Kesempatan Pendanaan Bagi Startup yang Memiliki Visi Menyejahterakan Petani Indonesia

Menyejahterakan petani di Indonesia adalah hal yang coba diusung Agro Market-Linkages SDG Fund. Dana ini adalah sebuah inisiatif pendanaan di Indonesia untuk para startup yang memiliki misi menghubungkan petani di Indonesia kepada pangsa pasar domestik dan internasional. Isu di mata rantai pertanian saat ini adalah banyak hal yang menjadikan petani tidak mendapatkan hasil optimal, sehingga diharapkan peran serta inovasi dapat meningkatkan kesejahteraan hidup petani secara mandiri.

Kegiatan ini diinisiasi UNDP (United Nations Development Programme), ANGIN (Angel Investment Group in Indonesia), dan Challenger 88 (didirikan oleh pendiri dan mantan direktur LGT Venture Philanthropy dan mantan ketua IIX Investements di Asia Tenggara), serta didukung pemerintah Kanada. Agro Market Linkages-SDF Fund hadir untuk mengatasi beberapa isu yang sering ditemui oleh para penggerak sosial di bidang agrikultur, termasuk terkait pendanaan, pengembangan kapasitas dan celah akses pasar.

Agro Market-Linkages SDG Fund dalam memberikan bantuan pada inovator mengadopsi pendekatan blended finance, yakni menggabungkan sumber pendanaan publik dan swasta untuk diberikan dalam bentuk direct debt investment (pinjaman langsung) senilai $25.000 hingga $500.000. Syarat penerimanya secara umum adalah bagi mereka yang telah membuktikan diri mampu berperan menghubungkan petani kecil kepada pemain yang lebih besar di sepanjang rantai pertanian.

[Baca juga: Daftar Startup Indonesia di Bidang Pertanian, Perikanan, dan Peternakan]

Capacity building juga menjadi salah satu konsentrasi Agro Market-Linkages SDG Fund. Bagi startup atau inovator yang terpilih, nantinya akan dibimbing untuk mencapai SDG (Sustainable Development Goals) atau Tujuan Pengembangan Berkelanjutan dan meningkatkan situasi ekonomi pertani di Indonesia. Sebanyak 20 usaha terpilih akan diikutsertakan dalam proses edukasi pengembangan berkelanjutan tersebut.

Program ini menargetkan ragam inovasi di bidang agrikultur, seperti solusi untuk penyediaan kebutuhan petani (bibit, pupuk, pendanaan, hingga pelatihan), membantu proses produksi, agregator, distributor atau inovasi lain dalam bentuk teknologi untuk memperbaiki mata rantai pertanian. Marketplace untuk produk pertanian, platform crowdfunding untuk petani, aplikasi pertanian juga beberapa jenis inovasi yang diperbolehkan untuk mengikuti kesempatan ini.

Untuk info lebih lanjut dan formulir mengikuti Agro Market-Linkages SDG Fund, kunjungi laman resminya di sini.


Disclosure: DailySocial merupakan media partner kegiatan Agro Market-Linkages SDG Fund di Indonesia.

Arah Industri Startup Asia Tenggara di Bidang Finansial, Pendidikan, Kesehatan dan AI (Bagian 2)

Pada artikel sebelumnya (Bagian 1) kami telah membahas tentang bagaimana dua lanskap kategori startup sati ini berkembang di Asia Tenggara, yakni fintech dan AI. Selain dua kategori startup tersebut –masih menyimpulkan dari sesi Future Stage di Echelon Asia Summit di Singapura—ada dua kategori lain yang dinilai tengah dalam fase hot, yakni Edtech dan Healthtech. Di Indonesia pun startup di segmen tersebut sudah bermunculan, bahkan beberapa bertumbangan, baik yang mengerjakan di sektor B2C ataupun B2B.

Menarik, saat ada yang bisa bertahan dengan proses bisnis yang dimiliki dan beberapa lainnya harus gulung tikar –minimal pivot ke proses lain. Kendati terlihat memiliki pangsa pasar yang besar, namun membutuhkan effort lebih untuk menggeser cara-cara yang sudah ada. Tidak hanya di Indonesia, permasalahan tersebut juga tengah menjadi tantangan yang ingin dipecahkan para startup di Asia Tenggara secara umum.

Healthtech: Masih banyak tantangan sekaligus jalan untuk menjadi “disruptive”

Salah satu sesi dalam Future Stage membahas seputar “Disruptive Innovation For Better Healthcare”. Dalam diskusi panel ini dihadirkan tiga pemateri yang terdiri dari Nawal Roy (Founder & CEO Holmusk), Julien de Salaberry (Co-founder Galen Growth Asia) dan Gillian Tee (Co-founder & CEO Homage).

Salah satu poin yang awal disinggung dalam diskusi panel tersebut terkait dengan intensitas pendanaan. Jika dibanding dengan yang lain, terlebih fintech, sektor healthtech memang masih jauh. Kategori startup ini lebih minim pendanaan, pun demikian dalam hype-nya di lanskap startup secara umum.

Poin menarik tentang potensi adalah saat ini para pemain di sektor kesehatan tentang mematangkan posisinya, untuk masuk secara mendalam dari unsur teknologi perangkat keras pendukung (dukungan IoT) atau perangkat lunak (khususnya analisis data).

Sesi diskusi panel pembahasan tentang tren startup kesehatan / DailySocial - Randi Eka

Terdapat salah satu pernyataan Nawal Roy yang menjadi sebuah keniscayaan. Saat startup bermain di bidang kesehatan –jika melihat yang ada sekarang—konsentrasi mereka justru belum pada misi kesehatan secara intensif, misalnya startup yang menyerukan penyembuhan diabates, sangat sedikit yang menawarkan solusi langsung terhadap penyelesaian masalah, beberapa startup bahkan hanya memanfaatkan tren untuk pemasaran semata.

Roy turut mengungkapkan bahwa inovasi tetap menjadi fokus, namun para pemula di bidang ini justru lebih suka bergelut di masalah seputar ekonomi (khususnya makro) yang berhubungan dengan kesehatan.

Terkait dengan potensi di waktu sekarang ini, Gillian Tee lebih suka melihat startup hadir sebagai tech-enabler dalam lanskap bisnis kesehatan dan juga pengelolaan data. Tak mudah memang mendapatkan akses ke data kesehatan, namun di sana terdapat banyak hal yang bisa dilakukan. Ia juga menceritakan, bahwa memahami apa yang benar-benar dibutuhkan klien menjadi hal yang sangat krusial.

Untuk itu startup yang ia gawangi, Homade, mencurahkan tahun pertamanya untuk mempelajari apa yang berhasil dan apa yang dibutuhkan. Selain tim teknis non kesehatan, saat ini Homeage memiliki tim operasi klinis dengan spesifikasi masing-masing berpengalaman minimal 11 tahun.

“Di lapangan ini bukan hanya tentang implementasi IoT atau teknologi lain pada permasalahan (kesehatan), tapi benar-benar tentang memahami bagaimana teknologi berdampak menjadi enabler,” ujar Gillian.

Mencoba melihat dari sudut padang investor, Julien Salaberry mengatakan untuk lanskap kesehatan saat ini masih banyak pertanyaan “membingungkan”. Baik terkait dengan solusi teknologi yang digunakan ataupun pada dampak inovasi yang digarap dengan penanganan kesehatan itu sendiri. Misalnya saat membicarakan tentang bioteknologi, pertanyaannya pasti berujung pada bagaimana strategi membawa konsep tersebut ke dalam industri.

Jika melihat dari tren yang ada di Indonesia, healthtech kebanyakan mencoba memfasilitasi –baik untuk paramedis maupun konsumen—dalam bentuk layanan yang menghubungkan atau menjadi asisten virtual. Artinya apa yang dilakukan belum bisa dikatakan benar-benar “mengganggu” industri kesehatan secara umum, karena penopang dalam proses bisnisnya masih di industri yang sudah ada.

Sama seperti pada kategori lainnya, bisa jadi juga ini berkaitan dengan penerimaan calon konsumen yang ditargetkan. Secara kasat mata sangat terlihat, jika bidang kesehatan mungkin banyak konsumen yang memilih tidak untuk “bertaruh”, dalam artian mencoba hal yang baru pun ragu. Karena tingkat risikonya yang tinggi.

Namun apa pun itu, para pemateri dalam panel meyakini bahwa teknologi tetap menjadi jembatan paling penting dalam menggerakkan industri kesehatan, untuk terciptanya solusi inovatif nan efisien, dalam waktu cepat atau lambat.

Edtech: Peta layanan dan arah pertumbuhan yang semakin jelas

Tentang lanskap pendidikan, Founder & CEO Topica Edtech Group Tuan Pham menyampaikan banyak hal dalam presentasinya. Salah satu yang menjadi titik poin, saat ini layanan dan produk berbasis edtech terdiri dari empat karakteristik utama, yakni (1) on-demand learning, (2) immersive experiences (3) direct to empolyers, dan (4) guidance by AI.

Poin pertama didasarkan pada tren pendidikan yang berangsur disampaikan melalui teknologi. Dicontohkan beberapa perguruan tinggi kini mulai mengadakan kuliah online, yang berimplikasi pada kepercayaan publik terhadap efektivitas sistem pembelajaran jarak jauh.

Di Asia Tenggara menurut Pham tren ini juga mulai terjadi, bahkan di Indonesia. Memang, jika menilik beberapa startup seperti Ruangguru atau Kelase misalnya, mereka mampu menyuguhkan proses dan sistem pembelajaran melalui medium teknologi yang akrab dengan pengguna.

Founder & CEO Topica Edtech Group Tuan Pham saat menyampaikan presentasinya / DailySocial - Wiku Baskoro
Founder & CEO Topica Edtech Group Tuan Pham saat menyampaikan presentasinya / DailySocial – Wiku Baskoro

Perkembangan teknologi modern juga berpengaruh di sektor ini, terutama berkaitan dengan bagaimana konten disampaikan. Contohnya tren Virtual Reality atau Augmented Reality yang mulai ramai digarap, tak lain menggunakan unsur edukasi sebagai konten primer yang disajikan.

Sementara itu kanal pembelajaran premium juga tetap menjadi bagian penting terhadap lanskap edtech. Pham mencontohkan bagaimana Udacity dan Pluralsight memiliki segmentasi yang membuat konten di dalamnya eksklusif bagi para pelanggan, didukung dengan keahlian sistem cerdas di dalamnya yang mampu memahami kebutuhan belajar penggunanya.

Diungkapkan juga pasar ini masih tergolong sangat terfragmentasi, kuncinya adalah pada “resolving the culture”. Apa yang dilakukan Topica Edtech Group salah satunya dengan menjalin kerja sama strategis dengan institusi pendidikan resmi. Bahkan menyesuaikan pembelajaran dengan standar yang dituntut oleh negara, dalam hal ini Tropica mempraktikkan di negara Vietnam dan Bangkok.

Edtech harus benar-benar menyesuaikan dengan pangsa pasar, pun demikian ketika startup akan melakukan ekspansi. Setiap negara bahkan kota memiliki diferensiasi yang tinggi. Mulai dari cakupan segmentasi pengguna, tatanan konten, platform sebagai medium hingga strategi distribusi.

Sesi diskusi panel membahas tentang Edtech / DailySocial - Wiku Baskoro
Sesi diskusi panel membahas tentang Edtech / DailySocial – Wiku Baskoro

Ketika berbicara pada strategi monetisasi, Co-Founder & CTO Remind David Kopf menceritakan pengalamannya, bahwa diperlukan momen dan titik awal yang pas ketika mengarahkan platform pendidikan menjadi sesuatu berbayar. Apa yang ia lakukan bersama startupnya dalam bisnis model yang telah dirumuskan, selama tahun ke-1 sampai 3 fokus pada penjelajahan pangsa pasar, kemudian tahun ke-4 fokus pada growth dan baru melakukan monetisasi pada tahun ke-6.

Prosesnya pun harus disiasati dengan baik. Beberapa layanan tidak bisa dijual langsung, misalnya penyaji konten. Ketika tidak dapat dielaborasikan dengan institusi resmi seperti sekolah, maka model bisnisnya harus dijalankan setelah memiliki traksi yang kuat. Misal edX, dengan konten premium yang mereka miliki, monetisasi dilakukan dengan cara menjual sertifikat premium untuk setiap capaian belajar.

Kesimpulannya, edtech masih menyimpan sejuta potensial, perlakukannya yang harus menyesuaikan kultur pendidikan di cakupan wilayah pasarnya. Tidak semua strategi dapat berjalan baik, bahkan cenderung harus diberi perlakuan berbeda.

Investasi Tencent di GO-JEK Mencapai Lebih dari 2 Triliun Rupiah

Sebuah sumber yang dirilis oleh Reuters kembali menegaskan investasi Tencent terhadap startup ride-hailing lokal terbesar GO-JEK. Sumber tersebut menyebutkan bahwa perusahaan internet asal Tiongkok tersebut memberikan suntikan investasi antara US$100 juta – US$150 juta (atau senilai lebih dari Rp2 triliun).

Kabar investasi ini sebenarnya sudah beredar sejak bulan Februari lalu. Setelah sebelumnya Tencent bersuara tengah berminat untuk berinvestasi mengembangkan GO-PAY. Di sisi lain investasi ini memang diperlukan oleh perusahaan rintisan Nadiem Makarim tersebut. Hadirnya Ant Financial dalam joint venture bersama EMTEK untuk mengelola Alipay (dari Alibaba) menghadirkan persaingan baru di lanskap digital payment berbasis layanan.

Penetrasi kuat dilakukan para pemain di bidang teknologi finansial di Indonesia bukan tanpa landasan. Walaupun jika dilihat dari penetrasi kartu kredit atau persentase un-bankable society masih terbilang belum unggul, namun literasi digital yang tinggi menjadi potensi untuk keterbukaan akan penerimaan solusi alternatif. GO-PAY sendiri menjadi salah satu yang tengah membuktikannya, dengan improvisasi yang cukup signifikan akhir-akhir ini.

Bersama dengan GO-JEK bukan pertama kalinya bagi Tencent untuk membuat debut di Indonesia, karena sebelumnya pernah membuat joint venture bersama raksasa media lokal MNC saat membawa aplikasi messenger WeChat. Di sisi lain, pengalaman investasi di bidang ride hailing Tencent juga sudah terpupuk sebelumnya, karena Tencent juga masuk di salah satu jajaran investor Didi Chuxing dan Lyft.

Induk Bisnis Fastpay dan WinMarket Peroleh Izin Penerbitan E-Money dari BI

Satu lagi penyedia layanan e-money mendapatkan perizinan resmi penyelenggara uang elektronik dari Bank Indonesia (BI). Tepatnya per 14 Juni 2017 lalu, dengan nomor izin 19/467/DKSP/Srt/B, PT Bimasakti Multi Sinergi (BM) resmi terdaftar.

BM dikenal sebagai perusahaan ritel yang mengoperasikan beberapa unit digital. Salah satunya WinMarket, sebuah layanan e-commerce yang menyasar segmentasi khusus pasar UMKM di Indonesia. Selain itu BM juga menjadi perusahaan penggerak layanan e-payment Fastpay.

Total ada 10 unit bisnis digital yang dikelola BM, yakni: Fastpay, BebasBayar, SpeedCash, FastTravel, TiketKAI.com, JadiPergi.com, RajaBiller, GigaPulsa, WinMarket dan PlasaMall.

Kami sudah mencoba menghubungi tim komunikasi BM untuk mendapatkan informasi seputar visi e-money dalam platform yang mereka miliki. Jika melihat spesifikasi unit bisnis yang dimiliki, kemungkinan besar akan ada semacam integrasi antara satu layanan dengan lainnya melalui Fastpay.

Penerbitan izin ini menambah jajaran perusahaan e-money lokal yang berizin resmi, setelah sebelumnya penggarap GudangVoucher juga mendapatkan perizinan dari BI.

[Baca juga: Angin Segar dari Bank Indonesia tentang Lisensi Uang Elektronik]

Jika berbicara tentang bisnis finansial secara umum, saat ini memang dominasi penetrasi masih banyak dikuasai oleh sistem pembayaran dan p2p lending. Menariknya keduanya kini telah mendapatkan dukungan oleh regulator, kaitannya dengan izin operasi. Salah satu fungsinya untuk memastikan kredibilitas setiap layanan, karena walau bagaimanapun apa yang disuguhkan berdampak langsung pada perputaran finansial di masyarakat.

Berbicara tentang data potensi uang elektronik di Indonesia, data statistik dari BI sepanjang tahun 2016 menerangkan jumlah uang elektronik beredar mencapai 51,2 juta kartu, tumbuh 49,22% secara year-on-year (YOY). Sementara dari segi volume transaksi 683,13 juta tumbuh 27,6% dengan nominal transaksi tumbuh 33,69% senilai Rp7,06 triliun.

Dari sebuah survei yang melibatkan lebih dari 1000 responden di kalangan konsumen pada awal tahun 2017 lalu menunjukkan statistik  52,49% dari responden survei menyatakan bahwa siap untuk beralih ke layanan pembayaran digital di waktu mendatang.

Saat berbicara spesifik terhadap generasi millennials (menyurvei 689 responden dari seluruh wilayah Indonesia), 63% di antaranya sudah mulai memanfaatkan layanan pembayaran digital.

Arah Industri Startup Asia Tenggara di Bidang Finansial, Pendidikan, Kesehatan dan AI (Bagian 1)

Sebagai wilayah regional yang sangat berkembang dalam startup digital, Asia Tenggara kini dikatakan tengah dalam proses penguatan ekosistem di masing-masing lini kategori. Yang paling menjadi sorotan dewasa ini ada di sektor finansial (fintech), di sektor edukasi (edtech), di sektor kesehatan (healthtech) dan inovasi terkait dengan kecerdasan buatan (AI – Artificial Intelligence).

Pada pagelaran Echelon Asia Summit 2017 di Singapura di tanggal 28-29 Juni 2017, beberapa pakar dan pelaku bisnis mendiskusikan tentang tren dan tantangan startup yang bergerak pada empat bidang tersebut.

Fintech: Tren platform pembayaran belum usai, dan berpacu pada kepercayaan pengguna

Salah satu indikasi pertumbuhan di sektor ini adalah tren investasi yang tidak terbendung. Startup fintech sendiri juga berkembang signifikan di Indonesia, dari pemain early-stage hingga yang mendapat dukungan besar dari korporasi. Dalam diskusi panel yang digelar dalam Echelon, dihadirkan tiga pemateri yang terdiri dari Veiverne Yuen (Co-Founder & Managing Director Tryb Capital), Valenzia Jihsuan Yap (Founder & CEO PolicyPal) dan Anson Zeall (Co-founder & CEO Coinpip).

Tema yang disajikan ialah langkah fintech ke depan setelah berkutat pada platform berbasis pembayaran. Namun Anson Zeall, dalam perkembangan platform pembayaran pun di pasar Asia Tenggara belum usai. Inovasi masih akan terus berlanjut, seiring dengan pasar yang mulai teredukasi dan berpindah menjadi cashless society. Di beberapa negara disebutkan bahwa dominasi pembayaran masih menggunakan uang tunai, lebih parah lagi non-bankable society juga masih banyak ditemui.

Sesi Fintech dalam Future Stage / DailySocial - Wiku Baskoro
Sesi Fintech dalam Future Stage / DailySocial – Wiku Baskoro

Dari perjalanan startup fintech yang ada saat ini –termasuk di Indonesia—terdapat dua tendensi besar pada visi mereka, yakni menjadi institusi keuangan dan mengembangkan teknologi yang bisa disalurkan di masyarakat dan industri. Menurut pemateri justru kedua hal ini yang akan menentukan fintech ke depan dan akan menjadi seperti apa.

“Sebagian besar layanan keuangan, setidaknya 85% tidak dibuat di sektor konsumer (B2C), melainkan di sektor bisnis (B2B),” Veiverne Yuen.

Di lain sisi kepercayaan masih menjadi perjuangan industri untuk berkomunikasi dengan calon penggunanya. Dari pengalamannya bersama PolicyPal, Valenzia Jihsuan mengatakan, “Ini tentang membangun kepercayaan dan berada di sana setiap kali mereka membutuhkan bantuan.”

Untuk mendukungnya, keterlibatan regulator sangat dibutuhkan. Salah satu yang telah dipraktikkan adalah mendapatkan akreditasi dari Monetary Authority of Singapore (MAS) –OJK setempat, sebagai bagian dari validasi keabsahan yang dapat ditunjukkan kepada konsumen.

Bagi sebagian besar penggunanya, fintech menjadi cara baru dalam banyak aktivitas transaksi. Uang adalah hal yang sensitif, dalam artian orang baru akan mau meletakkan uang yang ia miliki manakala meyakininya bahwa ia akan mendapati keberhasilan dalam transaksi. Terkait dengan kepercayaan tadi, para panelis menilai bahwa menjadi sebuah hal penting yang harus menjadi fundamental dalam fintech, baik untuk jangka pendek dan jangka panjang.

Blockchain turut disinggung dalam panel, dengan keuntungan yang diberikan antara lain berupa portabilitas, akuntabilitas dan potensinya di luar fintech. Salah satu penerapan terbaik saat ini –sebagai bagian dari membiasakan proses di dalamnya—validitas data dapat disuguhkan sebagai bagian terpenting dalam blockchain. Sementara ini blockchain sangat bagus untuk memantau dan memvalidasi transaksi yang berjalan di atasnya.

Namun jika berbicara secara teknis, contohnya pada fintech untuk layanan asuransi seperti yang disuguhkan PolicyPal, tidak mudah menerapkan blockchain ke dalamnya. Tantangannya adalah pada perlindungan data yang menjadi bagian krusial dalam proses bisnis. Namun tidak menutup kemungkinan jika ke depan justru inovasi yang ada akan turut mendorong blockhain sebagai bagian penting dalam fintech di Asia Tenggara.

Artificial Intelligence: Hype sangat besar dan gagasan mayoritas yang masih sangat konseptual

Dalam sesi “Hype or Hope and Is there an AI bubble?” terdapat Annabelle Kwok (CEO SmartCow), William Klipgen (Managing Partner Cocoon Capital) dan Jarrold Ong (Co-founder & ‎CTO SWAT).

Berkaitan dengan pertanyaan apakah AI hanya sekedar hype semata, masing-masing panelis memiliki argumen yang berbeda. Annabelle misalnya, saat ini ia melihat hype yang begitu luar biasa terhadap AI, namun demikian bukan berarti banyak harapan yang pasti akan tercapai dengannya.

Berseberangan, Jarrold Ong dan William Klipgen, memiliki pendapat berbeda. Bahwa AI bukan hanya sekedar hype semata. Kendati demikian memang masih banyak tantangan yang masih harus dibuat lebih gamblang. Seperti kata William, masih banyak ditemui investor yang sulit memahami seberapa dalam AI tertanam pada sebuah teknologi. AI di sini jelas memberikan nilai, tapi tantangan dari sisi investor ialah menentukan seberapa besar hype yang ada dan berapa nilainya.

“Singapura (dan Asia Tenggara pada umumnya) memiliki sedikit inovasi dan lebih banyak aplikasi teknologi, inovasi AI lebih banyak terjadi di Silicon Valley,” Klipgen.

Sesi Artificial Intelligence dalam Future Stage / DailySocial - Wiku Baksoro
Sesi Artificial Intelligence dalam Future Stage / DailySocial – Wiku Baksoro

Dalam praktik implementasinya, Jarrold Ong menerangkan bahwa untuk beberapa produk tidak perlu dipaksakan menggunakan AI. Dalam artian, dalam sistem secara keseluruhan AI hanya perlu diterapkan pada apa yang benar-benar dibutuhkan. Karena pada dasarnya saat AI berelaborasi pada suatu layanan, maka kapabilitas data akan diuji di sana.

Pertanyaan terbesarnya, ketika berbicara tentang AI maka startup akan berkompetisi langsung dengan pemain besar seperti Google atau Microsoft, dengan investasi yang sangat besar di divisi tersebut. Menurut Klipgen, metrik untuk mengukur kecerdasan produk perusahaan bisa menjadi proposisi bisnis potensial. Aplikasi yang dibawa ke industri memiliki sifat yang sangat kustom, dengan menunjukkan bahwa memiliki strategi pemecahan pada masalah yang signifikan.

Qlue Berikan Investasi Tahap Awal kepada Nodeflux

Apa yang terbayang ketika mendengar istilah smart city? Ya, sebuah kemegahan dan kemudahan akses di sektor publik yang didukung oleh kemampuan teknologi. Untuk merealisasikan visi tersebut secara berkesinambungan, belum lama ini pengusung produk berbasis smart city Qlue menjalin kerja sama khusus bersama pengembang piranti cerdas Nodeflux.

Kerja sama strategis ini dimulai dengan seed investment (investasi tahap awal) yang diberikan oleh Qlue kepada Nodeflux. Terkait dengan jumlah investasi yang diberikan tidak diinformasikan, yang pasti proses ini menjadikan Qlue sebagai salah satu pemegang saham startup yang didirikan Meidy Fitranto dan Faris Rahman.

[Baca juga: Nodeflux Kombinasikan Komputasi Pintar untuk Ragam Kebutuhan Analisis]

Kepada DailySocial, Meidy menceritakan terkait dengan kolaborasi yang akan dijalin bersama Qlue. Ia memaparkan, “Banyak sekali untuk kolaborasi yang bisa dikembangkan. Dan memang dalam banyak cases kita jalan beriringan, karena pasar klien dari Qlue secara umum sudah memiliki banyak CCTV yang sudah ter-deployed, jadi bisa kita manfaatkan untuk dijadikan pintar dan akan dikombinasikan dengan dashboard analytics Qlue.”

Sudah mulai memaksimalkan kolaborasi kedua teknologi

Kami juga menghubungi CEO Qlue Rama Raditya untuk menanyakan seputar kolaborasi antar dua startup ini. Pasca investasi ini, yang dilakukan Qlue adalah mengadopsi teknologi yang dimiliki Nodeflux ke dalam sistem smart city miliknya.

Salah satu yang sedang dikerjakan adalah proyek bersama kepolisian. Yang dilakukan adalah banyak hal, yakni melakukan analisis terhadap sesuatu yang terdeteksi oleh kamera CCTV yang dipasang. Mulai untuk menganalisis obyek, kepadatan lalu lintas, pendeteksi wajah dan sebagainya. Harapannya terbangun sebuah sistem yang nantinya akan membantu di banyak hal, seperti menemukan buronan atau pengaturan lalu lintas berdasarkan analisis trafik lalu lintas.

Rama juga menceritakan saat ini sedang bekerja sama dengan salah satu perusahaan ojek online. Fungsinya untuk mendeteksi sebaran driver di suatu wilayah. Yang jelas adanya platform Nodeflux membuat apa yang disajikan Qlue menjadi lebih komprehensif dan lebih terukur.

[Baca juga: Qlue Tak Ingin Sekedar Jadi Layanan Pelaporan Warga]

“Jadi yang kita adopsi adalah sistem analisis big data dan machine learning ke dalam dashboard smart city yang kami miliki. Masih banyak inisiatif berbasis IoT yang bakal kita setup bersama Nodeflux ke depannya, untuk menguatkan platform smart city yang kami miliki,” ujar Rama dalam sebuah kesempatan wawancara.

Saat ini Nodeflux berkantor di tempat yang sama dengan Qlue. Meidy dan Rama sama-sama mengutarakan bahwa dengan menyatunya ruang kerja, keduanya dapat berkolaborasi lebih mendalam untuk mengembangkan solusi kota pintar bersama-sama.

“Awalnya saya lihat website-nya, tertarik dan langsung invest. Karena saya memang suka mereka [Nodeflux], banyak proyek kita saat ini juga dikerjakan oleh mereka, khususnya yang membutuhkan solusi analisis Nodeflux,” pungkas Rama.

Optimis dengan Peluang Besar O2O, Kioson Terus Lakukan Ekspansi Pasar

Kioson sebagai startup yang memfokuskan diri sebagai e-commerce enabler dengan skema bisnis O2O (Online-to-Online) mendapatkan pendanaan dari Mitra Komunikasi Nusantara (MKNT). Nilai pendanaan yang didapat adalah $450 ribu atau senilai 6 miliar rupiah. Pendanaan ini turut mengantarkan MKN pada kepemilikan saham di Kioson senilai 4,95 persen.

Ini sekaligus sebagai awal jalinan kerja sama strategis antara Kioson dan MKNT sebagai aksi korporasi memperkuat distribusi penjualan melalui kanal online. MKNT adalah emiten yang bergerak pada penjualan gadget dan voucher di Indonesia.

“Sinergi ini tentu akan saling memperkuat keduanya. MKNT yang memang sangat kuat di industri telekomunikasi akan memberikan akses kepada kami atas produk dan layanan yang dimiliki oleh MKNT. Sebaliknya jaringan Kioson yang sudah tersebar banyak sangat menunjang untuk menjadi jalur distribusi MKNT,” terang CEO Kioson Jasin Halim kepada DailySocial.

Sejak memulai debutnya di tahun 2015 untuk menjembatani UMKM ke ranah digital, Kioson mencoba terus berinovasi menghadirkan ragam layanan. Yang terbaru dari Kioson antara lain saat ini sudah tersedia produk jasa keuangan seperti asuransi. Selain itu Kioson kini juga dapat ditempatkan sebagai payment point di beberapa merchant toko online.

 

[Baca juga: Kioson Fasilitasi UMKM Lakukan Pendekatan Digital]

Siapkan ekspansi secara masif untuk akuisisi pasar

Dari keterangan yang kami terima, saat ini Kioson sudah bekerja di 430 kota di seluruh wilayah Jawa dan Sumatera. Sekurangnya sudah ada 15 ribu mitra Kioson yang melayani sekitar 2 juta pelanggan. Pendanaan yang didapat kali ini akan dioptimalkan sepenuhnya untuk strategi ekspansi dan akuisisi pasar. Setidaknya target yang ingin dicapai meningkatkan jumlah mitra menjadi 100 ribu unit.

Kioson adalah aplikasi digital diperuntukkan bagi seluruh toko kecil dan UMKM, yang menjembatani seluruh transaksi digital. Selama ini dengan konsep O2O operasional bisnis yang paling diunggulkan Kioson adalah membantu masyarakat dalam berbelanja online dan melakukan transaksi keuangan (penjualan pulsa, pembayaran tagihan dan transfer antar bank). Selain itu Kioson juga turut menghadirkan produk-produk dari layanan e-commerce.

Mitra Kioson dapat mendaftarkan diri dan mengisi saldo melalui ATM. Lalu ketika ada konsumen yang hendak melakukan pembayaran atau pembelian online, bisa dilakukan secara langsung melalui aplikasi. Sedangkan konsumen dapat membayarkan secara tunai kepada mitra Kioson tersebut.

Jasin memaparkan optimismenya terhadap pangsa pasar O2O di Indonesia. Penetrasi internet dan keberadaan ponsel pintar masih menjadi landasan penting bagi pertumbuhan bisnis di sektor ini. Namun demikian pasar O2O yang sangat luas memerlukan strategi khusus melahirkan capaian bisnis yang menjanjikan.

“Pasar O2O sangat luas sekali terutama di kota lapis ke-2 dan ke-3. Pasar yang d maksud adalah pasar offline yang tidak bisa dijangkau online karena faktor non-bankability dan edukasi. Dengan meningkatnya penetrasi internet yang semakin luas, kebutuhan akan transaksi online atau e-commerce meningkat tetapi banyak masyarakat tidak bisa berpartisipasi dikarenakan kesenjangan ekonomi digital, jadi terlebih dahulu ada ekosistem yang mendukung kepercayaan masyarakat dalam melakukan transaksi online dan e-commerce,” ujar Jasin.

 

Application Information Will Show Up Here

Esensi MVP dalam Pengembangan Produk

Ada banyak penafsiran saat membicarakan tentang definisi Minimum Viable Product (MVP). Salah satunya, MVP adalah sebuah produk yang memiliki set fitur paling minimalis, tujuannya untuk membuktikan hipotesis paling esensial dalam bisnis yang dikembangkan. Bentuknya pun beragam, meskipun jika dalam startup digital akan lebih memberikan experiences saat bentuknya aplikasi, namun tidak menutup kemungkinan dengan hal yang lebih sederhana.

Contoh yang paling sering dipaparkan ialah MVP dari pengembangan Dropbox, kala itu hanya berbentuk sebuah video. Video singkat yang memaparkan inti dari cara kerja layanan yang akan mereka kembangkan dan keuntungannya untuk pengguna. Ribuan, bahkan ratusan ribu calon pengguna mendaftar hanya dengan menonton video itu.

Jadi inti dari MVP bukan pada alpha/beta product dari aplikasi, namun lebih kepada cara  memberikan kesempatan konsumen untuk memvalidasi secara langsung versi awal produk yang dikembangkan. Karena ketika ide telah direalisasikan dalam sesuatu yang lebih riil dan terpublikasi, orang akan lebih mudah membayangkannya dan menentukan apakah produk tersebut yang ia butuhkan atau tidak.

Bahkan MVP bisa berbentuk sesimpel satu single-web page dengan penjelasan menarik, lalu dibubuhi sebuah kolom isian email jika ada pengunjung yang tertarik.

Menjadi tahapan paling penting, menentukan lanjut atau memikirkan ide lain

Dalam berbagai pembahasan tentang “Lean Startup”, MVP selalu ditempatkan pada teknik yang paling penting untuk dilakukan. Menurut Eric Ries, salah satu yang mempopulerkan konsep MVP, bahwa dengan adanya produk inisiasi seseorang dapat mengumpulkan sebanyak mungkin pembelajaran atau umpan balik dari konsumen.

Meluncurkan aplikasi MVP juga dikatakan sebagai sebuah bentuk seni. Karena di sini memerlukan presisi yang tepat antara apa yang ingin disuguhkan dan apa yang benar-benar konsumen butuhkan. Untuk itu sebelum meluncurkan MVP, perlu diketahui komponen apa saja yang perlu diperhatikan, sebagai karakteristik MVP.

Setidaknya ada tiga hal yang menjadi kunci dalam pengembangan MVP: (1) menitikberatkan pada kegunaan produk secara esensial, sehingga ketika produk benar-benar diluncurkan maka konsumen bersedia menggunakan; (2) memberikan gambaran umum kepada konsumen tentang fungsionalitas lengkap yang akan dihadirkan mendatang; dan (3) menyediakan kanal umpan balik untuk membantu pengembangan secara berkelanjutan.

Mengantarkan pada penilaian yang terukur dan realistis, bukan pada asumsi

Setelah MVP sampai kepada konsumen ada banyak hal yang dilakukan. Yang paling sederhana adalah berbicara dengan konsumen, untuk mengetahui apa yang mereka rasakan. Menariknya saat ini sudah ada banyak sekali tools pengukuran yang bisa diintegrasikan, contohnya Google Analytics. Dari situ akan ditemukan apa yang disebut Problem-Solution Fit.

Problem-Solution Fit ini sederhananya adalah ketika banyak pengguna merasa apa yang dilahirkan melalui layanan tersebut menjawab kebutuhannya. Namun ketika sudah mencapai ini pun bukan berarti cukup. Karena pada akhirnya semua akan dipertaruhkan untuk tujuan bisnis. Maka selanjutnya perlu memikirkan Product-Market Fit, yakni tentang bagaimana meraih revenue dari proses bisnis yang telah dikembangkan.

Dari sini apa yang didapat adalah pengukuran. Tentang apa yang paling diminati dari inisiasi produk, apa yang paling ditunggu, masukan apa yang diberikan dan sebagainya. Semua harus terdokumentasikan secara jelas sebagai bekal untuk mematangkan produk. Bahkan untuk menentukan penghentian pengembangan jika solusi yang ditawarkan ternyata tidak tepat guna.

Hal lain yang perlu diperhatikan, MVP juga harus disodorkan kepada pangsa pasar yang tepat. Dipasarkan kepada orang-orang yang ditargetkan sebagai pengguna. Sehingga marketing effort tetap berperan kunci dalam tahap ini.

Membutuhkan pengujian ketat dan fokus dalam pengembangannya

Selain melakukan pemantauan umpan balik dari pengguna secara aktif, pengujian juga diperlukan. Terdapat banyak metodologi yang bisa digunakan untuk pengujian produk di masa MVP (ini lebih cocok dilakukan ketika MVP berupa aplikasi atau produk yang bisa dicoba). Salah satu metodologi yang dapat digunakan adalah A/B Split Testing.

Salah satu yang dilakukan oleh metodologi pengujian tersebut adalah dengan membandingkan apa yang dihasilkan aplikasi ketika diuji dengan mengubah-ubah variabel yang ada pada aplikasi. Misalnya pada penempatan tombol atau fungsionalitas menu, lakukan perubahan dengan beberapa desain pada periode waktu tertentu. Lalu lakukan analisis, dari tindakan yang paling cepat dan umum dilakukan oleh penguji. Bahkan oleh calon konsumen sekalipun.

Kendati demikian fokus terhadap tujuan utama juga perlu menjadi perhatian. Sering kali dalam proses pengembangan produk, terlebih saat telah meluncurkan MVP, akan ada ide-ide baru yang bermunculan. Bisa saja dengan mudah seseorang langsung mencomot ide tersebut dan mengimplementasikannya ke dalam produk. Padahal belum tentu reliable dan bisa jadi menambah kompleksitas produk.

Padahal kesederhanaan proses sangat diutamakan dalam MVP untuk memusatkan perhatian pada esensi produk. Dampak dari ideas-overflow jika tidak terkelola dengan baik adalah gagalnya proses MVP dalam kaitannya dengan validasi konsumen dan pangsa pasar.

Ada cara untuk tetap memfokuskan pada tujuan dari pengembangan produk inisial

Pertama yang perlu dilakukan setelah memiliki ide spesifik tentang sebuah produk, kunci target pengembangannya. Turunkan ruang lingkup MVP (kaitannya dengan fungsionalitas dan fitur) lalu segera lakukan proses pra-produksi. Di sini proses perancangan dimulai, tapi bukan berarti tanpa adanya batu sandungan. Biasanya justru datang dari lingkup internal, yakni pengembangan ide yang tiada henti. Ingin menambahkan ini, menambahkan itu dan sebagainya. Yang diperlukan di sini adalah jangan mudah terlena. Fokus pada tujuan awal.

Dalam proses pengembangan lakukan secepat mungkin. MVP tidak membutuhkan fitur yang sangat lengkap, namun yang pasti harus mencakup tujuan utama dari ide. Jadi lakukan pengembangan seramping mungkin. Karena perlu untuk sesegera mungkin menghadirkan produk tersebut kepada konsumen. Karena pengembangan lanjutan atau penambahan fitur yang paling pas adalah ketika masukan tersebut berasal dari konsumen secara umum.

Jadi dapat disimpulkan, bahwa MVP itu pada dasarnya validasi tahap awal dalam pangsa pasar sebenarnya. Jika tervalidasi baik, pengembangan selanjutnya dapat bertumpu pada masukan yang diberikan, karena berasal langsung dari calon pengguna produk ke depan.

Facebook Proses Bentuk Usaha Tetap Di Indonesia

Tak bisa dipungkiri Facebook dan Indonesia saling membutuhkan. Konsumen Indonesia adalah early adopter yang sangat kuat dalam penggunaan media sosial dan secara jumlah Indonesia termasuk top 5 yang terbesar di Facebook. Hal ini membuat perusahaan rintisan Mark Zuckerberg tersebut perlu memikirkan matang-matang beragam langkah strategis untuk menjaga pasar di sini. Salah satunya ialah rencana formalisasi kantor perwakilan di Indonesia.

Facebook sendiri saat ini sudah ada di Indonesia kurang lebih sejak tiga tahun lalu, diisi beberapa staf strategis untuk layanan iklan dan pengembangan. Namun demikian unit bisnis tersebut, yang kini dipimpin Sri Widowati, belum berbentuk usaha tetap (BUT / permanent establishment). Isu yang sama juga mendera sejumlah perusahaan teknologi asing, termasuk Google/Alphabet.

[Baca juga: Keseriusan Pemerintah Tanggapi Pajak Google Mengarah Ke Kesiapan Regulasi Bisnis Digital]

Kabar terbaru, seperti yang dirilis Reuters, saat ini Facebook telah mendapatkan persetujuan awal dari pihak pemerintah untuk mendirikan unit domestik di Indonesia dan sedang dalam proses pengerjaan. Kabar persetujuan didapat dari seorang senior di jajaran pemerintah Indonesia.

Memang beberapa waktu terakhir pemerintah terus mengejar perusahaan teknologi multinasional untuk berbentuk usaha tetap di Indonesia. Salah satu tujuannya adalah untuk memaksimalkan retribusi pajak seiring dengan konsumsi yang semakin meningkat. Di kancah media sosial tidak hanya Facebook yang dikejar, Twitter pun mendapatkan dorongan yang sama.

[Baca juga: Tanpa Badan Usaha Tetap di Indonesia, Layanan OTT Bakal Diblokir]

Pada tahun 2015, hasil studi dari Google dan Tamasek menunjukkan capaian iklan digital di Indonesia mencapai $300 juta. Ditjen Pajak sendiri memprakirakan total pendapatan iklan di Indonesia mencapai $830 juta, didominasi 70 persen oleh Google dan Facebook.

Bank Indonesia Terbitkan Izin Penyelenggara E-Money untuk Pengembang GudangVoucher

Akhir Mei 2016 Bank Indonesia (BI) kembali merilis izin resmi Penyelenggara Uang Elektronik (e-money). Izin bernomor 19/468/DKSP/Srt/B tersebut diberikan kepada PT Buana Media Teknologi (BMT), sebuah perusahaan pengembang layanan teknologi korporasi sekaligus penggerak bisnis portal GudangVoucher.com (GV).

Dalam keterangannya, BMT menyampaikan bahwa verifikasi dari BI ini penting, karena melalui unit bisnisnya GV menyimpan dana masyarakat untuk transaksi keuangan. Dengan adanya izin, artinya GV dipastikan mendapatkan pengawasan oleh pemerintah untuk melindungi kepentingan para pelanggannya.

Sejauh ini GV menyajikan layanan pembelian voucher dan top-up berbagai jenis voucher dan layanan. Bersama dengan dikantonginya izin resmi dari BI, GV pun berencana menggenjot varian layanan. Yang akan segera diluncurkan ialah fitur transfer antar anggota dan tarik tunai dari saldo yang dimiliki pengguna di layanan GV.

Perizinan ini menjadi yang ketiga tahun ini setelah sebelumnya untuk Bank QNB Indonesia, dengan produk e-money berbasis server bernama DooEt, dan untuk BPD Sumsel Babel yang belum lama ini meluncurkan layanan serupa bernama BSB Cash untuk diintegrasikan dengan beragam layanan publik di Sumatera Selatan.

Kendati bisnis uang elektronik terpantau mengalami peningkatan signifikan, beriring dengan lonjakan peminat fintech –baik dari sisi penyelenggara maupun konsumen—penerbitan izin resmi dari BI ini terkesan alot.

Sebagai pemain baru, penyelenggara dompet digital untuk platform GO-JEK yakni GO-PAY tak ambil pusing. Melalui PT Dompet Anak Bangsa (DAB), ia memilih untuk mengakuisisi PT MV Commerce Indonesia, yang telah memiliki perizinan penyelenggaraan e-money sejak tahun 2014. Hal serupa dilakukan oleh EMTEK untuk Espay.

Berbicara tentang data potensi uang elektronik di Indonesia, data statistik dari BI sepanjang tahun 2016 menerangkan jumlah uang elektronik beredar mencapai 51,2 juta kartu, tumbuh 49,22% secara year-on-year (YOY). Sementara dari segi volume transaksi 683,13 juta tumbuh 27,6% dengan nominal transaksi tumbuh 33,69% senilai Rp7,06 triliun.

Dari sebuah survei yang melibatkan lebih dari 1000 responden di kalangan konsumen pada awal tahun 2017 lalu menunjukkan statistik  52,49% dari responden survei menyatakan bahwa siap untuk beralih ke layanan pembayaran digital di waktu mendatang.

Saat berbicara spesifik terhadap generasi millennials (menyurvei 689 responden dari seluruh wilayah Indonesia), 63% di antaranya sudah mulai memanfaatkan layanan pembayaran digital.