Investree Thailand Obtains License, Optimizing SME’s Market Growth in Southeast Asia

The p2p lending startup Investree announced its expansion to Thailand after successfully obtaining a license from the Securities and Exchange Commission of Thailand (SEC) as of February 23, 2021. Investree Thailand will focus on providing more SMEs (underserved) with institutional financing access by connecting them with investors through the marketplace platform.

Investree Thailand’s Co-Founder Worakorn Sirijinda said, “We are very grateful for the approval and support from the SEC. This is the first step for Investree to provide innovative financing and service solutions for Thai SMEs that we hope will be able to contribute to the country’s economic recovery in a challenging situation like today.”

In Thailand and the Philippines, regulation is a bigger challenge due to distance constraints and limited knowledge and relations with the current regulators. In addition to the presence of a pandemic that has slowed down movement around the world, the crowdfunding permit process has been delayed for a while.

In addition, different situations and cultures in each country are quite a challenge in introducing new ideas of crowdfunding to the public. Therefore, to accelerate knowledge about the market and ecosystem, Investree focuses on collaborating with local partners.

Several well-known companies have collaborated, including Pantavanij, Thailand’s leading e-procurement platform, and B2B marketplace, 2C2P payment gateway provider, and FlowAccount, a provider of online billing and accounting solution software for small businesses, entrepreneurs, and freelancers.

Through this collaboration, Investree Thailand created several innovations. Together with Pantavanij, Investree provides supply chain financing to sellers and suppliers registered in the e-procurement system. Together with 2C2P, Investree utilizes technology and data to provide working capital financing facilities for 2C2P merchants. Still in line, Investree is also collaborating with FlowAccount to provide financing solutions for MSMEs on its platform.

Investree Thailand presents 2 (two) products, Bullet Payment Security and Installment Payment Security which have similarities with Invoice Financing and Working Capital Term Loan (WCTL) offered in Indonesia and the Philippines. For these two financing products, Investree offers various benefits for SMEs: interest rates based on a modern credit scoring model, fast funding, and transparent terms and fees.

“In our opinion, this partnership really helps Investree in channeling loans that focus more with measurable risks, therefore, they can maintain the stability of the Investree lending and borrowing business while exploring more collaboration opportunities with actors in other ecosystems,” Adrian said.

SME Market in Southeast Asia

Based on a study by the Asian Development Bank entitled “Asia Small and Medium-Sized Enterprise Monitor 2020”, MSMEs account for an average of 97% of all types/scales of enterprises, 69% of the total workforce, and 41% of the country’s gross domestic product (GDP) during 2010-2019. The Covid-19 pandemic in 2020 exacerbates the increasing global trade tension and economic uncertainty in the region. In many ways, MSMEs are the key to economic recovery in developing Asian countries.

Indonesia is a country in Southeast Asia with the largest number of MSMEs in the region with 64 million, followed by Thailand with 3.5 million and the Philippines with 1.2 million MSME units.

MSMEs are a major and important force to drive the Southeast Asian economy. This is 97 percent of the business world and absorbs 97 percent of the national workforce in the 2010 to 2019 period. MSMEs also contributed an average of 41 percent of the GDP of each country in the same period.

However, there are many business players still having difficulty with financial access. Many of them are deemed ineligible to borrow from a bank and do not have a credit history.

Fintech can make it easier for MSMEs to optimize the effectiveness and efficiency of business operations, also for MSMEs without sufficient requirements to access bank financing for working capital financing. Some of the players that offer similar solutions include KoinWorks, Modalku, and Amartha.

Previously, in 2019, Investree is available in Vietnam under the name eLoan, after which it continued to expand to the Philippines by partnering with the conglomerate company Filinvest Development Corporation (FDC) earlier this year. To date, Investree has successfully obtained a license to operate in 4 countries including Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Investree Thailand Peroleh Izin Regulator, Maksimalkan Momentum Pertumbuhan UMKM di Asia Tenggara

Startup p2p lending Investree mengumumkan peresmian ekspansi ke Thailand setelah berhasil mengantongi lisensi dari Komisi Sekuritas dan Bursa Thailand (SEC) per tanggal 23 Februari 2021. Investree Thailand akan fokus melayani lebih banyak UKM yang tidak terjangkau akses pembiayaan lembaga konvensional (underserved) dengan menghubungkan mereka dengan para investor melalui platform marketplace.

Co-Founder Investree Thailand Worakorn Sirijinda mengungkapkan, “Kami sangat bersyukur atas persetujuan dan dukungan dari SEC. Ini adalah langkah pertama bagi Investree untuk menyediakan solusi pembiayaan dan layanan yang inovatif bagi UKM Thailand yang kami harapkan mampu berkontribusi dalam pemulihan ekonomi Negara di situasi penuh tantangan seperti sekarang ini.”

Di Thailand dan Filipina, regulasi menjadi tantangan yang lebih besar akibat terhambat jarak dan keterbatasan akan pengetahuan serta relasi dengan regulator di sana. Ditambah lagi kehadiran pandemi yang memperlambat pergerakan di seluruh dunia, proses perizinan crowdfunding pun tertunda untuk beberapa saat.

Selain itu, perbedaan situasi dan budaya di setiap negara juga merupakan tantangan tersendiri untuk mengenalkan ide baru crowdfunding kepada masyarakat. Oleh sebab itu, untuk mengakselerasi pengetahuan tentang pasar dan ekosistem di sana, Investree fokus melangsungkan kolaborasi dengan rekanan lokal.

Beberapa perusahaan ternama yang sudah bekerja sama seperti Pantavanij, platform e-procurement dan B2B marketplace terdepan di Thailand, 2C2P penyedia payment gateway, dan FlowAccount penyedia software solusi penagihan dan akuntansi online untuk bisnis kecil, wirausaha, dan pekerja lepas.

Melalui kolaborasi tersebut, Investree Thailand menciptakan beberapa inovasi. Bersama Pantavanij, Investree menyediakan pembiayaan rantai pasokan kepada penjual dan pemasok yang terdaftar di sistem e-procurement. Bersama 2C2P, Investree mamanfaatkan teknologi dan data untuk menyediakan fasilitas pembiayaan modal kerja (working capital financing) untuk para merchant 2C2P. Masih sejalan, Investree juga berkolaborasi dengan FlowAccount untuk menyediakan solusi pembiayaan bagi UMKM yang ada di platformnya.

Investree Thailand menghadirkan 2 (dua) produk yaitu Bullet Payment Security dan Installment Payment Security yang memiliki kesamaan dengan Invoice Financing dan Working Capital Term Loan (WCTL) yang ditawarkan di Indonesia dan Filipina. Untuk kedua produk pembiayaan ini, Investree menawarkan berbagai manfaat untuk UKM: suku bunga berdasarkan model credit scoring yang modern, pendanaan cepat, serta ketentuan dan biaya yang transparan.

“Menurut kami, kemitraan ini sangat membantu Investree dalam menyalurkan pinjaman secara lebih tepat sasaran dengan risiko yang terukur sehingga dapat menjaga kestabilan bisnis pinjam meminjam Investree seraya mengeksplorasi lebih banyak peluang kolaborasi dengan pelaku di ekosistem lainnya,” ujar Adrian.

Pasar UMKM di Asia Tenggara

Berdasarkan studi oleh Asian Development Bank bertajuk “Asia Small and Medium Sized Enterprise Monitor 2020”, UMKM menyumbang rata-rata 97% dari semua jenis/skala perusahaan, 69% dari total tenaga kerja, dan 41% dari produk domestik bruto (PDB) negara selama 2010-2019. Pandemi Covid-19 pada tahun 2020 memperburuk tensi perdagangan global yang sudah meningkat dan ketidakpastian ekonomi di wilayah regional. Dalam banyak hal, UMKM memegang kunci pemulihan ekonomi di negara berkembang Asia.

Indonesia menjadi negara di Asia Tenggara yang mempunyai jumlah UMKM terbesar di kawasan sebanyak 64 juta disusul oleh Thailand dengan 3,5 juta dan Filipina dengan 1,2 juta unit UMKM.

UMKM merupakan kekuatan utama dan penting untuk mendorong perekonomian Asia Tenggara. Jumlahnya 97 persen dari dunia usaha dan menyerap 97 persen angkatan kerja nasional dalam periode 2010 hingga 2019.UMKM juga menyumbang rata-rata 41 persen dari PDB tiap negara dalam periode yang sama.

Namun, masih ada banyak pelaku usaha yang belum memiliki akses terhadap pembiayaan. Banyak dari mereka dianggap tidak memenuhi syarat meminjam di bank dan tidak memiliki histori kredit.

Fintech dapat memudahkan UMKM untuk mengoptimalkan efektivitas dan efisiensi operasional usaha, serta memudahkan UMKM yang tidak memiliki persyaratan cukup untuk mengakses pembiayaan perbankan, dalam mengakses pembiayaan modal kerja. Beberapa pemain yang juga menawarkan solusi serupa termasuk KoinWorksModalku, dan Amartha.

Sebelumnya, di tahun 2019, Investree telah hadir di Vietnam dengan nama eLoan, setelah itu melanjutkan ekspansi ke Filipina dengan menggandeng perusahaan konglomerat Filinvest Development Corporation (FDC) di awal tahun ini. Hingga saat ini, Investree berhasil mendapat lisensi untuk beroperasi di 4 negara termasuk Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Investree Philippines Obtains SEC Approval to Continue Operation

Investree Philippines, a joint venture between Filinvest Development Corp and Investree, has officially secured a license agreement to operate the crowdfunding platform from the Philippine Securities and Exchange Commission (SEC). This news also marks the issuance of the first Philippines’ company licensing, after the SEC released new rules and regulations in 2019.

Quoting from the Philippine Information Agency, the license obtained by Investree Philippines as a crowdfunding broker and this funding portal is valid for one year and is required to comply with certain rules. Approaching one year, to be precise in the 11th month of operation, the SEC will examine for an extension.

Investree works with a Singapore legal entity, Investree Singapore Pte. Ltd., in the establishment of this joint venture.

Similar to Investree Indonesia, Investree Philippines has an ambition to address a credit gap of more than $200 billion for SMEs with difficulty accessing funding in the Philippines. In order to make this happen, by connecting SMEs and startups with institutional investors through a crowdfunding marketplace.

“FDC is proud to be able to present the first official and licensed platform in the Philippines and contribute to the development of SMEs through Investree Philippines. [..] We believe that Investree can be the best solution for SMEs who want to rebuild and develop their businesses, while at the same time supporting the country’s economic recovery and growth,” FDC’s President and CEO Josephine Gotianun-Yap said in an official statement, Friday (15/1 ).

Investree’s Regional Co-Founder & CEO Adrian Gunadi added that the strong FDC ecosystem, including EastWest Bank and its understanding of the local market, will seamlessly connect lenders and SMEs. “In synergy with FDC, we now have a solid operating and business model to ensure optimal service in order to support the growth of SMEs in the Philippines region.”

In Southeast Asia, SMEs in general still have much greater financial needs, even though they are considered businesses with microfinance needs. Yet, too small to be served effectively by the general banking model. This is because SMEs are often constrained by problems such as lack of collateral and credit history which are usually required by banks, thus creating a financial credit gap for this middle segment.

Especially in the Philippines, this segment is underserved. In fact, SMEs contribute 35% of the country’s GDP, employing more than 60% of the local workforce.

“With the support of FDC, Investree Philippines will leverage the power of technology and data to develop and use a robust risk assessment model that will help and accelerate the credit assessment process in banks and lending institutions in general,” said f (dev) Managing Director Xavier Marzan. f (dev) is FDC’s subsidiary which is engaged in venture and innovation.

Investree Philippines is the second Investree expansion, after Thailand, which started in early 2019. In Thailand, Investree uses the eLoan brand and cooperates with local partners who understand the conditions in the field.

As of November 2020, Investree has booked a total loan facility of Rp7.7 trillion and a disbursed loan value of Rp.5.5 trillion. The average rate of return is 16.8% per year and the average TKB90 is 99%.

About overseas expansion from Indonesia

Indonesia is a ready ecosystem to plant a service until it “blooms”. When it is considered successful, it has a significant position here, it means that there is a sure guarantee that the service can be carried outside Indonesia, especially to Southeast Asia with more or less the same family, culture, and behavior.

Supported by sufficient capital, a handful of local startups are confident to be free of the cage. Investree and DanaCita are two companies born from fintech lending. Most companies arrived from overseas, mostly from Singapore, entering Indonesia by localizing their brand.

The rest is still just a plan, which may be delayed due to the Covid-19 pandemic. Apart from that, successful startup verticals have entered a number of countries in Southeast Asia, including Gojek, Ruangguru, Traveloka, Sociolla, PasarPolis, and Xendit.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Perusahaan Patungan Investree di Filipina Dapatkan Izin dari Otoritas Setempat

Investree Philippines, perusahaan patungan antara Filinvest Development Corp dengan Investree, resmi mengantongi persetujuan izin mengoperasikan platform crowdfunding dari Komisi Sekuritas dan Bursa Filipina (SEC). Kabar ini sekaligus menandai penerbitan perizinan pertama bagi perusahaan di Filipina, sejak SEC merilis aturan dan regulasi pelaksanaan baru pada tahun 2019.

Mengutip dari Philippine Information Agency, izin yang dikantongi Investree Philipines sebagai perantara crowdfunding dan portal pendanaan ini berlaku selama satu tahun dan diharuskan tunduk pada aturan tertentu. Menjelang satu tahun, tepatnya pada bulan ke-11 operasional, SEC akan mempertimbangkan perpanjangan izin.

Investree menggunakan perusahaan berbadan hukum Singapura, Investree Singapore Pte. Ltd., dalam pendirian perusahaan patungan ini.

Sama seperti Investree Indonesia, Investree Philippines berambisi untuk mengatasi kesenjangan kredit sebesar lebih dari $200 miliar bagi UKM yang sulit mendapat akses pendanaan di Filipina. Untuk mewujudkan hal tersebut, dengan menghubungkan UKM dan startup dengan investor institusi melalui marketplace crowdfunding.

“FDC bangga bisa menghadirkan platform resmi dan berizin pertama di Filipina, serta berkontribusi terhadap pengembangan UKM melalui Investree Philippines. [..] Kami percaya bahwa Investree dapat menjadi solusi terbaik bagi UKM yang ingin membangun kembali dan mengembangkan usaha mereka, sekaligus mendukung pemulihan dan pertumbuhan ekonomi negara,” ujar Presiden dan CEO FDC Josephine Gotianun-Yap dalam keterangan resmi, Jumat (15/1).

Co-Founder & CEO Regional Investree Adrian Gunadi menambahkan, ekosistem FDC yang kuat, termasuk EastWest Bank dan pemahamannya tentang pasar lokal akan menghubungkan pemberi pinjaman dan UKM secara lancar. “Bersinergi dengan FDC, sekarang kami memiliki model operasi dan bisnis yang solid untuk memastikan layanan optimal dalam rangka mendukung pertumbuhan UKM di kawasan Filipina.”

Di Asia Tenggara, pada umumnya UKM masih memiliki kebutuhan keuangan yang lebih besar, meskipun dianggap sebagai bisnis dengan kebutuhan keuangan mikro. Tetapi terlalu kecil untuk dilayani secara efektif oleh model perbankan umum. Hal ini dikarenakan UKM seringkali terkendala permasalahan seperti kurangnya agunan dan riwayat kredit yang biasanya dibutuhkan perbankan, sehingga menciptakan kesenjangan kredit keuangan untuk segmen menengah ini.

Khusus di Filipina, segmen ini kurang terlayani. Padahal, UKM menyumbang 35% terhadap PDB negara, mempekerjakan lebih dari 60% tenaga kerja lokal.

“Dengan dukungan FDC, Investree Philippines akan memanfaatkan kekuatan teknologi dan data untuk berkembang dan menggunakan model penilaian risiko mumpuni yang akan membantu dan mempercepat proses penilaian kredit di perbankan maupun institusi pinjaman pada umumnya,” kata Managing Director f(dev) Xavier Marzan. f(dev) adalah anak usaha FDC yang bergerak di bidang venture dan innovation.

Investree Philippines adalah ekspansi Investree kedua, setelah Thailand yang sudah dimulai sejak awal 2019. Di Thailand, Investree menggunakan brand eLoan dan menggandeng mitra lokal yang paham dengan kondisi di lapangan.

Hingga November 2020, Investree membukukan total fasilitas pinjaman sebesar Rp7,7 triliun dan nilai pinjaman tersalurkan Rp5,5 triliun. Rata-rata tingkat pengembaliannya adalah 16,8% per tahun dan rata-rata TKB90 99%.

Mereka yang ekspansi ke luar Indonesia

Indonesia menjadi tempat yang empuk untuk menggodok suatu layanan hingga “jadi”. Ketika dianggap berhasil punya posisi yang signifikan di sini, artinya ada jaminan pasti layanan tersebut dapat dibawa ke luar Indonesia, apalagi ke Asia Tenggara dengan rumpun, budaya, dan perilaku yang kurang lebih sama.

Didukung kapital yang cukup, segelintir startup lokal pede untuk keluar dari kandang. Investree dan DanaCita adalah dua perusahaan yang datang dari fintech lending. Sebagian besar perusahaan datang dari luar Indonesia, mayoritas dari Singapura, lalu masuk ke Indonesia dengan melokalisasi nama brand-nya.

Sisanya masih sekadar rencana, yang kemungkinan tertunda karena pandemi Covid-19. Di luar itu, vertikal startup yang sukses masuk ke sejumlah negara di Asia Tenggara, di antaranya ada Gojek, Ruangguru, Traveloka, Sociolla, PasarPolis, dan Xendit.

AFPI Tanggapi Rancangan Revisi Regulasi P2P Lending

OJK tengah menyiapkan revisi terhadap POJK 77/2016 untuk industri p2p lending yang tumbuh pesat semenjak aturan diterbitkan pada 2016. Ada tujuh poin yang ditekankan dalam rancangan revisi tersebut. Sebagai berikut:

  1. Penghapusan status pendaftaran, hanya perizinan.
  2. Peningkatan syarat modal disetor minimum, menjadi Rp15 miliar saat perizinan dari sebelumnya Rp2,5 miliar.
  3. Ketentuan persyaratan ekuitas sebesar 0,5% dari total outstanding atau sekurang-kurangnya Rp10 miliar.
  4. Adanya fit & proper test pengurus dan PSP.
  5. Kewajiban pinjaman ke sektor produktif dan luar Pulau Jawa.
  6. Penguatan ketentuan agar pemegang saham existing lebih berkomitmen dalam mendukung penyelenggaraan p2p lending.
  7. Menambahkan ketentuan prinsip syariah yang sebelumnya belum diatur.

“OJK perlu membenahi penyelenggara yang telah ada. Apabila ada penambahan P2PL baru tanpa memiliki modal yang mencukup, strategi yang bagus, dan ekosistem yang mendukung, maka berpotensi hanya menambah jumlah P2PL, tetapi kontribusinya kecil dan tidak optimal,” ucap Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK Riswinandi, dikutip dari Infobank.

OJK mengambil kebijakan baru ini untuk menyortir memaksimalkan industri p2p lending agar dapat memberikan kontribusi ekonomi yang lebih maksimal. Saat ini tercatat ada 36 perusahaan berizin dan 177 perusahaan terdaftar. Dari seluruh penyelenggara, OJK mencatat hanya 10 pemain teratas dengan kontribusi hingga 61,68% dari pangsa outstanding industri.

“Kontribusi industri hanya oleh beberapa pemain, yang lain penyaluran minim. Kekuatan tergantung masing-masing juga. Banyak yang belum berkembang karena masalah permodalan dan status likuiditas tergerus.”

Tanggapan AFPI

Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko menuturkan ada empat poin utama yang menjadi saran asosiasi terkait RPOJK ini. Di antaranya, AFPI berharap regulasi baru tidak menghambat pertumbuhan transaksi dan jumlah pemberi dana dari para penyelenggara. Selain itu, jangan sampai regulasi baru justru mempersulit investasi yang masuk ke industri.

Berikutnya, asosiasi menyarankan birokrasi yang lebih ramping agar platform yang masih dalam tahap awal tetap lincah. “Agar mereka tetap bisa menyesuaikan diri dengan perubahan, terutama di masa-masa seperti ini,” kata Sunu.

Terakhir adalah perlunya kelonggaran terhadap ketentuan batas waktu hingga periode tertentu di beberapa aspek regulasi baru. Tujuannya untuk memberikan nafas untuk pemain baru agar bisa berkembang terlebih dulu.

“Karena tidak semua pemain ada di tahapan yang sama. Ada yang sudah mapan, ada yang baru mulai, ada yang masih berkembang. Jadi ini terutama buat anggota kita yang sebenarnya bisa memenuhi aturan, tapi butuh waktu sedikit lebih lama.”

Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi menanggapi poin lainnya berkaitan dengan menaikkan modal inti. Menurutnya, kebijakan ini bisa membuka ruang konsolidasi (merger) antar penyelenggara. Permodalan adalah sesuatu yang penting apalagi di jasa keuangan karena modal inti berkaitan erat dengan fokus pertumbuhan.

“Kalau dengan pertumbuhan berkualitas butuh komitmen dari para shareholder untuk meningkatkan aspek permodalan ini. Pada intinya kami sepemahaman. Mungkin butuh bahan diskusi tahap-tahapan peningkatan modal tersebut karena belum semua penyelenggara dalam stage pertumbuhan yang sama,” terang Adrian.

Adrian melanjutkan, “Kami proaktif melihat apakah ada ruang konsolidasi, penggabungan dari beberapa fintech lending jadi sesuatu yang kita buka ruang tersebut dan diskusi dengan OJK.”

Terkait penyaluran lebih banyak ke sektor produktif dan ke luar Pulau Jawa, Adrian menuturkan kesempatan tersebut dapat digarap melalui kolaborasi. Asosiasi dapat menjembatani para pemain multiguna dan produktif untuk melakukan join financing.

Untuk masuk ke luar Pulau Jawa, pemain fintech dapat bekerja sama dengan institusi keuangan seperti BPR dan BPD karena paham dengan risiko dan industrinya. “Fintech lending punya teknologi dan credit scoring yang bagus, tapi bagaimanapun BPR dan BPD punya local knowledge. Mudah-mudahan tahun depan kolaborasi seperti ini akan semakin banyak,” pungkas dia.

Sunu melanjutkan seluruh masukan dari asosiasi untuk regulator sudah disampaikan secara tertulis sejak akhir November kemarin. “Proses diskusi untuk RPOJK itu sudah berjalan lama [..] Kami ingin peraturan yang tidak melekat tapi tidak menghilangkan esensi penting fintech, tidak menghimpun dana masyarakat. Butuh kelonggaran agar kita dapat bergerak lincah dalam kegiatan bisnisnya,” tutupnya.

Gambar header: Depositphotos.com

GMO Payment Gateway Berikan Dana ke Investree, Fintech Lending Lokal Makin Diminati Lender Institusi

Investree kembali menambah deretan institutional lender di ekosistemnya. Kali ini giliran GMO Payment Gateway yang bergabung, merupakan sebuah perusahaan teknologi pembayaran dari Jepang. Tidak disebutkan mengenai nominal debt fund yang diberikan.

Sebelumnya Accial Capital juga masuk jadi lender institusi di Investree, diumumkan bebarengan dengan pendanaan seri C2 senilai 213 miliar Rupiah yang baru didapat Investree. Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi mengatakan, kerja sama kedua perusahaan sudah terjalin sejak tahun 2017.

Meski tidak menerangkan detail, disampaikan juga saat ini Investree sudah membukukan dana dari lender institusi lokal, yakni dari bank BUMN dan swasta.

Praktik menggandeng mitra institusi untuk memberikan pendanaan memang makin lazim diadopsi pemain p2p lending. Tujuannya jelas, mengakselerasi pertumbuhan dan penetrasi pinjaman mereka. Terlebih layanan seperti Investree fokus pada sektor produktif, seperti pembiayaan UMKM.

Konsepnya, dana pinjaman tersebut akan dikelola penuh oleh platform, untuk disalurkan melalui mekanisme pinjaman yang dimiliki. Dengan teknologinya, platform juga bertanggung jawab untuk melakukan seleksi dan penilaian kredit, termasuk memperhitungkan berbagai risiko yang mungkin terjadi.

Di Investree sendiri, dana disalurkan lewat beberapa mekanisme, meliputi invoice financing, buyer financing, working capital term loan, online seller financing, dan supply chain financing.

Beberapa pemain p2p lending juga umumkan telah mendapatkan dana investasi dari institusi. Di antaranya Modal Rakyat dari BRI dan BRI Agro, UangTeman dari Bank Sahabat Sampoerna, KoinWorks dari Bank CIMB Niaga dan Sampoerna.

Menurut laporan terbaru yang dirilis DSResearch dan AFPI, berdasarkan survei yang dilakukan terhadap C-level di perusahaan fintech lending lokal,  saat ini kebanyakan telah memiliki lender institusi dengan jumlah beragam.

Institutional Lender P2P Lending Indonesia

Menariknya, 51% dari lender institusi yang ada sebagian besar bukan berasal dari perusahaan finansial. Kendati demikian perbankan, multifinance, dan BRP turut mendapatkan porsi dalam persentasenya. Sebagian besar dana pinjaman dari institusi nilainya juga sangat signifikan, 56,2% dari responden mengaku nilai yang didistribusikan telah mencapai di atas 50 miliar Rupiah.

Institutional Lender P2P Lending Indonesia 2

“Saat ini sudah ada beberapa pemain internasional yang bergabung sebagai lender institusi Investree dan GMO adalah salah satunya. Kami berharap hal ini bisa semakin menguatkan sokongan pendanaan bagi para UKM sehingga mereka dapat semakin berdaya dan terakselerasi di masa pemulihan pandemi Covid-19 ini,” ujar Adrian.

Head of Asia Strategic Investment & Lending GMO-PG Kohei Nakajima mengatakan, “Kami pertama kali bertemu dengan Investree pada 2018 dan kerja sama kami dimulai pada 2019. Melalui kolaborasi penuh manfaat selama satu tahun belakangan ini, kami berkeyakinan kuat Investree merupakan mitra yang tepat untuk mendukung pemberdayaan UKM di Indonesia.”

Menurut laporan yang disampaikan, per bulan Oktober 2020 Investree telah memfasilitasi pinjaman sebesar 7,3 triliun Rupiah kepada 1429 peminjam dan mencatat sekitar 120 ribu pemberi pinjaman di platformnya. Selain menambah deretan kolaborasi strategis, Investree juga memperkuat kehadiran regionalnya dengan berekspansi ke Thailand dan Filipina pada tahun ini.

Application Information Will Show Up Here

Sembrani Nusantara’s Structure Resembles Mutual Fund, BRI Ventures to Launch Venture Debt

BRI Ventures (BVI) last week announced the closing of the first round of the Sembrani Nusantara Venture Fund. This fund booked 150 billion Rupiah in managed funds from a number of investors. Not just ordinary managed funds, Sembrani has a relatively new structure in the landscape of Indonesia’s digital industry. The structure is in the form of a Joint Investment Contract (KIB), which takes a similar concept to a Collective Investment Contract (KIK) in mutual funds. The Net Asset Value (NAV) calculation index will be issued quarterly by the custodian bank.

As a fund registered with the OJK, BVI wants to comply with the applicable legal rules. Meanwhile, currently in Indonesia, there are no official rules regarding limited partnership agreements (Limited Partners) which venture capitalists usually adopt to manage their funds. A form similar to mutual funds is expected to make it easier for the public to accept the concept that Sembrani has adopted.

This fund structure is very unique, because participating investors can subscribe and redeem from the Sembrani Nusantara Ventura Fund on every window of subscription that is opened every quarter. That is something limited partners cannot do with the existing VC fund model,” BVI’s VP of Investment Markus Liman Rahardja said.

With this structure, BVI is said to offer a level of flexibility and liquidity that cannot be owned by existing VC funds (from abroad). Fund backers can choose to deposit and redeem their funds for a certain period. This mechanism encourages Sembrani’s claim to be similar to a mutual fund with a scheme that is common among Indonesians.

In addition, he hopes that this venture fund can be a more effective way for organizations or individuals with a high net worth (high net worth individual) to take part in investing in the fast-growing Indonesian tech startup ecosystem. Previously, when investing in Indonesian startups, their most common practice was to enter into limited agreements with venture capitalists registered in Singapore.

“For now, we are still selecting investors who join. Given the very early age of the venture capital industry and its high risk, we limit it to those who have experience investing in startups. Investors continue to discuss with us to increase industrial development. venture capital in Indonesia,” BVI’s CEO Nicko Widjaja added.

Venture debt with Investree

Adian Gunadi dan Nicko Widjaja dalam virtual press conference pendanaan seri C pada April 2020 lalu / Investree
Adrian Gunadi with Nicko Widjaja in Series C virtual conference last April 2020 / Investree

BVI has also signed a partnership with Investree to offer capital in the form of venture debt. In the early phase, BVI has prepared 60 billion Rupiah through Sembrani. Investree is BVI’s portfolio and is also an investor in Sembrani Nusantara.

The productive financing model is considered to be able to provide solutions for early-stage startups, especially for those yet to have tangible assets and sufficient cash flow for submission to traditional debt instruments.

This option can be an option for founders to obtain capital funds while maintaining ownership of their business, plus simpler governance. They do not need to allocate board seats for investors, provide voting rights to multiple stakeholders, and so on.

Investree plays a role in performing the initial screening process and due diligence for the startup submissions. Later, startups that successfully paid off the first stage loan can apply for a return to the next stage with a greater value.

There are several benchmarks for startups in order to pass. First, the purpose of capital must be related to company expansion, which means it must have a valid business model.

Second, startups must not have an alarming debt history for the past 12 months and must pass risk and credit assessments according to the requirements set by PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo).

“Venture debt will be in the form of productive financing. Investree, as experienced in productive financing, will assist us in conducting initial screening and KYC assessments for startups. Funds will come from the Sembrani Nusantara Venture Fund,” Nicko said.

According to Investree’s Co-Founder & CEO Adrian Gunadi, productive financing is often the preferred initial financing option for startups over equity investment. If a company is truly healthy, it can pay back its round of debt without sacrificing business ownership. Usually, equity (which has been given) is very difficult for startups to recover.

“There are not many debt financing options available for technology startups, because of their risk. [..] We believe that our ability to provide an assessment allows us to capture the risk profile of startups,” said Adrian.

Markus added, “In recent years, there have been several players who claim to have offered venture debt in Indonesia, but in fact, they are not active in the market. For that, we are confident that we can call ourselves the first local VC to offer productive financing. ] This is one way of identifying early on which companies are achieving sustainable growth and real profitability. It will also help us better understand which startups will be eligible for IPOs in the near future.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Struktur Sembrani Nusantara Mirip Reksa Dana, BRI Ventures Juga Luncurkan “Venture Debt”

BRI Ventures (BVI) minggu kemarin mengumumkan penutupan putaran pertama Dana Ventura Sembrani Nusantara. Dana ini membukukan dana kelolaan 150 miliar Rupiah dari sejumlah investor. Tidak sekadar dana kelolaan biasa, Sembrani memiliki struktur yang terbilang baru di lanskap industri digital Indonesia. Strukturnya berbentuk Kontrak Investasi Bersama (KIB), yang mengambil konsep mirip Kontrak Investasi Kolektif (KIK) di reksa dana. Indeks perhitungan Net Asset Value (NAV) akan dikeluarkan tiap kuartal oleh bank kustodian.

Sebagai dana yang terdaftar di OJK, BVI ingin patuh dengan aturan hukum yang berlaku. Sementara saat ini di Indonesia belum ada aturan resmi mengenai perjanjian kemitraan terbatas (Limited Partner) yang biasanya diadopsi pemodal ventura untuk mengelola fund mereka. Bentuk yang mirip dengan reksa dana diharapkan memudahkan masyarakat menerima konsep yang diadopsi Sembrani ini.

“Struktur dana ini sangat unik, karena investor yang berpartisipasi dapat subscribe dan redeem dari Dana Ventura Sembrani Nusantara pada setiap window of subscription yang dibuka setiap triwulan. Itu hal yang tidak bisa dilakukan oleh limited partner dengan model VC fund yang sudah ada,” jelas VP of Investment BVI Markus Liman Rahardja.

Dengan struktur ini, BVI mengklaim bisa menawarkan tingkat fleksibilitas dan likuiditas yang tidak dapat dimiliki VC fund yang ada (dari luar negeri). Penyokong dana bisa memilih menaruh dan menebus dananya selama periode tertentu. Mekanisme ini mendorong klaim Sembrani mirip reksa dana dengan skema yang sudah umum di kalangan masyarakat Indonesia.

Selain itu, harapannya dana ventura ini bisa menjadi cara yang lebih efektif untuk organisasi atau individu dengan kekayaan tinggi (high net worth individual) untuk turut andil berinvestasi di ekosistem startup teknologi Indonesia yang tengah bertumbuh pesat. Sebelumnya, ketika ingin berinvestasi ke startup Indonesia, praktik paling umum mereka harus membuat perjanjian terbatas dengan pemodal ventura yang terdaftar di Singapura.

“Untuk saat ini memang kami masih menyeleksi investor yang tergabung. Mengingat usia industri modal ventura yang masih sangat dini dan risiko yang cukup tinggi, maka kami batasi kepada mereka yang telah berpengalaman berinvestasi kepada startup. Para investor pun terus berdiskusi dengan kami untuk menambah perkembangan industri modal ventura di Indonesia,” imbuh CEO BVI Nicko Widjaja.

Venture debt bersama Investree

Adian Gunadi dan Nicko Widjaja dalam virtual press conference pendanaan seri C pada April 2020 lalu / Investree
Adian Gunadi dan Nicko Widjaja dalam virtual press conference pendanaan seri C pada April 2020 lalu / Investree

BVI juga telah menandatangani kerja sama dengan Investree untuk menawarkan permodalan dalam bentuk venture debt. Di fase awal, BVI telah menyiapkan dana 60 miliar Rupiah melalui Sembrani. Investree merupakan portofolio BVI dan turut menjadi investor dalam Sembrani Nusantara.

Model productive financing dinilai dapat memberikan solusi bagi startup tahap awal, terutama bagi mereka yang masih belum memiliki aset berwujud dan arus kas memadai untuk pengajuan ke instrumen utang tradisional.

Opsi ini dapat menjadi pilihan bagi founder dalam mendapatkan dana modal dengan tetap mempertahankan kepemilikan bisnis mereka, plus tata kelola yang lebih sederhana. Mereka tidak perlu mengalokasikan kursi board untuk investor, memberikan hak suara kepada banyak pemangku kepentingan, dan lain-lain.

Investree berperan melakukan proses penyaringan awal dan uji tuntas startup yang mengajukan. Nantinya startup yang berhasil melunasi pinjaman tahap pertama bisa mengajukan kembali ke tahap berikutnya dengan nilai yang lebih besar.

Ada beberapa tolok ukur yang harus dipenuhi startup agar lolos. Pertama, tujuan permodalan harus terkait ekspansi perusahaan, yang berarti harus memiliki model bisnis yang telah tervalidasi.

Kedua, startup tidak boleh memiliki riwayat utang yang mengkhawatirkan selama 12 bulan terakhir dan harus melewati penilaian risiko dan kredit sesuai persyaratan yang diatur PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo).

Venture debt dilakukan dalam bentuk productive financing. Investree, sebagai yang berpengalaman dalam melakukan productive financing, akan membantu kami dalam melakukan assessment yang sifatnya initial screening dan KYC bagi para startup. Dana untuk hal tersebut akan berasal dari Dana Ventura Sembrani Nusantara,” ujar Nicko.

Menurut Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi, pembiayaan produktif sering kali jadi opsi pembiayaan awal yang disukai startup daripada investasi ekuitas. Jika sebuah perusahaan benar-benar sehat, ia dapat membayar kembali putaran utang tanpa mengorbankan kepemilikan bisnis. Karena, biasanya ekuitas (yang sudah diberikan) jadi hal yang sangat sulit diperoleh kembali oleh startup.

“Tidak banyak opsi pembiayaan utang yang tersedia untuk startup teknologi, karena risiko mereka. [..] Kami percaya bahwa kemampuan kami dalam memberikan penilaian memungkinkan untuk menangkap profil risiko dari startup,” ujar Adrian.

Markus menambahkan, “Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa pemain yang mengklaim telah menawarkan utang ventura di Indonesia, tapi sebenarnya mereka tidak aktif di pasar. Untuk itu, kami yakin dapat menyebut diri kami sebagai VC lokal pertama yang menawarkan pembiayaan produktif. [..] Ini adalah satu cara untuk mengidentifikasi sejak awal perusahaan mana yang mencapai pertumbuhan berkelanjutan dan profitabilitas riil. Ini juga akan membantu kami lebih memahami startup mana yang akan layak IPO dalam waktu dekat.”

Application Information Will Show Up Here

eFishery Jalin Kerja Sama dengan Investree, Perkuat Layanan Permodalan eFisheryFund

Investree dan eFishery hari ini (21/10) mengumumkan peresmian kerja sama strategis terkait penyaluran pinjaman modal ke mitra petani/pembudidaya. Dana yang disiapkan mencapai Rp30 miliar, akan didistribusikan lewat platform pendanaan eFisheryFund.

eFisheryFund merupakan fasilitas pembiayaan untuk para pembudidaya; dana didapat dari kemitraan dengan fintech atau perusahaan finansial lainnya. Di dalamnya terdapat fitur “Kabayan” (Kasih Bayar Nanti) berupa program cicilan yang dapat dimanfaatkan oleh para pembudidaya untuk memperoleh produk teknologi eFishery.

Dana dari Investree juga akan disalurkan kepada mitra eFishery lainnya, termasuk konsumen B2B. Konsumen B2B yang dimaksud antara lain agen maupun distributor ikan, stockiest, dan horeka (hotel, restoran, dan kafe).

Di hulu, para pembudidaya mendapatkan modal dalam bentuk pakan ikan dan alat eFisheryFeeder, sedangkan di hilir para agen ikan mendapatkan modal dalam bentuk ikan atau udang yang merupakan hasil panen dari para pembudidaya.

“Ini merupakan sesuatu yang baru bagi kami. Mengingat portofolio pinjaman terbesar Investree selama ini adalah industri kreatif, dengan bermitra dengan eFishery, kami berharap dapat memberdayakan lebih banyak UKM yang bergerak di bidang perikanan atau akuakultur,” ujar Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi.

Manfaatkan data sensor IoT

Skema konvensional dan syariah turut digulirkan menjadi opsi pinjaman. Sementara untuk menjaga kualitas pembiayaan, Investree dan eFishery menerapkan uji kelayakan dan sistem credit-scoring yang ketat dengan melihat data dari IoT eFishery serta melakukan pengecekan silang terhadap data sesungguhnya di lapangan.

Untuk mekanismenya, pembudidaya bisa mengajukan pinjaman melalui aplikasi eFishery di menu eFisheryFund. Tim eFishery akan menilai dan menentukan apakah mereka memenuhi syarat dan kriteria untuk memperoleh pembiayaan. Hasil penilaian ini kemudian diajukan kepada Investree untuk dilakukan kembali verifikasi.

“Kerja sama dengan Investree ini diharapkan dapat melanjutkan nilai-nilai yang dibawa oleh eFishery. Lebih dari itu, melalui inovasi yang kami kembangkan yaitu membuat teknologi inklusif dan menghadirkan ikan dari pembudidaya agar mudah dijangkau oleh seluruh kalangan di berbagai daerah, kami berharap dapat turut serta mengentaskan kelaparan di Indonesia,” ujar CEO & Co-Founder eFishery Gibran Huzaifah.

Hingga saat ini, sudah ada lebih dari 500 pembudidaya yang menikmati program eFisheryFund. Melalui kolaborasi ini, Gibran menargetkan bisa hingga 1000 mitra sampai dengan akhir tahun 2020.

Selain Investree, program pembiayaan yang dikelola eFishery tersebut juga sudah bermitra dengan beberapa fintech lending, di antaranya ALAMI, Batumbu, BRIS, iGrow, dan Likui.id. Inovasi ini sudah dimulai sejak awal tahun lalu bebarengan dengan pengenalan layanan online grocery eFisheryFresh. Inisiatif dilakukan pasca perusahaan membukukan pertumbuhan bisnis hingga 300% di tahun 2019, didukung ekspansi ke 120 kota di Indonesia.

Pembiayaan lewat kerja sama

Berbagai skema penyaluran dana terus dieksplorasi oleh pemain fintech. Tidak hanya dengan eFishery, Investree sebelumnya juga telah umumkan kerja samanya dengan beberapa pihak untuk menjangkau kalangan spesifik. Misalnya dengan Pengadaan.com untuk menjangkau 15 ribu vendor UKM di platformnya; ada juga dengan Bukalapak meluncurkan layanan BukaModal; selain itu juga dengan Midtrans dan Mbiz.

Fintech lain pun juga berupaya perluas skema pinjamannya. Ambil contoh yang dilakukan AwanTunai dengan menggandeng SayurBox untuk memberikan pembiayaan untuk petani yang mendistribusikan hasil panennya di Sayurbox. Lalu ada juga KoinWorks dengan produk KoinGaji mendistribusikan pinjaman untuk pencairan gaji pegawai lebih awal bekerja sama dengan Gadjian, GreatDay, dan Talenta.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Langkah Antisipasi P2P Lending terhadap Kredit Macet

Wabah corona virus disease 2019 (Covid-19) sudah nampak memukul berat segala lapisan perekenomian. Dampaknya tak tanggung-tanggung. Ratusan ribu pekerja dikabarkan sudah dirumahkan oleh kantor masing-masing. Krisis ekonomi sudah berlangsung dan diperkirakan masih terjadi hingga beberapa bulan ke depan.

Dalam situasi seperti saat ini salah satu institusi yang menjadi sorotan adalah peer to peer (P2P) lending. Sebagai lembaga penyalur kredit di samping perbankan, layanan P2P lending bisa jadi andalan masyarakat terutama pemilik usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk mengakses modal di situasi sulit seperti ini. Namun dalam kondisi ini juga, risiko yang mereka hadapi meningkat. Ancaman kredit macet bisa terjadi jika langkah antisipasi tak diambil dari jauh hari.

Kami berbicara dengan sejumlah fintech P2P lending menyikapi situasi ini. Investree, Modalku, dan Koinworks turut bicara mengenai ini.

Antisipasi para pemain

Keterangan pertama datang dari Modalku. Secara tertulis, Modalku mengaku sudah memantau potensi dampak Covid-19 sejak Januari lalu. Setidaknya ada tiga langkah yang mereka tempuh sebagai antisipasi yakni seleksi yang lebih ketat kepada calon peminjam dan bereaksi lebih cepat terhadap perubahan kondisi ekonomi makro.

Co-Founder & CEO Modalku Reynold Wijaya mengatakan, sejumlah industri seperti pangan, perjalanan, perdagangan lintas negara, dan industri jasa yang intens memakai tenaga kerja asing yang terkena dampak di Asia Tenggara adalah contoh implementasi langkah mitigasi poin pertama mereka. Reynold menyebut industri-industri itu akan mendapat disorot lebih dalam penilaian pengajuan pinjaman. Untuk poin kedua, Modalku berusaha membuat penyesuaian batas jumlah dan tenor sesuai jenis UMKM yang diselesaikan kasus per kasus. Terakhir, Modalku akan menggenjot kerja sama dengan e-commerce mengingat segmen mikro sekarang kian banyak beralih ke e-commerce.

“Secara berkala, kami akan terus mengelola langkah- langkah tersebut dengan hati – hati dan mengembangkan kemampuan manajemen risiko sesuai dengan situasi ekonomi global saat ini. Modalku juga akan terus berkoordinasi dengan OJK sebagai regulator & AFPI sebagai asosiasi sehingga langkah-langkah yang kami ambil sesuai dengan regulasi dari OJK,” jelas Reynold.

Nada lebih optimis datang dari Investree. CEO Adrian Gunadi menjelaskan bahwa ada peluang untuk keluar dari krisis dengan keuntungan baru. Salah satunya adalah munculnya sejumlah sektor yang dianggap punya masa depan cerah di tengah situasi sulit saat ini yakni seperti telekomunikasi dan kesehatan.

Namun langkah antisipasi juga mereka buat. Investree memantau ketat proses pengajuan kredit baru, mengikat kerja sama dengan asuransi kredit, hingga membuka opsi restrukturisasi kepada peminjam.

“Kita akomodir kalau ada bororower yang mengajukan restruktur[isasi]. Sampai saat ini kita sedang diskusi dengan beberapa borrower di beberapa sektor hotel, ritel, dan kita lihat case by case apa saja yang bisa kita lakukan apakah ini jangka pendek, atau restruktur,” ungkap Adrian.

Sementara itu Koinworks mengklaim sejauh ini proses pengembalian pinjaman masih berjalan normal dengan non-performing loan (NPL) sekitar 1%. Tak berbeda jauh dengan pelaku lain, VP Marketing Koinworks, Frecy Ferry Daswaty menjelaskan pihaknya memperbanyak jalur kerja sama tak hanya dengan e-commerce tapi juga gerbang pembayaran, piranti lunak akuntansi, hingga logistik.

Koinworks juga menegaskan mengikuti ketentuan OJK terbaru yang memperlunak kewajiban peminjam dalam mengembalikan utangnya. Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020 itu sebelumnya menetapkan sektor pariwisata, transportasi, perhotelan, pemrosesan, pertanian, dan pertambangan berhak memperoleh restrukturisasi keuangan akibat dampak wabah.

“KoinWorks memberikan solusi restrukturisasi cicilan yaitu menghitung kembali kemampuan atau kapasitas peminjam pada saat ini sehingga nilai angsuran akan disesuaikan. Perhitungan baru ini akan membantu debitur untuk mendapatkan waktu yang lebih lama dalam menyelesaikan angsuran tetapi pada saat yang sama kreditor masih akan mendapatkan bunga,” ujar Frecy.

Risiko yang tersisa

Peneliti Yusuf Rendy Manilet dari Center of Reform on Economics (CORE) menyebut langkah pemerintah dan p2p lending dalam menyikapi situasi krisis sudah tepat sejauh ini. Meskipun demikian, Yusuf menegaskan masih ada bayang-bayang risiko yang dapat menimpa pemain p2p lending jika tak cepat ditangkal.

Risiko itu menurut Yusuf bakal berpengaruh kepada pihak pemberi pinjaman. Karakter modal di p2p lending yang lebih banyak berasal dari individu dianggap membuat mereka lebih rentan. Jika relaksasi cicilan tak berjalan tepat, potensi NPL akan meningkat lebih tinggi.

“Perlu ada semacam kewajiban menunjukkan untuk meng-underline bahwa mereka memiliki aset yang memadai. Memang dilematis dalam p2p individual lenders tidak punya bantalan,” imbuh Yusuf.

Yusuf pun berharap pemain p2p lending dapat menurunkan besaran suku bunga mereka. Pasalnya jadi pengetahuan bersama p2p lending memberlakukan bunga yang lebih tinggi dari perbankan. Penurunan daya ekonomi hampir segala lini masyarakat bagi Yusuf cukup menjadi alasan untuk hal itu.