Samsung Luncurkan Chipset 5 nm Pertamanya, Exynos 1080

Seperti biasa menjelang pergantian tahun, produsen chipset smartphone sibuk menyiapkan chipset anyar yang bakal mengotaki banyak ponsel di tahun berikutnya. Tidak terkecuali Samsung, yang baru memperkenalkan chipset anyar untuk smartphone kelas menengah, yaitu Exynos 1080.

Sesuai namanya, Exynos 1080 merupakan penerus langsung dari Exynos 980 yang dipakai di Galaxy A71 dan A51 versi 5G, plus sejumlah smartphone bikinan Vivo. Tentu saja 5G kembali menjadi fokus di sini, dan Samsung tidak lupa menambahkan dukungan terhadap jaringan 5G mmWave yang punya kecepatan jauh lebih tinggi sekaligus jangkauan lebih terbatas.

Untuk performanya sendiri, Exynos 1080 mengandalkan prosesor 8-core yang dibagi menjadi tiga klaster: satu core Cortex-A78 dengan clock speed 2,8 GHz, tiga core Cortex-A78 dengan kecepatan 2,6 GHz, dan empat sisanya adalah core Cortex-A55 2.0 GHz yang irit daya. GPU yang digunakan sendiri adalah Mali-G78 MP10.

Kebetulan Exynos 1080 juga merupakan chipset pertama Samsung yang dibuat menggunakan proses pabrikasi 5 nanometer, yang berarti ia pasti lebih efisien daripada generasi sebelumnya. Kalau boleh menebak, sepertinya 2021 bakal menjadi tahunnya chipset 5 nm. Sejauh ini kita sudah melihat teknologi tersebut dipakai oleh Apple, Huawei, dan sekarang Samsung. Rumornya, Qualcomm juga bakal menyusul tidak lama lagi.

Samsung merancang Exynos 1080 agar dapat menampung RAM tipe LPDDR4x maupun LPDDR5, tidak ketinggalan pula storage UFS 3.1. Exynos 1080 juga siap menghadirkan fitur flagship pada smartphone kelas mid-range, spesifiknya dukungan terhadap layar dengan refresh rate yang tinggi; antara 90 Hz dengan resolusi WQHD+, atau 144 Hz dengan resolusi FHD+.

Terkait kemampuannya mengolah gambar, Exynos 1080 siap ditandemkan dengan kamera beresolusi 200 megapixel, atau sepasang kamera yang masing-masing beresolusi 32 megapixel. Resolusi maksimum perekaman video yang didukung adalah 4K 60 fps.

Lagi-lagi ponsel pertama yang ditenagai oleh Exynos 1080 bakal datang dari Vivo terlebih dulu pada awal 2021. Kita juga tidak perlu terkejut seandainya chipset ini kembali hadir pada seri Galaxy A.

Sumber: SlashGear.

Tips dan Persiapan Produksi Video Layaknya Sebuah Film

Bagi yang memiliki cita-cita ingin menjadi seorang filmmaker dan membuat film sendiri, kalian harus percaya bahwa itu bukan hal mustahil. Itu juga yang saya yakini setelah mengikuti sesi workshop kedua Galaxy Movie Studio 2020 (GMS 2020) dari Samsung, bersama dengan sutradara dan produser Lala Timothy.

GMS 2020 kali ini berkolaborasi dengan Cerita Sinema Workshop Festival Film Indonesia (FFI) dan pada sesi workshop kedua ini dipandu oleh Dennis Adhiswara. Lala menjelaskan kepada peserta GMS 2020 mengenai proses pra-produksi pembuatan film, ia menekankan pentingnya memahami workflow dan selalu menjaga profesionalitas di setiap tahapan produksi.

Setiap kali terlibat di pembuatan film, baik dengan budget kecil maupun besar, kita perlu memiliki tanggung jawab dan etika. Film itu mahal, baik yang besar atau kecil, bahkan dengan smartphone sekalipun. Karenanya kita perlu mengerti struktur finansial dalam sebuah produksi film. Untuk film komersial maupun film pendek, sponsorship dan kerja sama dengan brand adalah salah satu source of income”, ujarnya.

Dalam proses pembuatan film, ada tiga tahapan yaitu pre production, production, dan post production. Lala pun menjelaskan, persiapan dan pekerjaan pada tiap tahapan luar biasa banyak, serta melibatkan banyak sekali staff/kru. Sang produserlah yang bertanggung jawab dan mengambil keputusan. Kuncinya adalah disiplin, pakai workflow yang benar. Melakukan koordinasi dan manajemen, baik orang maupun waktu.

Lebih lanjut, beberapa proses yang dilakukan dalam tahap pra-produksi antara lain adalah menentukan jadwal pengambilan gambar, mencari lokasi, menyusun anggaran biaya, mencari/mengaudisi calon pemeran, mengurus perizinan, menentukan staf dan kru produksi, hingga mengurus penyewaan peralatan produksi film.

Bikin Film Pakai Kamera Smartphone

Samsung-Galaxy-Movie-Studio-2020---Pra-Produksi-Workshop-bersama-Sheila-Timothy-3

Tujuan Galaxy Movie Studio 2020 ialah mengajak anak muda Indonesia membuat video bercerita seperti layaknya film. Setelah memahami bagaimana workflow pembuatan film secara profesional, harapannya bisa langsung dipratikkan.

Dulu film yang dibuat pasti untuk masuk bioskop, sekarang ada banyak layanan streaming digital seperti Netflix dan kawan-kawannya, bahkan kita bisa merilis film pendek atau video bercerita karya kita di YouTube. Soal peralatan produksi juga bukan lagi masalah, bisa sewa atau pakai kamera smartphone pun jadi.

Langkah-langkahnya mari mulai dari ide, setelah itu mengembangkan konsepnya dari satu cerita. Sebaiknya melakukan berbagai riset dulu, lalu lanjut membuat script dan shoot list. Dari script tersebutlah kita bisa menyiapkan budget plan dan financial structure, untuk kru bisa ajak teman terdekat atau keluarga.

Nah kalau pakai smartphone terbaru Samsung seperti Galaxy Note20 series, pada aplikasi kameranya ada fitur mode video Pro. Layaknya pakai kamera mirrorless, berbagai paramater seperti ISO, shutter speed, expsoure compensation, dan manual fokus bisa diatur sendiri. Yang juga sangat menarik, kemampuan 8K, bisa pilih mikrofon, frame rate tinggi di 4K, fitur zoom untuk variasi pengambilan gambar, rasio lebar 21:9, dan ada banyak lagi.

Tidak hanya sebagai alternatif peralatan produksi film, Lala juga berbagi cerita bahwa Galaxy Note20 series dapat digunakan untuk menjaga komunikasi yang efektif bersama dengan tim produksi. “Saya sangat terbantu dengan Samsung S Pen dan yang lebih asiknya, saat dapat ide bisa kasih komen dan langsung di-export ke PDF, Word dan PowerPoint. Di proses pembuatan film, waktu adalah ‘barang mewah’, jadi adanya Samsung sangat meningkatkan produktivitas,” ujar Lala.

Taufiqul Furqan selaku Product Marketing Manager Samsung Mobile, Samsung Electronics Indonesia menambahkan. Fitur-fitur yang ada pada Samsung Galaxy Note20 series bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pengguna, termasuk bila ingin digunakan dalam proses pembuatan video. Integrasi yang seamless antara perangkat handheld ke SmartTV maupun desktop bisa digunakan untuk keperluan presentasi yang lebih optimal.

Finalis yang terpilih mengikuti GMS 2020 mendapatkan kesempatan untuk mengoptimalkan produktivitas dan mengeksplor kekreativitasan dengan menggunakan Samsung Galaxy Note20. Dalam waktu 7 hari setelah sesi workshop berakhir pada akhir bulan November nanti, para finalis diwajibkan untuk mengumpulkan karya video layaknya sebuah film kepada GMS 2020 dan FFI untuk kemudian dinilai dan dipilih empat pemenang terbaik.

Karya tersebut akan dinilai dan dijurikan oleh deretan sineas professional tanah air seperti Yandy Laurens, Nia Dinata dan Dian Sastrowardoyo. Pemenang kompetisi akan mendapatkan hadiah berupa uang tunai sebesar Rp30.000.000 dan Samsung Galaxy Note20 Ultra untuk Best Picture, uang tunai sebesar Rp20.000.000 dan Samsung Galaxy S20 Ultra untuk Best Cinematography, uang tunai sebesar Rp15.000.000 dan Samsung Galaxy S20 Ultra untuk Best Screenplay, dan Samsung Galaxy S20 FE untuk People’s Choice.

Gambar image: Depositphotos

Bisnis Merchant Sokong Pertumbuhan Gojek Tahun 2020

Gojek mengungkapkan kenaikan total nilai transaksi di dalam platform grup Gojek, diukur dengan matriks Gross Transaction Value (GTV) bukukan peningkatan sebesar 10% atau senilai $12 miliar (hampir Rp170 triliun) pada tahun ini. Disebutkan juga, pengguna aktif bulanan Gojek mencapai 38 juta orang di seluruh Asia Tenggara dan memiliki 900 ribu merchant.

Memasuki satu dekade, Gojek juga sesumbar dengan pencapaian lainnya. GTV yang dihasilkan dari GoPay diklaim telah melampaui sebelum pandemi, meski tidak disertai dengan angka pendukung.

Dikatakan juga transaksi GoPay di ranah online naik 2,7 kali lipat pada Oktober 2020 dibandingkan bulan yang sama di tahun sebelumnya. Lalu, untuk transaksi PayLater naik 2,7 kali lipat, dan donasi yang disalurkan naik 2 kali lipat sejak awal tahun.

Adapun untuk GTV layanan grocery (GoMart dan GoShop) disebutkan tumbuh 500% pada 2020. Kenaikan ini selaras dengan perpindahan kebiasaan konsumen yang tadinya biasa berbelanja kebutuhan secara offline, beralih ke online akibat pandemi.

Gojek melakukan banyak pengembangan di produk strategis ini demi memenuhi kebutuhan pengguna dan membuka peluang lebih banyak pengusaha mikro mulai berjualan online. Salah satu inovasinya adalah otomatisasi yang berhasil meningkatkan efisiensi dan kualitas performa aplikasi, contohnya GoBiz self-serve onboarding dan CareTech ticket automation.

“Dalam tahun-tahun sebelumnya, GoMart dan GoShop pertumbuhannya enggak sebaik industri online lainnya. Tapi sekarang jadi banyak orang yang pilih opsi online sejak terjadi pandemi,” ujar Co-CEO Gojek Kevin Aluwi saat konferensi pers secara virtual, Kamis (12/11).

Layanan inti kemungkinan tidak tumbuh signifikan

Hal lainnya yang dipaparkan oleh Gojek adalah klaim empat layanan utamanya, yakni GoCar, GoRide, GoSend, dan GoFood, telah meraup laba operasional di luar biaya headquarter (HQ) atau dikenal dengan istilah contribution margin positive pada tahun ini.

Dalam penjelasan sederhana, contribution margin adalah saat Anda membuat produk atau memberikan layanan, lalu mengurangi biaya variabel pengiriman produk itu, dan pendapatan yang tersisa disebut margin kontribusi.

Yang menarik dari klaim Gojek ini adalah kalimat “di luar biaya HQ”, artinya Gojek tidak memasukkan rincian pengeluaran operasional rutin, seperti gaji karyawan, listrik, internet, dan sebagainya ke dalam komponen perhitungan untuk memperkuat klaimnya tersebut.

Diibaratkan, Gojek hanya menghitung laba yang didapat dari setiap transaksi yang terjadi di empat layanan tersebut. Lalu diputar kembali untuk pengembangan inovasi lainnya. Klaim seperti ini sah-sah saja.

Namun jika melihat data yang ada, bisnis ride-hailing memang belum bisa dikatakan pulih akibat Covid-19. Data terbaru dari e-Conomy SEA 2020 menunjukkan tren yang masih minus hingga Oktober 2020. Di Indonesia, dari survei yang dilakukan, sepanjang pandemi 48% responden mengurangi penggunaan layanan tersebut.

Data ride-hailing e-Conomy SEA 2020 / Google, Temasek, Bain & Company
Data ride-hailing e-Conomy SEA 2020 / Google, Temasek, Bain & Company

Co-CEO Gojek Andre Soelistyo menerangkan, contribution margin positive ini penting buat kinerja perusahaan karena setiap profit yang dihasilkan dari transaksi di dalam aplikasi Gojek dapat diputar untuk pengembangan inovasi berikutnya. Perusahaan pun tidak lagi harus bergantung pada investasi dari eksternal.

“Mulai tahun ini, inovasi yang kami lakukan bisa dibiayai dari internal cashflow, tidak lagi bergantung dari investasi eksternal. Dengan kondisi pandemi seperti ini begitu penting karena ini adalah kunci dari sustainability, ada keseimbangan bisnis,” terangnya.

Menurut dia, pencapaian ini sangat baik terlebih di tengah pandemi, sebab sejalan dengan fokusnya yang ingin memperkuat fundamentalnya sebagai perusahaan berkelanjutan.

Andre melanjutkan, pada tahun ini pihaknya juga berinvestasi pada infrastruktur dan integrasi platform Gojek secara global. Bentuk realisasinya adalah mengintegrasikan aplikasi Gojek secara global di Indonesia, Singapura, Vietnam, dan Thailand.

Ini adalah langkah strategis untuk memperkuat brand di pasar internasional, sekaligus memberikan keleluasaan untuk mempercepat pengembangan layanan di negara-negara Gojek beroperasi.

“Dengan adanya satu app, semua teknologi yang kami buat di Indonesia bisa diotomatisasi ke negara-negara lain secara lebih cepat. Konsumen di ASEAN bisa merasakan layanan yang kami kembangkan,” tutup Andre.

Application Information Will Show Up Here

Pentingnya Meningkatkan Daya Saing Tim Papan Bawah di MPL ID

Sudah hampir satu bulan berlalu sejak Mobile Legends Professional League Indonesia Season 6 selesai. Walau demikian, sepertinya masih banyak hal menarik yang bisa dibahas dari salah satu liga esports terbesar Indonesia tersebut. Terakhir kali, Chief Editor kami sempat mengupas di balik konsistensi RRQ yang berhasil menjadi juara sebanyak 3 kali sepanjang sejarah MPL ID berjalan.

Kemenangan RRQ Hoshi di gelaran MPL tentu patut diapresiasi. Apresiasi tersebut jadi perlu dilakukan mengingat hanya segelintir tim esports bisa tampil konsisten dari musim ke musim. Sejauh ini mungkin hanya Bigetron RA saja yang konsistensinya mirip seperti RRQ Hoshi — meski di berbeda skena esports. Bahkan kalau kita bandingkan dengan olahraga, tim sepakbola yang punya manajemen jauh lebih mapan saja belum tentu bisa konsisten jadi juara atau berada di peringkat 4 besar dari musim ke musim.

Terlepas dari hal tersebut, kemenangan RRQ Hoshi tersebut juga memancing topik obrolan lain. Apakah kemenangan RRQ akan membuat ekosistem liga jadi lebih baik? Pertanyaan tersebut muncul mengingat performa tim 4 besar di MPL (RRQ, EVOS, ONIC, Alter Ego) terbilang terbilang dominan sejak model franchise diterapkan mulai dari MPL ID Season 4. Menariknya, bukan hanya performa baik yang jadi konsistensi di dalam MPL ID. Ada juga tim-tim lain yang terlihat konsisten mengisi papan bawah.

Melihat fenomena ini, saya jadi bertanya-tanya sendiri. Apakah ada yang salah dari sistem kompetisi MPL ID? Apakah perlu sistem baru untuk meningkatkan daya saing tim-tim yang terseok? Kalau iya, sistem seperti apa yang tepat agar tim papan bawah bisa naik kelas? Simak sedikit pembahasan dari saya berikut ini.

 

AURA Esports dan Geek Fam ID yang Terseok Sejak MPL ID Season 4

Sebelum menuju ke pembahasan, mari saya jelaskan dahulu kenapa MPL ID Season 4 menjadi patokan. Kenapa saya berpikir operator liga perlu meningkatkan daya saing tim papan bawah dan kenapa AURA Esports serta Geek Fam ID yang saya jadikan contoh.

Alasan atas opini saya tersebut adalah karena penerapan model Franchise di MPL ID Season 4. Dalam model Franchise, tim yang ingin bergabung ke dalam liga harus menginvestasikan sejumlah uang. Sistem tersebut mungkin terdengar baru bagi khalayak Indonesia walaupun model tersebut sudah umum di ekosistem olahraga Amerika Serikat. Dalam konteks MPL Indonesia, biaya investasi yang dibutuhkan untuk masuk ke dalam liga adalah sebesar US$1 juta atau sekitar Rp15 miliar.

Jika semua tim yang ada di dalam MPL ID membayar biaya investasi yang sama, bukankah artinya 8 tim peserta liga berhak mendapatkan  keuntungan yang sama?

Bagaimana maksudnya memberikan keuntungan yang sama ke semua yang investasi? Dalam liga olahraga Amerika Serikat, salah satu arti setara adalah kesempatan lebih besar merekrut pemain berbakat apabila posisi suatu tim terseok di musim sebelumnya. Lebih lanjut kita akan membahas sistem tersebut nanti.

Kembali ke pembahasan MPL ID, lalu kenapa AURA Esports dan Geek Fam ID menjadi contoh? Mari saya ajak Anda melihat catatan menang-kalah kedua tim tersebut sejak dari MPL ID Season 4. Kalau boleh jujur, Geek Fam ID mungkin bisa dibilang menjadi tim MPL ID yang nasibnya paling nahas sepanjang perjalanan MPL ID sejak dari Season 4 sampai Season 6.

Selama kurang lebih satu tahun setengah dan 3 musim berjalan, Geek Fam ID tidak pernah satu kali pun lolos ke babak Playoff MPL ID. Di Season 4 mereka mengakhiri babak Regular Season di peringkat ke-7 dengan catatan menang-kalah 3-11. Di Season 5 mereka mengakhiri babak Regular Season di peringkat ke-8 dengan catatan menang-kalah 3-11. Di Season 6 kemarin mereka kembali mengakhiri babak Regular Season di peringkat ke-7 dengan catatan menang-kalah 2-12.

Sumber: MPL ID
Klasemen akhir MPL ID Season 4. Sumber: MPL ID
Sumber: MPL ID
Klasemen akhir MPL ID Season 5. Sumber: MPL ID
Sumber: MPL ID
Klasemen Akhir MPL Season 6. Sumber: MPL ID

AURA Esports mungkin terbilang jadi tim ternahas urutan ke-2 setelah Geek Fam ID. AURA Esports sempat tampil tangguh pada saat model franchise pertama diterapkan di MPL ID Season 4. Ketika itu, sang rubah api mendapat peringkat 4 dengan catatan menang-kalah 7-7. Tetapi, setelah itu, performa AURA Esports berangsur menurun. Mereka jadi konsisten menemani Geek Fam ID di papan bawah mulai dari Season 5. Ketika itu, AURA Esports finish dari babak Regular Season di peringkat 7 dengan torehan menang-kalah 4-10. Sementara di Season 6 AURA Esports finish dari babak Regular Season di peringkat 8 dengan catatan menang-kalah 1-13.

Jujur, sebagai pengamat saya merasa khawatir melihat torehan kedua tim tersebut dari 3 musim MPL ID belakangan. Membuat saya jadi ingat Shanghai Dragons di Overwatch League yang sempat menorehkan catatan kekalahan beruntun sebanyak 42 kali apabila melihat dua tim tersebut.

Lalu apa yang jadi masalah bagi kedua tim tersebut? Apa yang membuat mereka begitu kesulitan menyaingi tim papan atas di MPL ID? Salah satu alasannya, mungkin, mereka terseok karena kesulitan mencari pemain baru yang berbakat untuk memperkuat timnya.

Tapi apakah benar demikian? Saya lalu mencoba mewawancara tim terkait untuk membahas seputar hal tersebut.

 

Sulitnya Mencari Talenta Berbakat Sebagai tim Papan Bawah

Dari AURA Esports ada Reza Pahlevi selaku Head Manager divisi MLBB Aura Esports. Sementara dari Geek Fam ID ada Ines Bestari selaku General Manager Geek Fam ID. Mereka berdua mewakili tim masing-masing menjadi narasumber untuk menanggapi pertanyaan seputar apa yang terjadi selama 3 musim MPL ID berjalan.

Ternyata apa yang saya pikirkan benar adanya. Manajer dari kedua tim mengakui bahwa salah satu alasan mereka jadi sulit bersaing adalah karena kesulitan mencari talenta segar nan berbakat. Mereka berdua juga menceritakan bahwa salah satu alasan kesulitannya adalah karena para talenta baru cenderung lebih memilih untuk gabung ke tim papan atas.

“Memang mencari talenta terbaru adalah challenge terbesar bagi Geek Fam ID untuk bisa menyaingi tim papan atas di MPL sih. Penyebabnya karena kebanyakan tim peserta MPL melakukan proses recruitment secara hampir berbarengan. Selain itu pemain baru punya kecenderungan yang sangat besar untuk memilh masuk ke tim papan atas MPL.” Jawab Ines Bestari membahas soal sulitnya mencari talenta berbakat sebagai tim papan bawah di MPL ID.

Sumber: Foto Pribadi
Ines Bestar, General Manager Geek Fam ID. Sumber: Foto Pribadi

Sementara pada sisi lain Reza Pahlevi mengatakan, “tantangan terbesarnya memang mencari talenta baru. Masalahnya adalah tim-tim tersebut memiliki keuntungan tertentu dengan menjadi papan atas. Keuntungannya adalah tim tersebut menjadi impian dari banyak pemain. Jadinya, kebanyakan pemain baru lebih mendahulukan masuk tim papan atas ketimbang tim kami. Hal tersebut tidak hanya terjadi ketika kami melakukan open trial tetapi juga sempat terjadi ketika kami sudah sampai tahap offering terhadap seorang pemain. Maka dari itu sejak Season 4 sampai detik ini kami masih banyak eksperimen untuk membangun pondasi tim. ”

Jika kita melihat dari kaca mata calon pemain, apa yang dilakukan para pemain sebenarnya tidak salah. Ibarat seperti melamar kerja, Anda sebagai pelamar tentu akan lebih mengutamakan tawaran perusahaan e-commerce besar seperti Tokopedia ketimbang tawaran e-commerce rintisan bernama Toko Acil misalnya. Tapi, saya merasa pembiaran kejadian tersebut dari pihak operator liga justru terasa tidak adil jika kita bicara dalam konteks liga berbayarHal ini tentunya beda cerita jika memang liganya tidak berbayar.

Persaingan mendapatkan pemain bintang itu normal. Jangankan esports, hal tersebut juga kerap terjadi di dalam sepak bola. Tetapi hal yang patut diingat adalah, olahraga sepak bola menggunakan sistem terbuka alias relegasi. Dalam persaingan terbuka, tim peserta tidak perlu membayar uang muka untuk masuk dalam liga. Mereka hanya perlu menjadi tim yang hebat agar tetap bertahan di dalam liga.

Tetapi persaingan mencari pemain jadi beda cerita jika kita bicara model liga franchise. Ibarat franchise usaha minimarket, investor baru tentu tidak diperbolehkan membuka toko baru yang bersebelahan dengan investor lama di suatu pertigaan yang ramai. Saingan antara sesama investor waralaba tentunya harus dihindari karena mereka membayar harga investasi yang telah disepakati bersama — jika memang pemilik merek dagang waralaba tadi ingin berlaku adil.

Kalau begitu apa kabar dengan Mobile Legends Developmental League? Liga yang hadir sebagai liga akademi sejak MPL Season 5 lalu tersebut harusnya bisa membantu tim seperti Geek Fam ID dan AURA Esports untuk mendapat pemain berbakat dongDylan Chia selaku Marketing Director MPL Indonesia juga sempat menjelaskan bahwa MDL menjadi salah satu fokus dari MPL Indonesia dalam melakukan regenerasi dan membuat MPL menjadi lebih besar lagi. Tapi seberapa efektif dampak MDL kepada tim peserta MPL?

Sumber: Foto Pribadi
Reza Pahlevi Head Manager divisi MLBB AURA Esports. Sumber: Foto Pribadi

Ines dan Reza kali ini sedikit berbeda pendapat. Ines mengatakan bahwaMDL sudah cukup membantu Geek Fam ID untuk menemukan talenta baru. “Sejauh ini gue merasa MDL sudah cukup efektif. Kami mulai mencoba mengambil talenta baru di MPL Season 6 kemarin. Menurut gue, beberapa talenta cukup memberikan dampak positif terhadap tim walau mungkin belum memberikan performa yang signifikan. Namun demikian, dampaknya sih positif dari segi proses karena mereka banyak menunjukkan perkembanan.”

Pada sisi lain pendapat Reza adalah, “Honestly speaking, MDL terbilang masih belum efektif sebagai sarana pencarian bakat. Fakta lapangannya adalah talenta baru hasil dari MDL ataupun Free Agent sifatnya masih terbilang 50:50. Jadi bisa dibilang potensinya tidak beda jauh antara pemain MDL ataupun Free Agent.”

Saya sebenarnya terbilang cukup setuju dengan apa yang dikatakan Reza. Tim peserta Franchise MPL tentu akan sangat berharap pemain yang mereka besarkan di MDL bisa berkembang menjadi pemain yang tangguh di masa depan. Apalagi masing-masing manajemen esports juga berinvestasi terhadap pemain tersebut lewat gaji yang mereka berikan.

Jadi apabila kita melihat dari kaca mata manajemen tim, wajar mereka merasa kecewa apabila akhirnya pemain MDL yang sudah digaji malah kalah berbakat dibanding pemain Free Agent yang mungkin hanya joki Rank saja. Jadi ibarat seperti investasi bodong yang tidak menghasilkan apapun.

Lalu apabila liga MDL belum banyak membantu tim peserta liga Franchise MPL, sistem seperti apa yang bisa membantu meningkatkan daya saing tim seperti AURA Esports atau Geek Fam ID?

 

Mungkinkah Metode “Player Draft” Meningkatkan Daya Saing Tim Papan Bawah di Liga Esports Franchise?

Jangan salah kaprah, sistem “Draft” yang saya maksud di sini bukanlah metode pemilihan hero yang biasa digunakan dalam esports MLBB. Modelnya memang agak mirip tetapi yang saya maksud dengan Draft di sini adalah metode transfer pemain yang biasa digunakan dalam liga olahraga franchise Amerika Serikat.

Sebelum membahas potensi penerapannya di esports, mari saya jelaskan dahulu cara kerja sistem Draft dengan menggunakan liga american football (National Football League atau NFL) sebagai contohnya. Pada pembahasan sebelumnya kita mendengar cerita Ines soal para tim peserta liga Franchise MPL yang saling berebut talenta dari open recruitment yang dilakukan.

Dalam sistem Draft, perekrutan dan seleksi dilakukan secara terpusat oleh operator liga. Di sisi lain, tim peserta liga Franchise jadi tidak perlu repot melakukan Open Recruitment, mereka tinggal memilih pemain dari proses Player Draft. Dalam contoh liga NFL, perekrutan dan seleksi dilakukan lewat sebuah prosesi yang disebut sebagai NFL Scouting Combine. NFL Scouting Combine bersifat terbuka, pemain american football tingkat SMA sepenjuru AS boleh turut serta asalkan mereka memenuhi beberapa syarat tertentu.

Setelah masa registrasi, fase selanjutnya adalah ujian seleksi yang dipantau oleh para tim peserta liga franchise NFL. Pada fase seleksi, pemain-pemain dari tingkat SMA diuji kemampuan fisik, psikis, dan skill permainannya. Pemain-pemain yang ikut seleksi diuji kemampuan fisiknya lewat tes lari jarak pendek, lompat vertikal, lompat jauh, dan lain sebagainya. Mereka juga diuji kemampuan bermainnya lewat tes menangkap, melempar bola, menjaga pemain, dan lain sebagainya. Psikis mereka juga diuji lewat beberapa tes psikologi. Sebagai sarana menarik perhatian pecinta olahraga american football, prosesi NFL Scouting Combine disiarkan di televisi nasional Amerika Serikat.

Setelah proses NFL Scouting Combine selesai, pemain-pemain tersebut disaring lagi berdasarkan torehan yang mereka dapatkan dari ujian kemampuan fisik, skill permainan, dan psikis. Pemain-pemain dengan torehan terbaik akan masuk ke fase selanjutnya yaitu NFL Draft dan mendapat kesempatan untuk bisa bermain di liga utama American Football. Dalam konteks NFL, kesempatan main di liga utama menjadi dambaan setiap pemain yang ada di olahraga ini.

Pada fase NFL Draft, 32 tim peserta liga franchise diperkenankan untuk memilih pemain-pemain tersebut secara berurutan. 32 tim tersebut diurut secara terbalik berdasarkan torehan mereka di liga musim sebelumnya. Tim papan bawah mendapat giliran lebih dulu untuk mengambil pemain pada prosesi NFL Draft. Tim yang menjadi juara NFL mendapat giliran terakhir dalam mengambil pemain.

Walaupun demikian, urutan pengambilan pemain (disebut Draft Order) masih bisa berubah-ubah karena satu tim diperkenankan melakukan pertukaran dengan tim lain.

Kalau pakai analogi MPL, mungkin bisa jadi seperti ini. Misalkan ada peserta seleksi MPL berpotensi tinggi bernama Mawar. RRQ sangat ingin sekali memiliki Mawar, tetapi sulit karena RRQ juara liga dan berada di urutan terakhir Draft. Sementara, di sisi lain, tim seperti Geek Fam atau AURA Esports mendapat urutan pertama Draft dan mereka boleh menukarkan urutan dengan hal lainnya (pemain misalnya). Jadi Geek Fam ID bisa saja memberikan urutan pertama proses Draft kepada RRQ jika ditukar oleh RRQ.Alberttt misalnya.

Metode Draft yang saya jelaskan tentunya sudah dipersingkat dan disederhanakan. Karena masih ada peraturan-peraturan lain yang tidak mungkin saya jelaskan terperinci secara satu per satu di sini. Penjelasan tersebut juga masih dalam bentuk sudut pandang ideal. Karena pada kenyataannya pasti ada saja dinamika dalam proses transfer atau seleksi.

Dalam hal dinamika proses transfer, pemain boleh saja menolak direkrut oleh tim yang mengambil mereka. Kembali pada contoh Mawar, dia bisa saja menolak masuk RRQ setelah di “Draft” dan lebih memilih masuk EVOS. Walaupun begitu, proses Draft tetap mengunci hak kepemilikan RRQ atas Mawar. Maka dari itu, RRQ bisa menukarkan Mawar dengan Wann apabila EVOS juga memiliki ketertarikan terhadap Mawar. Tapi, apabila EVOS ataupun tim peserta MPL lain tidak tertarik dengan Mawar, RRQ juga boleh saja memilih untuk melepas Mawar.

Lalu apakah proses Draft ini mungkin untuk diterapkan ke dalam liga esports? Jika dilihat dari sudut pandang pengamat dan penikmat esports, jawabannya sih tentu mungkin-mungkin saja. Tapi pada sisi lain, kita juga harus melihat untung dan ruginya dari sisi operator liga apabila ingin menerapkan sistem ini.

Satu hal yang pasti, penerapan sistem seperti ini akan menambah tingkat kerumitan penyelenggaraan liga bagi sang operator. Satu yang patut diingat, liga dan asosiasi NFL sudah ada sejak tahun 1920. Sementara pada sisi lain liga MPL baru memulai model frachise sejak tahun 2019 lalu. Jadi tentunya butuh proses yang panjang untuk terus belajar dan memperbaiki sistem, termasuk sistem transfer pemain.

Kedua, pelaksanaan sistem seperti ini mungkin akan menambah biaya penyelenggaraan. Moonton selaku operator liga bisa jadi hanya memiliki dana yang terbatas dalam menyelenggarakan liga MPL. Dengan asumsi modal penyelenggaraan MPL hanya berasal dari biaya investasi tim peserta, maka Moonton cuma punya modal sekitar Rp120 miliar (Rp15 miliar dikalikan 8 tim peserta). Meski kenyataan MPL Indonesia juga selalu mendapatkan sponsor.

Misalnya modal tersebut harus cukup untuk liga MPL selama 5 tahun, maka Moonton harus mengelola modal tersebut dengan baik supaya tidak habis sebelum durasi kontrak selesai. Maka dari itu, penambahan biaya tentunya bukan ide yang baik bagi penyelenggara turnamen.

Pada sisi lain, NFL punya lebih banyak tim yang berarti punya lebih banyak modal. Mereka punya 32 tim peserta dengan nilai investasi NFL yang jauh lebih tinggi dibanding dengan MPL. Laporan Statista tahun 2019 mengatakan bahwa Anda butuh sekitar 5,7 miliar dollar AS (sekitar Rp80 triliun) jika ingin membeli tim NFL yang bernama Dallas Cowboys. Selain itu, laporan lain dari Statista mengatakan bahwa liga NFL bisa meraup sampai dengan 15,26 miliar dollar pada tahun 2019 lalu. Jadi tidak heran apabila liga tersebut bisa menerapkan sistem yang begitu rumit dan berbiaya besar hanya untuk urusan transfer pemain saja.

Walaupun begitu, metode transfer seperti demikian punya beberapa keuntungan tersendiri. Saya merasa ada dua keuntungan yang bisa didapatkan oleh operator liga.

Pertama, MPL mungkin bisa meniru apa yang dilakukan NFL dengan menayangkan prosesi Draft dan Scouting. Penayangan tersebut berpotensi menarik minat masyarakat dalam menonton esports MLBB. Minat menonton yang semakin tinggi tentunya bisa membuka peluang untuk mendapatkan tambahan sponsor di masa depan.

Kedua, sistem Draft juga memungkinkan liga untuk dapat bertahan secara lebih lama karena sistem ini terbilang memberi keuntungan tersendiri bagi semua elemen kompetisi, termasuk opertor liga, pemain, dan tim peserta.

Anda yang mengikuti perkembangan MPL lewat artikel-artikel Hybrid mungkin ingat kalau Moonton sempat mendapat beberapa sentimen negatif ketika mengumumkan model franchise MPL. Beberapa pemain protes karena kesempatan masuk liga utama jadi semakin kecil gara-gara penarapan sistem investasi tersebut.

Apabila sistem Draft diterapkan, maka kesempatan pemain untuk masuk liga utama jadi kembali terbuka lebar. Pemain yang terinspirasi ingin jadi bintang esports juga akan terus bertahan memainkan MLBB berkat jalur yang jelas untuk masuk liga utama.

Sumber: MPL Official
Kalau misalkan menonton MPL dikenakan biaya, operator liga tentu jadi kesulitan mengumpulkan keuntungan apabila hanya pertandingan yang ada RRQ atau EVOS saja yang ramai. Sumber: MPL Official

Dari sisi operator liga, talenta baru yang terus berdatangan bisa membuat dinamika persaingan tim terus bertahan. Persaingan liga yang ketat tentunya diharapkan bisa mengurangi ketergantungan operator liga terhadap tim atau pemain tertentu di dalam liga. Dengan persaingan antar tim semakin ketat, maka identitas MPL sebagai liga yang kompetitif dan seru untuk ditonton bisa jadi lebih mandiri. MPL tidak lagi cuma menjadi liga yang seru kalau ada El Classico EVOS vs RRQ saja ataupun tim-tim besar lainnya. Persaingan ketat antar tim berpotensi membuat jumlah views lebih stabil. Jadi siapapun yang bertanding, penonton akan tetap menikmatinya karena hasilnya sulit untuk ditebak.

Tim peserta juga bisa diuntungkan dengan penerapan sistem ini. Tidak ada lagi cerita soal kesulitan mencari talenta baru gara-gara harus berebutan dengan tim papan atas. Semua tim punya kesempatan yang sama untuk mendapatkan talenta baru berbakat dan membangun komposisi tim yang kuat. Semakin kuat tim mereka, maka akan semakin besar juga peluang bagi organisasi esports untuk membangun fanbase, dan membuka peluang-peluang bisnis baru.

 

Penutup

Kenyataan yang patut dipahami dan tak bisa dipungkiri dari pembahasan ini adalah tentu usia perjalanan esports yang masih sangat belia. Kita bisa lihat sendiri bahwa NFL sudah berjalan selama kurang lebih 100 tahun. Melalui proses tersebut juga, mereka terus belajar bagaimana membuat sistem yang lebih baik agar semua pihak bisa merasakan keuntungan agar liga bisa sustain secara lebih panjang dan terus berkembang positif.

Di sisi lain, esports terbilang baru mulai berkembang sebagai industri sekitar 3 sampai 5 tahun belakangan. Jadi tidak heran apabila saat ini masih banyak kekurangan dari segi sistem atau model dari suatu kompetisi esports. Walaupun demikian, saya merasa ada banyak hal yang bisa dipelajari oleh para operator liga esports dari sistem dan model liga olahraga. Sistem Player Draft hanya salah satunya saja.

Terlepas dari semua itu, saya sendiri selaku pengamat dan penikmat esports tentunya punya harapan besar industri esports bisa terus bertahan dan berkembang menjadi lebih baik di masa depan. Saat membicarakan seputar hal ini, Ines dan Reza juga mengatakan bahwa Moonton sedang menyiapkan suatu sistem agar tim seperti Geek Fam ID atau AURA Esports bisa lebih meningkat daya saingnya.

Akhir kata, semoga artikel ini bisa memicu perbincangan di antara pelaku esports lokal. Semoga esports di Indonesia bisa terus berkembang menjadi lebih baik dan terus hadir sebagai wadah pencaharian anak cucu kita di masa depan.

Feat Image: Dokumentasi MPL Indonesia — Season 4

BMW Ungkap SUV Elektrik Baru, BMW iX

Masih ingat dengan mobil konsep bernama iNext yang BMW pamerkan dua tahun silam? Seperti yang sudah dijanjikan, mobil itu akhirnya bakal diproduksi secara massal sebagai sebuah mobil elektrik. Namun ada sedikit revisi pada namanya, yang kini dikenal sebagai BMW iX.

Secara estetika, iX banyak mempertahankan elemen futuristis yang diperkenalkan iNext. Beberapa bagian memang harus disederhanakan demi memudahkan tahap produksi, akan tetapi iX tetap kelihatan paling modern di antara mobil-mobil BMW lainnya.

Selain desain, hal lain yang paling mencolok dari fisik iX adalah ukurannya. Mobil ini besar, dengan panjang dan lebar setara SUV BMW X5, serta ukuran ban sekelas milik BMW X7. Kalau mengacu pada dimensi BMW X5 dengan panjang 4.922 mm dan lebar 2.004 mm, berarti iX bakal menjadi yang paling bongsor di antara kedua rivalnya yang juga berdarah Jerman, yakni Audi e-tron dan Mercedes-Benz EQC, sekaligus mendekati ukuran Tesla Model X.

Kalau eksteriornya terlihat agresif, interior iX malah terbilang kalem. Saking minimalisnya kabin iX, kita hanya akan menjumpai satu buah layar saja, meski memang layar itu menutupi lebih dari separuh dashboard-nya. Seperti biasa, layarnya dibagi menjadi dua: porsi kiri dengan bentang diagonal 12,3 inci sebagai panel instrumen, porsi kanan dengan dimensi 14,9 inci untuk sistem infotainment.

Dilihat sepintas, penampilan interiornya lagi-lagi tidak berbeda drastis dibanding versi konsepnya dulu. Teknologi “Shy Tech” yang diusung memang tidak secanggih yang dijanjikan sebelumnya, tapi BMW tetap berusaha semaksimal mungkin untuk menyamarkan sejumlah komponen interiornya sehingga terlihat membaur dengan material yang digunakan.

BMW membangun iX di atas platform mobil elektrik generasi kelimanya. Sepasang motor elektrik yang terpasang pada iX sanggup menghasilkan output daya maksimum lebih dari 370 kW (500 hp), dan untuk urusan akselerasi 0-100 km/jam, iX diyakini mampu mencatatkan waktu di bawah 5 detik.

Untuk baterainya, BMW masih enggan menyebut kapasitas persisnya, namun mereka bilang ada di kisaran 100 kWh. Baterai sebesar itu diperkirakan cukup untuk menenagai iX hingga menempuh jarak sekitar 482 kilometer dalam sekali pengisian, dan proses pengisiannya pun sangat cepat berkat dukungan teknologi DC fast charging.

Secara teknis, iX diklaim sanggup menerima asupan daya dengan output maksimum 200 kW. Dalam skenario ini, baterainya dapat terisi dari 10 sampai 80 persen dalam waktu kurang dari 40 menit. Kalau dilihat dari perspektif lain, iX sanggup menempuh jarak 120 km dalam setiap 10 menit charging.

Sebagai model flagship, BMW iX jelas terdengar menjanjikan. Sayang mobil ini baru akan diproduksi mendekati akhir 2021, dan sejauh ini juga belum ada informasi soal banderol harganya. Kalau boleh menebak, harganya bakal lebih mahal daripada BMW X5, yang sendirinya berada di kisaran $60.000.

Sumber: Electrek dan BMW.

Intel Perkenalkan OneAPI Toolkit dan GPU untuk Server

Bagi Anda yang belum tahu, pada bulan Desember 2018 yang lalu, Intel meluncurkan OneAPI. OneAPI ini sendiri merupakan model pemrograman berbasis open source yang memungkinkan pengembang memilih akselerator mana yang akan menjalankan software mereka. Akselerator tersebut bisa berupa CPU atau GPU. Visi inilah yang saat ini mereka sebut sebagai XPU.

“Hari ini adalah momen penting dalam perjalanan ambisius oneAPI dan XPU kami. Dengan kehadiran OneAPI Toolkit kami, kami telah memperluas pengalaman pengembang dari library dan alat pemrograman CPU yang sudah dikenal hingga menyertakan arsitektur vektor-matriks-spasial kami. Kami juga meluncurkan GPU pusat data pertama kami berbasiskan mikroarsitektur Xe-LP yang berfokus pada segmen cloud gaming dan streaming media yang berkembang pesat “– Raja Kaduri, Intel senior vice president, chief architect dan General Manager dari Architecture, Graphics dan Software.

Intel Raja Koduri

Intel oneAPI Toolkit memanfaatkan kapabilitas dan instruksi hardware, seperti Intel® AVX-512 dan Intel® DL Boost pada CPU, bersama dengan fitur-fitur unik untuk XPU. Intel oneAPI Toolkits juga menghadirkan bahasa pemrograman dan standar yang sudah dikenal sekaligus memberikan kesinambungan penuh dengan kode yang ada. Intel oneAPI Toolkits akan tersedia secara gratis dan akan segera mentransisikan rangkaian alat Intel® Parallel Studio XE dan Intel® System Studio ke dalam produk oneAPI-nya.

Bahasa pemrograman yang digunakan oleh Intel bernama Data Parallel C++. Data Parallel C++ juga dibangun dengan basis pemrograman OpenCL. Oleh karena itu, developer nantinya akan mudah untuk menggunakannya karena memiliki basis perintah yang sama. Misalnya para developer sudah membuat software untuk NVIDIA CUDA, maka akan mudah menerjemahkannya ke Data Parallel C++

Jika kita lihat, maka fungsi dari OneAPI ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh NVIDIA dengan CUDA-nya. Bedanya, NVIDIA sudah melakukannya selama bertahun-tahun dengan GPU buatan mereka sendiri. Jadi, Intel juga membutuhkan GPU buatan mereka sendiri.

H3C XG310 PCIe card

Selain OneAPI, Intel juga meluncurkan sebuah GPU untuk server yang bernama HC3 XG310 yang ditujukan untuk aplikasi streaming video serta game. XG310 sendiri terdiri dari empat GPU Intel Xe-LP dengan pipeline 128 bit dan memori DDR4 8 GB per GPU. Intel tidak semata-mata mengejar performa pada cip yang satu ini, namun menyediakan fitur untuk menyajikan lebih banyak streaming video pada pemakaian daya tertentu.

Intel juga mengatakan bahwa kartu tersebut dirancang untuk streaming Android. Selain itu, Intel juga mengatakan bahwa pada server juga terdapat CPU Xeon yang mampu menjalankan 100 game secara bersamaan pada resolusi dan frame rate yang tinggi.

Pasrah Menghadapi Kebocoran Data di Tanah Air

Apa yang bisa kita lakukan sebagai pengguna layanan digital ketika data yang kita serahkan justru bocor dan diperjualbelikan di pasar gelap? Di Indonesia, jawabannya hampir tidak ada. Rentetan kasus kebocoran data beberapa waktu terakhir menunjukkan konsumen berada di posisi terlemah dalam siklus ini.

Belum jelas nasib kebocoran data di Tokopedia dan Kredit Plus, kasus serupa terulang lagi. Kali ini Cermati dan RedDoorz yang kena bidik peretas. Sekitar 2,9 juta data di Cermati yang digondol peretas berisi bermacam data mulai dari alamat email, kata sandi, alamat, nomor telepon, pendapatan, bank, nomor pajak, nomor identitas, hingga nama ibu kandung. Set data ini tergolong sensitif dan berharga untuk diperjualbelikan.

Jumlah data yang dicuri dari Reddoorz lebih banyak mencapai 5,8 juta data. Data itu berupa nama, alamat email, nomor telepon, dan detail pemesanan. Peretas menjual gelondongan data itu seharga US$2.000 atau sekitar Rp28 juta.

Selain mengambil langkah pencegahan, apa yang bisa kita lakukan sebagai pengguna jika dirugikan akibat kebocoran data yang sudah terjadi?

Pratama Prasadha, peneliti keamanan siber dari Communication and Information System Security Research Center (CISSRec), mengakui kondisi saat ini memang menyulitkan konsumen platform digital menggugat penyelenggara sistem dan transaksi elektronik (PSTE). Pasalnya memang tidak ada satu pun kewajiban hukum yang bisa dikenakan kepada PSTE atas kelalaian mereka.

“Di Indonesia sulit bagi konsumen untuk melakukan tuntutan hukum atas kebocoran data pribadi yang dikelola PSTE. Adapun konsumen atau masyarakat dalam posisi sangat lemah untuk meminta pertanggungjawaban PSTE,” ujar Pratama.

Pratama menjelaskan, sejatinya ada sanksi yang bisa dikejar konsumen sesuai Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016. Pasal 36 menyebutkan ada sejumlah sanksi administratif bagi mereka yang melanggar ketentuan berupa peringatan lisan, peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, dan/atau pengumuman di situs dalam jaringan.

Dilihat dari sudut mana pun, jenis sanksi tersebut terlampau ringan jika dibandingkan risiko yang harus dihadapi oleh pengguna yang datanya sudah tercecer di mana-mana. Pratama menilai tanpa ancaman hukuman yang serius, hampir dipastikan insiden kebocoran data akan terus berulang.

“PSTE tidak ada kewajiban mengamankan dengan sebaik-baiknya karena juga tidak ada ancaman hukuman bila lalai,” imbuh Pratama.

Damar Juniarto dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menekankan saat ini memang belum ada mekanisme yang bisa ditempuh konsumen baik secara perdata maupun pidana atas kerugian yang mereka derita. Tanpa peraturan yang betul-betul melindungi masyarakat sebagai konsumen dan warga negara, perlindungan data pribadi masih sebatas wacana.

“Selama belum ada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, sulit membayangkan akan ada perbaikan,” tegas Damar.

Denda jumbo

Sudah banyak orang mendambakan RUU PDP segera disahkan menjadi peraturan resmi. Bertahun-tahun DPR selalu meminggirkan beleid ini untuk segera disahkan. Padahal keadaan di lapangan menunjukkan RUU PDP makin dibutuhkan untuk melindungi masyarakat yang kian terekspos terhadap layanan digital.

Salah satu yang disebut bisa mencegah maraknya kebocoran data adalah sistem denda yang akan dikenakan kepada PSTE. Proses penyusunan RUU PDP kerap disebut berkiblat pada GDPR (General Data Protection Regulation) milik Uni Eropa. Pemberian sanksi denda yang berat adalah salah satu karakter GDPR. Tak jarang aturan itu bisa menjerat suatu entitas yang bersalah dengan denda puluhan hingga ratusan juta euro.

Yang jadi persoalan dalam pembahasan RUU PDP selama ini belum ada kepastian apakah sistem denda dan sanksi administratif jadi fokus utama atau sistem pidana yang akan dipilih. Namun anggota Komisi I DPR RI Charles Honoris mengatakan beleid tersebut akan meninggalkan sanksi pidana untuk menghindari tumpang tindih dengan peraturan lain.

“Dalam berbagai perdebatan, ya, dan masukan yang kami terima dari beberapa stakeholder alangkah baiknya apabila aturan sanksi pidana yang sudah diatur dalam UU lain tidak lagi diatur di UU PDP,” ujar Charles seperti dikutip dari Kompas.

Contoh denda jumbo itu seperti Inggris yang menuntut Marriot membayar denda 99 juta poundsterling atau sekitar Rp1,8 triliun karena gagal melindungi data konsumen mereka yang bocor. Belum lama Inggris juga menuntut British Airways membayar denda 183 juta poundsterling atas kelalaian mereka. Pada akhirnya kedua perusahaan tadi diampuni dengan denda lebih rendah karena menghadapi kesulitan finansial akibat pandemi.

Selama pemberlakuan sanksi denda tersebut belum ada di Indonesia, banyak pihak ragu ada perubahan berarti dalam lanskap keamanan digital. Tanpa ancaman serius terhadap PSTE, insiden kebocoran data adalah sebuah keniscayaan. Lebih parah lagi hal tersebut bisa berakibat buruk terhadap kepercayaan konsumen.

Namun masyarakat sepertinya patut bersabar lebih untuk RUU PDP. Pasalnya kecil kemungkinan DPR dapat meloloskan RUU PDP di tahun ini dengan masa sidang yang tak lama lagi.

“Harapan saya di 2020 ini kita sudah bisa memiliki UU PDP. Tapi mengingat sisa masa sidang tinggal 1 bulan lagi sepertinya agak sulit direalisasikan,” ucap Charles dalam webinar dengan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

Hingga saat ini tidak ada satu pun kasus kebocoran data yang diusut tuntas. Insiden Bukalapak, Tokopedia, Kredit Plus, Cermati, dan Reddoorz masih tak ada kejelasan siapa yang harus bertanggung jawab. Pertanyaan juga perlu dialamatkan ke Kemenkominfo, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang bertugas mengawasi dan mencari pertanggungjawaban PTSE terhadap konsumen.

Indonesia’s Digital Economy Growth in 2020

Google, Temasek, and Bain & Company released their annual report “e-Conomy SEA 2020” to review the development of digital or internet business in Southeast Asia. The headline for this is “At full velocity: Resilient and racing ahead” – indicating how the ambitions of digital players survive and try to maintain growth amid the global economic downturn.

There are 7 highlighted digital sectors. Apart from the existing ones, e-commerce, transport & food, online travel, online media, and financial services; This year the research added two new business landscapes, healthtech and edtech – because both are experiencing significant growth amid the Covid-19 pandemic.

The pandemic has drove internet penetration in the region, with an estimated 40 million new users in 2020. Therefore, there are around 400 million internet users in total in Southeast Asia – equivalent to 70% of the total population. The existence of social restrictions forms a new culture, such as work/school activities from home, resulting in a drastic increase in consumption of digital services.

One quite interesting issue is that in Indonesia has 56% of total digital service consumers this year come from outside the metro area, while the remaining 44% are still from around the urban area. It is said, digital development is currently still Jabodetabek-centric; and this cannot be denied because there is a significant gap between metro and non-metro areas in terms of accessibility to infrastructure.

Gross Merchandise Value (GMV) is the matrix used to measure economic units in this report; that is, indicating the value of transactions/sales that occur within a certain period of time by the user. The GMV for the internet economy in Southeast Asia (accumulating value from the 7 highlighted sectors) is projected to exceed $100 billion. Indonesia will contribute $44 billion or the equivalent of 621 trillion Rupiah.

In Indonesia, most of  our GMV comes from e-commerce services, amounting to $32 billion, followed by transportation & food platforms worth $5 billion, online media $4.4 billion, and online travel $3 billion.

Validation for digital economy direction

Recently, APJII has released the latest report regarding internet user statistics in Indonesia. Specifically in 2020, there are approximately 25 million new internet users in the country (increasing by 8.9% compared to last year). Indonesia’s domination in many of the Google-Temasek-Bain & Company reports has also validated that Indonesia is on the right track in building its digital economy.

Although quite a few also say that Indonesia’s digital economy phase is still in “early stage”, at least the foundations are well formed. Looking back over the past decade, e-commerce and ride-hailing businesses have been able to become good industrial engines, they have expanded the scope of digital savvy in Indonesia – both from consumers and SMEs. The implication is that new (digital) business models are getting quickly accepted.

Covid-19 has also had a very visible impact. Some business sectors have been hit hard, for example online travel, but from there we can see how digital service providers are able to adapt quickly. Take, for example, the fast action of OTA to save businesses by aggressively promoting domestic transportation services or the “staycation” vacation model. So it is not surprising that in the statistics of the e-Conomy, the OTA platform still has a significant position.

On the other hand, the pandemic is actually ripening the level of digital adoption in society. The benefits for digital players may be seen at a later time. When the community lockdown starts to get used to shopping, studying, consulting health online, this will become new permanent habits. Especially when the platform is able to accommodate these needs, therefore, it brings a more pleasant impression.

In our internal records, funding to digital startups have also continued to pour during this pandemic. This indicates a good trend regarding investor trust in Indonesia’s  business players – amidst a recession and increased risk of failure due to economic dynamics. This momentum certainly needs to be maintained to ensure that the Indonesian startup ecosystem continues to grow, and realize the nation’s vision to lead the Asian digital economy.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Gambar Header: Depositphotos.com

Masa Depan Teknologi Iklan Luar Ruang di Indonesia

Kegiatan kampanye pemasaran saat ini sudah menjadi salah satu peluang menarik yang dijajaki solusi teknologi. Salah satu cara yang mulai marak di Jabodetabek adalah kehadiran iklan bergerak memanfaatkan mobil (car advertising) dan motor.

Dalam waktu tiga tahun terakhir DailySocial mencatat ada beberapa startup yang mencoba menyasar layanan car advertising dan iklan luar ruang di Indonesia. Termasuk di antaranya adalah Stickearn, Adroady, UBiklan, PayRide, Promogo yang diakuisisi Gojek dan baru saja meluncurkan GoScreen, dan IDN Media melalui IDN Programmatic Out-of-Home (IDN POOH).

Seperti apa perkembangan model bisnis Digital OOH berlangsung saat kondisi pandemi? Apakah teknologi yang dimiliki masing-masing platform memiliki efektivitas yang sesuai ke target pasar?

Peluang bisnis iklan luar ruang

Meskipun terlihat mudah untuk dipahami, konsep iklan luar ruang memanfaatkan mobil, motor, dan medium lainnya memerlukan strategi dan teknologi yang tepat.

Platform adtech yang didirikan Daniel Tumiwa, Adsvokat, mengusung konsep O2O (online-to-offline) dan beroperasi sejak Juli 2017. Adsvokat memanfaatkan stiker di mobil, helm, smartphone, pakaian sebagai medium.

Setelah berjalan selama beberapa bulan, pada akhir tahun 2018, Adsvokat memutuskan untuk tidak meneruskan bisnis dan menutup perusahaan sepenuhnya. Daniel Tumiwa mengungkapkan, kegagalan terbesar Adsvokat adalah timing. Terlalu cepat. Yang kedua kurang memperhitungkan permainan cash flow.

“Saya melihat ide Adsvokat lebih dekat dan relevan pada masanya pada waktu itu, karena sebelum-sebelumnya saya pernah menjalankan beberapa startup dan mereka sangat too advance dari zamannya dan Adsvokat ini lebih real,” terang Daniel.

Kegagalan yang terjadi pada Adsvokat tidak menurunkan minat pemain lain untuk menawarkan konsep serupa. Pemain-pemain lain pun bermunculan dan mencoba adaptif agar tetap relevan dengan tren.

CEO UBiklan Glorio Yulianto mengungkapkan, konsep hybrid advertising saat ini menjadi pedoman UbIklan.

“Media offline sebagai media iklan, sedangkan analytic-nya berbasis online. We called it hybrid advertising media. Kami bisa ambil budget [pengiklan] dari dua divisi, yakni online dan offline,” ujar Glorio.

Di tahun 2020 muncul dua platform baru dengan klaim teknologi Digital Out of Home terbaru. Mereka adalah IDN Programmatic Out-of-Home (IDN POOH) dan GoScreen. Yang terakhir adalah produk Promogo yang memanfaatkan integrasi ekosistem dan data Gojek.

Pandemi dan pertumbuhan bisnis

Saat pandemi banyak startup yang mengalami kendala dan terhambat pertumbuhan bisnisnya. Adanya aturan PSBB dan semakin banyak pegawai yang beraktivitas dari rumah membuat kondisi jalan lebih lengang dan menyulitkan segmen teknologi periklanan luar ruang berfungsi dengan baik.

Salah satu startup yang masih bertahan di segmen ini adalah StickEarn. Akhir tahun 2019 lalu StickEarn mengumumkan layanan baru yang diberi nama StickTron (kini menjadi MobileLED). Perusahaan juga mengantongi pendanaan seri A dengan nilai $5,5 juta atau setara 77,6 miliar Rupiah.

“StickEarn mengerti pembatasan yang pemerintah lakukan dan kami mendukung kebijakan tersebut supaya kondisi bisa kembali membaik. Dampak pandemi terasa bagi semua bisnis, termasuk StickEarn yang memang memanfaatkan kemacetan lalu lintas menjadi peluang bagi brand untuk memperkenalkan iklan mereka,” ujar Co-Founder StickEarn Archie Carlson.

Menurut CEO IDN Media Winston Utomo, selama pandemi berlangsung, tidak bisa dipungkiri industri OOH terkena dampaknya, termasuk IDN POOH. Namun, perusahaan sangat percaya dengan potensi dan masa depan sektor ini.

“Jadi, selama 6 bulan terakhir, kita menambah jumlah unit IDN POOH sebanyak 2x lipat atau 100%. Kita juga memperbanyak jumlah tim Sales dan Engineering untuk IDN POOH. Kita juga melakukan beberapa penyempurnaan dari sisi hardware dan software. Contohnya, teknologi IDN POOH sekarang dapat memberikan kebebasan bagi pengiklan untuk merencanakan, mengganti [konten] kreatif, maupun memonitor iklan yang sedang jalan secara real time,” kata Wiston.

Pandemi juga tidak menghambat rencana Gojek (melalui Promogo) menghadirkan GoScreen. Setelah diakuisisi Gojek, Promogo mencoba menghadirkan teknologi yang relevan menggunakan data dan ekosistem terpadu Gojek. Memanfaatkan kendaraan roda dua milik mitra pengemudi, tidak hanya brand besar yang bisa menikmati teknologi iklan luar ruang ini, namun juga merchant Gojek dan pelaku UKM lainnya. Meskipun baru terbatas di wilayah Jakarta, GoScreen memiliki target memperluas wilayah jangkauan hingga ke kota tier 2 dan tier 3.

“Tantangan utama pengguna iklan luar ruang saat ini adalah mengukur efektivitas dan kinerja iklan. GoScreen menjawab ini melalui teknologi yang mampu mengukur kinerja iklan berdasarkan lokasi dan waktu secara tepat sehingga memberikan pengiklan laporan yang lengkap,” kata Chief Commercial Officer Gojek Antoine de Carbonnel.

Data road analytics TomTom menunjukkan penurunan tingkat kemacetan hingga lebih dari 60% saat awal PSBB. Hal ini membuat brand menahan diri untuk melakukan aktivitas iklan luar ruang. Namun, dengan kebijakan yang cukup longgar, tingkat kemacetan kembali meningkat hingga 30% dan masyarakat kembali beraktivitas di luar rumah. Hal ini membuat demand untuk beriklan kembali meningkat.

Efektivitas dan masa depan iklan luar ruang

Teknologi iklan luar ruang car advertising dan Digital OOH diprediksi termasuk salah satu dari 12 tren teknologi periklanan yang telah dan akan terus berkembang.

Hingga Q3 2020, secara rata-rata, seluruh solusi Digital OOH Promogo diklaim mengalami peningkatan pertumbuhan bisnis sebesar 40% dan lebih dari 50 ribu mitra driver tergabung. Menghasilkan impresi sebesar 15 miliar kali penayangan.

“Layanan yang kami tawarkan ini memberikan brand solusi periklanan yang lebih terukur secara data dengan harga kompetitif. Brand dapat mengoptimalkan iklan mereka secara real time dan memonitor performanya melalui online dashboard khusus yang transparan dan jelas,” kata Direktur Promogo Kiranjeet Purba.

Konsep real time juga ditawarkan IDN POOH. Pihaknya mengklaim menggunakan teknologi khusus yang telah dipatenkan untuk menampilkan iklan secara real time dan terukur. IDN POOH menawarkan beragam output iklan yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

“Dengan teknologi terbaik di industri OOH, tim yang kompeten, dan ekosistem IDN Media yang lengkap, kita sangat yakin IDN POOH akan menjadi pilihan terbaik untuk iklan Out-of-Home (OOH),” kata Winston.

Sementara bagi StickEarn, penggunaan real time dashboard, memberikan kemudahan bagi pengiklan bisa mengakses jalannya kampanye iklan.

Terkait efektivitas kegiatan kampanye memanfaatkan teknologi Digital OOH, baik IDN Media, StickEarn, maupun GoScreen mengklaim saat ini masih menunjukkan pertumbuhan yang baik. Meskipun kondisi pandemi sempat mengganggu jalannya bisnis, hal ini tidak menjadi kendala untuk mengembangkan produk dan bisnis OOH.

“Saat ini kami sedang dalam tahap Research & Development (R&D) untuk hyperlocal targeting. Dengan teknologi ini diharapkan dapat melakukan targeting secara lebih tepat dan akurat, sehingga industri UKM juga dapat memanfaatkan teknologi dari IDN POOH karena ROI-nya lebih bagus dan optimal,” kata Winston.

GoScreen sendiri sebelum diluncurkan telah melakukan sekitar 50 proyek. Salah satunya dengan Disney+ Hotstar. GoScreen menargetkan hingga akhir tahun 2021 bisa mencapai 20 ribu screen di Indonesia.

“Melalui GoScreen, mitra kami berkesempatan mendapatkan peluang penghasilan tambahan hingga 20% dari pendapatan normalnya. Selain itu, solusi GoScreen dengan harga yang terjangkau juga dapat dimanfaatkan oleh pelaku bisnis UKM untuk mulai meningkatkan visibilitas merek, serta mengembangkan bisnisnya ke level lebih tinggi melalui pemanfaatan data, sehingga mereka mampu memutuskan strategi bisnis yang lebih efektif,” ujar Kiran.

Sesuai dengan misi perusahaan, StickEarn ingin menjadikan platform beriklan lebih efektif, canggih, dan lebih mudah diakses, dan membuat iklim iklan luar ruang lebih bergairah.

“Dengan harga yang kompetitif dan sangat customisable, kini OOH bisa diakses brand dari segala level, mulai dari perusahaan multinasional, hingga UKM. Kami mencatat 20% dari klien kami adalah UKM. Ini adalah kabar baik bagi industri ini,” kata Archie.

Olsera Luncurkan Zenwel, Mudahkan UKM di Bidang Jasa Buat Sistem Reservasi Online

Bertujuan untuk memudahkan proses dan manajemen pembayaran untuk penyedia layanan dan jasa, pengembang aplikasi point of sales Olsera meluncurkan Zenwel. Lebih lanjut diungkapkan oleh Co-Founder Novendy Chen, produk terbaru tersebut diposisikan menjadi solusi POS berbasis O2O serupa, hanya saja dikhususkan untuk bidang usaha jasa yang lebih fokus kepada manajemen reservasi layanan.

Beberapa bisnis yang kemudian ditargetkan oleh Olsera untuk bisa memanfaatkan Zenwel di antaranya adalah pelaku usaha di bidang pelayanan jasa seperti massage, spa, salon kecantikan, barbershop, fitness, yoga, hingga klinik konsultasi kecantikan dan kesehatan.

Selama pandemi, ada perubahan dari kebiasaan banyak masyarakat yang kemudian memanfaatkan semua layanan dan jasa secara online, dan mengharuskan proses pembayaran dilengkapi. Mulai dari olahraga di rumah memanfaatkan Zoom hingga klinik konsultasi secara online.

“Pada prinsipnya, kami ingin membawa pengalaman kami dari Olsera, sekaligus memenuhi permintaan dari para merchant kami yang bergerak di bidang layanan jasa seperti salon dan spa, akan pentingnya sebuah platform khusus yang benar-benar dapat digunakan secara maksimal untuk pertumbuhan bisnis yang lebih sehat dan sustainable sesuai dengan perkembangan teknologi,” kata Founder Zenwel Ali .

Terdapat beberapa pilihan paket yang bisa digunakan oleh bisnis, mulai dari pilihan secara gratis yang memiliki keterbatasan jumlah pemakai (staf) hingga paket Enterprise yang ditawarkan dengan harga cukup terjangkau untuk per bulan dan per tahunnya dengan jumlah staf yang tidak terbatas.

Untuk strategi monetisasi, pada tahap awal Zenwel menerapkan subscription dan MDR fee sharing dari transaksi offline dan online. Istilah MDR sendiri adalah Merchant Discount Rate, yang berfungsi ketika pengguna melakukan pemesanan secara online kepada merchant pilihan. Nantinya akan dikenakan MDR fee dari pembayaran tersebut.

Dari layanan yang telah dikonfirmasi, nantinya juga akan langsung diketahui oleh staf yang akan menangani tamu tersebut melalui aplikasi mobile Zenwel yang digunakan staf yang bersangkutan.

“Tidak hanya itu, para merchant pengguna Zenwel juga dapat membuka reservasi online melalui situs atau media sosial pribadi yang berjalan 24 jam, dan setiap reservasi yang masuk akan terhubung ke dalam POS,” kata Ali.

Fokus bisnis Olsera

Setelah meluncurkan aplikasi mobile Olsera Office akhir tahun 2019 lalu, hingga kini mengklaim telah memiliki sekitar 10 ribu lebih merchant aktif yang bergabung dalam platform. Olsera juga telah menjalin kerja sama strategis dengan Grab, Surge, Xendit, Midtrans, Ovo, GoPay, Dana, ShopeePay, LinkAja, KoinWorks, BFI Finance, Alumak, Gandeng Tangan dan lainnya. Ke depannya perusahaan menjanjikan segera menghadirkan dukungan layanan serupa ke dalam platform Zenwel dalam waktu dekat.

Meskipun pandemi sempat menghambat pertumbuhan bisnis Olsera khususnya kepada merchant, namun dari sisi pemesanan secara online termasuk di dalamnya pemesanan delivery dan take away, secara perlahan saat ini mulai pulih kembali.

“Tahun ini menjadi tahun yang begitu spesial dan produktif bagi tim. Sebelumnya, kami telah menghadirkan inovasi online order yang terhubung ke Olsera POS, di mana sangat membantu merchant untuk terus berjualan di tengah tantangan pandemi. Kini genap di 5 tahun Olsera, Zenwel adalah kado terbaik dari kami untuk merchant yang bergerak di industri jasa yang telah lama menantikan hadirnya solusi ini,” kata Novendy.

Application Information Will Show Up Here