DataHub.id Permudah Survei Pertanian, Lakukan Pendataan Lapangan Berbasis Aplikasi

Kegiatan riset untuk berbagai kebutuhan kini semakin mudah dengan solusi pendataan lapangan berbasis aplikasi. Setelah satu tahun berjalan, PT 8Villages Indonesia akhirnya meresmikan kehadiran DataHub yang menawarkan solusi pendataan lapangan secara real time.

PT 8Villages Indonesia merupakan startup yang bergerak di bidang TIK dengan visi memodernisasi dunia pertanian. Selain DataHub.id, perusahaan juga mengembangkan social network Layanan Informasi Desa (LISA) dan Rego Pantes yang merupakan layanan jual-beli produk pertanian.

Head of DataHub.id Gia Pratama mengatakan, saat ini DataHub.id fokus untuk sektor di riset pertanian. Sektor ini dipilih karena perusahaan memiliki visi untuk mendorong sektor pertanian di Indonesia. Apalagi, menurut data Badan Pusat Statistik periode 2003-2010, Indonesia telah kehilangan sebanyak 5,1 juta petani.

“Kami punya visi untuk memodernisasi sektor pertanian di Indonesia, maka itu perlu sentuhan teknologi dengan solusi pendataan lapangan DataHub.id,” ujar Gia ditemui di Media Briefing DataHub.id.

Gia memaparkan ada sejumlah masalah yang acap kali ditemui saat pendataan di lapangan terjadi. Misalnya, rendahnya kualitas data akibat manipulasi, validasi, dan salah input. Kendala lainnya adalah sulitnya memonitor kinerja tim di lapangan serta tingginya biaya dan yang dibutuhkan dalam mengolah data dalam bentuk digital.

Kehadiran DataHub.id diharapkan dapat mempermudah kegiatan riset karena pengumpulan data tidak lagi menggunakan material kertas. Semua informasi dicatat di aplikasi dan tanpa koneksi internet. Solusi ini dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan bisnis maupun studi akademis, mulai dari institusi, komunitas, hingga mahasiswa.

Keuntungan lainnya adalah tim yang melakukan riset dapat dimonitor, hasil riset dapat dilaporkan secara otomatis, serta DataHub.id dapat digunakan dengan kustomisasi (white label) baik dari sisi flow, laporan, fitur, hingga logo.

“Kami akan mengembangkan sistem cerdas yang dapat menjadi standar agar dapat di-push ke tim kapangan. Selain itu, kami juga membekali pelatihan aplikasi kepada 300 penyuluh lapangan dan administrasi dari pemerintah,” tambah Gia.

Perlu diketahui, pengumpulan data memang dilakukan menggunakan aplikasi (mobile-based). Sementara pengolahan data dapat diakses lewat situs web (web-based). Dalam mengakses pengeolahan data, DataHub.id menyediakan dashboard yang  juga dapat menunjukkan perkembangan distribusi data di lapangan secara real-time.

Saat ini, DataHub.id sudah digunakan Komunitas Lada di wilayah pertanian Bangka Belitung untuk memonitor standar pertanian yang berdampak terhadap pada kualitas hidup para petaninya dan juga untuk mengukur efektivitas asuransi petani jagung di Dompu, Nusa Tenggara Barat.

Mencari model bisnis

Gia menuturkan, pihaknya masih mencari model yang tepat untuk bisa memonetisasi bisnisnya. Saat ini, DataHub.id menjalankan bisnisnya berbasis proyek yang diterima (project based). Ada insentif diberikan kepada para penyuluh dan surveyor.

Ia mencontohkan, untuk proyek dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), penyuluh mendapatkan insentif apabila mencapai target, meskipun mereka sebetulnya telah mendapat gaji dari pemerintah. Untuk non penyuluh, insentif yang diberikan berdasarkan per data yang masuk.

“Kami sedang mencari model bisnis yang tepat, makanya saat ini kami masih berjalan dari proyek. Apabila dari proyek-proyek ini, kami menemukan temuan baru, seperti fitur, kami mau kembangkan sistem yang independen,” tutur Gia.

Application Information Will Show Up Here

Venturra Discovery Bidik Pendanaan Startup Tahap Awal hingga Pra-Seri A

Pemodal ventura (VC) naungan Lippo Group, Venturra Capital, resmi meluncurkan anak usaha Venturra Discovery yang akan fokus pada pendanaan startup tahap awal (seed funding) hingga pra-seri A di Asia Tenggara.

Ditemui saat peluncurannya, Direktur Lippo Group John Riady mengungkapkan bahwa peluncuran Venturra Discovery membuka lebih banyak kesempatan bagi perusahaan untuk lebih aktif pada pendanaan startup tahap awal di Indonesia.

“Kami sangat beruntung bisa berkontribusi terhadap perkembangan Indonesia karena kami lihat potensi untuk lebih aktif tak hanya pada pendanaan Seri A dan B saja, tetapi di tahap awal. Kami tak sabar melihat hasilnya dalam beberapa tahun ke depan,” ungkap John.

Alasan lain Venturra Discovery diluncurkan adalah adanya gap pendanaan yang jauh antara VC di tahap awal dan tahap seri A ke atas. Berdasarkan data yang dikutip Venturra Capital, kondisi VC yang fokus pada pendanaan tahap awal di 2014, mampu menyuntik $50 ribu-500 ribu per satu perusahaan. Namun, gap besar lebih terasa pada VC di tahap seri A dan seterusnya.

Kondisi ini berbalik di 2018 di mana saat ini VC yang fokus di seri A bisa mengucurkan $1-3 juta per investasi. Gap besar justru dialami oleh VC yang aktif pada pendanaan tahap awal hingga pra-seri A.

Tech ecosystem dulu belum siap, tetapi industri teknologi dalam tahun terakhir ini bertumbuh pesat. Tentu akan ada banyak masalah yang ingin diatas, makanya kami bekerja sama dengan lebih banyak founder,“ jelas Managing Partner Venturra Capital, Rudy Ramawy.

Untuk itu Venturra Discovery fokus terhadap pendanaan startup tahap awal hingga pra-seri A di Asia Tenggara. Perusahaan membidik target sebanyak 30-40 portfolio dengan besaran per investasi berkisar $200 ribu-500 ribu. Total investasi yang disiapkan adalah sebesar $15 juta (sekitar 223 miliar Rupiah), murni dari kantong Lippo Group.

“Kami ingin investasi ke sektor agnostik. Saat ini sudah lima (deal), yakni 1 perusahaan healthcare, 2 consumer, 1 enterprise solution, dan 1 inkubator. Ini momen tepat untuk akselerasi, dan kami ingin fill the gap dengan peluncuran VC ini,” tambah Partner Venturra Discovery Raditya Pramana.

Venturra Capital pertama kali berdiri pada 2015 dengan investasi awal $150 juta. Hingga saat ini tercatat, Venturra telah menyalurkan investasi untuk pendanaan sebesar $600 juta dengan pertumbuhan sejak investasi pertamanya sebesar 3,1 kali.

VC independen ini telah menyuntik investasi ke berbagai perusahaan di Asia Tenggara, antara lain Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Vietnam. Tercatat sudah ada 22 perusahaan yang telah menerima pendanaan Venturra, termasuk Ruang Guru, Fabelio, dan Medigo.

Telkom Digs for Acquisition of Gaming, E-Commerce, and Big Data Startups

PT Multimedia Nusantara or Metranet, Telkom’s subsidiary, intends to place an investment through major shares acquisition of startups engaged in gaming, e-commerce, and big data. The company is currently amidst the exploration stage in those three businesses.

Widi Nugroho, Metranet’s CEO, said those three are local and global companies but refuse to give further details.

“Yes, [we are to acquire] major shares in Startups [gaming, e-commerce, and big data]. Startups [to acquire] have shown a good financial performance in the past three years. Currently on progress [due diligence],” he told DailySocial in a short message.

Telkom already has Blanja.com in its e-commerce line as a joint venture with eBay. Still, he admitted this acquisition will extend Blanja.com position in Indonesia’s e-commerce industry.

“There are many E-commerce business models, such as Business-to-Consumer (B2C), Business-to-Business (B2B), and Business-to-Government (B2G). It can be a marketplace, vertical commerce, online store. In various forms, including back-end, platform, and so on. The ones we’ll purchase are to support Blanja.com,” he explained.

Chiefly, Metranet has finalized its first acquisition last August by taking over 30.4 percent shares in Cellum Global Zrt, a Hungary-based fintech company. Quoted from BeritaSatu, Telkom pours $6 million funding (around IDR 90 billion) in two stage of equity participation.

Metranet is currently focused on digital content business (gaming, music, and video), advertising, smart platform, and financial service (fintech). It goes along with Telkom’s commitment to dominate the digital business industry in Indonesia and Southeast Asia, in addition to connectivity business.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Telkom Jajaki Akuisisi Startup Games, E-commerce, dan Big Data

PT Multimedia Nusantara atau Metranet, anak usaha Telkom, berniat menyuntik investasi lewat pembelian mayoritas saham startup di bidang games, e-commerce, dan big data. Saat ini, perusahaan tengah melakukan penjajakan di ketiga kategori bisnis tersebut.

CEO Metranet Widi Nugroho mengatakan ketiga startup ini berasal dari dalam dan luar negeri, namun ia enggan menyebutkan detailnya.

“Ya, [kami ingin caplok] mayoritas saham startup [games, e-commerce, dan big data). Startup [yang akan diakuisisi] sudah menunjukkan performa finansial yang bagus dalam tiga tahun terakhir. Saat ini dalam proses [due diligence],” ungkap Widi dalam pesan singkat kepada DailySocial.

Sebetulnya, di lini e-commerce, Telkom sudah memiliki Blanja.com yang merupakan bentuk perusahaan patungan (joint venture) antara Telkom dengan eBay. Namun, Widi mengaku akuisisi ini akan memperkuat posisi Blanja.com di industri e-commerce Indonesia.

“Model bisnis e-commerce bermacam-macam, seperti Business-to-Consumer (B2C), Business-to-Business (B2B), dan Business-to-Goverment (B2G). Bisa marketplace, vertical commerce, online store. Ada yang bentuknya back-end, platform, dan sebagainya. Yang akan kami beli akan memperkuat Blanja.com,” jelas Widi.

Sebelumnya Metranet sudah lebih dulu merampungkan akuisisi pertama pada Agustus lalu dengam mengambil alih 30,4 persen saham Cellum Global Zrt, perusahaan fintech asal Hungaria. Dikutip dari BeritaSatu, Telkom mengucurkan dana sebesar $6 juta (sekitar 90 miliar Rupiah) dalam dua tahap penyertaan saham.

Saat ini Metranet fokus terhadap pilar bisnis digital content (games, musik, dan video), advertising, smart platform, dan layanan jasa keuangan (fintech). Fokus bisnis ini sejalan dengan komitmen Telkom untuk menguasai bisnis digital di Indonesia dan Asia Tenggara, tak cuma melalui bisnis konektivitas.

Monk’s Hill: “Funding Gap” Picu Pendiri Startup Asia Tenggara Jual Perusahaannya Lebih Cepat

Selain perkembangan startup di 2017, Monk’s Hill Ventures dalam laporan terbarunya yang bertajuk The State of Southeast Asia Tech Report 2018 juga menyoroti terjadinya gap pada pendanaan (funding gap) industri startup Asia Tenggara, khususnya dari Seri A ke Seri B dan selanjutnya, dalam beberapa tahun terakhir. Gap itu disebut memicu penjualan perusahaan lebih cepat.

Menurut Director Mountain Partners Malaysia AJ Azizuddin, pendanaan startup di Asia Tenggara sebetulnya sangat berkembang, tetapi masih ada gap besar. Misalnya, pendanaan untuk Seri A banyak dan merata, namun perbedaannya sangat jauh dengan pendanaan di Seri B dan C.

“Ini artinya ada banyak hal yang perlu dilakukan oleh venture capital (VC) dalam melihat situasi ini,” ungkap Azizuddin.

Sepanjang 2017 pendanaan putaran awal (seed) diberikan sebanyak 148 kali, putaran Seri A sebanyak 55 kali, sedangkan Seri B hanya 23 kali.

Partner Golden Gate Ventures Michael Lints mengakui, adanya gap pada putaran pendanaan, khususnya antara Seri A dan B. Menurut Lints, gap ini membuat startup jadi terlalu cepat untuk diakuisisi perusahaan lain.

“Saya rasa bakal butuh tiga tahun atau lebih sebelum kawasan Asia Tenggara mengalami banyak aksi exit, apalagi kalau melihat dari bertumbuhnya kawanan startup unicorn. Lihat saja data global, butuh tujuh hingga delapan tahun sebelum perusahaan mampu menciptakan nilai dari pemegang saham yang sesungguhnya,” papar Lints.

Data startup yang exit di tahun 2017

Di laporan ini, Monk’s Hill juga menyoroti fenomena exit atau situasi ketika sebuah startup dicaplok dalam bentuk merger atau akuisisi (M&A). Dalam tiga tahun terakhir, jumlah startup yang exit dilaporkan semakin meningkat di Asia Tenggara.

Startup “exits” di Asia Tenggara di 2013-2018
Startup “exits” di Asia Tenggara di 2013-2018

Tercatat hanya ada sembilan startup secara resmi melakukan Initial Public Offering (IPO) di Asia Tenggara di tahun 2017, sementara 155 startup lainnya diakuisisi di periode yang sama. Berdasarkan data periode 2013-2018, tren akuisisi semakin meningkat.

Startup yang menjadi perusahaan publik lewat IPO mengalami tren naik turun selama periode 2013-2018. Tercatat ada 37 IPO di 2013, kemudian turun di 2014 (11 buah) dan 2015 (8 buah). Tren startup IPO naik lagi menjadi 13 buah di 2016, lalu turun di 2017 (9 buah).

CEO 1337 Ventures Bikesh Lakmichan menyebutkan, langkah exit melalui proses M&A akan terus berlanjut ke depannya. Hingga Juni 2018, sudah ada 64 akuisisi dan diperkirakan mencapai 121 akuisisi di sepanjang tahun ini.

“Banyak startup yang percaya diri untuk memulai langkah baru dengan akuisisi. Saya pikir tantangan pada valuasi menjadi faktor utama banyak startup yang menunda untuk exit. Tidak semua exit didominasi oleh Tiongkok. Saya rasa kita perlu melihat firma private equity global masuk ke permainan ini,” ungkap Lakmichan.

Raih Pendanaan Pra-Seri A, Member.id Siapkan “Loyalty Wallet” Berbasis Blockchain di Awal 2019

Member.id mengumumkan perolehan dana Pra-Seri A dengan jumlah yang tak bisa disebutkan. Dalam keterangan resminya, perolehan pendanaan ini dipimpin oleh East Ventures, diikuti Ace Capital, dan beberapa angel investor yang tak bisa disebutkan namanya.

Sesuai komitmennya, dana tersebut akan digunakan untuk mengakselerasi pengembangan produk baru dalam meningkatkan pengalaman pelanggan dan membuka peluang bisnis lebih banyak di industri loyalitas Indonesia.

Chief Strategy Officer Member.id Robert Tedja mengatakan, kehadiran big data, machine learning, dan data science kini berpotensi besar dalam menciptakan nilai lebih bagi bisnis dan konsumen melalui program loyalitas kuat.

“Apalagi kemunculan blockchain telah membuka peluang besar dalam mengintegrasi lanskap loyalitas dan menekan inefisiensi pada sistem loyalitas yang sudah ada,” ujar Robert.

Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menambahkan, hanya sedikit perusahaan di Indonesia yang investasinya efektif untuk mengetahui preferensi konsumen perilaku. Hal ini juga yang membuat loyalitas konsumen hanya sebatas mitos di Indonesia.

“Kami yakin Member.id telah memikirkan pendekatan yang tepat untuk membantu brand mengonstruksi dan mengeksekusi strategi loyalitas yang efektif untuk keuntungan yang lebih optimum bagi perusahaan dan individual,” tuturnya.

Sesuai rencana, Member.id akan melebarkan sayap bisnisnya ke Business-to-Consumer (B2C) dengan meluncurkan produk e-wallet berbasis blockchain.

Bukan sekadar e-wallet, Co-Founder dan CEO Member.id Marianne Rumantir kepada DailySocial mengungkapkan produk ini akan berfungsi sebagai dompet pengoleksi poin loyalitas yang dikumpulkan pelanggan. Poin-poin tersebut bahkan bisa menjadi “currency” karena dapat langsung ditukarkan.

”Pengguna bisa redeem dan track poin yang mereka kumpulkan dari semua transaksi, mau itu poin dari airline, e-commerce, atau travel. Mereka juga bisa transfer atau convert poin loyalitas dari merchant berbeda,” ujar Marianne.

Menurut Marianne, saat ini Indonesia masih minim informasi mengenai cara mengecek hingga menukarkan poin. Ia menilai saat ini belum ada aplikasi semacam itu di Indonesia. Ia mengklaim produk ini akan menjadi “loyalty wallet” pertama di Asia Tenggara.

Menariknya, wallet ini akan menggunakan teknologi blockchain untuk mendukung proses verifikasi dan restore informasi saat pengguna melakukan transfer atau convert poin ke merchant lain. Teknologi ini dipilih karena efisien dan dapat menekan potensi manipulasi poin pelanggan.

”Misal saya mau transfer poin dari Garuda ke Citibank, it may take five days. Verifikasinya jadi lama. Prosesnya lama karena bank itu tidak saling terkoneksi host-to-host-nya. Dengan blockchain, proses bisa lebih real time dan lebih aman,” jelasnya.

Model bisnisnya adalah setiap transaksi akan dikenakan fee. Sementara itu, pihaknya kini masih melakukan pengembangan produk. Ia menargetkan wallet ini tersedia secara komersial pada awal 2019.

Saat ini portfolio layanan Member.id masih bersifat Business-to-Business (B2B). Member.id membuat (design), mengembangkan (build), dan mengelola (operate) program loyalitas dari perusahaan klien.

Berbagai perusahaan yang ditangani Member.id juga bervariasi, mulai dari perusahaan berskala menengah hingga besar dengan perjanjian jangka panjang 3-5 tahun. Hingga saat ini, total transaksi Member.id kini telah mencapai lebih dari 45 juta poin.

“Sekarang kami juga banyak menarik [klien] dari small medium enterprise karena mereka menganggap loyalitas konsumen itu penting untuk semua ukuran bisnis. Dan ini bisa diraih dengan memiliki program loyalitas yang tepat,” tambah Marianne.

Luncurkan situs edukasi program loyalitas

Lebih lanjut, Marianne mengungkap bahwa tantangan terbesar dalam menjalankan bisnis ini ada pada edukasi pasar. Menurutnya, saat ini masyarakat Indonesia banyak yang belum mengetahui atau memahami keuntungan dan cara kerja program loyalitas pelanggan.

“Solusi dari kami adalah membantu menciptakan sarana dan sumber untuk mengedukasi masyarakat. Maka itu, kami meluncurkan website yang kami sebut bakal menjadi Indonesia’s first points-hacking source,” tuturnya.

Siapa saja dapat berkontribusi untuk menulis di situs tersebut. Tak hanya menulis tips mendapatkan poin, mereka juga dapat menyediakan tips tunggal dari setiap merchant, seperti penerbit kartu kredit dan perbankan di Indonesia.

Dengan kata lain, situs ini akan menjadi situs pertama di Indonesia yang menyediakan beragam informasi lengkap mengenai cara mendapatkan, mengumpulkan, dan menukarkan poin dari berbagai merchant, mulai dari perbankan, penerbangan, e-commerce, hingga penyedia jasa perjalanan.

“Di internet, belum ada (situs) yang menyediakan informasi lengkap seperti ini. Biasanya untuk cari tahu, pelanggan harus telepon ke customer service. Jadi lama dan tidak efisien,” kata Marianne.

Hingga kini, Member.id telah mengelola program loyalitas sejumlah perusahaan, termasuk di antaranya Ismaya Group, Djarum Group, Garuda Indonesia, The Union Group, Syah Establishment, Hotel Monopoli, hingga Artotel Group.

Monk’s Hill: Sektor Logistik dan E-commerce Mendominasi Investasi Startup Asia Tenggara

Bisnis e-commerce dan logistik dapat dikatakan tumbuh subur di Asia Tenggara. Dalam survei terbaru The State of Southeast Asia Tech Report 2018 yang dirilis Monk’s Hill Ventures, e-commerce dan logistik menjadi dua sektor emas yang menopang ekonomi digital di Asia Tenggara.

Bukti bahwa bisnis e-commerce dan logistik merajai industri startup di kawasan ini terlihat dari kencangnya kucuran pendanaan dari pemodal ventura (VC). Laporan mengungkap pendanaan selama tiga kuartal di sepanjang 2017 mengalir ke startup eCommerce dan logistik.

Menariknya, dominasi pendanaan  disumbang mega investasi yang diterima layanan Grab dan Tokopedia. Kedua startup asal Singapura dan Indonesia ini memecahkan rekor peraihan dana terbesar dari VC yang pernah ada di sektor logistik dan e-commerce.

“Secara kolektif, Grab dan Tokopedia mengantongi $3,1 miliar atau dua pertiga dari total pendanaan dalam dolar AS yang pernah disuntik ke sejumlah startup e-commerce dan logistik di Asia Tenggara,” demikian menurut laporan ini.

Di sepanjang 2017, logistik (dan transportasi) menjadi sektor yang meraih pendanaan tertinggi di Asia Tenggara dengan mengantongi sebesar $2,7 miliar, sedangkan e-commerce sebesar $2,1 miliar.

Pendanaan lainnya diperoleh dari sektor gaming ($557 juta), business and industry ($340 juta), recreation ($233 juta), information and technology/IT ($188 juta), tours ($153 juta), shopping ($122), financial services ($107 juta), dan mobile platform ($105 juta).

Namun bagi VC, cryptocurrency atau mata uang virtual paling menarik perhatian dalam beberapa tahun terakhir. Popularitas produk blockchain ini belakangan tampaknya cukup menghipnotis banyak VC untuk mendanai Initial Coin Offerings (ICO).

“Yang menjadi primadona di kalangan VC belakangan ini justru cryptocurrency sehingga memicu banyaknya aksi ICO di Asia Tenggara,” ungkap survei ini.

Investasi ICO di 2017 didominasi Singapura oleh Quoine, TenX, dan Kyber Network dengan pendanaan masing-masing sebesar $105 juta, $80 juta, dan $60 juta. Banyaknya ICO di Singapura juga turut dipicu oleh pelaku ICO lain yang tak bisa melakukannya di Tiongkok dan Korea Selatan karena kebijakan ketat.

Secara keseluruhan, pendanaan startup di Asia Tenggara sepanjang 2017 telah mencapai $415,2 miliar (sekitar Rp 6,1 triliun). Sementara pendanaan yang mengalir di 2018 (per Juni) baru mencapai $53,8 juta (Rp 797,1 miliar).

The State of Southeast Asia Tech Report 2018 mengulas tentang overview ekosistem teknologi enam negara di Asia Tenggara, antara lain Singapura, Indonesia, Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Thailand. Sebanyak 100 koresponden berpartisipasi dalam survei ini, mulai dari pelaku startup, investor, VC, hingga enterpreneur.

Sorotan utama industri startup Asia Tenggara

Laporan ini juga merangkum sejumlah kesepakatan strategis yang mendorong pertumbuhan luar biasa industri startup di Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir. Sepanjang 2017 menyoroti sejumlah aktivitas strategis dari para investor, VC, dan pelaku startup, baik dari sisi pendanaan, ekspansi, maupun akuisisi.

Misalnya, Tokopedia meraup pendanaan sebesar $1,1 miliar di 2017. Kemudian Bukalapak menjadi unicorn ketujuh di Asia Tenggara dengan valuasi $1 miliar menyusul rekanan startup Indonesia yang sudah lebih dulu, yakni Go-Jek ($5 miliar), Tokopedia (undisclosed, pendanaan $1,3 miliar di Agustus 2018 melampaui valuasi sebelumnya $1 miliar), dan Traveloka ($2 miliar).

Sorotan lainnya adalah investasi $1,5 miliar yang diterima Go-Jek untuk mendanai ekspansinya ke Vietnam, Thailand, Singapura, dan Filipina. Di luar Indonesia, Uber angkat kaki dari Asia dan diakuisisi oleh Grab, dan investasi terbesar sepanjang sejarah pendanaan di Asia Tenggara, yakni $2 miliar dari Didi Chuxing dan Softbank kepada Grab.

Mengacu pada pertumbuhannya, para koresponden mengaku optimistis dengan pertumbuhan ekosistem startup di Asia Tenggara dalam 1-2 tahun terakhir meskipun ada perbedaan persepektif terhadap tren pertumbuhan industri startup di keenam negara tersebut.

“Indonesia, Vietnam, Singapura, dan Malaysia adalah negara di kawasan Asia Tenggara di mana pertumbuhan di industri teknologi terjadi. Sementara sektor yang berpotensi tumbuh itu perbankan, finance services, fintech, eCommerce, dan IoT,” ungkap Head of Funding Ecosystem MDEC Balasubramaniam dalam laporannya.

Bagi VC dan investor, mereka meyakini akan ada peluang pertumbuhan signifikan di Indonesia, sedangkan para founder startup optimistis dengan pasar Vietnam. Demikian juga di negara lainnya, termasuk Thailand, yang dinilai punya peluang besar bagi community builder.

Monk’s Hill: Indonesia dan Singapura Dominasi Unicorn di Asia Tenggara

Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan yang memiliki pertumbuhan startup menjanjikan. Pertumbuhan ini tak lepas dari perkembangan teknologi di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand.

Namun, hingga pertengahan 2018 ini, Indonesia dan Singapura menjadi dua negara di kawasan Asia Tenggara yang berhasil mencetak unicorn atau status bagi startup yang memiliki valuasi lebih dari $1 miliar.

Sebagaimana dikutip dari The State of Southeast Asia Tech Report 2018, tercatat ada delapan unicorn di Asia Tenggara dengan valuasi $1-10 miliar. Baik Indonesia dan Singapura masing-masing mencetak empat unicorn.

Secara rinci, dari Indonesia ada Bukalapak (di atas $ 1 miliar per Januari 2018), Traveloka ($2 miliar), Tokopedia (undisclosed, pendanaan $1,3 miliar di Agustus 2018 mendorong valuasi sebelumnya sebesar $1 miliar), dan Go-Jek ($5 miliar).

Sedangkan dari Singapura ada Grab ($10 miliar), Lazada ($3,15 miliar), Razer ($1,98 miliar per Agustus 2018), dan Sea ($4,90 miliar pasca-IPO pada Agustus 2018). “Capaian ini termasuk signifikan bagi kawasan Asia Tenggara dalam menghasilkan startup unicorn dibandingkan kawasan Asia secara keseluruhan,” ungkap laporan tersebut.

Menurut data Crunchbase, hanya ada tiga unicorn di Korea Selatan, kemudian masing-masing satu di Jepang, Australia, dan Hong Kong, 10 unicorn di India, dan tentu saja Tiongkok mendominasi dengan 90 unicorn. Ini menunjukkan potensi besar startup di Asia Tenggara untuk menjadi unicorn.

Di balik pencapaian ini, tentu ada sejumlah aksi strategis terjadi sehingga mendorong deretan startup di atas meraih gelar unicorn. Misalnya, Uber angkat kaki dari Asia Tenggara dan bisnisnya di regional akhirnya dicaplok Grab.

Tepat pada awal Agustus lalu, Grab mengantongi dana segar senilai Rp29 triliun dari berbagai investor, termasuk Toyoto Motor Corp senilai $1 miliar. Ini membuat valuasi Grab menjadi $11 miliar. Dana ini pun bakal digunaka untuk menguasai pasar ride-hailing di Asia Tenggara.

Selanjutnya, ambisi Go-Jek menjadi “super app” agar setiap orang dapat melakukan apa saja dengan satu aplikasi, juga turut mendorong pemodal ventura (VC) untuk mendanai ekspansi dan pengembangan bisnis mereka di masa depan.

Demikian juga langkah strategis yang diambil Razer, menjadi salah satu indikator kesuksesannya meraih gelar unicorn. Semula startup ini masuk ke bisnis penyediaan aksesoris komputer. Razer akhirnya menuai kesuksesan berkat fokus pada niche market, yaitu di penjualan mouse komputer dan keyboard untuk gamer.

“Setiap unicorn di Asia Tenggara punya cerita kesuksesan sendiri. Namun, founder yang menggerakan bisnis dengan ambisius dan agresif turut andil dalam pencapaiannya meraih status unicorn. Mereka berhasil meyakinkan VC agar mendanai startup untuk ekspansi dan pengembangan,” demikian penjelasan laporan tersebut.

Bagi Bukalapak, rencana Bukalapak mendirikan pusat riset dan pengembangan (R&D) di Bandung membawa perusahaan menyandang status barunya sebagai startup unicorn pada Januari 2018 lalu.

Ada pula Traveloka yang sahamnya dibeli raksasa travel online dunia Expedia senilai $350 juta (lebih dari Rp4,6 triliun). Aksi ini dilakukan agar Expedia bisa menyaingi rivalnya Priceline. Dana tersebut menjadikan Traveloka sebagai startup unicorn pertama di industri travel online Indonesia dengan valuasi lebih dari $2 miliar.

Tokopedia juga gencar ekspansi pasca-pendanaan yang diterimanya dari Alibaba Group dengan nilai lebih dari Rp14 triliun pada tahun lalu. Menurut riset Financial Times, Tokopedia berhasil memperkuat posisinya di Pulau Jawa di mana area ini menjadi pasar terbesar eCommerce di Indonesia.

Ministry Regulation Regarding IoT to be Issued by the End of this Year, Connectivity as the Main Focus

The government, through the Ministry of Communication and Information (Kemkominfo), targeting the regulation regarding Internet of Things (IoT) industry to be issued by the end of 2018. It was meant to give legal guarantee for IoT industry players in the future.

However, IoT’s regulation draft is currently on its way to the Kemkominfo’s Legal Department and waiting for the government to make public trial to collect opinions from related stakeholders.

“Regarding public trial, we haven’t decided yet. However, the regulation to be issued will be in the form of Ministry Regulation (Permen),” I Ketut Prihadi Kresna, Indonesia’s Telecommunication Regulatory Department, said in a short statement to DailySocial.

IoT regulation will be focused on the connectivity element. There are three main points to regulate, technology, frequency, and standardization of IoT devices. Those are considered to be the most fundamentals in determining the objective of Indonesia’s IoT ecosystem development in the future.

M. Hadiyana, Kemkominfo’s SDPPI Director General, said that they will hold a trial in unlicensed frequencies to ensure no interference with telco operator’s frequency.

It’s the most awaited moment of IoT industry players in Indonesia using Low Power Wide Area (LPWA) technology, such as DycodeX. In fact, the government will control the kinds of technology to support IoT devices in Indonesia, either using 3GPP, non-3GPP, and non-satellite.

In terms of 3GPP-based devices, the supporting technologies are 2G/3G/4G/5G/NB-IoT. For non-2GPP and non-satellite devices, there are LPWA using LoRa and Sigfox technology, also Short Range Devices (SDR), such as Bluetooth, WiFi, and Zigbee.

The spectrum allocation for IoT device connection will be set based on licensed and unlicensed frequencies. The licensed ones consist of; Band 1 (2.100MHz), Band 3 (1.800MHz), Band 5 (800MHz), Band 8 (900mHz), Band 31 (450mhZ), and Band 40 (2.300MHz). In the unlicensed category, we have 2,4GHz and 5,8GHz.

TKDN is not yet a concern in IoT policies

The government doesn’t want to include a policy on Domestic Components (TKDN) in IoT Regulation. The thing is, the device market value as predicted of IDR 56 trillion is far less than the estimated content and application market value of IDR 192,1 trillion by 2022 according to Indonesia’s IoT Forum research.

“TKDN will not be regulated because the IoT devices market value in Indonesia is still lower than its app market. Later, when domestic device industry has developed and ready to take an opportunity in the Indonesian market, we can apply the TKDM policy,” he added.

Once it’s being regulated, the government ensures TKDN will not be applied to the manufacturing process but also from the product designing. TKDN percentage will be upgraded according to the industrial condition, therefore the domestic component industry will grow along.

While waiting for the industry to develop, the government encouraged for the rise of IoT maker in the area through the development of IoT lab facility in 2019. It’ll be a place for the makers to develop products and facilitate its commercialization in the future.

In the IoT roadmap presentation, this facility will be attached with 2G/3G/LTE/NB-IoT/LoRa technology with trial equipment for IoT solution. In the program development and implementation, the government expects a collaboration of relevant stakeholders, from telecommunication companies, universities, and communities.

Specifically, there are many activities to do in IoT lab. The maker can do prototyping, IoT device trials, exchanging insights, training, and incubation, including meetings between producers and customers.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Peraturan Menteri tentang IoT Terbit Akhir Tahun, Konektivitas Jadi Fokus Utama

Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), menargetkan aturan terkait industri Internet of Things (IoT) segera terbit pada akhir 2018. Kebijakan ini diharapkan dapat memberi kepastian hukum terhadap pelaku industri IoT di masa depan.

Adapun, saat ini draf regulasi IoT telah diserahkan ke Bagian Hukum Kemkominfo dan tinggal menunggu pemerintah membuka uji publik untuk meminta berbagai masukan dari para pemangku kepentingan (stakeholder) terkait.

“Soal uji publik, kami belum tahu kapan akan dilakukan. Tapi, aturan IoT yang diterbitkan nanti dalam bentuk Peraturan Menteri [Permen],” kata anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi Kresna dalam pesan singkatnya kepada DailySocial.

Regulasi IoT sendiri akan fokus terhadap elemen konektivitas. Ada tiga poin utama yang akan diatur di dalamnya, yaitu teknologi, frekuensi, dan standardisasi perangkat IoT. Ketiganya dianggap menjadi fundamental utama dalam menentukan arah pengembangan ekosistem IoT Indonesia di masa depan.

Dirjen Standardisasi Perangkat dan Pos Informatika Kemkominfo M. Hadiyana menambahkan, pihaknya juga akan menggelar uji coba (trial) di frekuensi tak berlisensi untuk memastikan tidak adanya interferensi dengan frekuensi milik operator telekomunikasi.

Hal ini paling ditunggu pelaku bisnis IoT di Indonesia yang menggunakan teknologi Low Power Wide Area (LPWA), seperti DycodeX. Sebagaimana diketahui, pemerintah akan mengatur jenis teknologi yang dapat mendukung perangkat IoT di Indonesia, baik yang memanfaatkan 3GPP, non-3GPP, dan non-satelit.

Untuk perangkat berbasis 3GPP, teknologi yang mendukung antara lain 2G/3G/4G/5G/NB-IoT. Sementara non-3GPP dan non-satelit yakni LPWA dengan teknologi LoRa dan Sigfox, serta Short Range Device (SDR), seperti Bluetooth, WiFi, dan Zigbee.

Alokasi spektrum untuk koneksi perangkat IoT juga akan diatur berdasarkan frekuensi berlisensi maupun tidak berlisensi. Frekuensi berlisensi terdiri dari; Band 1 (2.100MHz), Band 3 (1.800MHz), Band 5 (800MHz), Band 8 (900mHz), Band 31 (450mhZ), dan Band 40 (2.300MHz). Di kategori tidak berlisensi, terdapat frekuensi 2,4GHz dan 5,8GHz.

“Untuk layanan IoT dengan teknologi Low Power Wide Area, kami akan lakukan trial pada frekuensi 919MHz-925MHz pekan depan,” tutur Hadiyana kepada DailySocial.

TKDN belum akan diatur dalam kebijakan IoT

Pemerintah belum mau menyertakan kebijakan mengenai Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dalam Permen IoT. Alasannya, nilai pasar perangkat yang diprediksi Rp56 triliun kalah jauh dari estimasi nilai pasar konten dan aplikasi yang sebesar Rp192,1 triliun menurut riset Indonesia IoT Forum di 2022.

“TKDN tidak akan diatur karena nilai pasar perangkat IoT di Indonesia masih kecil jika dibandingkan nilai pasar aplikasi. Nanti ketika industri perangkat dalam negeri sudah berkembang dan siap memanfaatkan peluang pasar Indonesia, kami bisa saja memberlakukan kebijakan TKDN,” jelas Hadiyana.

Apabila diatur, pemerintah memastikan TKDN dihitung tak hanya proses manufaktur saja, tetapi juga sejak proses perancangan produk terjadi. Persentase TKDN juga akan dinaikkan sesuai dengan kondisi industri agar industri komponen dalam negeri juga tumbuh.

Sambil menunggu industrinya berkembang, pemerintah mendorong inisiasi lahirnya lebih banyak maker IoT di Tanah Air melalui pembangunan fasilitas laboratorium IoT di 2019. Lab IoT ini akan menjadi wadah bagi maker untuk melakukan pengembangan produk sehingga mempermudah komersialisasi produknya di masa depan.

Dalam paparan roadmap IoT, fasilitas ini akan dilengkapi teknologi 2G/3G/LTE/NB-Iot/LoRa beserta perangkat uji coba solusi IoT. Dalam pembangunan dan pelaksanaan program di dalamnya, pemerintah mengharapkan kolaborasi pemangku kepentingan terkait, mulai dari perusahaan telekomunikasi, universitas, dan komunitas.

Secara spesifik, banyak kegiatan yang dapat dilakukan di lab IoT. Maker dapat melakukan prototyping, pengujian perangkat IoT, pertukaran ilmu, pelatihan dan inkubasi, termasuk terciptanya pertemuan antara produsen dan pengguna.