Telkomsel Memperkenalkan Program “T-Connext” untuk Memaksimalkan Pertumbuhan Ekosistem Digital

PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) memperkenalkan program T-Connext untuk menghubungkan ekosistem digital dengan para pemangku kepentingan (stakeholder) terkait. Program ini merupakan inisiatif perusahaan untuk memberikan exposure lebih besar bagi produk digital dan portofolio inovasinya ke venture capital (VC), inovator, hingga korporasi.

T-Connext terdiri dari serangkaian aktivitas yang menghubungkan partisipan VIP dari ekosistem Telkomsel dengan VC untuk memicu potensi kolaborasi atau pendanaan. Di sesi lanjutan juga diharapkan bisa mengekspos produk dan portofolio Telkomsel melalui kegiatan business matching, founder meet-up, dan workshop.

“Program T-Connext melengkapi ekosistem digital yang dimiliki Telkomsel sebagai digital-telco (digico) company. Kami harap program T-Connext dapat menjadi program berkelanjutan ke depannya,” ungkap VP Business Development dan Innovation Telkomsel Jockie Heruseon dalam sesi media update, Rabu (21/9).

T-Connext melengkapi inisiatif pengembangan inovasi digital yang selama telah dibangun Telkomsel. Sebagai informasi, kendaraan inovasi Telkomsel terdiri dari Telkomsel Innovation Center (TINC), TheNextDev, Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), Telkomsel Ekosistem Digital (INDICO) yang memiliki objektif berbeda-beda.

Adapun, TMI dan INDICO berdiri sebagai entitas terpisah di luar Telkomsel. TMI didirikan pada 2019, sedangkan INDICO sendiri baru diresmikan pada awal tahun ini. Jockie menyebut TINC menaungi sebanyak 36 portofolio TINC, TMI memiliki 17 portofolio, dan INDICO menaungi 3 portofolio startup.

Di samping itu, Jockie menjelaskan bahwa industri telekomunikasi memiliki peran sebagai penyedia infrastruktur jaringan dan menjadi enabler bagi keberlangsungan bisnis digital. Padahal, ada banyak aset yang dapat dimanfaatkan Telkomsel untuk mengakselerasi pertumbuhan digital di luar core business-nya sebagai penyedia jaringan telekomunikasi.

Ia juga menyoroti bagaimana program ini dapat membantu pelaku startup dan stakeholder terkait dalam memberikan market access; salah satu elemen penting yang banyak dicari. Akses terhadap pasar dapat membantu pelaku startup untuk menurunkan biaya akuisisi dan menekan tingkat burn-rate.

“Dengan semua yang telah dibangun, kami masih merasa kurang untuk mengoptimalkan aset-aset yang dimiliki Telkomsel. Maka itu, T-Connext dapat memberikan exposure lebih terhadap produk dan portofolio inovasi kami ke ekosistem eksternal. Mereka butuh bridging ke para VC,” tuturnya.

Ritel hingga enterprise

Kepada DailySocial.id, Jockie menambahkan bahwa acara post-event yang dilaksanakan nanti akan mengikutsertakan, tidak hanya portofolio startup, tetapi juga unit bisnis Telkomsel yang melayani segmen pelanggan ritel dan enterprise lintas sektor, seperti Maxstream dan DigiAds. Artinya, portofolio dan unit bisnis yang berpartisipasi sudah memiliki produk digital, bukan hanya sekadar ide saja.

Sejumlah startup dan portofolio Telkomsel yang mengikuti program T-Connext meliputi Feedloop, Klik Daily, Bizhare, Kecilin, Shinta VR, sekolah.mu, Kuncie, Telkomsel DigiAds, LinkAja, dan tSurvey.id.

Kemudian, investor maupun VC yang turut berpartisipasi terdiri dari TMI, Singtel Innov8, MDI Ventures, AC Ventures, Alpha JWC, East Ventures, Finch Capital, Indigo Capital, Indogen Capital, Insignia Ventures, Intudo Ventures, Kejora Capital, Vertex Ventures, Venturra Discovery.

“T-Connext lahir dari kegalauan kami di era pandemi karena semua menjadi disconnected, dan saat ini menjadi momentum tepat untuk reconnect. Kami ingin menunjukkan bahwa Telkomsel adalah perusahaan yang enak untuk diajak untuk bekerja sama.” Tutupnya.

Program “Founders Hub” dari Microsoft Memiliki Misi Berdayakan Startup Tahap Awal

Pada Maret 2022 lalu, Microsoft resmi meluncurkan inisiatif “Microsoft for Startup Founders Hub”. Platform ini memberikan akses ke panduan teknis yang dipersonalisasi di setiap tahap pengembangan startup. Pendekatan yang digunakan juga telah disesuaikan dengan fase pertumbuhan startup.

Program ini juga memungkinkan founder mendapatkan bimbingan dan mentoring dari para ahli terkait baragam topik bisnis—mulai dari perekrutan untuk strategi go-to-market, serta pengetahuan yang mereka butuhkan untuk maju ke tahap berikutnya.

Menurut laporan Startup Ranking, Indonesia menjadi salah satu dari 10 negara dengan jumlah perusahaan rintisan atau startup terbanyak di dunia pada 2022. Tercatat, ada sekitar 2346 startup yang dirintis di negeri ini. Jumlah ini menempatkan Indonesia di posisi kelima dalam daftar tersebut, di bawah AS (71.405), India (6.258), dan Kanada (3.332).

Microsoft menyadari kebutuhan untuk mengubah gagasan menjadi solusi yang nyata, berdampak, dan berkelanjutan. Oleh karena itu, dukungan yang diberikan kepada startup pun dimulai dengan pendekatan kolaboratif agar bisa mengakomodasi perusahaan rintisan dari berbagai latar belakang.

“Kami berharap Microsoft for Startup Founders Hub menjadi solusi untuk perusahaan rintisan anak bangsa agar semakin terberdayakan, selaras dengan misi dan upaya kami untuk #BerdayakanIndonesia,” ujar Country Lead Azure GTM Microsoft Indonesia, Fiki Setiyono.

Fiki juga menambahkan bahwa program ini dapat dimanfaatkan oleh semua orang dan siapa pun dengan ide yang layak mendapatkan solusi untuk berinovasi dan terus tumbuh. Mulai dari fase ideation menjadi prototype, kemudian pada fase develop dengan membangun minimum viable product, kemudian bertumbuh dan siap merilis merilis produk ke pasar atau mulai mendapatkan pelanggan hingga ke tahap scale.

Salah satu manfaat yang ditawarkan dari program ini adalah membantu startup berkembang dengan kecepatannya sendiri hingga mendapatkan kredit Azure hingga $150.000 dengan berbagai fase atau tahapan. Tidak hanya itu, program ini juga bisa membantu meningkatkan developer velocity, mengakselerasi produktivitas tim dengan Microsoft 365 dan Microsoft Teams, serta produk-produk Microsoft lain yang bisa membantu mengembangkan bisnis.

Portofolio Founders Hub

Salah satu perusahaan rintisan yang menjadi bagian dalam ekosistem startup Microsoft adalah Opsigo. Perusahaan ini menghadirkan platform terintegrasi untuk mendigitalisasi industri travel dan pariwisata. Kelahiran Opsigo terinspirasi dari kurangnya kemampuan sistem global untuk mengakomodasi keunikan proses bisnis yang ada di negara-negara Asia Tenggara.

Data yang dipaparkan oleh tim Opsigo menunjukkan bahwa sekitar 80% dari konsumen agen travel merupakan konsumen korporasi yang membeli tiket dan voucher hotel untuk keperluan perjalanan dinas mereka. Melihat peluang dari sektor korporasi yang lebih mulus, Opsigo mulai mengembangkan Opsicorp, sebuah platform pengelolaan perjalanan dinas untuk korporasi.

Melalui platform ini, korporasi dapat merencanakan perjalanan, melakukan penerbitan tiket atau voucher hotel secara otomatis, dan memastikan perjalanan dinas tersebut sesuai dengan kebijakan perjalanan perusahaan. Teknologi unggul Opsicorp juga memungkinkan integrasi dengan berbagai platform internal perusahaan, termasuk sistem ERP dan keuangan.

Selain itu, korporasi dapat melihat data pola perjalanan dinas untuk mencari peluang efisiensi yang dapat dilakukan. Alhasil, korporasi diharapkan dapat mempersingkat waktu dan menekan biaya perjalanan hingga 20-30%, seraya menjamin kepatuhan pada kebijakan perjalanan dinas perusahaan. Sejumlah korporasi yang telah menggunakan layanan Opsicorp, antara lain Avrist, Kanmo Retail, Pegadaian, Pertamina, Sritex, dan masih banyak lagi.

CEO Opsigo Edward Nelson Jusuf mengungkapkan bahwa produk atau layanan yang diberikan Opsigo sangat berkaitan dengan transaksi keuangan. Maka dari itu, perusahaan harus dapat menjamin keamanan data dan sistem layanan. Salah satu alasan perusahaan bergabung dengan ekosistem Microsoft adalah sistem keamanan yang premium meyakinkan perusahaan tetap aman, sehingga  mencegah menimbulkan kerugian untuk nasabah ataupun perusahaan.

“Selain itu, pelanggan Opsigo, baik itu dari BUMN maupun korporasi, secara umum juga memanfaatkan ekosistem Microsoft seperti Azure, sehingga sistem Opsigo mudah terintegrasi dengan sistem mereka,” ungkapnya dalam diskusi virtual “Empowering Indonesian Startups for Digital Indonesia” pada hari Kamis (22/09).

Selain itu, Microsoft juga mewadahi dan membekali upskilling platform seperti Alkademi. Berawal dari komunitas digital di Bandung, Alkademi menyediakan berbagai pelatihan teknologi bagi anak muda di daerah suburban sebagai upaya menjawab kebutuhan akan sembilan juta talenta digital Indonesia pada tahun 2030. Kini, sekitar 2.000 siswa telah mendapatkan manfaat dari kelas-kelas yang ditawarkan Alkademi.

Sejak didirikan, Alkademi memanfaatkan Microsoft Azure sebagai basis dari Learning Management System (LMS) mereka. Familiaritas dan keandalan yang Alkademi rasakan dalam ekosistem Microsoft mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam Microsoft for Startups Founders Hub, sekaligus menjadi yang pertama dari Indonesia pada awal tahun 2022. Dalam program tersebut, Alkademi mendapatkan akses infrastruktur teknologi Microsoft, wadah networking dan mentorship, serta go-to assistance dari ahli Microsoft global.

Pada dasarnya, program-program inkubator dan akselerator yang ada saat ini menawarkan kemudahan bagi founder dalam melakukan eskalasi bisnis.  Berdasarkan hasil riset yang dilakukan DailySocial.id, per tahun 2021, ada sekitar 17 program inkubator dan/atau akselerator yang masih aktif membuka batch untuk startup baru. Beberapa di antaranya yang aktif menjaring termasuk program akselerator Surge dari Sequoia Southeast Asia dan India, Founder Institute, dan Y Combinator. 

Aplikasi Investasi Multi-Aset Dorong Kenaikan Tren Investor Ritel

Kehadiran aplikasi wealthtech dengan multi-aset investasi diklaim menjadi salah satu faktor pendorong tren kenaikan investor ritel. Hal ini dikarenakan mereka dapat mengintegrasikan beberapa kelas aset untuk memperluas portofolio, mengawasi asetnya, dan membantu perencanaan untuk tujuan jangka panjang.

Menurut studi berjudul “Dampak Aplikasi Multi-Aset Terhadap Pertumbuhan Investor Ritel” yang diterbitkan Pluang dan lembaga riset Center for Economic and Law Studies (CELIOS), menyatakan lebih dari separuh dari 3.530 responden yang disurvei merasa keberadaan platform aplikasi multi-aset berdampak positif pada pendapatan mereka.

Adapun profil responden ini, mayoritas berasal dari Jawa dan Bali, dengan kelompok usia 24-35 tahun (45%), dan pekerjaan utamanya adalah karyawan swasta (38%). Dari populasi tersebut, mayoritas responden mengatakan mereka berinvestasi untuk meningkatkan pendapatan pasif dan tujuan investasi jangka panjang, seperti mempersiapkan dana darurat, dana pensiun, dan dana pendidikan anak.

Ditanya lebih jauh, mayoritas responden menyatakan keberadaan platform investasi berdampak positif terhadap pendapatan investor ritel serta pertumbuhan ekonomi. Mereka memiliki persepsi bahwa berinvestasi dapat meningkatkan pendapatan negara melalui penerimaan pajak, memperluas kesempatan kerja melalui pendanaan ke perusahaan publik, hingga mengalihkan dana ke kegiatan yang lebih produktif.

Executive Director CELIOS Bhima Yudhistira menjelaskan bagaimana persepsi investor ritel terhadap perilaku berinvestasi secara digital. “[..] Berinvestasi di platform investasi digital dianggap sebagai aksi berkontribusi terhadap peningkatan sektor teknologi informasi, membantu pendanaan perusahaan, dan efek penciptaan tenaga kerja dari investasi. Hal ini menjadi indikasi positif bahwa platform investasi digital mampu mendorong terciptanya investment-oriented society atau masyarakat yang melek investasi.”

Lebih lanjut, mayoritas responden menyatakan bahwa mereka berinvestasi untuk meningkatkan pendapatan pasif (36%), mempersiapkan dana darurat (23%), dan mempersiapkan pensiun (20%). Alokasi bulanan dari penghasilan untuk berinvestasi sebesar kurang dari Rp1 juta (61%) dan Rp1 juta-Rp5 juta (31%).

Menurut data Bappebti, angka di atas tercermin langsung dengan kondisi di aset kripto. Bappebti mengamati bahwa sebanyak 70% investor aset kripto mengalokasikan pendapatannya dengan nominal investasi di bawah Rp500 ribu. Didukung dari data lainnya, data KSEI menunjukkan bahwa per April 2022, sebanyak 60,29% investor pasar modal berusia di bawah 30 tahun, rata-rata masih berada di awal dan pertengahan karier profesionalnya.

“Hal ini menunjukkan akses investasi kripto semakin mudah dengan semakin terjangkaunya nominal untuk memulai berinvestasi aset kripto,” ucap Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Pasar Bappebti Tirta Karma Senjaya.

Responden juga menyatakan keberadaan aplikasi multi-aset membuat mayoritas dari mereka ingin menambah instrumen investasi hingga dua (37%) sampai tiga kelas aset (31%). Selain itu, 80% responden juga ingin mempelajari produk investasi lain.

Responden menyatakan setidaknya ada tiga produk investasi utama yang dimiliki oleh mereka, yakni reksa dana (29,8%), saham (21,7%), dan aset kripto (21,1%) dengan rata-rata penempatan dana hingga Rp1 juta tiap bulannya.

Studi ini menyoroti preferensi tinggi dari para responden untuk memiliki influencer keuangan di media sosial (fin-fluencer) sebagai sumber informasi terpercaya. Berdasarkan pilihan yang tersedia, responden memiliki fin-fluencer dengan peringkat pertama. Lalu disusul rekomendasi dari konsultan keuangan, kolega, dan podcast.

Pluang dan CELIOS merekomendasikan adanya pengembangan kapasitas untuk para memengaruhi ini agar dapat memberikan literasi finansial yang valid dan edukatif.

Co-founder Pluang Claudia Kolonas menyampaikan, studi ini merupakan komitmen Pluang untuk meningkatkan cakupan literasi dan inklusi finansial, serta mengakselerasi pertumbuhan ekonomi inovasi teknologi sektor keuangan di Indonesia.

“Dengan inovasi teknologi di sektor keuangan digital, studi tentang sektor investasi ritel ini diharapkan dapat membuka banyak ruang untuk membangun ekosistem keuangan digital yang kondusif. [..] Juga sebagai referensi yang bisa menjadi dasar pembuatan kebijakan yang mendorong percepatan sektor keuangan digital,” kata Claudia.

Tantangan dan Digitalisasi Pengajuan KPR di Indonesia

Kita telah melihat berbagai inovasi di sektor proptech, seperti aplikasi listing properti atau sewa hunian. Namun, inovasi kian berkembang sejalan dengan semakin matangnya ekosistem digital dan besarnya kebutuhan masyarakat. Inovasi ini adalah digitalisasi pada pengajuan KPR (Kredit Pemilikan Rumah) yang menjadi salah satu isu kompleks pada pembelian hunian.

Menurut Co-founder & CEO IDEAL Albert R. Surjaudaja, pengajuan KPR memiliki sejumlah tantangan pelik dan telah banyak dialami oleh banyak orang. Di samping itu, upaya untuk mendigitalisasi pengajuan KPR dinilai memiliki peluang mengingat permintaan pasar hunian di Indonesia masih sangat besar.

Pada sesi #SelasaStartup, Albert berbagi pandangan tentang tantangan pengajuan KPR, pengembangan inovasi, hingga upaya memvalidasi masalah.

Tantangan KPR

Mengapa perlu ada digitalisasi pengajuan KPR? Albert menyebut ada empat tantangan besar yang dihadapi oleh calon pembeli. Pertama, calon pembeli terkadang mengalami kebingungan untuk memulai prosesnya dari mana. Mereka jadi sulit menemukan akses untuk mencari pilihan properti yang tepat.

“Yang terlibat dalam pengajuan KPR ada banyak, seperti bank, perusahaan pembiayaan, agen, dan pengembang. Mereka bingung mau ke mana dulu. Selain itu, tidak ada tempat yang dapat menjadi tujuan utama bagi mereka untuk mengeksplorasi pilihan dan mencari informasi,” tutur Albert.

Kedua, tak sedikit calon pembeli yang yakin terhadap kelayakan KPR. Keraguan ini dapat membuat mereka menjadi urung untuk mengajukan KPR dan memperlambat proses dengan adanya kewajiban lain yang perlu diselesaikan. Ketiga, proses pengajuan KPR masih sangat manual. Perlu banyak komunikasi ke sejumlah pihak yang terlibat.

Karena proses yang manual tersebut, jalur informasi dan pengajuan menjadi tidak satu pintu. Contohnya, pengiriman dokumen harus dikirim berkali-kali dan terkadang dilakukan oleh agen/pihak berbeda. Belum lagi, dokumen yang diminta bersifat sensitif, seperti Kartu Keluarga dan KTP, sehingga berisiko disalahgunakan oleh oknum tertentu.

“Keempat, orang-orang belum sepenuhnya paham dengan pembelian rumah. They don’t know what they’re signing up for. Misal, soal floating. Mereka tidak pernah bertanya dan tidak sadar dampaknya. Tidak ada standardisasi juga dengan kualitas para agen atau pihak lain. Berbeda dengan era setelah ada platform seperti Gojek,” tambahnya.

Hibrida dan inovasi

Albert meyakini pendekatan hibrida atau offline-online, diperlukan untuk menjangkau pasar di sektor proptech. Hal ini karena pembelian rumah merupakan keputusan yang sangat personal, memiliki jangka panjang, dan membutuhkan biaya sangat besar. Prosesnya juga memakan waktu dan sangat kompleks.

Dalam hal ini, IDEAL tidak mencoba untuk mendigitalisasi proses pengajuan KPR sepenuhnya. Hal tersebut tercermin dari fitur yang dikembangkan di mana pihaknya menggabungkan interaksi offline dan online untuk mengakomodasi kebutuhan konsumen. Misalnya, proses pengajuan dokumen dilakukan secara digital, tetapi penyedia platform tetap menyediakan SDM yang dapat membantu calon pembeli untuk menemukan properti yang mereka cari.

Dari sisi pengembangan teknologi, ada banyak proses pada pengajuan KPR yang dapat didigitalisasi. Misalnya, fitur untuk mengecek kredibilitas seseorang dalam mengajukan KPR secara instan. Albert berujar fitur ini didukung oleh teknologi di belakangnya, seperti credit scoring.

Ada juga fitur di mana algoritma yang dapat menampilkan berbagai pilihan hunian dari mitra pengembang. Pengguna juga dapat melakukan simulasi DP sampai pembayaran cicilan dengan kurasi rekomendasi tertentu.

Validasi dan strategi

Validasi masalah menjadi salah satu kunci terhadap pengembangan solusi, dan hal tersebut telah dibuktikan Albert lewat riset internal yang dilakukannya. Menurutnya, hampir semua responden menyebut bahwa pengajuan KPR merupakan masalah yang kompleks di Indonesia.

Maka itu, digitalisasi pada pengajuan KPR dinilai menjadi salah satu solusi bagi generasi Y dan Z yang semakin terbiasa dengan pemanfaatan teknologi. Kedua generasi ini merupakan segmen yang memiliki perilaku digital dalam keseharian, seperti memesan makanan atau membeli tiket.

Ia juga menambahkan, meski sektor proptech Indonesia saat ini sebagian besar diisi oleh platform penyedia listing properti atau home discovery, hal tersebut akan membuka peluang kolaborasi untuk menyediakan layanan pengajuan KPR secara end-to-end.

“Kita ingin mengubah perilaku konsumen bahwa tidak semua [proses] harus dilakukan secara offline. Memang realisasi orang membeli rumah melalui online masih sangat jauh di sini. Namun, digital justru membuat semua proses itu menjadi efisien,” Tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Tokocrypto Rumahkan 20% Karyawan

Tokocrypto mengatakan telah melakukan PHK terhadap 20% dari total pegawainya atau 45 orang dari total 227 karyawan. Menurut juru bicara perusahaan, langah ini diambil sebagai bentuk adaptasi atas kondisi pasar kripto dan ekonomi global, yang mengharuskan Tokocrypto melakukan penyesuaian strategi bisnis.

Sejak debut di tahun 2018 sebagai platform crypto exchange, penggunaan layanan Tokocrypto diklaim meningkat, dilihat dari sisi jumlah pengguna dan volume perdagangan yang ada di platformnya. Pun demikian di sisi bisnis, ada tren pertumbuhan revenue positif yang berhasil dibukukan perusahaan.

Untuk mengakselerasi bisnisnya, tahun 2020 lalu mereka juga mendapatkan dukungan pendanaan dari perusahaan kripto global Binance.

Di tengah dinamika global yang terjadi terhadap sektor kripto, akhirnya manajemen memilik untuk melakukan efisiensi dan mengatur kembali fokus bisnis. Ini didasarkan pada prediksi dan analisis yang dilakukan dengan menempatkan variabel internal dan eksternal.

Dikutip Tirto, pihak Tokocrypto mengatakan, “Tokocrypto telah menjadi bagian dari pertumbuhan dan perkembangan ekosistem industri kripto, karena itu harus mampu beradaptasi cepat dengan perubahan. Langkah internal yang diambil adalah mentransfer beberapa karyawan kepada bisnis unit yang telah menjadi entitas berbeda yaitu T-Hub dan TokoMall, penyesuaian jumlah karyawan sekitar 20% dari 227 karyawan dengan pertimbangan perubahan fokus bisnis, serta memberikan rekomendasi karyawan kepada perusahaan-perusahaan web3 dan blockchain yang selama ini telah menjadi partner kami.”

Miliki ekosistem yang lengkap

Ekosistem layanan Tokocrypto di luar exchange

Tidak dimungkiri, sepak terjang Tokocrypto di dunia blockchain dan web3 lokal cukup signifikan. Selain sebagai exchange, mereka juga memiliki sejumlah platform pendukung yang ditujukan untuk membangun ekosistem.

Bersama dengan investornya, yakni Binance, mereka memperkenalkan token TKO yang diutilisasi untuk CeFi, DeFi, dan NFT. Saat ini TKO menjadi salah satu token lokal yang paling banyak diperdagangkan di buCrsa dengan kapitalisasi pasar [dinamis] saat ini melebihi 400 miliar Rupiah.

Mereka juga punya TokoMall sebagai sebuah marketplace NFT lokal. Tidak hanya itu, untuk mengembangkan ekosistem web3 program akselerator TokoLaunchpad juga dijalankan. Bahkan Tokocrypto juga berinvestasi ke sejumlah portofolionya.

Saat ini pasar kripto memang tengah mengalami dinamika yang cukup kencang. Di lokal pun juga terasa, termasuk salah satunya regulator (Bappebti) yang tengah melakukan moratorium perizinan terhadap exchange baru. Akibatnya, sejumlah platform yang tidak terdaftar seperti Binance, Crypto.com, Coinbase dll situsnya mendapatkan pemblokiran dari Kominfo.

Dalam waktu dekat, Kementerian Perdagangan juga berencana mengeluarkan beleid baru terkait pengelolaan crypto exchange di Indonesia. Pemerintah berkaca pada kasus yang ada di pasar global, termasuk isu yang baru-baru ini menimpa Zipmex.

Application Information Will Show Up Here

Pendekatan Bisnis Startup Quick Commerce “Bananas” di Tengah Pergeseran Konsumen Pasca-Pandemi

Banyaknya pemain quick commerce di global yang gulung tikar, menimbulkan kecemasan apakah model bisnis ini hanya bisa beroperasi saat pandemi saja atau sudah saatnya hadir. Lantas, timbul pertanyaan apakah pemain quick commerce di Indonesia akan bernasib sama?

Untuk menjawab itu, #SelasaStartup kali ini mengundang Co-founder dan CEO Bananas Mario Gaw.

Mario banyak bercerita seperti apa optimisme Bananas terhadap potensi quick commerce dan seperti apa posisinya di pasar. Sebagai catatan, Bananas adalah salah satu pemain quick commerce lokal yang baru beroperasi pada awal tahun ini.

Segmentasi Bananas

Mario menjelaskan, seperti kebanyakan pemain quick commerce lainnya, Bananas membangun dark store (mini gudang) yang tersebar di pemukiman padat di Jakarta. Sejauh ini ada delapan dark store dan satu pusat distribusi untuk membantu inventaris barang.

Namun yang menjadi diferensiasi layanannya, mereka melayani konsumen middle to high. Kalangan ini punya gaya hidup sibuk, seperti profesional dan orang tua karier yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Segmentasi tersebut diambil berkat wawancara mendalam yang dilakukan oleh tim Bananas dalam proses product-market-fit.

Produk yang dijual kini mencapai 2 ribu SKU berasal dari beragam kategori, terutama di produk segar seperti telur, susu, daging, sayur, dan buah-buahan. Kemudian makanan dan minuman ringan hingga alat-alat kebersihan rumah. Seluruh produk ini dikirim dalam waktu beberapa menit sampai di lokasi pembeli.

Dengan mengambil segmentasi ini, ia merasa optimistis bahwa Bananas hadir bukan sekadar lihat tren terkini saja. Kalangan konsumen seperti ini, sambungnya, bukan tipikal yang oportunis yang harus perlu dipancing dengan diskon atau cashback.

“Kami melihat segmen ini masih sangat baru, mereka malas menghabiskan waktu di jalan, belum lagi harus antre di supermarket dan angkut belanjaannya yang berat itu. Angle kami adalah mengincar mereka, bukan yang harus dipancing dengan promo,” kata Mario.

Meski begitu, meminta pendapat dari konsumen secara berkala tetap harus dilakukan perusahaan agar Bananas menjadi perusahaan berkelanjutan. Saat ini, perusahaan mulai memikirkan bagaimana cara meningkatkan rata-rata nilai belanjaan dan meningkatkan GMV.

“Yang sekarang jadi penting bagaimana caranya kita tetap fokus pada user. Caranya dengan terus berbicara dengan mereka agar mengerti apa yang saat ini dibutuhkan dan bagaimana keinginan ke depannya. Sebab saya percaya kebutuhan groceries itu enggak akan hilang, tapi apakah dulu beli merek mahal atau tidak, itu hanya soal shifting. Sebagai pemain, kita harus bisa menangkap dan mengikuti kebutuhan mereka.”

Hal ini sekaligus bentuk tip dari Mario untuk para founder yang baru merintis startupnya. Bagi dia, kesalahan terbesar yang ia lakukan sebelum-sebelumnya adalah kurang mendengarkan konsumen. Hanya mengandalkan asumsi dari riset, tanpa melihat kondisi langsung di lapangan.

“Dengan banyak mendengarkan konsumen, kita jadi lebih ngerti pain point mereka sehingga kita bisa dapat insight yang lebih real daripada hanya sekadar teori saja.”

Tantangan di quick commerce

Mario pun mengakui bahwa tantangan di quick commerce ini begitu besar. Ada yang menyebutkan bahwa model bisnis ini menyatukan seluruh kerumitan dalam operasionalnya, harus bangun dark store, mengurus inventaris, sourcing barang di lokasi mana yang laku mana tidak, itu bagian sulit.

“Jadi semua fungsi dan lini itu susah. Pun juga dari marketing untuk akuisisi user di Pondok Indah dan Kelapa Gading mungkin lebih mudah bikin event di mall. Tapi belum tentu di lokasi lain sama karena beda gaya hidup dan kebiasaan.”

Di tambah lagi, dengan kenaikan harga BBM, otomatis membuat Bananas harus putar otak untuk tetap menekan pengeluaran di tengah perang bisnis ritel yang marginnya terkenal tipis. Solusi yang kini tengah diusahakan adalah mengembangkan algoritma agar sistem pengantaran dapat dilakukan dalam satu batch untuk satu kendaraan sekali jalan untuk satu area.

“Dalam tiap pengantaran per batch-nya, pengemudi bisa antar ke banyak titik untuk satu area. Dari situ kami bisa tekan cost logistik.”

Kendati banyak pemain online grocery yang masuk ke solusi quick commerce, Mario tidak mengkhawatirkan kompetisi yang sengit. Di industri ini, ia percaya “winner takes all” tidak berlaku. Khususnya, bagi quick commerce yang masih sangat baru di Indonesia, edukasi adalah barang mahal yang bila dilakukan sendiri tidak akan cukup waktu. Makanya dibutuhkan pemain online grocery lainnya, untuk melakukan inisiatif serupa bersama-sama.

“Dari sisi kompetisi, walau ide sama, tapi karena bahan-bahan di dalam perusahaan beda, hasil masakannya juga beda. Filosofi kami adalah tetap monitor pergerakan industri, tapi tidak jadi sesuatu yang ditakuti. Jadi kami saling beradu menyelesaikan user, mana yang lebih baik,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Koltiva Kantongi Pendanaan, Fokus Benahi Rantai Pasok Pertanian dengan Teknologi

Startup yang berfokus pada rantai pasokan pertanian Koltiva mengumumkan telah merampungkan pendanaan awal yang dipimpin Silverstrand Capital. Tidak disebutkan berapa nilai investasi yang diperoleh dalam putaran pendanaan kali ini. Investor lainnya yang terlibat adalah The Meloy Fund, Planet Rise, Development Finance Asia, and Blue7.

Dana segar akan dimanfaatkan untuk mempercepat pengembangan teknologinya dalam menghadirkan inovasi ketertelusuran data (traceability), serta menyediakan pengetahuan dari para ahli agronomis untuk membantu petani dalam meningkatkan praktik pertanian. Perusahaan juga ingin mengembangkan kapabilitas transparansi di sektor agrikultur.

“Pendanaan kali ini akan membantu kami dalam mencapai tujuan dalam lima tahun mendatang untuk mendukung 5juta petani dan memastikan produksi yang bertanggung jawab, bebas dari deforestasi, konversi, eksploitasi, pelanggaran hak asasi manusia, dan pekerja anak,” kata Co-Founder & CEO Koltiva Manfred Borer.

Didirikan pada tahun 2013, Koltiva adalah startup teknologi yang memberdayakan lebih dari 700.000 produsen dan pengguna bisnis di 27 negara. Koltiva memulai kegiatan operasionalnya di Indonesia melalui sektor produksi kakao dan hingga kini telah berkembang di 30 komoditas, termasuk kopi, kelapa sawit, karet, dan komoditas khusus.

Baru- baru ini, Koltiva juga melakukan ekspansi ke climate solutions dan blue economy, termasuk rumput laut dan budidaya udang. Koltiva telah beroperasi di 27 negara dengan peluang pasar yang terus berkembang di lebih dari $20 miliar.

“Koltiva unggul dengan berfokus pada masalah sosial, serta kemampuannya dalam menghadirkan produk dan layanan yang terintegrasi di berbagai komoditas dan geografi. Koltiva adalah one-stop- shop untuk petani, processors, pedagang, dan pelaku agribisnis besar,” kata Founder Silverstrand Capital Kelvin Chiu.

Tercatat sepanjang tahun 2022 sudah ada beberapa platform agritech yang mendapatkan pendanaan. Di antaranya adalah Gokomodo, ARIA, hingga KedaiSayur. Sementara untuk Eratani rencananya akan segera merampungkan pendanaan tahapan lanjutan akhir tahun ini.

Dua teknologi unggulan

Dua teknologi baru akan dikembangkan secara komersial pada putaran pendanaan kali ini. Teknologi pertama adalah KoltiPay, platform teknologi finansial yang tidak hanya menyediakan transaksi pembayaran nontunai bagi para petani, tapi juga menyediakan asuransi tanaman panen (crop insurance) dan layanan pinjaman.

Teknologi kedua adalah KoltiTrade yang memungkinkan petani untuk dapat membeli sarana produksi pertanian (agri-inputs) dan mendapat akses ke pasar yang lebih luas untuk menjual hasil panen mereka.

Kedua teknologi ini akan diintegrasikan dalam ekosistem teknologi Koltiva, termasuk perangkat lunak (software) ketertelusuran dan manajemen pertanian (KoltiTrace), serta layanan pelatihan oleh agen lapangan melalui KoltiSkills.

“Para pelaku agribisnis dan perusahaan multinasional yang ingin memproduksi produk serta memenuhi kebutuhan pasar perlu mengetahui asal-usul bahan baku, transparansi, dan keakuratan data dari produk-produknya. Inilah yang kami lakukan,” kata Manfred.

Application Information Will Show Up Here

Terima Pendanaan Debt Baru, HappyFresh Kembali Beroperasi di Indonesia

Startup online grocery HappyFresh kembali beroperasi di Indonesia setelah menerima dana segar berbentuk debt dari Genesis, Innoven, dan Mars. Nominal dana yang diterima dirahasiakan perusahaan.

Sebelumnya, pada awal bulan ini perusahaan memutuskan sementara berhenti beroperasi dalam rangka restrukturisasi bisnis karena gagal bayar kewjiban, dengan menunjuk firma global Alvarez & Marsal.

Dalam pernyataan, perusahaan kembali memulai operasinya di pasar Indonesia setelah tinjauan strategis. “Kami akan bekerja sama dengan dana debt dari Genesis, Innoven, dan Mars dalam restrukturisasi bisnis,” ucap manajamen seperti dikutip dari Bloomberg.

Berkaitan dengan itu, perusahaan juga mengumumkan operasionalnya kembali melalui unggahan di Instagram kemarin (21/2). Disampaikan Happy Fresh telah kembali dan siap melayani kebutuhan belanja di supermarket favorit konsumen.

Sebagai bagian dari perombakan, perwakilan dari perusahaan AS Kroll, Jason Kardachi, akan menggantikan tiga mantan direktur di dewannya, termasuk Lee Jung An, Kai-Kevin Gotthard Kux, dan David Keller. Kardachi akan memimpin praktik restrukturisasi Kroll di Asia Tenggara, akan bekerja sama dengan HappyFresh dalam perbaikannya.

Guillem Segarra (CEO) dan Frederic Verin (CFO), dan Christoph Krauss (COO) telah diangkat kembali setelah mundur dari tugas sehari-hari mereka. Manajemen juga menyampaikan saat ini akan fokus di Indonesia sambil mempertimbangkan opsi untuk bisnisnya di Thailand dan Malaysia.

Sejak tahun ini, HappyFresh yang berbasis di Jakarta, berjuang untuk meningkatkan modal setelah penurunan tajam di sektor online grocery. Pada Agustus kemarin, perusahaan menunggak gaji sejumlah karyawan dan PHK karyawan kontraknya dengan alasan isu keuangan.

Untuk menyelamatkan bisnis, perusahaan mempekerjakan Alvarez & Marsal Holdings LLC untuk meninjau situasi keuangannya.

“Kami telah melalui banyak hal. Selama beberapa minggu terakhir ketika kami menghentikan operasi, kami melihat banyak komentar dari pelanggan di berbagai platform media sosial yang menyatakan ketergantungan mereka pada penawaran layanan kami sambil meminta layanan untuk dilanjutkan sesegera mungkin,” kata Managing Director HappyFresh Indonesia Filippo Candrini dalam sebuah pernyataan.

Menata ulang konsep online grocery

Model bisnis HappyFresh menjadi perantara antara konsumen dan modern trade seperti supermarket. Di tengah tingginya permintaan, tahun lalu mereka juga memperkenalkan “HappyFresh Supermarket”, tujuannya untuk memperluas akses terhadap produk kebutuhan harian dengan meningkatkan kehadiran toko virtual.

Langkah ini turut dijadikan sebagai salah satu strategi HappyFresh untuk mempererat kolaborasinya dengan jaringan supermarket nasional dan regional yang sejauh ini telah membantu menyediakan ragam produk.

“Dalam hanya beberapa bulan setelah peluncuran, kami melihat ketertarikan pelanggan yang luar biasa, melalui pertumbuhan pengguna sebesar 300% setiap bulannya,” ujar Co-founder & CEO HappyFresh Guillem Segarra.

Namun demikian jika melihat data, sebenarnya kanal penjualan produk grocery terbesar di Indonesia masih berada di ritel tradisional. Kendati toko modern juga terus memperluas cakupan wilayahnya.

Modern vs Traditional Trade in Indonesia / L.E.K Consulting

Sementara itu laporan e-Conomy SEA 2021 mengatakan bahwa di tengah penetrasi e-commerce di Asia Tenggara, digitalisasi sektor grocery baru mencapai 2% saja. Jelas ini menjadi PR besar bagi ekosistem industri terkait untuk bisa meningkatkan cakupan pasarnya — termasuk melalui peningkatan infrastruktur supply chain, edukasi pasar, dan ekspansi bisnis di skala nasional.

Dari survei yang dilakukan Katadata terhadap 2022 responden, menyatakan bahwa untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari mayoritas masih mengandalkan pembelian secara langsung di ritel terdekat, baik itu supermarket, pasar tradisional, warung kelontong, ataupun swalayan. Platform e-commerce mendapati peringkat terbawah.

Sumber: Katadata

Di titik ini mulai bisa ditarik kesimpulan, bahwa kebiasaan yang terbentuk selama pandemi ternyata tidak sepenuhnya bertahan pasca-pandemi. Khususnya dalam hal belanja, pengalaman datang ke toko tetap menjadi pilihan favorit — kendati ada beberapa aspek yang bisa diefisienkan dengan belanja online.

Pemain online grocery perlu menata ulang model bisnisnya, memberikan pengalaman pengguna yang lebih relevan dengan kondisi yang ada saat ini. Termasuk menata ulang kategori produk yang ada di rak belanja, sehingga menjadi relevan untuk dipenuhi secara online — di saat kecepatan saja belum sepenuhnya menjadi proposisi nilai yang membuat semua orang tertarik turut andil menjadi bagian dari basis konsumen.

Application Information Will Show Up Here

Kredit Macet Meningkat, Alarm Industri Fintech Lending

Kredit macet fintech lending tercatat meningkat, seiring membengkaknya beban operasional sepanjang Juli 2022. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat outstanding pinjaman macet mencapai Rp785,94 miliar pada Januari 2022. Nilainya menggelembung jadi Rp1,21 triliun per Juli 2022 atau naik 8% dari bulan sebelumnya Rp1,11 triliun.

Pinjaman perseorangan mencatatkan porsi terbesar dalam struktur pinjaman macet tersebut, yakni sebesar Rp1,10 triliun. Kemudian, sisanya pinjaman badan usaha sebesar Rp118 miliar. Jika dirinci, nasabah perempuan mendominasi pinjaman macet, yaitu sebanyak Rp563 miliar. Sedangkan dari usianya, nasabah 19-34 tahun paling banyak tercatat dalam pinjaman macet.

Sementara itu, pinjaman online tidak lancar atau 30-90 hari mencapai Rp3,21 triliun, dan pinjaman lancar atau keterlambatan sampai dengan 30 hari sebesar Rp41,29 triliun.

Selanjutnya, industri ini mencatatkan kenaikan kerugian sebesar Rp114,08 miliar dari Januari 2022 sebesar Rp7,42 miliar. Bila dirinci, beban operasioal mencapai Rp4,69 triliun dan pendapatan operasional hanya Rp4,61 triliun. Adapun beban terbesar dari pos ketenagakerjaan yang naik sembilan kali lipat sebesar Rp1,21 triliun.

Mengutip Koran Tempo, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah, pelemahan kinerja fintech lending, seperti kenaikan tingkat pinjaman macet, pada akhirnya akan berdampak pada kinerja perbankan. “Tak hanya itu. Jika kredit macet fintech lending makin tinggi, kemampuan mereka untuk memberikan pembiayaan kepada dunia usaha juga menurun. Kesempatan usaha mendapatkan pinjaman juga berkurang. Pada akhirnya, ini akan merugikan perekonomian,” kata dia.

Secara sederhana, bisnis fintech lending adalah menghubungkan antara pemilik dana sebagai pemberi pinjaman dan pihak yang membutuhkan dana sebagai peminjam. OJK mencatat outstanding penyaluran pinjaman di industri ini mencapai Rp45,72 triliun atau naik 88,84% secara year-on-year.

Sumber dana yang disalurkan ini berasal dari pinjaman dalam negeri, bank menjadi kelompok pemberi pinjaman tertinggi sebesar Rp15,8 triliun. Sisanya, ada perseorangan, badan hukum, dan industri keuangan non-bank.

Ekonom Indef Nailul Huda menyampaikan, kenaikan pinjaman macet sejalan dengan pertumbuhan penyaluran pinjaman fintech lending dalam beberapa waktu terakhir. “Sistem paylater dengan proporsi kredit konsumtif yang cukup besar belum diimbangi dengan seleksi peminjam (borrower) yang berkualitas. Analisis kredit scoring masih harus banyak diperbaiki,” kata Nailul.

Di sisi lain, upaya mengumpulkan pendanaan dari lender juga dibayangi persaingan yang relatif ketat. Menurut dia, pendanaan yang kurang tak jarang harus diatas dengan mengorbankan pendapatan. Kondisi itu tampak dari tren peningkatan beban operasional perusahaan, sehingga kerugian yang ditanggung pun makin besar.

Pembayaran telat

Sementara itu, kondisi di atas tercermin dengan apa yang dialami oleh iGrow saat ini. Tepat setahun sebelumnya, perusahaan juga mengalami kondisi yang serupa, telat mengembalikan dana pinjaman para pemilik dana dalam berbagai proyek. Alhasil, para lender iGrow yang bernasib sama berkumpul dalam grup Telegram, dinamai Investor iGrow. Beberapa menceritakan pengalamannya di media sosial dan surat pembaca untuk meminta kejelasan.

Para lender menghujani kolom review dan rating aplikasi iGrow di Google Play dengan berbagai keluhan. Mayoritas menyebutkan pihak perusahaan yang tidak transparan dalam menjelaskan status proyek yang didanai. Langkah tersebut diambil, salah satunya karena kolom komentar di akun Instagram iGrow telah ditutup.

Mengutip dari DealStreetAsia, manajemen iGrow telah menyampaikan notifikasi soal keterlambatannya tersebut kepada para lender yang terkena dampak. “Kondisi ini telah ditangani oleh tim collection kami, yaitu melakukan upaya penghimpunan dana dari proyek-proyek terkait sesuai dengan standar operasional prosedur dan peraturan OJK. Kami telah menawarkan solusi dan penjelasan untuk beberapa proyek melalui fitur informasi di aplikasi iGrow, sementara proyek lain masih dalam penyelidikan dan verifikasi oleh tim koleksi kami.”

Perusahaan mengatakan proyek pertanian menghadapi berbagai tantangan dan risiko yang dapat mempengaruhi hasil panen. Di antaranya, kehilangan hasil panen karena cuaca yang tidak menentu, bencana alam, hama, dan kenaikan atau penurunan harga di pasar dapat mengganggu arus kas peminjam [petani], dan pada akhirnya, mengganggu pembayaran kepada pemberi pinjaman.

Sebelumnya di ranah agrikultur, ada TaniFund, Tanijoy, Crowde, Angon, dan Vestifarm yang tersandung kasus serupa.

Secara umum, berinvestasi di platform p2p lending memang tidak luput dari risiko, di tengah tingginya imbal hasil yang ditawarkan. Terlebih lagi, menaruh dana untuk sektor agrikultur yang penuh tantangan ini. Bila dilihat dari hulu dan hilir masalah di agrikultur begitu melimpah, tak hanya soal akses permodalan yang sulit. Oleh karenanya, sektor ini banyak dilirik para pemain.

OJK memberikan rasio untuk melihat kesehatan bisnis para pemain fintech lending ini berdasarkan TKB90. TKB90 adalah ukuran pinjaman yang berhasil diselesaikan dalam waktu 90 hari dari tanggal jatuh temponya — kebalikan dari rasio NPL yang lebih umum. Semakin rendah angka TKB90, semakin tinggi tingkat NPL.

Saat TaniFund tersandung pada 9 Mei, tingkat TKB90-nya berada di 93,53%, di bawah rata-rata nasional 97,68%. TKB90 ini wajib dipublikasikan di laman utama situs dan harus diperbarui tiap bulannya. Adapun, TKB90 dari iGrow saat ini adalah 93,71%.

Sementara itu, menurut data OJK, TKB90 industri saat ini sebesar 97,33%. angka ini sedikit lebih baik dari bulan sebelumnya, yakni Juni 2022 sebesar 97,47% atau Mei 2022 sebesar 97,72%.

SerMorpheus Raih Pendanaan 37 Miliar Rupiah, Jembatani Brand Lokal Masuk ke Ekosistem Web3

SerMorpheus, platform web3 enabler lokal, mengumumkan pendanaan tahap awal senilai $2,5 juta atau lebih dari 37 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin Intudo Ventures, diikuti oleh 500 Global, Febe Ventures, AlphaLab Capital, BRI Ventures, dan Caballeros Capital.

Dengan putaran pendanaan ini, SerMorpheus akan fokus pada pengembangan infrastruktur teknologi agar dapat menjembatani kesenjangan antara web3 dan kebutuhan merek/konsumen Indonesia; dan merekrut talenta terbaik di semua fungsi.

Diluncurkan pada Januari 2022, SerMorpheus adalah platform yang fokus menjembatani brand dan peritel ke ekonomi digital baru. Perusahaan mengembangkan NFT dan mengelola utilitas yang memungkinkan mereka terhubung langsung dengan pengguna dan komunitas. Serta menciptakan nilai melalui pengalaman belanja yang dipersonalisasi.

Melalui mekanisme onlinetooffline yang disediakan, pemegang NFT bisa menikmati keuntungan secara nyata melalui acara yang diadakan oleh brand dan peritel. Pengguna bisa mengklaim NFT bermerek tertentu untuk mengikuti berbagai aktivitas offline, seperti konser, permutaran film, dan acara lainnya.

Saat ini perusahaan tengah membangun infrastruktur untuk brand dan kreator konten  yang menghubungkan produk dan layanan web3 dengan pengguna web2, menghilangkan hambatan teknis dan mengurangi gesekan.

Co-Founder SerMorpheus Kenneth Tali mengungkapkan, “Kami membayangkan web3 akan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kami di masa depan dan NFT memiliki potensi besar untuk menjangkau audiens yang lebih besar daripada yang dimiliki kripto.”

Ia turut menambahkan bahwa Web3 telah memperoleh daya tarik yang signifikan di Indonesia. “Kami sangat antusias untuk membawa NFT ke pasar massal Indonesia sebagai pintu gerbang ke dunia web3 yang lebih besar.” tegasnya.

“Web3 menjadi wujud iterasi terbaru dari penggunaan internet yang menjanjikan—sebuah dunia di mana pengguna dapat menjadi kreator dan pemilik secara bersamaan. Namun, di antara lima miliar pengguna internet di dunia, hanya sekitar 400 juta orang yang merupakan pengguna kripto, dengan proyeksi miliaran lainnya akan online dalam beberapa tahun ke depan. Karena SerMorpheus melayani Indonesia, apa yang mereka bangun juga merupakan kunci untuk internet yang benar-benar inklusif, di luar Indonesia,” ungkap Managing Partner 500 Global Khailee Ng.

Tentang SerMorpheus

SerMorpheus didirikan oleh Kenneth Tali dan Budi Sukmana. Keduanya sudah cukup aktif di industri blockchain dan aset kripto sejak 2016; serta terlibat sebagai anggota pendiri dan pejabat Jaringan Blockchain Indonesia. Sebelumnya, Kenneth juga pernah mendirikan platform crowdfunding Likuid, yang telah rebranding menjadi ekuid. Saat ini ia menempati posisi komisaris di perusahaan.

Timnya menyadari bahwa ada permintaan cukup besar dari brand dan kreator untuk NFT dan aset digital lainnya, agar bisa terlibat langsung dengan pengguna dan basis penggemar mereka. Selain itu ada kebutuhan akan mitra lokal yang tidak hanya memahami aspek teknis web3, tetapi juga memiliki pemahaman mendalam terkait preferensi dan kebiasaan konsumen Indonesia.

Salah satu proposisi nilai yang ditawarkan SerMorpheus adalah menghilangkan gesekan onboarding dengan menghubungkan kreator langsung dengan pasar NFT global atas nama mereka sendiri, serta memungkinkan transaksi dilakukan dalam Rupiah (IDR) hanya dengan alamat email dan nomor telepon. Hal ini dilakukan untuk menyederhanakan proses dalam memasuki ekonomi digital baru.

Perusahaan membangun permintaan yang kuat oleh brand untuk terlibat dengan pemirsa Indonesia, SerMorpheus akan mempercepat upaya untuk memasukkan lebih banyak merek ke dalam ekonomi digital baru, termasuk NFT yang menyertai pembelian tiket film, kehadiran acara, dan kampanye aktivasi online-ke-offline lainnya.

SerMorpheus debut dengan proyek penjualan tiket Jazz Goes to Campus (JGTC) bekerja sama dengan Tokocrypto. Dengan tiket berbasis NFT, pengguna bisa menikmati pengalaman yang meneluruh mulai dari sebelum, selama, hingga setelah acara berakhir. Tiket tersebut juga dapat diperdagangkan dengan transparan di pasar sekunder, yang memungkinkan promotor untuk tetap mendapatkan royalti.

Selain itu, beberapa klien yang sudah mempercayai SerMorpheus untuk mengembangkan dan mendistribusikan NFT yang disesuaikan seperti Indonesia Comic Con, klub sepak bola profesional PERSITA Tangerang, festival musik Jogjarockarta, aktris dan penyanyi Indonesia Prilly Latuconsina, serta film yang diproduksi Visinema Pictures Mencuri Raden Saleh.

Rencana ke depan

Saat ini, perusahaan tengah mengembangkan platform untuk kreator, termasuk penciptaan NFT mandiri, yang memungkinkan pengguna untuk mencetak dan mengeluarkan NFT dengan ringkas tanpa memerlukan pengetahuan teknis. SerMorpheus juga berencana menyediakan fitur analisis untuk membantu kreator konten melacak koleksi dan basis pengguna mereka.

Disinggung mengenai proses kurasi, Kenneth menjelaskan dalam wawancara terpisah dengan DailySocial.id bahwa tidak ada kriteria spesifik untuk kreator atau IP yang ingin meluncurkan NFT-nya. Namun, timnya menyaring secara kualitatif dan sangat selektif. “Harus benar-benar serius dan memiliki value,” tegasnya.

Olivier Raussin, Co-founder & Managing Partner Febe Ventures mengungkapkan, “Teknologi blockchain menciptakan cara baru bagi kreator dan brand untuk berinteraksi langsung dengan penggemar dan konsumen mereka, termasuk kasus di dunia nyata seperti menghargai loyalitas pelanggan. SerMorpheus adalah pilihan mitra teknis untuk bisnis Indonesia yang ingin mendorong keterlibatan dalam ekonomi digital baru.”

Di tengah maraknya kiprah NFT di Indonesia, terdapat beberapa platform yang menawarkan layanan serupa. Salah satunya adalah Bolafy yang fokus menawarkan koleksi digital resmi dari kolaborasinya dengan partner di bidang sepak bola lokal. Selain itu juga ada platform marketplace NFT seperti Kolektibel, Artpedia serta Tokomall milik Tokocrypto.

Application Information Will Show Up Here