Cerita Transisi Profesional Pemodal Ventura Menjadi CEO Startup

Menjadi seorang CEO dan mendirikan startup sejak awal tidak mudah. Sudah banyak pengalaman seorang founder yang membangun bisnisnya sejak awal hingga sukses atau harus berakhir gagal karena rapuhnya startup. Salah satu CEO startup yang mengalami proses tersebut adalah Agung Bezharie Hadinegoro, Co-Founder dan CEO Warung Pintar.

Berangkat dari pengalamannya sebagai CGI Program Officer di Global Enterpreneurship Program Indonesia (GEPI) hingga terakhir Special Project Associate di East Ventures, banyak pengalaman menarik yang didapat Agung.

Tidak mudah untuk melakukan transisi dari seorang profesional yang bertanggung jawab melakukan analisis bisnis startup yang ingin didanai menjadi seorang CEO yang harus cerdas mengelola perusahaan dan orang-orang di dalamnya.

Menurut Agung, meskipun saat ini sudah mulai terbiasa setelah menjalaninya selama dua tahun terakhir, proses tersebut tidak selalu berjalan dengan mudah.

“Perbedaan dengan pekerjaan saya sebelumnya di venture capital dan saat ini sebagai CEO lebih kepada pandangan saja sebenarnya. Jika dulu hanya bekerja dengan segelintir orang saja, ketika masuk dalam jajaran manajamen di startup saya harus bisa berinteraksi sekaligus mengelola tim yang jumlahnya jauh lebih banyak. Belum lagi tanggung jawab ke partner, shareholder, hingga media yang semua memiliki ekspektasi masing-masing.”

Untuk bisa memahami benar peranan seorang CEO startup, Agung memberikan beberapa poin menarik yang wajib untuk diketahui mereka yang berencana untuk mendirikan startup atau para founder yang sudah menjalankannya dan kerap menemui kendala.

Pentingnya mengelola talenta

Berawal dari uji coba yang dilakukannya saat bekerja sebagai Associate dan Special Project Associate di East Ventures, Agung dan rekan-rekan lainnya menemukan ide menarik untuk mengembangkan Warung Pintar. Atas kepercayaan East Ventures, sejak bulan Oktober 2017 Agung menjadi CEO Warung Pintar.

Salah satu poin menarik adalah bagaimana talenta yang berada dalam ekosistem perusahan memiliki peranan penting untuk kemajuan perusahaan itu sendiri. Agung banyak menemui kendala untuk memahami masing-masing individu yang jumlahnya selalu bertambah. Untuk itu penting bagi seorang founder mencari tahu cara tepat agar selalu melakukan pendekatan secara personal.

“Idealnya sebuah startup dituntut untuk bisa bekerja dengan cepat, namun terkadang hal tersebut tidak selalu didukung dengan talenta yang ada. Untuk itu penting bagi Founder atau CEO untuk bisa memahami masing-masing skill dan kemampuan tim yang ada sekaligus memahami mereka secara lebih dekat dan personal.”

Learning by doing

COO Warung Pintar Harya Putra dan CEO Warung Pintar Agung Bezharie Hadinegoro saat acara di Banyuwangi
COO Warung Pintar Harya Putra dan CEO Warung Pintar Agung Bezharie Hadinegoro saat acara di Banyuwangi

Hal menarik lainnya yang ditemui Agung saat menduduki posisi manajemen adalah tantangan baru banyak ditemui seiring makin bertambahnya jumlah tim dan makin berkembangnya perusahaan. Penting bagi pemimpin startup untuk terus beradaptasi dan terus belajar.

Ketika bekerja dengan sudut pandang investor, poin yang selalu dipegang Agung adalah lebih kepada situasi makro. Ketika menjadi seorang CEO, aspek yang wajib diperhatikan lebih besar lagi.

“Belajar dari pengalaman sendiri, saya melihat pada akhirnya memang lebih ideal untuk berinvestasi ke pendiri startup jika startup ingin sukses dan terus berkembang,” kata Agung.

Salah satu kegiatan yang wajib untuk dilakukan adalah untuk selalu mencari informasi dan belajar dari buku-buku yang relevan. Biasanya seorang CEO atau pemimpin di startup akan selalu merasa kurang dan haus akan informasi. Untuk bisa memenuhi semua keinginan tersebut, buku bisa menjadi sumber yang paling tepat.

“Sekarang saya juga jadi lebih mengerti kenapa banyak yang menyebutkan sangat baik untuk membaca buku 12 jam sehari. Tujuannya adalah untuk bisa memenuhi semua rasa ingin tahu dari rasa kekurangan yang kerap menghampiri pikiran seorang Founder dan CEO di startup,” kata Agung.

Kesehatan mental

Menjadi seorang CEO dan pemimpin startup pada umumnya sangat melelahkan. Dengan semua beban dan tanggung jawab tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga tim yang ada di perusahaan, biasanya mereka kerap kehilangan motivasi.

Penting bagi CEO atau Founder untuk selalu bisa memikirkan ide atau solusi setiap harinya, agar startup yang sifatnya rapuh bisa terus berjalan dan tumbuh. Tekanan tersebut biasanya akan berpengaruh kepada kesehatan mental mereka. Untuk itu, menurut Agung, sah-sah saja bagi seorang CEO atau founder untuk berbagi pengalaman atau tantangan dengan sesama atau dengan rekan di luar pekerjaan.

Di Amerika Serikat sendiri, persoalan ini sudah banyak dibicarakan. Para Founder harus jatuh bangun mendirikan startup dan mengorbankan kesehatan mental mereka. Colin Kroll (Co-Founder Vine), Austen Heinz (Founder Cambrian Genomics), dan Jody Sherman (Founder Ecomum) adalah contoh pemimpin bisnis yang sukses, tetapi perjalanan mereka harus berhenti tiba-tiba dan berakhir dengan kematian.

Kesehatan mental memainkan peran penting di dalamnya. Meski di Indonesia belum terlalu ekstrem kondisinya, kesehatan mental menjadi hal yang penting untuk diperhatikan.

Agung menyebut ada Founder startup lokal sukses yang pernah berbagi tentang pengalaman kesehatan mental yang diderita dan berhasil dilaluinya.

“Penting bagi mereka untuk memikirkan kesehatan mental. Karena hal ini masih belum banyak dibicarakan yang faktanya banyak dialami oleh CEO atau Founder startup,” tutup Agung.

BRI Ventures Sets a New Managed Funds to Non-Fintech Startup in Jakarta and Singapore

BRI Ventures, a corporate venture capital under BRI, is preparing new managed funds as an investment vehicle for non-fintech startups in 2020.

BRI’s Director of Digital, Information Technology and Operations Indra Utoyo ensured the license to invest in non-fintech (Special Purpose Vehicle / SPV) is on progress by the Financial Services Authority (OJK).

“It is under BRI Ventures authority, yet named a venture fund because it is to be used to any [investment] including non-fintech. [For funding] We have our Limited Partner overseas,” Utoyo said to DailySocial.

In a recent interview, BRI’s VP of Investor Relation and Strategy, Markus Liman has mentioned the managed funds is to be finalized by February.

There are seven non-fintech ecosystems to be targeted for investment, including agro-maritime, health, education, tourism and travel, transportation, as well as retail and creative industries.

“We are opportunistic in number, therefore, we are not targeting quantity. Instead, we already have 6-8 deals in a pipeline for a year seeing the existing bandwidth and opportunities, “he said.

Based on the latest information Markus told DailySocial, the team is currently preparing an SPV license not only in Indonesia but also in Singapore.

“There will be an entity in Singapore to acquire a license to the Monetary Authority of Singapore. However, the fund remains as an investment vehicle, “Markus said.

Meanwhile, as noted in BRI’s financial statements in 2019, BRI Ventures is said to aim at the retail and creative industries as its main focus of investment in 2020.

Markus said the retail and creative industries either in Indonesia or overseas have a more mature market. He thought other business verticals require longer effort to run.

“This sector is more mature, both from [business] actors and their supporting ecosystems,” he added.

BRI Ventures, which was founded in 2019, has received fund injection up to Rp1.5 trillion from its parent company. The financial report noted these funds have been distributed in three phases, Rp 200 billion (March), Rp 800 billion (July), and Rp 500 billion (December).

In 2019, BRI Ventures has just invested a total Rp278.11 billion through 17 percent investment in the LinkAja e-money platform.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BRI Ventures Siapkan Dana Kelolaan untuk Startup Non-Fintech di Jakarta dan Singapura

BRI Ventures, corporate venture capital milik BRI, tengah menyiapkan dana kelolaan baru sebagai kendaraan investasi untuk startup non-fintech di 2020.

Direktur Digital, Teknologi Informasi dan Operasi BRI Indra Utoyo memastikan izin untuk berinvestasi di non-fintech (Special Purpose Vehicle/SPV) tengah diurus di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Ini masih dalam kendali BRI Ventures, tapi disebut venture fund karena bisa untuk [investasi] apa saja termasuk non-fintech. [Untuk funding] ada Limited Partner kami dari luar,” ujar Indra kepada DailySocial.

Dalam wawancara beberapa waktu lalu, VP of Investor Relation and Strategy BRI Ventures Markus Liman sempat menyebut bahwa persiapan dana kelolaan ini ditargetkan rampung pada Februari ini.

Ada tujuh ekosistem non-fintech yang menjadi target investasi, antara lain agro-maritim, kesehatan, pendidikan, pariwisata dan perjalanan, transportasi, serta retail dan industri kreatif.

“Kami oportunis secara jumlah, jadi kami tidak mengincar harus berapa deal. Tapi di pipeline, kami sudah ada 6-8 deal dalam setahun jika melihat bandwith dan opportunity yang ada,” tuturnya.

Berdasarkan informasi terbaru kepada DailySocial, Markus juga mengungkap bahwa pihaknya saat ini sedang menyiapkan izin SPV tak hanya Indonesia, tetapi juga di Singapura.

Entity akan dibentuk di Singapura untuk acquire license ke Monetary Authority of Singapore. Namun, kendaraan investasi tetap fund,” ungkap Markus.

Sementara, sebagaimana tercatat dalam laporan keuangan BRI di 2019, BRI Ventures disebutkan akan membidik industri retail dan kreatif sebagai fokus utama investasi di 2020.

Menurut Markus, industri retail dan kreatif di Indonesia maupun di luar memiliki pasar yang lebih siap. Ia menilai vertikal bisnis lainnya membutuhkan effort yang lebih panjang untuk bisa jalan.

“Sektor ini lebih siap, baik dari para pelaku [bisnis] maupun ekosistem pendukungnya,” tambahnya.

BRI Ventures yang baru berdiri di 2019, telah mendapatkan suntikan dana sebesar Rp1,5 triliun dari induk usahanya. Laporan keuangan mencatat dana ini telah disalurkan dalam tiga tahap, yakni Rp200 miliar (Maret), Rp800 miliar (Juli), dan Rp500 miliar (Desember).

Total investasi yang disalurkan BRI Ventures di 2019 baru sebesar Rp278,11 miliar dalam bentuk penyertaan saham 17 persen ke platform e-money LinkAja.

Corporate Venture Capital as an Answer to the Disruption Era

In June 2010, UberCab has launched in San Fransisco for easier access to book a cab. Soon, the platform was getting popular in the area, although the fare was higher. Users are willing to pay more for efficiency.

Five months later, the company received seed funding worth $1.25 million from several investors. The brand changed into Uber following its decision to include other transportation besides taxi. In early February next year, Uber announced Series A funding of $11 million.

Settled with $60 million valuations, they finally had its grand launching in New York. The public expressed their enthusiasm with the new innovation, the big apple later become the early biggest market share in the US. Some taxi provider companies have issued an intervention, asking for the business legal.

In late 2011, Uber secured $32 million Series B funding, including Jeff Bezos. The international expansion begins, aimed at Paris. User’s feedback, on the fare and availability, has encouraged the company to release some variant products, including UberX for more affordable service.

Halfway to 2014, Uber made expansions to India and Africa. Along with the Series C investment worth of $258 million. Valuation exceeds $3.76 billion and the company is officially a unicorn. Next, they secured another investment worth of $1.2 billion in July 2016 and took the company to a decacorn valuation at $17 billion.

In brief, with the current business dynamics, including expansion, downsizing business, and follow on funding, they finally had an IPO in May 2019 in NYSE with a market capitalization reached $75.5 billion.

Based on the business journey, there are some points to be highlighted: (1) a rapid growth business, (2) disrupted business, (3) business with fantastic valuation growth.

“Disruption” term as a barrier

Uber business model is getting replicated by others, including Gojek with the local wisdom – in this case, ojek (two-wheeler) transportation. After running a business in a semi-conventional way since 2011, they finally launched the first app on the Android and iOS platforms on January 7th, 2015. It used to provide only transportation, instant courier and groceries.

Similar to Uber, the offered services are in high demand. Traction rise up now and then, as well as financial support from investors. It applies to the rejection issue, both the motorcycle taxi drivers and transportation companies had a hard time. Sometimes, the “pressure” comes from regulation, due to no legal umbrella to accommodate the business model, at that time.

It’s from the ride-hailing sector, the truth is new platforms (e-commerce, digital wallet, SaaS, online learning and so on) are created as a way to replace traditional businesses and it’s getting the hype as the increasing number of smartphone users in Indonesia. Suddenly the term “disruption” became the main topic in various news, public discussions, to scientific publications.

Some companies have passed the term and feel encouraged to follow the existing trends, in order to not be eliminated. In the end, the jargon “digital transformation” turned into a campaign. Businessmen massively go-digital, trying to adopt the latest technology to accelerate the business model. From the simplest as creating a social media account for marketing and applying the concept of data science to business.

Technology holds an important role in the disruption era. Moreover, it has the right medium to connect a service to its user, the computing devices – including smartphones. If not through the mobile apps, maybe the growth of Uber, Gojek, Tokopedia, Moka, Bridestory and other startups won’t be that fast.

Strategic partnership through investment

Some of the large companies with high demand in market share were made flustered by digital startups. As the few shopping centers said to be empty of visitors – and some reduce the number of outlets – after the booming e-commerce services in Indonesia. “Natural law” in business seems to start showing results: adapting or slowly dying.

Some retailers are trying to change their approach, for example, Matahari Department Store which finally released an e-commerce portal. Other shopping centers are starting to optimize application-based services, such as the GetPlus loyalty platform at Grand Indonesia. Its vision is to improve the customer experience. So far, the consumer sector is where the disruption impacted the most.

There are two options, to develop independently or collaborate with existing startups. Each option comes with implications. First, if you choose to build a digital foundation independently, you must invest in a variety of resources including infrastructure and experts. As for the second option, a strategic partnership can be one solution and most likely to be effective.

Digital transformation should be fast. Even technology is dynamically evolving. While corporate executives stay focused on improving the core business, they don’t think there’s enough time to create digital solution experiments. Digital products require some process in order to reach market-fit – research, market validation, and others.

Corporates can adjust the synergies with business vision of both. As for the companies in the financial sector, they can collaborate with fintech startups which appropriate to support business development. Companies in the insurance field can start cooperating with insurtech startups to increase the presence and easy access to public services.

After finding a suitable startup and they have proven product-market-fit, further cooperation is required for a more exclusive stage. One way is by giving investments – acquiring a few percent of ownership shares – to related startups. Furthermore, if this soon become a concern to the corporation, they can create a new venture capital sub-company.

Indonesian corporate venture capital

Corporate venture capital (CVC) usually takes form as a separate business unit (subsidiary) that is focused on channeling company investment funds to startups. It involves a strong team to do analysis and screening, in order to find startups that fit the company’s requirements.

CVC is getting popular in Indonesia, along with its achievements – both in terms of strategic partnerships to increase business or exit (IPO or acquired with a higher valuation value) as a mechanism for investors to get financial returns.

Daftar CVC di Indonesia

The investment focus is simple, each company explores the sectors with the highest potential to strengthen corporate lines. As an example, Central Capital Ventura from BCA, it’s targeting startups which provides access to financial convenience for consumers and businesses. The derivatives are quite diverse, ranging from credit platforms, financial technology supporting businesses, to insurance. Apparently, Astra International follows the rule, the company focuses on startups that empower automotive products, around transportation and logistics.

A bigger chance for growth-stage startups

After previously debuting with up to 3.5 trillion Rupiah managed funds. Recently, BRI has re-injected additional capital worth 500 billion Rupiah for BRI Ventures. In addition to increasing the portion of share ownership to 99.97%, it is expected to accelerate the subsidiary. Quite a fantastic number for a business kick-off in the new venture capital business.

Another CVC, Mandiri Capital Indonesia (MCI) has invested in 13 startups by the end of 2019. The CEO, Eddi Danusaputro said to have 50 billion Rupiah ready to be invested in other fintech startups. Their latest lead is the investment to the Halofina financial planning platform in the pre-series A.

The large value poured by corporations into the CVC is not random. From the existing trends, they are usually investing in startups at the growth stage. In this phase, startups are usually have proven the traction of the targeted market. As with Telkomsel Mitra Innovation (TMI), which was recently formed halfway to the end of last year, they made a debut investment to Kredivo’s series C.

A deeper approach was taken by the Telkom Group by establishing the Indigo Creative Nation’s integrated incubation and acceleration program. MDI Ventures is involved to invest in the startups graduated from the program.

More CVC to come

Although it’s not explicit, several companies reportedly participated as Limited Partners (LP) in venture capital. Acting as an LP means that they entrust the designated party to channel funds to the right startup, instead of forming their own team or subsidiary in processing investments from top to bottom.

Digital startups with the success story in demonstrating competitive value in the market and support for the current industry, are believed to attract more corporates involved in the ecosystem, specifically forming CVC. Aside from local case studies, overseas even world-class companies have also intervened in the ecosystem.

The latest news is that several other state-owned companies are also interested in forming a subsidiary in the field of venture capital. BNI and Pegadaian are said to be finalizing an investment strategy to strengthen the company’s business line.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

OCBC NISP Ventura Siapkan 400 Miliar Rupiah untuk Berinvestasi di Startup Fintech, Proptech hingga Edutech

Tantangan disrupsi digital menginspirasi Bank OCBC NISP meluncurkan strategi beyond banking melalui pembentukan  corporate venture capital  (CVC). Bernama “OCBC NISP Ventura”, unit investasi tersebut debut bersama dengan perolehan izin beroperasi dari OJK per Januari 2020.

Kepada DailySocial, Head of Strategy & Innovation OCBC NISP Ka Jit menjelaskan, tujuan pembentukan CVC ini adalah menciptakan ekosistem digital yang mampu menggerakkan transformasi sektor perbankan.

“Kami mendirikan OCBC NISP Ventura untuk menciptakan nilai transformatif dengan memanfaatkan potensi semangat kewirausahaan dan startup di Indonesia dengan jaringan perbankan yang luas untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang terus berkembang,” ujar Ka Jit.

Saat ini situs ocbcnispventura.com tengah dalam persiapan, sebagai kanal informasi terpusat dari unit ventura. Sementara tim internal sudah mulai bekerja, termasuk melakukan analisis mengenai startup potensial yang akan diinvestasi.

“Rekan-rekan founder dapat mengirimkan proposal (pitch-deck) melalui email [email protected],” terangnya.

Siapkan dana 400 miliar Rupiah

Perusahaan juga telah menunjuk Darryl Ratulangi sebagai Managing Director yang akan bertanggung jawab mengemban visi OCBC NISP Ventura. Manajemen bank akan turut serta dalam fungsi pengawasan jalannya perusahaan dengan menempatkan beberapa anggota manajemen sebagai komisaris.

“Sejalan dengan komitmen untuk mengembangkan ekosistem digital di Indonesia, OCBC NISP Ventura akan fokus pada UKM dan startup teknologi yang bergerak di industri pembiayaan bisnis, fintech, properti (proptech), logistik, media, kesehatan (healthtech), pendidikan (edutech), data analisis, e-commerce dan on-demand,” jelas Ka Jit.

Dana senilai 400 miliar Rupiah juga telah disiapkan sebagai modal dasar, dengan kepemilikan 99,9% oleh Bank OCBC NISP. Selain berinvestasi, beberapa program yang akan dijalankan termasuk inkubasi startup dan kemitraan strategis. Di fase awal, perusahaan targetkan bisa membina pengembang solusi digital yang mampu meningkatkan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia.

Perkembangan CVC di Indonesia

Terminologi disrupsi yang santer digaungkan sejak pertengahan dekade terakhir membuat pengembangan CVC di Indonesia cukup kencang. Ini menjadi strategi multi-guna. Selain memberikan peluang keuntungan melalui model bisnis ventura seperti “exit”, juga membuka peluang korporasi untuk menjalin kemitraan strategis dengan startup pengembang platform digital inovatif.

Berdasarkan catatan tim DSResearch per Desember 2019, berikut ini daftar CVC di Indonesia beserta startup binaannya:

Daftar CVC di Indonesia

Dan berikut ini daftar torehan “exit” pemodal ventura lokal sepanjang tahun 2019. CVC milik Telkom Group pimpin perolehan, melalui aksi korporasi akuisisi dan IPO:

MDI Ventures to Release Two More Managed Funds in 2020

MDI Ventures is to release two more managed funds to enhance Telkom Group’s startup investment portfolio from early-stage to the later stage.

MDI Ventures’ Head of Investor Relations & Capital Raising, Kenneth Li said to DailySocial that this step was taken due to the first-round fund distribution has run out in four years.

“True, that is the plan. However, I’m not in the position to share the details because the process is just begun,” he added.

In early December 2019, Telkom Group through MDI Ventures with South Korea-based KB Financial Group established a new managed fund named Centauri Fund.

mdi

Prior to this, halfway through 2019, Telkomsel, a subsidiary in cellular business, created an investment arm named Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) managed by MDI Ventures.

Kenneth affirmed the plan of two new managed funds would create diversity in Telkom Group’s investment portfolio and its subsidiaries.

“Centauri focused on Series A and B. Meanwhile, TMI has a specific requirement from Telkomsel to be a single LP fund and more CVC style with synergy requirement,” he added.

In terms of funding, he said the company is to make another fundraising on every new managed fund.

“[Fundraising] Rp1.4 trillion is only for Centauri Fund. Each fund, [the allocation] is different. Later [there will be] another fundraising,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

MDI Ventures akan Tambah Dua Dana Kelolaan Baru di 2020

Tahun ini MDI Ventures segera menambah dua dana kelolaan baru lagi untuk memperkuat portfolio investasi startup Telkom Group dari tahap early stage sampai later stage.

Head of Investor Relations &  Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li kepada DailySocial mengungkap bahwa penambahan ini dikarenakan alokasi dana putaran pertama selama empat tahun sudah habis.

“Ya betul itu rencananya. Tapi, saya belum bisa share detailnya seperti apa karena kami baru mulai prosesnya,” ujar Kenneth.

Awal Desember 2019 lalu, Telkom Group melalui MDI Ventures dan KB Financial Group asal Korea Selatan juga membentuk dana kelolaan baru bernama Centauri Fund.

MDI Ventures

Mundur lagi, di pertengahan 2019, anak usaha di bisnis seluler Telkomsel membentuk unit investasi baru, yaitu Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) yang akan dikelola oleh MDI Ventures.

Kenneth menegaskan bahwa rencana pembentukan dua dana kelolaan baru ini akan mengisi ragam portofolio pendanaan Telkom Group dan anak usahanya.

“Centauri fokus pada seri A dan B. Sementara, TMI punya spesifik requirement dari Telkomsel sehingga jadi single LP fund dan style-nya lebih CVC dengan synergy requirement,” tambahnya.

Dari sisi pendanaan, ia menyebut bahwa pihaknya akan melakukan penggalangan dana lagi pada setiap dana kelolaan baru.

“[Penggalangan dana] Rp1,4 triliun itu hanya untuk Centauri Fund. Setiap fund, [alokasinya] beda-beda. Nanti [ada] fundraising lagi,” katanya.

Modal Ventura Korporasi Jadi Cara Jitu Hadapi Disrupsi

Pada bulan Juni 2010, aplikasi UberCab diluncurkan di San Francisco untuk memudahkan masyarakat memesan taksi. Tak butuh waktu lama, platform tersebut populer di seluruh kawasan setempat, kendati tarif layanan yang dikenakan jadi lebih mahal. Pengguna mau membayar lebih untuk efisiensi yang didapat.

Lima bulan kemudian perusahaan mendapatkan pendanaan awal $1,25 juta dari sejumlah investor. Merek pun diubah menjadi Uber karena mengakomodasi jasa transportasi yang merangkul pengemudi di luar taksi. Februari awal tahun berikutnya, Uber umumkan pendanaan seri A $11 juta.

Mantap dengan valuasi $60 juta, mereka resmikan kehadiran di New York. Masyarakat antusias dengan layanan baru tersebut, bahkan di fase awal wilayah ini jadi pangsa pasar terbesar Uber. Beberapa perusahaan taksi mulai menyerukan penolakan keras, mempertanyakan legalitas bisnis.

Akhir tahun 2011, Uber amankan pendanaan seri B senilai $32 juta, termasuk dari Jeff Bezos. Ekspansi internasional pun dimulai, Paris jadi sasaran utama. Umpan balik dari konsumen, soal harga dan ketersediaan, membuat perusahaan merilis berbagai varian produk, termasuk UberX untuk opsi layanan terjangkau.

Pertengahan tahun 2013, Uber ekspansi ke India dan Afrika. Dibarengi dengan pendanaan seri C senilai $258 juta. Valuasi perusahaan tembus $3,76 miliar, resmi dapatkan gelar unicorn. Lalu Juli 2016 mereka dapatkan pendanaan baru lagi $1,2 miliar dan membawa perusahaan pada valuasi decacron $17 miliar.

Singkat cerita, dengan dinamika bisnis yang ada termasuk ekspansi, perampingan bisnis dan pendanaan lanjutan, pada Mei 2019 mereka melakukan IPO di NYSE dengan kapitalisasi pasar menyentuh $75,5 miliar.

Dari perjalanan bisnis tersebut, ada beberapa hal yang bisa digaris bawahi: (1) bisnis yang berkembang cepat, (2) bisnis yang mengganggu, (3) bisnis dengan pertumbuhan nilai fantastis.

Terminologi “disrupsi” jadi momok

Model bisnis Uber lalu banyak direplikasi, termasuk oleh Gojek dengan menyertakan kearifan lokal – dalam hal ini moda transportasi ojek. Setelah jalankan bisnis dengan cara semi-konvensional sejak tahun 2011, pada 7 Januari 2015 mereka perkenalkan aplikasi perdana di platform Android dan iOS. Waktu itu menyajikan layanan transportasi, kurir instan dan belanja.

Sama dengan Uber, layanan yang disajikan banyak diminati. Traksi melonjak tinggi dari waktu ke waktu, juga dukungan finansial dari investor. Pun demikian soal isu penolakan, baik oleh kalangan pengemudi ojek dan perusahaan transportasi, mereka juga sempat merasakannya. Bahkan beberapa kali mendapatkan “tekanan” regulasi, karena belum adanya payung hukum yang mengakomodasi model bisnis tersebut, waktu itu.

Itu baru dari ride-hailing, nyatanya masih terus bermunculan berbagai platform baru (e-commerce, digital wallet, SaaS, online learning dan lain sebagainya) yang coba menggantikan proses bisnis tradisional, juga mendapatkan sambutan luar biasa di tengah makin tingginya jumlah pengguna ponsel pintar di Indonesia. Sontak istilah “disrupsi” menjadi bahasan utama di berbagai pemberitaan, diskusi publik, hingga publikasi ilmiah.

Banyak perusahaan yang sudah melenggang sebelumnya merasa perlu untuk mengikuti tren yang ada, agar tidak tersingkir. Pada akhirnya jargon “transformasi digital” pun jadi ramai dikampanyekan. Pebisnis berbondong-bondong go-digital, mencoba mengadopsi teknologi terkini untuk mengakselerasi model bisnis. Dari yang paling sederhana seperti membuat akun media sosial untuk pemasaran, hingga menerapkan konsep ilmu data ke dalam bisnis.

Teknologi memiliki peran penting dalam disrupsi. Terlebih ia telah memiliki medium yang tepat untuk menghubungkan suatu layanan kepada penggunaanya, yakni perangkat komputasi – termasuk ponsel pintar. Jika tidak melalui aplikasi mobile, mungkin pertumbuhan Uber, Gojek, Tokopedia, Moka, Bridestory dan startup lainnya tidak secepat itu.

Kemitraan strategis melalui investasi

Banyak perusahaan besar yang sebelumnya moncer di pangsa pasar dibikin kalang kabut oleh startup digital. Sebut saja beberapa pusat perbelanjaan yang mengaku sepi pengunjung –dan sebagian mengurangi jumlah gerai—pasca booming layanan e-commerce di Indonesia. “Hukum alam” dalam bisnis tampaknya mulai tampakkan hasil: turut beradaptasi atau pelan-pelan mati.

Beberapa peritel mencoba mengubah pendekatan, misalnya Matahari Departement Store yang akhirnya merilis portal e-commerce. Pusat perbelanjaan lain mulai mengoptimalkan layanan berbasis aplikasi, seperti platform loyalty GetPlus di Grand Indonesia. Visinya pada peningkatan pengalaman pelanggan. Sejauh ini sektor consumer memang yang terlihat paling merasakan dampak disrupsi.

Pilihan memang ada dua, mengembangkan secara mandiri atau berkolaborasi dengan startup yang ada. Masing-masing punya implikasi. Pertama, jika memilih membangun pondasi digital secara mandiri, maka harus berinvestasi pada berbagai sumber daya termasuk infrastruktur dan pakar. Sementara untuk opsi kedua, jalinan kemitraan strategis dapat menjadi solusi, dan tampaknya jadi yang paling efektif untuk diadopsi.

Perubahan menuju ranah digital harus dilakukan secara cepat. Pasalnya teknologi itu sendiri berkembang sangat dinamis. Sementara eksekutif di korporasi harus tetap fokus pada peningkatan komoditas bisnis utamanya, merasa tidak punya waktu lebih untuk melakukan percobaan membuat solusi digital. Produk digital yang mencapai market-fit membutuhkan proses yang tidak sederhana – harus melakukan riset, validasi pasar, dan lain-lain.

Korporasi dapat menyesuaikan sinergi yang akan dibangun dengan visi bisnis yang dijalankan. Sebut saja untuk perusahaan di bidang finansial, mereka dapat merangkul startup fintech yang sesuai untuk mendukung pengembangan bisnis. Perusahaan di bidang asuransi, dapat mulai menggandeng startup insurtech untuk meningkatkan kehadiran dan kemudahan akses layanan ke publik.

Setelah menemukan startup yang sesuai dan mereka telah membuktikan product market-fit, selanjutnya dibutuhkan kerja sama untuk tahapan yang lebih eksklusif. Salah satunya dengan memberikan investasi –mengakuisisi beberapa persen kepemilikan saham—kepada startup terkait. Lantas jika inisiatif pengembangan kerja sama strategis ini menjadi perhatian khusus korporasi, pembentukan sub-perusahaan modal ventura dapat dilakukan.

Modal ventura korporasi di Indonesia

Modal ventura korpoarasi atau lebih dikenal dengan istilah corporate venture capital (CVC) umumnya berbentuk unit usaha terpisah (anak perusahaan) yang difokuskan untuk menyalurkan dana investasi perusahaan ke startup. Di dalamnya terdapat tim yang kuat untuk melakukan analisis dan penyaringan, guna menemukan startup yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

Praktik pembentukan CVC mulai populer di Indonesia, seiring dengan kesuksesan yang berhasil ditorehkan – baik dalam bentuk kemitraan strategis dalam rangka peningkatan bisnis ataupun exit (IPO atau diakuisisi dengan nilai valuasi yang lebih tinggi) sebagai mekanisme investor dapatkan keuntungan finansial.

Daftar CVC di Indonesia

 

Fokus investasinya pun mudah dibaca, masing-masing mendalami sektor yang berpotensi untuk memperkuat lini korporasi. Ambil contoh Central Capital Ventura besutan BCA, portofolio yang disasar startup yang memberikan akses kemudahan finansial bagi konsumen maupun bisnis. Turunannya cukup beragam, mulai platform kredit, teknologi pendukung bisnis finansial, hingga asuransi. Pun demikian Astra Internasional yang fokus pada startup yang memberdayakan produk otomotif, seputar transportasi dan logistik.

Porsi lebih untuk startup tahap berkembang

Setelah sebelumnya debut dengan dana kelolaan hingga 3,5 triliun Rupiah. Beberapa waktu terakhir BRI kembali menyuntik modal tambahan senilai 500 miliar Rupiah untuk BRI Ventures. Selain untuk meningkatkan porsi kepemilikan saham menjadi 99,97%, diharapkan mampu mengakselerasi anak perusahaannya tersebut. Angka yang fantastis untuk kick-off bisnis modal ventura baru.

CVC lain, Mandiri Capital Indonesia (MCI) telah berinvestasi ke 13 startup hingga akhir tahun 2019. CEO Eddi Danusaputro menyebutkan di tahun ini mereka masih punya amunisi 50 miliar Rupiah untuk diinvestasikan ke startup fintech lainnya. Terbaru mereka pimpin pendanaan pengembang platform perencanaan keuangan Halofina dalam putaran pra-seri A.

Nilai besar yang dikucurkan oleh korporasi ke CVC bukan tanpa alasan. Dari tren pendanaan yang ada, rata-rata mereka berinvestasi untuk startup di tahap berkembang (growth stage). Di fase ini startup biasanya sudah mampu membuktikan traksi dari ceruk pasar yang disasar. Seperti halnya Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) yang baru dibentuk pertengahan tahun lalu, debut investasi pada putaran seri C Kredivo.

Pendekatan yang lebih mendalam dilakukan Telkom Group dengan membentuk program inkubasi dan akselerasi terpadu Indigo Creative Nation. MDI Ventures dilibatkan untuk mendanai startup yang dinyatakan lulus dari program tersebut.

Diproyeksikan akan makin banyak CVC

Meskipun tidak secara eksplisit mengumumkan keterlibatannya berinvestasi ke startup, beberapa perusahaan dikabarkan turut menjadi Limited Partner (LP) di  venture capital. Bertindak sebagai LP artinya mereka mempercayakan kepada pihak yang ditunjuk untuk menyalurkan dana ke startup yang tepat, alih-alih membentuk tim atau anak perusahaan sendiri dalam memproses investasi dari hulu ke hilir.

Startup digital yang berhasil tunjukkan nilai kompetitif di pasar dan dukungannya terhadap industri yang sudah berjalan, diyakini akan menarik perhatian lebih banyak korporasi untuk terlibat ke dalam ekosistem, khususnya membentuk CVC. Selain studi kasus dari dalam negeri, sebenarnya di luar negeri pun perusahaan kelas dunia juga sudah turun tangan ke dalam ekosistem.

Kabar terkini beberapa perusahaan milik negara lain juga tertarik untuk membentuk anak usaha di bidang modal ventura. Bank BNI dan Pegadaian disebut-sebut tengah matangkan strategi investasi untuk perkuat lini binsis perusahaan.

EV Growth Bukukan 3,4 Triliun Rupiah dalam Penggalangan Dana Pertamanya

EV Growth, perusahaan modal ventura hasil joint-venture East Ventures, SMDV, dan Yahoo! Japan Capital, hari ini (30/12) mengumumkan telah membukukan $250 juta (hard cap) setara 3,4 triliun Rupiah dalam pengumpulan dana pertamanya. Angka ini melebihi nominal yang ditargetkan sebelumnya, yakni $150 juta. Temasek dan beberapa perusahaan keluarga di kawasan Asia turut terlibat dalam putaran ini sebagai LP (Limited Partner).

Perusahaan mengklaim, saat ini mereka telah menyalurkan lebih dari 50% total dana yang dikumpulkan ke dalam 20 kesepakatan pendanaan. Sebanyak 80% startup yang mendapatkan kucuran dana dari Indonesia. Turut diinformasikan internal rete of return pendanaan berkisar 36%.

Sejak didirikan pada Maret 2018, pemodal ventura berbasis di Singapura tersebut sudah mengucurkan dana investasinya ke beberapa startup, termasuk pendanaan seri C Ruangguru, seri D Sociolla, seri B Warung Pintar, dan sebagainya.

“Pengalaman operasi perusahaan kami, kecepatan transaksi, pengetahuan lokal dan jaringan regional telah membantu kami mendapatkan beberapa penawaran terbaik di wilayah ini. Kami berencana untuk menggelontorkan $325 juta untuk startup Asia Tenggara yang menggabungkan pendanaan aktif untuk tahap perusahaan awal dan perusahaan fase pertumbuhan,” ujar Willson Cuaca, selaku Managing Partner EV Growth sekaligus Co-Founder East Ventures.

Selain Willson, EV Growth turut dinakhodai oleh Roderick Purwana dari SMDV, dan Shinichiro Hori dari Yahoo! Japan Capital. Tidak hanya di Indonesia, fokusnya menyasar startup di seluruh Asia Tenggara.

Tahun 2019 Startup Indonesia Bukukan Pendanaan Lebih dari 40 Triliun Rupiah, Pemodal Ventura Lokal “Exit” 14 Kali

Tampaknya bukan tidak mungkin jika Indonesia bisa menjadi digital archipelago yang memimpin industri internet di Asia Tenggara. Pertumbuhan cepat bisnis dan startup teknologi mulai memberikan dampak secara masif. Dibuktikan dengan banyak hal, termasuk kepercayaan investor untuk menanamkan modal.

Setiap tahun DailySocial menerbitkan laporan riset bertajuk “Startup Report”, mencatat dinamika dan tren pasar dalam sektor digital. Termasuk untuk tahun 2019, akan ada riset khusus yang mencatat hal-hal menarik dalam industri. Laporan terbaru direncanakan akan diluncurkan pada awal tahun 2020.

Sebagai gambaran awal, kami mencoba menyajikan beberapa temuan menarik untuk Startup Report 2019, khususnya terkait pendanaan. Dari 59 pendanaan yang diumumkan nominalnya, total yang didapat mencapai $2,8 miliar atau setara 40,2 triliun Rupiah. Sementara masih ada 44 transaksi pendanaan lain yang tidak disebutkan nominalnya ke publik.

Selain itu, ada beberapa tren menarik lainnya, berikut ulasan singkatnya:

Sektor finansial masih menarik banyak perhatian investor

Pendanaan Startup Indonesia 2019

Per tanggal 18 Desember 2019, tim DSResearch mencatat ada 110 transaksi pendanaan yang diumumkan oleh startup dan/atau investor Indonesia. Dari jumlah tersebut, sektor finansial dapatkan porsi terbanyak dengan 23 transaksi, disusul SaaS (9), e-commerce (8), dan logistik (6).

Hal ini sesuai yang diprediksikan dalam laporan tahun lalu, bahwa fintech akan semakin menggeliat. Banyak faktor yang mendasari, pertama adalah potensi pasar. Kalangan unbankable di tanah air masih mendominasi, berasal dari kota tier satu sampai tiga. Kedua, regulasi yang semakin terbuka dengan para pelaku usaha. Ketiga, masyarakat mudah beradaptasi dengan pendekatan digital.

Riset khusus mengenai sektor fintech juga sudah diterbitkan sebelumnya melalui Fintech Report 2019.

Pendanaan untuk startup tahap awal mengucur deras

Pendanaan Startup Indonesia 2019

Pendanaan awal (seed funding) masih mendapatkan porsi terbesar, disusul oleh pendanaan seri A. Secara umum investasi tersebut dikucurkan oleh investor kepada startup baru yang sudah berhasil memvalidasi produknya ke pasar, hingga menghasilkan traksi. Tahun ini kategorinya cukup beragam, mulai dari startup penyedia layanan berbasis kecerdasan buatan, platform investasi, kesehatan, dan lain-lain.

Di tahap lanjut, startup Indonesia juga masih dapatkan jumlah yang cukup banyak untuk seri B ke atas ada 27 transaksi yang dibukukan. Sektor finansial dan e-commerce masing-masing mendapatkan 5 transaksi tahap lanjut. Diteruskan car marketplace dan pendidikan masing-masing 2 transaksi.

Gojek mendominasi capaian transaksi pendanaan

Pendanaan Startup Indonesia 2019

Pasca perolehan dari Cool Japan Fund, pendanaan seri F Gojek disebutkan telah capai $2 miliar dari target $3 miliar, dan akan ditutup per Januari 2020. Capaian ini, selain mengukuhkan perusahaan jadi lokal decacorn pertama, juga jadi nominal transaksi pendanaan terbesar yang didapatkan startup Indonesia.

Dilanjutkan Kredivo yang mendapatkan pendanaan dalam dua babak, yakni seri C dan debt funding. Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund, Telkomsel Mitra Inovasi, MDI Ventures, Cathay Innovation, Partners for Growth jadi beberapa investor yang terlibat.

Transaksi paling banyak di kuartal ketiga

Pendanaan Startup Indonesia 2019

Pada kuartal ketiga, bulan Juli-September, ada sekitar 36 transaksi pendanaan yang terjadi. Jadi yang terbanyak jika dibandingkan dengan periode waktu sebelum dan sesudahnya. Namun jika melihat dari sisi nominalnya, kuartal di awal dan akhir tahun lebih mendominasi. Di periode tersebut startup unicorn dan centaur mengumumkan perolehan pendanaan barunya.

14 exit melalui akuisisi dan IPO

Venture Capital Indonesia 2019

Tahun ini ada 14 exit yang berhasil dicatatkan oleh pemodal ventura lokal. MDI Ventures memimpin perolehan dengan 3 catatan akuisisi dan 2 IPO. Beberapa startup yang berhasil membawa investornya exit adalah Whispir, Bridestory, Jualo, FemaleDaily, dan sebagainya.


Disclosure: Data yang ditampilkan berdasarkan temuan DSResearch dari berbagai transaksi yang diumumkan ke publik per 18 Desember 2019. Ada potensi terjadi perubahan data, berupa penambahan jumlah atau nominal transaksi, pada laporan mendatang.