Gayo Capital Announces Two New Portfolios, Alatté Beauty and PasarMIKRO

The venture company under Ideosource, Gayo Capital, officially announced seed funding for two of its newest portfolios, Alatté Beauty and PasarMIKRO. Gayo Capital is reluctant to mention the exact investment value the two have received. However, Alatté Beauty is said to have secured around $100- $500 thousand, while PasarMIKRO around $500 thousand – $1 million.

Gayo Capital’s Co-founder & Managing Partner, Ishara Yusdian said the two portfolios are in line with the company’s vision to provide “impact investment”. He also prepared a business roadmap to encourage future business growth for both of them.

“We are impact investors. Therefore, we incubate first, give mentoring and pre-seed rounds before the product launches. Once launched, we entered as investors for the seed round,” Ishara said in an interview with DailySocial.

Thus, Gayo Capital has nine portfolios now, including in the agricultural segment (Lampung Cocoa Farmers, Inacom, Tunas Farm, PasarMIKRO, AGRetail & AGLogistics), waste management (WLabku, DAUR), and lifestyle (Alatté Beauty and Foom).

Alatté Beauty’s development

Throughout 2020, Gayo Capital saw a trend of increasing sales of beauty products during the pandemic. Moreover, his team began to conduct various researches in Q2 2020 and found that the average local cosmetic brand is still using the retail business model. In order to invest in this sector, Ishara said he wanted to find a business model that could have a broad impact.

He said, Alatté met Gayo Capital’s criteria. With a reseller-based business model, he believes Alatté can have a broad impact, especially for MSMEs in Indonesia. In contrast to most retail cosmetic brands, which are considered to require large capital to become a reseller. In fact, there is no assistance regarding selling, engagement, and transformation to digital selling.

“After our exploration, we found that Alatté has a different model from other brands, partnering with individuals and MSMEs. Think about resellers, such as the Oriflame [model]. Therefore, Alatté prepared the whole thing, the reseller will make sales and they will receive coaching, starting from the framework, marketing, and going to the market. Indirectly, Alatté is one of the medium to increase the GDP contribution from MSMEs,” he explained.

Ishara said, Alatté has achieved organic growth. Moreover, Alatté’s focus in 2021 is to fully increase sales figures through digital platforms, such as Tokopedia and Shopee. In 2022, Alatté will expand to offline stores, such as Watson, Sephora, Sociolla, and Metro.

Next, in the following year, then Alatté will enter into innovation development. One of the use cases that is currently being prepared is the development of face recognition to provide a virtual experience for buyers of Alatté cosmetic products.

“it’s currently on trial. But, we’ll be able to launch it if we have a significant number we can get. Therefore, it depends on the reseller in the area. Alatté’s equity value is different from other brands. The sales forecast seems very close . For example, when the equity value has been built, we want to make Alatté the first local cosmetics brand to be IPO,” he said.

Farmer’s financing facility

Next, the PasarMIKRO, this platform is prepared to synergize with existing portfolios in agriculture, Lampung Cocoa Farmers (PKL) and Inacom. Ishara revealed, PasarMIKRO  has provided financing facilities to more than 50 farmers. This year, his team targets to provide access to finance to 200 farmers in Indonesia.

In a general note, PasarMIKRO provides financing facilities for upstream farmers with risk profiling in accordance with POJK. Ishara assessed that farmers and ranchers in the regions have the ability to supply their crops to large retailers, such as Carrefour and Giant. However, this is considered difficult without the help of middlemen.

“PasarMIKRO has a business model similar to Investree P2P, only it is channeled into the captive market, including farmers and breeders. PasarMIKRO also provides facilities where farmers can trade their crops to agri food companies, such as Japfa Comfeed,” he added.

Target in 2021

During this year, Gayo Capital is preparing some other plans. Ishara revealed that his team would collaborate with the International Design School (IDS) and state-owned subsidiary PT INTI to prepare digital-based learning content. He said, the pre-employment market potential is huge, especially after Lebaran.

As a general note, IDS is owned by Andi Boediman, who is also a Managing Partner at Ideosource. Gayo Capital will announce a new portfolio in the third quarter, a Singapore-based insurtech platform, Ocktolife.

In addition, the company will launch three incubation programs this year. First, Start Camp Asia which aims to consolidate and integrate the MICRO Market with the existing portfolio. Second, Codiac for the integration and collaboration of AGRetail & AGLogistics with external parties.

Third, PILAR, the program that prepares leadership assistance for its portfolio, most of which are from agricultural verticals. “I think we have to have standards for those running the company. Currently, we are still providing one by one assistance,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Gayo Capital Umumkan Dua Portofolio Baru, Alatté Beauty dan PasarMIKRO

Perusahaan ventura di bawah naungan Ideosource, Gayo Capital, resmi mengumumkan pendanaan tahap awal untuk dua portofolio terbarunya, yaitu Alatté Beauty dan PasarMIKRO. Gayo Capital enggan menyebutkan nilai investasi pasti yang diterima keduanya. Namun, Alatté Beauty disebutkan mengantongi investasi di kisaran $100-$500 ribu, sedangkan PasarMIKRO di rentang $500 ribu-$1 juta.

Co-founder & Managing Partner Gayo Capital Ishara Yusdian mengatakan, kedua portofolio tersebut sejalan dengan visi perusahaan untuk memberikan “impact investment”. Pihaknya juga telah menyiapkan roadmap bisnis untuk mendorong pertumbuhan bisnis keduanya ke depan.

“Kami adalah impact investor. Jadi awalnya kami inkubasi dulu, berikan mentoring dan pre-seed round sebelum produk meluncur. Begitu sudah meluncur, kami masuk sebagai investor untuk seed round,” ujar Ishara dalam wawancaranya kepada DailySocial.

Dengan demikian, Gayo Capital kini telah memiliki sembilan portofolio, antara lain di segmen agrikultur (Petani Kakao Lampung, Inacom, Tunas Farm, PasarMIKRO, AGRetail & AGLogistics), waste management (WLabku, DAUR), dan lifestyle (Alatté Beauty dan Foom).

Pengembangan Alatté Beauty

Di sepanjang 2020, Gayo Capital melihat ada tren peningkatan penjualan produk kecantikan selama masa pandemi. Dari sini, pihaknya mulai melakukan berbagai riset di Q2 2020 dan menemukan bahwa rata-rata brand kosmetik lokal masih menggunakan model bisnis ritel. Untuk berinvestasi di sektor ini, Ishara menyebut ingin mencari model bisnis yang bisa memberikan dampak luas.

Menurutnya, Alatté memenuhi kriteria yang dicari Gayo Capital. Dengan model bisnis berbasis reseller, ia meyakini Alatté dapat memberikan dampak luas, terutama bagi UMKM di Indonesia. Berbeda dengan kebanyakan brand kosmetik ritel yang dinilai membutuhkan modal besar untuk menjadi reseller. Bahkan, tidak ada pendampingan mengenai cara berjualan, engagement, dan transformasi ke digital selling.

“Setelah kami eksplorasi, kami menemukan Alatté memiliki model berbeda dari merek lain, yaitu partnering dengan individual dan UMKM. Think about reseller, seperti [model] Oriflame. Jadi semua disiapkan oleh Alatté, reseller akan melakukan penjualan dan mereka akan menerima pembinaan, mulai dari framework, marketing, hingga go to the market-nya. Jadi, secara tidak langsung, Alatté menjadi salah satu upaya mendongkrak kontribusi GDP dari UMKM,” jelasnya.

Menurut Ishara, saat ini Alatté sudah mengantongi pertumbuhan secara organik. Untuk itu, fokus Alatté di 2021 adalah menaikkan angka penjualan sepenuhnya melalui digital platform, seperti Tokopedia dan Shopee. Di 2022, Alatté akan merambah offline store, seperti Watson, Sephora, Sociolla, dan Metro.

Kemudian di tahun selanjutnya, barulah Alatté akan masuk ke pengembangan inovasi. Salah satu use case yang tengah disiapkan adalah pengembangan face recognition untuk memberikan virtual experience bagi pembeli produk kosmetik Alatté.

“Sekarang lagi trial. But, we’ll be able to launch it if we have a significant number yang bisa kami dapatkan. Jadi sekarang tergantung dari reseller di daerah. Equity value Alatté berbeda dibanding brand lain. Sales forecast sudah kelihatan mendekati lah sekarang. Semisal sudah bangun equity value, kami bahkan ingin buat Alatté jadi brand lokal kosmetik pertama yang di-IPO-kan,” paparnya.

Fasilitas pembiayaan petani

Berlanjut ke PasarMIKRO, platform ini dipersiapkan untuk dapat bersinergi dengan portofolio existing di agrikultur, yaitu Petani Kakao Lampung (PKL) dan Inacom. Ishara mengungkap, saat ini PasarMIKRO telah memberikan fasilitas pembiayaan ke lebih dari 50 petani. Tahun ini, pihaknya menargetkan dapat memberikan akses pembiayaan ke 200 petani di Indonesia.

Sebagaimana diketahui, PasarMIKRO menyediakan fasilitas pembiayaan bagi petani di hulu dengan risk profiling sesuai dengan POJK. Ishara menilai bahwa petani dan peternak di daerah memiliki kemampuan untuk memasok hasil panennya ke peritel besar, seperti Carrefour dan Giant. Namun, hal ini dinilai sulit tanpa bantuan perantara tengkulak.

“PasarMIKRO memiliki model bisnis seperti pemain P2P Investree, hanya saja ini disalurkan untuk captive market, yaitu petani dan peternak. PasarMIKRO juga sediakan fasilitas di mana petani bisa trading hasil panen ke perusahaan makanan agri, seperti Japfa Comfeed,” tambahnya.

Target di 2021

Di sepanjang tahun ini, Gayo Capital juga tengah menyiapkan sejumlah rencana lainnya. Ishara mengungkap, pihaknya akan bekerja sama dengan International Design School (IDS) dan anak usaha BUMN PT INTI untuk menyiapkan konten pembelajaran berbasis digital. Menurutnya, potensi pasar pra-kerja sangat besar, terutama usai Lebaran nanti.

Sekadar informasi, IDS dimiliki oleh Andi Boediman, yang juga merupakan Managing Partner di Ideosource. Gayo Capital juga akan mengumumkan satu portofolio baru di kuartal ketiga ini, yaitu Ocktolife, platform insurtech berbasis di Singapura.

Selain itu, perusahaan juga akan meluncurkan tiga program inkubasi di tahun ini. Pertama, Start Camp Asia yang bertujuan untuk melakukan konsolidasi dan integrasi PasarMIKRO dengan portofolio existing. Kedua, Codiac untuk integrasi dan kolaborasi AGRetail & AGLogistics dengan external party.

Ketiga, PILAR atau program mempersiapkan pendampingan leadership bagi portofolionya yang sebagian besar dari vertikal agrikultur. “Rasanya kami harus punya standarisasi untuk mereka yang running the company. Kalau sekarang, kami masih memberikan pendampingan one by one.” Tambahnya.

Bank Jago Officially Launched Digital Financial App, to Focus on Life Centricity

After almost a year of transition, PT Bank Jago Tbk (ARTO) officially introduced the Jago app to the public. This platform provides digital financial services that focus on life-centricity with a collaborative ecosystem approach.

“In order to present innovative and collaborative solutions, we work closely with the ecosystem. We expect this application can provide financial access to the wider community and accelerate financial inclusion. There are many segments we still want to reach in Indonesia,” Bank Jago’s President Director, Kharim Indra Gupta Siregar said at the launching of Jago app in Jakarta.

Currently, Jago app only provides several financial services, such as transfers, bill payments, and e-wallet top ups. Going forward, the company will add more services to target the digital savvy and mass market segments in the middle class, both individuals and entrepreneurs.

This is one of the initiatives of its strategic partnership with Gojek, which is a service that allows millions of customers to open Jago Bank accounts directly through the ride-hailing platform. “Regarding [the partnership with Gojek], our team is still working on the integration process,” Kharim added.

Review of Jago app

Bank Jago claims to be a fully tech-based digital bank. Kharim also emphasized that Bank Jago’s technology and innovation were entirely developed by an internal team. Therefore, DailySocial has the opportunity to try out some of the innovative features of the Jago app.

For first impression, the onboarding process to create an account is very fast, e-KYC only take less than 30 seconds via video call. We then tried the “Pockets” feature which allows customers to simply allocate money for different purposes. As seen in the image below, the Pocket feature can be personalized, including name, color, and profile photo.

The bag (Kantong) has two categories, “Savings” and “Spendings”. Users can add saving bags (Kantong Nabung) with various transfer methods, including digital banking (TMRW, Digibank, Jenius), mobile banking (BCA, Mandiri, CIMB, BRI), SMS banking, internet banking (BCA, Mandiri, BNI, CIMB), ATM (BCA, Mandiri, BNI, BRI, Permata, CIMB), and Jago Branch.

However, the thing is that the money stored in Kantong Nabung cannot be transferred to external account thereby reducing the potential for unnecessary expenses. For transfers, users must move money to the Pay Bag (Kangtong Bayar). If it’s changed, users can make transactions and the interest will be charged to 0.5% p.a. While changing to Kantong Nabung will activate an interest of 3.5% p.a.

Simulasi pembuatan Kantong Nabung di aplikasi Bank Jago / DailySocial
Simulation of creating saving account on Bank Jago application / DailySocial

In fact, users can invite other account holders (collaborators) to save together. User can authorize a collaborator to “see” or “use” the money in the bag. There is a daily limit that can be set.

Kharim said, the collaborative financial management feature is not yet owned by banks in Indonesia. This feature was developed by research conducted by the company. He said, there are still many use case in financial service to be explored in the future.

In addition, he said that this feature has gone through a risk management process considering that the use case is still relatively new and has the potential to be called a term savings if it is stored for a long time. “This is one of the challenges for the treasury team at Bank Jago. In this case, we simulate what market this fund will be rotated, therefore, we have made adjustments in providing services,” he said.

Meanwhile, Bank Jago’s Digital Banking Director, Peter van Nieuwenhuizen added that collaborative features are very possible to be implemented into financial services. This is because people in Southeast Asia are familiar with collaboration culture, especially Indonesia, which is known to be active in socializing.

“The new [features] we are developing are new models for banking, therefore, it will take 1-2 years to see how do you do with ‘Pockets’ or how to figure out what works best,” Peter said.

Aplikasi Bank Jago / Bank Jago
Bank Jago app / Bank Jago

Another leading feature by Jago Bank is the payment of invoices with a variable value, post-paid for example. Through this feature, users can automatically make payments or via a reminder to confirm the value of not fixed bills.

Flashback through Bank Jago

Bank Jago officially shifted from Bank Artos in June 2020. This identity change was an effort to transform Bank Jago into a post-acquisition digital bank by a group of investors led by Jerry Ng through PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (MEI) and Patrick Waluyo through Wealth Track Technology Limited (WTT).

Gojek Group, through its subsidiary, GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa), is also a 22% shareholder. Then, in early March, the Singapore government-owned investment institution, the Government of Singapore Investment Corporation Private Limited (GIC), also acquired Bank Jago shares.

In conclusion, Bank Jago’s shareholder consists of PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (29.81%), Wealth Track Technology Limited (11.69%), PT Dompet Karya Anak Bangsa (21.40%), GIC Private Limited (9, 12%), and the public (27.99%).

Previously, senior banker and founder of Bank Jago Jerry Ng said that this collaboration could be a key strategy to accelerate the growth of the digital bank business. He gave an example, digital banks in China and South Korea are oriented towards ecosystem collaboratio, therefore, they can pursue growth through products with a wider spectrum.

This also answers various strategic partnership actions from various verticals by Bank Jago since 2020. This inorganic strategy can accelerate growth. Currently, Gojek is a sole strategic partner. This means that this partnership includes opening a direct account (onboarding) through the Gojek application, without the need for the Jago Bank application.

Ecosystem Vertical Partnership
Gojek Group Ride-hailing Strategic partnership, shareholder
Akulaku Lending Loan channeling scheme (Rp100 billion)
Akseleran Lending Loan channeling scheme (Rp50 billion)
Kredit Pintar Lending unknown
Logisly E-logistic unknown

“We have to create a unique value proposition. What we do is combine the two because we both have advantages. Bank is no longer the center of ecosystem, but part of the ecosystem. If we put ourselves in the right position, we will have a strategic role because whatever consumers do, in the end is payment,” Jerry said.

Other digital banks

The competitive map for digital banks in Indonesia will be even stronger this year. After Bank Neo Commerce and Bank Jago officially introduced application-based digital services, several other banks are anticipating their realization to become digital banks. On our records, there are several names, from Bank Digital BCA, SeaBank, and KB Bukopin.

Bank Agro, which is currently applying for a digital bank license to OJK, has recently appointed Kaspar Situmorang as the President Director through the Annual General Meeting of Shareholders (Annual GMS). Kaspar was previously the Executive Vice President of the Digital Center of Excellence, one of the digital transformation divisions in BRI’s holding company.

BRI’s Director of Digital, Information Technology and Operations Indra Utoyo said to DailySocial last year that BRI Agro has a great opportunity to be converted into a digital bank because it has launched the digital lending platform Pinang (Pinjam Tenang) which is the initial test case to the market.

Meanwhile, SeaBank, which is the new identity of Economic Welfare Bank (BKE), is reportedly exploring the potential to acquire another bank to strengthen its capital structure. That way, SeaBank can get a digital bank license. SeaBank is recorded as a Commercial Bank for Business Activities (BUKU) II with a core capital of IDR 1.3 trillion as of September 2020 and total assets of IDR 3.6 trillion as of December 2020.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Bank Jago Resmi Meluncurkan Aplikasi Keuangan Digital, Berfokus pada Sentra Kehidupan

Setelah hampir satu tahun berganti identitas, PT Bank Jago Tbk (ARTO) akhirnya resmi memperkenalkan aplikasi Jago (Jago app) ke publik. Aplikasi ini menyediakan layanan keuangan digital yang berfokus pada kehidupan (life-centricity) dengan pendekatan pada kolaborasi ekosistem.

“Untuk menghadirkan solusi inovatif dan kolaboratif, kami bekerja sama erat dengan ekosistem. Kami harap aplikasi ini dapat memberikan akses finansial ke masyarakat lebih luas dan mempercepat inklusi keuangan. Masih banyak segmen yang ingin kami jangkau di Indonesia,” ujar Presiden Direktur Bank Jago Kharim Indra Gupta Siregar ditemui di acara peluncuran aplikasi Jago di Jakarta.

Saat ini, aplikasi Jago baru menyediakan beberapa layanan keuangan, seperti transfer, pembayaran tagihan, dan top up e-wallet. Ke depannya, perusahaan akan menambah lebih banyak layanan untuk membidik segmen digital savvy dan mass market di kelas menengah, baik individual maupun wirausaha.

Termasuk salah satu inisiatif dari kemitraan strategisnya dengan Gojek, yaitu layanan yang memungkinkan jutaan pelanggan membuka rekening Bank Jago langsung melalui platform ride-hailing tersebut. “Terkait [kemitraan dengan Gojek], tim kami masih menggodok proses integrasinya,” tambah Kharim.

Menjajal aplikasi Jago

Bank Jago mengklaim sebagai bank digital yang sepenuhnya berbasis teknologi (tech-based bank). Kharim juga menegaskan bahwa teknologi dan inovasi Bank Jago juga seluruhnya dikembangkan oleh tim internal. Maka itu, DailySocial berkesempatan untuk menjajal beberapa fitur inovatif dari aplikasi Jago.

Kesan pertama, proses onboarding pembuatan rekening sangat cepat,  pemeriksaan e-KYC hanya berlangsung tak sampai 30 detik via video call. Kami kemudian mencoba fitur “Pockets” atau “Kantong” yang memungkinkan nasabah mengalokasikan uang dengan tujuan berbeda secara sederhana. Sebagaimana terlihat dalam gambar di bawah ini, fitur Kantong dapat dipersonalisasi, baik nama, warna, dan foto profilnya.

Kantong memiliki dua kategori, yaitu “Savings/Nabung” dan “Spendings/Bayar”. Pengguna bisa menambah Kantong Nabung dengan berbagai metode transfer, antara lain digital banking (TMRW, Digibank, Jenius), mobile banking (BCA, Mandiri, CIMB, BRI), SMS banking, internet banking (BCA, Mandiri, BNI, CIMB), ATM (BCA, Mandiri, BNI, BRI, Permata, CIMB), dan Jago Branch.

Namun, perlu dicatat bahwa uang yang disimpan di Kantong Nabung tidak dapat ditransfer ke rekening luar sehingga mengurangi potensi pengeluaran yang tidak perlu. Untuk transfer, pengguna harus memindahkan uang ke Kantong Bayar. Jika diubah ke Kantong Bayar, pengguna dapat bertransaksi dan bunga dikenakan menjadi 0,5% p.a. Sementara mengubah menjadi Kantong Nabung akan mengaktifkan bunga 3,5% p.a.

Simulasi pembuatan Kantong Nabung di aplikasi Bank Jago / DailySocial
Simulasi pembuatan Kantong Nabung di aplikasi Bank Jago / DailySocial

Menariknya, pengguna dapat mengundang pengguna pemilik rekening lain (collaborator) untuk berkolaborasi untuk menabung. Pengguna dapat memberi kuasa collaborator untuk “melihat” atau “memakai” uang di kantong tersebut. Ada limit harian yang bisa ditetapkan.

Menurut Kharim, fitur pengelolaan keuangan secara kolaboratif belum dimiliki bank-bank di Indonesia. Fitur ini pun dikembangkan riset yang dilakukan perusahaan. Menurutnya, masih banyak use case layanan keuangan yang dapat dieksplorasi di masa depan.

Selain itu, ia mengatakan bahwa fitur ini telah melalui proses risk management mengingat use case-nya masih terbilang baru dan berpotensi disebut tabungan berjangka apabila disimpan dalam waktu lama. “Ini salah satu tantangan bagi tim treasury di Bank Jago. Dalam hal ini, kami buat simulasi dana ini diputar ke pasar apa, jadi kami sudah buat penyesuaian dalam memberikan layanan,” ujarnya.

Sementara, Direktur Digital Banking Bank Jago Peter van Nieuwenhuizen menambahkan bahwa fitur-fitur yang bersifat kolaboratif sangat memungkinkan diimplementasi ke dalam layanan keuangan. Pasalnya, masyarakat di Asia Tenggara kental dengan budaya kolaborasi, terlebih Indonesia yang dikenal aktif dalam bersosialisasi.

“[Fitur-fitur] baru yang kami kembangkan merupakan model baru untuk perbankan sehingga butuh 1-2 tahun untuk melihat how do you do with ‘Pockets’ or how to figure out what works best,” ungkap Peter.

Aplikasi Bank Jago / Bank Jago
Aplikasi Bank Jago / Bank Jago

Fitur menarik lain yang diperkenalkan Bank Jago adalah pembayaran tagihan dengan nilai yang tidak tetap, misal pasca-bayar. Lewat fitur ini, pengguna bisa melakukan pembayaran secara otomatis atau melalui reminder untuk mengonfirmasi nilai tagihan yang tidak tetap.

Kilas balik perjalanan Bank Jago

Bank Jago resmi berganti nama dari Bank Artos pada Juni 2020. Pergantian identitas tersebut merupakan upaya transformasi besar-besaran Bank Jago menjadi bank digital pasca-akuisisi oleh grup investor yang dipimpin oleh Jerry Ng lewat PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (MEI) dan Patrick Waluyo melalui Wealth Track Technology Limited (WTT).

Gojek Group, melalui anak usahanya GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa), juga masuk sebagai pemegang saham sebesar 22%. Kemudian, awal Maret lalu, lembaga investasi milik pemerintah Singapura, Government of Singapore Investment Corporation Private Limited (GIC) juga mencaplok saham Bank Jago.

Dengan demikian, komposisi pemegang saham Bank Jago terdiri dari PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (29,81%), Wealth Track Technology Limited (11,69%), PT Dompet Karya Anak Bangsa (21,40%), GIC Private Limited (9,12%), dan publik (27,99%).

Sebelumnya, bankir senior sekaligus pendiri Bank Jago Jerry Ng mengatakan bahwa kolaborasi tersebut dapat menjadi strategi kunci untuk mengakselerasi pertumbuhan bisnis bank digital. Ia mencontohkan, bank digital di Tiongkok dan Korea Selatan berkiblat pada kolaborasi ekosistem sehingga dapat mengejar pertumbuhan melalui produk dengan spektrum yang lebih luas.

Ini turut menjawab berbagai aksi kemitraan strategis dari berbagai vertikal yang dilakukan Bank Jago sejak 2020. Strategi anorganik ini dapat mempercepat pertumbuhan. Saat ini baru Gojek yang menjadi mitra strategis. Artinya, kemitraan ini termasuk membuka rekening (onboarding) di aplikasi Gojek langsung, tanpa perlu di aplikasi Bank Jago.

Ecosystem Vertical Partnership
Gojek Group Ride-hailing Strategic partnership, shareholder
Akulaku Lending Loan channeling scheme (Rp100 billion)
Akseleran Lending Loan channeling scheme (Rp50 billion)
Kredit Pintar Lending unknown
Logisly E-logistic unknown

We have to create unique value proposition. Yang kami lakukan adalah mengombinasikan keduanya karena sama-sama punya keunggulan. Bank is no longer the centre of ecosystem, tetapi bagian dari ekosistem. Jika menempatkan diri dengan tepat, kita akan punya peranan strategis karena apapun yang dilakukan konsumen, ujung-ujungnya adalah pembayaran,” ungkap Jerry.

Bank digital lainnya

Peta persaingan bank digital di Indonesia bakal semakin kuat di tahun ini. Setelah Bank Neo Commerce dan Bank Jago resmi memperkenalkan layanan digital berbasis aplikasi, beberapa bank lain tengah mengantisipasi realisasinya menjadi bank digital. Di catatan kami, masih ada sejumlah nama, mulai dari Bank Digital BCA, SeaBank, dan KB Bukopin.

Bank Agro yang sedang mengajukan izin menjadi bank digital ke OJK, juga baru saja menunjuk Kaspar Situmorang sebagai Direktur Utama melalui Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPS Tahunan). Kaspar sebelumnya merupakan Executive Vice President Digital Center of Excellence, salah satu divisi transformasi digital di induk usaha BRI.

Kepada DailySocial tahun lalu, Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI Indra Utoyo mengatakan, BRI Agro berpeluang besar dikonversi menjadi bank digital karena telah meluncurkan platform digital lending Pinang (Pinjam Tenang) yang menjadi test case awal ke pasar.

Sementara itu, SeaBank yang telah berganti identitas dari Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE), dikabarkan tengah menjajaki potensi akuisisi bank lain untuk memperkuat struktur modalnya. Dengan begitu, SeaBank bisa mengantongi izin bank digital. SeaBank tercatat masih merupakan Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) II dengan modal inti Rp 1,3 triliun per September 2020 dan total aset per Desember 2020 sebesar Rp 3,6 triliun.

Application Information Will Show Up Here

Flash Coffee Membidik Pertumbuhan 18 Kali Lipat dengan Ekspansi 75 Gerai di Indonesia

Startup coffee chain berbasis teknologi Flash Coffee mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $15 juta atau Rp218 miliar. White Star Capital memimpin pendanaan ini, diikuti oleh sejumlah investor lain, yaitu DX Venture, Global Founders Capital, dan Conny & Co. Pendanaan baru ini menambah total modal yang diterima Flash Coffee menjadi $20 juta atau sebesar Rp290 miliar.

Perusahaan portofolio Rocket Internet ini akan melakukan ekspansi ke-10 negara di Asia Pasifik dengan menargetkan sebanyak 300 gerai baru atau tiga gerai baru setiap minggunya. Saat ini, Flash Coffee telah memiliki 50 gerai yang tersebar di Indonesia, Singapura, dan Thailand.

“Target kami menambah 300 outlet di Asia Pasifik, di mana menjadi 75 outlet diharapkan dari Indonesia pada akhir 2021. Kami juga membidik pertumbuhan 18 kali lipat di Indonesia tahun ini,” ungkap Founder & CEO Flash Coffee David Brunier dalam wawancaranya dengan DailySocial. 

Brunier mengungkap bahwa perusahaan telah mengantongi keuntungan dari 50 gerai yang dimiliki saat ini terlepas dari situasi pandemi. Pihaknya optimistis dapat kembali mempertahankan profitabilitas sejalan dengan ekspansi besar-besaran yang dilakukan untuk 2021 dan 2022.

Flash Coffee pertama kali hadir di Indonesia pada awal 2020 dengan 4 gerai saat itu. Per April 2021, pihaknya telah mengoperasikan 14 gerai yang tersebar di kawasan Jabodetabek. Tahun ini, jumlah gerai tersebut diharapkan bertambah menjadi 75 gerai dan pihaknya juga akan melihat peluang ekspansi di wilayah lainnya, seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan.

Momentum untuk ekspansi

Brunier menilai bahwa pasar gerai kopi ritel di Indonesia sangat menarik dan punya ruang pertumbuhan besar. Selain tingginya jumlah populasi jiwa, segmen kelas menengah atas yang haus mencoba produk baru dan konsumsi kopi per kapita terus meningkat.

Namun, pangsa Flash Coffee di Indonesia disebut sedikit lebih rendah dibandingkan di Singapura dan Thailand. Hal ini karena konsumen Indonesia cenderung lebih suka menikmati kopi sambil nongkrong di gerai, terutama di mal.

Maka itu, menurutnya pandemi Covid-19 telah membuat penjualan kopi dengan model grab-and-go menjadi lebih relevan bagi pelanggan di seluruh kawasan ini. Situasi ini juga membuka kesempatan bagi Flash Coffee untuk meningkatkan pengalaman pelanggan secara signifikan dengan menyajikan kopi berkualitas tinggi dan terjangkau. Salah satunya telah dijawab lewat peluncuran aplikasi Flash Coffee tahun lalu yang dilengkapi fitur pengambilan pesanan.

Situasi saat ini juga memungkinkan perusahaan untuk meningkatkan efisiensi dengan mengoptimalkan lahan properti sehingga dapat menurunkan biaya sewa secara signifikan. Selain itu, konsep grab-and-go juga dapat meningkatkan produksi makanan dan minuman tanpa membutuhkan banyak barista. Dengan penghematan ini, perusahaan dapat membayar gaji yang layak kepada barista dan harga terjangkau kepada pelanggan.

“Kami optimistis melanjutkan ekspansi gerai fisik di tengah kondisi ekonomi yang menantang. Di situasi ini kami justru dapat menyewa properti premium dengan harga yang lebih rendah. Saat ini, trafik pengunjung gerai meningkat dari tahun lalu. Kami harap trafiknya kembali ke semula di 2022. Kami juga akan melihat opsi lain untuk meningkatkan pertumbuhan perusahaan selain ekspansi gerai fisik,” papar Brunier.

Ekspansi teknologi dan tim

Flash Coffee menggunakan strategi 4E untuk pertumbuhan bisnisnya, antara lain Ekpand (gerai dan lokasi), Enlarge (tim), Enhance (teknologi), dan Engage (interaksi pelanggan). Dari sisi teknologi, ada beberapa hal yang akan diperkuat Flash Coffee. Pertama, (1) inovasi lewat aplikasi konsumen yang dapat diunduh di platform iOS dan Android serta aplikasi barista untuk meningkatkan efisiensi operasional dan pemberian insentif berbasis performa.

Selanjutnya, (2) pengambilan keputusan berbasis data untuk menyocokan produk dan pasar, (3) penerapan teknologi untuk untuk mengidentifikasi area dengan permintaan tinggi, alur konsumen, dan konversi trafik di gerai, serta (4) digitalisasi perlengkapan untuk membantu konfigurasi secara online dan terpusat dan memastikan konsistensi di seluruh gerai.

Lebih lanjut, Flash Coffee juga melakukan perekrutan besar-besaran dengan ekspansi masif ini. Secara total, perusahaan tengah melakukan perekrutan 2.000 orang di Asia Pasifik dalam satu tahun ke depan. Ini sudah termasuk penambahan orang untuk menempati posisi di tim teknologi untuk regional.

“Untuk menjadi gerai kopi berbasis teknologi terbaik di Asia, kami berinvestasi besar agar dapat menempatkan SDM terbaik di posisi yang tepat. Kami akan memperbesar tim kami menjadi 50 orang di hub teknologi regional Flash Coffee yang berbasis di Jakarta,” tambahnya.

Startup coffee chain di Indonesia

Salah satu kunci pertumbuhan coffee chain adalah ketersediaan gerai untuk menjangkau pasar. Ekspansi besar-besaran Flash Coffee ini akan menambah persaingan new retail di industri coffee chain berbasis teknologi di Indonesia.

Calon startup unicorn Kopi Kenangan kini telah memperkerjakan 3.000 karyawan yang tersebar di 324 gerai di Indonesia. Perusahaan membidik penambahan gerai menjadi 500 gerai pada tahun ini. Setelah menerima guyuran pendanaan seri B senilai lebih dari Rp1,6 triliun) di 2020, Kopi Kenangan juga akan memperkuat posisinya dengan menawarkan produk makanan dan minuman dari pedagang lokal serta mengembangkan cloud kitchen.

Kemudian, Fore Coffee yang juga mengantongi investasi Rp147 miliar di kuartal kedua 2020, juga masih menggenjot ekspansi gerai ke Bandung, Surabaya, dan Medan. Saat ini Fore Coffee telah memiliki sekitar 100 unit gerai per April tahun lalu. Sementara, Janji Jiwa menyebut telah memiliki 800 gerai kopi berkat program kemitraan di seluruh Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Strategi dan Ekspektasi Pengembangan Inovasi Digital di Industri Pembiayaan Indonesia di 2021

Industri pembiayaan merupakan salah satu sektor yang menghadapi tantangan besar pada 2020. Menurut Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, industri pembiayaan di Indonesia mencatatkan penurunan kinerja yang drastis dengan pertumbuhan minus 17,1% tahun lalu. Di 2019, pembiayaan masih mencatatkan kenaikan sebesar 3,66% secara tahunan.

Penurunan pembiayaan ini diakibatkan pandemi Covid-19 sehingga memukul industri otomotif. Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menyebutkan bahwa rata-rata penjualan motor dan mobil anjlok hingga 40% di periode April-Juni 2020.

Di tengah kemerosotan industri, pemerintah berupaya meringankan beban nasabah lewat restrukturisasi. OJK mencatat restrukturisasi oleh perusahaan pembiayaan telah mencapai Rp189,96 triliun dari 5 juta kontrak pembiayaan atau 48,52% dari total pembiayaan di sepanjang 2020.

Perusahaan pembiayaan juga mencari jalan untuk memastikan bahwa pengguna tetap dapat mengajukan pembiayaan tanpa perlu keluar rumah. Yang belum banyak diketahui, sejumlah perusahaan pembiayaan di Indonesia telah mengembangkan inisiatif digital, bahkan sebelum pandemi terjadi.

Bagaimana strategi dan ekspektasi perusahaan pembiayaan Indonesia di masa pandemi dan pasca pandemi nanti? Simak wawancara DailySocial dengan PT Astra Credit Company (ACC), PT Mandiri Tunas Finance (MTF), dan PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk.

Pengembangan digital sebelum pandemi

Berbagai sumber menyebutkan bahwa terjadi akselerasi adopsi digital besar-besaran di sepanjang 2020. Sejumlah sektor yang awalnya belum mengimplementasi digital, bahkan akhirnya melakukannya. Namun, yang menjadi temuan menarik adalah, industri pembiayaan di Indonesia sudah mulai melakukan transformasi digital sebelum pandemi terjadi. 

Transformasi ini salah satunya dibuktikan dengan upaya perusahaan memperluas jalur pengajuan pembiayaan dan pembiayaan yang biasanya dilakukan secara offline menjadi online. Baik ACC, MTF, dan Adira Finance sama-sama telah memiliki kanal digital.

Perusahaan Aplikasi Pengguna
Astra Credit Company ACC One 50.000+ (unduhan)
Mandiri Tunas Finance MTF Go 11.700 (April 2020)
Adira Finance Adiraku 480 ribu (Des 2020)

ACC meluncurkan aplikasi ACC Yes! Di 2016 yang kemudian berevolusi menjadi ACC One (2019). Sementara Adira Finance sudah lebih dulu meluncurkan marketplace untuk jual-beli mobil dan motor bekas pada 2017 melalui momobil.id dan momotor.id. Sementara, aplikasi Adiraku meluncur pada awal 2020.

Selain itu, MTF mengembangkan MTF Go pada 2018, tetapi perusahaan menambah tiga platform digital berbasis aplikasi untuk kebutuhan lain yang meluncur di 2019, yaitu MTF Mobile, MyMTF, dan MTF Lelang.

Perubahan strategi ke otomatisasi restrukturisasi

Setiap perusahaan merespons situasi dengan cara berbeda-beda ketika pandemi Covid-19 pertama kali terjadi. Begitu pemerintah mengeluarkan kebijakan restrukturisasi pada kuartal kedua 2020, sejumlah perusahaan pembiayaan menunda rencana yang sudah ada dan mengalihkannya ke inisiatif baru untuk beradaptasi di situasi tersebut.

Direktur Information Technology & Business Development ACC Mohammad Farauk mengatakan, perusahaan mengembangkan platform baru untuk memudahkan restrukturisasi pembiayaan. Maka itu, ACC meluncurkan platform berbasis website ACC One on the Web pada awal Maret 2021.

ACC One on the Web memungkinkan pelanggan memilih mobil baru dan bekas lewat E-Catalogue, disertai simulasi kredit dan jadwal pembayaran angsuran. Dua pekan sejak diluncurkan, ACC mencatat pengajuan kredit melalui ACC One on the Web naik 102% dan jumlah pengunjung naik hingga 65%.

Kami melihat perilaku masyarakat semakin akrab bertransaksi via digital. Pandemi menyadarkan kami bahwa kebutuhan digitalisasi ACC masih cukup besar. Maka itu, ACC memperkuat infrastruktur digital secara menyeluruh para business process dan mengembangkan produk dan layanan ACC secara cepat,” ungkapnya kepada DailySocial.

Sementara itu, Adira Finance juga terpaksa menunda sejumlah strategi yang sudah ada untuk memperkuat pengembangan sistem dan operasional berbasis digital. Perusahaan tidak menyebutkan secara spesifik, tetapi Adira Finance mau tak mau juga mengalihkan fokus ke restrukturisasi kredit pada platformnya, yakni Adiraku, momobil.id, dan momotor.id.

Kami sadar pandemi menjadi peluang untuk melakukan perbaikan sistem dan customer experience secara digital. Kami melakukan beberapa perbaikan, seperti menambah fitur dan melakukan user testing untuk dapat customer journey yang lebih valid dari sistem dan operasional berbasis digital. Dengan begitu, pelanggan bisa mengajukan pembiayaan atau pembayaran tanpa perlu datang ke kantor cabang,” ujar Deputy Director sekaligus Head of Digital Center of Excellence Adira Finance Manuel D. Irwanputera.

Senada dengan di atas, MTF terpaksa melakukan perubahan strategi besar-besaran di 2020. Padahal, perusahaan baru saja membentuk divisi digital pada awal Januari 2020. Divisi ini punya tiga fungsi utama, yakni Business through Online untuk mengelola pembiayaan, Development untuk eksplorasi model bisnis baru, dan Implementation untuk mengeksekusi ide menjadi produk. Tujuannya adalah meningkatkan efisiensi biaya dan simplifikasi serta meningkatkan penjualan dan Service Level Agreement (SLA).

Deputy Director Mandiri Tunas Finance William Francis mengatakan bahwa divisi digital yang awalnya memiliki tiga fungsi tersebut terpaksa mengalihkan fokusnya menjadi automatisasi restrukturisasi. Ini menjadi tantangan tersendiri mengingat MTF harus melakukan restrukturisasi ke sebanyak 100 ribu nasabah dan itu tidak bisa dilakukan secara manual dengan banyak persyaratan yang perlu diisi oleh nasabah.

“[Penjualan] sebetulnya sudah recover di periode Agustus-November, tetapi angkanya masih 50%, belum 100%. Ini berdampak cukup besar ke kinerja bisnis kami. Makanya, inisiatif dan strategi digital kami terpaksa di-hold semua. Kami berubah prioritas dari awalnya ingin mempercepat SLA dan otomatisasi proses ke dealer menjadi restrukturisasi. Project di internal yang tadinya ada menjadi ada,” papar William.

Setelah restrukturisasi, MTF mengaku berupaya untuk mengadakan pameran otomotif berbasis online untuk mendongkrak kembali penjualan. Namun, ia menilai pameran otomotif online belum sepenuhnya efektif mengingat konsumen belum terbiasa membeli kendaraan secara online. Dari catatannya, hanya sedikit yang melakukan transaksi dari total ratusan ribu pengunjung MTF Virtual Autofiesta 2020.

Ekspektasi pembiayaan di 2021

Baik Gaikindo dan Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) memproyeksikan penjualan otomotif domestik dapat tumbuh double digit di 2021. Gaikindo menargetkan 750 ribu mobil baru terjual, sedangkan AISI memproyeksikan kenaikan 11%-15% atau setara 4-4,3 juta sepeda motor terjual di tahun ini.

Dengan proyeksi ini, Farauk mengaku optimistis dapat mendongkrak pembiayaan baru dan melanjutkan pengembangan inovasi digital. Terlebih vaksin Covid-19 sudah mulai didistribusikan dan perilaku masyarakat sudah mulai terbiasa bertransaksi ke digital. Dengan tren tersebut, artinya digitalisasi akan sangat diperlukan.

Salah satu rencana besar ACC adalah membangun fasilitas ACC Digital Operation Center yang ditargetkan beroperasi di 2022. Menurut Farauk, ACC Digital Operation Center akan berdampak signifikan terhadap business process pembiayaan berbasis digital di ACC. Fasilitas ini juga akan menjadi pusat kegiatan digital ACC.

Sementara itu, Adira Finance masih mengalami perombakan strategi digital, baik untuk core system maupun front system di tahun ini. Tujuannya untuk meningkatkan performa dan kualitas customer experience. Menurut Manuel, roadmap digital perusahaan disesuaikan dengan tren kebutuhan digital yang akan semakin besar di pembiayaan ke depan.

“Ada dampak perubahan luas biasa terhadap pola perilaku masyarakat. Sepanjang 2020, respon pelanggan terhadap digitalisasi sangat positif, penggunaan platform digital terus meningkat baik. Kontribusi melalui digital channel memang belum signifikan, tetapi menunjukkan perkembangan positif. Kami harap kontribusinya dapat meningkat dengan memperluas pangsa pasar pelanggan online kami,” ucap Manuel.

Adapun, MTF masih mengosongkan budget untuk pengembangan inovasi digital di semester I mengingat situasinya belum dapat dipastikan. William menyebutkan bahwa pihaknya ingin melihat dulu situasi dan dampaknya di sepanjang semester I ini.

Guideline restrukturisasi tadinya sampai Maret 2021, tetapi diperpanjang pemerintah sampai 2022. Kalau masih ada restrukturisasi, [pengembangan dan budget inovasi] bakal tertunda. Makanya, kalau sudah membaik, kami akan putuskan [pengembangan inovasi] dan inisiatif mana yang mau dieksekusi. Semester II nanti tinggal dijalankan,” tambahnya.

Dari “Co-Investing” sampai “Instan Sell”, Model Bisnis yang Tengah Divalidasi Startup Proptech Ekuitas Home

Tahun lalu, pasar properti di Indonesia anjlok akibat pandemi Covid-19. Namun, proses pendistribusian vaksin yang tengah berjalan saat ini dinilai sejumlah pemangku kepentingan dapat mendongkrak kembali pasar properti di 2021.

Mengutip KontanCEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda memprediksi pemulihan di sektor ini dapat terjadi di semester kedua 2021. Ia memperkirakan rumah tipe landed house bakal diminati tahun ini, sedangkan rumah di kisaran harga Rp500 juta-Rp1 miliar diestimasi bakal menjadi motor penggerak pemulihan sektor properti.

Sementara itu, seperti dilaporkan Bisnis, Chairman Indonesia Proptech Association Rusmin Lawin mengatakan bahwa industri dituntut untuk mengimplementasi teknologi dalam pengembangan properti (proptech). Dengan begitu, industri ini dapat bertahan dan terbiasa dengan efektivitas dan efisiensi proptech usai pandemi nanti.

Di tengah situasi saat ini, pasar proptech Indonesia kini kembali melahirkan pemain baru, yakni Ekuitas Home. Platform ini dikembangkan oleh Jume Analyes bersama Dede Kiswanto. Sekadar informasi, Jume sebelumnya juga sempat membangun dua platform gaya hidup dan rekreasi, yakni web marketplace SelenaID dan aplikasi sosial SelenaGo di 2015.

DailySocial berkesempatan mengetahui perjalanan Jume dan Dede dalam mengembangkan platform Ekuitas Home sejak 2020. Simak wawancaranya berikut ini:

Bereksperimen produk untuk temukan market-fit

Ekuitas Home menawarkan fitur jual-beli properti lewat skema co-investingrent-to-own (Quick Buy), dan jual instan (Instant Sell). Selain itu, platform ini juga menawarkan fitur Dataruma yang menawarkan informasi seputar harga appraisal dan lokasi rumah yang ingin dibeli atau jual secara instan dan digital.

Untuk menjual instan, prosesnya memakan waktu paling cepat 20 hari kerja, sedangkan rent-to-own membutuhkan waktu 2 tahun. Ekuitas tidak mengambil komisi untuk penjualan instan, tetapi melalui skema rent-to-own dengan komisi 2% dari harga jual yang disepakati.

Dalam wawancaranya, Jume menyebut bahwa ide pengembangan Ekuitas telah tercetus sejak akhir 2019, saat ini terpikirkan untuk mengeksplorasi skema crowdfunding pembelian tanah. Namun, ide ini tidak dilanjutkan mengingat proses verifikasi dokumen pembelian tanah terbilang kompleks.

“Makanya, itu kenapa kami tidak pakai crowdfunding, tetapi co-investing untuk pembelian rumah. Dari situ, kami mulai kembangkan co-investing mulai awal Maret sampai Oktober 2020. Tapi dalam perjalanannya skema ini tidak work, mungkin karena jaringan investor kami yang ingin kontribusi ke pembelian aset rumah terbatas,” ungkapnya.

Kemudian, perusahaan menjajal skema lain, yakni rent-to-own (Quick Buy) yang dirilis pada November 2020. Lewat skema ini, konsumen dapat membeli rumah dengan perjanjian sewa per tahun di awal, lalu rumah dapat dibeli secara tunai atau KPR. Uang sewa ini menjadi uang muka untuk pembelian rumah.

Namun, ia terkendala kembali dengan permodalan mengingat Ekuitas Home harus mengakuisisi properti di awal. “Biar efisien, kami beli di awal, sewa, lalu jual. Sayangnya, kami lagi-lagi tidak punya kapabilitas untuk mengakuisisi rumah,” tambahnya.

Selanjutnya, Ekuitas Home kembali bereksperimen lewat skema Instant Sell atau membantu penjual rumah dalam 7 hari. Artinya, dalam 7 hari, perusahaan bisa mendapatkan pembeli atau investor yang ingin mengakuisisi rumah ini. Akan tetapi, perusahaan juga terganjal dengan kapabilitas permodalan.

“Instant Sell itu berarti instantly terhubung dengan buyer, bukan terjual. Itu value-nya. Untuk Quick Buy, kami cut prosesnya, dari negosiasi, informasi harga, data lokasi, hingga verified listing. Kami masih coba propose rent-to own secara paralel.”

Produk Dataruma mengantongi traction

“Dari eksperimen tersebut, kami lalu berpikir apa basic problem dari penjual atau pembeli, yaitu harga. Penjual kadang bingung menentukan harga. Demikian juga pembeli, apakah worth it harganya, strategis kah lokasinya? Dan data [pencarian rumah] itu masih fragmented yang mana kita harus cari di internet dan sebagainya,” lanjut Jume.

Berangkat dari hal tersebut, Jume kemudian mengembangkan produk baru yang dirilis pada Februari 2021, yaitu Dataruma. Menurutnya, pertumbuhan layanan Dataruma terbilang positif, di mana realisasi pertumbuhan Dataruma tercapai dalam tiga minggu sejak diluncurkan dibandingkan pertumbuhan keseluruhan Ekuitas Home yang baru tercapai selama tiga bulan (Oktober 2020-Januari 2021).

Dataruma disebut telah mencapai product market-fit dengan lebih dari 500 permintaan datang dari segmen consumer. “Kami cukup happy dengan pencapaian ini, kami nanti tinggal scale up dan upgrade fiturnya,” ucap Jume.

Sejak awal, pihaknya memiliki misi untuk membantu konsumen jual-beli atau investasi properti secara instan dan digital lewat platform ini. Namun, ia melihat bahwa ada entry point terhadap permintaan penilaian rumah secara online. Biasanya, penilaian rumah dilakukan langsung secara offline. Penilaian ini berdasarkan sejumlah aspek, antara lain lokasi, luas bangunan, tahun pembangunan, hingga NJOP.

Untuk tahap awal, Dataruma masih menyasar segmen B2C atau perorangan, baik itu pembeli rumah atau agen, dengan model pay per request. Selanjutnya, ia akan memperkenalkan model berlangganan bulanan (subscription) untuk segmen B2B sembari memperkuat data-data rumah agar lebih komprehensif.

Goal kami di 2021 adalah terus mengembangkan digitalisasi transaksi properti, di mana kami akan fokus lewat entry point yang paling mudah untuk dieksekusi, yakni Dataruma. Tetapi, ini berjalan paralel dengan pengembangan produk lain. Kami akan coba memberikan journey kepada pengguna sehingga nanti dari situ bisa diarahkan ke produk Quick Buy atau Instant Sell,” paparnya.

Mencari mitra strategis dan optimistis pasar

Jume mengaku bahwa pihaknya sempat melakukan pitching ke beberapa investor strategis untuk mengatasi tantangan permodalan di atas. Namun, mengingat sejumlah produk belum mendapat traksi yang diinginkan, pihaknya belum dapat memastikan product value yang ditawarkan.

“Kami beberapa kali ngobrol [dengan investor], tapi belum confirm ya. Kami lakukan realistic approach dulu untuk cari strategic partner yang mau kasih modal buat akuisisi rumah-rumah. Saat ini, kami masih pakai pendanaan dari internal. Intinya, saat ini kami masih wait and see karena kami sedang coba improve supaya valuasi kami lebih baik lagi,” jelas Jume.

Lebih lanjut, Jume melihat pasar properti akan kembali bangkit di tahun ini meski sempat turun drastis akibat Covid-19 tahun lalu. Jume menyebut ada pertumbuhan positif pada segmen rumah tapak (landed house). Menurutnya, hal ini dipicu oleh tren Working From Home (WFH). Artinya, ada tren permintaan rumah, terutama di area terdesentralisasi.

“Kami melihat ada potensi besar di properti. Saat ini masyarakat masih menahan diri, tetapi sektor properti diprediksi mencapai puncak pertumbuhan di 2021, khususnya landed house yang sudah mulai sejak Desember 2020. Kami dapat info dari agen properti bahwa penjualan [rumah] sudah mulai banyak.”

5 Paparan Adopsi Digital di Industri Logistik Indonesia

Pandemi Covid-19 memaksa banyak pelaku bisnis di Indonesia untuk mengadopsi layanan digital, tak terkecuali industri logistik, baik di first mile, mid mile, maupun last mile. Dengan situasi saat ini, bagaimana upaya ekosistem digital dalam mendukung tren logistik ke depan?

Diskusi menarik di sesi #SelasaStartup bersama Co-Founder dan CEO Shipper Budi Handoko dan Startup Account Manager Amazon Web Services Nicolas Tjioe mencoba memahami upaya mempercepat laju industri logistik menuju digital selama pandemi dan pasca pandemi.

Tantangan pelaku logistik

Pasar logistik Indonesia diestimasi bernilai $221 miliar, di mana e-commerce menjadi salah satu pendorong pertumbuhan. Sementara, nilai industri e-commerce Indonesia di 2020 mencapai $40 miliar dan diprediksi meroket menjadi $88 miliar di 2025. Inipun baru kontribusi dari e-commerce saja yang diprediksi tumbuh 4-6 kali lipat.

Dengan melihat tren jasa logistik di Indonesia, pelaku startup logistik berupaya menjangkau cakupan rantai logistik di Indonesia mengingat kondisi geografis masih menjadi salah satu tantangan besar bagi pelaku bisnis.

Budi Handoko menilai bahwa saat ini pemerintah tengah menggenjot pembangunan infrastruktur dan akses internet di seluruh Indonesia. Para pelaku logistik di Indonesia juga mulai mengadopsi teknologi dan solusi berbasis digital dengan tujuan untuk memberikan kemudahaan akses kepada mitra dan konsumen.

“Salah satunya melalui solusi cloud yang dapat memudahkan mitra dan konsumen untuk mengakses produk kami. Dengan begitu, semua jarak dapat tereleminasi baik dari sisi infrastruktur utama maupun produknya,” ujar Budi.

Momentum pandemi dan hari raya

Ada insight menarik lainnya yang ditangkap Shipper dan AWS, yaitu tren logistik di masa pandemi dan hari raya Lebaran. Menurut Budi, pandemi memberikan blessing in disguise terhadap industri logistik secara keseluruhan, termasuk Shipper. Permintaan terhadap pengiriman makanan, barang, dan alat-alat kesehatan memicu kenaikan jasa logistik selama masa pembatasan sosial.

Selama situasi ini, Budi mengaku tidak mengembangkan inovasi baru karena Shipper sudah lebih dulu membangun infrastruktur dan teknologi sebelum pandemi, termasuk mempersiapkan strategi untuk menekan kemungkinan cost yang lebih besar. Dengan kesiapan tersebut, pihaknya mengaku dapat mengakomodasi lonjakan permintaan yang tinggi.

“Pandemi menjadi turning point bagi kami karena jasa logistik meningkat seiring banyaknya permintaan pengiriman dan penjual yang beralih ke alat-alat kesehatan. Teknologi yang kami bangun sebelumnya menjadi berguna di masa pandemi,” ujar Budi.

Dari sisi adopsi digital, Nicolas Tjioe mengakui bahwa pandemi memunculkan tantangan efisiensi bagi pelaku bisnis. Dari situasi ini, AWS turut berperan untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku logistik yang banyak berkutat dengan proses bisnis manual.

“Selama ini banyak bisnis logistik menggunakan invoicing secara manual. Untuk menyelesaikan hal itu, mereka sebetulnya tidak perlu bangun tim IT atau data karena bisa pakai solusi managed services dari AWS. Solusi ini bantu mendigitalkan data menjadi softcopy. Ada banyak managed services yang dapat membantu tim logistik fokus di business growth tanpa perlu urus operasional,” jelas Nicolas.

Demikian juga di momentum Lebaran yang dapat memicu peningkatan pengiriman sebesar 5-10 kali lipat. Solusi yang ditawarkan AWS masih relevan dengan momentum tersebut. Dalam pengalamannya membantu pelaku bisnis, Nicolas menyebutkan bahwa solusi autoscaling dapat memprediksi tren scalability. 

Artinya, setiap ada lonjakan trafik, solusi ini secara otomatis dapat membaca tren kebutuhan yang diperlukan pelaku logistik secara akurat. Dengan solusi ini, time to market menjadi lebih cepat dan customer experience terhadap pelanggan tidak terganggu.

Teknologi untuk logistik

Dari sisi teknologi, Budi juga berbagi tentang inovasi yang dikembangkan Shipper. Pertama, inovasi untuk segmen retail. Menurutnya, teknologi ini dapat membaca tren logistik di area tertentu dan membantu pelaku bisnis untuk menemukan jasa pengiriman logistik yang sesuai dengan kebutuhan, tetapi tetap terjangkau.

Kedua, teknologi untuk fasilitas pergudangan. Pihaknya mengembangkan solusi yang sekiranya dapat membantu pengiriman barang dari jarak jauh, Makassar ke Jakarta misalnya, dengan biaya yang lebih murah. Ketiga, mengembangkan teknologi forecast kepada merchant ketika stok barang di gudang sudah mulai menipis.

Mencari pendanaan dari investor

Di industri manapun, termasuk logistik, investor akan selalu memikirkan return of investment (ROI). Dalam kasus investor yang sudah berinvestasi di perusahaan logistik dan mendapatkan keuntungan, tentu ada kemungkinan besar investor akan tertarik berinvestasi kembali.

Namun, Budi menilai mencari investor jangan hanya terbatas di dalam negeri saja. Menurutnya, penting untuk mencari investor luar karena skala bisnis logistik tidak hanya di Indonesiaa, tetapi juga di global. Artinya, ketika ingin melakukan ekspansi ke luar, pelaku bisnis dapat memanfaatkan jaringan investor global yang dimiliki.

“Masuknya Shipper ke Y Combinator membuat kami menjadi dikenal oleh global. Kendati begitu, saat ini kami masih fokus di Indonesia karena negara kita luas sekali. Bahkan cakupan logistik di Indonesia mungkin masih seperti piramida, masih banyak di atas,” tambahnya.

Apabila mendapat investor yang baru masuk ke logistik, ia menyebut bahwa open communication menjadi kunci penting untuk menjalankan bisnis ke depan.

Memulai transformasi digital

Bagi pelaku logistik yang ingin memulai transformasi digital, saat ini sudah banyak layanan cloud yang mengakomodasi kebutuhan ini. Di AWS, Nicolas memberikan contoh tiga opsi program yang dapat dipertimbangkan oleh pelaku logistik untuk memulai adopsi digital.

Pertama, opsi founder portoflio atau ditujukan bagi pelaku bisnis yang baru membangun minimum viable product (MVP). Kedua, opsi VC portfolio atau ditujukan bagi pelaku bisnis yang sudah menerima pendanaan dari investor. Dan ketiga, program SaaS factory yang menawarkan solusi bagi pelaku bisnis yang sudah masuk ke tahapan diversifikasi produk.

“Efisiensi dan menaikkan daya saing adalah manfaat yang dapat diperoleh dari transformasi digital. Dalam konteks industri logistik, transformasi ini dapat mengurangi biaya dan membangun long-term growth. Yang ingin kami tekankan, tidak semua harus dibangun dari scratch karena AWS support dari sisi inovasi,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Laporan Mulesoft: Kebutuhan Inovasi IT Diprediksi Melonjak Pasca Pandemi

Kebutuhan inovasi IT diprediksi menjadi urgensi baru bagi perusahaan usai pandemi Covid-19 mereda. Temuan ini disampaikan dalam laporan Mulesoft Connectivity Benchmark 2021 berdasarkan hasil wawancara dengan 800 pemimpin IT di dunia, baik dari perusahaan publik maupun swasta, yang memiliki sekitar 1.000 karyawan.

Dalam laporan ini, ada lima temuan besar yang menarik bagi para Chief Information Officer (CIO) maupun orang IT. Pertama, pandemi memunculkan tipping point terhadap kebutuhan IT. Penerapan kerja remote maupun Work From Home (WFH) akibat pandemi memicu kebutuhan IT yang lebih besar.

Perusahaan mengandalkan IT untuk mempercepat proses pengalihan kerja remote. Kondisi ini justru memberikan tekanan luar biasa bagi tim IT untuk bergerak lebih gesit. Karena upaya ini menyita sebagian besar waktu mereka, pelaku IT banyak tertinggal atau gagal menyelesaikan proyeknya. Laporan menyebutkan hanya 37% perusahaan mampu menyelesaikan proyek yang diminta di 2020 atau 4 dari 10 tim IT dapat memenuhi seluruh komitmen proyek.

Tantangan lainnya adalah pertumbuhan budget IT tidak selaras dengan urgensi kebutuhan. Rata-rata anggaran IT diestimasi naik tipis ke 5,84% di 2021 dari 5,62% di 2020. Menurut responden, pihaknya diminta menyelesaikan 30% proyek tahun ini, tetapi anggarannya diestimasi hanya naik tak sampai 6%.

Tantangan integrasi memperlambat transformasi

Kedua, pandemi memberi tekanan pada perusahaan untuk mengintegrasikan sistem, aplikasi, dan data. Sayangnya, 87% responden menilai upaya integrasi memunculkan tantangan yang dapat memperlambat transformasi. Padahal integrasi merupakan faktor kritikal dalam menentukan kecepatan transformasi digital bagi seluruh industri. 

Alhasil, perusahaan terpaksa menghabiskan waktu dan biaya untuk mengatasi tantangan integrasi. Rata-rata perusahaan menghabiskan rata-rata sebesar $3,5 juta untuk tenaga kerja IT baru, di mana lebih dari sepertiga waktu dihabiskan untuk menyelesaikan integrasi.

Selain itu, sebanyak 77% responden juga menilai bahwa kegagalan transformasi digital bakal berdampak pada pendapatan perusahaan. Hal ini karena transformasi digital diyakini dapat berdampak terhadap pendapatan perusahaan di masa depan.

“Ambil contoh di sektor jasa keuangan di mana telah terjadi pergeseran perilaku konsumen yang cukup signifikan ke layanan mobile dan online selama 12 bulan terakhir. Dalam konteks ini, 89% responden mengaku akan ada pengaruh negatif terhadap pendapatan,” ungkap laporan tersebut.

Sistem lama menyulitkan transformasi secara agile

Ada tiga tantangan utama yang dihadapi perusahaan yang melakukan transformasi digital. Sebanyak 34% responden menilai bahwa warisan infrastruktur IT lama (legacy) menjadi tantangan terbesar yang dapat menghalangai perusahaan untuk menciptakan inisiatif digital baru.

Kemudian, 30% responden menyebut risk management, compliance, dan legal implication sebagai tantangan terbesar kedua. Di urutan ketiga, alokasi budget dan SDM menjadi tantangan utama selanjutnya.

Selain itu, silo data menurut 90% responden dan warisan infrastruktur IT yang lama (legacy) bagi 60% responden, dinilai mempersulit integrasi ke teknologi baru dan membuat perusahaan sulit bertindak secara agile. Sebanyak 70% responden bahkan menilai legacy IT menjadi tantangan sulit bagi industri healthcare dan 68% di asuransi.

Di balik itu semua, transformasi digital diyakini dapat memberikan dampak positif terhadap peningkatan engagement dan inovasi pelanggan, serta penyelesaian proyek yang lebih cepat.

API menghasilkan pendapatan baru

Temuan keempat, sebanyak 96% responden dilaporkan telah mengimplementasi API, yang mana sebagian besar digunakan untuk melakukan integrasi dan menjalankan proyek baru. Dengan kebutuhan tersebut, setidaknya 27% responden menyebut telah meraup pendapatan dari implementasi API.

Laporan ini juga menemukan bahwa penggunaan API dapat berpengaruh terhadap sejumlah aspek penting bisnis. Misalnya, peningkatan produktivitas (59%), self-service (48%), dan peningkatan inovasi (46%). Selain itu, API juga memberikan manfaat lain, yaitu penurunan biaya operasional, peningkatan keterlibatan karyawan, dan pertumbuhan pendapatan (28%).

Terakhir, laporan ini juga menyebutkan bahwa data menjadi aspek penting dalam proses integrasi. Dari berbagai peran yang dibutuhkan untuk melakukan integrasi besar, data scientist berada di urutan teratas bagi 47% responden, naik dari 38% di 2020.

“Data menjadi jantung dari setiap rencana investasi. Maka itu, data scientist dan proyek yang berfokus pada big data dan analitik diperkirakan menjadi fokus utama perusahaan ke depannya,” ungkap laporan ini.

Laporan ini merekomendasikan tim IT untuk dapat memenuhi kebutuhan integrasi dari tim bisnis. Menurut surveinya, banyak perusahaan kini mulai mengembangkan tools sendiri untuk memperlengkapi tim bisnisnya melakukan integrasi aplikasi dan sumber data.

Selain cloud (57%) dan sistem keamanan (53%), sebanyak 45% responden menyebut analitik data dan 43% responden pada integrasi big data sebagai prioritas investasi perusahaan di 2021.

Alpha JWC: Kota Tier 2 dan 3 Menjadi Kunci Lompatan Ekonomi Digital di Indonesia

Alpha JWC Ventures bersama Kearney menerbitkan laporan terbaru terkait potensi pertumbuhan digital non-metropolitan di Indonesia. Laporan berjudul “Unlocking the next wave of digital growth: beyond metropolitan Indonesia” ini merupakan hasil kolaborasi dengan Credit Suisse, Amazon Web Service (AWS), dan Xiaomi Indonesia.

Dalam paparannya, Co-Founder dan General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe mengatakan, pihaknya ingin memberikan pemahaman lebih dalam mengenai potensi pertumbuhan digital di kota-kota tier 2 dan 3 Indonesia. Tujuannya tak lain untuk menarik minat investor global sehingga dapat membantu mempercepat pertumbuhan digital di area tersebut.

Laporan ini disusun berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) di berbagai industri yang tersebar di 13 kota tier 2 dan 3, serta hasil survei terhadap 2.100 responden consumer dan 1.100 retailer di 23 kota di Indonesia.

Investasi digital Indonesia di 2020

Sebagai pembuka, laporan ini mengungkap investasi digital di Indonesia naik dua kali lipat di 2020 dengan total nilai $4,4 miliar (Rp64,1 triliun) dari $2,1 miliar di 2019. Menariknya, meski total nilai investasi digital naik secara tahunan, jumlah kesepakatan (deal) tercatat turun dari 221 menjadi 173 deal.

“Pandemi Covid-19 membuat investasi startup di early stage hingga Pra Seri A menurun. Startup di later stage dan sudah punya traction bagus, mendapat alokasi pendanaan yang besar. Contoh, Ajaib menerima pendanaan Seri A yang saya pikir terbesar di Indonesia,” ujar Jefrey.

Menurut Jefrey, investor mengucurkan banyak investasi di Indonesia, tetapi masih menahan diri dan berhati-hati. Terlebih due diligence masih sulit dilakukan di situasi pandemi Covid-19. Kendati demikian, berdasarkan hasil wawancara dengan 15 investor, sebanyak 80% mengaku optimistis investasi di sektor digital bakal kembali naik di Indonesia.

Hal ini diperkuat sejumlah faktor, antara lain meningkatnya pertumbuhan marko ekonomi, adopsi layanan digital, hingga upaya pemerintah mendorong ekosistem startup digital di kota tier 2 dan 3.

Potensi digital non-metropolitan

Salah satu temuan menarik yang turut disoroti dalam laporan ini adalah potensi dan proyeksi kontribusi kota-kota di tier 2 dan 3 terhadap ekonomi digital Indonesia. Untuk memberikan paparan mendalam, Nielsen turut berpartisipasi memetakan informasi yang diperoleh di lapangan.

Berdasarkan klasifikasi laporan ini, tier 1 (metropolitan) terdapat 15 kota, tier 2 (rising urbanites) ada 76 kota, tier 3 (slow adopter) ada 101 kota, dan tier 4 (rigid watchers) ada 322 kota di Indonesia. Periset menggunakan beberapa skor parameter untuk mengklasifikasikan kota, antara lain expenditure per capita (35%), ukuran populasi (25%), penetrasi internet (20%), GDP provinsi (10%), dan kepadatan penduduk (10%).

Secara umum, pertumbuhan ekonomi digital di kota-kota tier 2 dan 3 diestimasi naik lima kali lipat dalam lima tahun ke depan. Dari sejumlah wawancara dengan responden C-Level di startup SME, fintech, dan social commerce, konsumen di tier 2 dan 3 tumbuh signifikan sehingga ekspektasi pertumbuhan dalam 1-2 tahun ke depan diharapkan 50% datang dari luar Pulau Jawa.

Saat ini, metropolitan tercatat masih berkontribusi besar (24%) terhadap GDP nasional. Kendati demikian, pertumbuhan ekonomi di area non-metropolitan juga meningkat pesat. Apabila potensi digital di tier 2 dan 3 dapat dikembangkan secara signifikan, kontribusi GDP-nya dapat naik 3-5% di 2030, dan GDP Jakarta otomatis bakal menyusut 5-6%.

Berdasarkan hasil survei, sebanyak 80% dari total populasi di area non-metropolitan merupakan segmen yang terlambat mengadopsi teknologi (laggards). Karena dominasi laggards di tier 2 dan 3, sebanyak 50% responden mengaku tidak tahu (aware) dengan sejumlah aktivitas digital.

Sumber: Nielsen, Kearney analysis
Sumber: Nielsen, Kearney analysis

Laporan ini menemukan bahwa e-commerce (66%) merupakan aktivitas yang paling dikenali responden. Sementara, awareness untuk aktivitas digital lain tidak sampai 50%, antara lain ride hailing (47%), food delivery (41%), edtech (30%), payment (24%), lending (11%), dan healthtech (5%).

Rendahnya awareness digital di tier 2 dan 3 disebabkan oleh sejumlah faktor. Sebanyak 53% responden mengaku sulit menggunakan layanan, 44% responden menyebut faktor harga dan promosi, dan 41% terkait ketersediaan produk. Menariknya, beberapa aktivitas digital di kota tier 1 kurang dikenali responden, yaitu lending (15-20%), edtech (<10%), healthtech (<10%). Sementara, awareness ketiga kategori layanan tersebut di tier 2 tak sampai 5%.

Menurut laporan ini, saat ini kota tier 2 dan 3 baru di tahapan memulai adopsi digital dan tertinggal 4-5 tahun adopsinya dari kota tier 1. Namun dalam analisisnya, adopsi di tier 2 dan 3 bakal meningkat di 2025 seiring dengan semakin familiar dan terbiasa konsumen menggunakan layanan digital.

Sumber: Nielsen, Kearney analysis
Sumber: Nielsen, Kearney analysis

Lebih spesifik lagi, kota tier 2 dinilai lebih siap mendongkrak pertumbuhan digital dibandingkan tier 3 dan 4. Hal ini karena semakin banyak pemain dan enabler yang fokus di area tersebut. Pemerintah juga dinilai mulai menyebarkan fokus pengembangan infrastruktur di luar Jawa, seperti Kalimantan, Sulawesi, dan provinsi di Indonesia Timur lainnya.

Yang perlu dipertimbangkan startup dan investor

Menurut Shirley Santoso, Partner dan Presiden Direktur Kearney, kunci untuk bisa melakukan leap frog ekonomi digital di Indonesia terletak pada area tier 2 dan 3. Terlebih dengan situasi pandemi, adopsi digital meningkat signifikan. “Hal ini memicu adopsi di tier 1 menjadi lebih matang dan ruang pertumbuhan mengecil. Ini membuat pelaku startup mulai ‘lari’ ke tier 2 dan 3,” tambah Shirley.

Laporan ini juga mengungkap temuan lainnya yang dapat menjadi pertimbangan startup dan investor dalam mengembangkan fokus bisnisnya ke depan. Responden di Jawa menilai ada tiga perhatian utama dalam  mengadopsi digital, yaitu (1) kemudahaan penggunaan, (2) promosi dan harga, serta (3) ketersediaan produk.

Sebaliknya, responden non-Jawa justru lebih memperhatikan aspek (1) keamanan, (2) kemudahan penggunaan, dan (3) pengiriman dalam menggunakan layanan digital.

Apabila para stakeholder dapat menyelesaikan berbagai concern di atas, termasuk peningkatan infrastruktur, porsi ekonomi digital di tier 2 dan 3 dapat meningkat di 2025. Jika dirinci, kontribusi e-commerce bisa naik dari 30% di 2020 menjadi 48% di 2025. Kontribusi payment dapat melesat dari 22% menjadi 41%, dan ride and delivery naik dari 21% ke 35%.

Secara potensi nilai, GMV e-commerce di tier 2 dan tier 3 diproyeksi naik lima kali lipat dari $9 miliar di 2020 menjadi $45 miliar di 2025, sedangkan GTV payment diestimasi tumbuh tujuh kali lipat menjadi $20 miliar di periode sama dari $3 miliar di 2020. Kemudian, porsi ride hailing and delivery diprediksi naik dari $2 miliar ke $5 miliar.

Sumber: Alpha JWC, Kearney analysis
Sumber: Alpha JWC, Kearney analysis

Sejumlah startup tier 1 sebetulnya sudah melakukan ekspansi besar-besaran ke tier 2 dan 3. Dalam catatannya, GrabKios mulai memperluas cakupan di 500 kota, Bukalapak mengklaim telah memiliki 5 juta mitra warung yang terpusat di tier 2 dan 3, serta Tokopedia yang mulai memperluas jangkauan hingga ke pedesaan .

“Krisis yang kita hadapi itu tidak hanya krisis ekonomi, tetapi juga krisis kesehatan. Situasi ini memacu kita bagaimana Indonesia dapat mengurus krisis kesehatan dan ekonomi at the same time. Indonesia sudah mulai melakukannya lewat protokol 5M, vaksinasi, dan lainnya. Ini penting untuk bisa melalui krisis dan mendorong kembali segmen travel dan transportasi,” ucap Shirley.