Transformasi Digital Astra Group Lewat Platform Produk Keuangan Terintegrasi “Moxa”

Sejak beberapa tahun terakhir, Astra Group sudah mulai menjejakkan upaya untuk bertransformasi digital. Dalam mengembangkan inisiatif tersebut, perusahaan berkiblat pada tiga pendekatan utama, yaitu memodernisasi core business, menciptakan sumber pendapatan baru yang inovatif, dan berinvestasi pada produk di ekosistem digital.

Lewat beberapa anak usaha di bidang pengembangan digital, Astra telah melahirkan sejumlah produk di berbagai kategori layanan, antara lain AstraPay, CariParkir, Sejalan, Movic, dan SEVA. Terbaru, Astra Group melalui PT Sedaya Multi Investama (Astra Financial) merilis platform keuangan digital, yakni Moxa.

Moxa dikembangkan oleh PT Astra Kreasi Digital yang juga berada di bawah naungan Astra Financial. Platform ini sejak awal dirancang sebagai solusi digital terintegrasi bagi seluruh produk keuangan milik Astra Group. Pada kesempatan ini, CEO Moxa Daniel Hartono berbagi paparan lebih dalam mengenai produknya kepada DailySocial.id.

Mengenal Moxa

Moxa alias Mobile Experience by Astra Financial baru meluncur pada Maret 2021. Kendati begitu, Daniel berujar bahwa pengembangan Moxa sebetulnya sudah direncanakan secara matang jauh sebelum pandemi Covid-19 terjadi. Peluncuran Moxa justru baru dilakukan menyusul tren perubahan gaya hidup masyarakat yang memicu akselerasi layanan digital di Indonesia.

Tren ini juga diperkuat oleh laporan e-Conomy SEA 2020 oleh Google, Temasek, Bain & Company yang menyebutkan sebanyak 37% pengguna internet di Indonesia adalah first time user. Sementara, 93% konsumen digital di Indonesia mengaku akan terus menggunakan platform digital untuk memenuhi kebutuhannya apabila Covid-19 usai.

“Kami melihat Covid-19 mendorong konsumsi digital yang besar di berbagai sektor, termasuk keuangan. Dari situ, Astra Financial akhirnya mengembangkan platform untuk mengakomodasi kebutuhan konsumen yang kini semakin tergantung dengan produk digital. Salah satunya lewat Moxa yang terintegrasi, cepat, dan aman,” ujarnya.

Saat ini Moxa menghubungkan konsumen dengan 21 jenis produk finansial milik Astra Group, mulai dari pembiayaan mobil pembiayaan motor, asuransi kesehatan, asuransi jiwa, pembiayaan alat berat, hingga pinjaman multiguna. Moxa berperan sebagai alternate digital channel bagi para mitra jasa keuangan. Adapun, layanan keuangan sepenuhnya dikelola oleh mitra bisnis.

Budaya kerja agile

Dalam meracik strategi produk dan bisnis, ungkap Daniel, pihaknya menerapkan metode agile yang berfokus pada insight-driven serta mengombinasikan pengalaman puluhan tahun dari bisnis Astra Group. Dari sisi produk, Moxa dan produk digital Astra lainnya dikembangkan dengan mengedepankan konsep Minimum Viable Product (MVP) dan usability testing secara reguler.

“Kami memastikan dapat merumuskan customer pain points, business insight, dan solusi berbasis teknologi di setiap peluncuran fitur atau produk baru Moxa. Tim kami selalu melakukan design thinking bersama segenap tim produk, cabang, teknologi, dan bisnis,” jelasnya.

Dalam perjalanannya, ia menilai kepercayaan dari mitra jasa keuangan memberikan tantangan besar bagi perusahaan. Pasalnya, Moxa harus dapat memberikan nilai tambah yang lebih dibandingkan layanan sejenis yang sudah ada. Tim Moxa juga harus dapat mendigitalisasi proses keuangan yang selama ini sudah berjalan.

Contohnya, digitalisasi pengajuan kredit agar dapat dilakukan secara lebih cepat, mudah, dan aman sesuai koridor regulasi. Pihaknya berkomitmen untuk menyediakan jasa keuangan digital sesuai aturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Saya pikir Moxa berhasil menjawab tantangan tersebut. Sebagai bukti, Moxa mengantongi pencapaian baik meskipun masih tergolong pemain baru. Aplikasi kami sudah diunduh 3,5 juta kali pada periode Maret-Agustus 2021. Perjalanan masih panjang, tetapi kami yakin angka ini menjadi indikator penerimaan pasar yang baik terhadap produk Moxa,” paparnya.

Ekosistem dan kolaborasi

Saat ini, Moxa masih fokus memperkuat ekosistem produk secara inklusif dengan seluruh produk keuangan milik Astra Group. Daniel menargetkan jumlah pengguna Moxa dapat mencapai pertumbuhan hingga lima kali lipat dalam tiga tahun mendatang.

Beberapa kolaborasi inklusif yang telah dilakukan adalah sinergi Moxa dengan dompet digital AstraPay dan platform pinjaman Maucash. Pada sinergi AstraPay, pengguna Moxa dapat menggunakan saldo AstraPay untuk melakukan transaksi.

Di luar sinergi internal ini, Moxa juga berencana membuka ekosistemnya dengan pihak eksternal. Menurut Daniel, pihaknya telah menyiapkan sistem Open API sehingga mempermudah kolaborasi strategis dengan mitra eksternal di masa depan.

Salah satu kolaborasi yang baru terealiasi adalah kerja sama Moxa dengan PermataBank untuk menyediakan fitur Tabungan Permata moxaKu pada awal Agustus ini. Lewat fitur ini, pengguna Moxa dapat membuka rekening tabungan langsung lewat aplikasi tanpa perlu datang ke kantor cabang.

“Saat ini, pengguna layanan Moxa didominasi oleh konsumen yang mengajukan pinjaman di Maucash, pembiayaan dan multiguna untuk motor dan mobil, dan pengajuan asuransi. Kami juga melihat peningkatan pada produk Tabungan Permata moxaKu. Secara total, sudah ada 300 kerja sama Open API di platform Moxa. Kami akan terus memperluas kolaborasinya untuk mendukung akselerasi digital,” kata Daniel.

Application Information Will Show Up Here

Suksesi Noice dan Ambisinya Jadi Platform Konten Audio Lokal Terbaik

Usai mengamankan pendanaan tahap awal pada kuartal pertama 2021, platform konten audio Noice resmi menyambut dua petinggi baru dalam jajaran direksinya. Mereka adalah Rado Ardian sebagai Chief Executive Officer (CEO) dan Niken Sasmaya sebagai Chief Business Officer (CBO).

Keterlibatan kedua veteran Google tersebut sejalan dengan upaya Noice untuk menjadi platform audio lokal terbaik di Indonesia. Apalagi, pertumbuhan konten audio, seperti podcast, saat ini tengah digandrungi oleh masyarakat.

Dalam wawancara dengan DailySocial, Presiden Direktur Mahaka Radio Adrian Syarkawie yang kala itu masih menangani langsung Noice berujar bahwa pihaknya sempat kesulitan mengembangkan bisnis platform ini. Pasalnya, sejak awal perusahaan induk Mahaka Radio bukanlah perusahaan teknologi sehingga pasti ada keterbatasan dalam pengembangannya.

“Kami sadar ke depannya tidak bisa berkembang dari konten saja, tetapi juga teknologi. Maka itu, kami coba cari investor yang dapat memberikan support dari sisi teknologi,” ujar Ardian saat itu kepada DailySocial.id.

Dalam keterangan resminya baru-baru ini, Ardian mengaku akan tetap berperan aktif dalam mendukung pengembangan Noice ke depan di bawah nakhoda Rado dan Niken.

Semula Noice dikembangkan sebagai platform radio streaming. Namun, menurutnya, layanan ini dinilai tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar yang kian berkembang. Sementara konten on-demand tumbuh pesat di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Dirancang semula sebagai platform radio streaming, Noice mulai memperlebar segmen layanannya dengan merambah pada konten audio on-demand. Noice berdiri di bawah naungan PT Mahaka Radio Digital pada 2018 yang merupakan perusahaan patungan milik PT Mahaka Radio Integra Tbk (IDX: MARI) dan PT Quatro Kreasi Indonesia. Adapun Quatro adalah hasil konsorsium perusahaan rekaman di Indonesia, antara lain Musica, Aquarius, My Music, dan Trinity.

Berdasarkan data terakhir, Noice telah mengantongi sebanyak 800 ribu registered listener di seluruh Indonesia dengan lebih dari 3.100 episode podcast, dan 200 katalog podcast, baik konten orisinal maupun eksklusif. Noice juga telah bekerja sama dengan lebih dari 100 podcaster.

Kiprah eks petinggi Google

Sebelum penunjukan Rado dan Niken, Noice sebetulnya sudah mulai melakukan sejumlah upaya untuk menangani keterbatasan ini. Pertama, Noice mulai mencari investor yang dapat memberikan guidance, baik dari sisi teknologi maupun kolaborasi bisnis. Hingga akhirnya, Noice pun mendapatkan investor dari sejumlah VC ternama yang memiliki portofolio kuat di teknologi. Mereka adalah Kenangan Kapital, Alpha JWC Ventures, dan Kinesys Group.

Kedua, perusahaan juga mulai memperbanyak talent baru dari India yang ditempatkan khusus untuk pengembangan teknologi dan platform Noice ke depan. Ini cukup menjelaskan roadmap perusahaan di paruh pertama 2021, Noice meluncurkan versi beta dengan UI/UX yang berlanjut pada versi 2.X dengan fitur unggulan personalized content.

Dalam keterangan resminya disebutkan, Rado dan Niken telah berkarir selama hampir sepuluh tahun di Google dan YouTube untuk kawasan Asia Pasifik. Rado memiliki berbagai pengalaman di Google mulai dari mengembangkan bisnis Google Ads di industri FMCG hingga menangani strategi customer experience untuk Google Maps dan Google Store bersama tim product dan engineering di India, Jepang, Indonesia, Singapura, dan Australia.

Sementara Niken telah mengemban sejumlah posisi penting di Google dan YouTube. Di antaranya sales, partnership, dan program development di Singapura dan Jepang serta menjabat sebagai Global Program Manager di YouTube yang fokus untuk mengembangkan ekosistem kreatornya di global. Niken menjadi orang pertama yang mengemban tanggung jawab posisi ini di Asia Tenggara/Australia dan Selandia Baru.

“Belajar dari pengalaman kami di Google dan YouTube, kami ingin membangun Noice agar dapat mendukung kreator konten audio di Indonesia dan membangun komunitasnya sendiri lewat teknologi dan fitur yang kami luncurkan. Kami juga memfasilitasi para kreator untuk memproduksi konten orisinal dan eksklusif di fasilitas studio rekaman dengan tim produksi milik Noice,” ujar Niken.

Roadmap Noice

Menurut Rado, pihaknya masih akan terus melanjutkan rencana pengembangan Noice yang sudah ditetapkan sejak awal demi mewujudkan visinya sebagai platform audio lokal terbaik an membangun ekosistem konten audio di Indonesia. Selain pengembangan platform dan lokalisasi konten, ada tiga hal yang menjadi fokus utama Rado dan Niken

Pertama, Noice akan fokus mengutamakan fitur yang dapat memungkinkan kreator/podcaster untuk berinteraksi dua arah dengan pendengarnya. Sebagaimana disampaikan Niken sebelumnya, Noice juga membangun studio rekaman beserta tim produksi untuk memfasilitasi produksi konten orisinal dan eksklusif di Noice. Saat ini, Noice menghadirkan sejumlah konten audio, mulai dari podcast, live audio, radio streaming, audiobook, dan musik.

Kedua, Noice akan memperkuat ekosistem kreator konten audio di Indonesia. Menurut Rado, meski sudah banyak kreator konten yang sukses di Indonesia, tetapi kebanyakan masih bermain di platform video. Sementara, pilihan platform berbasis audio yang berfokus pada pasar lokal dirasa masih terbatas.

“Maka itu, kami ingin menciptakan ekosistem kreator konten audio di Indonesia agar mereka bisa sukses, tampil, dan terkoneksi dengan para pendengarnya. Kami juga ingin memberikan variasi konten dan mengakuisisi kreator besar dengan membuka platform Noice untuk konten non-orisinal. Selain itu, kami ingin memfasilitasi brand-brand agar dapat membangun dan menemukan komunitasnya di platform kami,” jelasnya.

Terakhir, Noice terus melanjutkan perekrutan untuk mengisi posisi yang dibutuhkan. Saat ini, tim product dan engineering Noice masih berlokasi di India. Sementara, tim di Indonesia diperuntukkan bagi pengembangan bisnis, seperti konten, produksi, marketing, partnership & sales, dan PR.

“Kami akan mulai fokus monetitasi apabila user base, Monthly Active Users (MAU), dan time spend di platform kami meningkat cukup besar. Kami sudah menyiapkan beberapa skema monetisasi yang rencananya kami uji untuk beberapa kreator pilihan sebelum diluncurkan sepenuhnya ke kreator lain,” tambahnya.

Pertumbuhan pasar konten audio

Saat ini, Indonesia tengah mengecap pertumbuhan manis dari meningkatnya konten digital berbasis audio. Berdasarkan data Spotify, Indonesia mendominasi konsumsi podcast terbanyak se-Asia Tenggara pada 2020. Sebanyak 20% dari total pengguna Spotify di Indonesia mendengarkan podcast setiap bulan, dan jumlah tersebut lebih tinggi dari persentase rata-rata global.

Tak dimungkiri, pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor besar di balik konsumsi konten-konten podcast. Konten ini menjadi buruan konsumen digital, terutama ketika dihadapkan pada situasi bekerja dan sekolah dari rumah.

Di Indonesia, rerata pengguna menghabiskan 8 jam untuk online. Namun, sebanyak 56% yang didominasi gen Z dan milenial mengeluhkan screen fatigue akibat terlalu banyak terpapar konten visual. Maka itu, konten audio dinilai menjadi nice escape bagi sebagai pengguna internet Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Dua Tahun QRIS: Mengungkap Pengalaman Bertransaksi via “Mobile Banking” dan Uang Digital

Dua tahun perjalanan awalnya, fitur QRIS mulai menunjukkan pertumbuhan adopsi yang luar biasa sebagaimana diulas DailySocial di tulisan bagian pertama. Hal ini divalidasi data yang dibagikan Bank Indonesia (BI) tentang peningkatan transaksi selama satu tahun terakhir.

Selain peningkatan transaksi, kami juga melihat tren antusiasme dari para pengguna yang menyoroti berbagai macam isu terkait adopsi QRIS di lapangan. Isu ini terungkap lewat survei mini yang kami lakukan kepada 65 responden. Meski belum mewakili sebagian besar pengguna layanan pembayaran digital di Indonesia, survei ini tetap sesuai dengan semangat utamanya, yakni menyoroti isu yang dapat menjadi ruang perbaikan bagi pemangku kepentingan.

Pada bagian kedua ini, DailySocial membeberkan isu-isu lain yang menyoroti lebih rinci dari perspektif pengguna, seperti kategori produk yang sering dibeli hingga platform pembayaran yang lebih digemari untuk melakukan transaksi dengan metode QRIS.

QRIS dalam penggunaannya

Pada tulisan sebelumnya, salah satu tantangan adopsi QRIS adalah keterbatasan merchant yang menerima pembayaran dengan metode ini. Tak mengherankan sebagian besar responden mengaku lebih banyak bertransaksi untuk pembelian makanan dan minuman (95,2%). Pada kategori lainnya, transaksi QRIS juga digunakan untuk pembelian kebutuhan pokok (35,5%), donasi (17,7%), dan layanan transportasi (11,3%).

Kategori produk yang dibeli dengan metode QRIS / DailySocial
Kategori produk yang dibeli dengan metode QRIS / DailySocial

Dari 93,8% responden yang pernah bertransaksi dengan metode QR Code, sebanyak 33,3% di antaranya menghabiskan Rp50.000-Rp300.001 untuk bertransaksi. Kemudian disusul 22,7% responden menghabiskan di atas Rp1 juta, Rp500.001-Rp1.000.000 (21,2%), Rp300.001-Rp500.000 (18,2%), dan di bawah Rp50.000 (4,5%).

Frekuensi transaksi pembayaran dengan QRIS / DailySocial
Frekuensi transaksi pembayaran dengan QRIS / DailySocial

Apabila transaksi QRIS sudah bisa digunakan untuk kategori yang lebih luas, misalnya transportasi publik yang lebih beragam, pedagang kaki lima, dan pasar, tentu adopsinya akan meningkat lebih pesat. Pasalnya, konsumen di segmen ini masih banyak yang bertransaksi dengan metode uang tunai daripada metode pembayaran yang belum terlalu familiar.

Mobile banking versus uang digital

Salah satu fakta menarik yang kami himpun dari survei ini adalah bagaimana pengguna lebih merasa nyaman bertransaksi dengan metode QRIS melalui aplikasi mobile banking (58,1%) ketimbang uang digital (e-money).

Jika dirinci berdasarkan merek platform, aplikasi mobile banking (28,8%) masih mengungguli e-money, seperti OVO (27,1%), GoPay (25,4%), dan ShopeePay (15,25%). Apa alasannya?

 

Platform untuk bertransaksi dengan QRIS / DailySocial

Menurut hasil elaborasi sejumlah responden, aplikasi mobile banking sudah otomatis terhubung dengan tabungan sehingga mereka tidak perlu top up dan mengeluarkan biaya administrasi. Tidak perlu repot mengunduh aplikasi e-money satu per satu, apalagi top up ke beberapa platform (jika memakai lebih dari satu).

Menariknya, kehadiran bank digital juga dinilai memberikan alasan kuat mengapa transaksi QRIS lebih digemari di aplikasi mobile banking. Menurut responden, fitur kantong dalam aplikasi mempermudah alokasi budget yang dapat dikhususkan untuk transaksi, seperti jajan makanan atau transportasi, tanpa mengganggu budget lain.

Sementara responden lainnya menilai transaksi QRIS melalui e-money menawarkan proposisi nilai yang mungkin tidak dimiliki mobile banking, yakni pembayaran dengan points atau rewards. Contohnya, aplikasi OVO. Secara experience pun, dompet digital dianggap lebih unggul karena proses login-nya lebih cepat dibanding mobile banking.

“Alasan lainnya, pengguna sudah terbiasa menggunakan e-moneyMerchant yang menerima QRIS dari e-money juga sudah lebih banyak. Selain itu, QRIS lebih sesuai untuk transaksi dengan nominal di bawah Rp500 ribu dan e-money dinilai pas untuk kebutuhan itu,” ungkap sejumlah responden.

Upaya edukasi

Elaborasi ini tampaknya cukup menjawab mengapa sebanyak 68,8% mengaku memperoleh informasi seputar QRIS dari platform pembayaran yang mereka gunakan sehari-hari. Sementara 60,9% menjawab dari merchant tempat mereka bertransaksi. Platform pembayaran dan merchant dapat menjadi sarana utama untuk mengedukasi pemakaian QRIS.

Menurut CEO BCA Digital Lanny Budiati, salah satu upaya untuk meningkatkan awareness kepada pengguna adalah lewat promo-promo menarik yang hanya didapatkan apabila bertransaksi di merchant dengan metode QRIS. Data perusahaan mencatat sekitar 10% dari total nasabah BCA Digital telah bertransaksi dengan QRIS dengan total volume mencapai Rp1 miliar sejak aplikasi blu dirilis pada 2 Juli 2021.

“Kami terus encourage para nasabah untuk menikmati kemudahan bertransaksi dengan QRIS. Kami juga siapkan konten edukasi di berbagai kanal media sosial terkait cara penggunaan hingga manfaatnya. Ke depan, BCA Digital akan terus mendorong pengembangan QRIS sesuai roadmap dari Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI),” papar Lanny kepada DailySocial.

Sementara, Direktur Utama Bank Neo Commerce Tjandra Gunawan menilai bahwa segala macam teknologi baru tentu membutuhkan waktu lama untuk mendorong adopsinya. Ia mengaku optimistis adopsi QRIS akan cepat terserap mengingat tren pembayaran cashless semakin menjamur dalam satu tahun terakhir. Ditambah lagi, semakin banyak merchant dan aplikasi keuangan yang menyediakan fitur QRIS.

“Bank Neo Commerce akan aktif dalam melakukan edukasi finansial kepada masyarakat, tidak hanya familiarisasi terhadap fitur QRIS, tetapi juga gaya hidup digital secara aman dan nyaman,” ungkapnya kepada DailySocial.

Mark The Second Year of QRIS Adoption Amidst Indonesia’s Digital Financial Acceleration

Recently, Bank Indonesia (BI) announced the rapid increase of QRIS based payment transactions over the past year. The transaction value has reached Rp 9 trillion in the first semester of 2021 or increased by 214% compared to the same period last year. The increasing number also happened to merchants using QRIS  at 8.2 million. At least, there will be an increase of around 3 million from 6 million merchants at the end of 2020.

In a Digi X webinar held by Infobank, Bank Indonesia’s Assistant Governor and Head of the Payment System Policy Department, Filianingsih Hendarta, said that the Covid-19 pandemic has had a significant booster effect on the acceleration of Indonesia’s digital finance. Aside from the shifting consumer behavior to digital, this acceleration is backed by the players’ collaboration in the digital ecosystem of the banking and non-bank sectors.

“In the near future, we are to launch the Customer Presented Mode feature as we currently have Merchant Presented Mode. We are also piloting QRIS transactions for cross borders, both inbound and outbound,” said the woman familiarly called Fili.

With the unexpected achievement, how is the manifestation of QRIS implementation in the future during this situation, and what kind of efforts are needed to encourage its adoption?

About QRIS

QRIS or Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) is part of Bank Indonesia’s five major initiatives towards the Indonesian Payment System (SPI) 2025.

Towards the Indonesian Payment System (SPI) 2025 / Bank Indonesia

QRIS was developed by Bank Indonesia and the Indonesian Payment System Association (ASPI) to combine various QR codes from various Payment System Service Providers (PJSP) into one QR Code. As a digital payment system, QRIS is designed as a QR Code Standard for server-based electronic money applications, digital wallets, and mobile banking.

Technically, QRIS is available in two types. First, in a static format (print media/stickers, one QR Code for every transaction, QR Code does not have a nominal value, only manual input). Second, dynamic (QR Code through receipts printed by the EDC machine/appears on the monitor, different QR Code for each transaction, QR Code has a nominal payment).

People can make payment at merchants with one QR Code for all platforms. The scenario is, if you can’t buy drinks because the relevant merchant doesn’t accept your payment option, QRIS will enable the merchant to accept every payment from each platform. It will no longer require one EDC machine for one platform. QRIS provides space for the public to make payments regardless of the platform with one QR Code.

Therefore, why do we need QRIS? This technology can expand national non-cash payments acceptance in a more efficient way. Through the use of one standard QR Code, goods and services providers no longer require different types of QR Codes from different publishers.

Long before QRIS was launched, the government had implemented QR Code as a payment option since the middle of 2015. However, PJSP was using QR exclusively at that time. With the growth of smartphone penetration and the opportunity to help the unbanked and underbanked segments, BI decided to create the QR Code standardization.

Another reason is that BI discovers a high success rate in QR as a payment option in several countries, China through Alipay and WeChatPay, and India through PayTm and BharatQR.

Two years after its official launch, QRIS reaped positive achievements–mostly helped by the pandemic. Based on BI’s data, QRIS transaction volume rose 247% in the second quarter of 2021 to 83.85 million transactions. Meanwhile, the transaction value skyrocketed 336% to Rp5.59 trillion compared to the same period last year.

BI mencatat kenaikan transaksi QRIS di masa pandemi / Diolah kembali oleh DailySocial
BI recorded an increase in QRIS transaction in time of pandemic / rewritten by DailySocial

Similar to QRIS, other players and industries in the digital financial ecosystem are also experiencing positive growth due to the pandemic. As Fili said at the webinar, the growth of the digital financial ecosystem (EKD) this year is projected to continue to increase.

Proyeksi Ekosistem Keuangan Digital (EKD) 2021 / Bank Indonesia
Digital Finance Ecosystem (EKD) projection in 2021 / Bank Indonesia

Adoption and Challenges

Considering its premature stage, QRIS’s adoption progress has not been massive. Many consumers find it difficult to use it, especially with today’s society limitations. It is visible from a small survey, involving 65 respondents, conducted online by DailySocial in August 2021.

This survey may not be able to represent the major issues in the field, but respondents provide interesting perspectives as a room for improvement to the stakeholders involved.

First, the transaction challenges using QRIS. Based on respondents’ answers, as many as 65.6% admitted that many merchants are yet to provide QRIS option. Furthermore, around 55.7% said that internet connection may hamper the transactions, and 29.5% of respondents said that the QRIS has a relatively long scanning process.

An interesting fact is that several respondents highlighted how some merchants only used QRIS as a display. They said there are some merchants that provide QRIS, but the cashiers rarely offer it to consumers as they are not familiar with it.

Meanwhile, some respondents admitted that they are not interested in trying QRIS because of its limited availability (60.9%), consumers do not know how to use it (17.4%), the feature is yet to available on the device (13%), and cashiers rarely offer payments with QRIS (4.3%).

From business players perspective, BI has applied some relaxation to the policies to reduce burden on its implementation. Quoting Kontan, BI announced the transaction fee or merchant discount rate (MDR) borne by partners/merchants will be 0.7%. Using QR only costs IDR 35 thousand for one QR code at each merchant.

Merchant expansion

The Covid-19 pandemic has had a positive impact on Indonesia’s digital financial ecosystem. However, the government and stakeholders should ideally not make this a temporary golden moment. There should be bigger room for improvement, therefore, QRIS adoption can consistently increase until the post-Covid era. Moreover, some people are getting used to the digital payment transition,

The remaining information, many respondents expected the QRIS adoption could be expanded and not limited to food and beverage transactions. As many as 87.3% of respondents expect QRIS to be used on street stalls, 81% in markets, 76.2% for government services, and 68.3% for public transportation.

The government also needs to explore how to maximize the QRIS adoption and whether social restriction policy is to continue. With the social restriction in public places, such as shopping centers, how do people suppose to use QRIS while many merchants are not operating. Except for food delivery orders.

As reported by Bisnis, BCA experienced a decline in physical transactions, which affected services using the QRIS method. Meanwhile, based on our respondents’ answers, they began to use QRIS less frequently since the social restriction for the last few months. As many as 20% of respondents admitted that they only make transactions once in 3 months and 2-3 times per month. A total of 16.7% said that they use QRIS for transactions about 2-3 times per week.

DailySocial seeks for Bank Indonesia’s comment regarding the related issues, but no further statement has been made to this point. BI has actually updated the policy on using QRIS by increasing the transaction limit from Rp2 million to Rp5 million.

Soon, BI is to release a Customer Presented Mode feature where merchants perform scans. However, is this enough? The government should not waste the momentum with the current digital acceleration and changes in consumer behavior.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Dua Tahun QRIS: Adopsi di Tengah Akselerasi Keuangan Digital Indonesia

Beberapa waktu lalu, Bank Indonesia (BI) menyebutkan total transaksi pembayaran dengan metode QRIS meningkat pesat selama satu tahun terakhir. Nilai transaksi QRIS mencapai sebesar Rp9 triliun di semester I 2021 atau melesat 214% dibandingkan periode sama tahun lalu. Total merchant yang menggunakan QRIS juga naik menjadi 8,2 juta. Setidaknya, ada penambahan sekitar 3 juta dari 6 juta merchant di akhir 2020.

Dalam sebuah webinar Digi X yang digelar Infobank, Asisten Gubernur dan Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Filianingsih Hendarta mengungkapkan, pandemi Covid-19 memberikan efek booster luar biasa terhadap percepatan keuangan digital di Indonesia. Selain faktor peralihan perilaku konsumen ke digital, akselerasi ini terbantu kolaborasi para pelaku di ekosistem digital di sektor bank dan non-bank yang semakin erat.

“Dalam waktu dekat, kami juga akan segera meluncurkan fitur Customer Presented Mode karena sekarang kita baru ada Merchant Presented Mode. Kami juga sedang piloting transaksi QRIS untuk cross border, baik inbound maupun dan outbound,” ungkap wanita yang karib disapa Fili ini.

Dengan pencapaian yang tidak terduga ini, bagaimana asa implementasi QRIS ke depan di situasi saat ini, dan apa saja upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong adopsinya?

Tentang QRIS

QRIS atau Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) merupakan bagian dari lima inisiatif besar yang dicanangkan Bank Indonesia untuk menuju Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025.

Menuju Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025 / Bank Indonesia

QRIS dikembangkan Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) untuk menggabungkan berbagai macam QR dari berbagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) menjadi satu QR Code. Sebagai sistem pembayaran digital, QRIS dirancang sebagai Standar QR Code untuk aplikasi uang elektronik berbasis server, dompet digital, dan mobile banking.

Secara teknis, QRIS tersedia dalam dua jenis. Pertama, dalam format statis (media cetak/stiker, QR Code sama setiap transaksi, QR Code belum ada nominal sehingga input manual). Kedua, dinamis (QR Code lewat struk yang dicetak mesin EDC/tampil di monitor, QR Code selalu berbeda tiap transaksi, QR Code punya nominal pembayaran).

Masyarakat dapat membayar transaksi di merchant dengan satu QR Code untuk semua platform. Skenarionya begini, apabila Anda tidak bisa membeli minuman karena merchant terkait tidak menerima opsi pembayaran Anda, QRIS akan memampukan merchant untuk menerima setiap pembayaran dari setiap platform. Tidak perlu lagi satu mesin EDC untuk satu platform. QRIS memberikan ruang bagi masyarakat untuk melakukan pembayaran apapun platformnya dengan satu QR Code.

Lalu, mengapa kita memerlukan QRIS? Teknologi ini dapat memperluas akseptasi pembayaran nontunai nasional secara lebih efisien. Melalui penggunaan satu standar QR Code, penyedia barang dan jasa tidak perlu memiliki berbagai jenis QR Code dari penerbit yang berbeda.

Jauh sebelum QRIS diluncurkan, sebetulnya pemerintah sudah menerapkan QR Code sebagai alat pembayaran sejak paruh 2015. Namun, saat itu PJSP masih menggunakan QR secara eksklusif. Dengan pertumbuhan penetrasi smartphone dan peluang untuk membantu segmen unbanked dan underbanked, BI memutuskan melakukan standardisasi QR Code.

Alasan lainnya adalah BI melihat contoh keberhasilan tinggi pada QR sebagai alat pembayaran di beberapa negara, yaitu Tiongkok melalui Alipay dan WeChatPay, serta India lewat PayTm dan BharatQR.

Dua tahun berselang peluncuran resminya, QRIS menuai pencapaian positif–sebagian besar terbantu karena pandemi. Berdasarkan data BI, volume transaksi QRIS naik 247% di kuartal kedua 2021 menjadi 83,85 juta transaksi. Sementara, nilai transaksinya meroket 336% menjadi Rp5,59 triliun dibandingkan periode sama tahun lalu.

BI mencatat kenaikan transaksi QRIS di masa pandemi / Diolah kembali oleh DailySocial
BI mencatat kenaikan transaksi QRIS di masa pandemi / Diolah kembali oleh DailySocial

Sama halnya seperti QRIS, pelaku dan industri di ekosistem keuangan digital lainnya juga mengalami pertumbuhan positif dikarenakan pandemi. Sebagaimana disampaikan Fili pada webinar tersebut, pertumbuhan ekosistem keuangan digital (EKD) di tahun ini diproyeksi terus meningkat.

Proyeksi Ekosistem Keuangan Digital (EKD) 2021 / Bank Indonesia
Proyeksi Ekosistem Keuangan Digital (EKD) 2021 / Bank Indonesia

Adopsi dan tantangan

Mengingat QRIS masih seumur jagung, progress adopsinya pun belum masif. Konsumen banyak menemui kesulitan dalam penggunaannya, terlebih dengan batasan ruang gerak masyarakat saat ini. Hal ini diketahui dari survei kecil, yang melibatkan 65 responden, yang dilakukan DailySocial di bulan Agustus 2021 secara online.

Survei ini mungkin memang belum dapat mewakili mayoritas isu yang ada di lapangan, namun responden memberikan perspektif menarik yang sebetulnya dapat menjadi ruang perbaikan bagi pemangku kepentingan yang terlibat.

Pertama, tantangan ketika bertransaksi dengan QRIS. Menurut responden, sebanyak 65,6% responden mengaku banyak merchant belum mengadopsi QRIS. Kemudian, sekitar 55,7% menilai koneksi internet mempersulit transaksi, dan 29,5% responden menyebut proses scan QRIS relatif lama.

Yang cukup menarik adalah beberapa responden menyoroti bagaimana merchant yang mereka temui hanya menjadikan QRIS sebagai pajangan. Mereka menilai, ada merchant yang telah mengaktifkan QRIS, tetapi kasir jarang menawarkan kepada konsumen karena tidak tahu cara menggunakannya.

Sementara itu, sebagian responden mengaku belum berminat menjajal QRIS karena ketersediaan QRIS di merchant terbatas (60,9%), konsumen tidak tahu cara menggunakannya (17,4%), fitur belum tersedia di perangkat (13%), dan kasir jarang menawarkan pembayaran dengan QRIS (4,3%).

Dari sudut pandang pelaku usaha, sebetulnya BI sudah melonggarkan kebijakan agar tidak memberatkan impelementasinya. Mengutip Kontan, BI menetapkan biaya transaksi atau merchant discount rate (MDR) yang ditanggung oleh mitra/merchant hanya 0,7%. Menggunakan QR hanya mengeluarkan biaya Rp35 ribu untuk satu kode QR di setiap merchant.

Perluasan merchant

Pandemi Covid-19 membawa dampak positif terhadap ekosistem keuangan digital Indonesia. Akan tetapi, pemerintah dan para pemangku kepentingan idealnya jangan menjadikan ini sebagai momentum emas sementara. Perlu ada ruang perbaikan lebih agar adopsi QRIS dapat meningkat secara konsisten hingga sampai era pasca-Covid nanti. Apalagi, mumpung sebagian masyarakat sudah mulai terbiasa dengan transisi pembayaran digital,

Masih dari survei yang kami lakukan, banyak responden berharap adopsi QRIS dapat diperluas penggunaannya dan tidak terbatas pada transaksi makanan dan minuman saja. Sebanyak 87,3% responden mengharapkan QRIS dapat digunakan pada pedagang kaki lima, 81% di pasar, 76,2% layanan pemerintah, dan 68,3% untuk transportasi publik.

Pemerintah juga perlu memikirkan bagaimana memaksimalkan adopsi QRIS apabila pembatasan sosial masih akan terus berlanjut. Dengan pengetatan aktivitas di tempat publik, seperti pusat perbelanjaan, bagaimana memberlakukan QRIS apabila merchant saja sudah banyak yang tidak beroperasi. Kecuali untuk pemesanan food delivery.

Sebagaimana diberitakan Bisnis, BCA sempat mengalami penurunan transaksi fisik sehingga memengaruhi layanan dengan metode QRIS. Sementara, menurut responden kami, mereka mulai jarang menggunakan QRIS dengan pengetatan aktivitas beberapa bulan terakhir. Sebanyak 20% responden mengaku masing-masing hanya bertransaksi 1 kali dalam 3 bulan ke atas dan 2-3 kali per bulan. Sebanyak 16,7% menyebut bertransaksi QRIS sekitar 2-3 kali per minggu.

DailySocial sempat mencoba meminta tanggapan Bank Indonesia terkait isu-isu di atas, tetapi belum ada pernyataan lebih lanjut. BI sebetulnya sudah memperbarui kebijakan penggunaan QRIS dengan menaikkan limit transaksi dari Rp2 juta menjadi Rp5 juta.

Dalam waktu dekat, BI juga akan merilis fitur Customer Presented Mode di mana merchant yang melakukan scan. Namun apakah ini sudah cukup? Pemerintah diharapkan tidak sampai kehilangan momentum dengan gejolak akselerasi digital dan perubahan perilaku konsumen saat ini.

Menengok Upaya OCBC NISP Digitalkan Layanan “Trade Finance”

PT OCBC NISP Tbk (IDX: NISP) resmi menghadirkan layanan Bank Garansi berbasis online yang dapat diakses melalui platform Velocity@ocbcnisp. Layanan ini memungkinkan pebisnis untuk melakukan penerbitan dan perubahan Bank Garansi tanpa perlu mendatangi kantor cabang.

Trade Finance Division Head Bank OCBC NISP Gianto Kusno mengungkapkan, pihaknya berupaya mengakomodasi kebutuhan nasabah yang memiliki keterbatasan mobilitas di masa pandemi Covid-19 dengan digitaliasi layanan perbankan bagi korporasi.

Dengan akses baru ini, nasabah dapat mengakses layanan Bank Garansi yang diklaim mudah, cepat, dan aman. Selain hemat biaya dan waktu, nasabah juga tidak direpotkan dengan berbagai proses administrasi berbasis kertas (paperless).

Sebagai informasi, Bank Garansi merupakan salah satu instrumen keuangan penting yang diperlukan dalam proses kerja sama atau perjanjian bisnis, khususnya bagi pelaku usaha yang membutuhkan layanan Trade Finance.

“Sebelumnya, nasabah korporasi bisa memonitor outstanding maupun plafon fasilitas trade yang dimiliki. Kini, nasabah dapat melakukan penerbitan dan perubahan Bank Garansi tanpa perlu datang ke kantor cabang,” ujar Gianto dalam keterangan resminya.

Digitalisasi layanan trade finance

Dihubungi secara terpisah, Gianto mengungkap transformasi layanan perbankan untuk korporasi sebetulnya sudah berjalan sebelum pandemi. Kendati demikian, dengan perkembangan situasi saat ini, pihaknya memastikan akan terus mengakselerasi pengembangan kapabilitas digital agar dapat memenuhi kebutuhan nasabah korporasi.

Salah satu yang sudah terealisasi adalah aplikasi mobile Velocity@ocbcnisp yang meluncur pada April 2020. Setelahnya, perusahaan meluncurkan Velocity@ocbcnisp dalam versi web yang diklaim dirancang dengan standar keamanan tinggi untuk memberikan kebebasan bertransaksi layaknya bertransaksi di kantor cabang.

Yang akan datang, OCBC NISP akan mempersiapkan akses digital untuk fasilitas Trade Finance lainnya. Misalnya, layanan Letter of Credit (LC) dan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN) agar dapat diakses secara online lewat Velocity@ocbcnisp. Pihaknya menargetkan segala transaksi penerbitan, perubahan, dan pembayaran LC dan SKBDN dapat dilakukan juga di Velocity@ocbcnisp berbasis web.

“Kami melihat transformasi digital yang kami lakukan menjadi sangat relevan [di situasi saat ini], dan kami akan terus mengakselerasinya untuk mendukung nasabah kami saat terjadi pandemi,” ungkapnya.

Gianto mengaku optimistis digitalisasi ini dapat mendorong pertumbuhan layanan Trade Finance mengingat perusahaan telah melihat pertumbuhan positif. Berdasarkan data OCBC NISP, rata-rata nilai transaksi per bulan pada periode pre-Covid (sepanjang 2019) dibandingkan semester I 2021 naik 134%, sedangkan jumlah pengguna naik 22%. Kenaikan ini utamanya disumbang dari Velocity@ocbcnisp berbasis web dan mobile.

“Kami fokus untuk menyosialisasikan berbagai layanan yang dapat dimanfaatkan nasabah korporasi di Velocity@ocbcnisp, baik berbasis web maupun mobile. Kami harap semakin banyak nasabah korporasi memanfaatkan layanan ini.”

Masih banyak andalkan proses berbasis kertas

Sebagaimana dilaporkan dalam 2020 Global Trade Survey yang diterbitkan International Chamber of Commerce, kegiatan perdagangan dan pembiayaan perdagangan atau trade finance mengalami masa krisis akibat Covid-19. Sebanyak 346 responden petinggi bank di 85 negara di dunia mengungkap kekhawatiran adanya potensi penurunan transaksi trade finance.

Terkait kekhawatiran ini, sebanyak 54% responden menilai teknologi transformatif menjadi salah satu prioritas yang perlu dipertimbangkan apabila ingin menamankan pertumbuhan bisnis di masa depan. Menurut responden, teknologi digital dapat membuka peluang transformasi lebih besar di industri keuangan global yang masih identik dengan proses administrasi berbasis kertas.

2020 Global Trade Survey / International Chamber of Commerce

Mengacu pada data di lapangan, transaksi perdagangan belum banyak dilakukan sepenuhnya melalui digital. Masih banyak sektor perbankan yang mengandalkan transaksi berbasis kertas pada kegiatan perdagangan, terutama pada kegiatan verifikasi dokumen, settlement/financing, dan penerbitan.

Application Information Will Show Up Here

Memitigasi Risiko, Menuai Investasi: Platform Urun Dana Budidaya dalam Sorotan

Belum reda pemberitaan negatif tentang maraknya pinjaman online, industri fintech Indonesia kembali lagi tercoreng kasus dugaan “salah pengelolaan” uang investor senilai miliaran Rupiah oleh platform urun dana berbasis digital Tanijoy. Kasus ini menambah deretan startup fintech yang tersandung kasus yang sama di sektor budidaya.

Sebelum Tanijoy, dalam dua tahun terakhir, kasus serupa menerpa Angon dan Vestifarm. Keduanya sama-sama dituntut para investor untuk mengembalikan dana. Angon dan Vestifarm menggunakan model crowdfunding atau urun dana untuk menyalurkan pembiayaan ke para petani atau peternak.

Tentu polemik ini tak dapat dibiarkan saja karena bisa berpotensi terulang kembali di masa depan. Investor dapat kehilangan kepercayaan untuk berinvestasi di sektor budidaya. Padahal, peternak dan petani di Indonesia masih sangat membutuhkan akses permodalan.

DailySocial mencoba mendalami apa yang sebetulnya terjadi dan upaya mitigasi apa yang dapat dilakukan ke depan. Ada tiga sisi yang ingin kami bahas, yaitu pelaku usaha budidaya, industrinya, dan upaya pemerintah dan sektor terkait menangani kasus ini.

Risiko investasi budidaya

Dari berbagai sumber informasi yang kami himpun, kasus ketiganya sama-sama diakibatkan faktor internal dan eksternal. Misalnya saja Angon. Startup yang berdiri pada 2016 ini dianggap lalai mengelola dana publik. Angon disinyalir banyak menggunakan dana tersebut untuk belanja operasional dan kebutuhan founder yang sifatnya tidak terlalu mendesak.

Sementara Tanijoy mengaku proyeknya sudah selesai, tetapi terhambat  penarikan dana. Menurut klarifikasinya, dana hasil proyek masih ada di tangan petani dan belum dikembalikan sepenuhnya kepada Tanijoy. PSBB dianggap menyulitkan komunikasi dengan petani dan membuat perusahaan sulit mendapatkan pemasukan karena tidak ada proyek.

Di kasus Vestifarm, kami sulit menemukan pemberitaan detail soal dugaan keterlambatan pengembalian dana. Dari unggahan sejumlah investor Vestifarm, pelaku usaha yang didanai Vestifarm mengalami gagal bayar. Pihak Vestifarm tidak merinci proyek yang gagal, tetapi mereka mengaku sudah berupaya maksimal untuk menagih pembayaran lewat pihak ketiga.

Terlepas dari situasi pandemi Covid-19 yang terjadi sejak tahun lalu, budidaya termasuk dalam sektor usaha yang memiliki risiko cukup tinggi. Risiko gagal panen dapat terjadi akibat kombinasi berbagai faktor, mulai dari cuaca, bencana alam, kurangnya perawatan, hingga kemampuan bercocok tanam.

Laporan DSResearch dan Crowde bertajuk “Driving the Growth of Agriculture-Technology Ecosystem in Indonesia” menyebutkan, pengembangan usaha di sektor budidaya terhalang sejumlah tantangan, seperti akses permodalan, literasi keuangan, serta kemampuan dan pengetahuan budidaya dari para petani.

Pemberian modal di agrikultur, kehutanan, dan perikanan / DSResearch dan Crowde

Perbankan yang memiliki akses permodalan yang kuat justru bukan menjadi pilihan utama para petani. Persyaratannya sangat sulit dipenuhi karena petani rata-rata tak punya sertifikat tanah sebagai jaminan. Belum lagi siklus produksi panen yang terkadang terhambat cuaca dan hama, membuat pemasukan mereka tak stabil. Rumitnya prosedur pengajuan mendorong petani untuk meminjam dari institusi tak resmi dengan persyaratan lebih mudah.

Status Total Petani Indonesia Petani Laki-Laki Petani Perempuan
Tidak Lulus SD 8.247.112 5.679.847 (68,9%) 2.567.265 (31,1%)
Lulus SD 13.994.725 10.638.485 (76%) 3.356.240 (24%)
Lulus SMP 5.400.834 4.255.020 (78,8%) 1.145.814 (21,2%)
Lulus SMA 4.799.070 3.992.383 (83,2%) 806.687 (16,8%)
Lulus S1 754.814 633.414% (83,9%) 121.400 (16,1%)

Tingkat pendidikan petani Indonesia / DSResearch & Crowde

Laporan ini juga menyebutkan, latar belakang pendidikan dan literasi keuangan para petani yang masih rendah menjadi salah satu faktor penghambat usaha budidaya. Demikian juga dengan penetrasi internet. Berdasarkan data BPS di 2018, hanya 4,5 juta orang yang terhubung dengan internet dari total 27 juta pelaku usaha di agrikultur.

Kembali ke persoalan di atas, paparan barusan sebetulnya menjelaskan mengapa faktor-faktor ini berkontribusi besar terhadap potensi gagal panen dan gagal bayar di sektor budidaya. Memang belum ada data yang dapat menunjukkan tingkat potensi kegagalan di platform yang memberikan pembiayaan ke sektor budidaya, tetapi potensi tersebut seharusnya dapat ditekan dengan manajemen risiko yang lebih baik.

DSResearch & Crowde

Apa yang dapat dilakukan oleh platform selaku pemberi fasilitas? Jika misinya ingin mendorong industri budidaya, seharusnya bantuan tak hanya berhenti pada akses permodalan. Platform dapat meningkatkan perannya dengan memberikan pendampingan kepada petani agar dapat memaksimalkan modal usaha mereka dengan keterbatasan yang mereka miliki.

Selain pendampingan, penting untuk menempatkan orang yang ahli atau mampu mengelola keuangan di perusahaan. Bagaimanapun juga ini adalah dana publik yang perlu dipertanggungjawabkan.

Founder sepatutnya menyiapkan skema/model cadangan apabila ada potensi proyek gagal. Jika petani gagal panen, sudah pasti gagal bayar. Apabila ini terjadi, pengembalian dana akan sulit dilakukan.

Ambil contoh TaniFund. CEO TaniHub Pamitra Eka mengungkap upaya penagihan tetap mengacu pada skema yang telah dibuat perusahaan. Skema ini juga dirancang sesuai dengan ketetapan yang diatur oleh OJK. Pada langkah pertama, TaniFund akan melakukan upaya penyelamatan kredit, seperti restrukturisasi dan negosiasi, apabila terdapat keterlambatan 60 hari pertama.

“Namun, jika sampai 90 hari tidak juga ada penyelesaian sisa keterlambatan pembayaran dari borrower, kami persiapkan proses klaim ke perusahaan asuransi yang telah menjadi partner TaniFund. Upaya ini kami lakukan agar lender mendapat pengembalian pokok hingga 80%,” ujar pria yang karib disapa Eka ini kepada DailySocial.

Adapun, lanjutnya, TaniFund telah menerapkan advanced credit scoring dengan model 100 data points untuk mengukur profil borrower, menelusuri rekam jejak penanaman komoditas, dan akses ke pasar. Dengan demikian, sistem ini dapat menghasilkan profil borrower dan proyek berkualitas serta mengurangi potensi gagal panen/gagal bayar.

“Kami juga monitoring secara berkala oleh field team atau agronomist untuk memastikan setiap proyek berjalan dengan baik dan timeline bisa sesuai dengan pengajuan RAB di awal. Pendampingan juga dijalankan terus-menerus sehingga borrower memperoleh akses informasi dan teknologi terbarukan dalam mengelola usaha dan mencapai target yang sesuai.”

Perlindungan regulator

DailySocial mencoba menghubungi perwakilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait hal ini. Namun, belum ada respons hingga berita ini diturunkan. Terlepas dari status platform ilegal ini, OJK sebetulnya dapat memperkuat kebijakan untuk melindungi konsumen, dalam hal ini investor. Misalnya, memberikan aturan ketat kepada platform dalam hal manajemen risiko.

Faktanya, tiga startup yang “bermasalah” ini tidak memiliki status terdaftar atau berlisensi dari OJK. Meskipun demikian, mereka tetap bisa beroperasi dan mengelola dana publik tanpa pengawatan atau audit lebih lanjut.

Startup Status OJK
Angon Tidak terdaftar
Tanijoy Tidak terdaftar
Vestifarm Tidak terdaftar

Tentu tidak semua platform investasi budidaya bersifat “nakal”. Berikut ini adalah nama-nama platform investasi budidaya yang terdaftar di OJK dan informasi tentang Tingkat Keberhasilan Bayar di tiap platform (yang cenderung masih sehat).

Startup Status OJK Investor TKB90
Crowde Terdaftar Mandiri Capital Indonesia, STRIVE, Crevisse 97,12%
iGrow Terdaftar Google Launchpad Accelerator, 500 Startups, East Ventures 96,54%
iTernak Terdaftar Unknown 98,57%
TaniFund (Bagian dari TaniHub) Terdaftar MDI Ventures, Openspace Ventures, Intudo Ventures, BRI Ventures, Telkomsel Mitra Inovasi, dll. 100%

Dihubungi secara terpisah, Executive Director Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah berkomentar, isunya sangat sederhana, tetapi perkaranya perlu verifikasi secara akurat. Jika Tanijoy tetap beroperasi tanpa memperoleh tanda terdaftar, alasannya tetap tidak dapat dibenarkan.

Ia menegaskan pihaknya terus mengimbau masyarakat agar teliti memilih fintech yang sudah terdaftar dan diawasi OJK.

“Kita akui potensi platform di sektor budidaya memang sangat besar, tetapi tantangannya juga besar. Misalnya, upaya membangun rantai pasok petani, peternak, dan nelayan agar terintegrasi di ekosistem. Harapannya, informasi terkait proses produksi, panen dan pemasaran dapat terpantau. Kami yakin perlahan tapi pasti, ekosistem ini akan semakin matang dengan dukungan teknologi,” ujarnya.

PermataBank Introduces Trade Finance Service with Blockchain Technology

PT Bank Permata Tbk (PermataBank) officially introduced a trade finance services using blockchain technology. It is said that PermataBank is the first bank to serve trade finance transactions using blockchain technology in Indonesia.

In order to deliver blockchain, PermataBank is collaborating with Contour Network, which is a technology network provider company for global trade finance. In Southeast Asia, some banks have been using Contour technology, including HSBC, Standard Chartered Bank, and Bangkok Bank.

Trade finance is a financing facility for domestic and international trade transactions. The use of blockchain allows data transactions to be carried out in a decentralized system in real-time with the concept of a distributed ledger.

PermataBank’s Wholesale Banking Director, Darwin Wibowo said, the blockchain adoption is PermataBank’s step to answer customer needs through digitizing its various services and navigating the national payment system with technology.

Moreover, he thought the trade finance transactions are very conventional that they are less efficient and often take a long time. The process got even more complicated when the Covid-19 pandemic occurred. Social and activity restrictions have an impact on delays in transaction procedures.

He said, blockchain implementation will facilitate global trade transactions to the issue of the letters of credit (L/C). With its advantages, blockchain is considered capable of saving transaction time, minimizing the risk of fraud, and simplifying complex processes that have been a major challenge in trade finance transactions.

“Also, blockchain technology will expand PermataBank’s service range. Trade finance customers can also make transactions without having to come to PermataBank branch offices,” Darwin said.

Meanwhile, Contour’s CEO, Carl Wegner added that global trade plays an important role in the Indonesian economy. However, manual trade finance transactions have hampered trade growth. Therefore, Contour’s involvement in the trade finance facility at PermataBank is expected to open access to communities around the world.

Transformative technology for commerce

Based on the 2020 Global Trade Survey report released by the International Chamber of Commerce, trade and finance activities in the world are on the verge of uncertainty due to Covid-19.

Based on the survey results of 346 banks from 85 countries in the world, respondents expressed their concern about the decline in the growth of trade finance transactions. However, respondents think that the lockdown and WFH activities have actually accelerated the transition of trade to digital platforms, one of which is through blockchain technology.

2020 Global Trade Survey / International Chamber of Commerce
2020 Global Trade Survey / International Chamber of Commerce

As many as 54% of respondents said transformative technology is its priority area of ​​development and strategic focus in the short term as companies want to ensure future growth. According to respondents, digital technology can spur greater transformation opportunities in the global financial industry, which is still synonymous with paper-based manual processes.

In her writing, R3’s Head of Trade and Supply Chain, Alisa DiCaprio said that trade finance activities are among the most difficult to modernize. The reason is, the transaction still involves many paper-based manual processes which are considered no longer suitable in the digital era. According to Asian Development Bank (ADB) data, nearly $1.5 trillion of trade finance applications were rejected because of inefficiencies.

She observes that blockchain is having tangible results in reducing costs, risks, and potential delays for parties involved in trade finance transactions. With effective implementation, blockchain could potentially unlock $1.5 trillion in global trade finance.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Tips Melakukan Penggalangan Dana ke Investor ala Logisly

Penggalangan dana atau fundraising selalu menjadi topik besar bagi para pelaku startup yang tengah merintis bisnis di awal. Bahkan sejumlah unicorn yang bisnisnya sudah mapan masih melakukan penggalangan dana sampai saat ini.

Pada sesi rangkaian program inkubasi DSLaunchpad ULTRA kali ini, Co-Founder dan CEO Logisly Roolin Njotosetiadi bercerita dari A sampai Z tentang pengalaman menariknya melakukan fundraising ke investor.

Bagi pelaku startup yang baru merintis bisnis, pengalaman ini dapat menjadi tips berharga yang mungkin dapat ditiru. Untuk itu, simak selengkapnya cerita dan tips menarik dari Roolin berikut ini.

Kapan waktu tepat untuk fundraising?

Untuk menjawab pertanyaan ini Roolin mengatakan, founder harus memastikan sudah memiliki rencana bisnis dan milestone yang ingin dicapai lewat produknya. Menurutnya sia-sia melakukan penggalangan dana jika tidak tahu peruntukkan investasinya ke depan.

“Salah satu advice penting lain yang saya dapatkan dari rekan founder adalah jangan fundraising ketika modal sudah mau habis. Lakukan ketika kalian sudah reach suatu milestone,” tambah Roolin.

Memilih opsi pendanaan yang tepat

Menurut Roolin, fundraising bukanlah satu-satunya cara untuk membangun startup. Tak sedikit founder yang memilih jalur bootstrapping karena mereka dapat memiliki 100% perusahaan sepenuhnya. Tidak demikian dengan fundraising yang mana ownership akan berkurang. Fundraising juga dinilai punya tanggung jawab besar kepada para investor, terutama jika pendanaannya dari angel investor.

Namun, tidak salah juga memilih fundraising karena ada jenis bisnis yang memang membutuhkan sumber pendanaan yang kuat. Pada kasus Logisly, pihaknya melakukan fundraising karena model bisnisnya membutuhkan investasi panjang untuk membangun jaringan logistik.

“Kami bukan bisnis yang dari awal sudah profitable. Sebetulnya bisa saja, but you will spend banyak laba untuk pengembangan produk dan akuisisi pelanggan, yang artinya payback period baru terealisasi lama ketika bisnisnya sudah untung,” tuturnya.

Ia juga menggarisbawahi pentingnya memperhatikan cash flow ketika mencari pendanaan. Apabila cash flow memungkinkan perusahaan untuk segera profitable atau founder butuh investasi besar di awal sebelum cashflow positif, mereka dapat mempertimbangkan opsi fundraising.

Langkah memulai fundraising

Pertama, founder harus yakin dengan bisnis yang akan dibangun. Dalam banyak kasus, ada saja startup yang mendapatkan investor meski belum memiliki produk di awal. Investor memang akan lebih tertarik dengan produk, bahkan lebih bagus lagi kalau sudah punya traction.

Terlepas dari itu, ujar Roolin, founder tetap wajib punya visi dan rencana bisnis yang kuat, serta bagaimana cara memonetisasinya. Founder juga harus tahu pain point yang akan diselesaikan dengan produknya.

Founder harus punya kemampuan untuk meyakini investor bahwa dia dapat mengeksekusi [produk]. Caranya lewat business plan dan tim. Saya beruntung dapat funding ketika memulai [bisnis]. Ketika mengembangkan produk, saya meminta insight dari berbagai pelaku industri, sketching produknya, tetapi saya paralel juga bertemu investor, menyiapkan legal, dan tim,” paparnya.

Apa saja yang perlu dipersiapkan?

Founder wajib menyiapkan rencana bisnisnya, tujuan penggunaan investasi, dan kalau ada, berapa lama investasi akan bertahan. Beberapa hal yang dapat di-highlight dalam paparan bisnis ini antara lain cash flow, laba-rugi, pendapatan, biaya operasional, EBITDA, hingga pajak.

“Dalam kasus Logisly, saya menyertakan key metric lainnya, yaitu jumlah shipper, transporter, hingga jumlah pesanan. Ini semua dapat menjadi tolok ukur milestone yang ingin dicapai dengan kebutuhan investasi yang dicari. Goal bisnis itu adalah menyelesaikan pain point, bukan mencari investasi sebanyak-banyaknya,” ujar Roolin.

Ia juga menyoroti tentang pentingnya NDA atau tidak ketika melakukan pitching. Menurutnya, ada investor yang open NDA, tetapi ada juga yang tidak. Apapun itu, para founder idealnya tetap berkomunikasi dan memberikan sebanyak mungkin informasi terkait rencana bisnisnya kepada investor.

Kategori investor yang sesuai

Ketika memilih investor, Roolin merekomendasikan untuk mencari tahu dulu latar belakang calon investor. Misalnya, fokus tahapan investasi. Investor di startup umumnya terbagi atas investor tahap awal (seed funding), tahap growth (seri A ke atas), dan tahap lanjut (later stage).

“Kalau startup kita masih di tahap awal, baiknya cari investor yang fokus ke situ. Kemudian, cek juga fokus industri yang dicari. Ada investor yang fokus di agnostik atau banyak sektor ada juga yang hanya di vertikal tertentu saja,” ungkapnya.

Dengan keterlibatan investor, para founder sebetulnya dapat memperluas koneksi karena investor ini dapat menghubungkan founder dengan jaringan investor lainnya. Koneksi ini akan dibutuhkan ketika founder ingin melakukan penggalangan dana selanjutnya, terutama bagi bisnis yang butuh investasi tahap lanjut.

Cara menghitung valuasi

Bagi Roolin, menghitung valuasi tidak pernah memiliki patokan mutlak, semua tergantung dari kategori bisnis yang dijalankan. Namun, beberapa metrik yang dapat dijadikan patokan adalah melipatkan Gross Merchandise Value (GMV)/pendapatan/EBITDA.

“Dari metrik ini, investor berupaya membandingkannya dengan model bisnis serupa di Indonesia. Misal, dengan traction sekian, kira-kira startup ini bisa dapat pendanaan segini. Kalau startup belum punya traction, investor akan [hitung valuasi] dengan melihat business plan selama setahun atau dua tahun,” tuturnya.

Cara kedua untuk melihat valuasi adalah delusi kepemilikan saham. Ambil contoh, berapa persen saham yang diambil sebagai ganti investasi yang diperoleh. Menurut Roolin, kepemilikan saham yang diambil investor beragam mulai dari 10%-30%. Namun, kisaran paling umum adalah 15%-20%

Terakhir, menghitung valuasi pada discounted cash flow. Artinya, investor melihat berapa cash flow yang dihasilkan startup setiap bulan. Berapa perkiraan atau target cash flow di bulan berikutnya. Ia menilai cara ini lebih ideal diperuntukkan ke startup yang sudah profitable.

Alpha JWC Pimpin Investasi ke Venti, Paparkan Hipotesisnya di Teknologi Otonomos

Startup pengembang teknologi otonomos untuk logistik Venti Technologies memperoleh pendanaan tahap awal sebesar $8 juta atau sekitar 115,9 miliar rupiah. Putaran pendanaan ini dipimpin oleh dua VC terkemuka, yakni LDV Partners dan Alpha JWC Ventures.

Tak hanya itu, pihaknya juga mengumumkan bergabungnya Partner di LDV Partners Lake Dai dan Co-founder &General Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan ke dalam dewan direksi yang kini totalnya berjumlah lima orang.

Founder & CEO Venti Heidi Wyle mengatakan, pendanaan ini akan digunakan untuk mendukung pengembangan sistem kendaraan otonomos logistik berbasis AI. Termasuk juga memperkuat kesepakatan dengan klien pelanggan baru dan lama. Salah satunya dengan Port of Singapore Authority (PSA) Corporation Limited yang saat ini mengelola sebanyak 60 pelabuhan.

“Melalui investasi ini, kami ingin meningkatkan skala operasi dan bisnis secara global, yang mana kami mengincar peluang pertumbuhan di Asia, Eropa, dan Amerika Serikat,” ujar Wyle dalam keterangan resminya.

Berdiri di 2018, Venti Technologies mengembangkan teknologi otonomos untuk transportasi, pergudangan, hingga hub logistik. Saat ini, produk otonomos Venti telah digunakan di berbagai lintas sektor di Asia, mulai dari kawasan industri, logistik, residensial, kawasan wisata, hingga pasar logistik global.

Chandra Tjan mengatakan, Venti menjadi portofolio investasi pertama pada kendaraan otonomos di Alpha JWC Ventures. Pihaknya berkomitmen untuk terus menemukan founder hebat dalam membangun perusahaan. Maka itu, iya meyakini Venti akan menjadi game changer sekaligus yang pertama di Asia.

Founder, visi, produk, dan rekam jejak Venti sejauh ini sangat baik. Kami bersemangat bekerja sama dengan Venti untuk merevolusi industri kendaraan otonom dan mencapai kesuksesan di skala global,” ujar Chandra.

Hipotesis investasi

Investasi Alpha JWC ke Venti menandai langkah awal untuk masuk ke teknologi otonomos. Partner di Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi mengungkapkan, Venti menjadi satu dari sedikit pemain yang teknologinya digunakan secara komersial di Asia, serta yang pertama di Asia Tenggara.

Alasan lain yang mendorong Alpha JWC untuk berinvestasi adalah rekam jejak gemilang para founder Venti, yaitu Heidi Wyle yang dikenal sebagai pemimpin di industri teknologi dan AI serta Daniela Rus yang merupakan pionir teknologi otonomos dan AI di global.

Lebih lanjut, Eko menilai penggunaan kendaraan otonomos dinilai dapat memberikan nilai tambah bagi industri logistik, seperti menghemat biaya transportasi, meningkatkan penggunaan kendaraan, dan mendorong tingkat keselamatan bagi pengendara. Maka itu, kendaraan otonomos dianggap cocok dipasarkan ke industri yang biaya logistiknya tinggi.

“Apalagi, pasar mobility autonomous untuk industri logistik, supply chain, dan transportasi barang bergerak sangat menjanjikan dengan potensi nilai pasar sebesar $200 miliar di dunia,” paparnya dalam keterangan terpisah kepada DailySocial.

Ambil contoh Singapura yang memiliki regulasi ketat pada penggunaan alat berat. Kondisi ini membuat biaya tenaga kerja di sana sangat tinggi. Penggunaan kendaraan otonomos memungkinkan pelaku industri di Singapura untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja.

Venti bermitra dengan Port of Singapore Authority (PSA) Corporation Limited untuk menyediakan kendaraan pemindah otonomos (prime mover) untuk mengotomatisasi pengangkutan distribusi kontainer.

Eko mengungkap, saat ini Singapura menjadi pasar utama Venti di Asia Tenggara, dan juga Tiongkok. Namun, pihaknya tak menutup mata terhadap peluang dan kemungkinan ekspansi ke Indonesia. Sebagai negara kepulauan dengan biaya logistik tinggi, Indonesia turut diperhitungkan sebagai pasar potensial untuk barang bergerak.

Ekspansi ke Indonesia memungkinkan pelaku di logistik, pergudangan, dan industri terkait yang menggunakan alat berat untuk memperoleh manfaat signifikan dari penggunaan kendaraan otonom. “Kami percaya Indonesia akan menjadi pasar yang besar bagi Venti karena solusi teknologi mereka dapat diterapkan di banyak industri.”

Ukuran pasar mencapai $3,39 miliar

Di Asia Pasifik, ukuran pasar kendaraan otonomos di tahun 2020 diperkirakan telah mencapai $3,39 miliar dan akan bertumbuh (CAGR) 13% dari 2021 sampai 2028 nanti. Dalam laporan riset yang dipublikasi Grand View Research ini juga menyoroti tentang pemanfaatan mesin-mesin otonomos untuk menunjang bisnis logistik dan manufaktur. Dengan efektivitas fungsi pengangkutan yang dimiliki, penggunaan mesin otomatis dinilai dapat mengurangi biaya dan risiko kerusakan produk.