SiCepat dan Ninja Xpress, yang sama-sama memanfaatkan tren e-commerce untuk mengakselerasi bisnisnya. Menurut CEO J&T Robin Lo kala itu, jasa logistik dari bisnis e-commerce berkontribusi sebesar 50% terhadap pendapatan perusahaan di 2017.

E-commerce merupakan motor ekonomi digital di Indonesia yang terus bertumbuh hingga saat ini. Berdasarkan riset e-Conomy SEA 2021 yang dirilis Google, Temasek, dan Bain & Company, sektor e-commerce masih menjadi penggerak ekonomi digital dengan pertumbuhan 52% atau $53 miliar.

Application Information Will Show Up Here

Menjelang IPO, Valuasi GoTo Ditaksirkan Capai 403 Triliun Rupiah

Pekan lalu (20/10) decacorn GoTo Group mengumumkan peresmian perjanjian kerja sama strategis dengan anak usaha Abu Dhabi Investment Authority (ADIA). Sebagai tindak lanjut, ADIA memimpin penggalangan dana pra-IPO GoTo senilai $400 juta atau setara Rp5,6 triliun Rupiah. Pendanaan ini ditaksirkan mendongkrak valuasi perusahaan di angka $28,5 miliar atau setara Rp403,7 triliun Rupiah – menurut sumber yang menyampaikan pada Reuters.

Nilai ini meningkat derastis dibandingkan prakiraan valuasi sebelumnya di angka $18 miliar, dengan menggabungkan masing-masing valuasi perusahaan yang saat itu masih melakukan penggalangan dana secara terpisah. Kondisi yang ada sekarang juga ditaksirkan dapat membawa nilai GoTo melebihi $30 miliar pada waktu menjelang IPO-nya nantinya, jika iklim investasi publik mendapatkan momentum terbaiknya.

“Kami bangga menyambut ADIA sebagai investor terbaru di perusahaan dan yang pertama dalam penggalangan dana pra-IPO kami, selagi kami menyiapkan bisnis untuk pertumbuhan eksponensial untuk tahun-tahun mendatang. Dukungan dengan skala seperti ini menegaskan keyakinan kami bahwa Indonesia dan Asia Tenggara akan menjadi tujuan besar selanjutnya untuk investasi teknologi,” sambut CEO GoTo Group Andre Soelistyo.

Dalam pemaparan yang disampaikan, GoTo telah menghasilkan lebih dari 1,8 miliar transaksi pada 2020 dengan total GTV lebih dari $22 miliar. Dalam ekosistem perusahaan, tercatat lebih dari 11 juta mitra dengan mayoritas berskala UMKM dan lebih dari 2 juta armada mitra pengemudi.

Fluktuasi menjelang IPO

Kendati belum disampaikan secara resmi, rencana IPO GoTo digadang-gadang akan dilaksanakan pada awal tahun 2022. Sumber mengatakan, proses go-public akan dimulai di bursa lokal terlebih dulu (IDX), diikuti ke New York.

“IPO menjadi salah satu strategi kami untuk mendukung pertumbuhan perusahaan yang berkelanjutan. Yang dapat kami pastikan adalah GoTo akan selalu mematuhi seluruh regulasi yang berlaku dalam menjalankan tiap aksi korporasi,” ujar perwakilan perusahaan kepada DailySocial.id.

Kesuksesan IPO Bukalapak di IDX dan rencana go-public Grab via SPAC yang telah diumumkan sebelumnya sebenarnya menjadi tolok ukur sendiri untuk ‘kesuksesan’ bagi unicorn berikutnya yang akan melenggang ke pasar saham. Rencana Grab sendiri mundur dari jadwal, target awalnya kesepakatan SPAC rampung di pertengahan 2021. Alasannya ada permintaan audit keuangan dari otoritas bursa setempat. Perusahaan menargetkan valuasi hampir $40 juta sesaat sebelum melantai.

Jalan startup menuju bursa memang tengah diuji dengan berbagai ketidakpastian. Termasuk merosotnya minat penawaran umum lewat SPAC – karena terlalu riuh. Tahun 2021 ini terjadi banyak transaksi SPAC di NASDAQ, sehingga berpengaruh pada penurunan harga jual saham hingga di bawah nominal nilai yang diharapkan. Menurut data EY, per H1 2021 terdapat 634 transaksi SPAC yang berhasil dijalankan, menjadi rekor baru di bursa saham setempat.

Sebelumnya berhembus kabar unicorn Traveloka akan membuat kesepakatan dengan Bridgetown Holdings Ltd. untuk SPAC. Namun baru-baru ini, tersiar informasi bahwa dewan direksi Traveloka memutuskan untuk tidak melanjutkan langkah tersebut. Perusahaan kemungkinan akan menjajaki proses IPO tradisional, tetap di bursa AS, menurut sumber Bloomberg.

Di sisi lain, aksi korporasi Bukalapak pada Agustus 2021 lalu juga memberikan gambaran tentang antusias yang cukup baik oleh investor lokal dalam menyambut unicorn lokal di pasar saham.

Sinergi Gojek-Tokopedia

Percepatan laju bisnis juga terus diupayakan oleh GoTo Group, utamanya dengan menggabungkan kekuatan yang dimiliki oleh Gojek maupun Tokopedia. Beberapa inisiatif baru-baru ini diumumkan, seperti menjadikan Gopay dan Gopaylater sebagai gerbang pembayaran utama di Tokopedia.

“Selain itu sinergi yang diwujudkan dalam ekosistem GoTo di antaranya adalah penjualan silang antar-platform (cross-selling) dan upselling, jaringan pengiriman hyperlocal yang lebih luas, ekosistem pembayaran digital, dan teknologi finansial terbesar, serta promosi dan program loyalitas untuk pengguna yang diperluas,” imbuh Corporate Affairs GoTo Nila Marita.

Sinergi juga didesain agar dapat memperluas peluang bagi mitra driver Gojek untuk memperoleh tambahan penghasilan, antara lain diwujudkan dengan sejumlah program kolaborasi Gojek dan Tokopedia seperti Waktu Indonesia Belanja (WIB). Mitra driver berkesempatan untuk dapat mengirimkan lebih banyak pesanan dari konsumen Tokopedia.

“Sinergi bisnis ini juga membuka kesempatan besar bagi GoTo untuk berekspansi di beberapa lini, seperti kebutuhan sehari-hari (grocery), fast-moving consumer goods (FMCG), dan logistik,” tutup Nila.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

OnlinePajak Klaim Status “Unicorn”, Sebesar Itukah Ukuran Pasarnya?

Startup SaaS untuk bisnis yang memfokuskan pada pengelolaan pajak “OnlinePajak” mengklaim status “unicorn” mereka. Hal ini disampaikan eksekutif mereka di kesempatan temu media, salah satunya seperti dikutip Katadata.

Awalnya kabar mengenai status unicorn tersebut muncul dari daftar CBInsights. Namun diketahui saat ini (14/10) di daftar tersebut CBInsights telah menghilangkan nama OnlinePajak.

Kami sudah mencoba menanyakan ke pihak terkait tentang hal ini ke perusahaan, termasuk putaran pendanaan baru yang didapat perusahaan [jika ada]. Sampai berita ini diterbitkan, belum ada jawaban. Pun saat kami menanyakan kepada salah satu investornya, mereka memilih tidak berkomentar mengenai status unicorn tersebut.

Berdasarkan data yang disubmisi ke regulator, pendanaan terakhir OnlinePajak adalah putaran seri C pada Juli 2021 lalu. Tencent dan sejumlah investor masuk membawa dana sekitar $12 juta, melambungkan valuasi perusahaan di angka $179 juta — 1/10 dari angka valuasi yang diklaim sebagai sebuah startup unicorn.

Mereka turut didukung investor populer seperti Alpha JWC Ventures, Sequoia Capital India, Endeavor Catalyst, dan beberapa lainnya.

Sejak akhir tahun lalu, kami memang sudah memasukkan OnlinePajak ke daftar Centaur, yang menandakan tonggak perusahaan telah mencapai valuasi di atas $100 juta.

Layanan OnlinePajak

Saat ini layanan OnlinePajak terbagi ke dalam tiga kategori produk utama: Invoice, Payroll, dan Lainnya. Di dalam sub-layanan Invoice, terdapat beragam fitur seperti hitung/setor/lapor PPn dan PPh, pembuatan bukeu potong, faktur, validasi NPWP, dan lainnya.

Sementara di Payroll, di dalamnya terkait fitur penggajian, termasuk pajak PPh 21, perhitungan gaji, dan slip gaji. Sementara di kategori Lainnya, terdapat kanal untuk pembayaran, pelaporan, termasuk untuk pajak pribadi. Saat ini mereka juga mengoperasikan layanan PajakPay untuk memudahkan proses pembayaran pajak.

Untuk memudahkan pengguna, selain portal di web, OnlinePajak juga menghadirkan aplikasi di Android bernama Aplikasi tersebut sudah diunduh sekitar 10 ribu+ pengguna dengan rating 3,7. Aplikasi lain yang juga membantu mengakomodasi kebutuhan pajak adalah HiPajak, di Google Play platform tersebut telah diunduh 50 ribu+ pengguna dan mendapati rating yang sama.

Inovasi lainnya yang diluncurkan startup lokal untuk memudahkan bisnis dan perseorangan mengelola pajak adalah Pajak.io. Layanan utama mereka berbasis chatbot bernama “Bee-Jak”, siap menjawab dan membantu berbagai keluhan seputar pelaporan dan pembayaran pajak. Sementara layanan SaaS lain yang fokus ke HR dan Payroll juga umumnya sudah menyematkan kapabilitas untuk melakukan perhitungan pajak, misalnya yang disediakan Catapa, Fast-8, dan Mekari.

Perbandingan statistik situs OnlinePajak dan KlikPajak yang dikelola Mekari / SimilarWeb

Ukuran pasar

Menurut data yang dihimpun Fortune Business Insight, ukuran pasar perangkat lunak manajemen pajak telah mencapai $5,24 miliar pada tahun 2018 secara global. Angka tersebut diproyeksikan meningkat menjadi $11,19 miliar pada 2026 dengan CAGR 10,4%.

Pada dasarnya sifat layanan tersebut membantu bisnis atau perusahaan untuk melakukan pengelolaan pajak. Kendati demikian, seperti di Indonesia, semua proses sebenarnya bisa dilakukan secara mandiri. Bahkan di kalangan korporasi, biasanya mereka memiliki konsultan khusus yang fokus melakukan advokasi pajak.

Segmen UMKM mungkin bisa menjadi sasaran utama, kendati menurut pemerintah proses pungutan pajak di kalangan ini sudah mendapatkan “keistimewaan”, baik dari sisi proses yang sederhana maupun nilai yang relatif lebih rendah. Menurut data dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan pada tahun 2019, kontribusi PPh final UMKM baru berkisar Rp7,5 triliun, atau hanya sekitar 1,1 persen dari total penerimaan PPh secara keseluruhan di tahun yang sama sebesar Rp711,2 triliun.

Untuk menyiasatinya, beberapa aplikasi yang fokus pada pencatatan keuangan UMKM juga menghadirkan fitur penghitungan pajak. Bahkan dari KemenkopUKM juga menghadirkan aplikasi LAMIKRO yang bisa digunakan dan diunduh secara cuma-cuma.

Status unicorn OnlinePajak

Dengan ukuran pasar tersebut [spesifik pada perangkat lunak perhitungan pajak], menjadi menarik jika valuasi OnlinePajak saat ini sudah sampai menembus $1 miliar. Pasalnya model bisnis mereka mengakomodasi pasar yang cukup niche. Namun demikian, ada potensi OnlinePajak untuk menyasar segmen produk yang lebih luas dimulai dari pain point seputar pajak – menjadi SaaS end-to-end untuk bisnis.

Seperti diketahui, untuk lini bisnis OnlinePajak (pembayaran pajak), perusahaan telah menunjuk Mulia Dewi sebagai CEO. Sementara Founder Charles Guinot saat ini menjabat sebagai Group CEO. Kemungkinan memang ada segmen layanan lebih luas yang tengah disiapkan perusahaan, untuk mendapati potensi pangsa pasar yang lebih besar.

Application Information Will Show Up Here

Wealthtech Platform Ajaib Is Indonesia’s Newest Unicorn

Wealthtech platform Ajaib confirmed its new status as Indonesia’s next unicorn, after closing a $153 million (over 2.1 trillion Rupiah) series B round led by DST Global. This value is slightly higher than the one rumored at the late September. This funding adds up to the total amount of $243 million.

Further informed in the series B round, previous investors, including Alpha JWC Ventures, Ribbit Capital, Horizons Ventures, Insignia Ventures, and SoftBank Ventures Asia were participated.

DST Global and Ribbit Capital are investors of Robinhood, a US-based similar platform. Ajaib was often compared to Robinhood, it proves Indonesia’s advanced technology and capital market capabilities are able to compete with global markets.

Ajaib Group’s Co-founder & CEO, Anderson Sumarli said Ajaib will use this fresh fund to massively recruit top talent and conduct educational campaigns to inspire more budding investors.

“Our mission is to welcome a new generation of investors to modern financial services. Indonesia still at 1% of share investor penetration and we still have a long way to go to support government programs to increase financial inclusion and literacy in Indonesia,” Anderson said in an official statement, Monday (4/10).

The company currently has 1 million retail investors in shares, since it was first founded two and a half years ago. This is quite rapid achievement as Indonesia only has 2.7 million stock investors. “The growth in the number of retail stock investors has never been this fast in the Indonesian history, therefore, it is certainly the first step to build the strength of young Indonesian investors to change the nation’s future.”

Alpha JWC Ventures’ General Partner, Chandra Tjan said, “Ajaib’s success is a clear testament to the growth and strength of technology and the Indonesian capital market. “As Indonesians, we are very proud to be able to participate in building the country’s digital ecosystem, and to have a real impact on people’s daily lives,” said Chandra.

DST Global Managing Partner Thomas Stafford added, “Ajaib has built world-class products using modern technology to serve the younger generation of Indonesia in entering the capital market. We are very proud to be walking with Ajaib in their mission to democratize access to investment for all.”

On the same occasion, last month Ajaib also announced the appointment of Andi Gani Nena Wea, one of the President Commissioners of BUMN, as the President Commissioner of Ajaib.

As is known, according to the results of a survey by the Financial Services Authority (OJK) in 2020, the level of financial literacy in the capital market is  relatively low at 4.9% and the inclusion rate is only 1.6%. The company has been committed to providing financial education, especially in the investment sector through the Stock Generation Program that has been carried out with the IDX in various regions with low financial literacy.

To date, the program has reached 26 cities, from the capital to Papua. In addition, Ajaib also conducts online education every day as a form of Ajaib’s commitment to increasing financial inclusion and literacy, especially for the capital market.

Indonesia’s list of unicorns

Ajaib has confirmed to be the 7th unicorn from Indonesia. Even so, according to DailySocial.id’s records, there are currently 12 startups that have been confirmed as unicorns. They are:

Perusahaan Est. Valuasi
Gojek-Tokopedia $18 miliar
Traveloka ~$3 miliar
Bukalapak $6 miliar
OVO ~$2,9 miliar
JD.id (confirmed) undisclosed
Blibli (confirmed) undisclosed
Tiket.com (confirmed) ~$1 miliar
J&T ~$7,8 miliar
Kredivo* $2,5 miliar
Xendit ~$1 miliar
Ajaib ~$1 miliar
*assuming the merger process has been completed, to go public soon via SPAC

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Application Information Will Show Up Here

Ajaib Resmi Sandang Status “Unicorn”

Platform wealthtech Ajaib mengonfirmasi status barunya sebagai unicorn berikutnya dari Indonesia, setelah menutup putaran seri B sebesar $153 juta (lebih dari 2,1 triliun Rupiah) yang dipimpin oleh DST Global. Nilai ini sedikit lebih besar dari yang dirumorkan pada akhir September. Pendanaan ini membawa jumlah total yang dikumpulkan Ajaib menjadi $243 juta.

Diterangkan lebih jauh, dalam putaran seri B ini diikuti oleh investor terdahulu, yakni Alpha JWC Ventures, Ribbit Capital, Horizons Ventures, Insignia Ventures, dan SoftBank Ventures Asia.

DST Global dan Ribbit Capital adalah investor dari Robinhood, platform sejenis dari Amerika Serikat. Sering disandikannya Ajaib dengan Robinhood membuktikan bahwa kemajuan kapabilitas teknologi dan pasar modal di Indonesia mampu bersaing dengan pasar global.

Co-founder & CEO Ajaib Group Anderson Sumarli mengatakan Ajaib akan menggunakan dana segar ini untuk merekrut besar-besaran talenta terbaik dan melakukan kampanye edukasi untuk menginspirasi lebih banyak investor pemula.

“Misi kami adalah untuk menyambut investor generasi baru ke layanan keuangan modern. Indonesia masih memiliki penetrasi investor saham sebesar 1% dan perjalanan kami masih panjang untuk mendukung program pemerintah dalam meningkatkan inklusi dan literasi keuangan di Indonesia,” ujar Anderson dalam keterangan resmi, Senin (4/10).

Perusahaan saat ini telah memiliki 1 juta investor ritel saham, sejak pertama kali berdiri dua setengah tahun lalu. Pencapaian ini sangat pesat lantaran di Indonesia baru memiliki 2,7 juta investor saham. “Pertumbuhan jumlah investor ritel saham di Indonesia belum pernah secepat ini dalam sejarah Indonesia, sehingga hal itu tentu merupakan langkah awal untuk membangun kekuatan investor generasi muda Indonesia yang dapat mengubah masa depan bangsa.”

General Partner di Alpha JWC Ventures Chandra Tjan menuturkan, keberhasilan Ajaib merupakan bukti nyata pertumbuhan dan kekuatan teknologi dan pasar modal Indonesia. “Sebagai orang Indonesia, kami sangat bangga dapat ikut serta dalam membangun ekosistem digital Tanah Air, serta membawa dampak nyata bagi kehidupan sehari-hari masyarakat,” ujar Chandra.

Managing Partner DST Global Thomas Stafford menambahkan, “Ajaib telah membangun produk kelas dunia dengan menggunakan teknologi modern untuk melayani generasi muda Indonesia dalam memasuki pasar modal. Kami sangat bangga dapat berjalan bersama Ajaib dalam misi mereka untuk mendemokratisasikan akses investasi untuk semua.”

Dalam kesempatan yang sama, pada bulan lalu Ajaib turut mengumumkan pengangkatan Andi Gani Nena Wea, salah satu Komisaris Utama BUMN, sebagai Komisaris Utama Ajaib.

Seperti diketahui, menurut hasil survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2020, tingkat literasi keuangan di pasar modal masih relatif rendah yaitu 4,9% dan tingkat inklusi hanya 1,6%. Perusahaan selama ini berkomitmen untuk memberikan edukasi keuangan terutama dalam bidang investasi melalui Program Generasi Saham yang telah dilakukan bersama BEI di berbagai daerah dengan literasi keuangan rendah.

Hingga saat ini, program tersebut sudah menjangkau 26 kota, dari ibukota hingga Papua. Selain itu, Ajaib juga melakukan edukasi secara daring setiap harinya sebagai bentuk komitmen Ajaib dalam meningkatkan inklusi dan literasi keuangan, terutama untuk pasar modal.

Daftar perusahaan unicorn dari Indonesia

Pihak Ajaib menyatakan dirinya sebagai unicorn ke-7 dari Indonesia. Meski begitu, dalam catatan DailySocial.id, sejauh ini ada 12 startup yang terkonfirmasi sebagai unicorn. Mereka adalah:

Perusahaan Est. Valuasi
Gojek-Tokopedia $18 miliar
Traveloka ~$3 miliar
Bukalapak $6 miliar
OVO ~$2,9 miliar
JD.id (dikonfirmasi perusahaan) undisclosed
Blibli (dikonfirmasi perusahaan) undisclosed
Tiket.com (dikonfirmasi perusahaan) ~$1 miliar
J&T ~$7,8 miliar
Kredivo* $2,5 miliar
Xendit ~$1 miliar
Ajaib ~$1 miliar

*dengan asumsi telah menyelesaikan proses merger untuk selanjutnya go-public via SPAC

Application Information Will Show Up Here

Menilik Perkembangan Ekosistem Startup Indonesia Melalui Gelombang Baru Unicorn

Tidak dimungkiri, semenjak pandemi justru kucuran investasi banyak diberikan para investor kepada startup semakin subur hingga melahirkan potensi unicorn generasi baru dari Indonesia. Xendit menjadi startup selanjutnya dari vertikal fintech yang telah resmi menyabet status unicorn pada 15 September kemarin.

Ada sejumlah startup yang sudah mencapai centaur tahap akhir [valuasi di atas $500 juta], seperti Akulaku, Ruangguru, SiCepat, Kopi Kenangan, serta Ajaib yang diramalkan akan segera menyusul Xendit. Fenomena ini menarik karena bisa semakin banyaknya unicorn berdampak pada ekosistem startup yang jauh lebih kompetitif.

Untuk membahas hal ini, #SelasaStartup mengundang Founder & Managing Partners AC Ventures Adrian Li sebagai pembicara. AC Ventures merupakan salah satu investor awal Xendit. Ia banyak berbagi terkait kondisi pendanaan hingga impresi awal bagaimana dirinya bertemu dengan CEO Xendit Moses Lo. Berikut rangkumannya:

Faktor pendukung ekosistem startup

Dibandingkan kondisi saat AC Ventures pertama kali berinvestasi di Indonesia pada 2014, saat ini kondisi untuk merintis startup jauh lebih mudah. Infrastruktur, penetrasi smartphone, logistik, hardware sudah jauh lebih maju daripada sebelumnya. Di samping itu, generasi awal unicorn lahirkan bibit entrepreneur baru yang menjadi bekal bagus untuk mencetak unicorn berikutnya.

Adrian menuturkan, ekosistem yang berhasil dibentuk oleh generasi awal unicorn Indonesia sebelum era pandemi, memicu lahirnya entrepreneur baru yang berani untuk merintis startupnya sendiri. Berbagai bekal pengalaman yang mereka bawa dari kantor lama ke startupnya bisa dipastikan memiliki kualitas baik dan pemecahan solusi yang lebih tepat guna.

“Selain itu, kami sendiri juga sudah membangun jaringan dengan berbagai entrepreneur dari jauh-jauh hari. Setiap tingkatan kebutuhan founder, kami memiliki fund masing-masing,” kata Adrian.

Dari faktor-faktor tersebut membuat level disrupsi startup jauh lebih signifikan daripada sebelumnya. Indonesia pun dianggap sebagai pasar yang cukup besar untuk mencetak unicorn lebih banyak dari saat ini. Dari hitungan kasar saja, Indonesia sudah berhasil mencetak delapan unicorn, setidaknya, dari total 2 ribu startup yang ada saat ini.

“Dari awal kita berinvestasi di 2014, kita hanya berharap suatu saat nanti ada perusahaan bernilai $1 miliar yang akan muncul, tapi tidak mengantisipasi bakal ada decacorn lahir di Indonesia. Jadi ke depannya jangan heran kalau dalam lima tahun lagi akan ada lebih banyak perusahaan bernilai miliaran dolar lahir dari sini.”

Suplai pendanaan tahap awal masih kurang

Meski sudah didukung dengan banyak faktor pendukung, sambung Adrian, Indonesia sebenarnya masih kekurangan investor tahap awal. Jumlahnya pun perlu ditingkatkan setidaknya antara tiga sampai lima kali lipat dari jumlah VC tahap awal yang ada saat ini.

Di Tiongkok sendiri ada ribuan VC yang fokus berinvestasi tahap awal yang akhirnya mampu memproduksi ribuan unicorn pada beberapa tahun kemudian. “Jadi kita butuh lebih banyak backup dari banyak perusahaan lokal, jadi enggak harus mengandalkan investor dari luar saja.”

Bagi AC Ventures sendiri, mendanai startup pada tahap awal memang memiliki risiko gagal yang tinggi. Dengan berbagai pengukuran metriks, AC Ventures selalu memasang mindset dan mencari tahu apakah perusahaan yang akan didanai ini bisa bernilai jutaan dolar di kemudian hari.

Hal tersebut juga terjadi saat Adrian bertemu dengan Moses Lo (Co-founder Xendit). Ia menuturkan apa yang dilakukan Xendit pada awal berdiri dengan saat ini sangat jauh berbeda. Awalnya Xendit ingin permudah pembayaran dengan adanya split bill dan transfer uang jauh lebih mudah, kini menjadi perusahaan payment gateway yang fokus pada kemudahan untuk konsumen bisnis.

“Xendit sejak awal memiliki tim yang begitu solid, banyak credit yang saya berikan pada tahap awal itu untuk timnya karena ini bukan perjalanan yang mudah, membuat payment gateway dengan proses yang sangat user friendly.”

Prediksi unicorn berikutnya

Sesuai dengan prediksi Adrian sebelumnya, bahwa akan ada banyak cikal bakal unicorn yang datang dari berbagai vertikal startup dalam beberapa tahun mendatang. Dari berbagai faktor tersebut, dia meramalkan setidaknya dalam lima hingga 10 tahun mendatang akan ada banyak perusahaan bernilai $2 miliar hingga $3 miliar datang dari Indonesia.

Ia mencontohkan, vertikal fintech yang luas akan menjadi penerus unicorn berikutnya, setelah Xendit dan OVO. “Lending akan menjadi area lainnya yang menarik untuk menciptakan unicorn berikutnya, seperti Kredivo dan Akulaku. Pun juga digital bank yang akan agregate seluruh layanan keuangan digital.”

Startup logistik juga akan menyumbang sebagai generasi unicorn berikutnya, mengingat industri e-commerce yang tengah menggeliat sepanjang pandemi. Terlebih itu, industri e-commerce adalah penyumbang utama ekonomi digital di Indonesia menurut berbagai riset.

“Kalau healthtech dan edtech ini memang adalah market yang besar, tapi masih didominasi oleh bisnis tradisional. Ini old business jadi sulit untuk mengubah kebiasaan. Meski adopsi keduanya meningkat pesat selama pandemi, tetap saja akan butuh waktu yang lama [untuk mendominasi market].”

Kendati Adrian memprediksi tiap industri akan menyumbang unicorn, bukan berarti akan menjadikan startup  tersebut memonopoli pasar. Pasalnya, di industri startup teknologi menganut pasar oligopoli. Artinya, ada sejumlah pemain besar yang mendominasi pasar.

“Ada yang monopoli, ada juga yang multiplayer. Contohnya, di industri e-commerce ada Tokopedia, Shopee, Bukalapak yang unggul. Apalagi di fintech ada banyak vertikal yang muncul sebagai unicorn karena besarnya kesempatan dan keunikan di masing-masing produk sebagai value proposition-nya,” tutup dia.

Ajaib Dikabarkan Tengah Galang Pendanaan 2,1 Triliun Rupiah, Berpotensi Jadi Unicorn Berikutnya

Platform wealthtech Ajaib dikabarkan akan segera menyandang status unicorn berikutnya dari Indonesia. Perusahaan kini sedang merampungkan pendanaan berikutnya, ditargetkan nilainya mencapai $150 juta (lebih dari 2,1 triliun Rupiah). Menurut pemberitaan DealStreetAsia, DST Global telah memimpin pendanaan ini.

DailySocial.id sudah menghubungi salah satu investor dan manajemen Ajaib untuk dimintai konfirmasinya. Jawabannya kompak bahwa mereka menolak berkomentar atas rumor tersebut.

Bila mengacu dari kabar burung tersebut, dengan menghitung total pendanaan yang diterima Ajaib sebelumnya sebesar $92 juta, maka total pendanaan yang telah dikantongi perusahaan menjadi $242 juta.

Ada yang menghitung, secara kasarnya valuasi $1 miliar itu bisa dicapai dengan 4,1x-4,2x dari total pendanaan. Angka tersebut sedikit jauh lebih tinggi dari total perolehan Xendit sebesar $238 juta untuk mengantarkan mereka ke status unicorn.

Pada tahun ini saja, Ajaib sudah dua kali mengumumkan pendanaan untuk putaran seri A. Pertama pada Januari 2021 yang dipimpin Horizons Ventures dan Alpha JWC sebesar $25 juta. Selang dua bulan kemudian di Maret 2021, kembali mengumumkan pendanan tambahan sebesar $65 juta yang dipimpin Ribbit Capital.

Antusiasme investor baru yang tinggi selama pandemi, turut mendongkrak kinerja Ajaib secara signifikan. Semenjak masuk ke kelas aset saham sejak Juni 2020 – melalui akuisisi PT Primasia Unggul Sekuritas, memboyong Ajaib sebagai broker saham terbesar ke-4 di Indonesia berdasarkan frekuensi perdagangan di Maret 2021 dengan total lebih dari 10 juta transaksi. Disebutkan Ajaib telah memiliki pengguna lebih dari 1 juta orang.

Selain didukung iklim investasi saham yang bergairah, perusahaan juga memiliki strategi growth hacking yang kencang. Terbukti lewat aktif menggandeng berbagai selebritas dari lokal maupun luar negeri sebagai brand ambassador untuk menarik perhatian.

Kompetitor terdekat Ajaib, Stockbit, juga didukung dengan pendanaan yang kencang. Pada Mei 2021 kemarin, mereka mengumumkan tambahan pendanaan senilai $65 juta yang dipimpin Sequoia Capital India, setelah sebelumnya memimpin putaran sebelumnya sebesar $30 juta pada awal tahun ini.

Daftar unicorn dari Indonesia

Melihat dari kencangnya investasi yang dikucurkan untuk berbagai startup Indonesia, kemungkinan besar kita masih akan terus menyambut generasi unicorn berikutnya. Pasalnya, startup bervaluasi centaur jumlahnya sudah puluhan.

Dalam catatan DailySocial, ada Akulaku, Ruangguru, SiCepat, dan Kopi Kenangan yang sudah mencapai centaur tahap akhir. Artinya, apabila ada satu putaran pendanaan yang mereka umumkan, otomatis akan masuk sebagai unicorn berikutnya.

Dari data DailySocial, Indonesia memiliki 10 startup yang terkonfirmasi sebagai unicorn. Mereka adalah:

Perusahaan Est. Valuasi
Gojek-Tokopedia $18 miliar
Traveloka ~$3 miliar
Bukalapak ~$3 miliar
OVO ~$2,9 miliar
JD.id (dikonfirmasi perusahaan) undisclosed
Blibli (dikonfirmasi perusahaan) undisclosed
Tiket.com (dikonfirmasi perusahaan) ~$1 miliar
Kredivo* $2,5 miliar
Xendit ~$1 miliar

*dengan asumsi telah menyelesaikan proses merger untuk selanjutnya go-public via SPAC

Application Information Will Show Up Here

Sejumlah Rencana Bisnis Xendit Setelah Menjadi Unicorn

Xendit resmi menjadi unicorn setelah merampungkan pendanaan C senilai $150 juta. Secara total, perusahaan berhasil mengumpulkan total dana ekuitas sejumlah $238 juta sejak ronde awal di tahun 2015 lalu. Ada sejumlah rencana yang akan dilakukan selanjutnya. Hal tersebut disampaikan Co-Founder Xendit Moses Lo dan Tessa Wijaya dalam sebuah kesempatan temu media terbatas.

Hal pertama yang akan digenjot ialah melanjutkan ekspansi regional yang telah dimulai dari Filipina sejak tahun 2020 lalu. Bahkan untuk meningkatkan penetrasi layanannya di Filipina, Xendit membangun kemitraan strategis dengan berinvestasi ke pemain fintech setempat Dragonpay.

Menanggapi tentang strategi M&A pasca-pendanaan, Tessa mengatakan, kemungkinan tersebut ada, terlebih saat ini perusahaan juga fokus ke pasar UMKM. Kalaupun akan melakukan aksi strategis seperti investasi, tujuannya masih dalam koridor mendukung ekspansi dan perluasan segmen pengguna.

Membuka pasar yang lebih luas

Didirikan sejak tahun 2014, awalnya Xendit merupakan penyedia platform payment gateway, membantu pebisnis digital menyediakan portal pembayaran untuk konsumennya. Seiring perkembangannya, layanan fintech di dalamnya berkembang mengakomodasi berbagai kebutuhan, termasuk layanan transfer dana untuk bisnis. Sebagian besar layanan Xendit berbasis API, penggunanya mengintegrasikan layanan tersebut melalui backend situs atau aplikasi.

Disampaikan Moses, salah satu alokasi pendanaan seri C untuk mengembangkan ekosistem layanan yang dimiliki. Ia menyebutnya sebagai “value added services”, berisi berbagai fitur pendukung untuk memungkinkan mitranya menghadirkan kapabilitas fintech secara lebih baik. Misalnya, mereka akan mengoptimalkan layanan manajemen risiko untuk membantu bisnis mencegah fraud. Kemudian juga akan menghadirkan platform lending untuk membantu bisnis lebih berkembang.

Data terbaru yang disampaikan, Xendit telah mencatatkan peningkatan total volume pembayaran 200% yoy di pasar Indonesia dan Filipina. Sebagian capaian tersebut didapat dari klien yang berasal dari perusahaan teknologi seperti e-commerce atau aplikasi konsumer lainnya. Untuk membuka potensi yang lebih besar, Moses mengatakan Xendit akan masuk ke pasar solusi digital berbasis “no-code”.

Layanan “no-code” umumnya berupa solusi digital siap pakai yang tetap bisa dikustomisasi sesuai kebutuhan pengguna. Dengan pendekatan ini, Xendit juga mantapkan niat untuk merangkul pasar UKM sebagai target bisnis selanjutnya.  Dalam debutnya, beberapa solusi telah dihadirkan, misalnya dalam aplikasi “Xendit Business” di Playstore. Dengan layanan tersebut pemilik bisnis bisa membuat sebuah tautan khusus untuk dikirimkan ke pembelinya, memudahkan proses transaksi tanpa harus mengintegrasikan ke sebuah e-commerce.

Sebelumnya Xendit juga telah meluncurkan Xendit Inventory Sync. Platform tersebut berbentuk teknologi multi-kanal untuk membantu pebisnis mengelola stok inventaris produk yang dijual secara online di Tokopedia, Shopee, maupun situs seperti Shopify dan WooCommerce. Dengan demikian, pelaku bisnis dapat lebih mudah memantau jumlah stok di masing-masing kanal dalam satu dasbor yang rapi dan terintegrasi.

Belum ada rencana IPO

Ketika ditanya rencana go-public, baik melalui IPO tradisional ataupun SPAC, Moses mengatakan bahwa saat ini ada opsi lain yang masih sangat mendukung laju bisnis perusahaan, termasuk private market. Hingga saat ini, 100% konsentrasi manajemen untuk mengeksekusi rencana-rencana di atas, khususnya ekspansi perluasan bisnis. Dukungan investor yang didapat juga dilihat sebagai respons penting para stakeholder di tengah pertumbuhan dan kompetisi pasar.

Di Indonesia sendiri, saat ini ada beberapa pemain yang menyediakan layanan payment gateway. Sebagian dari mereka adalah pemain yang sudah masuk ke industri sejak lama. Adapun daftarnya sebagai berikut:

Platform Tahun Berdiri Pendanaan Terakhir
Xendit 2014 Series C, $150 juta
Midtrans 2011 Diakuisisi oleh Gojek
Durianpay 2021 Seed Round, $2 juta
Doku 2007 Venture Round, $32 juta
Nicepay 2011
Xfers 2014 Corporate Round, $30 juta; terafiliasi Payfazz
Faspay 2011 Terafiliasi grup Astra
Cashlez 2015 IPO di BEI, Kapitalisasi Pasar: $18 juta
Duitku 2009
iPaymu 2012
Prismalink 2011
Espay 2012 Diakuisisi oleh Emtek

Menurut data yang dihimpun Statista, total nilai transaksi pembayaran digital di Indonesia diproyeksikan akan mencapai $56,7 miliar pada 2021; dan bertumbuh sampai $90,2 miliar pada 2025 mendatang dengan CAGR 12,18%. Salah satu penyumbang terbesarnya adalah e-commerce, dengan nilai total transaksi $53,3 miliar pada tahun ini.

Application Information Will Show Up Here

Xendit’s Latest Funding of 2.1 Trillion Rupiah Confirms Its Unicorn Status

Xendit announced the series C funding of $150 million or equivalent to 2.1 trillion Rupiah. This round also settled the company’s valuation above $1 billion and made Xendit the next “unicorn” startup in Indonesia.

The investment was led by Tiger Global Management with the participation of a series of investors, including Accel, Amasia, and Goat Capital. With this fresh funding, Xendit plans to innovate on its product range, aiming expansion to selected countries in Southeast Asia.

The Xendit fintech platform has started to be available in the Philippines. To solidify its debut, the company recently invested in local payments startup, Dragonpay.

“We are seeing a major shifting to digital that almost all businesses, from small shop owners on Instagram, to the largest companies in Indonesia [..] Xendit’s digital payments infrastructure allows businesses to receive payments faster,” Xendit’s Founder & CEO, Moses Lo said.

Previously, Xendit closed its $64.6 million Series B funding round in March 2021 and was led by Accel. With this latest funding, they have raised IDR 3.4 trillion ($238 million) in total since the first round in 2015.

“Xendit recorded a total payout volume increase of more than 200% yoy in Indonesia and the Philippines, continuing our growing track record by more than 10% month-on-month, since our debut. Our new unicorn status will help strengthen the core mission as our guide,” Xendit’s Co-Founder & COO, Tessa Wijaya added.

Beyond fintech

Xendit’s core solution is a payment gateway, enabling businesses to have a digital payment infrastructure, either integrated into the backend system (for example in e-commerce or other services such as online travel) or used directly through the provided application (for example for social commerce).

Realizing the huge potential of MSMEs in Indonesia, Xendit is also developing SaaS products to help micro-small businesses digitize business processes, beyond pure fintech products. Most recently, they provide a product inventory service to make it easier for business owners to synchronize between online platforms for sales.

Additional capital will also be channeled to increase Xendit’s penetration into the MSME segment. Various specific features and services will be rolled out, in addition to strengthening the capabilities of existing products such as capital loans, chargeback insurance, to fraud prevention.

“Xendit’s digital payment infrastructure which designed specifically for Southeast Asia is now the new standard for the financial industry in the region. By providing a reliable and secure payment gateway, Xendit has paved the way to a digital economy for businesses,” Tiger Global Management’s Partner, Alex Cook said.

On the other hand, Xedit also has a special product Instamoney, as an API service to help businesses provide remittance features. Several platforms have used this system, such as Wise and MoneyGram.

Indonesia’s unicorn

Looking at the startup ecosystem in Indonesia today, it seems that in the future we will continue to welcome a new generation of unicorns. One of the reason is that there are dozens of startups with centaur valuations – while global and local investors are also increasingly eager to inject their funds.

Based on our data, there are currently a total of 10 startups have been confirmed as unicorns. Several players have the potential to follow in the near future with valuations above $500 million, including SiCepat, Kopi Kenangan, Ruangguru, and Akulaku.

Perusahaan Est. Valuasi
Gojek-Tokopedia $18 miliar
Traveloka ~$3 miliar
Bukalapak ~$3 miliar
OVO ~$2,9 miliar
JD.id (dikonfirmasi perusahaan) undisclosed
Blibli (dikonfirmasi perusahaan) undisclosed
Tiket.com (dikonfirmasi perusahaan) ~$1 miliar
Kredivo* $2,5 miliar
Xendit ~$1 miliar

*assuming the merger process to go public via SPAC has been completed


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian