Xurya Dikabarkan Bukukan Pendanaan Seri A 200 Miliar Rupiah

Xurya dikabarkan telah mendapatkan pendanaan untuk putaran seri A senilai $14 juta atau setara 200 miliar Rupiah. Berdasarkan data yang kami dapat, putaran ini dipimpin oleh East Ventures dan AC Ventures, dua pemodal ventura yang juga terlibat di pendanaan tahap awal mereka.

New Energy Nexus Indonesia kembali terlibat dalam putaran ini, juga Clime Capital melalui inisiatif The Southeast Asia Clean Energy Facility (SEACEF).

Ketika dihubungi DailySocial.id, tim manajemen Xurya memilih tidak berkomentar terkait dengan hal ini. Namun demikian turut disampaikan, dalam waktu dekat perusahaan akan mengumumkan aksi sebuah strategis [yang disinyalir terkait pendanaan] ke publik.

Xurya Daya Indonesia (Xurya) memiliki beberapa produk, meliputi solusi energi berbasis surya, yang diaplikasikan pada atap bangunan. Startup ini didirikan pada Juli 2018 oleh Eka Himawan, Edwin Widjonarko, dan Philip Effendy. Saat ini layanannya sudah dijajakan di sektor komersial dan industri di wilayah Jabodetabek, Jawa Timur, Palembang, dan Makassar.

Saat ini mereka sudah memiliki sekitar 50 pelanggan, sebagian besar dari kalangan industri. Menghasilkan setara 31,7 juta kWh energi hijau. Selain jasa pemasangan dan perangkat, mereka juga mengembangkan platform aplikasi untuk memudahkan pemilik aset melakukan pengelolaan energi.

Selain itu Xurya juga mempelopori metode no investment (tanpa investasi) untuk beralih ke tenaga surya dengan model biaya bulanan. Dalam implementasinya, solusi mereka berbasis satu pintu, Xurya akan membantu dari proses design, pemilihan equipment, perizinan, konstruksi sampai dengan pemilihan produk pembiayaan untuk listrik surya pelanggan.

Dalam sebuah kesempatan wawancara, Managing Director Xurya Daya Indonesia Eka Himawan mengatakan, “Di tengah perlambatan investasi PLTS utilitas, kami percaya bahwa pelanggan komersial dan industri telah menjadi titik terang bagi para investor ketenagalistrikan di Indonesia, tidak hanya dari perspektif keuntungan, tetapi lebih penting lagi dari perspektif dampak iklim.”

Dalam menyajikan produk-produknya, Eka mengakui bahwa edukasi konsumen menjadi salah satu tantangan terberat. Karena masih banyak perusahaan dan individu yang kurang paham mengenai solar panel dan banyak yang salah sangka mengenai stabilitas listrik dari PLTS.

“Target utama tahun ini melakukan ekspansi bisnis ke seluruh wilayah Indonesia untuk menawarkan solusi go green ke lebih banyak perusahaan,” tutup Eka.

Peluang pengembangan PLTS Atap di Indonesia sangat besar, melebihi potensi kapasitasnya yang mencapai 200 ribu megawatt. Saat ini biaya komponen PLTS Atap lebih rendah dibandingkan energi terbarukan lainnya, namun pasar tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal sehingga baru terpasang kurang dari 150 megawatt di seluruh Indonesia.

Selain Xurya, di Indonesia sudah ada beberapa startup yang turut bermain di ranah tersebut. Beberapa di antaranya Warung Energi, Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, dan Syailendra Power. Sebagian besar menggarap potensi tenaga surya.

Lemonilo Dapat Pendanaan Seri C Senilai 516,2 Miliar Rupiah

Startup pengembang makanan sehat Lemonilo mendapatkan pendanaan seri C senilai $36 juta atau sekitar 516,2 miliar Rupiah yang dipimpin oleh Sofina Ventures SA, serta partisipasi kembali dari Sequoia Capital India. Melalui pendanaan ini, Lemonilo akan memperkuat jaringan distribusi di Indonesia dan ekspansi produk ke luar negeri.

Dalam keterangan resminya, Co-Founder & Co-CEO Lemonilo Shinta Nurfauzia mengatakan bahwa perusahaan telah membuktikan model bisnisnya bekerja efektif di Indonesia. Maka itu, Lemonilo berencana untuk menduplikasi konsep bisnis ini ke negeri lain, dimulai dari negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.

“Dengan keahlian Sofina bekerja sama dengan perusahaan FMCG yang sudah mapan, kami yakin Lemonilo dapat menjadi salah satu wajah baru perusahaan FMCG di Indonesia dan sekitarnya,” ungkap Shinta.

Member of the Executive Committee Sofina Ventures Maxence Tombeur mengatakan bahwa ini merupakan investasi strategis yang sesuai dengan nilai-nilai Sofina. “Lemonilo adalah pelopor gerakan hidup sehat di Indonesia dengan tujuan menjadi merek FMCG terkemuka di dunia. Kami senang bermitra dengan para pendiri Lemonilo yang ambisius dan termotivasi dengan misi, dan selaras dengan strategi panjang untuk menawarkan akses terjangkau ke makanan dan produk sehat di Indonesia dan sekitarnya,” papar Tombeur.

Sebagai informasi, Sequoia Capital India sebelumnya memimpin pendanaan seri B di Lemonilo dengan nominal yang dirahasiakan pada paruh 2021 ini. Dari informasi yang kami himpun, pendanaan ini mendongkrak valuasi Lemonilo sebesar $300 juta atau sekitar Rp4,3 triliun, sekaligus mengukuhkan posisinya ke dalam jajaran startup centaur.

Dengan demikian, jajaran investor Lemonilo kini terdiri dari Alpha JWC Ventures, Unifam Capital, Sequoia Capital India, dan Sofina Ventures SA. Sebelumnya, East Ventures sempat terlibat pada pendanaan awal Lemonilo, tapi kini sudah exit.

Ekspansi luar negeri

Lemonilo dikenal sebagai startup new economy yang memproduksi produk makanan sehat alternatif. Didirikan di 2016 oleh Shinta Nurfauzia, Ronald Wijaya, dan Johannes Ardiant, Lemonilo memanfaatkan platform yang dikembangkan sendiri, baik situs web maupun aplikasi, untuk mendistribusikan dan mempromosikan produknya.

Hingga kini, Lemonilo kini telah meluncurkan lebih dari 40 jenis produk, seperti mie instan, camilan, dan bumbu dapur, yang dijual platform sendiri di lebih dari 200 ribu Point of Sales (POS) di Indonesia, termasuk melalui reseller.

Co-CEO Lemonilo Ronald Wijaya mengungkap bahwa Lemonilo akan tetap fokus menggarap pasar utamanya sambil melakukan inovasi produk-produk baru. Pihaknya akan memperkuat jaringan distribusi Lemonilo untuk mengokohkan posisinya di skala nasional. Hal ini sejalan dengan misi Lemonilo untuk memberikan akses gaya hidup yang lebih sehat kepada masyarakat Indonesia.

“Kami yakini semakin banyak orang ingin hidup lebih sehat, terutama sejak Covid-19 melanda negara kita. Kami harap semakin banyak masyarakat Indonesia yang menerapkan gaya hidup lebih baik melalui produk-produk yang praktis, lezat, dan terjangkau,” tutur Ronald.

Dalam wawancaranya kepada DailySocial.id beberapa waktu lalu, Shinta mengungkap tengah fokus memperkuat jaringan distribusi produk, menambah jumlah tim, dan meluncurkan berbagai produk baru.

Menurut Shinta, Lemonilo ingin mengisi gap pasar antara permintaan produk sehat impor berharga tinggi dengan jumlah perusahaan FMCG yang ada. Lemonilo memastikan produksinya bebas dari lebih dari 100 bahan berpotensi bahaya, seperti pengawet, penguat rasa, dan aneka bahan sintetis, yang kerap ditemukan di banyak produk consumer goods.

Seperti diketahui, pandemi Covid-19 mendorong perubahan konsumsi makanan masyarakat di Indonesia. Mengutip Alinea, survei Femina di awal 2021 mencatat sebanyak 82% dari 300 responden mengubah pola makan selama pandemi. Sementara, 62% di antaranya mengubah pola makan demi menjaga kesehatan.

Application Information Will Show Up Here

OCBC NISP Hadirkan Kantor Cabang Berkonsep “Hybrid”, Fokus pada Penguatan Literasi Keuangan

Bank digital telah mengubah lanskap perbankan nasional, terlihat dari hampir semua aplikasi perbankan menawarkan kemudahan dan kepraktisan bertransaksi keuangan, termasuk transfer, investasi, bayar, semua diselesaikan lewat smartphone. Akan tetapi, tren peningkatan transaksi keuangan perlu dibarengi dengan literasi atau pemahaman keuangan yang baik.

Mengutip dari hasil riset OCBC NISP Financial Fitness Index, ditunjukkan bahwa generasi muda Indonesia termasuk salah satu negara terendah dengan indeks literasi keuangan yang rendah dengan rata-rata kesehatan finansial mencapai 37,72. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan Singapura yang mencapai 61.

Riset tersebut juga menunjukkan, sebanyak 14,3% anak muda yang terlihat berusaha menuju “sehat” finansial, namun nyatanya kondisi mereka masih belum ideal. Hal ini salah satunya dikarenakan pemahaman mereka yang masih tidak tepat terkait bagaimana mengelola keuangan.

Untuk mendukung peningkatan literasi ini, Bank OCBC NISP meluncurkan Financial Fitness Gym (FFG) dari Nyala OCBC NISP. Ini adalah bentuk disrupsi kantor cabang dengan menghadirkan konsep hybrid, transformasi layanan untuk edukasi dan solusi keuangan yang lebih kreatif dan efektif dengan pendekatan konsep gym dengan objektif melatih dan menguatkan otot-otot keuangan para generasi muda. Lokasi FFG pertama berada di Surabaya, tepatnya Mal Ciputra World.

FFG didesain menjadi tempat gym finansial dengan experiential learning environment, yang mana peranan kantor cabang telah di-upgrade tidak sekadar untuk transaksi, namun untuk melakukan eksplorasi kebutuhan finansial. Hampir seluruh kegiatan di FFG akan dipandu secara digital melalui ONe Mobile, aplikasi dari OCBC, mulai dari pembukaan rekening, transaksi perbankan, sampai dengan investasi.

“Tingginya transaksi digital harus didukung dengan literasi keuangan yang tepat agar solusi berbasis digital yang ditawarkan tidak mendorong perilaku konsumtif, tetapi mendorong terbentuknya masyarakat yang sehat secara finansial (Financially Fit). Dengan konsep hybrid service, masyarakat akan mendapatkan interaksi offline dan online dengan demikian penyampaian edukasi dan solusi keuangan akan semakin efektif,” ucap National Network Head Bank OCBC NISP Jenny Hartanto, Jumat (10/12).

Pengalaman konsumen saat memasuki kantor cabang ini, dimulai dari Financial Check Up Spot untuk mengetahui titik permasalahan keuangan dan apa solusi yang dibutuhkan. Di titik ini, pengunjung perlu mengisi sejumlah pertanyaan survei terkait kondisi keuangan, investasi, dan gaya hidup. Setelah itu, akan diberikan skor akhir dari masing-masing untuk mendapat gambaran keuangan seseorang secara keseluruhan.

“Sama seperti masuk gym, sebelum olahraga, pengunjung akan diukur berapa body mass-nya dan sebagainya dan ditanya apa concern dan tujuan mereka ikut gym. Sebab tiap orang itu punya masalah dan solusi yang berbeda-beda. Setelah itu, pengunjung akan dibantu oleh Nyala Buddy (sebutan expert dari OCBC) bila ingin bertanya langsung ke expert-nya.”

Konsep hybrid ini menggabungkan layanan online dan offline, mulai dari financial check up, personalized consultation melalui teknologi interactive touch screen, sampai kelas-kelas edukasi finansial yang dapat diikuti secara online dan offline di situs ruangmenyala.

Objektif yang ingin dibidik lewat kehadiran FFG ini adalah membantu meningkatkan pemahaman finansial (knowledge), memperbaiki kebiasaan manajemen keuangan (behavior), dan meluruskan mindset agar dapat mengambil keputusan keuangan yang tepat (attitude).

Jenny melanjutkan, alasan perusahaan memilih Surabaya sebagai lokasi pertama peluncuran FFG, lantaran di kota ini Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tinggi sebesar 82,23 pada 2020, tingkat kemiskinan relatif rendah, yakni 5%, dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pencapaian tersebut harus diimbangi dengan pemahaman masyarakat yang baik tentang pengelolaan keuangan.

Kota berikutnya yang akan disambangi FFG, tak lain kota besar dengan IPM yang tinggi. Salah satunya adalah Jakarta pada tahun depan. “Sayang sekali dengan IPM yang tinggi di Surabaya tidak dimanfaatkan dengan maksimal dalam meningkatkan literasi keuangannya.”

Kapabilitas layanan digital, baik untuk nasabah individu dan korporasi di Bank OCBC NISP terus mendapat sambutan yang positif. Meski tidak dirinci lebih detail, hingga September 2021 layanan ONe Mobile untuk nasabah individu mengalami peningkatan jumlah transaksi sebesar 16%, nilai transaksi 17%, dan jumlah pengguna 21% secara YOY. Sementara, layanan velocity@ocbcnisp untuk nasabah korporasi, nilai transaksinya naik 69%, jumlah frekuensi transaksi 18%, dan jumlah pengguna 15% secara YOY.

“Peningkatan tren digital tidak berarti dapat langsung menggantikan esensi human interaction, bahkan perpaduan antara keduanya dapat menarik masyarakat untuk lebih aware pada pentingnya pengelolaan keuangan. [..] Seperti di FFG, perpaduan antara kekuatan perbankan digital, interaksi dengan coach berpengalaman dan keindahan desain kantor cabang membuat bicara tentang pengelolaan keuangan menjadi lebih menarik dan menyenangkan,” tutup Jenny.

Application Information Will Show Up Here

Fuse Kantongi Tambahan Dana Seri B+, Perkuat Ambisi ke Pasar Regional

Startup insurtech Fuse hari ini (13/12) mengumumkan tambahan pendanaan dalam putaran seri B+ dengan total nilai lebih dari $25 juta (sekitar 363 miliar Rupiah). Putaran ini dipimpin oleh investor global spesialis penggelontor dana untuk fintech dengan identitas dirahasiakan, serta dukungan dari investor sebelumnya seperti East Ventures (Growth Fund), GGV Capital, eWTP, dan EMTEK.

Selama enam bulan ini, Fuse telah menutup tiga putaran pendanaan Seri B dengan total perolehan lebih dari $50 juta (sekitar 725 miliar Rupiah). Dengan kata lain, mengokohkan posisi Fuse ke dalam jajaran startup centaur. Dana segar yang didapat perusahaan akan digunakan untuk membawa platform Fuse ke lebih banyak negara di Asia Tenggara. Perusahaan saat ini memiliki lebih dari 460 pegawai, dengan kantor cabang di Indonesia, Vietnam, dan Tiongkok.

Founder & CEO Fuse Andy Yeung menuturkan, rasa senangnya karena Fuse mendapat pengakuan dari investor fintech skala global di tengah pesatnya persaingan insurtech di Asia Tenggara. Pihaknya bersemangat untuk mendapatkan akses dan wawasan dari perusahaan portofolio fintech dan insurtech lainnya di jaringan global ini.

“Minat yang kuat dari investor global, bersama dengan prestasi terbaru kami masuk daftar World’s Top 100 Insurtechs 2021 yang diterbitkan oleh Sønr Global dan Ernst & Young, menegaskan kembali pendekatan ekosistem kami saat ini. Platform teknologi yang dikembangkan Fuse membuat asuransi lebih mudah diakses oleh masyarakat di Asia Tenggara,” ucap Yeung dalam keterangan resmi.

Dia melanjutkan, menurut laporan yang ia kutip, pada tahun ini kelas menengah Asia Tenggara diprediksi akan tumbuh menjadi 350 juta konsumen dengan pendapatan $300 miliar dan semakin melek digital. Menurutnya, Fuse berada di posisi yang tepat untuk memasuki pasar asuransi besar yang kurang terpenetrasi ini melalui platform teknologi uniknya, yang menghadirkan kanal-kanal distribusi yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan konsumen.

“Dengan kepercayaan dari investor, perusahaan asuransi, partner bisnis dan end-customer, Fuse akan terus berusaha sebaik mungkin untuk mengembangkan produk asuransi yang paling terjangkau dan sesuai kebutuhan. Kami sangat percaya bahwa transformasi asuransi digital dapat membantu lebih banyak orang mendapatkan proteksi asuransi, dan semoga tingkat penetrasi asuransi dapat meningkat secara substansial di tahun-tahun mendatang di Indonesia maupun Asia Tenggara.”

Sejak beroperasi di 2017, Fuse mengambil pendekatan aplikasi untuk memungkinkan penjualan asuransi dengan model bisnis B2A (Business to Agent/Broker). Perusahaan memiliki bisnis model yang komprehensif, yakni B2A, B2C comparison, B2B2C (asuransi mikro dan financial institute), yang memungkinkan untuk membantu partner mendistribusikan produk asuransi dengan biaya operasional yang terjangkau kepada end-customer.

Terdapat lebih dari 60 ribu tenaga pemasar/partner yang menggunakan aplikasi Fuse Pro untuk memasarkan produk asuransi. Fuse juga bekerja sama dengan lebih dari 40 perusahaan asuransi, mulai dari perusahaan asuransi umum hingga perusahaan asuransi jiwa, yang mendukung Fuse untuk menyediakan lebih dari 300 produk asuransi bagi end-customer.

Sejak kuartal ketiga 2021, Fuse telah resmi ditunjuk oleh Tokopedia sebagai mitra insurtech strategis untuk menyediakan semua produk asuransi umum bagi user Tokopedia. Pada September lalu, pendapatan premi bruto (Gross Written Premium/ GWP) Fuse telah melampaui Rp1 triliun, yang menjadikan Fuse sebagai perusahaan insurtech terbesar di Indonesia.

Sebelumnya dalam wawancara bersama DailySocial.id, Yeung memaparkan bahwa agen/broker memainkan peran penting dalam rantai penjualan asuransi dan mereka tidak akan terganggu teknologi dalam waktu dekat. Akhirnya diputuskan untuk membangun aplikasi Fuse Pro untuk mengaktifkan dan mendukung agen/broker dalam digitalisasi. Sekaligus, membantu mereka mengubah bisnis offline menjadi online.

“Dengan kata lain, kami ‘menggeser asuransi yang ada’ ke online, daripada mencoba ‘menciptakan’ pasar asuransi baru seperti asuransi mikro. Itu sebabnya kami fokus pada model bisnis agen/broker ini terutama sejak hari pertama,” ujarnya.

Peran vital keagenan

Sebenarnya, startup insurtech saat ini juga memiliki layanan keagenan untuk mendongkrak penjualan produk asuransi lewat agen (B2B) selain kanal ritel (B2C). PasarPolis punya PasarPolis Mitra dan Qoala dengan Mitra Qoala Plus. Hanya saja, keduanya fokus dari ritel dulu baru ke bisnis, sementara Fuse sebaliknya. Tidak ada yang salah dengan kedua segmen bisnis ini karena semangat sama, yakni ingin meningkatkan penetrasi produk asuransi di Indonesia.

Agen adalah garda terdepan perusahaan asuransi dalam memacu bisnis. Menurut data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), jalur ini memberikan kontribusi terhadap 36,1% dari total pendapatan premi asuransi jiwa hingga kuartal III 2020. Kemudian, disusul jalur bancassurance 46,95% dan jalur telemarketing 1,88%, dan lainnya 15,06%. Secara total, jumlah agen asuransi berlisensi naik 2,1% menjadi 635.326 orang dalam periode tersebut.

Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu mengatakan, bagi perusahaan asuransi jiwa, agen itu ibarat darah segar. Bila tidak melakukan rekrutmen, akan membahayakan perusahaan yang mengadopsi strategi agency. “Harap dicatat bahwa tidak semua perusahaan asuransi jiwa menggunakan agency sebagai kanal distribusinya. Jadi hal ini hanya berlaku bagi perusahaan asuransi jiwa yang menggunakan agen sebagai tenaga penjual,” ucapnya seperti dikutip dari Kontan.

Application Information Will Show Up Here

Whitepaper Mandiri Group: Perkembangan Regulasi IPO di Indonesia, Adopsi dari Bursa Amerika Serikat

Bursa saham Amerika Serikat menjadi rumah buat banyak perusahaan teknologi glpbal karena ramah dari segi regulasi dan penetrasi investor yang begitu matang. Meski demikian, tidak selalu ada cerita indah di sana. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dan menjadi bahan pembelajaran buat regulator di Indonesia.

Kesuksesan IPO Bukalapak pada Agustus kemarin, menjadi pembuktian bahwa regulator di Indonesia siap untuk menerima perusahaan teknologi, juga dapat menyerap dana yang dibidik Bukalapak. Selain Bukalapak, masih banyak perusahaan teknologi yang sudah menyatakan rencananya untuk segera melantai di bursa saham.

Agar semakin mudah dalam memahami paradigma terkini mengenai regulasi IPO baik di Indonesia maupun di pasar global. Mandiri Group menyusun whitepaper yang berjudul, “The Billion Dollar Moment: A Paradigm Shift for Indonesian IPOs”. Studi itu merupakan hasil kerja sama Mandiri Group, yakni Mandiri Capital Indonesia, Mandiri Sekuritas, dan Mandiri Institute.

Secara umum, studi tersebut mendeskripsikan pandangan makro terkait strategi pengumpulan dana perusahaan teknologi di Asia Tenggara, proses IPO untuk perusahaan rintisan teknologi, dan perbandingan kebijakan IPO di dalam dan luar negeri. Beberapa kesimpulan studi ini adalah laju volume IPO perusahaan teknologi di BEI diperkirakan akan terus melonjak ke depannya.

Kemudian, kesuksesan Bukalapak telah membuktikan kepada regulator dan pemangku kepentingan bahwa IPO perusahaan teknologi yang berkembang akan memberikan manfaat besar bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

“Dengan debut pasar yang memecahkan rekor dari salah satu unicorn teknologi, pembuat kebijakan terus aktif mengubah BEI menjadi lingkungan keluar yang lebih ramah untuk startup,” tulis studi tersebut.

Dalam whitepaper dipaparkan, setidaknya ada 14 perusahaan teknologi yang melakukan IPO di BEI sepanjang 2002-2021. Sejak 2002-2016, tercatat hanya ada tiga perusahaan yang IPO, yakni PT Limas Indonesia Makmur (2002), Multipolar (2013), Anabatic (2015). Kemudian bertambah menjadi 11 emiten sepanjang 2017-2021.

Berdasarkan klasifikasi bisnisnya terbagi menjadi lima kelompok, yakni e-commerce, fintech, SME solutions, IT & Data Security, dan digital trade marketing. PT Limas Indonesia Makmur pada saat itu IPO dengan kapitalisasi pasar sebesar Rp242 miliar. Sementara, PT Bukalapak.com melakukan IPO dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp87 triliun.

Di pasar regional, tren pengumpulan dana melalui aksi merger dan akuisisi diprediksi akan mencapai $75 miliar pada tahun ini, setelah lebih dari satu dekade angkanya stagnan di kisaran $20 miliar di tiap tahunnya. Pada tahun ini saja, setidaknya ada tiga aksi merger dan akusisi antar perusahaan teknologi dengan total nilai transaksi lebih dari $245 juta. Aksi itu dilakukan oleh Carsome (akuisisi iCar Asia), Mekari (akuisisi Qontak), dan Warung Pintar (akuisisi Bizzy).

BEI dan OJK juga lebih adaptif dalam melakukan banyak relaksasi untuk menyambut lebih banyak perusahaan teknologi agar melantai di bursa lokal. Relaksasi tersebut adalah menyeragamkan metode penghitungan indeks saham berdasarkan jumlah saham publik yang beredar alias free float dengan menggunakan IHSG sebagai indeks acuan utama.

Mereka juga melakukan penyesuaian atas kriteria pemilihan indeks yang memungkinkan emiten dapat dipertimbangkan segera masuk (fast entry) ke dalam konstituen LQ45, IDX30, IDX80, JII, JII70, IDX BUMN20 serta IDX-MES BUMN 17.

Belajar dari IPO di negara Barat

Perlu diakui, langkah BEI dan OJK untuk mendukung gairah perusahaan teknologi lokal untuk melantai di bursa lokal patut diacungi jempol. Salah satu yang menjadi permintaan para founer lokal adalah kemungkinan untuk pemberlakuan aturan dual class stock (DSC). Yang mana, aturan ini baru diluncurkan OJK setelah dinanti-nanti.

Praktek ini dibutuhkan perusahaan teknologi karena ada empat alasan. Pertama, memberikan ketenangan bagi founder yang ingin mengakses pasar modal publik untuk pendanaan tetapi tidak ingin melepaskan kendali atas bisnis mereka; memungkinkan pemilik perusahaan yang tumbuh cepat untuk mengakses pasar ekuitas publik tanpa melepaskan kendali total voting.

Kemudian, manajemen dapat fokus pada perolehan kekayaan jangka panjang alih-alih menjadi terganggu oleh tujuan kinerja jangka pendek; memberikan keamanan jika terjadi pengambilalihan potensial atau ancaman strategis, khususnya di era meningkatnya aktivitas pemegang saham; dan investor mungkin tidak terlalu khawatir tentang potensi kerugian dari struktur kelas ganda ketika dievaluasi terhadap manfaat berinvestasi di perusahaan yang dipimpin oleh seorang eksekutif atau pendiri terkenal.

“Dari 2017 hingga 2019, hampir 30% IPO menawarkan saham kelas ganda. Jenis struktur ini sangat populer di kalangan perusahaan teknologi yang pendirinya ingin mempertahankan hak suara dan kendali atas perusahaan.”

Tak hanya soal DCS, SPAC atau hal lainnya, perlu dicatat bahwa tidak semua debut IPO perusahaan teknologi di negara Barat berjalan dengan lancar pada tahap awalnya. Hal ini menandakan skeptisisme investor yang sehat. Kendati suatu perusahaan memiliki neraca keuanga yang sehat dan terus berada di posisi teratas, namun tidak selalu menandakan bahwa IPO akan berkinerja baik dalam waktu dekat.

Sekali lagi, ini adalah kondisi yang sehat karena menunjukkan bahwa menjual perusahaan kepada investor publik menjadi lebih menantang dan volume valuasinya jauh dari level dot-com-mania. Ambil contoh dari harga saham Airbnb, saat IPO dihargai $68 per lembar, sekarang tembus ke angka $170.

Kemudian, SEA adalah contoh kasus yang menarik karena sejak IPO di Oktober 2017, sahamnya dihargai $15 per lembar, tapi pergerakannya tidak dramatis sampai akhirnya di pertengahan Oktober 2020 meledak. Per kuartal III 2021, harga saham SEA naik 25 kali lipat dari harga IPO menjadi lebih dari $360 per lembar.

“Ini hanyalah salah satu contoh yang menunjukkan bahwa investasi teknologi adalah permainan yang panjang. Bahkan jika harga saham turun tak lama setelah IPO, potensi pertumbuhan dan keuntungan jangka panjang sering kali terasa bernilai.”

C88 Financial Technologies “Rebranding” Jadi Caxe Technologies

Induk perusahaan fintech CekAja, C88 Financial Technologies (C88), mengumumkan rebranding nama menjadi Caxe Technologies (Caxe). perubahan nama ini diumumkan langsung CEO & Co-Founder J.P. Ellis di halaman Linkedin-nya. Nama baru, yang juga bisa disebut “cakes”, merupakan anagram berbagai produk fintech B2B dari anak perusahaannya di Asia Tenggara.

“Tampilan baru Caxe yang segar, tetapi dengan nuansa yang familiar, menunjukkan siapa kita hari ini dan ke mana kita akan pergi besok dan lusa: lebih mendalami data, analitik yang lebih canggih, memanfaatkan kekuatan machine learning, mendorong keputusan yang lebih baik, memastikan automation dalam pelaporan peraturan, dan digitalisasi rantai pasokan distribusi penjualan.”

Ditambahkan olehnya, seiring dengan perubahan dan perkembangan pasar fintech, perusahaan memiliki komitmen untuk tetap menjadi yang terdepan dan terus mendorong nilai bagi 100+ klien perusahaan.

Saat ini grup perusahaan memiliki 400 karyawan yang berlokasi di Indonesia, Filipina, Singapura, Thailand, Australia dan Tiongkok. Di Indonesia, Caxe memiliki bisnis platform marketplace produk finansial CekAja.

Platform Pembelajaran Bahasa Cakap Kantongi Pendanaan Seri B, Fokus Kembangkan Fitur Berteknologi “Artificial Intelligence”

Setelah mengantongi pendanaan seri A+ senilai $3 juta atau setara Rp42,6 miliar Rupiah akhir tahun 2020 lalu, bulan Desember ini Cakap kembali memperoleh pendanaan Seri B senilai $10 juta (lebih dari Rp140 miliar Rupiah). Putaran pendanaan ini dipimpin oleh KB-MDI Centauri Fund dan Heritas Capital. Turut berpartisipasi KB Investment dan invstor lainnya yang tidak diungkapkan lebih lanjut.

Dana segar tersebut nantinya akan digunakan perusahaan untuk memperluas penawaran kursus bersertifikat, serta untuk mendorong ekspansi pasar dalam menyediakan akses yang lebih baik ke pendidikan berkualitas tinggi di Indonesia. Cakap juga ingin meningkatkan teknologi pembelajaran mereka dengan mengeksplorasi penerapan machine learning dan artificial intelligence, yang memungkinkan kemajuan belajar menjadi lebih personal bagi setiap siswa melalui pembelajaran adaptif.

“Kami bangga dan bersemangat untuk menjadi bagian dari transformasi pendidikan di Indonesia, di mana kami menggabungkan konten pembelajaran berkualitas tinggi, canggih teknologi, dan guru profesional di ekosistem kami untuk memberikan pengalaman belajar terbaik bagi kami siswa,” kata Co-Founder & CEO Cakap Tomy Yunus.

Tercatat dalam waktu dua tahun terakhir Cakap telah mendapatkan profit, telah berhasil membangun kredibilitas dan memperoleh pertumbuhan dengan mengakuisisi 1,5 Juta siswa, dengan pertumbuhan 500% YoY pada siswa aktif dan unduhan lebih dari 1 juta aplikasi. Putaran pendanaan Seri B ini sekaligus menutup pencapaian perusahaan tahun ini, dengan pertumbuhan yang baik melalui profitabilitas dan peran dalam mendukung pembelajaran jarak jauh sebagai solusi untuk meminimalisir dampak pandemi.

Memberdayakan siswa dan guru

Cakap adalah salah satu platform edtech terbesar di Indonesia yang mengembangkan aplikasi pembelajaran online dengan interaksi dua arah antara siswa dan guru melalui panggilan video dan percakapan teks. Konsep ini memungkinkan interaksi pembelajaran dua arah untuk pembelajaran life skill di seluruh Asia Pasifik. ​

Selama ini Cakap mengklaim telah memimpin kursus bahasa online untuk segmen Dewasa dan Anak-anak di Indonesia. Sebagai platform teknologi memungkinkan Cakap untuk menawarkan layanan berlangganan mereka dengan harga terjangkau dibandingkan dengan konsep layanan bimbingan belajar offline. Cakap juga telah memberdayakan lebih dari 1.000 guru di seluruh daerah. Ke depannya Cakap memiki rencana untuk perluasan pasar baru dan kemajuan teknologi.

“Oleh karena itu, untuk mendukung misi kami dalam mengangkat kehidupan masyarakat, kami secara konsisten mempelajari perilaku unik siswa dan meningkatkan solusi kami dengan mengembangkan mesin kami di sekitar AI dan machine learning, untuk memberikan pembelajaran yang terlokalisasi dan terpersonalisasi dalam mempercepat kemajuan belajar siswa,” kata Tomy.

Application Information Will Show Up Here

Kredivo dan Bank Sampoerna Meluncurkan Kartu “Paylater” Flexi Card

PT FinAccel Finance Indonesia melalui Kredivo dan PT Bank Sahabat Sampoerna (Bank Sampoerna) berkolaborasi meluncurkan kartu fisik paylater Flexi Card. Kartu ini dapat digunakan untuk bertransaksi secara offline melalu jaringan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) di jutaan gerai di seluruh Indonesia.

CEO Kredivo Indonesia Umang Rustagi mengatakan kolaborasi ini menunjukkan upaya pelaku fintech dan perbankan dalam bersinergi memberikan layanan keuangan yang cepat, mudah, dan terjangkau di tengah meningkatnya penetrasi digital saat ini.

“Flexi Card akan memberikan manfaat bagi segmen underbanked dalam merasakan kemudahan akses produk keuangan. Di saat yang sama, Flexi Card menjadi wujud komitmen Bank Sampoerna untuk bertransformasi digital dan berkolaborasi dengan pelaku fintech di Indonesia,” ujar Umang dalam keterangan resminya.

Sementara, Direktur Keuangan dan Perencanaan Bisnis Bank Sampoerna Henky Suryaputra menambahkan, komitmen Bank Sampoerna untuk bertransformasi digital juga terefleksi melalui upaya penambahan modal inti yang meningkat lebih dari Rp2 triliun per akhir November 2021, sebagaimana sesuai ketentuan modal minimum yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Flexi Card disebut memiliki biaya pengiriman kartu dan biaya tahunan secara gratis tanpa batas waktu. Adapun bunga yang dikenakan dalam transaksi Flexi Card sama seperti bunga yang ditawarkan Kredivo, yakni 0% untuk tenor 30 hari dan 3 bulan, serta bunga 2,6% per bulan untuk cicilan 6-12 bulan.

Pengguna juga dapat mengecek dan mengelola transaksi Flexi Card melalui aplikasi Kredivo. Selain itu, pengiriman Flexi Card dapat diajukan melalui dasbor aplikasi Kredivo dengan mendaftar akun Premium Kredivo.

Kredivo merupakan platform yang menawarkan pinjaman instan pada transaksi e-commerce dan offline, serta pinjaman tunai.

Sementara Bank Sampoerna merupakan bank swasta yang menyasar pada pengembangan usaha mikro dan UKM. Baru-baru ini, Bank Sampoerna juga mengumumkan kolaborasinya dengan KoinWorks untuk menghadirkan layanan neobank UMKM bernama KoinWorks NEO.

Co-branding kartu paylater

Strategi co-branding bukan hal baru pada produk kartu paylater. Selain memperkenalkan merek, kedua belah pihak dapat saling memanfaatkan ekosistem untuk meningkatkan akses keuangan melalui digital, terutama bagi segmen yang kurang tersentuh layanan perbankan.

Sejumlah bank dan platform digital di berbagai vertikal bisnis telah banyak memperkenalkan kartu paylater. Misalnya, Traveloka menggandeng Mandiri dan BRI untuk meluncurkan PayLater Card.

Baru-baru ini, BRI dan OVO juga meluncurkan kartu OVO U Card di mana pemilik kartu dapat menikmati tambahan rewards dan benefit dari ekosistem yang dimiliki OVO dan Grab. Ada pula kartu paylater yang diluncurkan Bank Mandiri dan Shopee. Pengguna dapat memperoleh koin Shopee di setiap transaksinya.

Dalam survei yang diterbitkan Kredivo beberapa waktu lalu, sebesar 90% pengguna e-commerce telah aware terhadap produk paylater, di mana 27% responden aktif menggunakan paylater dan setengahnya mengaku bakal meningkatkan penggunaannya di masa depan

Survei ini juga menyebutkan bahwa sebesar 98% merchant di Indonesia telah terhubung dengan layanan pembayaran digital, di mana separuh di antaranya telah menerima opsi pembayaran digital langsung, seperti paylater, dan point of sales (POS). Saat ini, Kredivo telah mengantongi lebih dari 4 juta mengguna atau setara 50% dari total pengguna kartu kredit di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

OJK Terbitkan Aturan Multiple Voting Shares, Semakin Ramah Buat Perusahaan Teknologi

OJK akhirnya menerbitkan aturan mengenai multiple voting shares (MVS). Hal ini tertuang dalam POJK No. 22 Tahun 2021 tentang Penerapan Klasifikasi Saham Dengan Hak Suara Multipel oleh Emiten dengan Inovasi dan Tingkat Pertumbuhan Tinggi yang melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas Berupa Saham.

Penerbitan beleid ini merupakan upaya mendorong pendalaman pasar keuangan, khususnya sektor pasar modal, dengan cara mengakomodasi perusahaan yang menciptakan inovasi baru dengan tingkat produktivitas dan pertumbuhan yang tinggi (new economy) dalam melakukan listing di Bursa Efek Indonesia.

POJK ini mengatur mengenai penerapan saham dengan hak suara multipel, yaitu satu saham memberikan lebih dari satu hak suara kepada pemegang saham yang memenuhi persyaratan tertentu. Tujuannya untuk melindungi visi dan misi perusahaan sesuai dengan tujuan para pendiri dalam mengembangkan kegiatan usaha yang dijalankan perusahaan.

OJK menetapkan syarat emiten yang dapat menerapkan saham dengan MVS adalah:

  1. Menggunakan teknologi untuk menciptakan inovasi produk dan terdapat pemegang saham yang berkontribusi signifikan terhadap pemanfaatannya;
  2. Aset perusahaan minimal Rp2 triliun dan telah melakukan kegiatan operasional minimal tiga tahun;
  3. Pertumbuhan tahunan (compounded) selama tiga tahun terakhir minimal 20% untuk aset dan 30% untuk pendapatan;
  4. Belum pernah melakukan penawaran umum efek ekuitas.

Lebih jauh, OJK tetap berusaha melindungi hak suara bagi pemegang saham publik. Ada empat poin yang ditetapkan:

  1. Jangka waktu penerapan saham MVS paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang satu kali dengan jangka waktu paling lama 10 tahun dengan persetujuan Pemegang Saham Independen dalam RUPS;
  2. Setiap pemegang saham MVS dilarang unntuk mengalihkan sebagian atau seluruh saham MVS yang dimilikinya selama dua tahun setelah Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif;
  3. Saham MVS memiliki hak suara yang setara dengan saham biasa pada mata acara tertentu dalam RUPS; dan
  4. Dalam setiap penyelenggaraan RUPS, jumlah saham biasa yang hadir dalam RUPS paling rendah mewakili 1/20 dari jumlah seluruh hak suara dari saham biasa yang dimiliki pemegang saham, selain pemegang saham MVS.

Selain itu, OJK juga mengatur rasio hak suara MVS terhadap hak suara biasa:

  1. Dalam hal pemegang saham MVS baik sendiri maupun secara bersama-sama memiliki saham MVS paling rendah 10% sampai dengan 47,36% dari modal yang ditempatkan dan disetor penuh, rasio hak suara MVS terhadap hak suara saham biasa sebesar 10:1
  2. Untuk MVS paling rendah antara 5%-10% dari seluruh modal, rasionya 20:1
  3. Untuk MVS paling rendah antara 3,5%-5% dari seluruh modal, rasionya 30:1
  4. Untuk MVS paling rendah antara 2,44%-3,5% dari seluruh modal, rasionya 40:1
  5. Apabila hak suara saham MVS tidak lebih dari 50% dari seluruh hak suara, emiten dapat meningkatkan rasionya, sehingga rasio hak suara MVS terhadap saham biasa menjadi paling tinggi sebesar 60:1

Fenomena MVS

Penerapan dual class shares (DCS) dengan struktur multiple voting shares (MVS) menjadi hal lumrah bagi penerapan IPO di bursa Amerika Serikat. Banyak negara yang mengatur rata-rata rasio antara hak suara saham MVS dengan hak saham biasa berbanding 10:1. Praktek ini berbeda dengan saham biasa yang hanya memiliki satu hak suara, sering disebut ordinary share.

Di Amerika Serikat, tercatat sebanyak 26 dari 134 perusahaan go public pada tahun 2018, 25 dari 112 perusahaan baru yang terdaftar pada tahun 2019, dan 32 dari 165 perusahaan yang baru terdaftar pada tahun 2020 mengadopsi DCS.

Fakta tersebut membuat bursa di negara lain seperti Hong Kong, Singapura, dan Shanghai termotivasi melakukan pelonggaran aturan agar bursanya jadi lebih menarik, khususnya perusahaan teknologi. Apalagi Hong Kong sebelumnya telah kehilangan saat Alibaba dan perusahaan besar lainnya berpaling dan memilih go public di New York.

Saat menjadi perusahaan publik, DSC berfungsi untuk meyakinkan para investor bahwa di bawah kontrolnya perusahaan dapat mencapai visi dan misi tertentu dalam jangka panjang. Meski founder tersebut secara teknis sahamnya lebih sedikit, tapi hak suaranya lebih besar daripada saham biasa.

“Kalau bursa bisa menerapkan ini, akan jadi hal positif karena rata-rata perusahaan teknologi itu di-drive oleh sosok founder,” ucap Managing Partner Ideosource Edward Chamdani dalam wawancara bersama DailySocial.

Pada umumnya, saat go public, biasanya tolak ukur perusahaan dilihat dari laporan keuangan dan tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Perusahaan teknologi yang bersifat disruptif dan inovatif sangat dipengaruhi sosok founder untuk menguatkan visi misi perusahaannya yang masih abstrak.

Kendati begitu, penerapan MVS selalu ada sisi negatif yang dikhawatirkan karena sistem kapitalisme ini menghilangkan unsur demokratis. Satu saham tidak lagi dinilai satu hak suara. Google bahkan memiliki tiga jenis saham, Class A, B, dan C. Tiap lembar saham Class B menguasai 10 hak suara diisi oleh orang-orang dalam Google. Sementara saham biasa Class A yang dijual ke publik hanya bernilai satu hak suara dan Class C tidak memiliki hak suara.

Flip Kantongi Dana Segar Seri B 688 Miliar Rupiah, Masuk ke Jajaran Centaur

Flip, startup penyedia platform pembayaran dan transfer dana antarbank, mengumumkan penutupan pendanaan Seri B senilai $48 juta (688 Miliar Rupiah) yang dipimpin oleh Sequoia Capital India, Insight Partners, dan Insignia Venture Partners. Investasi di Flip menandakan debut Insight Partners di Indonesia bagi perusahaan ekuitas swasta dan modal ventura global yang berbasi di New York ini.

Meskipun belum ada informasi soal valuasi terbaru Flip, total dana $65 juta yang telah diperoleh Flip sejak pendanaan awal membawa Flip masuk ke jajaran centaur bervaluasi lebih dari $100 juta, menyusul OY!, kompetitor terdekatnya.

Sebelumnya, putaran Seri A Flip pada 2020 dipimpin Sequoia Capital India dan putaran pendanaan awal pada 2019 dipimpin bersama oleh Sequoia Capital India dan Insignia Ventures Partners.

Flip akan menggunakan dana segar tersebut untuk mempercepat ekspansi bisnis, memperkuat operasional di Indonesia, berinvestasi pada teknologi untuk memberikan kualitas yang lebih baik, serta mengembangkan talenta dengan fokus pada tim teknik dan produk.

“Kami merasa terhormat untuk tetap menerima kepercayaan dan dukungan terus menerus dari mitra kami. Kami juga senang menyambut perusahaan modal ventura dan ekuitas swasta global terkemuka, Insight Partners, yang telah terbukti sukses dalam lanskap industri teknologi keuangan global. Kami percaya bahwa kemitraan ini akan membantu kami dalam mengejar pertumbuhan dan mewujudkan visi kami untuk menghadirkan produk keuangan yang paling adil di Indonesia,” ucap Founder dan Direktur Utama Flip Rafi Putra Arriyan dalam keterangan resmi, Rabu (8/12).

VP Sequoia India Aakash Kapoor mengatakan, transfer beda bank merupakan metode pembayaran paling dominan dalam ekonomi digital Indonesia yang berkembang pesat. Flip memiliki basis pengguna yang besar dan tumbuh cepat dengan metrik retensi yang luar biasa baik.

“Bermitra dengan lebih dari 50 perusahaan fintech dan beberapa unicorn pembayaran pertama distribusi, Sequoia Capital India percaya bahwa Flip adalah perusahaan fintech konsumen paling menarik di Indonesia. Kami sangat senang untuk memimpin bersama putaran ketiga berturut-turut sebagai bukti keyakinan yang tinggi terhadap Flip,” kata Kapoor.

Flip telah tumbuh secara signifikan di tengah meningkatnya adopsi teknologi. Perusahaan telah melayani lebih dari tujuh juta pengguna untuk memroses berbagai jenis transaksi keuangan dari dan ke berbagai daerah di Indonesia serta untuk pengiriman uang ke luar negeri.

Selain itu, Flip menghadirkan solusi bisnis bagi ratusan perusahaan dengan berbagai skala industri, termasuk UKM (Usaha Kecil Menengah), melalui layanan pencairan uang dan pengiriman uang seperti penggajian karyawan, pengembalian uang pelanggan, pembayaran faktur/pemasok, dan transfer internasional.

Solusi ini hadir karena di Indonesia terjadi beberapa kendala yang dihadapi pemilik rekening bank saat melakukan transfer uang. Mulai dari, kenyamanan penggunaan produk, biaya admin transfer beda bank, alur transaksi hingga kelancaran dan kecepatan proses transaksi.

Menurut Rafi, masih terdapat ruang untuk memperbaharui dan mempermudah berbagai transaksi keuangan. “Flip berupaya membantu para individu dan bisnis untuk meminimalkan kerumitan transaksi tersebut dan melakukan transfer uang dengan biaya rendah.”

Flip berambisi menjadi perusahaan teknologi keuangan yang paling mengutamakan pelanggan (customer-centric) di dunia dan memungkinkan para pengguna untuk melakukan transaksi keuangan yang adil dari mana saja kepada siapa saja.

Beberapa produk Flip yang paling dominan di antaranya, pembayaran P2P online dengan transfer beda bank ke lebih dari 100 bank domestik, pengiriman uang ke luar negeri (international remittance), isi ulang dompet digital (top-up e-wallet), dan produk-produk solusi bisnis. Tercatat, nilai transaksi yang diproses Flip telah tembus lebih dari Rp2 triliun per bulannya.

BI Fast

Bank sentral menyadari biaya transfer yang tinggi sering dikeluhkan konsumen saat betransaksi digital. Menjawab hal tersebut, Bank Indonesia baru-baru ini meluncurkan sistem baru bernama BI Fast untuk meringankan biaya transfer antarbank sebagai salah satu tujuannya.

Lewat BI Fast, biaya transfer antarbank yang sudah terdaftar diturunkan dari Rp6.500 menjadi Rp2.500 per transaksi. Sistem ini awalnya direncanakan mulai berlaku per Desember 2021 di 22 bank pada tahap awal. BI Fast merupakan sistem pembayaran retail secara real-time yang beroperasi 24/7 menggantikan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI).

Berikutnya, akan semakin bertambah bank yang mendaftar diri sebagai peserta. Pasalya, dalam beleid disebutkan, bank yang dapat menjadi peserta BI Fast adalah bank umum konvensional, bank umum syariah, unit usaha syariah, dan kantor cabang bank asing di Indonesia.

Kehadiran BI Fast tentunya menjadi ancaman tersendiri baik bagi Flip maupun OY!. Flip sendiri tidak membebankan biaya administrasi untuk nasabah individu dengan nominal transfer di bawah Rp5 juta dalam sehari. Apabila transaksi di ambang batas maksimal, maka pengguna dibebankan biaya Rp2.500 per transaksi. Nominal tersebut persis sama dengan yang dibebankan oleh BI Fast.

Baru-baru ini perusahaan telah menyediakan jam operasional 24 jam untuk memberikan akses transfer dana yang lebih leluasa kepada penggunanya di sejumlah bank. Sebelumnya, Flip membatasi jam operasionalnya dari jam 7 pagi sampai jam 8 malam.

Application Information Will Show Up Here