Donald Wihardja: Dari Konsultan Bisnis hingga Peran Nyata Membangun Ekosistem Investasi Teknologi di Indonesia

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Donald Wihardja memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun dalam menerapkan teknologi untuk berbagai industri, dari telco hingga perbankan hingga web startup, sebagai manajer, penasihat, konsultan, manajer investasi, dan wirausahawan di Indonesia. Dirinya percaya untuk bisa membangun ekosistem investasi teknologi, seseorang harus memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam melakukan bisnis teknologi.

Beliau sempat memulai perjalanan dengan salah langkah. Ia meninggalkan Silicon Valley pada tahun 1995 dengan keyakinan bahwa Indonesia siap untuk mengalami ledakan teknologi, yang akhirnya ia tersadar bahwa perjalanan masih panjang untuk mencapai tahap seperti sekarang ini. Namun, ia telah mengambil keputusan dan masuk ke industri teknologi di Indonesia.

Donald memiliki keahlian di bidang data warehouse atau yang sekarang kita kenal dengan big data. Ia mampu menggunakan data untuk melacak kinerja bisnis dan membuat keputusan strategis yang cerdas. Ia juga belajar bagaimana menggunakan teknologi untuk mengubah bisnis. Itulah awal perjalanan karirnya yang melenceng dari latar belakang ilmu komputer teknik elektro menjadi konsultan bisnis melebihi konsultan teknologi dalam hal pemrograman.

Ia memasuki industri investasi melalui perusahaan Private Equity (PE) dan mendapatkan cukup ilmu untuk akhirnya berhenti dan memulai Venture Capital (VC), Convergence, bersama Adrian Li. Selama lima tahun menjadi partner VC, ia menemukan peluang untuk menyalurkan gaya investasinya. Melalui MDI Venture, usahanya tidak hanya bertumpu pada penggandaan uang perusahaan tetapi juga menciptakan peluang sinergi bisnis di bawah Telkom Group.

DailySocial berkesempatan mewawancarai Donald yang saat itu sedang cuti dan sedang berada di Amerika Serikat untuk membahas ekosistem investasi teknologi di Indonesia. Ia berbagai banyak insight tentang cara menciptakan lingkungan yang lebih baik di industri teknologi negara kita dalam cuplikan paragraf di bawah.

Ia percaya dalam merekayasa ekosistem investasi teknologi, seseorang harus memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam melakukan bisnis

Anda memiliki lebih dari 20 tahun pengalaman dalam penerapan teknologi di berbagai industri. Seperti apa awal mulanya?

Saya memulai perjalanan dengan salah langkah. Saya meninggalkan tanah Amerika pada tahun 1995 dengan keyakinan bahwa Indonesia siap untuk mengalami ledakan teknologi, yang terjadi di AS sekitar waktu itu. Saya tidak pernah berpikir harus menunggu selama 20 tahun dan ikut ambil bagian dalam pembangunannya. Namun, saya selalu percaya Indonesia akan menjadi hub teknologi berikutnya dan berada di jalurnya meskipun dengan realisasi yang tidak cepat.

Faktanya, dibutuhkan seratus tahun bagi Silicon Valley untuk mencapai posisinya sekarang. Pengusaha asli Silicon Valley atau Modal Ventura berinvestasi dalam Model-T. Mobil tanpa custom build atau produksi massal dapat membuat usaha yang sukses seratus tahun kemudian. Bankir mulai berinvestasi dalam usaha teknologi dan menciptakan kisah sukses. Semakin banyak penggiat teknologo menjadi kaya dan akhirnya mengambil bagian dalam industri investasi.

Masalah terbesar dalam dunia teknologi adalah risiko teknologi. Apakah ini nyata? Apakah ini hanya ilusi? Apakah Anda siap atau tidak? Berinvestasi adalah tentang mengenal perbedaan antara mengetahui informasi pribadi dan informasi publik. Semakin banyak Anda tahu, semakin kecil risiko investasinya. Hal ini sebenarnya cukup sederhana. Jika Anda mengetahui resep untuk membangun startup yang sukses, Anda akan tahu bagaimana meramu kesuksesan dalam berinvestasi.

Ada konsep bahwa Indonesia akan menjadi ekosistem teknologi yang signifikan, setidaknya di Asia Tenggara. Saya sudah melewatkan ledakan teknologi di AS, saat ini tugas saya adalah membangun kapal ini sehingga tidak tertinggal untuk kedua kali.

Bagaimana pengalaman pertama Anda dalam percobaan membangun industri startup/teknologi di Indonesia?

Saya melihat perjalanan saya terjadi di sini. Melihat kembali pekerjaan saya di Amerika, saat itu kami baru saja keluar dari resesi. Kenaikan gaji lambat dan saya bukan orang yang sabar. Saya tahu dan diberitahu akan potensi untuk bisa meraih level manager dalam waktu singkat jika kembali ke Indonesia. Hal itu benar adanya.

Pekerjaan pertama saya di Indonesia adalah sebagai programmer untuk sistem dukungan pelanggan Hewlett Packard (HP). Ketika itu, saya menambah pengetahuan ke konsultasi bisnis dan bergabung kembali dengan perusahaan sebagai project manager. Pekerjaan ini pada dasarnya adalah memecahkan masalah bisnis dengan keahlian business intelligence dan data warehouse atau big data. Hal ini memberi saya eksposur ke bisnis dan masalah teknologi.

Saya belajar cara menggunakan data untuk melacak kinerja bisnis dan membuat keputusan strategis yang cerdas. Itu adalah roduk yang saya jual. Dari pengalaman itu, saya mendapatkan sisi teknis bagaimana memanfaatkan teknologi untuk mentransformasi bisnis.

Begitulah cara Donald, lulusan komputer teknik elektro, akhirnya menjadi konsultan bisnis melebihi konsultan teknologi dalam hal pemrograman.

Pada tahun 1998, terjadi resesi. Semua rekan konsultan saya dikirim ke negara-negara lain. Saya menolak untuk pergi dan lebih memilih untuk membangun perusahaan pengembangan perangkat lunak teknologi sendiri bersama rekan saya saat itu. Selain itu, kami juga mencoba membangun sesuatu yang mirip dengan Tokopedia di tahun ’98. Kita semua tahu itu tidak berhasil karena pasar yang tidak mendukung serta pengguna yang belum siap.

Dari krisis itu, saya belajar bahwa ketika belahan dunia lain telah berevolusi, kita tertinggal satu generasi dalam hal data dan konektivitas. Konsumen pada masa itu terlalu jauh tertinggal, mereka hampir tidak bisa menelusuri web. Perbandingan jumlah penduduk dengan orang yang memiliki akses terlalu jauh. Semua bergerak lambat. Masalah ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Anda memiliki latar belakang pendidikan di bidang teknik elektro dan ilmu komputer, kemudian beralih menjadi konsultan bisnis. Apa yang mendorong Anda untuk memasuki industri investasi?

Pada tahun 2005, saya diundang untuk bergabung dengan sebuah Private Equity atau PE (ketika itu saya sedang membangun perusahaan pemrograman dan lainnya), bernama Quvat. Saya belajar cara menggalang dana untuk perusahaan beserta semua dokumen terkait perjanjian investasi. Saya bersyukur bekerja di perusahaan dengan budaya yang sangat mendidik. Saya diharuskan mempelajari mata pelajaran di luar bidang pekerjaan untuk meningkatkan kualitas. Inilah momen di mana saya tahu apa yang ingin saya lakukan.

Proyek pertama saya adalah membangun fiber optic cable, memungkinkan Indonesia untuk mengejar dua generasi teknologi. Pada masa itu, Indonesia akhirnya mengalami lonjakan pertama dengan bandwidth penuh. Bandwidth di Indonesia bisa lebih murah hingga 90%. Kemudian, orang-orang mulai tertarik dan bersedia membayar lebih. Setelah sekian lama, akhirnya Indonesia siap.

Tibalah waktunya, saya menyadari bahwa Quvat tidak akan pernah berinvestasi dalam startup. Itulah perbedaan antara PE dan VC. Jika masa depan saya akan terikat dengan revolusi teknologi, PE bukanlah tempatnya. Saya harus berada di startup atau VC. Setelah sekian lama bersama Quvat, muncul pertanyaan “Ke mana Anda ingin pergi setelah ini? Apa yang dapat kami lakukan untuk karir Anda?” lalu saya menjawab bahwa ingin berhenti dan bergabung dengan startup. Saya keluar dari Quvat untuk bergabung dengan Indomog.

Saat itu saya menempati posisi sebagai CTO Indomog. Bagian dari tugas saya adalah membantu perusahaan membangun model bisnisnya. Salah satu masalah terbesar saat itu adalah segala sesuatu di bidang teknologi di-cap gratis. Startup tidak dapat menghasilkan uang di Indonesia karena tidak ada cara untuk mendapatkan bayaran. Sementara di AS sangat mudah, mereka memiliki kartu kredit, tetapi lain hal nya di sini. Oleh karena itu, kami membangun infrastruktur pembayaran tunai, yang spesifik pada industri game.

Itu adalah wujud tesis Indomog. Namun, sejak hari pertama, kami tahu bahwa tesisnya adalah untuk membangun lebih dari sekadar solusi pembayaran untuk game, tetapi untuk perdagangan. Satu hal yang saya sadari, jika ledakan teknologi akan terjadi di Indonesia, saya perlu membantu menyelesaikan masalah tersebut. Dengan startup ini, saya memilih untuk menyelesaikan masalah pembayaran.

Lalu muncul masalah lain, startup Indonesia tidak memiliki pendanaan VC karena kami tidak tahu bagaimana mengumpulkan uang dari investor. Selain itu, kesadaran investor di Indonesia juga masih kurang. Saat melakukan pekerjaan di Indomog, saya turut membantu beberapa startup lain dengan pengetahuan terkait convertible notes dan sebagainya. Saat itulah saya meliha VC sebagai masalah berikutnya yang harus dipecahkan. Lalu, ketika Adrian Li datang dengan ide Convergence, saya memutuskan untuk bergabung.

Saya bergabung dengan Convergence untuk memanfaatkan peluang yang ada untuk modal ventura di Indonesia. Ketika itu, jumlah VC jauh lebih sedikit daripada orang yang membuat startup. Saya terlalu tua untuk menjadi seorang programmer. Lagipula, Quvat telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk saya menjadi partner. Pada saat itu, pengalaman saya di Quvat dan membangun startup selama bertahun-tahun memberi saya pengetahuan yang cukup untuk menjadi partner di VC.

Selama di VC, saya juga menyadari betapa prematurnya ekosistem VC Indonesia. Oleh karena itu, bersama rekan-rekan VC di lapangan, kami membuat Amvesindo. Ini lebih kepada grup lobi PMV dan VC dan jembatan ke pemerintah.

Bagaimana Anda menggambarkan transisi karir dari Convergence sebagai Modal Ventura ke MDI Ventures sebagai Modal Ventura Korporat?

Di Convergence, kami belajar bagaimana berinvestasi sebagai pemegang saham minoritas. Kami melihat dan yakin bahwa pendiri jauh lebih tahu daripada VC dalam hal menjalankan perusahaan. Selain itu, kami tidak mengambil alih perusahaan. Kami memberi mereka modal untuk berkembang. Ini adalah bisnis yang berisiko tinggi, oleh karena itu, kita perlu menemukan aset yang tepat dan hanya berinvestasi di perusahaan yang benar-benar dapat kita kembangkan.

Ketika memulai sebagai konsultan bisnis, saya selalu bertindak lebih sebagai seorang mentor. Itulah sebabnya, ketika MDI membuka kesempatan, saya merasa lebih cocok di sana. Sebagai CVC, MDI tidak hanya memiliki mandat untuk menggandakan uang, namun juga mendorong bagaimana startup dapat menciptakan pendapatan bagi Telkom. Hal ini memaksa tim untuk memiliki divisi sinergi yang tugasnya sebenarnya menjamin startup-startup tersebut bekerja sama dengan Telkom. Hal ini juga memungkinkan saya untuk memiliki peran aktif dalam mengembangkan startup.

Telkom, di sisi lain, telah menghasilkan lebih banyak pendapatan dari bisnis korporatnya daripada jumlah yang digelontorkan untuk investasi. Oleh karena itu, sebanyak apapun keuntungan modal yang saya hasilkan dalam investasi tidak akan membuat banyak perbedaan bagi grup. Yang sebenarnya mereka butuhkan adalah inovasi dan digitalisasi seperti apa yang bisa kita bawa. Di sinilah saya menyadari bahwa saya ada di sebuah perusahaan di mana saya dituntut untuk berhenti mengkhawatirkan uang berlipat ganda dan mulai dengan menciptakan peluang bisnis untuk startup. Memang, tidak persis bagaimana perusahaan menerjemahkannya, tetapi saya memilih untuk menafsirkannya seperti itu.

Saya ingin mengambil kebutuhan digitalisasi di Telkom lalu menyampaikannya dengan solusi yang telah dibuktikan oleh para startup. Itulah pekerjaan yang ingin saya lakukan. Oleh karena itu, kami fokus pada startup di tahap lanjut. Seiring berjalannya waktu, startup menjadi lebih stabil dan mampu memberikan pendapatan dan sinergi dengan Telkom. MDI sendiri memiliki beberapa dana kelolaan, kami juga memiliki dana untuk tahap awal. Namun, di setiap perusahaan yang kami investasikan, kami berusaha membangun hubungan dan sinergi dengan Telkom. Bagaimana kita dapat dengan nyaman melakukan investasi berkelanjutan, sembari membangun pertumbuhan perusahaan?

Belum lama ini, portofolio MDI, RunSystem, telah mengumumkan IPO-nya. Saya tertarik untuk mengetahui perspektif Anda tentang IPO, apakah ini merupakan jalur exit yang paling ideal?

Di MDI, kami memiliki dua KPI, money multiple dan sinergi. Untuk CVC, kami lebih fokus pada sinergi karena dampaknya lebih besar. Namun, suatu hari kami juga akan menghadapi pertanyaan ini, “Berapa banyak uang yang Anda bawa kembali ke perusahaan?”. Untuk menjawabnya, kami membutuhkan cara untuk bisa membuktikan telah berhasil memberikan dua kali lebih banyak dari uang yang diberikan. Lebih penting lagi, kami bisa membangun exit dalam investasi. Kesuksesan apapun yang bisa dihasilkan oleh sinergi tidak akan berarti jika perusahaan tempat Anda berinvestasi mati. Saya tidak akan lagi dipercaya dengan uang.

Untuk menyeimbangkan keduanya, kami membuat sistem untuk membuktikan estimasi nilai kami di setiap portofolio. Selanjutnya, kami telah berhasil menghasilkan exit, membawa keuntungan nyata ke perusahaan. Menjadi salah satu anak perusahaan Telkom Group dengan kinerja laba bersih tertinggi. Itu tentang exit.

Exit yang ideal adalah yang melipatgandakan lebih banyak uang, tetapi IPO adalah jalan keluar yang berdampak nyata. Ini adalah cara untuk membuktikan kematangan ekosistem teknologi Indonesia karena informasinya akan go public. Semakin matang ekosistem investasi Indonesia dilihat seluruh dunia, semakin banyak investor yang datang, dan semakin cepat kita akan tumbuh. IPO merupakan barometer ekosistem investasi Indonesia yang sehat. Meskipun IPO mungkin hanya dilakukan oleh 10%-20% dari startup dengan track record yang baik.

Di atas kertas, Indonesia memiliki banyak startup dengan valuasi yang terlalu tinggi dan masih terus meningkat. Namun, apa artinya valuasi jika tidak ada cara untuk exit. Itulah sebabnya Indonesia perlu membangun cerita IPO yang lebih sukses, untuk membuktikan bahwa kita memiliki ekosistem teknologi yang dapat diinvestasikan. MDI telah exit melalui IPO dua kali, di Australia dan Jepang. Dengan RunSystem, MDI sudah berada di jalur yang benar. Selain itu, kami juga akan ada beberapa berita baru terkait masalah ini dalam waktu dekat.

Selama bertahun-tahun berkarya, seperti apa tantangan yang Anda hadapi dalam perjalanan hingga titik ini?

Tantangan terbesar selama 20 tahun pengalaman adalah kepercayaan publik. Sulit untuk membuat orang percaya pada ekosistem teknologi Indonesia ketika kita hampir tidak bisa menjelajah internet. Bayangkan negara ini akan menjadi tujuan investasi atau bahkan tujuan teknologi, dan teknologi kita akan memberikan dampak yang signifikan. Ketika kita bisa membangun kepercayaan diri, itu akan memiliki multiplier effect yang baik.

Oleh karena itu, memastikan transformasi digital berdampak besar menjadi sangat penting agar mendapat dukungan yang cukup dari seluruh pemangku kepentingan di tanah air. Agar ekosistem startup digital di Indonesia terus tumbuh, kita perlu memahami dan memperjuankannya bersama. Ini bukan pekerjaan satu orang. Berkolaborasi untuk membangun visi masa depan Indonesia, hal ini harus dikembangkan dan dipasarkan untuk memperkaya ekosistem Indonesia dengan kompetisi dan keragaman.

Adakah yang ingin Anda sampaikan kepada para penggiat teknologi yang tengah berusaha ikut ambil bagian dalam pembangunan ekosistem teknologi Indonesia?

Ini adalah waktu yang tepat, terutama dengan pandemi dan semacamnya. Ada pepatah “Don’t let a good crisis go to waste”. Krisis memang saatnya untuk menunjukkan kemampuan Anda. Ini adalah saat yang tepat untuk bergabung dengan revolusi teknologi dengan cara Anda sendiri baik sebagai VC, perusahaan, pendiri, atau lainnya. Karena belum pernah sebelumnya Indonesia lebih siap untuk transformasi digital. Kami tidak mendekati akhir. Jadikan kami lebih banyak startup dan VC yang lebih matang dengan investor yang lebih matang. Dalam bidang apa pun yang Anda minati, bergabunglah dalam industri. Ini merupakan sebuah panggilan untuk bergerak.

Anda sempat mengungkapkan bahwa kembali ke Indonesia di waktu yang salah. Apakah ada rasa penyesalan? Saat ini adakah hal yang sangat ingin Anda lakukan namun belum ada kesempatan untuk mewujudkannya?

Sebenarnya, saat ini fokus saya adalah menciptakan transformasi digital dalam ekosistem yang didukung oleh banyak BUMN. Bagaimana kita bisa menggunakan pelanggan yang ada untuk didigitalkan oleh pemain startup? Kami dapat mengidentifikasi ekosistem digital mana yang siap untuk dikembangkan berdasarkan peluang bisnis captive market di perusahaan milik negara tetapi juga didukung oleh solusi yang telah terbukti dari startup. Dengan demikian, saya bisa naik level sebagai CVC yang tidak hanya memperkenalkan startup ke grup Telkom tetapi juga menciptakan peluang di luar apa yang dipikirkan startup atau Telkom untuk menciptakan inovasi yang lebih berdampak.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

 

Oy! Konfirmasi Pendanaan Seri A Senilai 427 Miliar Rupiah dan Statusnya sebagai Centaur

Hari ini (23/9), Oy! resmi mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $30 juta atau setara 427 Miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh SoftBank Ventures Asia dengan keterlibatan MDI Ventures, Pavilion Capital, AC Venture, CCV, Wavemaker, PT SAT, Saison Capital Pte. Ltd., dan Orion Advisors.

Sebelumnya, pertama kali kami mengabarkan tentang perolehan pendanaan ini pada Juli 2021 lalu. Kala itu pihak terkait masih enggan memberikan komentar lebih lanjut.

Rencananya, pendanaan ini akan digunakan untuk ekspansi bisnis dan memperkuat infrastruktur layanan keuangannya di Indonesia. Beberapa investor sebelumnya seperti Temasek dan Alternate Ventures juga terus berkontribusi dalam membantu operasional bisnis perusahaan.

Didirikan pada tahun 2018, Oy! memosisikan dirinya sebagai aplikasi solusi finansial. Tidak hanya transfer gratis, mereka juga melengkapi layanan dengan fitur-fitur pembayaran yang telah terhubung dengan kartu debit. Saat ini Oy! Indonesia sudah bekerja sama dengan 80 bank dan telah memiliki lisensi dari Bank Indonesia untuk kegiatan transaksi ini.

Founder & CEO Oy! Indonesia Jesayas Ferdinandus mengungkapkan, “Kami saat ini sedang menikmati pertumbuhan yang luar biasa dengan total valuasi lebih dari $100 juta atau setara dengan Rp. 1,4 triliun, ini menempatkan Oy! Indonesia sebagai startup yang sukses menyandang predikat centaur.”

Dalam wawancara bersama media lokal di acara Fintech Week bulan Juni lalu, Jesayas juga berbagi informasi terkait pertumbuhan volume transaksi Oy! yang mencapai 20-30% setiap bulannya. Hal ini bermula sejak masa PSBB yang pertama hingga saat ini seiring pulihnya daya beli masyarakat Indonesia.

Sementara kegiatan offline sudah mulai kembali normal, pihaknya juga menyebutkan tengah menyiapkan layanan sharing service yang bisa digunakan semua perusahaan fintech untuk menjangkau konsumen secara offline. Inovasi ini disebut sebagai hasil kolaborasi bersama beberapa bank dan Bank Indonesia. Hal ini ditengarai karena 70-80% pengguna Oy! adalah korporasi yang membutuhkan infrastruktur transaksi baik online maupun offline.

Jesayas juga menyebutkan bahwa pertumbuhan yang tengah dialami ini harus didukung dengan komitmen untuk mewujudkan visi Oy! Indonesia sebagai penyedia infrastruktur agregator sistem pembayaran terbaik dan terlengkap di Indonesia.

Melalui transformasi dan ekspansi yang berkelanjutan, Oy! Indonesia berencana untuk terus memperkuat layanannya sebagai sistem pembayaran yang memfasilitasi semua transaksi keuangan, mulai dari kebutuhan sehari-hari individu hingga kebutuhan bisnis di antara beberapa institusi, seperti bank umum, bank digital, p2p lending, e-money, dan perusahaan fintech lainnya.

Solusi sistem pembayaran digital di Indonesia

Solusi sistem pembayaran digital terbukti bisa menjadi pilar utama bagi kelanjutan bisnis selama pandemi Covid-19. Hal ini ditunjukkan dari terus meningkatnya transaksi menggunakan uang elektronik di Indonesia yang mencapai Rp24,8 Triliun per Agustus 2021. Selain itu, Bank Indonesia juga mencatat nilai transaksi digital banking sebanyak Rp3.468,4 triliun atau tumbuh sebanyak 61,80%.

Pesatnya perkembangan digital kian mengubah kebiasaan konsumen dalam bertransaksi. Mereka lebih rasional terhadap harga. Mencari layanan yang memberikan harga yang murah, proses mudah, termasuk layanan transfer uang antar rekening. Hal ini telah membuka peluang bisnis yang besar bagi penyedia jasa transfer.

Terkait solusi sistem pembayaran, Partner SoftBank Ventures Asia, Cindy Jin mengungkapkan, “Kami berpikir bahwa solusi sistem pembayaran tidak hanya merupakan peluang pasar yang besar tetapi juga dapat meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Oleh karena itu, kami menghargai apa yang telah dibangun oleh Oy! Indonesia, yaitu membangun infrastruktur keuangan di berbagai metode pembayaran baik online dan offline.”

Dalam sektor ini, persaingan ketat terjadi antara Oy! dan Flip. Sementara Flip dan Oy! berlomba-lomba menyediakan solusi yang lebih efisien, beberapa layanan dompet digital seperti DANA, LinkAja atau Ovo juga menyediakan opsi transfer tanpa atau dengan biaya admin yang lebih kecil.

Application Information Will Show Up Here

Indepay Hadir Tawarkan Pengalaman ala “Social Commerce” di Layanan Fintech

Pandemi Covid-19 telah mendorong perubahan signifikan pada perilaku masyarakat, dari yang bersifat konvensional menjadi serba digital. Bank Indonesia encatat, nilai transaksi dengan uang elektronik mencapai Rp 25,4 triliun pada Juli 2021. Jumlah itu meningkat 5% dari bulan sebelumnya yang sebesar Rp 24,1 triliun.

Sementara itu, sistem pembayaran Indonesia disebut masih berada dalam tahap awal pengembangan, 80% rekening bank yang ada belum sepenuhnya terdigitalisasi. Melihat isu tersebut, Indepay hadir menawarkan platform transfer terbuka yang dirancang untuk mendorong transformasi industri pembayaran digital menggunakan teknologi transfer antar pengguna secara real-time.

“Kami sedang membangun platform transaksi berbasis Open API dengan mendekatkan bank kepada konsumen untuk mendorong transformasi lanskap pembayaran digital dengan transfer account-to-account secara real-time,” tulis Co-Founder & CEO Indepay Rajib Saha.

Didirikan pada Juli 2020, Indepay memiliki fokus untuk merevolusi sektor finansial di Asia Tenggara. Perusahaan disebut telah memiliki ekosistem mitra yang berkembang yang dibangun di sekitar bank anggota yang membuat transfer baik sebagai konsumen dan bisnis menjadi efisien, dengan biaya rendah dan mengarahkan pada kemungkinan yang tak terbatas.

Secara intrinsik, platform ini memetakan nomor ponsel dengan rekening bank pelanggan sebagai identitas pembayaran unik untuk pengalaman transfer akun-ke-akun yang lebih cepat & aman yang disebut Pay-ID. Sistem ini akan memberdayakan pengguna untuk membangun reputasi digital dan membantu menjaga keamanan dan kontrol berbasis persetujuan atas data keuangan mereka.

Layanan berbasis open finance di Indonesia memang sedang marak dikembangkan. Isunya sama, karena kebutuhan konsumen atas akses ke layanan keuangan yang lebih mulus. Ayoconnect, Xendit, Finantier, Brick adalah beberapa nama startup yang bermain di ranah tersebut; termasuk salah satunya menyuguhkan API untuk transfer atau penerimaan dana.

Target berikutnya

Dalam jangka waktu tiga tahun ke depan, perusahaan menargetkan untuk mendigitalkan setidaknya 100 juta nasabah Indonesia dan memfasilitasi 1 miliar transaksi per bulan. Saat ini, kantor Indepay berlokasi di Jakarta, Singapura dan Gurgaon, namun timnya mengaku saat ini hanya fokus dengan market di Indonesia. Ke depannya, perusahaan berencana untuk ekspansi ke negara lainnya di Asia Tenggara, dan juga India.

Dari sisi pendanaan eksternal, saat ini Indepay telah didukung oleh BEENEXT dan T8 Capital Partners. Tanpa menjabarkan detail pendanaan, Rajib menyebutkan bahwa timnya masih dalam proses untuk menutup putaran ini dengan tambahan dana dari beberapa investor lainnya.

Founder & CEO BEENEXT Teruhide Sato mengatakan, “Kami telah berinvestasi di berbagai startup fintech di seluruh dunia, dan kami mencermati bahwa kehadiran transfer antarbank digital semakin mendorong pertumbuhan ekonomi digital di setiap negara. Karena itulah, kami bekerja sama dengan Indepay untuk membangun platform transfer terbuka di Indonesia, yang menghubungkan semua pelaku usaha sektor finansial, mulai dari Bank, perusahaan Payment Gateway, Operator Switching dan Settlement, untuk menawarkan pengalaman transfer dana yang sangat terjangkau dan praktis.”

Platform transfer terbuka Indepay memosisikan diri sebagai opsi pembayaran digital dengan pengalaman social commerce yang interaktif untuk memfasilitasi urusan transfer, pembayaran, dan penerimaan pesanan dengan lebih cepat. Upaya ini diharapkan akan membuka kesempatan baru bagi startup, perusahaan fintech, brand, pelaku UMKM, dan penjual mikro untuk bersama-sama mewujudkan konsep masyarakat cashless.

Fokus jangkau pelaku usaha online

Pada tanggal 17 September 2021, Indepay resmi meluncurkan aplikasi tara.app”. Menggunakan platform transfer Indepay, tara.app merupakan fasilitas perdagangan interaktif sosial (social interactive commerce), yang ditujukan untuk para pelaku bisnis D2C, seperti brands, pedagang mikro, warung, dan pengecer.

Rajib Saha turut mengungkapkan, “Biaya pembayaran dan biaya transfer yang tinggi adalah hambatan utama dalam pengembangan ekosistem startup di Indonesia. tara.app bekerja sama dengan tim Indepay di Jakarta akan menjadi disruptor dalam industri ini. Integrasi yang kami miliki dengan berbagai bank dan lembaga keuangan akan membuka berbagai kesempatan yang menarik untuk Indonesia.”

Sebenarnya konsep serupa juga ditawarkan pemain lain. Misalnya Xendit dengan Xendit Business App dan Midtrans dengan layanan Payment Link.

Kehadiran platform teknologi seperti Indepay menjadi semakin krusial untuk mendorong negara berbasis ekonomi UMKM seperti Indonesia dalam melakukan transformasi digital. Beberapa studi dan penelitian terbaru juga menunjukkan penggunaan internet yang kian meluas dan perubahan perilaku pengguna terhadap aktivitas jual-beli online di media sosial. Hal ini menunjukkan peningkatan popularitas kegiatan social interactive commerce atau perdagangan berbasis interaksi online, baik lewat aplikasi pesan singkat maupun media sosial.

Dalam prosesnya, tara.app bekerja dengan memetakan nomor HP pengguna dengan rekening-rekening bank yang mereka miliki sebagai ID Pembayaran Unik (Unique Pay-ID). Pay-ID ini bisa digunakan untuk melakukan transfer instan dan aman ke akun pengguna lain (Account-to-Account Transfer). Selanjutnya, Pay-ID unik tersebut akan membangun reputasi digital pengguna serta membantu mempertahankan standar keamanan, di mana pengguna bisa memiliki kendali berbasis persetujuan (consent) atas data keuangan yang mereka berikan.

Dengan tara.app, pengguna tidak perlu menginstal semua aplikasi bank di ponsel ataupun mengingat beragam kata sandi dan pin untuk masing-masing rekening. ID Pembayaran unik yang terhubung dengan nomor HP mereka memungkinkan proses transfer dengan lebih praktis dan aman, kapan saja dan dimana saja lewat satu pintu.

Di sisi lain, solusi ini juga ditujukan untuk membantu UMKM agar produk mereka lebih mudah ditemukan secara online, serta mendukung UMKM dengan jangkauan jaringan dan partisipasi komunitas yang lebih luas. Langkah ini bertujuan untuk menjembatani jarak antara merchant dan bank melalui digitalisasi, sehingga bisa menciptakan pengalaman perdagangan yang interaktif (interactive commerce) melalui kanal sosial di dalam framework tara.app.

Indepay mengklaim solusinya sebagai salah satu pelopor di Asia Tenggara. Sementara pemain lain berinteraksi dalam jaringan grup, seperti Facebook, Instagram, Google for Business, platform ini menawarkan solusi berbasis web, yang juga dapat diakses dari aplikasi tara untuk penawaran yang lebih baik bagi konsumen.

Application Information Will Show Up Here

“Point of Sales” Sebagai Pintu Gerbang Digitalisasi UMKM

Siapa yang mendorong laju transformasi digital di Indonesia? COVID-19.

Terdengar seperti lelucon belaka, namun pada kenyataannya itulah yang sedang terjadi selama setahun belakangan setelah pandemi COVID-19 hadir di Indonesia. Semua sektor didorong bergerak ke arah digital, khususnya UMKM Indonesia yang sangat terdampak oleh berbagai keterbatasan di era pandemi ini.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah UMKM mencapai 64 juta atau 99,9 persen dari keseluruhan usaha yang beroperasi di Indonesia. Lebih dari 60% PDB berasal dari UMKM dan lebih dari 90% tenaga kerja diserap oleh UMKM. Hal ini membuat geliat UMKM sangat berpengaruh terhadap ekonomi nasional.

Melalui pidatonya, (16/8), Presiden RI menyebut pemerintah terus mendorong pengembangan ekosistem ekonomi digital untuk meningkatkan produktivitas masyarakat. Digitalisasi UMKM yang masuk ke aplikasi perdangangan eletronik dan lokapasar jumlahnya terus bertambah. Sampai Agustus tahun ini, sudah lebih dari 14 juta UMKM atau 22% dari total UMKM yang sudah bergabung dengan aplikasi perdagangan elektronik.

Menurut data Kominfo, produk domestik bruto (PDB) ekonomi digital pada 2020 mencapai $44 miliar atau tumbuh 11% dari 2019. Mckinsey Global Institute (MGI) memprediksi bahwa ekonomi digital akan mampu menyumbang sebesar $130-150 miliar bagi pertumbuhan PDB Indonesia di 2025. Selanjutnya, dalam jangka panjang, besaran kontribusinya akan dapat mencapai 3%.

Dari sisi teknologi, berbagai inisiatif dilancarkan untuk membantu para penggiat UMKM go-digital, salah satunya adalah solusi point of sales atau juga dikenal dengan kasir online. Pada dasarnya aplikasi point of sales (POS) berfungsi sebagai mesin kasir yang mencatat setiap traksaksi di sebuah bisnis retail. Seiring dengan kemajuan teknologi fungsinya berkembang, mencakup seluk beluk manajemen retail, mulai dari penjualan, tempat penyimpanan data customer, pembukuan, hingga e-commerce.

Lebih dari sekadar mesin kasir

Melihat kembali sejarah perkembangan teknologi POS, sekitar tahun 1800, belum ada sistem khusus untuk mencatat setiap transaksi penjualan di toko. Kebanyakan usaha masih menggunakan cara tradisional dimana uang disimpan dalam sebuah kotak lalu transaksi penjualan dicatat di kertas secara manual.

Seiring waktu berjalan dan jaman semakin berkembang, seorang pedagang bernama James Ritty menggagas terciptanya cash register atau mesin kasir di tahun 1879. Pada tahun 1906, Charles F. Kettering yang saat itu bekerja untuk NCR, mengembangkan mesin kasir pertama yang ditenagai motor listrik.

Memasuki abad ke-21, mesin kasir telah mengalami banyak perubahan. Teknologi teranyar kini memungkinkan mesin kasir berbasis web atau aplikasi yang terhubung dengan internet yang kita kenal dengan istilah Point of Sale (POS). Bisa dibilang, POS adalah mesin kasir dengan versi yang lebih canggih dengan sistem berbasis komputer, menggunakan aplikasi atau software yang memungkinkan pengusaha menyimpan catatan sales, informasi pembeli, daftar inventaris, dan data bisnis lainnya.

Tidak berhenti di situ, memanfaatkan teknologi cloud, mobile point of sale atau mPOS hadir dengan sistem POS yang menggunakan tablet atau perangkat mobile lain. Ia bisa dioperasikan dengan iOS, Android, dan Windows. Tidak hanya memiliki perangkat yang lebih beragam, ukurannya yang kecil juga membuat mPOS lebih mudah disesuaikan dengan layout toko.

Selain pencatatan yang lebih detail dan akurat, teknologi POS juga membaca purchasing behavior pembeli, yang kemudian bisa digunakan apabila pengusaha ingin menawarkan promo spesial yang relevan. Dari awalnya POS hanya diperuntukkan sebagai mesin kasir, solusi ini kini sudah merangkap sebagai retail management yang bisa mengelola bisnis secara menyeluruh.

Mesin Kasir Point of Sales
  • Harga terjangkau
  • Komponen lebih sederhana
  • Fitur laporan standar
  • Tidak memerlukan pembaruan reguler
  • Efisien dan lebih akurat
  • Transparansi kinerja karyawan
  • Memiliki manajemen inventaris
  • Memungkinkan program loyalitas
  • Metode pembayaran lebih luas
  • Transaksi lebih rinci

Di Indonesia, beberapa pemain yang sudah menyediakan solusi POS, termasuk Qasir, MokaPOS, Pawoon, atau yang belum lama meluncurkan layanan teranyarnya, Majoo.

Industri POS di tengah pandemi

Di Indonesia, pandemi COVID-19 telah mengubah perilaku konsumen secara radikal. Pola konsumsi barang dan jasa dari luring (offline) ke daring (online) kian meningkat, hal ini memaksa pelaku usaha untuk menyesuaikan dengan kondisi dan bertransformasi secara digital.

Salah satu tantangan yang banyak ditemukan pada para penggiat UMKM adalah proses pembukuan yang masih manual bahkan ada yang masih belum merasa hal itu penting. Kehadiran layanan POS memberikan sejumlah kemudahan bagi para penggiat usaha. Mereka hanya butuh sebuah sistem untuk mengelola seluruh kegiatannya.

CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro mengungkapkan, “Kami melihat bahwa merchants (baik online maupun offline) perlu platform untuk membantu usahanya, tidak hanya sekadar POS tapi juga payment, inventory management, akuntasi, dan lain-lain. Kami merasa POS adalah titik mula dari kebutuhan tersebut.

Tentunya, masih ada sejumlah UMKM yang masih belum familiar dengan solusi ini. Namun, baik pemerintah maupun para pemain industri juga sedang gencar memberikan edukasi go-digital terhadap UMKM di Indonesia.

Tim DailySocial melakukan diskusi singkat dengan Michael Liem, CEO Qasir, terkait pertimbuhan industri POS di Indonesia. Ia mengakui semakin banyak yang mulai menyadari pentingnya layanan POS dalam menjalankan usaha, dapat dilihat dari penambahan 500 ribu merchant dari 250ribu merchant sebelum pandemi.

Dilansir dari Statista, untuk tahun 2020, total nilai transaksi mobile POS adalah $1.017.982 juta dan diproyeksikan mencapai $2.489.471 juta pada tahun 2021.

Point of sale (POS) software market revenue worlwide from 2018 to 2027. Sumber: Statista

Dominasi pemain

Dari segi layanan yang ditawarkan, sebenarnya setiap aplikasi POS memiliki core product yang tidak jauh berbeda. Dengan fitur basic POS seperti akses data penjualan dan riwayat transaksi, pencatatan keuangan, pengelolaan arus kas, juga manajemen inventori, layanan ini bertujuan sama yaitu mempermudah pebisnis untuk mengelola usahanya.

Namun, masing-masing pemain juga mencoba melakukan diferensiasi bisnis dengan berbagai cara. Salah satunya Youtap yang melabeli dirinya sebagai aplikasi teman dagang. Platform yang sedari awal memposisikan diri sebagai merchant-centric ini memiliki tim yang terbagi-bagi khusus untuk melayani merchant yang datang dari skala besar hingga mikro.

Di sisi lain, Qasir yang memiliki misi untuk para pengusaha warung bisa naik level, menawarkan konsep pay as you grow atau berbayar seiring bisnis bertumbuh, artinya fitur-fitur yang disediakan bisa didapatkan secara modular. Dengan begitu, bisnis diharapkan bisa lebih menyesuaikan proses yang dibutuhkan, karena semua kembali pada kebutuhan dan skala usaha.

Di awal tahun ini, salah satu aplikasi wirausaha (mini ERP untuk pelaku UKM) Majoo hadir dengan fitur yang disebut paling lengkap, tidak hanya aplikasi kasir atau point of sales, tetapi juga meliputi pengelolaan inventori, pelanggan, akuntansi, karyawan, analisis bisnis, dan pesanan online.

Aplikasi Mulai beroperasi Jumlah pengguna (merchant)  Total unduhan (Google Play)
Qasir 2015 700.000+ 500.000+
MokaPOS 2014 40.000+ 500.000+
Pawoon 2014 25.000+ 100.000+
Kasir Pintar 2018 30.000+ 500.000+
Majoo 2019 15.000+ 50.000+
OlseraPOS 2015 10.000+ 50.000+
Youtap 2018 150.000+ 100.000+
iSeller 2016 ribuan 10.000+

Di antara beberapa nama yang tengah meramaikan industri POS di tanah air, belum ada pemain yang benar-benar mendominasi. Michael Liem menyebutkan bahwa di tengah pasar yang semakin ramai, POS menawarkan produk yang tidak jauh berbeda. Maka dari itu, masing-masing pemain harus punya inovasi dari sisi model bisnis.

“Dalam industri ini, no winner takes it all. Usaha di Indonesia sangat banyak dan masih akan bertumbuh, tidak ada satu pemain yang bisa mendominasi semuanya,” tambahnya.

Hijup Maintains a Decade Growth, Fueling Its Three Main Business Pillars

After operating the business since 2011, the fashion commerce service Hijup claims to continue to experience positive business growth. Even though there were several obstacles during the pandemic, the company was able to survive and continue to present new innovations. Hijup’s Founder & CEO, Diajeng Lestari revealed to DailySocial that Hijup has currently developed three main pillars.

“Previously, Hijup only focused on the marketplace, Hijup now has a new revenue stream in the form of a social media agency and Hijup Growth Fund.”

To date, Hijup claims to have nearly 400 thousand registered users with a total of nearly 400 partners. Meanwhile, its social media followers also experienced positive growth up to 1.2 million. The company’s next target is to become the main goal of the Indonesian people for an ecosystem-based end-to-end solution for modest Muslim marketplaces.

“We believe our focus on transformation will put Hijup at a stronger position in the minds of the Indonesian people, both in terms of creative producers and the market,” Diajeng said.

Hijup Growth Fund

Hijup has also launched the Hijup Growth Fund. This is a business financing program up to a maximum of Rp100 billion, aimed at business players in the local Muslim and modest fashion industry. One of the reasons to generate this program is the trust from Hijup’s board of shareholders with their continuous support.

“Especially due to several innovations that we continue to present to develop business capital. Hijup Growth Fund is one of Hijup’s proud innovations,” Diajeng said.

In addition to capital for business scale-up, this program also provides direct assistance from Hijup in business, branding and marketing aspects. In the future, Hijup will also offer a repayment scheme through sales and loan profit sharing up to 0%. The funding scheme will be adjusted to the characteristics and conditions of each brand.

In order to participate in the program, you must first become a tenant and sell products on the Hijup website. The brand will further go through several stages before getting funded. For example, starting from the submission stage, verification, approval, disbursement, to the stage of the refund agreement.

Moslem fashion industry

According to a report by Thomson Reuters and DinarStandard in 2018, Muslim consumers spent around $270 billion on modest clothing in 2017. The report also projects 4.8 percent year-on-year growth for the sector and estimates that sales will reach $402 billion by 2024. .

Fashion brands have taken note of this growing trend, and many of them are starting to tap into this industry to catch up with the growing demand.

According to the Islamic Fashion & Design Council, Turkey still led the modest fashion consumption with more than $25 billion per year, followed by Iran, Indonesia, Egypt, Saudi Arabia, and then Pakistan.

The report also shows that food and beverage is the largest revenue sector for the halal market. According to a report from DinarStandard, Muslims have spent about $2.2 trillion on the halal and Islamic lifestyle sector, 10% of which is accredited to the modest fashion sector.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Sirclo Officially Announces 512 Billion Rupiah Additional Funding

After news circulated about an additional funding round, Sirclo today (10/9) officially announced the $36 million additional funding or equivalent to 512 billion Rupiah led by East Ventures and Saratoga. Another investor participated in this round is Traveloka.

In the official release, it is said that this funding will be used to develop the technological capabilities offered and to accelerate retail digitalization for various businesses in Indonesia. During the pandemic, the company claimed to gain momentum to improve its economic unit and was already at the profitability stage.

“With this funding, we plan to use the momentum of high consumer interest in shopping on e-commerce channels during the pandemic and beyond. Sirclo continues to adhere to its mission helping brands sell online through an omnichannel approach,” Sirclo’s Founder & CEO, Brian Marshal said.

Previously, this e-commerce enabler platform had developed the Sirclo Store SaaS solution with an omnichannel approach aimed at helping brands sell online through various channels at once, such as websites, marketplaces, and chat-based sales (chat commerce).

In addition, in a series of Online-to-Offline (O2O) initiatives, the platform which recently launched the #MerdekaJualanOnline program for the country’s national economic recovery program is also developing financial solutions aimed at supporting MSME players to compete with larger-scale retail players.

East Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Wilson Cuaca considered Sirclo as a classic example of a startup running a marathon. As an investor, East Ventures thought that Sirclo was a bit ahead of market-timing when it was founded in 2013. However, the founder’s consistent vision from the beginning has allowed Sirclo to survive and grow over the years.

“The Covid-19 pandemic has accelerated the company’s business, Sirclo recorded the highest revenue in the company’s history, with a nominal value of hundreds of millions of dollars, and is approaching the profitable stage. We are very happy to be a part of their journey, and participate in another funding stage,”  Willson continued.

Throughout the pandemic, Sirclo alone has recorded a 5x increase in transactions driven by changes in consumer behavior during the Covid-19 pandemic. Until this year, Sirclo has helped more than 100,000 brands to sell online, from the scale of individual entrepreneurs, MSMEs, to large companies.

E-commerce enabler performance in time of pandemic

Indonesia’s e-commerce industry has grown rapidly since the Covid-19 pandemic. Nearly half of Indonesia’s population uses digital technology for their daily needs, creating high potential for growth in this industry. The presence of e-commerce enabler services makes it easier for brand principals to enter the online industry. Through a single dashboard, they can manage the product presence in several online marketplace services at once.

In Indonesia, Sirclo is not solely trying to take on the role of an e-commerce enabler, there are several players who also competing to enliven this market. One of those is JetCommerce. Through its solution, they claim to have managed to record a whole 36% transactions increase in the fourth quarter of 2020 compared to the previous quarter, serving more than 750 thousand transactions on various marketplace platforms in early 2021. The company also has a rapidly growing business unit in China, Thailand, the Philippines and Vietnam.

Among the existing players, a cloud-based e-commerce enabler solution provider from Singapore, Genie tried to stir the competition by expanding into the Indonesian market. The platform claims to have back-end regional integration with e-commerce website builders like Shopify and WooCommerce, reducing the hassle for merchants when they set up an online store.

The Digital Market Outlook report published by Statista showed that e-commerce users in Indonesia are predicted to grow 15% this year from a total of 138 million users in 2020, reaching 159 million users in 2021. Meanwhile, the industry’s revenue is predicted to increase by 26% reaching $38 million, from $30 million in 2020.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Sirclo Resmi Umumkan Pendanaan Lanjutan Senilai 512 Miliar Rupiah

Setelah beredar kabar terkait putaran pendanaan tambahan, Sirclo pada hari ini (10/9) secara resmi mengumumkan perolehan pendanaan senilai $36 juta atau setara 512 miliar Rupiah yang dipimpin oleh East Ventures dan Saratoga. Investor lain turut terlibat adalah Traveloka.

Dalam rilis resminya disebut bahwa pendanaan ini akan digunakan untuk mengembangkan kapabilitas teknologi yang ditawarkan serta mengakselerasi digitalisasi ritel bagi berbagai usaha di Indonesia. Selama pandemi, perusahaan mengaku tengah mendapat momentum untuk memperbaiki unit ekonomi dan sudah menuju tahap profitabilitas.

“Dengan suntikan dana ini, kami berencana membangun momentum tingginya minat konsumen untuk berbelanja di kanal e-commerce selama masa pandemi dan setelahnya. Sirclo terus berpegang pada misi untuk membantu brands berjualan online melalui pendekatan omnichannel,” ujar Founder & CEO Sirclo Brian Marshal.

Sebelumnya, platform e-commerce enabler ini telah mengembangkan solusi SaaS Sirclo Store dengan pendekatan omnichannel yang ditujukan untuk membantu brand berjualan online melalui berbagai kanal sekaligus, seperti website, marketplace, dan penjualan berbasis percakapan (chat commerce).

Selain itu, dalam rangkaian inisiatif Online-to-Offline (O2O), platform yang belum lama ini meluncurkan program #MerdekaJualanOnline dalam program pemulihan ekonomi nasional negara ini juga tengah mengembangkan solusi finansial yang ditujukan untuk mendukung para pelaku UMKM bisa bersaing dengan pemain ritel berskala lebih besar.

Co-Founder & Managing Partner East Ventures Wilson Cuaca menempatkan Sirclo sebagai salah satu contoh klasik dari startup yang melakukan maraton. Sebagai investor, East Ventures merasa bahwa Sirclo agak terlalu cepat dari market-timing ketika didirikan pada tahun 2013. Namun, fokus akan visi dari pendiri yang konsisten sejak awal membuat Sirclo bisa bertahan dan tumbuh selama ini.

“Pandemi Covid-19 telah mengakselerasi penguatan bisnis perusahaan, Sirclo mencatatkan pemasukan tertinggi sepanjang sejarah perusahaan, dengan nominal ratusan juta dolar, dan sudah mendekati tahap profitable. Kami sangat senang bisa menjadi bagian dari perjalanan mereka, dan berpartisipasi kembali di tahap pendanaan ini,” lanjut Willson.

Sepanjang masa pandemi, Sirclo sendiri mencatat lonjakan transaksi hingga 5x lipat yang didorong oleh perubahan perilaku konsumen selama pandemi Covid-19. Hingga tahun ini, Sirclo telah membantu lebih dari 100.000 brand untuk berjualan online, baik dari skala pengusaha perseorangan, UMKM, hingga perusahaan-perusahaan besar.

Kinerja e-commerce enabler di masa pandemi

Industri e-commerce di Indonesia telah meningkat dengan pesat sejak pandemi Covid-19. Hampir setengah dari populasi Indonesia menggunakan teknologi digital untuk kebutuhan sehari-hari, menjadikan industri ini memiliki potensi tinggi untuk tumbuh. Kehadiran layanan e-commerce enabler bertujuan untuk memudahkan brand principal masuk ke ranah online. Melalui dasbor tunggal, mereka dapat mengelola kehadiran produknya di beberapa layanan online marketplace sekaligus.

Di Indonesia, bukan hanya Sirclo yang coba mengambil peran sebagai e-commerce enabler, ada beberapa pemain yang juga ikut bersaing meramaikan pasar ini. Salah satunya adalah JetCommerce. Melalui solusinya, mereka mengklaim telah berhasil mencatat peningkatan transaksi di kuartal IV tahun 2020 secara keseluruhan sebanyak 36% dari kuartal sebelumnya, hingga mencapai lebih dari 750 ribu transaksi pada berbagai platform marketplace di awal tahun 2021. Perusahaan juga memiliki unit bisnis yang berkembang pesat di China, Thailand, Filipina dan Vietnam.

Di antara pemain yang sudah lebih dulu hadir, penyedia solusi e-commerce enabler berbasis cloud dari Singapura, Genie coba meramaikan persaingan dengan melakukan ekspansi ke pasar Indonesia. Platform ini mengklaim memiliki integrasi regional back-end dengan pembuat e-commerce situs web seperti Shopify dan WooCommerce, sehingga mengurangi kerumitan bagi pedagang ketika mereka mendirikan toko online.

Laporan Digital Market Outlook yang dipublikasikan Statista menyebutkan bahwa pengguna e-commerce di Indonesia tahun ini diprediksi tumbuh 15% dari total 138 juta pengguna pada tahun 2020, atau mencapai 159 juta pengguna di tahun 2021. Sementara pendapatan industri ini diprediksi meningkat sebanyak 26% mencapai $38 juta, dari $30 juta pada tahun 2020 lalu.

Tantangan Membangun Komunitas dalam “Social Commerce”

Komunitas menjadi sebuah elemen penting dalam membangun dan menjalankan bisnis. Layaknya supporting system, sebuah komunitas merupakan tempat untuk orang-orang dengan pemikiran yang sama berkumpul dan menjalin relasi.

Dalam dunia bisnis, utamanya online, komunitas dapat memberikan pengaruh besar karena bisa menambah koneksi, berbagi wawasan, meningkatkan kepercayaan diri dalam berbisnis, dan tentunya memperluas jangkauan pasar. Hal ini berlaku pada berbagai jenis layanan atau bisnis, tidak terkecuali social commerce.

Sebagai layanan yang mengandalkan interaksi sosial untuk menjangkau pasar, tentunya komunitas menjadi salah satu ujung tombak bisnis social commerce. Hal ini turut diamini oleh Co-Founder & COO Meyer Food Athalia Permatasari dan Co-Founder Evermos Ilham Taufiq yang mengisi sesi diskusi #SelasaStartup di hari Selasa (24/8) lalu.

Dalam diskusi ini, para Co-Founder berbagi pengalaman mengenai peran komunitas dalam keberlangsungan bisnisnya. Selain itu, mereka juga turut mengungkapkan betapa pandemi memiliki efek samping yang luar biasa terhadap para partner/agen maupun perusahaan. Berikut beberapa poin yang dapat diambil dari acara #SelasaStartup yang bekerja sama dengan Endeavor Indonesia dengan topik Scale up 101: Building the Community.

Sesi #SelasaStartup bersama Meyer Food, Evermos, dan Endeavor

Menumbuhkan rasa percaya dan dampak positif

Bertahun-tahun telah berlalu sejak e-commerce berkembang di seluruh Indonesia, tetapi masih ada saja masyarakat yang masih belum mau berbelanja menggunakan platform daring. Mereka lebih memilih untuk datang ke tempat dan menilai secara langsung produk-produk yang ingin mereka beli. Ada beberapa alasan, salah satunya adalah rasa tidak percaya.

Ilham mengaku bahwa salah satu alasan Evermos dibentuk adalah untuk menjangkau konsumen yang masih enggan berbelanja disebabkan kurangnya rasa percaya terhadap platform-platform online. Lalu mereka mencoba masuk ke pasar yang lebih konvensional dengan perpanjangan tangan reseller. Dengan begitu, rasa percaya akan mulai tumbuh seiring konsumen menikmati pengalaman berbelanja yang lebih modern.

Sedikit berbeda dengan layanan Meyer Food yang dilatarbelakangi oleh keluarga salah satu Co-Founder Renny Lim yang merupakan pemilik bisnis supplier daging ayam. Perusahaan memiliki jajaran Co-Founder para wanita, salah satu misi mereka adalah untuk memberdayakan ibu rumah tangga yang juga punya keinginan untuk mandiri secara finansial agar bisa memanfaatkan waktu luang untuk menjadi reseller daging ayam.

Co-Founder & COO Meyer Food Athalia Permatasari turut mengungkapkan,”Kita percaya wanita bisa jadi penopang ekonomi di masa yang akan datang. Jadi, kita fokus untuk menciptakan cerita sukses yang lain, bukan semata-mata mendapat penghasilan. Kami ingin platform ini benar-benar bisa berdampak bagi orang banyak.”

Athalia juga mengungkapkan, “Selama dua tahun terakhir, hal yang sangat rewarding bagi Meyer Food adalah ketika bisnis yang dijalankan ibu rumah tangga yang pada awalnya tidak disetujui suami, bisa memberi hasil yang luar biasa hingga akhirnya meraih pendapatan berkali lipat lalu ikut didukung oleh suaminya.”

Evermos sebagai social commerce yang fokus pada nilai-nilai syariah turut mengungkapkan strateginya untuk bisa menjadi bisnis yang berdampak dengan 2R, yaitu Rupiah dan Ruhiyah. Ilham mengaku bahwa ia tidak hanya fokus dengan hal-hal pragmatis, namun ingin lebih serius untuk bisa mencapai inklusivitas. “Kalau sekedar aspek uang, kita semua tau dunia startup seperti apa,” tambahnya.

Menemukan rekanan yang memiliki integritas

Dalam sebuah komunitas, meskipun memiliki satu kesamaan, tentunya ada berbagai macam karakter individu. Ada yang benar-benar sepenuh hati ingin berperan membangun komunitas, ada yang hanya ikut-ikutan atau berpartisipasi hanya jika ada waktu luang. Tidak ada yang salah, namun ketika masuk ke ranah bisnis, hal ini menjadi tantangan tersendiri.

Dalam menjalankan bisnisnya, Meyer Food menerapkan kemitraan dengan sistem sharing profit untuk setiap item yang dijual. Sebagai partner/mitra bertanggung jawab sebagai distribution point serta menerima pembayaran COD. Tantangan muncul ketika ada partner yang tidak bisa mengelola pengeluaran dengan baik sehingga uang hasil penjualan terpakai untuk hal-hal lain.

Belajar dari pengalaman, Meyer Food kemudian memperketat proses kurasi bagi para mitra. Athalia mengungkapkan bahwa timnya ingin memiliki partner yang bukan hanya sekadar mau berjualan tetapi juga memiliki integritas serta komitmen jangka panjang dalam menjalani bisnis. Saat ini, layanan telah memfasilitasi sebanyak 100 mitra di area Jabodetabek. Mungkin bukan angka yang besar namun timnya memastikan bahwa mereka adalah mitra yang berkualitas.

Sementara di Evermos, pada awalnya layanan yang ditawarkan sepenuhnya gratis. Namun setelah beberapa lama, akhirnya mereka menerapkan proses kurasi dengan metode berbayar untuk melihat keseriusan mitra untuk berjualan. Namun selama pandemi, dua opsi ini tersedia agar tidak mempersulit mitra untuk berjualan.

Ketika membangun sebuah komunitas, sering kali kita memulai dari inner circle atau lingkungan terdekat. Di Meyer Food, pelanggan pertama mereka adalah salah seorang tetangga dari Athalia. Timnya mengaku ada banyak sekali pertimbangan dan kekhawatiran untuk bisnis ini bisa berjalan. Namun, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya komunitas, maka satu per satu tantangan bisa dihadapi.

Mempertahankan keterikatan yang kuat

Jalannya sebuah komunitas juga bergantung dengan komunikasi serta interaksi yang baik antar sesama anggotanya. Ketika pandemi Covid-19 melanda, ada banyak pembatasan sosial yang terjadi di masyarakat. Hal ini sedikit banyak berpengaruh dengan keberlangsungan komunitas, dan juga bisnis.

Ketika sebuah bisnis telah memiliki engagement atau keterikatan yang kuat ke sebuah komunitas, maka komunitas tersebut bisa menjadi sumber umpan balik yang terpercaya. Evermos, sebagai social commerce mengaku sering terjun ke lapangan serta berinteraksi secara langsung untuk membangun keterikatan yang kuat dengan para reseller.

Menurut Ilham, banyak partner yang sedang terdampak dari sisi psikologi. “Dalam hal engagement kita harus bisa mengerti kebutuhan partner, termasuk menjadi tempat curhat mereka. Di situ kita belajar lagi untuk bisa jadi pendengar yang lebih baik dan mencoba mengerti kondisi partner. Ada baiknya untuk mendahulukan empati. Ini menjadi salah satu poin penting bagaimana membuat mereka nyaman dan loyal,” tambahnya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Donald Wihardja: From Business Intelligence to Engineer the Tech Investment Ecosystem in Indonesia

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Donald Wihardja has more than 20 years of experience in applying technology for various industries, from telco to banking to web startup, as a manager, advisor, consultant, investment manager, and entrepreneur in Indonesia. He believes in order to engineer the tech investment ecosystem, one must have enough knowledge and experience in doing tech business.

He started the journey with a misstep. He left Silicon Valley in 1995 believing Indonesia was ready to experience a tech boom, which eventually he realized that it was still a long way to go from that moment to this stage we are now. However, he managed to pull the trigger and made his way into the tech industry in Indonesia.

Donald has expertise in data warehouses or what we now call big data. He is capable of using data to keep track of business performance and make intelligent strategic decisions. He learned how to use technology to transform business. That’s the beginning of his shifting career path from electrical engineering computer scientist to a business consultant more than a tech consultant in terms of programming.

He entered the investment industry through a Private Equity (PE) company and learned enough to finally quit and started his own Venture Capital (VC), Convergence, with Adrian Li. Over five years of being a VC’s partner, he discovered an opportunity to channel his investment style. It is through MDI Venture, where his concern will not only lie in multiplying the company’s money but also creating opportunities for business synergy under the Telkom Group.

DailySocial had an opportunity to interview Donald who was at that time actually on sabbatical and currently staying in the States to discuss Indonesia’s tech investment ecosystem. He shared a lot of his thoughts on how to create a better environment in our country’s tech industry through the paragraphs below.

Donald Wihardja believes in order to engineer the tech investment ecosystem, one must have enough knowledge and experience in doing the business

You have more than 20 years of experience in applying technology for various industries. How was it started?

I started the journey with a misstep. I left the State in 1995 believing Indonesia was ready to experience a tech boom, which happened in the US around that time. I never thought I had to wait for 20 years and had to be a part of its development. However, I always believe Indonesia will be the next technology hub and already on its way although with merely slow realization. 

In fact, it takes literally a hundred years for Silicon Valley to get where it is now. The original Silicon Valley entrepreneur or Venture Capital investing in short Model-T. Cars without custom build or mass produce can make a successful venture a hundred years later. Banker started investing in tech ventures and created a success story. More and more technologists are getting rich and eventually took part in the investment industry.

The biggest issue with technology is the tech risk. Is this a real one? Is this just an illusion? Are you ready or not? Investing is all about the disparity between knowing personal private information and public information. The more you know, the less risky the investment. It is actually quite simple. If you know the ingredients to build a successful startup, you will know where to pour your money on.

There is this concept that Indonesia will be a significant tech ecosystem, at least in Southeast Asia. I already miss the tech boom in the US, my job is to build the current boat so I didn’t miss this one.

How was your first attempt to engineer the startup/tech industry in Indonesia?

I saw my journey going on here. I look back at my job in the States, at that time we just freshly came out of recession. Raises are slow and I was impatient. I know and I was told if I come back I will make a good manager in no time. That is true somehow.

My first job in Indonesia was as a programmer for Hewlett Packard (HP) customer support system. At that time, I’m extending my knowledge to business consulting and rejoining the company as a project manager. My job is basically to solve business problems and my product expertise is business intelligence and data warehouse or big data. This gives me exposure to tech business and problems.

I learn how to use data to keep track of business performance and make intelligent strategic decisions. That is the product I’m selling back then. From that experience, I get the technical side of how to use technology to transform business.

That is how Donald the electrical engineering computer scientist ended up being a business consultant more than a tech consultant in terms of programming.

In 1998, a recession happened. All of my fellow consultants got shipped up around the world. I refuse to leave, I rather build my own tech software development company with my current partner. Another thing, we also tried to build something that looked like Tokopedia back in ’98. We all know it didn’t work out because there is not enough market and users are not ready.

From that crisis, I learned that when the other side of the world has upgraded and we are one generation behind in terms of data and connectivity. Consumers at that time were too far behind, they could barely browse the web. People who can use it are very small compared to the population. Everything is too slow. This is a problem we cannot just let slide.

You have an educational background in electrical engineering and computer science, then ended up being a business consultant. What drives you to enter the investment industry?

In 2005, I got invited to join a PE (by the time I have my own programming company and stuff), named Quvat. I learned how to fundraise for a company with all the paperwork regarding investment agreements. I am grateful to work at a company with a very educational culture. I had to learn subjects outside of my work field in order to improve my quality. This is how I know what I want to do.

I have my first project to build fiber optic cable, allowing Indonesia to catch up with two generations of tech. During that time, Indonesia finally experienced the first rush of the real full bandwidth. We actually make bandwidth in Indonesia cheaper by 90%. Then, people are getting interested and willing to pay more. After all this time, Indonesia is finally ready.

In time, I realize that Quvat will never invest in a startup. That is the difference between PE and VC. If my future is to be tied with the tech revolution, I should not be in a PE. I should either be in a startup or a VC. After a long time with Quvat, I was asked “Where do you want to go from here? What do you want us to do for your career?” and I said I want to quit and join the startup. I quit Quvat to join Indomog.

I was a CTO back then with Indomog. What I do is help the company build its business model. One of the biggest issues at that time is that everything in tech is free. Startups cannot make money in Indonesia because there is no way to get paid. It’s easy in the US, they have credit cards, but here it didn’t go that way. Therefore, we build a cash payment infrastructure, specifically around games.

That is what the Indomog thesis is. However, from day one, we know the thesis is to build more than a payment solution for games, but for commerce. One thing I realize, if there is going to be a tech boom in Indonesia, I need to help solve the thesis of the problem. And with the startup, I choose to solve the payment issue.

Another problem arises, Indonesian startups did not have VC funding because we don’t know how to raise money from investors. Also, there’s not enough investor awareness in Indonesia either. While doing my job in Indomog, I also helped few other startups as I have extensive knowledge on writing convertible notes and so on. This is when I know the next problem to solve is in the VC. And when Adrian Li came to me with the idea of Convergence, I decided to join.

I joined Convergence to capitalize on the opportunity that we need for venture capital in Indonesia. There are a lot fewer VCs than people making startups back then. I’m getting too old to be a programmer. Also, Quvat has prepared me to be a partner. By that time, my experience in Quvat and my years’ building startups got me enough knowledge to be a partner in a VC.

During my time in a VC, I also realized how immature the Indonesian VC ecosystem is. That is why, with fellow VCs in the field, we created Amvesindo. It is actually a lobbying group of PMVs and VCs and a bridge to the government.

How can you describe the transition from Convergence as a Venture Capital to MDI Ventures as a Corporate Venture Capital?

In Convergence, we learn how to invest as a minority shareholder. We see and we believe the founder knows better than the VC in terms of running the company. Furthermore, we don’t take over the company. We provide them with growth capital. This is a high-risk business, therefore, we need to find the right asset and only invest in a company we can really grow.

As I started as a business consultant, my style has always been more like a mentor. That is why, when the opportunity arises from MDI, I think that fits me better. As a CVC, MDI does not only have a money-multiple mandate. Does it also push on how the startup can create revenue for Telkom? That forces the team to have a synergy division whose job is actually to vouch for these startups to work together with Telkom. It also allows me to have an active role in growing the startup.

Telkom, on the other hand, has generated more revenue from its corporate business than the amount poured for investment. Therefore, how much capital gain I generate in investment wouldn’t make that much difference to the group. What they actually need is what kind of innovation and digitalization can we bring to the table. This is where I realize I have come to a company where they are actually telling me to stop just worrying about money-multiple and start by creating business opportunities for startups. Indeed, not exactly how the company translates it, but I choose to interpret it that way.

I want to take the digitalization requirement in Telkom and deliver that using the solution proven by startups. That is the work I want to do. Therefore, we focused on the startup in the later stage. As the stage gets later, the startup becomes more stable and able to deliver revenue and synergy with Telkom. MDI alone has multiple funds, we also have a fund for earlier stages. However, in each company we invest, we tried to build the relationship and synergy with Telkom. How can we comfortably make the continuous investment, in a way to engineer the growth of the company?

Recently, your portfolio in MDI, RunSystem, has announced its IPO. I’m interested to know your perspective about IPO, is it really an ideal exit?

In MDI, we have two KPIs, money multiple and synergy value. In terms of CVC, we are focused more on synergy as the impact is greater. However, one day we’ll be facing this question, “How much money you’ve brought back to the company?”. In order to answer, we need a way to prove that we have delivered two times more than the money we’re given. More importantly, we can engineer exit in investment profitably. For what success a synergy can bring if the company you invest in is dead. I will no longer be trusted with money.

In order to balance these two, we create a system to prove our estimated value in each portfolio. Furthermore, we have successfully generated exit, bringing real cash to the company. One of Telkom Group’s subsidiaries with the highest performing net income. That is about the exit.

The ideal exit is what multiples more money, but IPO is an important exit. It will be a way to prove the maturity of the Indonesian tech ecosystem as the information will go public. The more mature the Indonesian investing ecosystem worldwide, the more investors will come, and the faster we will grow. IPO is the barometer for the Indonesian healthy investment ecosystem. Although IPO might only have been done by 10%-20% of startups with a good track record.

In terms of paper, Indonesia has many startups with overly high valuations and still rising. However, what is value means if there’s no way to exit. It is why Indonesia needs to create a more successful IPO story, in order to prove that we have an investable tech ecosystem. MDI has exited through IPO two times, in Australia and Japan. With RunSystem finally announcing, MDI is already on the right track. Also, we’ll have several announcements related to this matter in the near future.

During those years of experience, what kind of challenges have you had along the way?

The biggest challenge during 20 years of experience is in public confidence. It’s hard to make people believe in the Indonesian tech ecosystem when we barely can browse the internet. Imagine this country will be an investment destination or even a tech destination, and our tech will make a significant impact. When we can build confidence, it will have a good multiplier effect.

Thus, ensuring the digital transformation to have a big impact is very important in order to get enough support from all the stakeholders in the country. For the digital startup ecosystem in Indonesia to grow steadily, we need to understand and fight this together. This is not the work for a single person. Collaborate to fabricate the vision of the Indonesian future, it has to be developed and marketed to enrich the Indonesian ecosystem with competition and variety.

Anything you want to say to those tech enthusiasts trying to make their way to be a part of the Indonesian tech ecosystem?

This is the right time, especially with the pandemic and stuff. There’s a saying “Don’t let a good crisis go to waste”. The crisis is indeed the time to showcase your ability. This is the right moment to join the tech revolution in your own way as a VC, corporate, founder, or else. Because never before has Indonesia been more ready for digital transformation. We’re nowhere near the end. Make us more startups and more mature VC with more mature investors. In whatever field you are interested, join the game. It’s a call to action.

You said you’ve come back to Indonesia at the wrong time. Did you ever regret it? Do you still have something you want to do but have no chance to do so?

Actually, my current project is how we can create digital transformation in the ecosystem backed by many state-owned enterprises. How can we use the existing customers to be digitized by startup players? We can identify which digital ecosystem is ready to develop based on the business opportunity captive market in the state-owned enterprise but also powered by the startup’s proven solutions. Thus, I can level up as a CVC which not only introduces startups to the Telkom group but also creates opportunities outside what the startup or Telkom’s thought to create more impactful innovation.

Platform Distribusi Konten Video Pitchplay Tawarkan Alat Monetisasi Baru di Industri Musik

Industri musik menjadi salah satu yang terkena dampak paling besar dari pandemi Covid-19 di Indonesia. Kebijakan pemerintah untuk menetapkan protokol kesehatan termasuk Perlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) menyebabkan seni pertunjukan terhenti total. Ditiadakannya konser offline serta pembatasan-pembatasan dalam interaksi sosial nyatanya sangat berpengaruh terhadap aktivitas musisi.

Salah seorang musisi Febrian Nindyo Purbowiseso atau dikenal sebagai Febrian HIVI menyebut bahwa sekitar 55 persen dari musisi Indonesia kini telah menjual alat musiknya untuk bertahan hidup selama masa pandemi Covid-19. Angka ini didapatnya saat melakukan survei bersama Federasi Serikat Musisi Indonesia (Fesmi) kepada 186 orang, dalam wilayah kerja untuk DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Seiring dengan berjalannya waktu, industri musik mulai bangkit dengan inovasi-inovasi yang tercipta melalui platform digital. Lalu, dengan protokol kesehatan yang ketat dan selebihnya pertunjukkan offline mulai kembali diadakan namun lebih banyak yang beralih ke virtual. Meskipun begitu, tidak sedikit musisi yang mengaku kesulitan untuk memonetisasi karyanya secara virtual. Salah satu pemain yang coba menawarkan solusi untuk masalah ini adalah Pitchplay.co.

Co-Founder & CEO Pitchplay Fauzan Rezda mengungkapkan bahwa saat ini eksistensi para musisi tanah air sedang terguncang. Selain karena live performance yang menjadi salah satu sumber pendapatan utama musisi berkurang signifikan di masa pandemi, namun juga polemik revenue model pada digital music streaming yang hanya berpihak pada musisi berskala besar.

Melalui Pitchplay, Fauzan beserta timnya berkomitmen ingin menyediakan sebuah sustainable revenue model untuk musisi tanpa menggantikan revenue model yang telah ada sebelumnya.

Alat monetisasi baru di industri musik

Pitchplay pertama didirikan pada Juni 2020 oleh tiga founder, yaitu Fauzan Rezda sebagai CEO, Egi Purwana sebagai CTO, dan Daus Gonia sebagai CMO. Platform ini dirilis secara resmi pada Oktober 2020.

Ia turut mengungkapkan bahwa ide dibalik pembentukan Pitchplay adalah keinginan untuk menciptakan sebuah model bisnis yang memungkinkan musisi mendapatkan revenue stream baru tidak hanya dari produk jadinya (karya lagu) tetapi juga dari proses kreatifnya dalam bentuk konten video dan langsung kepada penggemar, tidak ketergantungan kepada sponsor/brand.

Saat ini, Pitchplay memiliki 3 fitur yaitu rent-to-view, bundle, dan support. Fitur utamanya sendiri adalah rent-to-view, yang memungkinkan musisi menjual konten video langsung kepada fans. Sekali membayar, penggemar dapat menonton konten tersebut tanpa batas selama 7 hari dan Pitchplay hanya akan
mengenakan biaya potongan kepada musisi per transaksi.

Sedangkan untuk bundle, musisi dapat menjual lebih dari satu konten atau dengan merchandise. Selain itu, ada juga fitur support yang memungkinkan fans memberikan dukungan dalam bentuk uang dan juga pesan kepada musisi kesayangannya.

Sekilas mungkin terlihat tidak ada bedanya dengan platform distribusi konten lain seperti YouTube atau sejenisnya. Namun, salah satu yang menjadi musuh bebuyutan para musisi adalah piracy atau pembajakan. Sementara konten virtual yang didistribusikan secara gratis melalui platform digital rentan sekali dengan isu pembajakan. Dalam hal ini, Pitchplay juga menawarkan wadah bagi musisi untuk mendistribusikan karya dengan nyaman dan aman dari ancaman pembajakan.

Dari sisi teknologi, timnya mengaku telah menerapkan beberapa teknologi penunjang untuk memenuhi standar keamanan konten, seperti DRM, blocker third party download, serta watermarking untuk mencegah pembajakan. “Kita yakin pembajakan tidak bisa 100% dihilangkan, tapi bisa dioptimalkan dalam pencegahannya baik preventif atau penanggulangannya,” tambah Fauzan

Merujuk kepada peraturan Pasal 3 PP 56/2021 yang menyebutkan bahwa setiap orang bisa menggunakan lagu dan atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan catatan harus membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta dan atau pemilik hak terkait.

Untuk konten sendiri, timnya juga melakukan proses kurasi yang akan dipajang di platform. Jika isi dan kualitas konten dirasa tidak relevan, maka konten tersebut tidak akan dinaikkan atau secepatnya di take down.

Sebagai platform yang memiliki model B2B2C, Pitchplay berfokus kepada akuisisi artis sebagai penyedia konten. Untuk mendukung strategi akuisisi, timnya juga telah melakukan beberapa program edukasi baik secara langsung ke artis atau melalui program di media sosial.

Tantangan dan peluang

Sejauh ini, analisa dan tesis awal Pitchplay menunjukkan bahwa adopsi pasar terbilang cukup baik bahkan dengan biaya pemasaran yang kecil. Namun ada beberapa tantangan yang muncul, salah satunya adalah banyak fans yang bahkan belum memiliki akun e-wallet atau m-banking untuk pembayaran. Maka dari itu, selain OVO dan GoPay, platform ini juga menyediakan pembayaran lewat Alfamart.

Dari sisi pengguna sendiri, Pitchplay mengaku antusiasmenya cukup kuat bahkan dari segmen yang sebelumnya tidak bisa diprediksi. Kekuatan eksklusifitas dan tipe konten masih menjadi faktor utama bagi pengguna untuk mau membeli konten.

Menurut Fauzan, potensi konten berbayar sendiri masih sangat besar dan terus berkembang di Indonesia. Kuncinya adalah bagaimana bisa menjangkau target market yang menjanjikan tidak hanya dari sisi kualitas namun juga kuantitas.

“Hal tersebut yang membuat kami berfokus pada musik, karena bagi kami musik merupakan hal yang dekat dengan target market di Indonesia terutama jika kita berbicara segmen milenial dan second-tier cities, yang mana secara angka terbilang sangat besar,” ujarnya.

Dalam industri musik tanah air, sudah ada beberapa platform yang juga menawarkan revenue tambahan bagi para musisi. Salah satunya adalah GoPlay Live yang sudah dikostumisasi sedemikian rupa untuk menawarkan pengalaman real-time melalui platformnya. Selain itu juga ada aplikasi Modular yang memungkinkan konser virtual menggunakan teknologi Augmented Reality.

Selain itu, tantangan yang kemudian muncul adalah sulitnya musisi untuk membuat konten baru dengan terkendala masalah kreatif ataupun pendanaan. Platform ini pun sedang mempersiapkan solusi untuk masalah tersebut lewat beberapa fitur yang akan dirilis ke depannya.

Target ke depan

Terlepas dari tantangan yang muncul, layanan ini mendapat cukup banyak respons positif dari para musisi. Fauzan juga menyebutkan bahkan muncul permintaan dari industri lain selain musik yang memiliki masalah dan kebutuhan yang sama.

Saat ini sudah ada 43 artis terdaftar di Pitchplay dengan 20 konten eksklusif dan jumlah tersebut terus berkembang seiring diskusi dengan beberapa artis yang masih berjalan. Terkait pengguna sendiri, saat ini telah terdaftar lebih dari 3.500 pengguna terdaftar aktif. Beberapa band ternama yang sudah memajang konten eksklusif di Pitchplay seperti Mocca (Mocca’s Valentine Special), Burgerkill (25th Annivesary Virtual Concert), juga The SIGIT (Footnote: The SIGIT – Behind the Stage) dan lain-lain.

Sejak didirikan, Pitchplay menjalankan kegiatan operasional secara bootstrapping. Di tahun ini, timnya mengaku sudah berhasil mendapatkan pendanaan eksternal pertama, namun untuk saat ini, nama investor dan jumlahnya masih belum bisa disebutkan.

Melalui musik, platform ini yakin dapat menjangkau untapped market yang selama ini belum terjamah secara optimal. Timnya juga sempat mengadakan survey yang menunjukkan 4 dari 5 pengguna berbayar Pitchplay melakukan pembelian konten digital pertama di Pitchplay. Sebelumnya mereka belum pernah berlangganan/membeli konten digital termasuk layanan music streaming/VOD.

Selain memposisikan platformnya yang berfokus pada musik, Pitchplay juga berusaha menyediakan layanan 360° bagi musisi yang tidak hanya dapat menjual konten berbayar, tapi juga menyediakan fanengagement lewat beberapa fitur baru mendatang.

Saat ini, Pitchplay disebut sedang menyiapkan untuk merilis mobile app dan beberapa fitur baru. “Lewat beberapa fitur baru tersebut, fokus kami akan tetap memperkuat solusi sustainable revenue model bagi musisi dan juga menyediakan pengalaman yang lebih menyenangkan bagi pengguna,” tambah Fauzan.