[Data Interaktif] Pendanaan Startup Indonesia Q1 2021 Naik 2 Kali Lipat, Bukukan Rp8 Triliun

Tahun 2021 bisa dikatakan sebagai titik balik kebangkitan industri setelah berbulan-bulan dihantam distraksi akibat pandemi. Bebarengan dengan distribusi vaksin yang makin masif untuk mencegah penularan Covid-19, berbagai tatanan bisnis kembali menapaki jalur pertumbuhannya. Tak terkecuali di ekosistem startup Indonesia.

Di antara berbagai variabel yang dapat dijadikan patokan penilaian, transaksi pendanaan menjadi salah satu yang kami rasa cukup relevan. Cukup beralasan, setiap investor memiliki hipotesis yang sangat ketat – baik penilaian dari fundamental bisnis, hingga kondisi makro perekonomian nasional – sehingga meyakinkan mereka untuk meletakkan uangnya ke sebuah bisnis.

Dari catatan tim riset kami, sepanjang Q1 2021 terdapat 40 transaksi pendanaan startup Indonesia, membukukan dana [dari 24 transaksi yang nilainya diumumkan] senilai $554,7 miliar atau setara 8 triliun Rupiah. Nilai tertinggi didapatkan oleh putaran seri B SiCepat dengan total nilai mencapai $170 juta, disusul pendanaan seri A ajaib yang membukukan dana total $90 juta [gabungan dari Seri A dan Seri A+].

Menyusuri lebih dalam, sepanjang awal tahun ini pendanaan awal masih mendominasi. Namun berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kini seri A jumlahnya lebih banyak [16 transaksi] dibandingkan dengan seed funding [12 transaksi].

Dibandingkan periode yang sama di dua tahun sebelumnya, secara nilai dan kuantitas pendanaan nilainya naik lebih dari 2x lipat. Tahun 2019 ada 26 pendanaan yang diumumkan dengan nilai transaksi $156,9 juta, sementara di tahun 2020 terjadi sedikit penurunan dengan 21 transaksi dan nilai yang diumumkan berkisar $42,9 juta.

Sebagai informasi, dalam grafik tersebut kami tidak mencantumkan putaran pendanaan di startup unicorn/decacorn. Pada Q1 2019 Bukalapak menutup putaran seri D dengan nilai $50 juta, sementara di Q1 2020 Gojek menutup putaran seri F dengan nilai $1,2 miliar.

Fintech mendominasi total pendanaan di kuartal pertama tahun ini dengan 14 transaksi, disusul SaaS [7] dan edtech [3]. Pun jika ditinjau dari sisi nilai pendanaan yang dibukukan, ekosistem fintech mengumpulkan total investasi senilai $315,8 miliar. Dan jika ditelusur lebih dalam, tipe layanan fintech-nya pun cukup beragam, mulai dari (1) platform investasi (Bibit, Ajaib, FUNDtastic, Pluang), (2) pinjaman (Amartha, Dana Cita, Pintek, GajiGesa, Alami), (3) open banking (Xendit, Brick), dan (4) pembayaran digital yang diwakili LinkAja serta (5) insurtech yang diwakili PasarPolis.

Analisis iklim investasi

Sepanjang Q1 2021, sebanyak 114 pemodal ventura (VC) berpartisipasi, termasuk belasan angel investor. VC berbasis di Indonesia seperti East Ventures [5 transaksi], AC Ventures [5], dan Alpha JWC Ventures [4] sementara penjadi yang paling aktif mengikuti putaran pendanaan startup. Menariknya makin banyak VC global dan regional yang turut terlibat, beberapa di antaranya dengan masing-masing tiga transaksi: Saison Capital, Sequoia India, Y Combinator, Insignia Ventures Partner.

Partisipasi investor global menjadi angin segar bagi perkembangan ekosistem, memungkinkan founder baru dengan inovasi uniknya mendapatkan eksposur lebih baik lagi. Di samping itu, memungkinkan adanya transfer pengetahuan yang lebih komprehensif – mengingat hingga saat ini perkembangan produk digital masih banyak berkiblat dari model bisnis yang ada di luar negeri. Kemudian, pengalaman global partner dapat memudahkan startup lokal yang akan berekspansi di luar Indonesia.

Kendati demikian, banyak investor global yang juga melihat berbagai permasalahan di Indonesia sebagai potensi yang bisa diselesaikan oleh startup. Terbukti dengan partisipasi mereka pada beberapa putaran investasi kepada startup yang memang memfokuskan bisnisnya ke pasar lokal – misalnya startup logistik.

Di sisi lain, siklus “founder ke investor” juga mulai tampak. Dalam rentang pendanaan Q1 2021, founder Kopi Kenangan dan Bukalapak melalui unit venturanya terlibat dalam investasi startup. Berdasarkan data Startup Report 2020, saat ini valuasi Kopi Kenangan sudah hampir menyentuh $1 miliar. Siklus ini juga memungkinkan founder baru untuk mendapatkan dukungan lebih baik – termasuk mempelajari kesuksesan yang telah didapat investornya dalam membangun bisnis di Indonesia.

Dengan iklim investasi yang ada, kami cukup optimis jika ekosistem startup Indonesia masih akan mendapati pertumbuhan yang lebih baik ke depan. Bisnis yang makin matang –dibuktikan dengan ketahanannya mengarungi pandemi—juga akan menjadikan validasi apik untuk mendapatkan kepercayaan lebih ke investor. Di sisi lain, konsumen digital di Indonesia juga mendapati jumlah yang terus bertambah di tengah digitalisasi selama masa karantina mandiri.


Gambar Header: Depositphotos.com

Besarnya Minat Pemodal Ventura Lokal hingga Asing Berinvestasi di Startup Indonesia

Dalam paparan riset yang dilakukan oleh Alpha JWC Ventures bersama Kearney terungkap, masih banyak pemodal ventura lokal hingga asing yang berencana untuk berinvestasi kepada startup Indonesia.

Dalam salah satu rangkaian webinar #StartupUntukNegeri yang diinisiasi Amazon Web Services dan DailySocial, Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe mengatakan, saat ini masih tersedia dana simpanan para VC yang telah dibukukan sejak tahun 2020. Namun yang membedakan kegiatan investasi saat pandemi adalah, proses due diligence dan kurasi yang makin ketat.

“Investasi di sektor teknologi menggiurkan bagi investor, terbukti dengan jumlah yang terus bertambah bahkan hingga 2 kali lipat meskipun saat pandemi. Ke depannya saya melihat akan makin banyak venture capital yang lebih berhati-hati ketika ingin memberikan investasi kepada startup Indonesia.”

Ada beberapa alasan mengapa saat pandemi masih banyak permodal ventura yang kemudian menggelontorkan dana mereka kepada startup Indonesia. Mulai dari perkembangan makro ekonomi positif, meningkatnya kualitas startup dan founder, adopsi digital yang lebih cepat selama pandemi, hingga upaya pemerintah memajukan ekosistem di kota tier 2 dan 3 dan tentunya infrastruktur digital yang makin membaik.

“Kemajuan teknologi juga dibantu dengan penetrasi internet di tanah air serta kemampuan belanja serta pembagunan infrastruktur di Indonesia, menjadi faktor yang kemudian menarik untuk dilirik oleh para investor. Ke depannya saya melihat akan bertambah lagi pertumbuhan digital di ekonomi digital Indonesia,” kata Jefrey.

Ditambahkan olehnya, Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang memiliki potensi untuk menjadi raksasa di regional. Saat ini menjadi momen yang tepat bagi Indonesia untuk tumbuh, didukung dengan jumlah populasi yang besar, yang didominasi oleh usia produktif dan berbakat.

Edukasi dorong adopsi digital

Menurut Shirley Santoso selaku Partner & Presiden Direktur Kearney, meskipun saat ini pertumbuhan ekonomi digital masih terkonsentrasi di kota tier 1 seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, namun melihat potensi yang ada kota di tier 2 seperti Semarang, Makassar, dan Denpasar sudah mulai menunjukkan pertumbuhan yang baik. Demikian juga dengan kota-kota di tier 3 seperti Magelang, Prabumulih, dan lainnya. Yang menjadi tantangan tentunya adalah kemauan dan inisiatif dari mereka untuk mulai mengadopsi teknologi.

“Kebanyakan dari mereka masih belum bersedia untuk mengeluarkan biaya lebih untuk membeli paket data atau menggunakan smartphone. Mereka masih cukup nyaman menggunakan cara-cara tradisional.”

Untuk memicu lebih banyak lagi masyarakat di kota tier 2 dan 3 mengadopsi teknologi, kegiatan edukasi kemudian wajib untuk dilancarkan. Bukan hanya dari pemerintah, namun juga startup hingga perusahaan teknologi yang ingin meng-cater kebutuhan mereka.

“Dengan kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh kota-kota di tier 2 dan 3, memiliki potensi besar bagi mereka untuk menjadi kontributor inti bagi digital ekonomi di Indonesia ke depannya,” kata Shirley.

Terkait dengan bisnis UMKM, saat ini sudah mulai banyak yang memanfaatkan teknologi untuk membantu bisnis mereka tumbuh lebih baik lagi. Namun kebanyakan dari mereka masih cukup pasif mengurus bisnis, dan hanya terbatas di penjualan, pembukuan, sourcing dan pengaturan inventori. Hanya sedikit di antara mereka yang kemudan menggunakan teknologi secara menyeluruh.

“Mayoritas masih melakukan kegiatan usaha secara tradisional, namun demikian awareness mereka akan produk digital cukup tinggi. Untuk itu penting diberikan edukasi solusi digital yang bisa membantu mereka,” kata Jefrey.

Jefrey menyimpulkan, teknologi dapat mengubah secara positif bagi bisnis UMKM, namun dibutuhkan kegiatan yang lebih untuk mendorong pertumbuhan tersebut yaitu melalui edukasi. Untuk itu bagi startup dan perusahaan teknologi yang ingin menyasar kepada pelaku UMKM, harus ada penawaran yang jelas dan solusi yang benar-benar dibutuhkan pengguna.

Gambar Header: Depositphotos.com

Openspace Ventures’ Strategy Post Third Managed Fund Worth $200 Million

In the middle of March 2021, Openspace Ventures announced to complete its third managed fund worth $20 million. This fund has marked a total commitment of $425 million.

Openspace Ventures‘ Director, Ian Sikora revealed to DailySocial that Indonesia is a very important market. In the future, they will continue to focus on enhancing the company’s presence in Indonesia.

“Nearly one-third of our portfolio located in Indonesia and we expect this trend to continue with the third fund. Recently, we welcome Aristo Setiawidjaja as Senior Advisor and Jocelyn Susilo as Senior Analyst, both are based in Jakarta. We will continue to develop our local Indonesian team in the coming months. ”

Openspace Ventures’ first and second fund were launched in 2014 and 2017. Regarding the investment value for Indonesian startups, Ian avoids revealing further detail. However, according to itscommitment, they will continue to actively seek out potential startups in the country.

“Openspace remains agnostic and explores opportunities in each sector. The third fund will target more than 15 investments in Southeast Asia,” Openspace Ventures’ Associate, Tania Shanny Lestari said.

Founded in 2014, the Singapore-based company has a total portfolio of 33 investments across key sectors including logistics, fintech, agritech, edtech, healthtech, cleantech, and B2B SaaS. Indonesia is claimed to be their key country with several investments, including Gojek, FinAccel, Halodoc, TaniHub Group, and the recent ones, iSeller, Zenius, and Pluang.

The Openspace team consists of 25 people from 12 countries. The company held offices in Bangkok, Jakarta, and Manila; also in the process of setting up an office in Ho Chi Minh City.

Supporting woman entrepreneurs

They are currently held activities focused on supporting women entrepreneurs in Southeast Asia by launching special mentoring activities for female entrepreneurs or aspiring entrepreneurs. Apart from celebrating International Women’s Day, Openspace Ventures expects to expand women’s participation in the venture capital ecosystem through this activity in Southeast Asia, including in Indonesia.

To date, there have been around 42 participants registered for this activity, all of which will be directly supported by the Openspace Ventures team. Some of the information or education that will be given to participants includes investment, technology, HR, data science, Emotional and Spiritual Quotient (ESQ) & impact.

“For those who intend to join, the opportunity is still open until the end of March. There will be a mentoring session to be scheduled according to the skill set request. And the mentors will spend around 1-2 sessions with the participants.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Teja Ventures Invests in Binar Academy; to Secure a Second Managed Fund

Binar Academy, the edutech platform developed by Alamanda Shantika, has completed its seed funding from Singapore-based venture capital, Teja Ventures. The investment value was undisclosed.

Teja Ventures Partner, David Soukhasing revealed to DailySocial that selecting Binar Academy to join its portfolio was based on a strong belief in the company founder with fairly positive track record.

“Binar Academy has had a fairly good number of clients, ranging from middle to upper class. It also has the potential to scale-up and provide good solutions quickly and have a fairly solid foundation,” David said.

Was founded in 2017, Binar Academy is now available in around 33 cities in Indonesia. Earlier this month, they released an application that is available on the App Store and Play Store. Since the beginning, Binar Academy focus to be able to deliver new digital talents who are capable to master programming languages ​​through the platform.

Aside from education, Binar Academy also channels several talents relevant to the needs of companies and startups to join as employees.

Apart from Binar, there are several other startups that provide “bootcamp” concept education services. One of those is Hacktiv8, they provide a lot of education about programming, including channeling their graduates to partner companies. There is also Skilvul, which is also correlated with the Impact Byte program.

Teja Ventures plans

Previously, David was known as Managing Director of ANGIN (Angel Investment Network Indonesia). Then, together with his partner Virginia Tan, who is also ANGIN’s client, he founded Teja Ventures in 2019. They also focus on supporting women founders.

“Teja Ventures is one of ANGIN’s clients (as we have 120 other clients including ADB, TINC, Moonshot Ventures) and also connected with me because I am one of the four partners, including one from Indonesia,” David said.

After Binar Academy, Teja Ventures’ next plan is to continue investing in startups with good potential. Starting from beauty tech, SME supply chain, wellness, and others. Teja Ventures strives to support its portfolio companies in Indonesia, including Duithape, Burgreens, Green Butcher, Shox / Rumah, and Siklus.

“In the future, Teja Ventures is currently preparing for the second managed fund and to continue maintaining good momentum from the LP and deal-flow,” David said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Teja Ventures Berikan Pendanaan ke Binar Academy; Segera Bukukan Dana Kelolaan Kedua

Binar Academy, platform edutech yang dikembangkan oleh Alamanda Shantika telah merampungkan pendanaan tahap awal dari venture capital berbasis di Singapura, Teja Ventures. Tidak disebutkan lebih lanjut berapa nilai investasi yang diberikan kepada Binar Academy.

Kepada DailySocial, Partner Teja Ventures David Soukhasing mengungkapkan, dipilihnya Binar Academy untuk masuk dalam portofolio mereka adalah kepercayaan dan keyakinan kuat kepada pendiri perusahaan yang selama ini memiliki track record yang cukup positif.

“Binar Academy selama ini juga telah memiliki jumlah klien yang cukup baik, mulai dari kalangan menengah hingga ke atas. Selain itu juga memiliki potensi untuk scale-up dan memberikan solusi yang baik dengan cepat dan memiliki fondasi yang cukup solid,” ungkap David.

Didirikan tahun 2017 lalu, Binar Academy saat ini telah hadir di sekitar 33 kota di Indonesia. Awal bulan ini mereka juga telah merilis aplikasi yang saat ini sudah bisa diunduh di App Store dan Play Store. Fokus Binar Academy sejak awal adalah untuk bisa melahirkan talenta digital baru yang mampu menguasai bahasa pemrograman melalui platform.

Selain edukasi, Binar Academy juga menyalurkan beberapa talenta yang relevan dengan kebutuhan perusahaan hingga startup untuk bergabung bersama mereka menjadi pegawai.

Selain Binar, ada beberapa startup lain yang menyajikan layanan pendidikan berkonsep “bootcamp”. Satu di antaranya adalah Hacktiv8, mereka juga banyak memberikan edukasi soal pemrograman, termasuk menyalurkan lulusannya kepada perusahaan mitra. Pemain lainnya adalah Skilvul, yang juga terkorelasi dengan program Impact Byte.

Rencana Teja Ventures

Sebelumnya David dikenal sebagai Managing Director ANGIN (Angel Investment Network Indonesia). Kemudian bersama relasinya Virginia Tan, yang juga merupakan klien dari ANGIN, mendirikan Teja Ventures sejak tahun 2019. Mereka juga memiliki konsentrasi lebih untuk mendukung pendiri bisnis dari kalangan perempuan.

“Teja Ventures adalah klien dari ANGIN (karena kami memiliki 120 klien lain termasuk ADB, TINC, Moonshot Ventures) dan juga  terhubung dengan saya karena saya adalah salah satu dari empat partner, yang mencakup Indonesia,” kata David.

Setelah memberikan pendanaan kepada Binar Academy, rencana Teja Ventures selanjutnya adalah terus memberikan investasi kepada startup yang memiliki potensi yang baik. Mulai dari beautytech, supply chain UKM, wellness, dan lainnya. Teja Ventures juga terus berupaya untuk mendukung perusahaan portofolio mereka di Indonesia seperti Duithape, Burgreens, Green Butcher, Shox/Rumahan, dan Siklus.

“Ke depannya Teja Ventures juga tengah mempersiapkan penggalangan dana untuk kelolaan dana kedua dan terus menjaga momentum baik dari LP dan deal-flow,” kata David.

Rencana Openspace Ventures Usai Bukukan Dana Kelolaan Ketiga Senilai $200 Juta

Pertengahan bulan Maret 2021 lalu, Openspace Ventures mengumumkan telah berhasil merampungkan pengumpulan dana kelolaan ketiga dengan nilai mencapai $20 juta. Pendanaan ini juga menjadikan total komitmen kapital yang mereka kelola menjadi $425 juta.

Kepada DailySocial, Director Openspace Ventures Ian Sikora mengungkapkan, Indonesia adalah pasar yang penting bagi mereka. Ke depannya mereka akan terus fokus untuk mengembangkan kehadiran perusahaan di Indonesia.

“Hampir sepertiga dari portofolio kami berada di Indonesia dan berharap tren ini akan berlanjut dengan pendanaan ketiga. Baru-baru ini kami juga menghadirkan Aristo Setiawidjaja sebagai Senior Advisor dan Jocelyn Susilo sebagai Senior Analyst yang keduanya berbasis di Jakarta. Kami akan terus mengembangkan tim lokal Indonesia dalam beberapa bulan mendatang.”

Dana pertama dan kedua yang diterima oleh Openspace Ventures diluncurkan pada tahun 2014 dan 2017 lalu. Disinggung berapa nilai investasi yang bakal dikeluarkan khusus untuk startup asal Indonesia, Ian enggan menyebutkan lebih lanjut. Namun sesuai komitmen yang disampaikan, mereka akan terus aktif mencari startup potensial di tanah air.

“Openspace tetap sektor agnostik dan menjajaki berbagai oportunitas di setiap sektor. Pendanaan ketiga akan menargetkan lebih dari 15 investasi di Asia Tenggara,” kata Associate Openspace Ventures Tania Shanny Lestari.

Didirikan pada tahun 2014, perusahaan yang berbasis di Singapura ini secara keseluruhan telah memiliki portofolio 33 investasi di seluruh sektor utama termasuk logistik, fintech, agritech, edtech, healthtech, cleantech, dan B2B SaaS. Indonesia diklaim menjadi negara kunci mereka dengan beberapa investasi yang telah digelontorkan kepada startup asal Indonesia sebelumnya, seperti Gojek, FinAccel, Halodoc, TaniHub Group. Yang terbaru termasuk iSeller, Zenius dan Pluang.

Tim Openspace terdiri dari 25 orang yang berasal dari 12 negara. Perusahaan memiliki kantor di Bangkok, Jakarta, dan Manila; sedang dalam proses mendirikan kantor di Kota Ho Chi Minh.

Mendukung pengusaha perempuan

Salah satu kegiatan yang saat ini tengah mereka lancarkan untuk mendukung pengusaha perempuan di Asia Tenggara adalah, dengan meluncurkan kegiatan mentoring khusus untuk entrepreneur atau calon entrepreneur perempuan. Selain merayakan Hari Perempuan International, melalui kegiatan ini Openspace Ventures berharap bisa memperluas partisipasi perempuan di ekosistem venture capital di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.

Tercatat hingga saat ini sudah ada sekitar 42 peserta yang telah mendaftar kegiatan ini, yang secara keseluruhan akan didukung langsung oleh tim Openspace Ventures. Beberapa informasi atau edukasi yang bakal diberikan kepada peserta di antaranya adalah investasi, teknologi, HR, data science, Emotional and Spiritual Quotient (ESQ) & impact.

“Untuk mereka yang ingin mendaftar masih terbuka kesempatan tersebut hingga akhir bulan Maret ini. Dari situ nantinya akan di jadwalkan mentoring session sesuai permintaan skill set. Dan para mentor akan menghabiskan waktu sekitar 1-2 sesi dengan peserta.”

EV Growth Officially Merges with East Ventures

East Ventures (EV) announced its leadership for EV Growth, a joint venture formed in 2018 with SMDV and ZVC (formerly Yahoo Japan Capital). This restructuring affects the managerial structure in the internal EV and EV Growth and SMDV teams will join the force.

Roderick Purwana will be appointed as Managing Partner of East Ventures. David Tendian will be appointed as Operating Partner at SMDV. Shiniciro Hori will remain on EV Growth’s investment committee.

This merger is said to make EV the largest venture capitalist in Southeast Asia with more than 60 staff members and 8 partners, including Melisa Irene (Seed Partner), David Audy (Operating Partner), Triawan Munaf (Venture Adviser), and Koh Wai Kit (Venture Partner).

Even though EV has controlled all EV Growth funds, the SMDV and ZVC teams will continue to support and work closely with East Ventures and its ecosystem.

East Ventures’ Co-founder & Managing Partner, Willson Cuaca said, his team has a very strong synergy between EV Growth and the East Ventures ecosystem. This new setting will amplify efficiency and allow the EV to run fierce and faster.

“We will be able to help entrepreneurs in a better, smarter, and wiser way – fully focused on unlocking their potential,” he explained in an official statement, Wednesday (10/3).

East Ventures’ Managing Partner, Roderick Purwana added, SMDV has always been a true supporter of East Ventures and has made dozens of joint investments over the years. The two have discussed formalizing their relationship and working closely for more than 5 years.

“In 2018, we took the first big step by launching EV Growth as a joint venture. After that collaboration, we are ready to take it to the next stage. This merger will allow our founders to expand their combined ecosystem, capabilities, and networks,” Purwana said.

ZVC’s Managing Partner, Shiniciro Hori also commented, “We believe that this transformation will further strengthen our presence and accelerate our investment in Southeast Asia. Z Holdings is to commit more to the Southeast Asian market and leverage group assets as part of the SoftBank Group.”

EV Growth was formed in 2018 with EV Growth Fund I raising a total of $250 million, exceeding the initial target of $150 million. The funds have been invested in more than 20 companies in Indonesia and Southeast Asia. Some of the portfolios are Ruangguru, Waresix, KoinWorks, Shopback, Stockbit, Fuse, Tokopedia, Traveloka, Grab and Gojek. This fund has generated an IRR (internal rate of return) of 27% as of 31 December 2020 with an early exit of MokaPOS to Gojek.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

EV Growth Umumkan Peleburan dengan East Ventures

East Ventures (EV) mengumumkan kepemimpinannya untuk EV Growth, perusahaan patungan yang dibentuk pada 2018 bersama SMDV dan ZVC (dulu bernama Yahoo Japan Capital). Dampak dari restrukturisasi ini adalah perubahan struktur manajerial di dalam tubuh EV dan bergabungnya tim EV Growth dan SMDV.

Roderick Purwana akan ditunjuk menjadi Managing Partner East Ventures. David Tendian akan diangkat sebagai Operating Partner di SMDV. Shiniciro Hori akan tetap menjadi komite investasi EV Growth.

Diklaim penggabungan ini menjadikan EV sebagai modal ventura terbesar di Asia Tenggara dengan lebih dari 60 anggota staf dan 8 mitra, termasuk Melisa Irene (Seed Partner), David Audy (Operating Partner), Triawan Munaf (Venture Adviser), dan Koh Wai Kit (Venture Partner).

Meski EV kini mengendalikan seluruh fund EV Growth, tim SMDV dan ZVC akan tetap mendukung dan bekerja sama dengan East Ventures dan ekosistemnya.

Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menuturkan, pihaknya memiliki sinergi yang sangat kuat antara EV Growth dan ekosistem East Ventures. Pengaturan baru ini akan memperkuat efisiensi dan memungkinkan EV berjalan dengan lebih berani dan lebih cepat.

“Kami akan dapat membantu wirausahawan dengan cara yang lebih baik, lebih cerdas, dan lebih bijak – bertumpu sepenuhnya untuk membuka potensi mereka,” terangnya dalam keterangan resmi, Rabu (10/3).

Managing Partner East Ventures Roderick Purwana menambahkan, SMDV selalu menjadi pendukung setia East Ventures dan telah melakukan lusinan investasi bersama selama bertahun-tahun. Keduanya telah membahas formalisasi hubungan dan bekerja sama lebih dekat selama lebih dari 5 tahun.

“Di tahun 2018, kami mengambil langkah besar pertama dengan meluncurkan EV Growth sebagai upaya bersama. Setelah kolaborasi itu, kami merasa siap untuk membawa hubungan lebih jauh. Penjajaran ini akan memungkinkan para founder kami memperluas ekosistem, kemampuan dan jaringan secara gabungan,“ ujar Roderick.

Managing Partner ZVC Shiniciro Hori turut memberikan komentarnya, “Kami percaya bahwa transformasi ini akan semakin memperkuat kehadiran kami dan mempercepat investasi kami di Asia Tenggara. Z Holdings akan berkomitmen lebih banyak ke pasar Asia Tenggara dan memanfaatkan aset grup sebagai bagian dari SoftBank Group.”

EV Growth dibentuk pada 2018 dengan meluncurkan EV Growth Fund I yang berhasil mengumpulkan total dana $250 juta, melebihi target awal sebesar $150 juta. Dana tersebut sudah diinvestasikan kepada lebih dari 20 perusahaan di Indonesia dan Asia Tenggara. Beberapa namanya adalah Ruangguru, Waresix, KoinWorks, Shopback, Stockbit, Fuse, Tokopedia, Traveloka, Grab dan Gojek. Fund ini telah menghasilkan IRR (internal rate of return) 27% per 31 Desember 2020 dengan early exit yaitu penjualan MokaPOS ke Gojek.

Memahami Cara Pemodal Ventura Menilai Startup

Perkembangan pesat ekosistem startup Indonesia berimplikasi pada terbukanya peluang investasi oleh perusahaan modal ventura. Agar mendapatkan potensi terbaik, teknik penilai yang cermat menjadi strategi investor dalam memilih tujuan investasi. Bagi founder, pengetahuan tentang cara investor menilai juga menjadi penting untuk dipahami, karena pada dasarnya startup dan investor akan membentuk hubungkan mutual-strategis.

Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (AMVESINDO) dalam sebuah sesi webinar secara spesifik membahas tentang tema tersebut. Hadir sebagai pemateri Wasekjen AMVESINDO Andreas Surya, yang juga merupakan partner dari Kejora Ventures. Ia menyampaikan, “Tidak semua bisnis yang tergolong investable pasti menjadi tujuan investasi pemodal ventura. Investor cenderung sudah punya target yang spesifik, dan kini semakin mencari inovasi yang mampu berdampak bahkan mengubah selera dan perilaku masyarakat.”

Pandemi yang tengah melanda jelas menjadi pembelajaran apik bagi para investor, tentang bagaimana melihat model bisnis startup dapat gesit beradaptasi dengan pangsa pasar. Untuk itu menurut Andreas ada beberapa aspek yang menjadi patokan pemodal ventura ketika mencari startup. Pertama, model bisnis harus scalable, startup dapat meningkatkan cakupan bisnis dengan baik tanpa disertai peningkatan biaya yang tinggi. Kemudian repeatable, bisnis tidak hanya berjalan dalam satu siklus tertentu saja. Dan yang ketiga hyper-growth, yaitu mampu menunjukkan pertumbuhan yang super cepat.

Untuk mendapatkan penilaian terhadap tiga hal tersebut, biasanya ada empat variabel utama yang akan dilihat dan diuji secara komprehensif oleh tim pemodal ventura, meliputi pendiri, pasar, produk, dan performa. Dalam menilai pendiri, investor melihat kapabilitas dan passion yang dimiliki dalam menjalankan startupnya. Hal-hal yang dilakukan seperti background check terkait kinerja dan pengalaman mereka. Untuk startup tahap awal, penilaian ini menjadi sangat krusial — karena investor berinvestasi pada founder.

“Karena tahap ini sangat subjektif, setidaknya ada tiga tahapan riset yang bisa dilakukan investor untuk aspek ini. Pertama, lakukan studi internal seperti desk study tentang lanskap industri dan market untuk mengukur apakah founders mampu bersaing di battlefield ini. Lalu, perbanyak interaksi langsung dengan founders, klarifikasi dari informasi yang kita terima, lihat produknya, lihat customer journey-nya, prosedur internalnya. Lalu terakhir, sempatkan untuk reference check ke rekan bisnis, investor terdahulu, dan karyawan sebelumnya dari founders tersebut. Selalu ada celah untuk ditelusuri,” terang Andreas.

Setelah pendiri, variabel berikutnya adalah pasar. Investor akan menilai seberapa besar potensi pasar yang digarap startup terkait, termasuk memproyeksi apakah pangsa pasar tersebut akan berkembang dan startup hadir pada timing yang tepat. Cara mengukurnya lebih objektif dibandingkan sebelumnya, karena bisa dilakukan melalui riset dengan menanyakan persepsi, tingkat kepuasan, dan minat konsumen di segmen tersebut.

Variabel berikutnya adalah unique value proposition produk yang dikembangkan oleh startup. Di sini, investor akan melihat tentang peta persaingan yang ada di pasar dan nilai lebih apa yang coba dihadirkan. Saat menilai startup tahap awal, biasanya investor tidak punya cukup data terkait biaya dan profitabilitas. Penilaian akan mengandalkan aspek-aspek kualitatif, atau hanya bisa membandingkan dengan proxy data (jumlah unduhan, trafik situs dll) dan benchmark dengan bisnis serupa.

Performa operasional dan finansial menjadi variabel terakhir yang juga akan dilihat. Kemampuan founder dalam melakukan eksekusi terhadap rencana-rencananya akan terlihat di sini. Pemodal ventura akan meminta laporan keuangan historis, proyeksi, unit ekonomi atau struktur biaya, dan potensi profitabilitas. Potensi startup untuk exit juga menjadi faktor pertimbangan investasi.

Selain aspek teknis, juga ada hal-hal yang lebih prinsipil seperti kesamaan visi antara founder dengan investor. Seperti disampaikan Ketua III AMVESINDO Chrismanto Saragih yang juga merupakan CRO Mitra Bisnis Keluarga Ventura, “Misalnya, ada tipe impact investor yang tidak hanya menilai aspek profitabilitas saja namun juga melihat dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan dari sebuah bisnis bagi masyarakat.”

Ia melanjutkan, dalam menilai kelayakan bisnis pemodal ventura kadang juga melakukan penilaian langsung ke lapangan. “Kami punya pengalaman dengan calon investee di Jawa Tengah dari sektor pertanian, yang melakukan produksi dan pemasaran beras organik secara terintegrasi. Kita lakukan penilaian langsung secara end-to-end mulai dari lihat proses pembuatan dan pabrik pupuknya, pengelolaan sawah, berdialog dengan petani dan pengelola pabrik pupuk, kita juga cek lahannya, karena kalau melalui paper saja tidak bisa kita yakini 100%,” ungkap Chrismanto.

Gambar Header: Depositphotos.com

Discovering the Mission Behind Northstar Group and Google’s Joint Business Plan

In 2021, Northstar and Google have agreed to form a joint business plan. It’s to focus on accelerating the growth of the digital economy in Southeast Asia.

Northstar Group‘s Director, Henky Prihatna said to DailySocial that the two companies will share roles. As a private equity firm, Northstar will focus on investing and allocating resources to provide local market knowledge. While Google will help a lot on the technology part, it also teaches best practices from global case studies.

“The combination is necessary for entrepreneurs in Indonesia. A successful startup does not only need a good founder but also has to understand the ‘know-how’. At this point, we will share useful insights according to our experience and observations,” Henky said.

In the initial phase, Northstar and Google will first test it. Therefore, it’ll be focused on the existing portfolios. He also said that the big vision of this joint business plan is to deliver to a new unicorn in Southeast Asia for verticals outside the existing ones.

“The stage [startup] is actually flexible, but because it is still new, we want to pilot the project to startups that are already running [later stage]. Because this is also Google’s first collaboration with venture capital,” he added.

Apart from nurturing their existing businesses, they will also assist traditional companies to run digital transformation. As a general note, Northstar not only invests in technology companies but also embraces consumer and financial sectors.

“This collaboration is expected to generate new entrepreneurs. As we all know, Google has various accelerator programs and business education. We are also often involved in startup development programs. We are discussing joint programs that can later be implemented for this purpose,” Henky said.

In an official release, Google Indonesia’s Managing Director Randy Jusuf said, “At Google, we want to continue to support digital transformation through collaboration with stakeholders and encouraging the development of the startup community through the Google for Startups initiative. It is an honor for us to work with Northstar Group and support their investment in startups through platforms such as Google Ads and Google Cloud. ”

Northstar Group’s Chief Investment Officer Tan Choon Hong also gave his speech, “With the support of partners of the caliber of Google, we hope to help our portfolio to continue to adapt and maximize new opportunities in the future. This collaboration with Google is also part of our commitment to drive the Northstar portfolio’s growth. ”

Northstar alone since 2003 has managed about $2.2 billion in funds and is one of the largest investors in the region. In the Indonesian startup ecosystem, they invest in several startups such as Gojek, Zenius, and eFishery. They also have a Northstar Foundation unit that focuses on investing in social impact enterprises.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian