Melihat Bagaimana Pelaku Edtech Mencuri Perhatian di Masa Pandemi

Platform edtech sudah hadir di Indonesia sejak beberapa tahun lalu. Namun, gaungnya mulai meroket secara signifikan di kalangan ekosistem pendidikan di tahun ini. Hal ini terjadi usai pemerintah merumahkan kegiatan belajar mengajar untuk menekan penyebaran Covid-19.

Apa kata salah satu pelaku edtech menanggapi popularitas layanannya di masa pandemi ini? Simak bincang-bincang menarik selengkapnya dari Co-founder & CEO Cakap Tomy Yunus di sesi #SelasaStartup berikut ini:

Perjuangan pelaku edtech terbayar di 2020

Tomy menilai bahwa industri pendidikan dan penunjangnya di Indonesia berkembang pesat selama beberapa tahun terakhir. Memang ketika ia memulai untuk terjun ke bisnis edtech, tak sedikit hambatan yang dialami. Salah satunya adalah ketersediaan infrastruktur internet.

Menurutnya, beberapa tahun lalu internet masih terbilang mahal. Penetrasi 4G masih rendah. Dapat dikatakan pasarnya belum siap bagi pelaku edtech untuk masuk. Namun ia meyakini bahwa kebutuhan pendidikan bakal terus meningkat dan pemerataan internet hanyalah masalah waktu saja.

Di sisi lain, menurut Tomy kualitas pendidikan masyarakat Indonesia masih jauh dibandingkan negara maju, seperti Tiongkok. Akan tetapi, ia melihat tren spending-nya meningkat. Dari sejumlah riset yang ia kutip, pasar pendidikan Indonesia naik 10 persen setiap tahun dan menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.

Faktor-faktor ini yang membuat Cakap dan pelaku edtech lainnya bertahan. Perkembangan penetrasi internet menjadi memungkinkan bagi masyarakat di luar Pulau Jawa untuk mengemban pendidikan tanpa perlu ke kota-kota besar. Artinya, iklimnya sudah jauh lebih positif dibandingkan dulu.

“Selama pandemi, para pelaku edtech diuntungkan. Tetapi, ini adalah buah perjuangan kami selama mengembangkan produk [edtech]. Itu semua terbayar di 2020 karena kami diberi kesempatan untuk berbuat lebih banyak. Pendidikan itu industri paling tricky dan tough karena investasinya jangka panjang, bisa sampai 5 tahun, demikian juga teknologi,” jelas Tomy.

Willingness segmen milenial meningkat

Jika dibandingkan dengan Tiongkok, perbedaan paling mendasar pada kebutuhan pendidikan adalah consumer spending. Diakui Tomy, spending Indonesia terhadap pendidikan masih kalah jauh. Di Tiongkok. orang-orang bisa menyisihkan 20-30 persen untuk meningkatkan skill. 

“Saya tidak setuju kalau orang Indonesia tidak suka belajar. Mungkin lebih kepada aspek affordability-nya yang belum seperti negara maju. Tetapi, kami melihat ada tren peningkatan, terutama di bidang specific skill yang ada kaitannya dengan pendapatan,” ungkap Tomy.

Menurutnya, segmen milenial sudah mulai sadar pentingnya investasi pada skill untuk menunjang kariernya di masa depan. Artinya, spending tidak dihabiskan untuk produk consumer, seperti elektronik.

“Sebetulnya solusi untuk mengatasi affordability itu adalah dari produknya. Layanan kami kini tak cuma one-to-one, ada juga yang one-to-many. Di sini kami memberdayakan teknologi agar produk lebih scalable dan bisa affordable. Selebihnya, kami harap internet akan semakin merata karena bagaimanapun juga spending bukan cuma di paket, tetapi juga kuota internet,” paparnya.

Komitmen pelaku edtech lokal memenangkan pasar

Menurut Tomy, pasar edtech di Indonesia masih terbilang early dan vertikalnya pun cukup berjauhan antara satu sama lain, seperti segmen siswa SD hingga perkuliahan atau khusus karyawan.

Karena pemainnya belum banyak, ungkapnya, pasarnya mulai banyak dilirik oleh pelaku edtech asing. Wajar mengingat Indonesia merupakan pasar terbesar di Asia Tenggara.

“Pasarnya belum crowded, tetapi ini dalam artian positif. Saya melihat teman-teman edtech lokal sangat berkomitmen. Makanya, saya meyakini bahwa pelaku edtech lokal yang bakal mengambil benefit paling besar. Kita paling mengerti pasar dan regulasi di Indonesia, bahkan bisa masuk ke segmen retail, corporate, dan governance. Kita lihat apakah [edtech asing] bisa memenangkan pasar Indonesia,” tuturnya.

Pandemi membuka peluang baru

Tak hanya sekolah saja yang terdampak dari pandemi, tetapi juga lembaga kurus/pelatihan dan bimbingan belajar (bimbel). Ketika pemerintah memberlakukan PSBB, sebanyak 80 persen sekolah harus ditutup. Hal ini berdampak pada lembaga bimbel di luar sekolah karena harus tetap beroperasi.

Menurut Tomy, kegiatan seminar dan pelatihan bagi mahasiswa ataupun karyawan yang selama ini digelar secara offline pun juga mau tak mau harus dilakukan secara digital. Namun, ia menilai situasi di atas membuka peluang untuk mengembangkan layanan edtech baru. Terlebih, platform yang ia kembangkan saat ini masih fokus pada pembelajaran bahasa.

“Karena kami melihat ada demand besar, kami memberanikan diri untuk cater market tersebut. Tentu ada sedikit adjusment untuk main ke segmen non- language. Tapi ini peluang baru meski saat ini kami baru fokus di beberapa layanan, seperti marketing dan yang berkaitan dengan ICT,” ucap Tomy.

Momentum emas test case platform edtech

Bagi Tomy, tahun 2020 memberikan kesempatan emas untuk membuktikan bahwa layanan edtech dapat menyelesaikan masalah sesungguhnya yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Menurutnya, pelaku edtech tidak melihat situasi ini sebagai tantangan, melainkan test case dari solusi yang dikembangkan.

Selain membuka peluang untuk masuk ke segmen baru, pandemi juga melahirkan berkolaborasi oleh stakeholder di berbagai ekosistem, tak hanya pendidikan. Pada kasus Cakap, pihaknya bahkan bekerja sama dengan industri pariwisata untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris.

“Kami dikasih battlefield untuk membuktikan produk kami. Di tahun-tahun sebelumnya, mungkin kesempatannya belum ada dan ini sebetulnya yang ditunggu-tunggu oleh pelaku edtech. Tentu ada peningkatan signifikan pada trafik dan pengguna, tapi kami selalu melihat room improvement mengingat pandemi masih akan berlangsung ke depan,” ujarnya.

Application Information Will Show Up Here

Pegadaian Perkuat Peran di Ekosistem Keuangan, Salurkan Pinjaman Usaha Melalui Akseleran

Pegadaian kembali menambah portofolio barunya sebagai institutional lender. Kali ini, perusahaan menggandeng Akseleran untuk menyalurkan pinjaman usaha ke segmen pelaku UKM sebesar Rp30 miliar.

AVP Digital Lending Product Pegadaian Indri Wijayanti mengungkap bahwa ini menjadi portofolio kedua Pegadaian. Sebelumnya, perusahaan memulai debutnya sebagai institutional lender di Investree dengan nilai yang tidak dapat disebutkan.

“Akseleran adalah P2P lending kedua yang bekerja sama dengan Pegadaian. Sinergi lanjutan dengan Akseleran belum ada, saat ini baru sebatas sebagai lender,” ungkapnya dihubungi DailySocial. Lebih lanjut, Indri belum dapat mengomentari mengenai sinergi selanjutnya yang sedang dijajaki.

Sementara itu, dalam keterangan resminya, Co-founder sekaligus Chief Credit Officer Akseleran Christopher Gultom mengungkap bahwa perjanjian kerja sama ini sebetulnya sudah dilakukan sejak 2 November 2020. Realisasi penyaluran pinjaman ditargetkan pada Desember ini.

“Pegadaian tak hanya menambah jumlah institutional lender kami yang kini sudah mencapai 10 perusahaan, tetapi juga melengkapi mitra kami dari sektor jasa keuangan. Semuanya telah berkontribusi sebesar 20 persen terhadap total penyaluran pinjaman di Akseleran,” jelasnya.

Per akhir November, Akseleran telah menyalurkan total pinjaman produktif sebesar Rp1,7 triliun terhadap 2.500 pinjaman dengan lebih dari 150 ribu pemberi pinjaman. Adapun, Akseleran mencatat rekor pinjaman tertinggi sejak tiga tahun terakhir pada November ini sebesar Rp120 miliar.

Akseleran juga mencatat pertumbuhan penyaluran pinjaman hingga 32 persen pada periode Januari-November 2020. Total NPL Akseleran saat ini berada di angka 0,2 persen dari total pinjaman usaha yang telah disalurkan.

Mengutip informasi Kontan beberapa waktu lalu, Direktur Teknologi dan Digital Pegadaian Teguh Wahyono sempat mengatakan bahwa pihaknya menyiapkan pinjaman berbasis digital dengan besaran pinjaman Rp50 juta-Rp2 miliar.

Pinjaman ini akan menggunakan dua sumber pendanaan, yakni (1) direct lending atau langsung dari Pegadaian yang membidik kalangan BUMN lewat skema invoice financing dan (2) sumber tidak langsung (indirect lending) melalui platform penyedia P2P lending. 

Transformasi untuk memperkuat posisi di industri keuangan

Strategi menjadi institutional lender adalah upaya Pegadaian untuk bertransformasi di ekosistem keuangan digital. Ke depannya, Pegadaian ingin menawarkan jasa keuangan lain ke pasar yang lebih luas, tak terbatas pada layanan gadai. Pegadaian bahkan telah bersinergi dengan Tokopedia untuk layanan emas dan meluncurkan Pegadaian Digital Service (PDS).

Saat ini, Pegadaian memiliki tiga bisnis utama, yaitu gadai, pembiayaan, dan investasi emas. Berdasarkan data perusahaan, 90 persen pendapatan Pegadaian disumbang dari layanan gadai, sedangkan 2 juta nasabah dari total 13,86 juta nasabah di 2019 telah bertransaksi melalui aplikasi PDS.

Bicara tentang institutional lender, Pegadaian bukanlah yang pertama dan satu-satunya perusahaan yang menjalankan strategi ini. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah pelaku di industri keuangan, terutama perbankan, mulai “menanamkan” modalnya melalui platform P2P lending.

Bukan tanpa alasan, besarnya segmen UMKM dan masyarakat yang belum terjangkau bank (unbankable & underbanked) menjadi salah satu pemicu meningkatnya bisnis P2P di Indonesia.

Institution(s) Portfolio(s)
BCA Akseleran
BRI Modal Rakyat, Investree
Mandiri Akseleran
PermataBank Kredivo
Pegadaian Investree, Akseleran

Berdasarkan laporan terbaru yang diterbitkan DSResearch, sektor perbankan dan pembiayaan masih menjadi kontributor lender terbesar pada platform P2P. Adapun, sebanyak 44,7 persen platform fintech memiliki 1 institutional lender dan 34,2 persen memiliki 2-5 institutional lender, diikuti 5-10 (6,6%) dan lebih dari 10 (1,3%).

Total Banking Multifinance
1 institution  5,9% 2,9%
2-5 institution  15,4% 19,2%
5-10 institution  40% 0%
>10 institution  100% 100%

Laporan ini mengungkap bahwa langkah korporasi masuk sebagai institutional lender menjadi salah satu pendekatan untuk meningkatkan cakupan layanan mereka ke segmen yang selama ini belum pernah dijangkau. Langkah tersebut dinilai dapat mendorong inklusi keuangan bagi masyarakat Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Medigo Announces Pre Series A Funding, to Expand with Clinic Supply Chain

Healthtech startup Medigo announced it has secured pre-series A funding of an undisclosed amount. There are three investors involved in this new funding, the existing Venturra Discovery, and two new investors: Golden Gate Ventures and Kenangan Kapital participated as an angel investor by Kopi Kenangan’s Co-founder, Edward Tirtanata.

In his interview with DailySocial, Co-founder and CEO of Medigo Harya Bimo revealed that this new funding will support the company’s expansion plan to focus on becoming a clinic chain provider in Indonesia.

“Previously, the clinic chain was one of Medigo’s initiatives to strengthen the healthcare ecosystem in Indonesia. We are now focus on becoming a clinic chain. So, our revenue stream will be mainly from clinics,” said the man better known as Bimo.

On a separate occasion, Edward Tirtanata revealed his reasons for being involved as an angel investor in Medigo. He considered that currently there is still a big gap in the Indonesian health industry. It is undeniable that the clinic is quite the main goal of the Indonesian people considering the high cost of the hospital (RS).

The standardization of clinics in Indonesia is currently still low, so not all people are able to obtain the same health care in every region. With the support of digital platforms, Indonesia can improve the standardization of its clinic ecosystem.

“This is why this pivot can be a game changer. Not only for Medigo’s business, but also for Indonesia’s [health industry]. We made a small bet in the beginning, but Medigo is now showing promising results, even during the pandemic,” he said.

Aim to transform Indonesia’s health industry

Currently, Medigo has partnered with 73 clinics in 42 cities in Indonesia. According to Bimo, the number of partnerships will continue to be increased next year and will be followed by the presence of new services, such as telemedicine.

Klink Pintar offers a solution through a profit sharing system with clinic owners. This collaboration is in the form of providing technology solutions to digitize business processes and services, standardization, and investment that can help clinic owners develop their business and increase value-based care. Two clinics have been built by the end of 2019.

Medigo has started to fully focus on becoming the clinic supply chain since the beginning of 2019. This is because the first approach through the hospital is considered difficult to accelerate. Initially, Medigo had a mission to connect all health ecosystems in Indonesia from upstream to downstream, from patients, medical personnel, clinics, hospitals, to laboratories.

It turns out that in his journey, Medigo realized that the nature of the hospital industry is to have a long bureaucratic chain. Bimo admitted that it took him almost one year per hospital to carry out the implementation, such as platform integration and HR training.

He said this strategy is quite the right one because it reaches more on the grassroots segment. In addition, there are more clinics than hospitals in Indonesia. According to the data from the Ministry of Health per 2018, there are 2,813 hospitals in Indonesia, while there are 8,841 clinics and 9,993 health centers.

“When developing the clinic management system, more than 300 clinics registered on our platform. Only, the usage is quite low. We started to research the clinic to find out what the problem is. Is technology the main problem or is there anything else that hasn’t been resolved?” Bimo explained.

From this research, Medigo continued to prepare plans in July 2019. One of the realizations was to build a Klinik Pintar (Smart Clinic) by collaborating with the Indonesian Doctors Association (IDI) in December 2019 and officially launched in February 2020.

Pivot during pandemic

Before the pandemic, Klinik Pintar was divided into two models, independent development or collaboration with existing clinics. For the second option, Medigo can manage all existing clinic operations. There are clinics managed jointly with its owner.

When the Covid-19 pandemic occurred, the third Klinik Pintar planned to be built in March was hampered. This development requires face-to-face and continuous monitoring, while the social distancing policy does not allow this plan to continue. Even though his team has tried to provide a seamless experience to reduce interactions, people still tend to be reluctant to come to hospitals or clinics during a pandemic.

Medigo then decided to re-evaluate its pivot strategy considering the pandemic situation did not allow the startup which was founded in 2018 to continue with the Klinik Pintar partnership model at that time.

“At first, we thought this [pivot] should partner with several hundred physical clinics that can be managed by yourself. Due to pandemic, we are trying to see what are the real focus and values we aim for from the entire healthcare ecosystem. Now, we have strengths where there aren’t many who play in [the clinic supply chain],” he explained.

Medigo finally performed a repositioning strategy with two new business models, (1) continuing to build a physical clinic that would be 100 percent managed by Medigo and (2) increasing cooperation with existing clinics. He said his main focus was on the second model by expanding services rather than building a new physical clinic.

Bimo said pivot with the new business model can be effective. Even during the pandemic situation, the presence of digital communication platforms (Zoom, WhatsApp, Google Meet, and others) has greatly helped companies build trust with clinics throughout Indonesia.

Although it was down for several months, Medigo’s business is progressively growing. The peak, last May, Medigo obtained an increased rate of service up to four times compared to April. In fact, Bimo said that Medigo’s business has earned healthy margins every month until now.

Apart from that, it has also noted a significant increase in interactions on its platform. The interaction referred to is the connection among stakeholders in the health industry. Bimo admitted that this was his main KPI when Medigo was founded.

Currently, Medigo manages patient medical record data at its clinic partners. Of the 73 registered clinics, a clinic can have 100 patients per day. Along with the increasing number of Medigo partners in the future, his team targets the interactivity in the Indonesian health ecosystem will be even higher.

“Our pivot already has validation and the business model is clear. We have a demand that we can answer, the numbers prove it. It’s just how we proceed vertically, such as clinical acquisitions and service scale-up, and horizontally,” Bimo added.

To date, Medigo is focusing on expanding access to Covid-19 testing in clinics to all regions in Indonesia. His team is also conducting a proof of concept (POV) for teleconsulting specialist doctor services.

“We are aware that Covid-19 has an impact on mothers. They are not brave enough to go out for vaccines for their children because of this pandemic. We are worried that there will be a generation gap. Therefore, in the future we also want to become a distribution network for any vaccine. clinic, our ultimate goal is transparency and reduce monopoly potential.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Medigo Umumkan Pendanaan Pra Seri A, Berencana Ekspansi ke Rantai Suplai Klinik

Startup healthtech Medigo mengumumkan perolehan pendanaan pra seri A dengan nilai yang tidak disebutkan. Ada tiga investor yang terlibat dalam pendanaan baru kali ini, yakni investor existing Venturra Discovery serta dua investor baru: Golden Gate Ventures dan Kenangan Kapital yang merupakan angel fund milik Co-founder Kopi Kenangan Edward Tirtanata.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Co-founder dan CEO Medigo Harya Bimo mengungkapkan bahwa pendanaan baru ini akan mendukung rencana ekspansi perusahaan untuk fokus menjadi menjadi penyedia rantai suplai klinik (clinic chain) di Indonesia.

“Tadinya clinic chain adalah satu dari sekian inisiatif Medigo untuk memperkuat ekosistem healthcare di Indonesia. Sekarang kami fokus untuk menjadi clinic chain saja. Jadi, revenue stream kami nanti [mainly] dari klinik,” ujar pria yang karib disapa Bimo ini.

Dihubungi secara terpisah, Edward Tirtanata mengungkapkan alasannya terlibat sebagai angel investor di Medigo. Ia menilai saat ini masih ada gap besar di industri kesehatan Indonesia. Tak dipungkiri, klinik masih menjadi tujuan utama masyarakat Indonesia mengingat biaya rumah sakit (RS) masih mahal.

Standardisasi klinik di Indonesia saat ini terbilang masih rendah sehingga tidak semua masyarakat mampu memperoleh perawatan kesehatan yang sama di setiap wilayah. Dengan dukungan platform digital, Indonesia dapat meningkatkan standardisasi ekosistem kliniknya.

“Inilah mengapa pivot ini dapat menjadi game changer. Tak hanya bagi bisnis Medigo, tetapi juga bagi [industri kesehatan] Indonesia. Kami bertaruh di awal dengan jumlah yang masih kecil, tetapi sekarang Medigo menunjukkan hasil yang menjanjikan, bahkan selama pandemi,” ungkapnya.

Ingin ubah wajah industri kesehatan Indonesia

Saat ini, Medigo telah bermitra dengan 73 klinik di 42 kota di Indonesia. Menurut Bimo, jumlah kemitraan ini akan terus ditingkatkan di tahun depan dan akan diikuti dengan kehadiran layanan-layanan baru, seperti telemedicine.

Klinik Pintar menawarkan solusi melalui sistem bagi hasil dengan pemilik klinik. Kerja sama ini berupa pemberian solusi teknologi untuk mendigitalkan proses bisnis dan layanan, standarisasi, dan investasi yang dapat membantu pemilik klinik mengembangkan usaha dan meningkatkan value based care. Dua Klinik Pintar telah dibangun per akhir 2019.

Fokus untuk sepenuhnya menjadi rantai suplai klinik sudah mulai dieksekusi Medigo sejak awal 2019. Hal ini karena pendekatan awal melalui RS dinilai sulit diakselerasi. Semula Medigo memang memiliki misi untuk menghubungkan seluruh ekosistem kesehatan di Indonesia dari hulu ke hilir, mulai dari pasien, petugas medis, klinik, RS, hingga laboratorium.

Ternyata dalam perjalanannya, Medigo menyadari bahwa nature dari industri RS adalah memiliki rantai birokrasi yang panjang. Bimo mengaku pihaknya membutuhkan hampir satu tahun per RS untuk melakukan implementasi, seperti integrasi platform dan training SDM.

Menurutnya, strategi ini sudah tepat karena lebih banyak menyentuh segmen grassroots. Selain itu, jumlah klinik di Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan RS. Data Kementerian Kesehatan per 2018 mencatat ada 2.813 RS di Indonesia, sedangkan klinik mencapai 8.841 dan puskesmas 9.993 unit.

“Saat mengembangkan clinic management system, lebih dari 300 klinik mendaftar di paltform kami. Hanya saja usage-nya masih kecil. Di sini kami mulai riset ke klinik untuk tahu apa masalahnya. Apa teknologi jadi masalah utama atau ada hal lain yang belum bisa diselesaikan?” jelas Bimo.

Dari riset tersebut, Medigo berlanjut pada persiapan rencana pada Juli 2019. Salah satu realisasinya saat itu adalah membangun Klinik Pintar dengan menggandeng Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada Desember 2019 meresmikannya pada Februari 2020.

Mengeksekusi pivot selama pandemi

Sebelum pandemi, Klinik Pintar terbagi atas dua model kerja sama, yakni membangun sendiri atau berkolaborasi dengan klinik existing. Untuk opsi kedua, Medigo dapat mengelola seluruh operasional klinik existing. Ada juga yang dikelola secara bersama dengan pemilik klinik tersebut.

Ketika pandemi Covid-19 terjadi, Klinik Pintar ketiga yang direncanakan dibangun pada Maret menjadi terhambat. Pembangunan ini membutuhkan tatap muka dan monitoring berkelanjutan, sedangkan kebijakan pembatasan sosial tak memungkinkan untuk meneruskan rencana ini. Meskipun pihaknya sudah mencoba memberikan seamless experience untuk mengurangi interaksi, masyarakat tetap cenderung enggan datang ke RS atau klinik selama pandemi.

Medigo pun memutuskan mengevaluasi ulang strategi pivot-nya mengingat situasi pandemi tidak memungkinkan startup yang berdiri pada 2018 tersebut melanjutkan model partnership Klinik Pintar saat itu.

“Semula, kami pikir [pivot ini] harus menggandeng sekian ratus klinik fisik yang dapat dikelola sendiri. Karena pandemi ini, kami coba lihat apa sebetulnya fokus dan value yang ingin kami tuju dari seluruh ekoistem healthcare. Nah, kami punya strength di mana belum banyak yang bermain di [rantai suplai klinik],” jelasnya.

Medigo akhirnya melakukan repositioning strategi dengan dua model bisnis baru, yakni (1) tetap membangun klinik fisik yang akan 100 persen dikelola oleh Medigo dan (2) memperbanyak kerja sama dengan klinik existing. Ia menyebut fokus utamanya pada model kedua dengan memperbanyak layanan ketimbang membangun klinik fisik baru.

Menurut Bimo, pivot dengan model bisnis baru ini dapat dikatakan efektif. Meski di situasi pandemi ini, kehadiran platform komunikasi digital (Zoom, WhatsApp, Google Meet, dan lainnya) sangat membantu perusahaan membangun kepercayaan dengan klinik di seluruh Indonesia.

Meski sempat turun selama beberapa bulan, kini bisnis Medigo berangsur meningkat kembali. Puncaknya, pada Mei lalu, Medigo mengantongi kenaikan layanan hingga empat kali lipat dibandingkan April. Bahkan, Bimo menyebut bisnis Medigo sudah meraup margin yang sehat setiap bulan hingga saat ini.

Selain itu, pihaknya juga mencatat peningkatan signifikan pada interaksi di platform-nya. Interaksi yang dimaksud adalah keterhubungan para stakeholder di industri kesehatan. Bimo mengaku bahwa ini menjadi KPI utamanya ketika Medigo didirikan.

Saat ini, Medigo mengelola data rekam medis pasien pada mitra kliniknya. Dari 73 klinik yang dikelolanya, per klinik saja dapat memiliki 100 pasien per hari. Seiring dengan bertambahnya jumlah mitra Medigo ke depan, pihaknya menargetkan interactivity di ekosistem kesehatan Indonesia akan semakin tinggi.

“Kini pivot kami sudah memiliki validasi dan sudah jelas model bisnisnya. Kami punya demand yang dapat kami jawab, the numbers prove it. Tinggal bagaimana selanjutnya kami mengeksekusi vertikal, seperti akuisisi klinik dan scale up layanan, dan horizontal,” tambah Bimo.

Saat ini, Medigo tengah fokus untuk memperluas akses tes Covid-19 di klinik hingga ke seluruh wilayah di Indonesia. Pihaknya juga tengah melakukan proof of concept (POV) untuk telekonsultasi layanan dokter spesialis.

“Kami menyadari bahwa Covid-19 berdampak pada ibu-ibu. Mereka menjadi tidak berani keluar untuk vaksin anaknya karena pandemi ini. Kami khawatir bakal ada generation gap. Maka itu, ke depannya kami juga ingin menjadi jaringan distribusi vaksin apapun. Dengan dukungan rantai suplai klinik, tujuan akhir kami adalah transparansi dan mengurangi potensi monopoli.”

Application Information Will Show Up Here

Edward Tirtanata’s New Role: An Angel Investor through Kenangan Kapital

The new retail startup Kopi Kenangan has received a lot of attention, thanks to the Indonesian coffee chain business which has received large funding from a number of well-known VCs, including Sequoia Capital and Facebook Co-Founder Eduardo Saverin.

The success of this business cannot be separated from the efforts of its founders, Edward Tirtanata and James Prananto. Kopi Kenangan has now transformed into one of the top-tier coffee brands, especially among young adults in Indonesia.

DailySocial had the opportunity to interview Edward Tirtanata, not as a business founder, but his new experience as an angel investor through Kenangan Kapital. How does Edward define his new role?

Passion for entrepreneurship

Edward’s role as an angel investor has been going on since last year. Through his angel fund (called the Kenangan Investment Fund), he has invested in some of Indonesian startups, including BukuKas, GudangAda, OtoKlix, and Medigo (Smart Clinic).

From the beginning, he declared his big passion for entrepreneurship. This is visible from his efforts to build Kopi Kenangan. However, his success in building a business does not end there.

For him, entrepreneurship can be said as “good wealth management” which involves asset class in diverse. This means that if he wants to make a distinction, he doesn’t want to invest in just blue chips or deposits.

“A good investor must be able to diversify. Angel investing class assets, to increase ten times in a year is normal. I find it interesting,” Edward said.

Through Kenangan Kapital, he expects to contribute more to the Indonesian startup industry. This also encourages Edward to experience new role by being involved in startup funding.

Interest in the consumer tech

Consumer tech is one of the business verticals that attracts many investors. Consumer products combined with technology are the reasons why this business can be easily scalable.

The most obvious example is the mushrooming startups entering traditional businesses and utilizing technology with a direct-to-consumer (DTC) approach. Either eyewear or beauty products can now be marketed without having to build distribution channels.

Realizing this trend, Edward admits that he is interested to top up in the consumer tech sector through Kenangan Kapital. He said that there is still a missing gap in Indonesian consumer tech.

He said Indonesia needs more disruption, considering that products/services targeting the consumer segment are still underrated in terms of technology. On the other hand, Edward curious to what extent this vertical leads him to new experiences in entrepreneurship.

This is reflected in a number of his portfolios that mostly running in the B2C segment. A somewhat different hypothesis is taken when investing in Medigo.

Medigo’s business model is considered to have an impact on the consumer segment. Clinics are the main pillars of the health ecosystem in Indonesia. Currently, there are many clinics that are yet to be standardized, while being hospitalized costs quite expensive and is yet to reach the grassroots segment.

“We took an early bet when the numbers are still small, but now they are [Medigo] showing promising results even during the pandemic,” Edward said.

Challenges

Apart from his main focus on consumer tech, Edward revealed that he did not set any portfolio targets in 2021. Likewise, the target range of investment for Kenangan Kapital.

In his opinion, angel investors do not have a certain pressure in providing funding. This is in contrast to the way VCs work, which is to follow KPIs. He tends to choose to invest if there’s a sight of opportunities.

“I think being an angel investor doesn’t require an investment target [issued]. It all depends on the deal per deal. In fact, if there are exceptions for certain companies, I can invest as much as I can,” he added.

Without any specific KPI, Edward emphasized that the most important thing in following the growth of his portfolio business is the product-market fit. If a startup is gaining organic traction, the metric is at least customer acquisition cost (CAC).

However, Edward admits that the challenge of becoming an angel investor is not that different from a venture capitalist. The most common issue is selecting portfolios. He tends to choose founders who can run/find the right business.

“There are many good founders, but not many of them pick a good business. Better to invest in a good business even though the founder is quite Mediocre. The most important thing for me is conviction. That is, no matter what happens, they stick around and make the best out of it. The term is determination,” he said.

Become the CEO and investor at a time

How come Edward manages his role as CEO and angel investor as the number of Capital Memories portfolios grows in the future?

“First, I need to emphasize that my main full-time job is the CEO of Kopi Kenangan. I don’t want my passion to help entrepreneurs interfere with my main job at Kopi Kenangan,” he said.

Second, he thinks it is not good for every businessman to be too dependent on their investors for a long time. Ideally, these founders are expected to be independent and focused on their business in three to six months.

“Because Kenangan Kapital is like a family office and there are no outside investors, I have no pressure to deploy capital like private equity or VC. I can invest in a very few but exceptional founders and help 2-3 founders at a time,” he said.

In fact, he admits that he is happy when his portfolio joins a well-known accelerator program. According to Edward, that could mean they won’t need his further involvement in terms of business.

Accommodating the angel investor ecosystem

It can’t be denied that the angel investor ecosystem in Indonesia is quite silent. Even though angel investors play a big role in providing startup funding in the early phase.

Edward said, the existence of angel investors in Indonesia is very different from the one in the United States (US). The country which is the mecca for the startup industry has a database platform that attracts thousands of angel investors. That way, startups can get direct access and find it easier to find funding from angel investors.

“Here, access to angel investors is rather difficult, so they tend to look for funding options from their families. Therefore, this is what makes them unable to provide [relevant] experience to invested startups because the investors are not from a startup background,” Edward said.

He is aware of the situation. He thought the phenomenon is similar to when the new VC industry has emerged and popular in recent years. As the industry develops, he expects the angel investor ecosystem to develop along the way in the future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Peran Baru Edward Tirtanata: Jadi “Angel Investor” Lewat Kenangan Kapital

Startup new retail Kopi Kenangan telah menuai banyak sorotan berkat bisnis coffee chain Indonesia yang memperoleh pendanaan besar dari sederet VC ternama, termasuk Sequoia Capital dan Co-Founder Facebook Eduardo Saverin.

Menjulangnya bisnis ini tak lepas dari upaya para pendirinya, Edward Tirtanata dan James Prananto. Kini Kopi Kenangan telah menjelma menjadi salah satu brand minuman kopi terkuat, terutama di kalangan anak muda di Indonesia.

DailySocial berkesempatan mewawancarai Edward Tirtanata, bukan sebagai pendiri bisnis, melainkan pengalaman barunya sebagai angel investor melalui Kenangan Kapital. Bagaimana Edward memaknai peran barunya ini?

Passion di bidang kewirausahaan

Kiprah Edward menjadi angel investor sebetulnya telah berlangsung sejak setahun terakhir. Melalui angel fund miliknya (dengan nama dana kelolaan Kenangan Investment Fund), ia telah berinvestasi di sejumlah startup Indonesia, antara lain BukuKas, GudangAda, OtoKlix, dan Medigo (Klinik Pintar).

Sejak awal, ia mengaku sangat menekuni bidang enterprenuership. Hal ini terbukti dari upayanya membangun Kopi Kenangan. Namun,  kesuksesannya membangun bisnis tak ingin berhenti sampai di situ saja.

Baginya, kewirusahaan dapat diibaratkan sebagai “a good wealth management” yang mana melibatkan asset class yang berbeda. Artinya, apabila ingin melakukan pembedaan, ia tak ingin berinvestasi pada aset bagus (blue chip) atau deposit saja.

A good investor itu harus bisa diversify. Asset class angel investing, dalam satu tahun naik sepuluh kali lipat itu normal. Buat saya itu menarik,” ujar Edward.

Lewat Kenangan Kapital, ia berharap dapat berkontribusi lebih terhadap industri startup Indonesia. Hal ini juga yang mendorong Edward untuk menjajal pengalaman baru dengan terlibat dalam pendanaan startup.

Ketertarikan ke sektor consumer tech

Consumer tech merupakan salah satu vertikal bisnis yang dilirik investor. Produk consumer yang dipadukan dengan teknologi menjadi alasan mengapa bisnis ini dapat di-scale up dengan mudah.

Contoh paling lekat adalah menjamurnya startup yang masuk ke bisnis tradisional dan memanfaatkan teknologi dengan pendekatan direct-to-consumer (DTC). Produk kacamata atau kecantikan kini bisa dipasarkan tanpa perlu membangun jalur distribusi.

Menyadari tren ini, Edward mengaku tertarik bermain lebih banyak pada sektor consumer tech lewat Kenangan Kapital. Ia menilai masih ada missing gap di consumer tech Indonesia.

Menurutnya, Indonesia masih membutuhkan disrupsi lebih banyak mengingat produk/layanan yang menyasar segmen consumer masih terbilang underrated dari sisi teknologi. Di sisi lain, Edward ingin melihat sejauh mana vertikal ini membawanya kepada pengalaman baru dalam berwirausaha.

Hal ini tercermin dari sejumlah portofolionya yang rata-rata bergerak di segmen B2C. Hipotesis yang agak berbeda diambil ketika berinvestasi ke Medigo.

Model bisnis yang diusung Medigo dinilai dapat memberikan impact terhadap segmen consumer. Klinik merupakan pilar utama ekosistem kesehatan di Indonesia. Saat ini, masih banyak klinik yang belum tersandarisasi, sedangkan biaya perawatan di rumah sakit masih terbilang mahal dan belum dapat menjangkau segmen grassroot.

We took an early bet when the numbers are still small, but now they are [Medigo] showing promising results even during the pandemic,” ungkap Edward.

Tantangan

Di luar fokus utamanya di consumer tech, Edward mengungkap ia tidak menetapkan berapa target portofolio yang akan dikejar di tahun 2021. Demikian pula target range investasi yang akan dikucurkan Kenangan Kapital.

Menurutnya, angel investor tidak memiliki pressure tertentu dalam memberikan pendanaan. Hal ini berkebalikan dengan cara kerja VC yang punya KPI tersendiri. Ia cenderung memilih berinvestasi jika melihat peluang yang ada di depan mata.

“Saya pikir menjadi angel investor tidak harus punya target investasi [yang dikeluarkan]. Semua tergantung dari deal per deal. Tentu saja jika ada pengecualian untuk perusahaan tertentu, saya bisa investasi sebanyak mungkin,” paparnya.

Meskipun tidak memiliki KPI tertentu, Edward menekankan bahwa hal terpenting dalam mengikuti pertumbuhan bisnis portofolionya adalah product to market fit. Apabila startup mendulang traksi organik, paling tidak metrik yang ia ukur adalah customer acquisition cost (CAC).

Kendati demikian, Edward mengakui bahwa tantangan menjadi angel investor sebetulnya tak jauh berbeda dengan venture capitalist. Yang paling umum adalah perihal menyeleksi portofolio. Ia cenderung memilih founder yang dapat menjalankan/menemukan bisnis yang tepat.

“Banyak good founder, tapi tak banyak good founder yang pick a good business. Lebih baik berinvestasi di bisnis yang oke meski founder-nya mediocre. Yang utama buat saya sih conviction. Artinya, no matter what happens, mereka tetap bertahan and make the best out of it. Istilahnya ada determination,” tuturnya.

Menjadi CEO dan investor sekaligus

Lalu bagaimana Edward mengelola perannya menjadi CEO dan angel investor seiring berkembangnya jumlah portofolio Kenangan Kapital di masa depan?

“Pertama, saya perlu menegaskan bahwa full time job utama saya adalah sebagai CEO Kopi Kenangan. Saya tidak ingin passion saya untuk membantu para entrepreneur justru menganggu pekerjaan utama saya di Kopi Kenangan,” ucapnya.

Kedua, ia menilai tidak baik bagi setiap pebisnis untuk terlalu bergantung pada investor mereka dalam jangka waktu lama. Idealnya, para founder ini diharapkan bisa menjadi independen dan fokus terhadap bisnisnya dalam tiga hingga enam bulan.

“Karena Kenangan Kapital itu seperti family office atau tidak ada investor luar, saya tidak ada pressure untuk deploy modal seperti halnya private equity atau VC. I can invest in a very few but exceptional founders and help 2-3 founders at a time,” ungkapnya.

Justru ia mengaku senang apabila portofolionya ada yang bergabung di program akselerator ternama. Menurut Edward, itu dapat berarti mereka tidak bakal memerlukan keterlibatannya lebih banyak di bisnis.

Mengakomodasi ekosistem angel investor

Tak dimungkiri bahwa ekosistem angel investor di Indonesia terbilang tak terdengar gaungnya. Padahal angel investor berperan besar dalam memberikan pendanaan startup di fase awal.

Menurut Edward, eksistensi angel investor di Indonesia sangat jauh berbeda dengan di Amerika Serikat (AS). Negara kiblat industri startup ini memiliki platform database yang menjaring ribuan angel investor di sana. Dengan begitu, startup bisa mendapatkan akses langsung dan lebih mudah mencari pendanaan ke angel investor.

“Di sini akses ke angel investor agak sulit, makanya mereka cenderung cari opsi pendanaan ke keluarga. Makanya, ini yang membuat mereka juga ga bisa kasih pengalaman [yang relevan] ke startup yang diinvestasi karena investor-nya bukan dari background startup,” jelas Edward.

Ia memahami situasi ini. Menurutnya fenomenanya sama ketika industri VC baru bermunculan dan populer beberapa tahun belakangan. Seiring berkembangnya industri, ia berharap ekosistem angel investor bakal ikut berkembang juga nanti.

Paxel dan Blue Bird Meluncurkan Layanan Logistik “Same Day Delivery” PaxelBig

Startup logistik berbasis aplikasi Paxel resmi meluncurkan layanan logistik “same day delivery” PaxelBig berkolaborasi dengan PT Blue Bird Tbk. Layanan first mile ini sudah komersial sejak Maret 2020.

Menggunakan armada Blue Bird, PaxelBig menyediakan kapasitas pengiriman lebih besar, yakni 5-20 kg dengan tarif mulai dari Rp30.000 untuk 10 kg pertama. Untuk tahap awal, PaxelBig baru dapat digunakan di dalam dan luar kota untuk kawasan Jadetabek-Bandung dan sebaliknya.

Dalam acara peluncurannya, Co-founder Paxel Zaldi Ilham Masita mengatakan bahwa PaxelBig dikembangkan untuk menjawab permintaan segmen UKM yang menginginkan pengiriman berkapasitas besar selama masa pandemi ini. Sekaligus, ini menjadi upaya Paxel memperluas cakupan layanan di luar kota.

Sebelum pandemi, ungkap Zaldi, sebesar 85 persen pengguna Paxel yang berasal dari segmen UKM melakukan pengiriman barang dengan kapasitas rata-rata di bawah 2 kg. Begitu pandemi terjadi, kapasitas ini meningkat hingga 5 kg.

Selain itu, data Paxel mencatat adanya peningkatan tajam hingga 50 persen pada transaksi pengiriman barang yang kebanyakan berupa makanan, bahan pokok, dan produk kesehatan di sepanjang periode Maret-Mei 2020. Adapun, jumlah pengiriman rata-rata mencapai 100-200 ribu paket per hari.

“Karena banyak pengiriman makanan, kapasitas 5 kg pun jadi tidak cukup. Kami pikir bagaimana caranya melayani same day delivery dengan kapasitas lebih besar dan harga terjangkau. Di sini lah PaxelBig hadir,” ungkapnya.

Sementara itu, Chief Strategy Officer Blue Bird Paul Soegianto mengatakan bahwa kolaborasinya dengan Paxel menjadi salah satu bentuk inisiatif perusahaan untuk menggenjot bisnis logistik.

Ini menjadi pangsa pasar baru bagi Blue Bird yang sebelumnya bermain di segmen passanger. “Kami yakin dengan potensi pasar dan input dari customer, layanan ini dapat berkembang besar. Apalagi kita lihat segmen UKM selama ini sulit menjangkau konsumen dan biaya logistik masih mahal di Indonesia,” tambahnya.

Salah satu keunggulan PaxelBig, ujar Paul, adalah standardisasi higienis di setiap armada, terlebih karena seluruhnya adalah aset milik sendiri. Selain itu, PaxelBig menggunakan armada jenis MPV yang cocok untuk mengakomodasi pengiriman barang berkapasitas besar.

“Kami menggunakan armada existing jadi secara cost [efisien]. Intinya, kami ingin berkontribusi pada layanan logistik di masa pandemi, terutama soal higienis yang kami terapkan sesuai standar kami,” tambahnya.

Sebelumnya, dalam wawancara dengan DailySocial beberapa waktu lalu, Paul mengatakan bahwa Blue Bird memiliki tiga fokus utama, yakni menjadi penyedia multiplatform/channelmultiproduct/service, dan multipayment. Tujuannya untuk menciptakan ekosistem layanan terintegrasi dan memperkuat posisinya di industri transportasi di era digital.

Lanskap logistik di 2021

Zaldi mengharapkan kehadiran PaxelBig dapat menjadi tren baru di industri logistik mengingat belum ada pemain yang masuk ke layanan semacam ini. Sejauh ini, ungkapnya, belum ada layanan same day delivery yang melayani pengiriman barang berkapasitas 5-20 kg.

“Solusi ini dapat menjawab tantangan logistik di Indonesia. Kami harap layanan ini dapat mengubah lanskap industri logistik di tahun depan dan membuka hidden ekonomi lebih banyak,” paparnya.

Sebelumnya, Zaldi menyebutkan bahwa pertumbuhan industri logistik di Indonesia selama satu dekade terakhir naik di atas rata-rata pertumbuhan nasional yang berkisar 10 persen per tahun. Kenaikan ini salah satunya didorong oleh kehadiran layanan logistik last mile yang tumbuh 30 persen per tahun.

Berdasarkan survei Paxel Buy & Send Insights 2019, kepemilikan toko fisik di era digital mulai tidak relevan bagi segmen UKM. Sebanyak 66 persen dari 535 responden menganggap pendapatan dari toko online telah melampaui pendapatan dari toko fisik.

Adapun, penjual online semakin mengandalkan jasa same day delivery. Hal ini tergambar dari 36 persen responden yang menginginkan kecepatan pengiriman daripada ongkos yang lebih murah (29%), pengiriman mudah (26%), dan sistem live tracking (8%).

Application Information Will Show Up Here

Monotaro.id Catat Tren Peningkatan Adopsi B2B Commerce Selama Masa Pandemi

Platform e-commerce Monotaro.id berupaya mendorong segmen B2B untuk beralih pada metode belanja online selama masa pandemi. Pihaknya melakukan sejumlah antisipasi untuk mengakomodasi tren peralihan tersebut.

Presiden Direktur Monotaro.id Daisuke Maeda mengungkapkan, hampir semua perusahaan di dunia mengalami kesulitan untuk berbisnis di masa pandemi ini. Dengan kebijakan pembatasan sosial untuk menekan penyebaran virus, perusahaan harus memastikan kegiatan operasionalnya tetap berjalan.

Tak sedikit pula, perusahaan dihadapkan pada sejumlah tantangan, seperti penghematan pengeluaran, penurunan kapasitas produksi, pengurangan jam operasional, bahkan harus merumahkan sebagian karyawan. Maeda melihat bahwa tren shifting belanja offline ke online mau tak mau harus dilakukan. Hal ini tak hanya berlaku pada segmen consumer saja, tetapi juga korporat (B2B).

“Untuk mengantisipasi [tren] dan menjawab tantangan tersebut, kami menambah jumlah produk di website dalam jumlah yang besar dan signifikan sesuai dengan tren kebutuhan bisnis. Kami juga merilis berbagai fitur baru yang akan meningkatkan kenyamanan berbelanja secara online bagi para pelanggan bisnis (e-procurement),” ujarnya kepada DailySocial.

Dari riset Monotaro.id yang diikuti 6265 pelanggan korporat pada periode Juni 2020, sebanyak 74% pengadaan barang terdampak akibat pandemi, disusul 15% persen sedikit terdampak, dan 11% tidak terdampak sama sekali. Sementara itu, belanja online 44% perusahaan meningkat, tetapi belanja online di 29% perusahaan turun, dan 27% tidak berpengaruh.

Diakui Maeda, bisnis Monotaro.id tumbuh secara signifikan selama masa Pandemi. Peningkatan yang terjadi pada jumlah pelanggan dan transaksi ini dikarenakan banyaknya pelaku bisnis dan juga individu yang beralih dari belanja offline ke online.

Perusahaan mencatat pertumbuhan permintaan melalui website Monotaro.id meningkat hingga 16,31% pada periode Maret-Mei 2020 dibandingkan periode sama pada tahun lalu. Menurutnya, pendapatan perusahaan tetap naik walaupun belum mencapai ekspektasi.

Ada pelanggan maupun calon yang secara terpaksa menghentikan operasional mereka bahkan hingga 100%, juga banyak yang beralih ke metode WFH dan menurunkan operasional/bisnisnya, hingga yang terburuk harus menutup bisnis mereka akibat pandemi ini.

“Mengenai 2021, kami memprediksi sepertinya pandemi masih akan berlanjut hingga Q2, di mana semua akan tergantung pada ketersediaan vaksin, efektivitasnya atau keampuhannya, dan distribusinya. Di sisi lain, bisnis akan berangsur kembali normal, beberapa bisnis baru akan muncul dari situasi pandemi ini, dan bahkan akan bertumbuh cepat.” ujar Daisuke.

Monotaro.id merupakan e-commerce B2B asal Jepang yang menyediakan kebutuhan industri dan perkantoran. Perusahaan masuk ke pasar Indonesia dengan mengakuisisi mayoritas saham Sukamart (PT Sumisho E-commerce Indonesia) pada empat tahun lalu.

B2B mulai terbiasa melakukan pembelian online

Lembaga riset Mckinsey mengungkap bahwa para pengambil keputusan di perusahaan kini mulai terbiasa dengan belanja kebutuhan online selama masa pandemi. Selama tiga kuartal terakhir, pandemi memaksa segmen B2B, baik pembeli dan penjual, untuk go digital secara masif.

Dalam laporannya, sebanyak 70%-80% persen pengambil keputusan B2B di global lintas industri kini lebih memilih interaksi jarak jauh (remote) atau digital self-service. Sebanyak 32% responden B2B mau mengeluarkan budget $50 ribu-500 ribu untuk belanja perusahaan melalui digital, 12% mau mengeluarkan $500 ribu sampai $1 juta, dan 15% di atas $1 juta.

“Dari laporan tersebut, ini menjadi sebuah sentimen yang akan terus meningkat bahkan setelah lockdown berakhir,” ungkap McKinsey.

Para pengambil keputusan di dunia  mengatakan bahwa belanja perusahaan melalui online dan jarak jauh sama efektifnya dengan keterlibatan langsung (offline), atau bahkan lebih. Demikian juga dengan para vendor yang meyakini bahwa transaksi digital sama efektifnya dengan pertemuan langsung agar terhubung dengan pelanggan existing.

Dengan kata lain, situasi di mana perusahaan “dipaksa” untuk mengadopsi digital akibat pandemi Covid-19 kini telah berkembang menjadi sebuah keyakinan bahwa tak ada salahnya melakukan transaksi digital.

Gambar header: Depositphotos.com

Titik Pintar Introduces SahabatPintar, Educational Content Platform for Elementary Students

Titik Pintar’s interactive edutainment platform officially introduces SahabatPintar.id, an educational content platform designed for the primary school (SD) student segment in Indonesia.

SahabatPintar.id presents material monitored by elementary school teachers in Indonesia who have teaching experience for more than 10 years. Currently, the SahabatPintar.id platform is available for free access.

Titik Pintar’s founder & CEO, Robbert Deusing, said that his party wants to contribute to the quality of education in Indonesia. This is in line with World Bank recommendations regarding the impact of Covid-19, the education sector needs to pay attention to the quality of distance learning methods.

Based on data from the Ministry of Education and Culture, there are currently 25 million children currently studying at the elementary level. Meanwhile, the number of schools closed due to the Covid-19 pandemic has reached 530 thousand units.

“SahabatPintar wants to play a role in the world of education in the long term. When schools reopen, we believe teachers will be greatly helped by the availability of quality educational materials that are easily accessible such as those available by SahabatPintar.id and the Titik Pintar application,” Deusing said to DailySocial.

He revealed that his team is currently integrating 100 materials into the SahabatPintar platform. The long-term goal of this platform is to bring together teachers, designers, and animators in Indonesia to create up to 10,000 quality content. The contents will be integrated directly on the Titik Pintar platform.

“Even though our team has made various educational content, it will still be difficult to catch up with the rapid development of children. At the same time, we are aware that there are many teachers and content creators in Indonesia who have the expertise to create educational content,” he told DailySocial.

Therefore, to achieve this target, his party is holding a competition for designer teachers and animators to produce educational content that is easily understood by children.

For your information, Titik Pintar is currently used by 12 thousand users in Indonesia. This platform provides various edutainment materials tailored to the government curriculum (Kurtilas).

Expecting breakthrough from edtech players in 2021

Not many edtech services have run in the gamification sector, like Titik Pintar. In fact, this content can actually be an interesting approach to provide a fun atmosphere for teaching and learning activities, especially during the pandemic.

With the plan of Minister of Education and Culture (Mendikbud) Nadiem Makarim to reopen schools in January 2021, this could be the right step to provide a temporary “break” for parents who have been accompanying their children to study during the pandemic.

This has also been acknowledged by a number of players we have interviewed. There are many issues experienced, one of which is that parents are overwhelmed with their children because they are not used to transitioning to online platforms.

The trend of edtech services began to skyrocket in the last few years. The peak occurred this year due to the Covid-19 pandemic. The policy of teaching and learning activities from home (KBM) is a tremendous momentum for online learning platform providers to gain new users and significant traffic.

In general, the government’s decision to reopen schools will present a further “test case” to prove whether edtech services remain relevant and credible in the next year. This is primarily to provide affordable internet access and content for user segments outside Java who are in rural and border areas.

In addition, next year can also be momentum for old and new edtech players to develop content with more varied types and costs. Moreover, there are currently not many edtech services that play in the realm of gamification, especially for elementary school children.

To date, edtech startups have various market segments ranging from elementary to high school lectures, or employee segments by offering free access for certain periods to premium access to interactive content, video-on-demand, and private tutors.

DSResearch through the Edtech Report 2020 reveals that internet connection is still the biggest challenge (81.2%) of users in learning, followed by access to paid content (49.4%), understanding of English (39.2%), and availability of devices (38,4%).

In addition, as many as 70 percent of respondents are willing to pay for edtech services ranging from IDR 50,000 / month (12.6%), IDR 50,000-1 million / month (35.3%), IDR 1 million-2.5 million / month (24, 6%), IDR 2.5 million-5 million / month (17.8%), and above IDR 5 million / month (9.7%).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Titik Pintar Memperkenalkan SahabatPintar, Platform Konten Pendidikan untuk Murid SD

Platform edutainment interaktif Titik Pintar resmi memperkenalkan SahabatPintar.id, yakni platform konten pendidikan yang ditujukan untuk segmen murid sekolah dasar (SD) di Indonesia.

SahabatPintar.id menghadirkan materi yang dipantau oleh para guru SD di Indonesia yang memiliki pengalaman mengajar selama lebih dari 10 tahun. Saat ini, platform SahabatPintar.id dapat diakses pengguna gratis secara terus-menerus.

Founder & CEO Titik Pintar Robbert Deusing mengatakan, pihaknya ingin berkontribusi terhadap kualitas pendidikan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan rekomendasi World Bank terkait dampak Covid-19, sektor pendidikan perlu memperhatikan kualitas metode pembelajaran jarak jauh.

Berdasarkan data Kemendikbud, saat ini terdapat 25 juta anak yang tengah menempuh pendidikan di jenjang SD. Sementara itu, jumlah sekolah yang tutup karena pandemi Covid-19 mencapai 530 ribu unit.

“SahabatPintar ingin mengambil peran di dunia pendidikan dalam jangka panjang. Saat sekolah kembali dibuka nanti, kami percaya para guru akan sangat terbantu dengan adanya materi-materi edukasi berkualitas yang mudah diakses seperti yang tersedia di SahabatPintar.id maupun aplikasi Titik Pintar,” ujar Deusing kepada DailySocial.

Ia mengungkap bahwa pihaknya saat ini sedang melakukan integrasi terhadap 100 materi ke platform SahabatPintar. Tujuan jangka panjang dari platform ini adalah mengumpulkan para guru, desainer, dan animator di Indonesia untuk membuat hingga 10.000 konten berkualitas. Adapun konten-konten tersebut nantinya akan terintegrasi langsung di platform Titik Pintar.

“Meski tim kami sudah membuat berbagai konten edukasi, akan tetap sulit untuk mengejar perkembangan anak-anak yang begitu pesat. Di saat bersamaan, kami sadar ada banyak guru dan kreator konten di Indonesia yang mempunyai keahlian untuk membuat konten edukasi,” tuturnya kepada DailySocial.

Maka itu, untuk mencapai target tersebut, pihaknya tengah mengadakan kompetisi bagi para guru desainer dan animator untuk menghasilkan karya konten edukasi yang mudah dipahami oleh anak-anak.

Sekadar informasi, Titik Pintar saat ini telah digunakan sebanyak 12 ribu pengguna di Indonesia. Platform ini menyediakan berbagai materi edutainment yang disesuaikan dengan kurikulum pemerintah (Kurtilas).

Menanti gebrakan pemain edtech di 2021

Belum banyak layanan edtech yang bermain di ranah gamifikasi, seperti halnya Titik Pintar. Padahal, konten ini sebetulnya dapat menjadi pendekatan menarik untuk memberikan suasana kegiatan belajar mengajar (KBM) yang menyenangkan, terutama selama masa pandemi.

Dengan rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim untuk membuka kembali sekolah pada Januari 2021, ini dapat menjadi langkah tepat untuk memberi “break” sementara bagi orang tua yang selama ini mau tak mau mendampingi anaknya belajar selama masa pandemi.

Hal ini pun diakui oleh sejumlah pemain yang pernah kami wawancarai. Ada banyak isu yang dialami di mana salah satunya adalah orang tua kewalahan mendampingi anaknya karena belum terbiasa bertransisi ke platform online.

Tren layanan edtech mulai meroket sejak beberapa tahun terakhir. Puncaknya terjadi pada tahun ini akibat pandemi Covid-19. Kebijakan merumahkan kegiatan belajar mengajar (KBM) menjadi momentum luar biasa bagi penyedia platform pembelajaran online dalam mendulang pengguna baru dan trafik yang signifikan.

Secara umum, keputusan pemerintah untuk membuka sekolah kembali akan memperlihatkan “test case” selanjutnya bagi untuk membuktikan apakah layanan edtech tetap relevan dan kredibel di tahun depan. Hal ini terutama untuk menyediakan akses internet dan konten terjangkau bagi segmen pengguna di luar Jawa yang di pedesaan dan wilayah perbatasan.

Selain itu, tahun depan juga dapat menjadi momentum bagi pelaku edtech lama dan baru untuk mengembangkan konten dengan jenis dan biaya yang lebih variatif. Terlebih, saat ini belum banyak layanan edtech yang bermain di ranah gamifikasi, khususnya untuk anak SD.

Sejauh ini, startup edtech memiliki segmen pasar beragam mulai dari SD sampai SMA perkuliahan, atau segmen karyawan dengan menawarkan akses gratis selama periode tertentu hingga akses premium pada konten-konten interaktif, video-on-demand, dan private tutor.

DSResearch melalui Edtech Report 2020 mengungkap bahwa koneksi internet masih menjadi tantangan terbesar (81,2%) pengguna dalam belajar, disusul akses terhadap konten berbayar (49,4%), pemahaman bahasa Inggris (39,2%), dan ketersediaan perangkat (38,4%).

Selain itu, sebanyak 70 persen responden bersedia membayar layanan edtech dengan rentang di bawah Rp50ribu/bulan (12,6%), Rp50ribu-1 juta/bulan (35,3%), Rp1 juta-2,5 juta/bulan (24,6%), Rp2,5 juta-5 juta/bulan (17,8%), dan di atas Rp5 juta/bulan (9,7%).