4 Hal Penting untuk Menjadi “Customer-Centric” dalam Pemasaran

Kehadiran teknologi kini mengubah perspektif marketer dalam memasarkan produk. Tak hanya itu, peran marketing juga mulai berubah. Mereka tak hanya sekadar memikirkan brand awareness, tetapi juga menentukan strategi untuk mengkonversi awareness tersebut ke tahap lebih tinggi, misalnya meningkatkan penjualan.

Sementara kita tahu, setiap brand tidak hanya membutuhkan awareness dan engagement semata dari konsumennya. Setiap brand perlu meningkatkan penjualan agar bisa bertumbuh.

Di sesi #SelasaStartup kali ini, Chief Marketing Officer KG Media Dian Gemiano membahas seputar apa yang dibutuhkan oleh brand di masa sekarang ini.

Mengenal brand lebih dalam

Dalam sebuah proses pitching, tahap pengenalan brand perlu dilakukan untuk mengetahui kebutuhan klien. Hal ini diperlukan untuk menghindari kesalahan umum yang sering terjadi pada saat pitching.

Ia mencontohkan bagaimana marketer tidak berusaha untuk mengenal brand lebih dulu dengan melakukan riset. Mereka terlalu sibuk dengan idenya sampai lupa membuat strategi, seperti cara menghasilkan uang dari program yang digarap.

“Saat pitching, kita menjadi sok tahu, overthink, dan heboh dengan banyak ide. Padahal the simplest idea is the best idea,” tutur Gemi.

Identifikasi profil konsumen

Selain memperdalam pengetahuan terhadap brand, hal penting lain untuk mengetahui kebutuhannya adalah dengan mengidentifikasi profil setiap konsumen, seperti aktivitas dan reaksi mereka terhadap sebuah brand.

Menurut Gemi, identifikasi menjadi kegiatan yang sangat menyenangkan karena kita menjadi tahu apa yang mereka lakukan sebelum membeli barang, emosi yang ditampilkan dalam setiap interaksi brand.

Dengan mengetahui profil konsumen, brand dapat merancang sebuah produk yang berarti untuk konsumennya.

Jangan ikuti tren, ikuti ke mana konsumen pergi

Teknologi memampukan kita untuk mengetahui tren yang sedang ramai di kalangan masyarakat. Berkat ini, marketer tahu apa saja yang dapat ditawarkan kepada klien.

Sayangnya, tren bak dua sisi mata uang. Tren cepat sekali berubah seiring perkembangan waktu. Maka itu, penting bagi marketer untuk mengidentifikasi perjalanan interaksi konsumen terhadap suatu brand.

“Identifikasi customer journey adalah aktivitas yang harus dijadikan kebiasaan. Semua harus terdeteksi karena selalu ada perubahan. Klien jadi tahu investasi marketing-nya, di mana audiens berada, bukan di tren sekarang, karena konsumen itu terdorong oleh kebutuhan,” ungkapnya.

Perlu dicatat, tidak semua produk bisa melayani semua orang. Menurutnya, jangan sampai marketer tergoda dengan tren, kecuali memang tren itu relevan dengan target audiens.

Teknologi mengubah kontrol produsen ke konsumen

Jika kita sadari, aktivitas marketing kini berubah dari product-centric menjadi customer-centric sejak adanya teknologi. Contoh paling lekat di era kini adalah bagaimana konsumen membeli produk berdasarkan ulasan dari konsumen lain.

Hal ini juga yang menandakan adanya perubahan kontrol dari produsen ke konsumen karena kehadiran teknologi. Jika produsen tak lagi punya kontrol, apa yang harus dilakukan selanjutnya?

“Maka itu, kita tidak bisa sekadar bikin produk, kita harus tahu apa yang dibutuhkan konsumen,” ujarnya.

Mendapatkan Talenta Terbaik dengan Bantuan Teknologi

Pada dasarnya teknologi dihadirkan untuk mempermudah suatu pekerjaan, tidak terkecuali saat menyaring talenta. Setidaknya, ada lima isu terbesar yang sering kali dihadapi HRD saat merekrut adalah prosesnya yang kurang efektif, benefit yang kurang menarik, KPI yang kurang terukur, dan karyawan tiba-tiba resign.

Dalam menjawab isu tersebut, #SelasaStartup edisi kali ini menghadirkan Founder dan CEO Techinlabs Moch Ardyansah. Techinlabs merupakan startup yang bergerak di bidang headhunting dan hunting talent.

Ardyansah akan berbagi pandangan dan solusinya. Apalagi, talenta yang berasal dari kalangan milenial ini butuh strategi khusus untuk pendekatan awalnya. Berikut rangkumannya:

Membuat branding perusahaan

Sebelum terjun ke teknologinya, Ardyansah menyarankan kepada setiap perusahaan, termasuk startup untuk membuat branding perusahaan. Ada lima hal yang perlu diperhatikan yakni bagaimana kompensasi kepada perusahaan, apa keuntungan buat karyawan, jenjang karier, lingkungan pekerjaan, dan budaya perusahaan.

Lima hal ini paling diperhatikan calon talenta saat mengikuti proses perekrutan dalam perusahaan. Kalangan milenial, sambungnya, sangat memperhatikan budaya perusahaan yang seringkali dilupakan oleh perusahaan.

“Budaya perusahaan itu paling dilihat oleh milenial, tapi sering tidak diperhatikan oleh perusahaan. Ini penting sekali apalagi buat perusahaan baru yang ingin dapat karyawan yang loyal,” katanya.

Sasar kandidat pasif

Menurutnya, kandidat yang aktif mencari pekerjaan belum tentu dikatakan sebagai kandidat yang bagus buat perusahaan. Namun bisa menjadi bumerang buat karyawan aktif karena mereka bisa tiba-tiba pergi dari perusahaan.

Pasif itu mereka yang tidak sedang mencari, namun apabila menemukan suatu pekerjaan dengan kriteria yang cocok dengan kemauan mereka pasti akan tertarik. Bisa jadi mereka yang pasif itu karena memang malu-malu namun memiliki kemauan kerja yang baik.

Untuk itu, perekrut perlu bangun pendekatan awal dengan memancing mereka lewat diskusi. Cara tersebut akan membuat mereka lambat laun mau terbuka terhadap semua peluang yang ditawarkan kepada mereka.

Pasalnya dari hasil internal Techinlabs, kandidat pasif itu sebenarnya terbuka untuk berdiskusi dengan para rekruter (45%), bisa dihubungi dengan jaringan pribadi (15%), sudah cukup puas dan tidak mau pindah perusahaan (15%). Lalu sesekali melihat job portal (13%), dan aktif mencari pekerjaan (12%).

Manfaatkan platform pool talent

Salah satu teknologi terkini yang bisa membantu proses perekrutan adalah platform pool talent. Dalam platform ini, rekruter dapat mengacu pada tempat atau basis data yang disimpan tim SDM terkait semua kandidat terbaiknya.

Perusahaan bisa membuat sendiri pool talent tersebut, dimulai dari melihat segmennya, mengatur ekspektasi, komunikasi secara rutin, dan membuat komunitas. Atau bekerja sama dengan startup yang ahli di bidangnya, salah satunya Techinlabs. Sebab membuat platform seperti itu sulit dan tidak semua paham dengan prosesnya.

Sejak setahun berdiri, Techinlabs memiliki 5.127 talent yang sudah bergabung dalam pool talent. Sebanyak 69 perusahaan teknologi yang sudah memanfaatkan layanan Techinlabs mengaku puas karena memiliki deal ratio sebesar 93%.

Dalam mencocokkan kandidat dengan klien perusahaan, Techinlabs menggunakan proses screening secara manual, lalu memanfaatkan algoritma yang sudah dibangun dilihat dari tes kemampuan, tes psikologi, dan lainnya. Lalu hasilnya dicocokkan dengan kriteria yang diinginkan klien.

Beberapa klien Techinlabs diantaranya Jenius, Tokopedia, Kumparan, Tiket.com, Narasi, Dana, Madhang, dan lainnya.

Tips Menggalang Dana untuk Startup Pemula

Saat startup baru didirikan, hal yang menjadi perhatian pendiri startup adalah bagaimana caranya mendapatkan tambahan modal. Modal awal bisa dari kocek sendiri, teman, atau keluarga, tetapi ada masanya ketika perusahaan membutuhkan kapital yang lebih besar dan para pendiri mulai membidik dana dari investor. Investor yang biasanya terlibat di proses pendanaan awal bertipe venture capital (VC).

Tidak mudah bagi sebuah startup untuk bisa langsung mendapatkan tambahan modal. Di sisi lain, pihak investor juga tidak mau sembarangan memilih startup untuk diinvestasi. Ada beberapa poin yang mereka tentukan dan wajib untuk diperhatikan.

Traksi dan pertumbuhan

Salah satu cara mengetahui apakah startup sudah waktunya melakukan penggalangan dana tahapan awal adalah berdasarkan traksi dan pertumbuhan positifnya. Untuk itu pastikan startup telah memiliki traksi, telah memiliki jumlah pengguna yang cukup besar, dan tervalidasi model bisnisnya.

“Menurut kami, saat yang tepat untuk melakukan fundraising adalah pada saat startup itu terbukti menghasilkan traksi yang signifikan pertumbuhannya. Memang jika dilihat dari data permintaan yang masuk ke RenovAsik cukup lumayan yaitu bisa sekitar 5-8 permintaan yang ingin mengajukan renovasi setiap harinya, namun banyak kendala dari klien yang masih menjadi pekerjaan rumah besar kami untuk bisa disolusikan sampai tuntas, sehingga akan lebih banyak project deal yang bisa kami dapatkan,” kata Founder & Chief Strategy Officer RenovAsik Indra Setiawan.

Ketika traksi sudah mulai diperoleh, hindari memberikan informasi yang kurang akurat kepada calon investor. Jangan ditambahkan secara sengaja guna menarik perhatian mereka. Berikan informasi yang benar, sesuai dengan traksi yang memang sudah didapatkan.

Hal ini, menurut Analyst East Ventures Devina Zhang, bisa diketahui secara langsung oleh investor saat proses due diligence, ketika semua data akan dipelajari. Jadi hindari mengembangkan angka-angka karena investor pada akhirnya akan mengetahuinya.

“Jangan pernah memberikan informasi yang tidak benar soal pertumbuhan dan traksi startup. Ceritakan prestasi dan pencapaian yang telah diraih oleh startup. Informasikan juga kegagalan yang telah terjadi, dengan demikian investor mengetahui dengan benar kondisi startup,” kata CMO KoinWorks Jonathan Bryan.

Tentukan dana yang dibutuhkan

Hal lain yang wajib diperhatikan adalah menentukan sejak awal berapa jumlah dana yang dibutuhkan startup untuk mulai menjalankan bisnis. Meskipun banyak startup memulai usaha secara bootstrap, ketika produk mulai berkembang dan traksi sudah cukup besar, tambahan kapital dengan nominal yang besar mungkin diperlukan oleh startup. Untuk itu tentukan berapa jumlah uang yang diperlukan, untuk apa saja dana tersebut digunakan, dan berapa lama dana tersebut bisa disimpan.

VC seperti East Ventures tidak memiliki formula yang pasti untuk kalkulasi pemberian dana dan pembagian saham startup. Semua tergantung dari beberapa faktor, seperti jumlah dana yang diinginkan startup, performa startup, dan proyeksi masa depan. Saham yang kemudian didapatkan perusahaan akan diklaim tergantung kesepakatan dengan startup terkait.

Sementara bagi Venturra Discovery, normal dilution untuk putaran pendanaan awal biasanya akan diambil sekitar 20-25% untuk setiap startup.

“Semuanya memiliki harga, hanya saja berapa harga yang menjadi masalah. Penting untuk memahami harapan [baik dari Anda dan investor]. Jumlahnya harus masuk akal dan menunjukkan nilai pendiri, gagasan, bagaimana Anda dapat menghasilkan uang bagi investor,” kata Co-Founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe.

Tentukan investor yang tepat

Kehadiran berbagai VC lokal dan asing yang makin bertambah membuat proses penggalangan dana seharusnya lebih mudah. Namun demikian, demi sinergi masa depan yang lebih lancar, pilih investor seperti apa yang memang relevan dengan model bisnis dan tentunya cocok dengan Anda sebagai pendiri startup. Sangat penting untuk melakukan riset, mengumpulkan informasi, hingga melakukan pertemuan secara informal dengan investor yang relevan.

“Pelajari perbedaan-perbedaan dari investor dan coba pahami apa yang mereka inginkan dalam portofolio / investasi mereka. Pahami juga profil individual dari VC yang disasar, terutama GP (General Partners). Temukan kesamaan atau kepentingan bersama antara Anda (dan perusahaan Anda) dan investor yang Anda tuju,” kata Jefrey.

Buatlah daftar investor yang akan ditemui, termasuk rincian sebanyak mungkin tentang investor tertentu (perusahaan, lokasi, dan jumlah investasi). Nantinya akan terlihat investor yang relevan berdasarkan investment size, investment stage, pengalaman di industri perusahaan, begitu juga lingkup geografi mereka.

“Ada banyak cara untuk menjangkau investor, cara terbaik adalah melalui perkenalan dengan seseorang yang diketahui investor. Jika tidak, Anda selalu dapat menjangkau investor melalui situs mereka, atau bahkan Linkedin,” kata Partner Venturra Discovery Raditya Pramana.

Menurut Jefrey, cobalah menjalin perkenalan di awal dengan baik secara langsung. Hindari penggunaan email atau langsung menghubungi melalui telepon.

“VC menerima ratusan proposal / pitch deck setiap bulannya dan salah satu cara terbaik untuk unggul [stand out] di antara tumpukan tersebut adalah dengan cara diperkenalkan oleh orang yang kenal dengan GP atau tim dari VC tersebut. Referral is always a good way to be prioritized.”

Presentasi dan “elevator pitch”

Saat pertemuan sudah dijadwalkan, proses selanjutnya adalah presentasi atau yang biasa disebut dengan “pitching“. Secara umum, Anda akan diminta mempresentasikan materi yang berisi gambaran umum dasar perusahaan (produk, tinjauan industri, ukuran pasar, dan lainnya).

Deck ini akan menjadi buku panduan pendiri startup untuk memandu investor melalui pertemuan pertama, jadi buatlah dek tersebut secara terstruktur, sederhana namun kaya akan detail penting yang ingin Anda tonjolkan.

“Kami sangat percaya akan motto ‘founder first’, yang berarti bahwa pendiri startup yang baik tentunya akan menghasilkan produk yang baik, juga mempertimbangkan potensi pasar. Dengan demikian, pendiri yang memiliki latar belakang dan keahlian yang tepat memiliki poin bonus,” kata Devina.

Penting bagi startup menyiapkan bahan, proposal, hingga materi presentasi saat pitching berlangsung. Menurut Chairman dan Pendiri Gorry Holdings William Susilo, pastikan mempersiapkan pitch deck yang mudah dibaca, termasuk masalah apa yang sedang diselesaikan. Hal-hal utama harus mencakup seberapa mendesak masalah tersebut, ukuran pasar, model bisnis, model pendapatan, produk, alokasi dana, daya tarik dan profil pendiri.

“Persiapkan dengan lengkap traksi bisnis. Pastikan hal tersebut sejalan dengan persyaratan setiap tahap investasi. Misalnya MVP tidak cukup untuk pendanaan Seri A, sementara itu mungkin cukup untuk putaran seed,” kata William.

Menurut Raditya,saat pitching berlangsung sebaiknya pendiri startup tidak bersikap defensif ketika investor mengajukan pertanyaan sulit. Jangan ragu untuk memperlakukan sesi pitching seperti percakapan kasual. Semua pertanyaan yang diajukan investor mengenai perusahaan Anda seharusnya bisa dijawab.

“Walaupun startup Anda baru jalan tiga bulan misalnya, dengan data kami bisa melihat apakah founder mempunyai kemampuan eksekusi bisnis yang mumpuni. Banyak juga hal lain juga yang harus diperhatikan, seperti kemampuan founder, market size, product building capability, executional capability, dan lainnya,” kata Raditya.

4 Hal yang Perlu Diketahui tentang Startup IPO

Tak hanya melalui pemodal ventura, startup dapat mencari pendanaan baru melalui cara “konvensional” yang sudah banyak dipraktikkan korporasi, yakni dengan melakukan initial public offering (IPO). Kabarnya, Bursa Efek Indonesia memberi sejumlah kemudahan bagi startup yang ingin go-public.

Namun bagi Passpod, startup penyedia bisnis sewa WiFi portabel yang baru-baru ini melantai di bursa saham, hal ini tentu tidaklah mudah. Startup yang kini menyandang kode emiten “YELO” ini menilai ada keuntungan dan juga tantangan yang dihadapi untuk mencapainya.

Untuk mengetahui selengkapnya, simak cerita dan pengalaman yang dibagikan oleh Hiro Whardana, CEO Passpod, di sesi #SelasaStartup kali ini.

Alasan IPO dan besaran funding yang ingin dikumpulkan

Alasan utama yang mendorong Passpod melakukan IPO adalah pihaknya butuh pendanaan baru untuk menambah lebih banyak perangkat modem. Keputusan ini diambil setelah perusahaan berkali-kali mencoba menutupi biaya tersebut, mulai dari modal sendiri hingga biaya operasional (opex).

Dalam proses melakukan IPO, Hiro mengamati bahwa dana yang ingin dikumpulkan terbilang setara dengan pendanaan seri A. Karena hal itu pula, proses due dilligence terbilang lebih ketat ketimbang pendanaan setara seeds.

Menurut Hiro, jika melihat nilai pendanaan yang ingin dikumpulkan besar, startup perlu lebih rinci dalam menyiapkan berbagai hal berkaitan dengan bisnis perusahaan, seperti model bisnis dan risk management.

“Untuk raise funding sebesar itu, perusahaan harus punya size [pasar] tertentu,” ujarnya.

Rencana bisnis dan keuntungan menjadi perusahaan publik

Mengambil langkah untuk menjadi perusahaan publik tentu tidak mudah. Selain perlu persiapan matang, melakukan IPO membutuhkan biaya besar untuk menyewa notaris, akuntan publik, pengacara dan semua yang terlibat di dalamnya. Hiro sendiri menuturkan pihaknya merogoh kocek hampir 3 miliar Rupiah untuk itu semua, meskipun pembayarannya dapat diatur pencairannya.

Namun  penting untuk tidak terfokus pada IPO, melainkan rencana bisnis perusahaan di masa mendatang.

“Bukan IPO yang direncanakan, tetapi funding yang ingin dikumpulkan, untuk kapan dan berapa,” paparnya.

Ia juga mengungkap beberapa keuntungan menjadi startup yang go-public. Beberapa inovasi yang dilakukan memiliki limitasi regulasi dengan menjadi perusahaan publik. Misalnya, status perusahaan tetap tercatat sebagai perusahaan dalam negeri meskipun saham dibeli dari investor luar negeri.

“Ini menandakan ada kontrol kredibilitas, berarti kami sudah dicap sebagai perusahaan transparan. Justru ini mempermudah kami kalau ekspansi ke luar negeri.”

Kendali perusahaan paling utama

Ia mengungkap menjadi perusahaan publik memberinya opsi kuat untuk tetap memiliki kendali terhadap perusahaannya sendiri.

“Menurut saya, yang terpenting bagi startup [yang IPO] bukan jumlah sahamnya. Itu tetap penting, saham memang akan terdelusi, tetapi kita tetap punya kontrol terhadap perusahaan,” tuturnya.

Ia mencontohkan pendiri sekaligus CEO Facebook Mark Zuckerberg yang tetap memiliki kontrol terhadap perusahaan meskipun tak lagi memiliki saham mayoritas di Facebook.

“Mungkin kami juga kurang sabar cari venture capital, [karena kalau VC] semua ingin kontrol. Justru kalau kami ingin kontrol untuk mengembangkan Passpod. Pasarnya masih besar, bayangkan dari 7 juta traveler, yang terkover penyewaan modem baru 200 ribu,” ungkap Hiro.

Kolaborasi Startup Tetap Diperlukan

Salah satu perubahan yang cukup signifikan ketika telah menjadi perusahaan publik adalah laporan keuangan. Perlu diketahui, perusahaan yang melantai di bursa diawasi oleh Bursa Efek Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Segala aktivitas harus memiliki pertanggungjawaban lewat laporan keuangan.

Dengan budaya startup yang senang melakukan eksplorasi dan inovasi, menurut Hiro, hal ini tentu tidak bisa lagi dilakukan sembarangan.

“Ketika kami meluncurkan sesuatu, pasti itu akan reflektif ke laporan buku mendatang. Orang tidak bisa lagi main-lempar-jelek-buang,” tuturnya.

Agar tidak membatasi perusahaan dalam bereksplorasi dan mengembangkan inovasi, kolaborasi dengan startup lain perlu dilakukan. Dengan demikian, bisnis dan inovasi tetap bisa jalan beriringan.

“Yang menjadi tantangannya adalah gimana bisa scale up, tapi tetap agile. Nah, strategi agar tetap bisa agile dengan kolaborasi. Di Passpod, kami ada budget R&D yang digunakan untuk kerja sama dengan startup.”

Mendalami Pentingnya Manajemen Data untuk Pengembangan Bisnis

Big data adalah aset penting berikutnya di era teknologi. Pesatnya perkembangan perusahaan teknologi di Indonesia, rupanya belum diimbangi oleh pemahaman soal manajemen data, yang terbatas baru dilakukan oleh perusahaan skala besar saja. Masih banyak yang belum tahu bagaimana mengelola data yang benar, seberapa baik kualitas data yang diambil, memilah data yang tepat sesuai kebutuhan bisnis, dan sebagainya.

Client Success Director APAC Lotame Nishanth Raju mengatakan, dibandingkan 10 tahun lalu, belum banyak data yang bisa diperoleh dibandingkan pada saat ini. Melimpahnya data ini disebabkan karena hadirnya beragam perangkat yang bisa ditarik datanya untuk dipelajari, ada smartphone, laptop, smartwatch, smart TV, dan sebagainya.

Dalam wawancara singkat bersama DailySocial di sela-sela acara The ICON 2018 pada pekan lalu (13/11), Nishanth berbagi tips soal manajemen data. Seberapa penting buat perusahaan, bagaimana mengatur prioritas, bentuk kesalahan manajemen data, kondisi terkini di Indonesia, dan lainnya.

Kesalahan umum perlakuan data

Semakin banyak data yang dikumpulkan untuk segera dipelajari, itu semakin bagus. Tapi sayangnya ada kesalahan yang tanpa disadari dilakukan, yakni ada data tidak berkualitas yang tidak sempat tersaring. Alhasil ini akan membuat perusahaan yang hanya sekadar mengumpulkan data dan mengelolanya tanpa tujuan pasti apa yang ingin didapat dari big data tersebut.

Padahal dalam menerjemahkan yang baik dari data mentah itu butuh proses. Ada yang perlu dikategori kembali, perlu dibuang atau tidak. Ketika proses sudah tepat, maka proses menerjemahkan data menjadi sebuah strategi bisnis akan lebih tepat sasaran dengan apa yang menjadi tujuan perusahaan.

Kesalahan umum ini bisa dihindari apabila menggunakan platform manajemen data. Di dalam platform seperti Lotame, big data akan distrukturisasi mana yang penting mana yang tidak. Dari situ bisa didapatkan data berkualitas yang bisa memberi kesimpulan terkait strategi bisnis yang tepat.

Atur strategi sesuai tujuan perusahaan

Nishanth menjelaskan, dalam mengelola big data sebaiknya perusahaan perhatikan terlebih dahulu bagaimana perusahaan membangun hubungan dengan para konsumennya. Apakah konten yang diproduksi lebih banyak diakses lewat perangkat mobile atau lebih cenderung ke desktop.

Apabila lebih ke mobile, sebaiknya langkah awal menentukan strategi bisnis untuk menyasar konsumen yang ada di lingkup tersebut. Sebab apabila terlalu banyak mengambil data dari sumber lain, bisa menjadi distraksi. Banyak perangkat asal terhubung dengan internet bisa diambil sebagai data, tidak hanya smartphone saja, ada smartwatch, smart TV, dan sebagainya.

Langkah berikutnya, mengumpulkan data dari seluruh perangkat yang diakses oleh konsumen. Apabila dari hasil riset ditemukan dari 90% konsumen mengakses layanan dari smartphone dan sisanya dari desktop. Maka perusahaan perlu pelajari lebih dalam soal konsumen yang mengakses dari desktop.

Tujuannya agar perusahaan bisa mendapat gambaran lebih jauh seperti apa konsumen yang mengakses layanannya, sebab tipe konsumen yang mengakses dari smartphone dan desktop itu berbeda. Dengan demikian, perusahaan bisa menentukan strategi yang tepat agar dapat menjangkau seluruh target konsumennya.

Masih minim implementasi

Implementasi soal manajemen data di perusahaan teknologi di Indonesia, menurut Nishanth, masih sangat minim. Bahkan dia menyebut Indonesia masih beberapa tahun tertinggal dibanding negara lainnya terkait soal ini.

Maklum saja, kebanyakan hal ini baru dilakukan perusahaan teknologi yang sudah raksasa atau berstatus unicorn, di mana manajemen data memang penting untuk dilakukan demi akselerasi bisnis. Meski masih minim, di satu sisi jadi ada potensi besar bahwa dalam dua tahun ke depan implementasi akan lebih masif.

Tidak masalah seberapa besar ukuran perusahaan, entah masih berstatus startup atau sudah korporasi, keberadaan data adalah hal terpenting untuk mendukung bisnis karena data itu tidak bisa berbohong. Mungkin yang membedakannya adalah level kebutuhan data saja mau dipakai untuk apa.

Semakin banyak perangkat yang terhubung dengan internet, potensi data yang bisa dipelajari akan semakin banyak.

Saran untuk startup

Nishanth menyarankan untuk startup yang baru berdiri, sebaiknya harus sadar dengan manajemen data sedini mungkin. Langkah pertama yang perlu dibuat adalah membuat visi dan misi perusahaan apa yang ingin diperbuat dengan data yang sudah terkumpul.

Setelah itu, menentukan strategi bisnis apa yang ingin dicapai dan data apa saja yang dibutuhkan untuk mendukung strategi tersebut. Buat timeline-nya, berapa lama waktu yang untuk menyelesaikan tugas tersebut agar bisa segera dieksekusi ke lapangan.

Startup juga harus rutin melakukan review atas setiap progress yang sudah dilakukan, bagaimana pencapaiannya, apakah sesuai timeline atau tidak. Startup juga membutuhkan tim yang paham dengan data agar bisa menerjemahkannya dengan baik ke tim lainnya agar bisa segera dieksekusi.

Kiat Crowde Mengedukasi Mitra Petani Agar Hasil Lebih Optimal

Industri agrobisnis menjadi salah satu penopang ekonomi negara. Namun para petani seringkali terpinggirkan peranannya, lahannya pun banyak beralih menjadi area industri. Petani di Indonesia rata-rata hanya mampu panen dua kali dalam setahun, hasilnya seringkali tidak cukup untuk menghidupi kehidupan sehari-hari.

Namun kebergantungan negara terhadap pertanian cukup tinggi, sekitar 41% populasi hidup untuk dan dari pertanian. Sementara 60,8% petani Indonesia berusia lebih dari 45 tahun, dibumbui ekosistem penuh korupsi, mulai dari isu lintah darat, kapitalisasi pasar, juga tidak seimbangnya porsi ekspor dan impor. Hal tersebut membuat regenerasi berjalan kurang berimbang.

Untuk mengatasi isu tersebut, Crowde sebagai startup di bidang pertanian turut mencoba memperbaiki kondisi yang ada dengan serangkaian kegiatan, di samping menyalurkan bantuan melalui platform p2p lending besutannya. Dalam #SelasaStartup edisi kali ini, Head of Operation Crowde Andrew Tobing banyak bercerita tentang hal tersebut.

(1) Mengadakan pembinaan langsung

Sebelum langsung dikenalkan dengan metodologi yang sesuai, tim Crowde mengunjungi petani dan membentuk kelompok. Dari situ ada program pembinaan dasar terkait pertanian. Tujuannya untuk mengukur seberapa jauh pengetahuan mereka dan bagaimana perlakuannya terhadap tanaman yang mereka tanam.

Dari hasil interaksi tim Crowde disimpulkan bahwa petani rata-rata cukup peduli dan tahu apa yang jadi kendala selama ini. Namun hanya saja mereka kurang tahu bagaimana penanganan yang tepat untuk langkah preventif. Ambil contoh, bagaimana mencegah salah satu varietas cabe agar tidak diserang serangga. Ternyata caranya cukup sederhana, petani cukup menaruh lampu dekat tanaman untuk mengalihkan perhatian serangga ke arah lampu.

“Ternyata cara itu banyak dari mereka yang tidak tahu. Langkah pertama adalah kami ingin mereka aware dan mau coba beri edukasi tanpa harus menggurui. Intinya kami mau bangkitkan awareness apa yang mereka lakukan selama ini, ada cara teknis yang lebih baik,” kata Andrew.

(2) Pengetahuan tentang manajemen

Berikutnya tim Crowde mengedukasi petani untuk manajamen keuangannya, mengelola administrasi, hingga teknis merawat tanaman buat mencegah potensi terkena hama. Seluruh pengetahuan tersebut harus ditempuh oleh petani agar dapat bekerja lebih terstruktur dan bertanggung jawab untuk seluruh proyek pertanian mereka sendiri.

Seluruh proses ini ujung-ujungnya merupakan bentuk tanggung jawab Crowde terhadap para investor Crowde. Sebab unsur kepercayaan memegang peranan terpenting dalam menjalankan platform p2p lending ini. Investor mengamanahkan dana mereka lewat Crowde untuk dikelola dan memberikan dampak sosial terhadap kehidupan petani.

(3) Tindakan preventif lainnya

Crowde rutin terus melakukan credit scoring pada setiap proyek yang muncul di platform. Pihaknya menempatkan field agent dan project specialist yang bertanggung jawab atas penagihan laporan bulanan ke petani. Berikutnya, agar modal usaha pertanian bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh petani, Crowde menyalurkan permodalan dalam bentuk zero cash.

Disediakan pula strategi off-taker untuk menjamin harga jual panen selalu terjamin. Jadi setelah panen, Crowde menyediakan kanal distribusi terpercaya untuk memotong rantai lintah darat. Crowde memberikan daftar rekomendasi toko mana saja yang memberikan harga terbaik untuk para petani berdasarkan hasil grading yang sudah ditentukan sebelumnya.

Beberapa supermarket yang menerima hasil panen petani adalah Lotte Mart, Yogya, dan Transmart. Apabila ada hasil panen dengan grading yang kurang bagus, masih bisa dijual juga secara langsung ke pasar.

“Kami mengumpulkan data dari hasil grading, lalu memberikan rekomendasi tempat mana saja yang menerima pembelian berdasarkan grading,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Mengukur Untung Rugi Korporasi Kolaborasi Bisnis dengan Startup

Korporasi besar makin mawas diri dengan keberadaan startup. Sadar daripada berlomba-lomba untuk mengejar startup, namun tidak ingin terlena dengan terjangan inovasi yang dihadirkan pemain startup, kini sudah eranya melakukan kolaborasi bisnis.

Founder & CEO DailySocial Rama Mamuaya mengatakan bahwa sebetulnya korporasi harus berpikir seperti startup. Namun dengan segala keterbatasan, korporasi tidak bisa langsung bekerja seperti startup. Justru yang perlu didorong terletak di sisi kolaborasi antara keduanya.

“Teknologi yang ada di lima tahun lalu, sudah tidak relevan lagi untuk dipakai lagi sekarang. Makanya perlu dorong kolaborasi dengan startup karena inovasi begitu cepat bergeraknya,” ucapnya saat mengisi sesi di The ICON, kemarin (13/11).

Mengutip dari riset Thomson Reuters, pada tahun ini secara global anggaran belanja untuk mendirikan R&D meningkat 11,4% atau senilai US$782 miliar. Peringkat pertama anggaran paling banyak dihabiskan untuk investasi perangkat lunak dan internet yang memakan porsi hingga 16,5% dibandingkan porsi lainnya.

Bentuk kolaborasi

Menurutnya bentuk kolaborasi antara korporasi dan startup ada tiga bentuk. Bentuk pertama dengan mengadakan hackathon. Kedua membuat inkubator atau akselerator, atau dukungan layanan (service support).

Hackaton yang rutin digelar, di antaranya BCA yang menantang startup untuk berinovasi di sektor keuangan digital, berikutnya Bank BTN yang spesifik mengatasi kebutuhan KPR lewat inovasi digital. Sedangkan untuk program inkubator dan akselerator yang cukup dikenal seperti Plug and Play, Indigo, dan Barclays Accelerator.

Bentuk ketiga berupa dukungan layanan, maksudnya memberikan kesempatan kepada startup untuk menyelesaikan suatu isu tertentu yang ada di internal korporasi. Nantinya startup tersebut akan didedikasikan menangani hal tersebut. Contoh program semacam itu ada Startup Connect dan Startup Xchange.

Korporasi dengan kapital yang besar, ada yang lebih memilih untuk melakukan investasi secara langsung ke startup yang sesuai dengan selera masing-masing. Menurut laporan 500 Startups, jumlahnya mencapai 60%. Dari persentase tersebut, 48% dilakukan lewat merger dan akuisisi (M&A).

Lainnya sebanyak 77% menyebut melakukan kemitraan bisnis dengan startup. Hal inilah yang ramai dilakukan oleh berbagai pihak. Di Indonesia saja, kemitraan ini sudah dilakukan di antaranya, Pos Indonesia – Tokopedia, Blue Bird – Traveloka, Bank Danamon – Investree, Telkom Indonesia – Privy ID, Unilever – Kata.ai, Djarum – Cermati, dan sebagainya.

Hasil kolaborasi

Masih dikutip dari sumber yang sama, disebutkan hasil dari kolaborasi ini buat korporasi belajar sesuatu yang baru (85%). Korporasi bisa mendapatkan solusi pemecahan masalah dengan cara yang baru dan bisa di-scale up (80%) dan terakhir tentunya berbicara soal efisiensi yang berhasil diraih dapat meningkat (81%).

Pada intinya, menurut Rama, pelajaran lainnya yang bisa dipetik adalah saatnya korporasi untuk bertransformasi, dengan mengubah mindset dan budaya seperti yang dilakukan startup.

Memasang mindset dengan selalu mengacu pada data, terus bereksperimen, dan fokus pada konsumen (consumer centric), bukan lagi pada proses (process centric). Lalu membuat budaya kerja yang penuh inovasi, transparan, toleransi pada risiko, dan bekerja cepat.

“Dalam eksperimen itu selalu ada kegagalan dan perusahaan harus siap untuk menghadapinya. Oleh karena itu butuh startup yang lebih agile dan enggak ada birokrasi untuk saling bantu, sebab kegagalan itu buat korporasi adalah harga yang sangat mahal.”

Setiap korporasi meluncurkan produk baru, setidaknya butuh waktu yang lebih lama untuk riset secara mendalam untuk memperkecil risiko kegagalan. Sebab setiap produk yang diluncurkan harus sukses besar karena di awalnya sudah menghabiskan banyak ongkos.

Untuk bisa bekerja seperti startup, kata Rama, sebaiknya dibuat tim kecil yang dikhususkan bekerja selayaknya seperti startup dalam suatu korporasi. Tim tersebut dianggap akan lebih fokus dalam berinovasi, lincah, apabila gagal mudah untuk terus maju dan berinovasi menuangkan idenya tanpa harus terbentur dengan birokrasi yang terbelit-belit.

Tim kecil disebutkan mampu bekerja dengan cepat hingga 200% dibandingkan tim biasa. Hal ini tentunya mempengaruhi pada siklus inovasi yang mereka ciptakan tumbuh sampai 75%.

Tiga Strategi Kehumasan yang Bisa Dicontoh Saat Meluncurkan Startup

Dalam beberapa tahun terakhir, startup semakin banyak menjamur seiring dengan berkembangnya adopsi teknologi di Indonesia. Ada yang masih bertahan dan sukses, tetapi tak sedikit juga yang tutup buku.

Bicara soal kesuksesan startup, tak bisa dipungkiri public relation (PR) memiliki peran besar. Hal ini demikian karena PR terlibat menentukan strategi dalam memperkenalkan sebuah brand atau produk startup ke khalayak.

Untuk mengetahui lebih dalam, Dian Noeh, Founder dan CEO KVB (sebelumnya Kennedy, Voice & Berliner) akan membagikan pengalamannya pada sesi #SelasaStartup kali ini tentang penentuan strategi PR dalam meluncurkan startup.

Memberikan impact lewat konten

PR is about content. Maka itu, penting bagi PR dalam membuat konten yang menarik. Salah satu pendekatannya adalah memperkenalkan produk lewat sebuah cerita. “Substansi memang harus bagus, apalagi akses informasi semakin mudah karena channel-nya semakin banyak,” ujar Dian.

Selain lewat cerita, penting juga bagi PR untuk dapat men-deliver informasi lainnya, misalnya terkait model bisnis startup. Elemen ini dinilai penting, terutama jika kaitannya menyebarkan informasi kepada para jurnalis.

Why we love working with startups karena kita bisa belajar lebih banyak, belajar model bisnis [mereka]. Kita bisa belajar hal baru dan [model bisnis] ini bisa memberikan impact kepada orang lain,” ungkapnya.

Daya tarik lewat kisah para founder

Menurut Dian, ada banyak perusahaan yang kurang paham dalam melakukan pekerjaan PR pada konteks di era sekarang. Maka itu, memperkenalkan sebuah startup atau produknya tentu akan berbeda dengan memperkenalkan produk perusahaan.

Mengacu pada pengalamannya, sebuah produk atau brand dapat diperkenalkan ke masyarakat dengan mengandalkan cerita atau kisah dari si pendirinya (founder). Ia menilai setiap founder punya kisah berbeda dalam membangun startup atau mengembangkan sebuah produk.

“Kita bisa menggali cerita para founder yang berbeda-beda, di mana cerita ini dapat memikat orang agar bisa menjadi inspirasi kepada orang lain,” tutur Dian.

Algoritma tak berlaku di social science

Dalam meluncurkan startup atau produk, tak semua hal dapat diputuskan secara teknis atau teoritis. PR terkadang harus memiliki insting dalam membuat sebuah keputusan.

When we launch, ada hal-hal tertentu di mana basic rules apply. Tapi ada hal-hal lain juga yang tidak tertulis dan ada banyak keputusan yang tidak hitam-putih,” ujarnya.

Sebagai contoh, PR dapat mengandalkan insting untuk menentukan kapan waktu yang tepat meluncurkan produk atau kapan harus menggunakan bantuan tangan PR atau tidak.

Empat Hal Perlu Diketahui Perusahaan dalam Mengadopsi Teknologi

Di era masa kini, teknologi semakin relevan dan berpengaruh terhadap pertumbuhan bisnis perusahaan. Teknologi terkadang membantu perusahaan dalam mengambil keputusan.

Kendati begitu, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga perusahaan juga harus cepat beradaptasi terhadap perubahan. Bagaimana seharusnya perusahaan beradaptasi di era kecanggihan teknologi?

Hal ini dijawab sejumlah pembicara di salah satu sesi IdeaFest 2018 bertajuk The Rise of Industry-Grown Technology: Automation, AI, and Data Innovations.

Implementasi tak sebatas piloting

Teknologi cepat sekali berkembang. Baru muncul satu, kemudian muncul lagi teknologi baru. Padahal butuh waktu untuk benar-benar paham implementasinya.

Prasetya Dwicahya, Head of Data Science Indonesia, melalui contohnya menyebutkan ada banyak perusahaan yang ingin mengimplementasi big data, tetapi tidak tahu datanya.

Ia juga melihat sejumlah perusahaan belum sepenuhnya memanfaatkan teknologi dan malah justru menggunakannya untuk sekadar proyek percobaan (piloting).

“Ini juga menjadi masalah karena teknologi hanya dimanfaatkan untuk piloting dan tidak diterapkan sampai benar-benar pemanfaatannya,” tutur pria yang karib disapa Pras ini.

Decision board perlu paham teknologi

Ketidaktahuan perusahaan terhadap teknologi baru dianggap menjadi peluang bagi vendor menawarkan produknya. Hal ini justru dianggap dapat menimbulkan misinformasi. Mengapa?

”Misinformasi [teknologi] justru datang dari vendor, mereka menawarkan ke klien padahal belum tentu butuh,” tutur Endiyan Rakhmanda, Co-founder & Chief of Product IYKRA.

Alhasil, perusahaan merasa perlu untuk mengimplementasi teknologi karena “ikut-ikutan”. Untuk itu, Pras menambahkan kembali tentang pentingnya keberadaan decision board yang setidaknya punya pengetahuan teknologi.

“Contoh kasus di atas kan membuat terjadinya asimetric information yang dimanfaatkan vendor untuk berjualan. Investasi jadi sekadar hambur-hambur uang,” tutur Pras.

Pahami kebutuhan perusahaan

Sementara Djap Tet Fa, CEO Astra Digital yang juga mengisi sesi ini menanggapi sisi lain dari perkembangan teknologi di Indonesia. Ia menilai perusahaan di Indonesia memanfaatkan teknologi bukan karena kebutuhannya.

“Ada peer pressure seolah-olah kita harus keep up dengan teknologi. Jadi perusahaan merasa tidak mau ketinggalan. Padahal perlu lihat model bisnisnya, apakah customer-nya perlu, belum lagi ada biaya riset dan pengembangan. Bagaimanapun juga somebody has to pay, ini menjadi tidak efisien lagi,” jelasnya.

Menurutnya, digitalisasi memang menciptakan efisiensi. Akan tetapi kalau teknologinya tidak sesuai kebutuhan bisnis, hal ini justru tidak akan memberikan nilai lebih kepada perusahaan dan justru malah menghabiskan investasi secara percuma.

Edukasi

Terkait hal-hal di atas, Pras berujar perlunya edukasi terhadap perusahaan agar tidak asal dalam beradaptasi di perkembangan teknologi.

Contoh edukasi mudah yang bisa dilakukan adalah membuat analogi atau membuat case sesuai dengan isu relevan. Dengan begini, perusahaan mendapat gambaran tentang perlunya mengimplementasi teknologi yang sesuai dengan kebutuhan bisnisnya.

Lima Pelajaran Inspiratif Bagi Founder untuk Membangun Startup

Pada sesi #SelasaStartup kali ini, DailySocial kedatangan Ash Ali, CMO pertama Just Eat UK yang juga seorang angel investor dan mentor startup terkemuka. Just Eat merupakan platform penyedia layanan pesan-antar makanan. Saat ini, Just Eat UK telah bermitra dengan 29.000 restoran di Inggris.

Sejalan dengan topik yang dibawakan, Ash mengungkap lima pelajaran inspiratif bagi para founder yang ingin membangun startup. Pelajaran ini didapatkan saat perjalanan membangun Just Eat.

Menurutnya, kebanyakan startup gagal bukan karena tidak mampu merancang atau mengembangkan produk, tetapi karena tidak bisa mendapat traction. Sementara traction tersebut merupakan ukuran keberhasilan untuk model bisnis yang diterapkan.

Model bisnis penting, karena berkaitan langsung dengan bagaimana roda bisnis bekerja. Bahkan model bisnis kadang lebih penting dari pada aset pendukung bisnis itu sendiri. Dicontohkan pada keberhasilan GO-JEK, padahal startup yang menyandang status unicorn tersebut tidak memiliki unit kendaraan. Demikian juga Facebook, platform jejaring sosial yang menghubungkan miliaran pengguna di dunia, tidak pernah membuat konten.

Berangkat dari hal di atas, apa saja yang perlu diketahui founder saat membangun sebuah startup? Simak ulasannya berikut ini:

Kenali siapa pelangganmu

Dengan mengenali konsumen dan bagaimana perilakunya, kita menjadi tahu siapa yang disasar. Dari situ founder dapat membuat pendekatan (approach) yang tepat.

“Konsumen pelajar suka memesan take away di restoran. Kami bisa lakukan approach, misalnya dengan voucher, meski itu small value tapi itu berguna,” ujarnya.

Ia juga mencontohkan bagaimana para gamer di sana merupakan segmen early adopter. Mereka akan tetap memesan melalui website meskipun tampilan dan fiturnya kurang bagus.

Ikuti ke mana konsumen pergi

Secara harfiah, ini tidak berarti kita benar-benar mengikuti ke mana konsumen pergi. Namun mengikuti bagaimana perilaku konsumen dalam menggunakan sebuah produk.

Hal ini, secara marketing, dapat lebih optimal untuk memasarkan sebuah produk ketimbang harus menghabiskan biaya untuk beriklan.

“Kami bermitra dengan puluhan ribu restoran, setiap restoran punya menu take away sendiri. Daripada keluarkan budget untuk print menu, kami bisa sediakan lewat platform kami,”

Jadilah kreatif

Dua hal yang menjadi pelajaran penting dalam membangun startup adalah jangan meremehkan branding dan terlalu fokus terhadap digital metric. Dalam kaitannya dengan membangun awareness, kita memanfaatkan instrumen kreatif, seperti stiker.

“Kita bisa menggunakan stiker dengan logo dan memasangnya di jendela-jendela restoran yang menjadi mitra kami. Ini sangat sederhana, tetapi lihat berapa banyak yang datang ke layanan kami karena stiker ini,” ungkap Ash.

Kenali angkamu

Data dalam bentuk angka biasanya menjadi tolok ukur utama bagi perusahaan sebelum masuk ke pasar. Dengan data ini, perusahaan menjadi tahu berapa banyak biaya yang ingin dikeluarkan untuk mendapat dan mempertahankan pelanggan.

Akan tetapi, Ash juga menekankan tentang pentingnya mengandalkan pengukuran secara kualitatif dan kuantitatif, tak hanya menggunakan data saja.

“Kita harus paham sebelum masuk ke pasar. Tetapi jangan hanya data driven saja. Jadikan pengukuran kualitatif dan kuantitatif untuk membangun startup, jangan hanya berdasarkan small number, jangan hanya data driven,” tuturnya.

Menumbuhkan mindset dan budaya bekerja di startup

Kedua hal ini menjadi elemen krusial bagi mereka yang ingin berkecimpung di dunia startup. Maka itu, penting sejak awal bagi kita untuk menerapkan mindset dan membiasakan diri dengan lingkungan dan budaya kerja startup.

Menurut Ash, mindset dan budaya yang dimaksud misalnya berani mencoba sesuatu dan mau belajar dari kesalahan yang dibuat. Jika kita tidak memiliki working mindset, akan sulit untuk bekerja sama di dalam organisasi. Begitu juga sebaliknya apabila tim kita tidak memiliki working mindset seperti itu.

“Dalam dunia startup, perlu orang yang mau untuk membuat kesalahan, membuat sesuatu yang tidak cocok. Karena di startup itu, kita harus punya mindset untuk berkembang, cepat gagal, tetapi cepat belajar dari kesalahan yang dibuat.”