Pentingnya Validasi Ide Sebelum Mengembangkan Startup

Mereka yang antusias dengan kewirausahaan, terutama dalam bentuk startup, pasti pernah terbersit suatu ide bisnis. Namun yang namanya ide bisnis tetaplah sebuah ide, ia belum terukur dan belum tervalidasi.

Maka akan wajar apabila gagasan bisnis itu terbentur dengan sejumlah pertanyaan seperti: (1) Apakah ide tersebut sudah tepat sasaran? (2) Apakah semangat dan wawasan dalam gagasan itu sudah mencerminkan kebutuhan pasar? (3) Dan yang tak kalah penting, bagaimana mengukur kebutuhan pasar agar produk yang dihasilkan nanti bisa dipakai khalayak?

Founder & CEO KaryaKarsa Ario Tamat berbagi pengalamannya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ario sudah bergelut di dunia startup sejak 2011 silam, ketika menciptakan Ohdio lalu mendirikan Wooz.in. Minat di bidang musik, pengalaman kerja di dunia teknologi dan keyakinan tak ada layanan serupa di saat itu membuat Ario cukup yakin bahwa produknya akan diterima pasar. Namun kenyataan membuktikan semua itu tidak cukup.

“Karena waktu itu berasumsi kami tahu industri musik, orang pasti mau pakai, dan belum ada di pasar. Tapi itu semua asumsi dan nyatanya tidak ada yang pakai,” cetus Ario.

Pengalaman pahit itu membawa bekal berharga bahwa tak semua gagasan bisnis, sebrilian apa pun menurut kita, bisa melahirkan produk yang dibutuhkan konsumen. Ada beberapa fase yang harus dilalui ide itu sebelum menjadi produk jadi yang andal.

Lean startup dapat menjadi metode yang dapat ditempuh karena ini sudah menjadi panduan umum bagi mereka yang ingin mendirikan startup. Ario menjabarkan metode ini berdasarkan pengalamannya dalam #SelasaStartup kali ini.

Fokus ke konsumen

Ario meringkas lean startup sebagai konsep pengembangan ide, sampai ide itu valid dan siap dilempar ke pasar. Hal yang digarisbawahi oleh Ario adalah fokus ke pertumbuhan konsumen alih-alih gagasan bisnis itu sendiri. Mengenali kebutuhan konsumen menjadi lebih penting ketimbang terpaku pada gagasan bisnis dalam hal ini.

Cara mengenal konsumen ini bisa bervariasi. Pilihannya bisa sesederhana menyebar kuesioner via Google Form atau wawancara langsung untuk menggali informasi lebih dalam. Fase ini penting karena kita dapat mengenal lebih dekat apa yang konsumen butuhkan, apa yang mereka keluhkan dari layanan yang ada, sehingga mengikis kadar bias dari ide bisnis yang kita kantongi.

Ario mencontohkan bahaya dari bias ini jika ada produk pengenalan wajah dan sudah meluncur ke publik namun ternyata di beberapa orang dengan fisik tertentu ia tak berfungsi. Perkara itu semata-mata muncul karena dalam pembuatan teknologinya, sampel wajah yang dipakai hanya berasal dari rupa fisik ras Kaukasian.

“Ketika kalian punya ide itu sebenarnya asumsi. Sejauh kalian belum bisa punya data untuk membuktikan itu benar, itu asumsi,” tegas Ario.

Harus berbeda

Jika informasi yang dibutuhkan dari konsumen sudah terkumpul maka bentuk ide bisnis bisa dikatakan lebih matang. Tapi bagaimana kalau sudah ada layanan komersial dengan ide bisnis tersebut? Ario menjawabnya dengan mencari celah masalah di layanan yang sudah ada itu.

Hampir semua layanan memiliki persoalannya sendiri dengan kadar yang belum tentu serupa. Peran kita adalah mencari tahu apa masalahnya dan berapa besar kadarnya itu. Tanpa menawarkan faktor pembeda maka hampir mustahil bagi pemilik ide bisnis dapat bersaing.

“Kalau enggak ada masalah kalian enggak punya kesempatan untuk masuk. Kalau sekadar pengen bikin aja, ya enggak apa-apa, tapi apa yang bisa bikin bisnis kalian lebih unggul. Problem banyak kok di dunia,” gurau Ario.

Berani bereksperimen

Sebuah eksperimen dapat terjadi secara disengaja maupun tidak. Sebuah proyek buku digital hasil kumpulan artikel seputar musik dan teknologi buatan Ario adalah buktinya. Ide Karyakarsa sendiri sudah dimiliki Ario sejak dua tahun sebelum platform itu meluncur ke khalayak.

Ide itu berangkat dari pencarian metode alternatif bagi musisi untuk mendapat pemasukan selain dari metode konvensional. Buku yang ia tulis sendiri ternyata menjadi pemicu utama yang meyakinkan Ario bahwa ide bisnis KaryaKarsa dapat berjalan.

Buku bertajuk Musik, Bisnis, dan Teknologi di Indonesia itu berhasil menarik ratusan pembaca dan lebih jauh lagi dalam sepekan ada 10 orang yang bisa rela memberikan uang untuk membaca bukunya. Ario mendorong eksperimennya lebih jauh dengan membuat platform yang bisa dipakai bagi para kreator konten dan memungkinkan penggemar karya mereka menyisihkan uangnya sebagai bentuk apresiasi yang saat ini berwujud KaryaKarsa dengan total pemasukan lebih dari Rp1 miliar.

“Di saat itu asumsinya adalah gue aja yang nobody bisa, masa’ sih orang yang punya follower banyak, selebriti, atau orang terkenal enggak?” imbuhnya.

Imbas COVID-19 Terhadap Layanan OTA dan Industri Pariwisata

Penyebaran virus Corona (COVID-19) yang bermula di Tiongkok adalah kabar buruk untuk industri pariwisata dan industri penunjangnya. Dampak buruk ini menyebabkan pelaku industri mengencangkan ikat pinggang sambil menunggu kabar baik penanganan wabah ini.

Merebaknya COVID-19 di Wuhan, Tiongkok, pada akhir Januari lalu sudah dipastikan mengganggu industri pariwisata global, termasuk di Indonesia. Layanan penerbangan dan pemesanan hotel adalah dua pos yang paling terpukul akibat penyakit tersebut.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat per Desember 2019, wisatawan mancanegara secara berurutan paling banyak berasal dari Malaysia, Singapura, dan Tiongkok. Tiongkok sendiri menyumbang sekitar 2 juta turis sepanjang tahun lalu atau peringkat kedua dengan 12,8 persen total wisman. Sementara Malaysia, Singapura, dan wisman dari negara Asia Tenggara lainnya berjumlah 6,1 juta.

Laporan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) memperjelas lebih detail pelemahan pariwisata di sejumlah daerah. PHRI menyebut Bali mengalami penurunan yang cukup drastis. Di beberapa titik wisata favorit warga Tiongkok seperti Nusa Dua, Tuban, dan Legian okupansinya anjlok 60-80 persen. Kedatangan penumpang internasional di Bandara Ngurah Rai tercatat stagnan di bawah 15.000 hingga di bawah 14.000 sejak akhir Januari hingga pertengahan Februari. Jumlah pesawat internasional ke Bali pun sempat terpuruk hingga 80-an saja. Padahal sepanjang Januari jumlahnya masih konstan di atas 100-an penerbangan.

Secara keseluruhan tingkat okupansi hotel di Bali hanya sekitar 30-40 persen. Hal yang sama terjadi di Manado yang didominasi wisman Tiongkok. PHRI menyebut okupansi hotel di sana turun 30-40 persen menjadi 30 persen saja.

Imbas terhadap OTA

Online travel agency (OTA) otomatis kena imbas dari situasi ini. Pegipegi melalui keterangan tertulisnya menitikberatkan penurunan pemesanan perjalanan domestik. Hal itu terjadi terutama ketika pemerintah mengumumkan kasus COVID-19 pertama pada Senin (2/3) lalu.

“Saat ini dapat kami lihat bahwa permintaan pemesanan perjalanan untuk destinasi domestik mengalami penurunan mengingat informasi kasus Corona di Indonesia baru saja diumumkan awal minggu ini,” ujar Corporate Communications Manager Pegipegi Busyra Oryza kepada Dailysocial.

Kontribusi OTA dalam ekonomi pariwisata Tanah Air tak bisa dianggap remeh. Databoks Katadata menunjukkan transaksi tiket online berada di angka US$8,6 miliar atau Rp125 triliun pada 2018. Angka itu diprediksi tumbuh hingga US$25 miliar atau Rp355 triliun pada 2025. Nominal ini adalah yang terbesar di Asia Tenggara.

Sektor pariwisata menyumbang 5,25% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2018 yang sebesar Rp14.837 triliun. Ini artinya dari sekitar Rp779 triliun yang disumbangkan sektor pariwisata, sekitar 16 persen di antaranya berasal dari transaksi online.

Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet yakin pelaku OTA di Indonesia pasti terpukul akibat COVID-19. Akan tetapi Yusuf melihat mereka bukan tanpa harapan dalam situasi genting seperti sekarang.

Yusuf berpendapat layanan OTA dapat menambal situasi yang ada dengan layanan sampingan mereka dan mengencangkan promosi untuk pasar domestik. Layanan OTA ternama, seperti Traveloka dan Tiket.com, sudah memiliki sejumlah layanan yang tak terkait dengan pemesanan penginapan maupun tiket pesawat seperti pemesanan makanan atau pemesanan tiket pusat rekreasi.

“Menurut saya mereka bisa memanfaatkan potensi wisatawan domestik tapi yang sifatnya lebih lokal. seperti wisata kuliner,” ucap Yusuf.

Bhima Yudhistira, ekonom Indef, mengatakan pukulan wabah terhadap OTA, terutama yang sudah beroperasi hingga ke mancanegara seperti Traveloka cukup besar. Hampir senada dengan pernyataan Yusuf, menurut Bhima harapan terletak pada kantong wisata domestik yang tinggal beberapa bulan lagi menyambut musim Lebaran.

“Setidaknya ini bisa menjaga situasi agar tak terlalu turun. Apalagi beberapa bulan lagi Lebaran jadi pasti akan ada kenaikan. Walau ada virus Corona, wisatawan domestik akan menyemaptkan pulang, jadi menurut saya masih akan cukup kuat [di domestik],” sambung Bhima.

Perwakilan Traveloka, yang dihubungi secara terpisah, mengaku prihatin atas situasi yang terjadi. Namun mereka menolak menjelaskan sejauh apa dampak yang mereka terima akibat kasus COVID-19. “Saat ini fokus kami adalah mengutamakan keamanan dan kenyamanan pengguna dalam merencanakan perjalanannya,” ujar Head of Marketing, Transport, Traveloka Andhini Putri.

Respons Pegipegi tak jauh berbeda. Mereka masih sibuk mengakomodasi kebutuhan para pelancong yang menggunakan jasa mereka, termasuk dalam pembatalan reservasi. “Saat ini, bagi pelanggan yang ingin membatalkan pemesanan mereka, dapat dilakukan dengan mudah melalui aplikasi Pegipegi dengan menggunakan fitur Online Refund,” imbuh Busyra.

Insentif pemerintah

Kontribusi pariwisata memang masih belum sebesar sektor manufaktur atau perdagangan, namun subsektor yang dinaunginya dan pertumbuhannya yang selalu positif cukup menjadi alasan bagi pemerintah untuk menelurkan sejumlah insentif.

Beberapa insentif itu misalnya dana Rp72 miliar untuk influencer (kemudian ditangguhkan); Rp860 miliar berupa diskon tiket peerbangan sebesar 50% untuk 10 destinasi wisata unggulan seperti Danau Toba, Yogyakarta, Bali, hingga Labuan Bajo; dan beberapa insentif lainnya. Nominal-nominal itu adalah insentif tambahan khusus untuk sektor yang berkenaan dengan pariwisata dengan total nominal Rp298,5 miliar. Sebelumnya pemerintah sudah memastikan mengguyur Rp10,3 triliun untuk berbagai sektor sebagai antisipasi pelambatan ekonomi.

Yusuf menilai sejumlah insentif itu patut diapresiasi meski ada beberapa hal yang masih harus dikritisi. Ia menganggap pemerintah belum terlalu rinci terkait penerapan insentif itu. Contohnya adalah diskon tiket penerbangan yang belum jelas berlaku untuk destinasi wisata unggulan saja atau untuk seluruh Indonesia.

Poin ini juga yang menjadi kritik PHRI. Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani menilai tidak terlalu fokus pada lima destinasi super prioritas, tapi juga ke daerah-daerah yang memiliki bisnis pariwisata mapan.

“Relaksasi pajak insentif jangan hanya ditujukan ke 5 Destinasi Prioritas dan destinasi yang memiliki wisman dari China saja, namun juga ditujukan ke
destinasi yang memiliki international direct flight dari negara negara lain yang kunjungan wisman juga menurun seperti Singapura, Vietnam, Korea Selatan dan
Malaysia,” tukas Hariyadi dalam paparannya.

Hingga tulisan ini dibuat sudah tercatat enam orang yang dinyatakan positif mengidap virus COVID-19 tanpa korban jiwa. Total di seluruh dunia, virus ini menyebabkan nyaris 99 ribu kasus, dengan korban jiwa sebanyak 3.390, dan korban yang pulih sekitar 56 ribu. Tiongkok, Korea Selatan, Italia, dan Iran merupakan empat negara yang saat ini paling menderita akibat wabah ini.

Startup Agrotech Chilibeli Terapkan Pendekatan “Social Commerce” dan Pemberdayaan Komunitas

Sektor pertanian di Indonesia memiliki potensi bisnis yang sangat besar. Pun bagi startup digital yang menggarap solusi di bidang tersebut. Namun tantangannya, para inovator akan dihadapkan pada isu-isu dengan karakteristik yang unik. Pemain baru yang mencoba peruntungan adalah Chilibeli, mengangkat konsep pemberdayaan komunitas dipadukan dengan platform social commerce.

Konsep bisnis Chilibeli menjembatani produk segar dari petani (sepertisayur-mayur, buah-buahan dll) dengan konsumen akhir. Yang membedakan dengan kanal e-commerce lainnya, pemesanan dilakukan per komunitas, bukan secara individu. Alex Feng selaku founder & CEO mengungkapkan, pendekatan ini diusung dari kebiasaan masyarakat Indonesia yang gemar berkumpul dan beraktivitas bersama dengan orang lain di sekitar tempat tinggalnya.

Dengan menggunakan model C2M (customer to manufacturer), Alex meyakini cara ini dapat mengakali tantangan menjual produk segar langsung ke tangan pembeli. Ia mengklaim Chilibeli saat ini adalah satu-satunya agritech yang memakai sistem itu di Indonesia.

“Kita harus membuat pemesanan sebelumnya, mengumpulkan permintaan, menginformasikan ke supplier, lalu mengirim produk ke gudang; dan kami akan mengirimnya ke agen. Dengan demikian kita bisa memastikan kesegaran, mendorong efisiensi dan mengurangi kerugian,” imbuh Alex.

Pendanaan dan target

Sebagai platform yang menghubungkan pembeli akhir dengan penyuplai, Chilibeli mengambil keuntungan dari selisih harga yang mereka peroleh. Dengan beragam jenis pangan yang mereka jual, mereka mengakomodir tiga jalur penyuplai yakni petani, pedagang grosir dan pasar.

Dari skema tersebut, pihaknya menargetkan operasional yang selalu profit. Tahun ini mereka menargetkan memperoleh pendapatan US$120 juta atau Rp1,6 triliun.

Soal pendanaan, startup yang berdiri sejak tahun 2019 tersebut kini sudah mengantongi investasi seri A, persisnya pada Desember 2019 dengan nominal US$10 juta atau sekitar Rp137 miliar. Adapun investor yang berpartisipasi meliputi Lightspeed Venture Partners dan Northstar Group. Tak lama lagi, tepatnya kuartal kedua atau ketiga tahun ini, Chilibeli berniat membuka putaran seri B.

Sebelumnya Chilibeli juga masuk dalam program akselerasi Surge yang diinisiasi oleh Sequoia di tahun 2019.

Alex mengatakan visinya menjadi social commerce terbesar di Asia Tenggara untuk produk pertanian. Untuk itu mereka berniat segera melebarkan area pelayanan mereka ke Jawa Timur dan Jawa Tengah, diikuti dengan penambahan fasilitas gudang di sekitarnya. Seperti diketahui sekarang Chilibeli hanya dapat melayani pelanggan di Jakarta dan sekitarnya.

“Tidak ada pemain lain di negeri ini yang memakai sistem komunitas untuk produk segar, tidak ada baik itu B2B ataupun B2C. Kami memberdayakan ibu-ibu dan komunitas dengan mengombinasikan social commerce dan produk segar,” pungkas Alex.

Application Information Will Show Up Here

Grab dan BRI Ventures Resmi Membuka “Grab Ventures Velocity” Gelombang Ketiga

Warung makan dan logistik menjadi tema pilihan Grab untuk gelombang ketiga program Grab Ventures Velocity (GVV). Potensi pasar yang sedang besar-besarnya menjadi alasan mereka memilih kedua vertikal tersebut.

GVV merupakan program akselerasi milik Grab yang berjalan sejak 2018. Sejasa, BookMyShow, SayurBox, dan Qoala adalah beberapa nama startup yang dipilih dari dua gelombang yang sudah diadakan.

Banyaknya pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) adalah alasan fundamental kenapa usaha mikro dalam berbagai sektor jadi peluang bagi startup digital. Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, warung merupakan salah satu jenis usaha mikro yang punya masa depan cerah jika terhubung dengan ekosistem.

“Jumlah usaha mikro itu 63 jutaan mulai dari pertanian, perkebunan, perikanan sampai warung; namun sesuai namanya usahanya mereka kecil-kecil, di sektor pertanian lahan mereka pun sempit. Jadi dibutuhkan startup baru yang bisa jadi partner usaha mikro untuk bisa terhubung dalam ekosistem,” ujar Teten.

Managing Director Neneng Gunadi menambahkan, meningkatnya industri kuliner dan kebutuhan pergudangan serta pengantaran untuk mendukung dunia usaha.

“Untuk usaha warung makan itu potensinya cukup besar, kuliner jadi sesuatu yang ngetren. Kedua, logistik jadi sangat penting di Indonesia. Jadi pada tahun ini kita menyasar ke dua hal itu,” sambung Neneng.

Gandeng BRI Ventures

Grab menggandeng BRI Ventures sebagai mitra strategis penyelenggeraan GVV tahun ini. Dalam kerja sama ini baik Grab maupun BRI Ventures sama-sama urunan dana dan fasilitas untuk mengakomodasi peserta.

“Tidak hanya cash, tapi fasilitas juga. Ekosistem yang dimiliki oleh Grab dan ekosistem yang dimiliki oleh BRI, nilai alokasinya kurang lebih 50-50,” ucap CEO BRI Ventures Nicko Widjaja.

Program GVV ini resmi dibuka mulai 03-31 Maret 2020. Sama seperti gelombang sebelumnya, Grab memperkenankan startup dalam negeri maupun luar negeri mengikuti program akselerasi ini.

Dan serupa sebelumnya, Grab menjanjikan startup yang diterima dalam program ini akan mendapatkan pilot project untuk menjajakan layanan mereka di platform Grab. Itu artinya startup tersebut punya kesempatan memperkenalkan produknya ke puluhan juta pengguna Grab.

“Itu kan sesuatu banget, karena mereka bisa memaksimalkan customer kita. Mereka bisa cek, pertumbuhannya akan seperti apa karena basisnya besar banget. Mereka juga akan dapat bimbingan dari C-level startup termasuk dari kami tentang bagaimana caranya agar jadi unicorn,” pungkas Neneng.

Program GVV gelombang ketiga ini dijadwalkan berlangsung selama 16 minggu. Pihak Grab berharap akan ada lebih banyak yang bergabung ke dalam program ini dengan asumsi dampak yang diberikan ke masyarakat juga akan lebih besar dari sebelumnya.

Disclosure: DailySocial.id adalah strategic partner Grab Ventures Velocity batch 3

Singapore Based Startup WhatsHalal to Arrive in Indonesia with Halal Certification System

The halal business prospect in Indonesia is getting promising. It’s not only for the local business but also captures other global players.

WhatsHalal is one of the global players with interest in this sector. Based in Singapore, WhatsHalal is to enter the Indonesian market with services focus on halal certification system for food and beverages.

The government action to require halal-certified products in October 2019 under Law Number 33 of 2014 concerning Halal Product Guarantee is a great opportunity for WhatsHalal to focus on its services in Indonesia.

Blockchain technology

WhatsHalal has a platform that simplifies the end-to-end process of halal certification through blockchain technology. With this platform, WhatsHalal claims to be able to shorten the time needed for merchants to certify products and cut costs needed during the process.

Simply put, the blockchain technology on WhatsHalal platform allows a product to be tracked and recorded its halal level from farmers’ harvests, manufacturing processes, restaurants, and retailers, to consumers. In other words, the energy, cost, and time to test the halal content of a product can be saved because everything has been aggregated into the blockchain.

“The current halal certification process is very time consuming and requires a lot of paperwork. Starting from halal certification registration, testing, inspection and auditing of products and processes, to the approval and granting of halal certificates,” WhatsHalal’s Founder and CEO Azman Ivan Tan said.

The use of blockchain for halal certification is based on the amount of data collected, stored and processed in the certification process. In addition, the use of the blockchain aims to encourage aspects of transparency and security of their services.

“We believe the use and implementation of the blockchain technology still in its early stages. As there are many applications of this technology in other industries in the future, the use of the blockchain will become the main standard in terms of security and supply chain that requires trust,” Azman added.

Arrival in Indonesia

In fact, Indonesia is the largest halal food consuming country in the world. Stated as the largest Muslim population, the velocity of money for halal food in Indonesia annually reaches US$ 173 billion.

The obligation to hold halal certificates for all producers, including SMEs, is one of the ways the government boosts the growth of halal products in the country. No wonder WhatsHalal, which currently only operates in Singapore, immediately peddled its services in Indonesia after the second quarter of 2020.

“Our platform can also help merchants measure the halal content of their products for export, thereby helping business decision making and adding value in terms of production and sales of halal products,” Azman wrote to DailySocial.

Before officially launched in Indonesia, WhatsHalal made its first steps by joining the acceleration program of Plug and Play Indonesia. In addition, they also just announced their success in obtaining initial funding with an undisclosed value.

Furthermore, Azman said that his team is looking for collaboration to work with the authorities in Indonesia such as the Indonesian Ulema Council, the Halal Product Guarantee Agency (BPJH), and several stakeholders to pave their way.

“We have some good partners and contacts of companies and local organizations in the halal product network. This will help the implementation of our platform for big players and SMEs in Indonesia,” he added.

SMEs as significant target

It’s not surprising when Azman mentioned SMEs due to its large number in Indonesia. The JPH Law indeed obliges SMEs, as well as corporations, to comply with the implementation of this halal certification. This actually raises another problem for SMEs due to the time-consuming and high-costing process.

WhatsHalal took this as an opportunity. Due to a large number of SMEs in Indonesia at almost 60 million and only 8 percent go online. With the all-digital WhatsHalal platform and the government’s push to require halal certification, Azman is confident that he will succeed in Indonesia.

“Indonesia’s halal industry has great potential that local and domestic players are yet to realize. Therefore, we thought the rise of halal certification implementation and obligation is to drive the Indonesian market needed to become a global giant of halal products and support the development of the entire industry,” Azman said.

WhatsHalal’s arrival will enrich the digital ecosystem which focuses on the Islamic economy and halal products in Indonesia. In addition to Islamic financial products, halal food and beverages and the Umrah marketplace are the most potential sectors to be worked on in the country. With the increasing business based on sharia economics and halal products, WhatsHalal has at least succeeded to have the right momentum.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Andalkan Sistem Sertifikasi Halal, Startup Singapura WhatsHalal Siap Masuk Indonesia

Prospek bisnis produk halal di Indonesia kian bersinar. Bisnis ini tak hanya menjanjikan para pelaku dalam negeri, tapi juga mengundang minat pemain dari luar negeri.

WhatsHalal adalah salah satu peminat bisnis produk halal dari luar negeri. Berasal dari Singapura, WhatsHalal segera masuk ke Indonesia dengan layanan yang berfokus pada layanan sertifikasi halal untuk produk makanan dan minuman.

Keputusan pemerintah untuk mewajibkan semua produk bersertifikasi halal pada Oktober 2019 berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal merupakan peluang besar WhatsHalal untuk memfokuskan layanannya di Indonesia.

Mengandalkan blockchain

WhatsHalal memiliki platform yang mempermudah proses sertifikasi halal dari hulu ke hilir melalui teknologi blockchain. Dengan platform tersebut, WhatsHalal mengklaim dapat mempersingkat waktu yang diperlukan merchant untuk sertifikasi produk dan memotong biaya yang dibutuhkan selama proses terjadi.

Sederhananya, blockchain di platform WhatsHalal memungkinkan sebuah produk dilacak dan dicatat kadar kehalalannya mulai dari hasil panen petani, proses manufaktur, restoran dan peritel, hingga di tangan konsumen. Dengan kata lain, tenaga, biaya, dan waktu untuk menguji kadar halal suatu produk bisa dipangkas karena semua sudah diagregasi ke dalam blockchain.

“Proses sertifikasi halal yang ada saat ini sangat menyedot tenaga dan waktu juga membutuhkan banyak sekali dokumen. Dimulai dari mendaftar untuk sertifikasi halal, pengujian, inspeksi dan audit terhadap produk dan prosesnya, sampai persetujuan dan pemberian sertifikat halal tersebut,” ujar Founder dan CEO WhatsHalal Azman Ivan Tan.

Penggunaan blockchain untuk sertifikasi halal ini didasari banyaknya data yang dikumpulkan, disimpan, dan diolah dalam proses sertifikasi. Selain itu pemanfaatan blockchain ini bertujuan mendorong aspek transparansi dan kemanan layanan mereka.

“Kami percaya penggunaan dan penerapan blockchain masih di tahap awal. Seiring banyaknya penerapan teknologi ini di industri lain di masa depan, penggunaan blockchain akan jadi standar utama dalam hal keamanan dan rantai suplai yang mana kepercayaan sangat penting di dalamnya,” imbuh Azman.

Menuju Indonesia

Perlu diingat bahwa Indonesia merupakan negara pengonsumsi makanan halal terbesar di dunia. Dengan status populasi muslim terbanyak, perputaran uang untuk makanan halal di Indonesia per tahun mencapai US$173 miliar.

Kewajiban memegang sertifikat halal untuk semua produsen, termasuk UKM, menjadi salah satu cara pemerintah menggenjot pertumbuhan produk halal di dalam negeri. Tak heran WhatsHalal, yang saat ini hanya beroperasi di Singapura, segera menjajakan layanannya di Indonesia setelah kuartal kedua 2020.

“Platform kami juga dapat membantu merchant mengukur kadar halal produk mereka untuk kebutuhan ekspor, sehingga membantu pengambilan keputusan bisnis dan memberi nilai tambah dalam hal produksi serta penjualan produk halal,” tulis Azman kepada DailySocial.

Sebelum resmi mengudara di Indonesia, WhatsHalal menyusun langkah pertamanya dengan bergabung ke program akselerasi milik Plug and Play Indonesia. Selain itu mereka juga baru mengumumkan keberhasilan mereka meraih pendanaan awal dengan nominal yang dirahasiakan.

Lebih jauh, Azman mengaku pihaknya sedang berusaha membuka komunikasi untuk bekerja sama dengan otoritas berwenang di Indonesia seperti Majelis Ulama Indonesia, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH), dan beberapa pemangku kepentingan lain untuk memuluskan jalan mereka.

“Kami punya sejumlah mitra baik dan kontak yang terdiri dari perusahaan maupun organisasi lokal dalam jejaring produk halal. Ini akan membantu implementasi platform kami ke pemain besar serta UKM di Indonesia,” imbuhnya.

Signifikansi UKM

Penyebutan UKM oleh Azman tak mengejutkan lantaran jumlahnya yang begitu besar di Indonesia. UU JPH memang turut mewajibkan pelaku UMKM, juga korporasi, patuh terhadap pelaksanaan sertifikasi halal ini. Hal ini sejatinya memunculkan masalah tersendiri bagi pelaku UMKM karena prosesnya yang memakan waktu dan biaya.

WhatsHalal melihat ini sebagai peluang. Pasalnya jumlah UMKM di Indonesia hampir mencapai 60 juta dan hanya 8 persen yang sudah go online. Dengan platform WhatsHalal yang serba digital dan dorongan pemerintah mewajibkan sertifikasi halal ini, Azman yakin dapat sukses di Indonesia.

“Industri halal Indonesia punya potensi besar yang belum tersentuh untuk pemain lokal dan domestik. dan kami rasa meningkatnya implementasi dan kewajiban sertifikasi halal akan jadi pendorong yang dibutuhkan INdonesia menjadi raksasa global produk halal dan mendukung pengembangan seluruh industri ini,” pungkas Azman.

Kedatangan WhatsHalal ini akan memperkaya ekosistem digital yang berfokus di ekonomi syariah dan produk halal di Indonesia. Selain produk keuangan syariah, makanan dan minuman halal dan marketplace umrah merupakan sektor yang paling potensial untuk digarap di Tanah Air. Dengan meningkatnya intensitas bisnis berbasis ekonomi syariah dan produk halal ini, maka kehadiran WhatsHalal setidaknya berhasil mengantongi momentum yang tepat.

Application Information Will Show Up Here

The Story of Overpaid Talents in Indonesia’s Tech Startup Ecosystem

It is quite common to find most startups offering substantial salaries for a series of expertise. Software Engineer, for example, is a type of work that is often associated with a high salary in startups.

Not only engineers but some other occupations are also tempted by a large sum of salaries. All this is inseparable from the combination of imbalanced supply-demand human resources and startup culture that emphasized rapid growth compared to traditional companies.

Recently, there was a problem as we observed the startup habit of giving exorbitant salaries to their employees. First, when funding dried up, employees’ layoffs can occur quickly. Second, their previously high salary can make it harder for companies to recruit due to their grade which is considered above average.

The budget hotel startup, OYO, has recently made the news after firing thousands of its employees in India, China, and also in the United States. Similar official announcements have not yet been heard from their operations in Indonesia. However, rumors have been spreading on social media.

We discuss with several people from the headhunter’s office to find out more whether it is true that startups are to “blame” for resources’ too expensive labels and considered “damaging prices”.

Lack of Resources

David Wongso, who works as Transearch International’s Managing Director, a human resources recruitment company, said that the first thing to understand is the availability of human resources which is sadly not getting along with the growing number of startups in Indonesia, at least until 2030. Not only startups, but the rise of conventional companies to digitize their businesses also add to the imbalance of the supply-demand of digital talent.

David also discovered another factor on the lean structure of startups that often caused some employees to level up so quickly from junior to senior management. Therefore, David said it is not surprising that such a large gap can causes remuneration for some human resources swelling.

“Some of them get leapfrog promotions jumping from middle to senior management,” David told DailySocial.

Rendi – an alias – is Gojek alumnus with expertise in marketing. The ex-Gojek status has successfully paved the way to join other startups. Although, not exactly as stated by David, Rendi managed to jump over mid-level management when moving to another startup.

Rendi agrees on the startup habit that is willing to pour out a large amount of remuneration of the desired talents. However, this does not apply at all levels and places. As Rendi said, his previous office only provides fantastic remuneration at the senior management level, not the junior and middle levels.

“For example, entry-level marketing for the strategic category has quite low offering. Nevertheless, other marketing positions such as Head or VP or any kind can be the real deal because mostly hijacked from big companies,” Rendi said.

High Demand

Another story comes from Haryotomo Wiryasono who works as a senior consultant at Glints, a recruitment platform. Haryo claimed that the term overpaid for startup talents is quite debatable.

According to Haryo, the demands and workload of startup employees are the main factors of the high salary. Investors’ pressure to achieve growth and impact leads to the extra work of the startup members. This is different from the conventional business model of the company which focuses on profits and the company’s long-term survival even though the results are slower growth.

“They don’t have the privilege of conventional companies. While we know that one of the startups that we know the oldest, like Facebook, is still in its teens but it has a huge impact,” he explained.

The three people above admit that startup culture influences the workforce climate. Haryo claimed to get a story from his client that the price tag of startup talents is too expensive. Rendi, in his new place, had failed several times to acquire talents of well-known startups because of the different standard salary.

However, David who has a long journey in the HR recruitment sector said the expensive price tag was not everlasting sweet. It’ll soon be a burden for the workers if they are unable to meet the expectations of their price tags. In the end, exorbitant salaries for digital talents who have worked in startups can be justified if they succeed in bringing their expertise, which is actually needed by many companies.

“Indeed, digital talents selected and eliminated from startup, when they return to work in large companies, they must be able to adapt to the company’s culture. Whether they are overpaid and have no leadership and managerial skills, it will be an obstacle for them,” David said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

GoPlay and the Challenges Ahead

The new original series by GoPlay, Gossip Girl Indonesia, is getting much of the public’s attention. The character names are kind of odd among society.

However, we’re not going in-depth with the series, instead, we’ll further analyze GoPlay’s strategy and future plans as the video-on-demand (VOD) platform. Gossip Girl Indonesia is not GoPlay’s first original content, after the recent ones titled Saiyo Sakato and Tunnel.

After all, GoPlay has not made any significant development in terms of strategy than the other VOD platforms, which is to make the most original content. In fact, the current scheme is quite a prerequisite to any of the video streaming.

“As a local-pride VOD platform, we have a big ambition to gather the largest catalog of Indonesian films and series. Therefore, we will continue to focus on original and exclusive content on the GoPlay platform to provide different and unique offers to Gojek users,” GoPlay’s CEO, Edy Sulistyo, stated to DailySocial.

The total of GoPlay’s original content is increasing, slowly indeed. In addition to the previous ones, other titles such as Kata Bocah The Show, Filosofi Kopi The Series, Haha Club, and Namanya Juga Mertua have listed on GoPlay’s catalog.

Edy said that the team is currently preparing two new content in the near future, the reality show titled Bukan Keluarga Biasa, a special series of Ramadan Jadi Ngaji, some other titles are still undisclosed.

Content is not the only issue

Pushing the production of original content has become an unwritten obligation for VOD service players. However, by focusing only on this issue won’t make them win the competition.

First of all is the price aspect. Comparing to the other players, GoPlay subscription fees are more expensive. The cheapest cost per month at iFlix is Rp. While Netflix, which is the most popular video-on-demand service, pays the lowest Rp.49,000 per month for mobile-specific services.

This is not a simple matter considering the behavior of Indonesian people is relatively price sensitive. Moreover, the content offered by GoPlay does not differ much from Hooq, iFlix, and Viu which concentrate on local and Asian content.

dsvideostreaming

Another stumbling block for GoPlay is limited access to watch only on mobile phones. For the record, all content provided by previously mentioned competitors is accessible on other devices. This can be something to withstand the GoPlay’s growth rate in its early days. Edy promised that he would launch new innovations to improve the customer’s viewing experience.

“Today, there are several new features that we currently develop this year in order to improve the viewing experience, and we will further inform you of this,” he added.

GoPlay’s opportunities

GoPlay’s presence is not without solutions. In terms of subscription fees, they have at least a short-term solution that is creating cross-service promotions. For instance, they create a bundling for GoPlay subscription package for two weeks with a GoFood voucher worth Rp360,000 and to be redeemed with only Rp.49,000.

As we all know, GoFood is one of the strongest services out of a total of 20 services on the Gojek platform. This cross-promotion can also be GoPlay’s preferred technique to simply attract consumers to subscribe to their video streaming platform.

GoPlay has another ammo as a quite extensive network of resources in the film industry. GoPlay, under GoStudio, has several times contibuted in the production of the country’s popular films. Aruna & Lidahnya, Kulari to the beach, 27 Steps of May, are part of their contribution.

artists who play roles in Gossip Girl Indonesia / Gojek
artists who play roles in Gossip Girl Indonesia / Gojek

Well-known artists in the film industry have collaborated with GoPlay to create a persuasive content lineup. Nia Dinata, Gina S. Noer, Angga Dwimas Sasongko, Ifa Ifansyah, are a list of names which is proven that GoPlay has a reliable network of filmmakers to win the audience.

“We can also say that in just the last two months, the number of GoPlay access users has increased more than thirteen times exponentially and continues to grow according to plan in a proud manner,” Edy said confidently.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Fenomena Talenta “Overpaid” di Ekosistem Startup Teknologi Indonesia

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa tak sedikit startup menawarkan gaji yang cukup besar bagi sejumlah bidang keahlian. Software Engineer misalnya adalah jenis pekerjaan yang identik dengan bayaran mahal di startup.

Tak hanya engineer, beberapa talenta di keahlian lain pun tak luput dari iming-iming gaji besar. Semua ini tak lepas dari kombinasi supply-demand sumber daya manusia yang masih berat sebelah dan kultur operasional startup yang menekankan pertumbuhan yang cepat jika dibandingkan dengan perusahaan tradisional.

Belakangan ada masalah yang terlihat dari kebiasaan startup memberi gaji selangit kepada karyawannya. Pertama, ketika sumber pendanaan mengering, pemutusan hubungan kerja bisa terjadi dengan cepat. Kedua, gaji tinggi mereka di tempat sebelumnya dapat menyulitkan perusahaan-perusahaan untuk merekrut talenta tadi karena dianggap jauh di atas rata-rata yang mereka sanggupi.

Belum lama startup hotel bujet, OYO, masuk ke dalam pembicaraan ini setelah memecat ribuan karyawan mereka di India, Tiongkok, juga di Amerika Serikat. Pengumuman resmi serupa memang belum terdengar dari operasional mereka di Indonesia. Meski demikian desas-desus mengenai hal itu sudah berkeliaran di media sosial.

Kami berbicara dengan beberapa orang dari kantor headhunter untuk mengetahui lebih jauh apakah benar startup pantas “disalahkan” atas label SDM yang terlalu mahal sehingga dianggap “merusak harga”.

Kelangkaan sumberdaya

David Wongso yang bekerja sebagai Managing Director Transearch International, sebuah perusahaan rekrutmen sumber daya manusia, mengatakan pertama-tama yang harus dipahami adalah ketersediaan SDM belum mengimbangi jumlah startup yang terus bertambah di Indonesia setidaknya hingga 2030 nanti. Tak hanya startup, gelombang perusahaan konvensional mendigitalisasi bisnis mereka juga menambah jomplangnya neraca permintaan dan suplai talenta digital.

Faktor lain yang ditemukan David adalah struktur ramping startup kerap kali menyebabkan sejumlah personel mengalami lompatan yang relatif lebih cepat dari level manajemen junior ke manajemen senior. Maka, menurut David, tak mengherankan gap yang sedemikian besar itu menyebabkan remunerasi bagi sejumlah SDM jadi membengkak.

“Sebagian dari mereka mendapatkan leapfrog promosi melompati jenjang middle management ke senior management,” ujar David kepada DailySocial.

Rendi–bukan nama sebenarnya–merupakan alumni Gojek dengan keahlian di bidang pemasaran. Status alumni Gojek berhasil memuluskan jalannya bergabung ke startup lain. Meski tidak persis seperti yang diutarakan David, Rendi berhasil melompati manajemen level menengah saat pindah ke startup lain.

Rendi mengamini kebiasaan startup yang rela menggelontorkan uang yang cukup besar untuk remunerasi SDM yang diinginkan. Meskipun demikian, hal itu tak berlaku di semua level dan tempat. Menurut Rendi, di tempat ia bekerja sebelumnya remunerasi fantastis hanya terjadi di level manajemen senior, namun tidak di level junior dan menengah.

“Misal ya entry level marketing yang masih kategori strategic, itu offering-nya lumayan rendah. Tapi marketing yang misal Head atau VP atau apapun bisa gede banget karena kebanyakan hijack dari perusahaan besar,” ucap Rendi.

Tuntutan tinggi

Cerita lain datang dari Haryotomo Wiryasono yang bekerja sebagai konsultan senior di Glints, sebuah platform rekrutmen. Haryo mengaku istilah overpaid untuk para talent asal startup masih bisa diperdebatkan.

Menurut Haryo, tuntutan dan beban kerja personel startup menjadi penyebab utama bayaran yang mereka terima jadi sangat tinggi. Tekanan investor untuk mencapai target pertumbuhan dan dampak yang diincar berujung pada kerja ekstra para punggawa startup. Ini berbeda dengan model bisnis perusahaan konvensional yang menitikberatkan profit dan keberlangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang meski hasilnya pertumbuhan mereka lebih lambat.

“Mereka tidak punya privilese seperti perusahaan konvensional. Sementara kita tahu salah satu startup yang kita kenal paling tua, seperti Facebook, itu umurnya masih belasan tahun tapi dampaknya sudah besar banget,” jelasnya.

Ketiga orang di atas mengakui bahwa kultur startup berpengaruh terhadap iklim tenaga kerja. Haryo mengaku mendapat cerita dari kliennya bahwa label harga tenaga kerja dari startup terlampau mahal. Rendi di tempat barunya beberapa kali gagal mendaratkan talenta dari startup ternama karena standar gajinya yang berbeda cukup jauh.

Namun David yang sudah lama bekerja di sektor rekrutmen SDM berujar label harga mahal tak selalu manis. Label harga mahal akan jadi beban bagi si pekerja ketika mereka tak mampu memenuhi ekspektasi dari label harga mereka. Pada akhirnya gaji selangit bagi talenta digital yang pernah bekerja di startup dapat terjustifikasi jika berhasil membawa keahlian mereka yang sejatinya kian dibutuhkan banyak perusahaan.

“Tentunya talenta digital yang terseleksi dan gugur dari startup, ketika mereka kembali bekerja di perusahaan besar, harus bisa beradaptasi dengan budaya yang unik dari perusahaan. Bila mereka overpaid dan tidak memiliki kemampuan leadership dan manajerial, maka akan menjadi kendala bagi mereka,” pungkas David.

GoPlay dan Tantangan yang Membayanginya

Judul serial terbaru GoPlay, Gossip Girl Indonesia, cukup mendapat perhatian publik. Nama-nama karakter di dalam serial ternyata dianggap kurang lazim di kuping masyarakat pada umumnya.

Namun bukan Gossip Girl Indonesia yang akan dibahas dalam tulisan ini, melainkan strategi dan masa depan GoPlay sebagai platform video on-demand (VOD). Gossip Girl Indonesia adalah konten original kesekian dari GoPlay setelah belum lama meluncurkan Saiyo Sakato dan Tunnel.

Namun sepertinya GoPlay tak membuat banyak perbedaan dalam strategi mereka dari para pemain VOD lain yakni memproduksi koleksi konten original sebanyak mungkin. Sejatinya taktik ini pun sudah seperti keharusan bagi pelaku layanan video streaming mana pun.

“Sebagai platform VOD karya anak bangsa, kami memiliki ambisi untuk mengumpulkan katalog terbesar bagi film dan serial Indonesia. Untuk itu kami akan terus fokus pada konten original dan eksklusif yang ada di platform GoPlay untuk dapat menawarkan penawaran yang berbeda dan unik bagi pengguna Gojek,” ujar CEO GoPlay, Edy Sulistyo, dalam pernyataan tertulis kepada DailySocial.

Konten original GoPlay yang dirilis memang terus bertambah meski secara perlahan. Selain yang sudah disebut sebelumnya, judul lain seperti Kata Bocah The Show, Filosofi Kopi The Series, Haha Club dan Namanya Juga Mertua sudah menghiasi katalog tayangan GoPlay.

Edy mengatakan pihaknya juga sedang menyiapkan dua tayangan baru dalam waktu dekat yakni reality show berjudul Bukan Keluarga Biasa, serial khusus Ramadan Jadi Ngaji, beberapa judul lain yang belum bisa mereka sampaikan.

Bukan hanya soal jumlah konten

Menggenjot produksi konten original memang sudah jadi kewajiban tak tertulis bagi pemain layanan VOD. Namun memperhatikan hal ini saja tak akan cukup membuat mereka memenangi kompetisi.

Pertama-tama adalah aspek harga. Jika membandingkan dengan pemain lain, biaya berlangganan GoPlay masih lebih mahal. Biaya paling murah per bulan di iFlix sebesar Rp39.000, Viu Rp30.000, Hooq Rp69.000, sedangkan per bulan GoPlay sebesar Rp89.000. Sementara Netflix yang berstatus sebagai layanan video on demand terpopuler mematok paling murah Rp49.000 per bulan untuk layanan khusus ponsel.

Ini bukan masalah sederhana mengingat perilaku masyarakat Indonesia masih terbilang sensitif akan harga. Terlebih konten yang ditawarkan oleh GoPlay tak berbeda jauh dari Hooq, iFlix, dan Viu yang berkonsentrasi pada konten lokal dan Asia.

video streamign platform

Kendala kedua yang bisa jadi sandungan untuk GoPlay adalah akses menonton yang terbatas di ponsel saja. Sebagai catatan, konten semua pesaing GoPlay yang disebut sebelumnya dapat diakses di perangkat lain di samping lewat layar ponsel. Hal ini yang bisa jadi dapat menahan laju pertumbuhan GoPlay di masa-masa awalnya. Edy berjanji pihaknya akan meluncuran inovasi baru untuk meningkatkan pengalaman menonton pelanggan mereka.

“Saat ini telah ada beberapa fitur terbaru yang sedang dalam pengembangan kami tahun ini dalam meningkatkan pengalaman menonton yang lebih baik lagi, dan kami akan menginformasikan lebih lanjut,” imbuhnya.

Kesempatan GoPlay

GoPlay bukannya tanpa solusi. Dalam aspek biaya berlangganan, setidaknya mereka punya solusi jangka pendek yakni menciptakan promosi silang antarlayanan. Seperti saat ini misalnya mereka memadukan paket berlangganan GoPlay selama dua minggu dengan voucher GoFood senilai Rp360.000 yang bisa ditebus dengan Rp49.000.

Seperti diketahui bersama, GoFood adalah salah satu layanan terkuat dari total 20 layanan di platform Gojek. Promosi silang ini pun dapat menjadi teknik pilihan GoPlay untuk sekadar menggaet konsumen menjajal koleksi tayangan mereka.

Amunisi lain yang dimiliki oleh GoPlay adalah jejaring sumber daya mereka dalam industri perfilman yang cukup mumpuni. GoPlay, di bawah bendera GoStudio, sudah beberapa kali ikut berperan dalam produksi film terkemuka Tanah Air. Aruna & Lidahnya, Kulari ke Pantai, 27 Steps of May, adalah contoh keterlibatan mereka.

Gossip Girl Indonesia
Sejumlah sineas yang berperan dalam Gossip Girl Indonesia / Gojek

Nama-nama besar dalam industri perfilman pun sudah digandeng GoPlay untuk memperkuat jajaran konten mereka. Nia Dinata, Gina S. Noer, Angga Dwimas Sasongko, Ifa Ifansyah, adalah nama-nama yang jadi bukti bahwa GoPlay punya jejaring sineas andal untuk merebut penonton.

“Kami juga dapat katakan bahwa hanya dalam dua bulan terakhir, jumlah pengguna access GoPlay naik lebih dari tiga belas kali secara eksponensial dan terus bertumbuh sesuai rencana secara membanggakan,” pungkas Edy penuh percaya diri.

Application Information Will Show Up Here