4 Cara Mengatasi Notifikasi WhatsApp yang Tidak Muncul di Layar Android

Saya banyak menemukan teman yang bingung mengatasi masalah notifikasi WhatsApp yang tidak muncul di layar, tidak mengeluarkan bunyi dan juga tidak muncul di popup. Padahal ketika pertama kali dibeli, notifikasi muncul dengan baik, tapi entah kenapa suatu hari notifikasi itu berhenti berfungsi.

Continue reading 4 Cara Mengatasi Notifikasi WhatsApp yang Tidak Muncul di Layar Android

Bukan Cuma Bolong-Bolong, Mouse Gaming Ini Juga Dilengkapi Kipas Pendingin Terintegrasi

Belakangan ini mouse gaming bolong-bolong tampaknya sedang ngetren. Premisnya sederhana: berkat desain yang unik itu, bobot mouse bisa berkurang secara signifikan selagi masih menjaga ketahanan fisiknya. Banyaknya lubang juga berarti udara dapat bersikulasi dengan lebih maksimal, yang pada akhirnya berujung pada berkurangnya keringat di telapak tangan.

Terkait sirkulasi udara, sebenarnya cara paling mudah sekaligus murah untuk mengatasi problem ini adalah dengan mengganti cara kita menggenggam mouse menjadi claw grip, meski harus saya akui tidak semua orang nyaman dengan grip style seperti itu. Cara lainnya bisa dengan memanfaatkan perpaduan ventilasi udara dan kipas pendingin, seperti yang ditawarkan mouse unik bernama Zephyr berikut ini.

Penampilannya sepintas tidak berbeda jauh dari Cooler Master MM710 maupun mouse gaming berdesain honeycomb lain yang ada di pasaran. Namun senjata rahasia Zephyr terletak pada sebuah kipas pendingin di balik rangka luarnya. Fungsi kipas tersebut tidak lain dari menyemburkan angin segar langsung ke arah telapak tangan penggunanya, dengan sudut kemiringan 45°.

Zephyr gaming mouse

Kecepatan putaran kipasnya pun dapat diatur antara 4.000 – 10.000 RPM. Kipasnya ini juga bisa dimatikan sepenuhnya, meski jujur saya heran kenapa Anda harus membeli mouse ini kalau memang tidak akan memanfaatkan fitur unggulannya tersebut.

Pengembang Zephyr tak lupa menekankan bahwa kipas pendinginnya itu menerima suplai daya melalui kabel USB yang sama seperti mouse-nya sendiri, dan kemungkinan besar ini menyinggung mouse keluaran Thermaltake di tahun 2012 yang kipas eksternalnya perlu dicolokkan ke port micro USB di sebelah kabelnya.

Meski dilengkapi sebuah kipas pendingin, bobot Zephyr secara keseluruhan rupanya tetap cukup ringan di angka 68 gram. Performanya ditunjang oleh sensor optik PixArt PMW 3389, sensor yang sama persis seperti yang terdapat pada Cooler Master MM710 dan sejumlah mouse gaming lain, dengan sensitivitas maksimum 16.000 DPI. Tentu saja Zephyr juga dilengkapi tombol untuk mengganti DPI secara cepat.

Zephyr gaming mouse

Lebih lanjut soal desainnya, Zephyr menganut bentuk ambidextrous yang simetris, akan tetapi tombol ekstranya cuma ada dua di sisi kiri saja, sehingga ia akan lebih cocok untuk pengguna tangan kanan. Tombol utamanya sendiri memakai switch bikinan Omron dengan klaim ketahanan hingga 50 juta klik.

Saya tidak menemukan kata-kata “programmable buttons” pada situs Zephyr, yang ada malah cuma “programmable RGB tech“. Meski begitu, kecil kemungkinan ada sebuah mouse gaming di tahun 2020 yang hadir tanpa software pendamping untuk mengatur berbagai aspek kustomisasi, termasuk untuk memprogram tombol-tombolnya.

Rencananya, Zephyr akan ditawarkan melalui situs crowdfunding Kickstarter mulai 22 Juli mendatang. Untuk sekarang, konsumen yang tertarik bisa mendaftarkan email di situsnya guna mendapatkan harga spesial sebesar $79, atau 50% lebih murah daripada estimasi harga retailnya.

Sumber: PC Gamer.

IDC: Viewership Turnamen Esports Naik 2 Kali Lipat Selama Pandemi Corona

IDC dan Esports Charts bekerja sama untuk membuat laporan tentang pengaruh pandemi virus corona pada viewership dari esports. Berdasarkan laporan tersebut, total durasi video ditonton (hours watched) di Twitch mencapai 1,72 miliar jam, naik 98 persen jika dibandingkan dengan hours watched pada Desember 2019, yang dijadikan sebagai tolak ukur.

Namun, dalam laporan itu, juga terlihat bahwa total durasi video ditonton pada Mei 2020 turun 3 persen jika dibandingkan dengan bulan April. Hal ini berarti, ke depan, corona mungkin tidak lagi membuat viewership esports naik. Pada Q1 2020, total durasi video ditonton Twitch menembus 3 miliar jam untuk pertama kalinya. Namun, rekor tersebut kembali dipecahkan pada Q2 2020, saat total durasi video ditonton Twitch mencapai 5 miliar jam.

Untuk membuat laporan ini, IDC dan Esports Charts juga memantau 15 turnamen esports yang diadakan sepanjang karantina. Mereka lalu membandingkan jumlah penonton dari turnamen-turnamen tersebut dengan kompetisi yang sama saat diadakan pada 2019. Sebanyak 8 dari 15 turnamen mengalami kenaikan dalam total durasi video ditonton.

viewership esports corona
Viewership turnamen esports IEM Katowice 2020 naik 461 persen karena pandemi corona.

Kenaikan hours watched dari masing-masing turnamen beragam. Misalnya, League of Legends Spring European Championship hanya mengalami kenaikan viewership sebesar 17 persen. Sementara turnamen Counter-Strike: Global Offensive, Intel Extreme Masters Katowice mengalami kenaikan hingga 461 persen. IEM Katowice diadakan pada akhir Februari 2020. Ketika itu, izin ESL untuk mengadakan turnamen esports mendadak dicabut sehingga IEM Katowice harus diadakan tanpa penonton di tempat acara.

Sayangnya, tidak semua turnamen esports mendapatkan dampak positif akibat pandemi corona, menurut laporan Games Industry. Contohnya, turnamen Arena of Valor dan Garena Free Fire justru kehilangan para penontonnya. Namun, secara keseluruhan, total viewership turnamen esports mengalami kenaikan. Dari 15 turnamen esports yang diteliti oleh IDC dan Esports Charts, secara rata-rata, total hours watched naik hingga 114 persen sementara jumlah rata-rata penonton naik 67 persen.

Dalam laporan terbarunya, IDC juga memasukkan hasil survei yang mereka lakukan pada September 2019. Survei ini diajukan pada 2.500 gamer PC dewasa di 5 negara, yaitu Amerika Serikat, Brasil, Jerman, Rusia, dan Tiongkok. Selain itu, mereka juga mengadakan survei pada 7.500 gamer di Amerika Serikat.

Di AS, IDC menemukan bahwa 72 persen gamer yang menonton esports merupakan laki-laki. Hal ini berarti, jumlah fans esports perempuan mengalami kenaikan. Pada 2016, survei yang dilakukan oleh Nielsen menunjukkan bahwa 81 persen penonton esports adalah laki-laki. Menariknya, jumlah gamer perempuan dalam grup yang mengaku bukan fans esports justru jauh lebih tinggi, mencapai 52 persen.

Laporan DSResearch: Kolaborasi Pemberdayaan UKM 2020

Usaha Kecil, dan Menengah (UKM) menjadi komponen penting dalam perekonomian di banyak negara, tak terkecuali di Indonesia. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, per tahun 2018 tercatat ada lebih dari 64 juta UKM yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Mereka berhasil menyerap 95% dari total tenaga kerja nasional.

Melihat dampak yang diberikan, maka terlihat jelas bahwa UKM memiliki peranan yang krusial, sehingga layak untuk dijaga penetrasinya. Namun pada kenyataannya bisnis di skala tersebut banyak yang masih rentan, disebabkan oleh banyak faktor. Misalnya dari sisi internal, operasional bisnis yang belum tangkas sehingga menyulitkan untuk melakukan ekspansi. Kemudian faktor eksternal, contohnya terkait disrupsi teknologi.

Beberapa inisiatif lantas digulirkan oleh berbagai pihak, dengan menghadirkan inovasi untuk pecahkan masalah spesifik UKM, khususnya menggunakan pendekatan berbasis teknologi. Guna melihat sejauh mana upaya pemberdayaan tersebut, DSResearch berkolaborasi dengan Mandiri Capital Indonesia melakukan sebuah riset bertajuk “Small-Medium Enterprise Empowerment”.

Adapun pembahasan yang dirangkum dalam laporan mencakup:

  1. Lanskap UKM Global; membahas tren pertumbuhan UKM di dunia, termasuk inovasi dan adopsi teknologi yang dilakukan untuk optimalkan laju bisnis.
  2. Lanskap UKM di Indonesia; membahas perkembangan UKM di Indonesia, mengenai sektor populer, distribusi & klasifikasi bisnis, hingga adopsi teknologi sejauh ini.
  3. Tantangan UKM di Indonesia; membahas berbagai tantangan umum yang ditemui pelaku UKM di Indonesia, beberapa yang diutarakan terkait isu finansial, operasional, dan ekspansi.
  4. Solusi Strategis untuk UKM; mendalami solusi yang telah dihadirkan untuk UKM di Indonesia, dengan memetakan startup, produk, dan layanan digital yang sudah mulai diaplikasikan.

Studi kasus turut dibubuhkan ke dalam laporan, untuk memberikan perspektif langsung dari para pelaku UKM.

Untuk pembahasan selengkapnya, silakan unduh laporan tersebut melalui tautan berikut ini: “SME Empowerment Report”.


Disclosure: Dalam penyusunan white paper ini, DSResearch bermitra dengan Mandiri Capital Indonesia (MCI) yang merupakan corporate venture capital milik Bank Mandiri. MCI aktif berinvestasi ke startup digital di sektor fintech dan pengembang solusi-solusi untuk UKM di Indonesia.

Analis: Penjualan Hardware PC Gaming Meningkat Pesat Karena Pandemi

Pandemi COVID-19 menciptakan jutaan gamer PC baru. Itu bukan pendapat saya yang sejak kecil memang punya bias berlebih terhadap PC gaming, melainkan berdasarkan hasil riset ekstensif yang dilakukan Jon Peddie Research (JPR) baru-baru ini.

Dibandingkan tahun lalu, penjualan hardware PC gaming secara global diprediksi bakal naik hingga 10,3%. Alasannya sederhana: lockdown mendorong konsumen untuk membeli PC baru atau meng-upgrade milik mereka agar bisa digunakan untuk bermain game dengan lancar.

“Pasar hardware PC gaming sedang berada dalam skenario langka di mana semua segmennya mengalami peningkatan,” ujar Ted Pollak selaku analis senior JPR yang menuliskan laporan risetnya. “Kami melihat banyak orang membeli dan meng-upgrade komputer pribadi serta pemberian perusahaannya dengan komponen yang lebih baik, dengan tujuan untuk bermain video game,” tambahnya.

Di segmen entry-level, JPR memperkirakan penjualannya bakal naik sebesar 21,7%, dan sebagian besar angka pertumbuhan itu berasal dari gamer baru. Untuk segmen mid-range, grafik penjualannya akhirnya naik dan menunjukkan pertumbuhan yang positif. Lanjut ke segmen high-end, penjualan monitor beresolusi 1440p+ memicu konsumen untuk meng-upgrade komponen lainnya demi mengejar pengalaman gaming di 60+ fps.

Bahkan penjualan perangkat simulasi balap juga ikut naik berkat sejumlah ajang balapan bergengsi seperti Formula 1 atau Le Mans yang mengambil jalur virtual. Di kategori ini, perangkatnya mencakup PC berspesifikasi tinggi dengan setup audio premium, peripheral balap lengkap seperti setir, tuas persneling dan pedal gas/rem, dan terkadang juga kursi balap. Para penggemar baru sim racing ini disebut tidak segan mengucurkan dana hingga sebesar $2.000 – $5.000.

Ilustrasi memainkan game di PC / Pexels
Ilustrasi memainkan game di PC / Pixabay

Menurut saya pribadi, fenomena ini cukup bisa dipahami mengingat industri hiburan memang sedang terpukul. Jumlah film blockbuster yang dirilis dalam empat bulan terakhir ini menurun drastis, dan di saat orang-orang kehabisan tontonan, sebagian dari mereka akhirnya beralih ke gaming.

Pertanyaan berikutnya, kenapa PC? Kenapa tidak console saja? Saya setidaknya punya dua jawaban. Alasan yang pertama berkaitan dengan karakteristik multi-fungsi dari PC itu sendiri. PC bisa dipakai untuk bekerja sekaligus bermain, sehingga meng-upgrade PC bisa dilihat juga sebagai salah satu cara untuk menjalani tren WFH.

Yang kedua, ada kemungkinan konsumen menahan diri untuk membeli console dikarenakan semakin dekatnya perilisan next-gen console (PlayStation 5 dan Xbox Series X). Sebagian yang mengincar console current-gen mungkin juga berpikir mereka bisa mendapatkan potongan harga jika mereka menunggu sampai PS5 dan Xbox Series X dirilis, meski tentu saja ini berarti mereka melewatkan momen emas untuk bermain game di kala pandemi.

Saya sendiri termasuk salah satu konsumen yang meng-upgrade PC-nya di saat pandemi, meski saya punya alasan yang berbeda: slot PCIe motherboard saya rusak, hingga akhirnya saya harus mengganti motherboard, CPU dan RAM sekaligus, dan tidak lama setelahnya pun GPU saya ikut rusak. Berhubung PC merupakan sarana utama yang saya perlukan untuk bekerja, rencana upgrade PC ini pun langsung mendapat lampu hijau dari pasangan saya. Bonusnya, saya bisa memainkan lagi The Outer Worlds di setting grafik tertinggi 🙂

Menariknya, peningkatan penjualan hardware ini sudah mulai terjadi bahkan sebelum Nvidia dan AMD mengumumkan GPU generasi terbarunya masing-masing, yang rumornya tidak lama lagi. Di saat GPU Nvidia Ampere dan AMD RDNA 2 sudah diluncurkan nanti, bukan tidak mungkin penjualannya malah semakin meningkat lagi, meski memang ada kemungkinan juga pemasarannya baru dimulai tahun depan akibat proses produksi yang terhambat selama pandemi.

Via: PC Gamer. Gambar header: Artiom Vallat via Unsplash.

Platform Pekerja Lepas Fastwork dan Tantangannya Selama Dua Tahun di Indonesia

Fastwork adalah satu dari sekian platform yang bertekad memudahkan tenaga kerja lepas (freelancer). Fastwork berdiri sejak 2015 di Thailand dan masuk ke Indonesia pada pertengahan 2018. Alasan utamanya jelas untuk merebut pasar Indonesia yang merupakan terbesar di Asia Tenggara. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 menyebut ada 56,8% masyarakat bekerja di sektor informal, termasuk freelancer.

Tren peningkatan jumlah pekerja lepas pun diprediksi masih terus berlanjut. Hal ini sesuai dengan riset yang dibuat oleh Sribu pada tahun lalu yang menyebutkan tenaga kerja lepas di Indonesia saat itu naik 16% dari tahun sebelumnya.

Co-Founder & CEO Fastwork Jerd Phichitkul bercerita, pada saat mereka masuk Indonesia marketplace sedang naik daun, kemunculan banyak UKM, dan kesadaran bekerja lepas kian meningkat. “Kami secara resmi meluncurkan Fastwork Technologies Indonesia pada Agustus 2018 dan pada Oktober 2018 kami mengumumkan bahwa kami menerima pendanaan seri A,” kata Phichitkul dalam pernyataan tertulis.

Tantangan Fastwork di Indonesia

Sejak beroperasi di sini, Fastwork sudah memperoleh 100 ribu pengguna terdaftar, 10 ribu freelancer profesional, dengan 10 ribu transaksi yang tuntas setiap bulan. Ada sekitar 60 lebih kategori pekerjaan lepas di Fastwork. Desain grafis, penulisan & penerjemahan, fotografi & videografi, pemrograman web, dan jasa konsultasi merupakan kategori terpopuler di Fastwork.

Phichitkul menegaskan, salah satu keunggulan mereka terletak di sistem kerja yang memungkinkan freelancer dan pengguna jasa dapat bekerja sama lebih efektif seperti bertukar berkas, mengelola pesanan, dan memproses pembayaran.

Dalam hal pembayaran jasa, Fastwork memakai jaminan uang kembali apabila pekerjaan tidak selesai. Upah baru akan dikirim ketika pekerjaan sudah benar-benar selesai. “Kami juga memiliki fitur pembayaran bertahap, di mana pengguna jasa akan membayar pekerjaan dalam beberapa tahap. Ini akan memudahkan karena pekerjaan dapat dimulai lebih dulu tanpa harus membayar penuh di muka,” imbuh Phichitkul.

Vertikal ini memang bukan barang baru di mana pun. Ada cukup banyak kompetitor Fastwork. Beberapa di antaranya adalah Sribu, Kerjaholic, Freelancer Indonesia, Upwork, hingga Crowdsource, hingga Fiverr. Menyadari hal ini Phichitkul berambisi melakukan sejumlah adaptasi untuk pasar Indonesia.

Salah satunya adalah memastikan user experience aplikasi mobile mereka diterima dengan baik oleh penggunanya. Ini tak lain karena 70% freelancer mengakses Fastwork melalui aplikasi mobile. Padahal di Thailand akses menuju platform mereka masih didominasi dari desktop.

“Ini merupakan tantangan bagi kami untuk terus memastikan bahwa aplikasi kami memiliki user experience yang baik, bisa selengkap dan sekomprehensif versi desktop,” lengkapnya.

Pandemi tak menyurutkan target

Pandemi tentu membawa dampak terhadap bisnis Fastwork. Namun Phichitkul mengklaim, lambat laun mereka mulai bangkit karena banyak bisnis yang beralih dengan dengan beroperasi online. Baik jumlah pendaftaran freelancer maupun jumlah pengguna harian diklaim meningkat 50% lebih tinggi sebelum wabah Covid-19 melanda. Fastwork menyebut pekerjaan yang terkait dengan online commerce sebagai yang konstan tumbuh tiap bulan.

Faktor tersebut yang tampaknya membuat Phichitkul dan tim tetap yakin untuk menyongsong target bisnis. Untuk tahun ini Fastwork mematok target jumlah pengguna baru dan transaksi naik 50% dibanding tahun sebelumnya. Optimisme ini juga terlihat dari aspek pendanaan yang mana sudah ada rencana untuk menggelar pendanaan. Status pendanaan Fastwork sendiri masih seri A yang berhasil mereka kumpulkan pada 2018 dengan investor seperti Gobi Agung Fund dan Indogen Capital.

“Kami sedang merencanakan pendanaan kami di masa mendatang untuk memperluas tim kami di Indonesia dan akan merilis informasi pada waktu yang tepat,” pungkas Phichitkul.

Bagaimana TokoCabang Ubah Lanskap Model Bisnis Tokopedia

Sudah setahun lebih TokoCabang, layanan pemenuhan pesanan (fulfillment service) dari Tokopedia, diperkenalkan ke publik. Ini adalah bagian ambisi Tokopedia menjadi platform IaaS (infrastructure-as-a-service).

TokoCabang mulai mengaburkan lanskap model bisnis inti Tokopedia yang awalnya adalah marketplace murni C2C, menjadi semi B2C.

TokoCabang dioperasikan mitra yang ditunjuk Tokopedia, yakni PT Bintang Digital Internasional dengan nama brand Haistar. Mereka adalah perusahaan e-logistic yang berdiri pada 2018. Mitra lain yang ditunjuk adalah Titipaja, unit bisnis terbaru layanan logistik last mile Anteraja.

Haistar memiliki gudang yang tersebar di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Mereka juga terpilih sebagai mitra Pos Indonesia untuk “Haipos” dalam rangka optimalisasi aset perseroan yang berada di Medan, Palembang, dan Makassar.

Menurut keterangan seller kit TokoCabang, merchant Tokopedia dengan minimal reputasi Gold 1 atau Official Store dapat memanfaatkan gudang mitra untuk menitipkan barang-barangnya agar lebih cepat sampai ke konsumen.

Adapun lokasi gudang yang dapat dimanfaatkan merchant sejauh ini ada di Haistar Gading, Haistar Kamal, Haistar Bandung, Haistar Surabaya, dan Haistar Makassar. Sementara Titipaja baru tersedia di Cililitan, Jakarta, karena layanan baru beroperasi pada awal tahun ini. Kendati begitu, perusahaan berencana untuk ekspansi ke Bandung, Medan, Denpasar, dan Pontianak.

TokoCabang menggunakan konsep semi B2C karena mitra gudang dalam hal ini Haistar dan Titipaja akan menerima ongkos yang dibayarkan merchant dan dihitung berdasarkan volume bulanan. Misalnya, untuk volume lebih dari 1000 unit dikenakan biaya fulfillment Rp2.400 per unit untuk setiap barang yang terjual dan biaya penyimpanan Rp2.000 per unit tiap bulan.

Biaya tersebut terhitung lebih efisien ketimbang merchant harus buka cabang dan buka gudang sendiri karena harus memperhatikan biaya pekerja, biaya pengemasan, dan beban gudang. Ini adalah solusi win-win yang diciptakan Tokopedia untuk semua stakeholder.

Pandemi membuat mobilitas menjadi sangat terbatas, termasuk dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Alhasil pola belanja cenderung bergeser dari offline ke online. Jumlah penjual online pun meningkat.

Menurut catatan internal perusahaan, ada penambahan satu juta penjual baru menjadi 8,3 juta penjual pada Mei 2020 dalam kurun waktu tiga bulan.

Game changer untuk dunia e-commerce

Solusi Tokopedia bisa dikatakan berbeda dengan apa yang ditawarkan platform e-commerce B2C lain, misalnya Blibli, Lazada, dan JD.id.

Semua pemain B2C memperbanyak aset fisik, berupa gudang, untuk menyimpan barang-barang yang dijual. Memiliki gudang yang tersebar di beberapa titik di tiap kota berarti semakin pendek jarak pengiriman. Waktu pengiriman akan jauh lebih singkat dan ongkos kirim yang dibayarkan konsumen akan semakin murah.

Pada awal tahun ini, Blibli berencana menambah gudang menjadi 21 unit, serta hub dan mobile hub, menjadi 43 unit untuk percepat pengiriman. JD.id saat ini memiliki 11 gudang yang tersebar di Medan, Jakarta, Semarang, Pontianak, Surabaya, dan Makassar. Sedangkan Lazada memiliki 12 gudang dan 75 hub. Gudang terbesarnya ada di Cilodong, Makassar, Surabaya, dan Balikpapan.

Tokopedia sendiri pada bulan ini akan menambah kehadiran TokoCabang di Makassar, Medan, dan Palembang. Dalam keterangan resmi, sejak diluncurkan di Jakarta, Bandung, dan Surabaya, penjual yang memanfaatkan ini tidak perlu mempertimbangkan isu operasional — baik ketika menerima pesanan, mengemas, hingga mengantar ke kurir, terutama ketika menghadapi lonjakan permintaan.

Head of Fulfillment Tokopedia Erwin Dwi Saputra menjelaskan, selama pandemi terjadi lonjakan signifikan dalam jumlah pesanan yang ditangani TokoCabang hingga 2,5 kali lipat pada kuartal kedua dibandingkan kuartal pertama tahun ini.

Pengguna TokoCabang salah satunya adalah Big Bad Wolf yang menggelar bazar buku online pada 27 Mei-3 Mei dan 24-30 Juni lalu. Ratusan ribu buku terjual, dikemas, dan didistribusikan ke berbagai wilayah dengan lebih cepat lewat TokoCabang.

Konsumen yang memilih pelayanan melalui Tokopedia bisa memanfaatkan filter “Dilayani Tokopedia” di halaman pencarian.

Application Information Will Show Up Here

[Tips] Menggunakan Fasilitas VoWiFi pada Smartphone Xiaomi

Saat ini di Indonesia, internet mobile terkencang masih dipegang oleh teknologi 4G LTE. Walaupun 5G sudah digelar masa percobaannya, tetap saja konsumen di Indonesia hanya bisa menggunakan jaringan dari 2G, 3G, hingga LTE. 4G sendiri merupakan jaringan yang sepenuhnya merupakan jalur data atau IP based network, tanpa adanya kanal suara. Oleh karena itu, diciptakanlah teknologi seperti VoLTE atau Voice over LTE agar jaringan ini memiliki jalur suara seperti GSM dan CDMA.

Saat ini, operator yang memiliki teknologi VoLTE secara resmi di Indonesia baru dua, yaitu Smartfren dan Telkomsel. Kabarnya, Indosat akan menyusul untuk penggunaan VoLTE ini. Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa penggunaan VoLTE hanya akan berjalan dengan baik pada saat jaringan 4G yang ada kencang. Lalu bagaimana jika jaringan 4G sedang lemah?

VoWiFi Xiaomi - Called

GSMA pun mengeluarkan teknologi tambahan untuk melengkapi VoLTE dengan nama VoWi-Fi. Dengan teknologi ini, para pengguna jasa seluler yang mendukung bisa melakukan panggilan melalui jaringan Wi-Fi yang ada di sekitarnya. Keuntungannya adalah kita bisa melakukan dan menerima panggilan di mana pun asalkan ada jaringan internet melalui Wi-Fi.

Saat artikel ini dibuat, operator yang mendukung teknologi VoWi-Fi hanyalah Smartfren. VoWi-Fi dari Smartfren sendiri sudah digaungkan semenjak tahun 2017 lalu. Namun sampai saat ini, sepertinya Smartfren belum mau meresmikan teknologi tersebut. Akan tetapi, belum meresmikan bukan berarti belum berjalan.

Beberapa hari yang lalu saya cukup dikejutkan dengan obrolan teman saya mengenai VoWi-Fi. Beberapa pengguna iPhone ternyata sudah bisa menggunakan fasilitas ini dan berjalan dengan lancar. Hal itu membuat saya cukup penasaran, apakah perangkat yang saya gunakan saat ini bisa menggunakna VoWi-Fi.

VoWiFi Xiaomi - icon

Saya menggunakan Xiaomi Mi Note 10 Pro yang saat ini sudah mendukung fitur tersebut. Akan tetapi, selama ini saya selalu terkoneksi dengan Wi-Fi di rumah karena WFH dan sama sekali tidak pernah mendapatkan VoWi-Fi. Koneksi opsel Smartfren saya selalu terhubung dengan VoLTE.

Ternyata, ada trik yang bisa membuat kita terhubung dengan VoWi-Fi. Syarat utamanya adalah memiliki kartu SIM operator yang mendukung (saat ini baru Smartfren), sebuah koneksi internet yang terhubung melalui Wi-Fi, dan tentu saja perangkat Xiaomi. Sebagai disclaimer, saya belum tahu perangkat mana saja yang sudah mendukung VoWi-Fi. Yang pasti perangkat Xiaomi Mi Note 10 Pro yang saya gunakan sudah bisa mendapatkannya.

Hal pertama yang harus Anda lakukan adalah mematikan pendeteksian fungsi VoWi-Fi. Hal ini bisa dilakukan dengan membuka aplikasi bawaan Phone. Lalu, tekan *#*#VOWIFI#*#* atau *#*#869434#*#*. Jika ditekan dengan benar, maka akan muncul sebuah notifikasi pada bagian bawahnya. Mungkin, Anda harus menekan angka ini sekali lagi pada saat Smartfren meresmikan teknologi VoWi-Fi ini.

Hal kedua adalah masuk ke Settings, lalu masuk ke SIM Cards & Mobile Networks lalu masuk ke seting SIM dari Smartfren Anda. Pada bagian bawah akan ditemukan sebuah menu baru bernama Wi-Fi Calls. Nyalakan opsi ini dan nantinya pilih Prefer Wi-Fi.

VoWiFi Xiaomi - WiFi Call

Setelah semua sudah dilakukan dengan benar, hal ketiga yang patut dilakukan adalah menunggu. Sebagai informasi, saya harus menunggu sekitar 30-45 menit sebelum lambang VoWi-Fi muncul pada notification bar. Jika Anda beruntung, maka lambang tersebut bisa muncul lebih cepat.

Untuk mencobanya, Anda bisa masuk ke dalam mode pesawat (Airplane Mode) lalu nyalakan fungsi Wi-Fi-nya. Tunggu beberapa saat sampai logo VoWi-Fi muncul. Lalu coba melakukan atau menerima panggilan dari nomor Smartfren Anda. Berhasil?

VoWiFi Xiaomi - AirPlane

Cara ini kemungkinan juga bisa dilakukan pada saat operator lain sudah meluncurkan fitur VoWi-Fi. Dan yang pasti, Anda bisa menerima dan melakukan panggilan melalui Wi-Fi bahkan pada saat sinyal 4G tidak ada. Kabarnya VoWi-Fi juga bisa digunakan di luar negeri tanpa adanya gangguan yang berarti. Selamat mencoba.

Various Research Results on the Positive Impact of Playing Games

In Indonesia, games become a big problem for some parents, especially seen as the reason why a student got bad grades or bailed school. Even in a developed country like the United States, game often becomes the scapegoat. For example, everytime there is a mass shooting, game will be named as one of the reasons for the shooter to become a cold-blooded killer. Meanwhile in China, game is named as the reason for an increasing number of near-sighted youths. The impact of game to the players is a topic that has been debated for decades, giving birth to a lot of studies.

 

How does a Game Impact its Players?

In 2013, American Psychological Association (APA) did a research on how games can be used as education tools, and the positive impact of games to kids and teenagers.

“For decades, researches of the negative impact of playing games, including addiction, depression, and aggression, have been done. We never say that those researches have to be dismissed,” said Isabela Granic, PhD of Radboud University Nijmegen, Netherland, as one of the writer who developed said research, as quoted from APA sites.

According to the research, playing games can increase the cognitive ability of kids, including spatial navigation, perception, memory, even critical thinking. What’s interesting, shooting games, which have been regarded as full of violence, can also give positive effects, which is increasing the spatial cognition (the capability to navigate in the 3D plane). “This is important in children’s education and career development, because researches show that spatial skills possessed by a person will be impacting their achievements in science, technology, engineering, and mathematics,” said Granic.

So, is there any difference between the brains of gamers and non-gamers? To answer this question, in 2018, Senior Editor of Wired, Peter Rubin went to the Sports Academy in Thousand Oaks. There, he participated in a series of cognitive test, and having the results compared to professional gamers. You can see the contents of the tests in the video below.

The test results showed that professional gamers scored better, especially in tests that forced the participant to dismiss the distractions around them to focus on an objective. Games, especially action games, have a very high pace, forcing the players to make decisions in split second, amidst chaotic situations.

C. Shawn Green, Associate Professor, Department of Psychology, University of Wisconsin-Madison said that action games can indeed impact a person’s cogenitive skills. There are three cognitive skills that will increase when someone plays action games. The first one is perception, how we perceive our surroundings based on the stimulations received by our senses. The second one is spatial cognition, which is the ability to navigate on a 3D environment. The third and last one is top down attention, which is an ability to dismiss distractions, rendering them focused to one set goal.

 

Not All Games Give the Same Impact

Action games are proven to give good impacts to a person’s cognitive skills. But it does not mean all games produces the same effect. Games come in a wide range of variety of genres and gameplays. Playing role playing games and puzzle games will produce different effects than playing action games. Even so, it is not concluded that only action games produce positive impacts. In the research, APA stated, playing strategy games, including RPG, will increases a child’s problem-solving capability. One thing for sure, playing games can increase the creativity of the players, regardless of the genres they play.

Meanwhile, in a study titled Social Interactions in Massively Multiplayer Online Role-Playing Gamers, it is stated that playing MMORPG can increase the social skills of the players. The reason is, because MMORPG can be a place for the players to know one another and build friendships. The fact is, player-to-player interactions is seen to be one of the main attraction of MMORPG games.

Game MMORPG biasanya mendorong pemainnya untuk membentuk grup. | Sumber: Elder Scroll Online
MMORPG usually encourage the players to form groups. | Source: Elder Scroll Online

The interesting part, when playing MMORPG games, players can express themselves more freely. The hypothesis is, because a player does not feel bound to an identity – like age, gender, or appearances – when playing these games. Aside from increasing social skills, MMORPG games can also teach the importance of teamwork. In fact, most MMORPG games offer guild or clan feature, encouraging players to work hand-in-hand with one another.

Mark Griffiths, one of the writers of the study “Social Interactions in Massively Multiplayer Online Role-Playing Gamers” also believe that games can be used as an educational tool. The reason is, games can give stimulations to the players. In addition, playing games give you pleasure and fun. If learning materials are shaped into games, the students can be more focused to study it because it is not boring. Also, games are interesting to play for everyone, regardless of age, gender, or ethnic background.

Not just for education, Griffiths also think that games can be used for therapy, and there is, in fact, a research lab doing researches on this topic.

Game as a “Cure”

Neuroscape is a research lab in University of California, San Francisco, that has done a research on how games can be used to “cure” mental illness that has gone on for years. A subsidiary of Neuroscape, Akili Interactive Labs, has even had the products currently undergoing clinical test to get the approval from Food and Drug Administration (FDA) in the USA. Those products are Project: EVO, aimed to treat Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). In 2017, the project has reached the final stage of FDA testing.

“Our goals are not to replace the pharma industry,” said Adam Gazzaley, founder and Executive Director of Neuroscape, and board member of Akili. He revealed that their goal of doing this research is to find a new method of cure with minimum side effects. Gazzaley is a professor of neurology, physiology, and psychiatry. He built a cognitive neurology science research lab in UCSF in 2005. In games, he worked together with Lucas Arts, the publisher who released games from Star Wars and Indiana Jones franchise.

Neuroscape meneliti bagaimana game membantu penderita penyakit mental. | Sumber: CNBC
Neuroscape researches how games help mental illness patients. | Sumber: CNBC

“The elasticity of our brain, the capability of our brain to change, is influenced by our experiences,” said Gazzaley to CNBC. “If we can create an experience suited for someone, this can increase their brain capacity.”

Gazzaley explains, Neuroscape is not only trying to do gamification from physical exercises aimed to mental illness patients. Instead, they are trying to make games that combine physical movement and cognitive exercise. He believes that the researches he did will produce good results. “I think the problem lies in the absence of definitive evidence, and that is exactly what we are trying to do,” he said in an interview to The Verge. “We all believe in what we do. We just need to prove it with evidence.”

So far, we have talked about how games can give good positive impacts, but that doesn’t mean that games are panacea. I believe, everything in this world has a positive and negative impact. Same thing goes for games. In 2019, World Health Organization has specified gaming disorder as a mental disorder. But, as previously mentioned by Live Science, just because someone plays games often, it doesn’t necessarily mean they suffer from gaming disorder.

There are some characteristics in a person who suffers from gaming disorder. One of them is how they prioritize playing games above everything, disrupting their daily life. According to WHO, a person with gaming disorder can no longer control their game-playing habit. Also, they put games as the main priority, above work, education, and other hobbies.

Other specific characteristic of the disorder is, the person will keep on playing games even though they realize how it give bad impact on their lives, such as ruining relationships with friends and families, or disrupting their work or study rhythm. WHO also stated, someone has to have symptoms of gaming disorder of at least a year before being admitted as a patient of the disorder.

 

Conclusion

There are a lot of advantages that games can give. A game usually has an objective to be achieve, such as defeating someone, saving the world, or revitalize a farm that has been bequeathed upon the player. This helps the player to focus on achieving the goal.

Also, whether you realize it or not, there is a law of causality in games, especially in games that have heavy stories. In a game, you will be faced with options that will influence the story of the main character. Different with movies, where the viewers are not actively choosing the way the story progresses, games allow players to explore what happens when you choose different options. This concept is similar to the real world, where every decision you made will have consequences. The only difference is, in the real world, you cannot re-do your decisions from the last check point when you make a mistake.

It is true that games do not always give good impacts. Games can also give negative impact. But, just because some games resulted in negative impacts, it does not mean that games have to be completely abolished. Moderation is the key.

Source: IFL Science, APA, Wired, CNBC, The Verge, Live Science, Quartz

Header: TechRadar. Original article is in Indonesian, translated by @dwikaputra