Survei AFPI: P2P Lending Catat Penurunan Bisnis 5% Akibat Pandemi

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) melaporkan industri p2p lending mengalami penurunan penyaluran pinjaman sebesar 5% dari Maret 2020 dibandingkan bulan sebelumnya akibat pandemi Covid-19. Disebutkan juga penurunan bisnis belum memberi dampak terhadap tingkat kredit bermasalah.

Dalam survei singkat yang diselenggara asosiasi pada 6 April 2020, responden menyatakan TKB90 (Tingkat Keberhasilan Bayar 90 Hari) tercatat stabil. Asosiasi belum mendapat data teranyar untuk melihat kondisi terkini. Bila melihat dari data OJK, TKB90 industri berada di angka 96,08% atau NPL 3,92% per Februari 2020. Angka tersebut tergolong sehat untuk industri.

Survei ini diikuti oleh 130 anggota AFPI sebagai responden. Dijelaskan, sebanyak 52% di antaranya atau 68 pemain mengaku sudah mendapat permohonan restrukturisasi dari peminjam.

“Survei ini baru secara industri. Kita akan lakukan survei ketika melihat pandemi ini sudah berlangsung panjang, bagaimana penurunan dari masing-masing platform baik dari nominal maupun debiturnya,” terang Ketua Harian AFPI Kuseryansyah dalam video conference bersama media, Senin (20/4).

Pria yang kerap disapa Kus ini menambahkan, gelombang dampak pandemi diprediksi akan ada di posisi puncak antara bulan depan sampai Juni 2020. Pada saat itu, diprediksi tingkat TKB90 dan NPL akan mengalami koreksi. Perusahaan dianjurkan untuk terus aktif melakukan pemantauan secara harian dan stress test untuk mengurangi dampak.

“Covid-19 sedikit banyak berpengaruh terhadap rencana bisnis perusahaan, termasuk target seluruh anggota penyelenggara. Pandemi juga dikhawatirkan membuat risiko kegagalan pembayaran berpotensi meningkat, sehingga akan semakin memperketat mitigasi risiko atas pengajuan pinjaman-pinjaman baru.”

Bila di dalami lebih jauh, dari semua segmen p2p lending ada yang justru mengalami berkah. Salah satunya Tokomodal yang bergerak pada pinjaman produktif untuk pemilik warung. CEO & Co-Founder Tokomodal Chris Antonius menerangkan, bisnisnya justru menunjukkan tanda peningkatan drastis karena transaksi warung yang meningkat.

“Ketika mal dan pusat belanja ditutup, masyarakat kembali belanja di warung buat beli kebutuhan pokok. Makanya pinjaman di Tokomodal justru naik. Terlebih itu, tenor kami hanya tujuh hari jadi turn over-nya cepat,” ujarnya.

Dari analisis perusahaan sejak dua bulan lalu hingga sekarang, Tokomodal tidak memiliki pengajuan restrukturisasi kredit. Untuk dukung operasional warung, kini perusahaan membuat program dukungan dengan membebaskan biaya admin setiap pengajuan pinjaman.

Kondisi sedikit berbeda dihadapi oleh Investree. Mereka mencatat dari total outstanding kredit sekitar 15% pinjaman yang berpotensi terkena dampak pandemi. Rata-rata industri tersebut bergerak di bidang ritel, seperti restoran dan kedai kopi.

Kurang dari 1% di antaranya adalah realisasi dari pinjaman yang pembayarannya terlambat. Sisanya, sekitar 2%-3% bersikap proaktif dengan meminta pengajuan restrukturisasi. Namun persetujuan ini tergantung dari keputusan pemberi pinjaman. Bentuk keringanan yang diberikan Investree yakni perpanjangan tenor dan payment holiday atau libur pembayaran.

“Kita enggak bisa langsung restrukturisasi karena p2p itu bukan on balance sheet, tapi off balance sheet. Jadi harus ada persetujuan dari lender, apakah setuju untuk restrukturisasi atau ada payment holiday,” tambah Chief Risk Officer Investree Amalia Safitri.

Hal yang sama juga dilakukan Crowdo. Perusahaan menganalisis bisnis peminjam yang terdampak pandemi sejak Maret lalu. Di antaranya consumer goods yang mengalami pengajuan keringanan tertinggi, ada juga sektor lainnya.

“Kami analisis peminjam mana yang kira-kira akan terdampak Covid-19. Pada April, sudah ada yang minta. Saat ini baru 3% peminjam yang mengajukan restrukturisasi. Kami berkomunikasi intensif dengan para peminjam yang meminta keringanan kredit untuk kontrol hariannya,” ujar COO Crowdo Indonesia Nur Fitriani.

Chris melanjutkan, dampak yang terasa setiap pemain p2p akan sangat tergantung pada segmen industri yang dilayani. Ambil contoh, bila ada warung makan yang mengajukan pinjaman produktif, tapi lokasi usahanya di lokasi wisata, otomatis bisnisnya akan ikut terdampak.

“Saya melihat pinjaman yang sifatnya justru lebih mendekati kebutuhan dasar akan meningkat bisnisnya. Logistik, alat kesehatan, e-commerce juga menunjukkan tren naik jumlah pinjamannya,” sambung Chris.

Ketua Bidang Humas dan Kelembagaan AFPI Tumbur Pardede menerangkan p2p lending berbeda dengan bank. Mereka hanya bertindak sebagai platform penyelenggara yang mempertemukan peminjam dan pemberi pinjaman. Jadi, platform tidak berwenang untuk memberikan persetujuan restrukturisasi tanpa persetujuan dari pemberi pinjaman.

“Namun penyelenggara dapat memfasilitasi permintaan pengajuan restrukturisasi bagi peminjam UMKM yang terdampak Covid-19 kepada pihak pemberi pinjaman,” tambahnya.

Hingga akhir Februari 2020, OJK mencatat penyaluran pinjaman p2p lending senilai Rp95,39 triliun naik 225,58% secara year on year. Dari sisi pemberi pinjaman ada 630 ribu entitas dan peminjam 22,32 juta entitas. Total penyelenggara p2p lending yang terdaftar di OJK ada 161 perusahaan, dengan 25 di antaranya sudah berizin.

Terus merekrut karyawan

Dampak Covid-19, bagi sebagian startup justru menjadi kesempatan untuk merekrut lebih banyak talenta baru. Tumbur yang juga CEO Tunaikita menerangkan, perusahaan merekrut lebih banyak tenaga customer service karena ada kebutuhan yang tinggi dalam hal komunikasi dengan para peminjam.

Selain itu, tenaga di bidang penilaian kini semakin dibutuhkan untuk melihat potensi di daerah baru yang tidak terdampak Covid-19 atau mencari peminjam baru. “Pengurangan karyawan belum berdampak, di industri justru makin dicari karyawan yang memang spesifik melakukan tugas-tugas dan fungsinya meningkat.”

Bisnis p2p lending, sambungnya, memperoleh pendapatan dari fee atas transaksi pinjam meminjam. Sementara, pendapatan bunga dan denda atas pinjaman adalah milik pihak pemberi pinjaman. Oleh karenanya, pendapatan mereka bergantung pada jumlah nilai penyaluran, sedangkan penyaluran ini tergantung pada kepercayaan pihak pemberi pinjaman terhadap kinerja platform.

“Momen ini sekaligus memperlihatkan fondasi bisnis yang kuat. Menurut efisien saya, momen-momen ini justru bisa menjadi pembuktian bahwa kita sudah melakukan yang benar [punya fondasi bisnis yang kuat],” tutup Chris.

Apakah Perlu Mengkaji Jumlah Pelaku “Fintech Lending”

Dalam tiga bulan mendatang, OJK akan kembali membuka proses pendaftaran putaran baru untuk pemain fintech lending. Penangguhan yang berlaku mulai paruh pertama tahun ini, sebelumnya diambil atas rekomendasi AFPI karena mereka tengah membangun pusat data dan butuh waktu untuk integrasi dengan semua platform lending.

Mengutip dari berbagai pemberitaan, regulator dan asosiasi saat ini fokus pada pengembangan pusat data fintech atau Pusdafil (Fintech Data Center/FDC) yang telah dirilis pada November 2019. Salah satu manfaatnya adalah mengindentifikasi peminjam ‘nakal.’ Bagi regulator, karena ini adalah bagian komponen dari penyempurnaan sistem, maka proses pendaftaran dihentikan sementara.

“Penghentian itu dilakukan untuk memberi waktu dalam menyempurnakan sistem pengawasan dan memastikan peningkatan kualitas industri ini,” ujar Kepala Eksekutif IKNB OJK Riswinandi dikutip dari akun resmi OJK di Twitter.

AFPI merilis pusat data Fintech Data Center (FDC) untuk mempermudah penyedia layanan p2p dalam melakukan credit assessment saat menyalurkan kredit
Perayaan hari jadi AFPI yang pertama, turut dihadiri perwakilan OJK / DailySocial

Sepanjang penangguhan berlangsung, AFPI berfokus pada mengintegrasikan platform seluruh anggotanya dengan Pusdafil. Pusdafil dapat menjadi cara untuk mendeteksi dan mencegah calon nasabah melakukan peminjaman berlebihan melalui banyak platform fintech pada waktu bersamaan.

“Butuh waktu sekitar enam bulan untuk mengintegrasikan secara penuh dan real time [Pusdafil] bagi seluruh anggota AFPI saat ini,” terang Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi.

Lebih jauh dijelaskan, Pusdafil akan berperan optimal jika seluruh anggota terintegrasi karena seluruh data yang dapat meningkatkan manajemen risiko di industri. Mereka semua bisa mengetahui portofolio calon peminjam dan credit assessment sehingga bisa mencegah potensi kredit bermasalah.

Adrian menyampaikan, informasi terkini sudah ada 21 perusahaan yang sudah terintegrasi dari 161 anggota AFPI yang terdaftar di OJK. “Ada sekitar 36 [perusahaan] yang sedang dalam tahap finalisasi. Target dalam tiga minggu ke depan bisa live lagi [Pusdafil],” ujar Adrian secara terpisah kepada DailySocial, Senin (16/3).

Sembari itu pula, OJK masih tetap memproses perusahaan yang sudah terdaftar untuk mendapatkan izin. Menurut regulator, terdapat 164 perusahaan yang sudah beroperasi, sebanyak 25 diantaranya sudah mengantongi izin.

Apakah perlu kaji ulang jumlah perusahaan?

Ada pertanyaan yang muncul dari pasca keputusan yang diambil regulator dan asosiasi, apakah sebenarnya durasi penangguhan perlu diperpanjang? Apakah jumlah pemain fintech yang terdaftar sebenarnya bisa mengakomodasi seluruh kebutuhan kredit yang belum bisa dijamah perbankan?.

Pengamat Indef Nailul Huda berpendapat dalam perlambatan ekonomi yang sedang dialami Indonesia, juga negara lainnya, kredit itu ibarat darah. Sehingga selalu dibutuhkan untuk menggenjot dunia usaha apalagi buat usaha kecil dan mikro agar terus bergerak dalam cashflow yang ideal. Fintech lending bisa menjadi channel yang tepat untuk memanfaatkan momentum tersebut.

“Gap kredit masih sangat lebar. Kita perlu membuka pintu untuk fintech. Saya kira masih banyak jenis fintech yang mampu didorong untuk memenuhi gap kredit di Indonesia. Equity crowdfunding salah satu yang bisa didorong untuk masuk ke pasar pembiayaan domestik,” imbuh Huda kepada DailySocial.

Sementara itu, Adrian belum bersedia memberikan pandangannya terkait pertanyaan ini. Dia berujar, asosiasi dan akademi sedang menyiapkan studi terkait credit gap dan kebutuhan akses pembiayaan untuk UMKM per sektor yang bisa dilayani fintech dan masuk ke segmen fintech.

“Sehingga tentunya terkait dengan kuantitas dan kebutuhan segmen UMKM bisa terpenuhi. Dari sisi kualitas [penyaluran kredit] tetap bagus. Sekitar sementar kedua akan dipublikasi.”

Dari hasil studi tersebut diharapkan akan muncul sejumlah rekomendasi valid yang bisa menjadi bahan pertimbangan buat para pengambil kebijakan. Kekhawatiran kerap muncul karena pesatnya pertumbuhan fintech lending, sejalan dengan kenaikan tindakan fraud yang dilakukan oleh pemain ilegal.

Satgas Waspada Investasi (SWI) menemukan 508 entitas ilegal pada kuartal pertama tahun ini. Bila menarik rentang waktu lebih jauh, total pinjaman fintech ilegal yang berhasil diringkus SWI sejak 2018 hingga Maret 2020 mencapai 2.406 perusahaan. Angka ini berbanding jauh dengan jumlah pemain yang legal.

Belajar dari Tiongkok

Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

Quality over quantity. Kuantitas tidak melulu menjadi perkara baik kalau tidak bisa diimbangi dengan kualitas. Ketimpangan penyaluran kredit di Indonesia sebesar Rp1.000 triliun ini seperti pisau bermata dua, sehingga tidak bisa hanya dijawab dengan menghadirkan banyak pemain.

Skandal yang terjadi di Tiongkok menjadi bekal bahan pembelajaran agar tidak mengulangi yang sama. Saat ini pemain p2p lending diambang gulung tikar karena regulator Tiongkok memperketat ruang gerak laju pemain p2p lending dengan membuat sejumlah aturan. Kepercayaan masyarakat pun akhirnya pupus, meski angka permintaan kredit dari bisnis kecil dan individu tidak menunjukkan tanda mereda.

“Meningkatnya aturan dan modal untuk pemberi pinjaman p2p Tiongkok terus memberikan tekanan pada keberlanjutan model bisnis di seluruh sektor pada tahun ini, yang mengarah ke kontradiksi industri lebih lanjut,” kata Direktur Lembaga Keuangan Non Bank Fitch Ratings Katie Chen, seperti dikutip dari South China Morning Post.

Pengetatan aturan terefleksi dari berkurangnya jumlah pemain. Disebutkan pada 2016 angkanya mencapai 2.680 pemain, lalu turun drastis menjadi 343 pemain pada tahun lalu. Lebih dari separuh pemain berbasis di Beijing, ibukota Tiongkok.

Menurut laporan Wangdaizhijia, angka penyaluran menyusut menjadi 491 miliar Yuan ($70,4 miliar) pada tahun lalu. Padahal pada Juni 2018, angkanya tembus mencapai 1,32 triliun Yuan ($189,2 miliar). Perkembangan yang terlalu pesat dan kebijakan drastis yang diambil regulator mengakibatkan keruntuhan industri dalam waktu singkat.

Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

“Uang telah mengering karena regulator mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk membersihkan sektor pinjaman non-bank dari penipuan dan penyalahgunaan yang terlalu merajalela,” kata Ketua dan Kepala Eksekutif China First Capital (bank investasi berbasis di Shenzhen) Peter Fuhrman. “Operator yang baik dihukum bersama bajingan,” sambungnya.

Salah satu pemain p2p lending terbesar di Tiongkok, Ezubao, disebutkan mengumpulkan dana sebesar 59,8 miliar Yuan ($8,5 miliar) dari lebih dari 900.000 investor. Perusahaan ini menjanjikan bunga pengembalian antara tiga hingga empat kali lebih besar dari bank. Tapi ini hanya sekadar janji manis, berbagai kasus bunuh diri terjadi karena mereka frustasi kehilangan dana.

Pada November 2019, regulator membuat ketentuan perusahaan harus memenuhi batas modal minimal 1 miliar Yuan ($143 juta) untuk memperoleh lisensi pembiayaan mikro online dan dapat beroperasi secara nasional. Besaran ini sama dengan persyaratan untuk bank komersial.

Regulator juga membatasi perusahaan untuk mengandalkan lembaga sebagai sumber dana, tidak lagi mengambil dari investor ritel. Fitch Ratings melihat persyaratan ini cenderung menjadi hambatan pertumbuhan untuk industri p2p lending, meski angka permintaan dari kalangan usaha kecil dan individu tidak menunjukkan tanda-tanda peredaan.

Frost & Sullivan memperkirakan p2p lending akan tumbuh menjadi 2,17 triliun Yuan ($311 miliar) pada 2023, naik drastis dari posisi 789 miliar Yuan ($113 miliar) pada 2018.

Mantan Presiden ICBC Yang Kaisheng mengatakan bahwa regulator Tiongkok perlu belajar dari kesalahan mereka dalam bertindak terlalu lambat dalam menangani risiko p2p lending.

“Jika enam atau tujuh tahun lalu ketika gelombang keuangan digital memanas, jika ada peraturan yang disarankan saat itu, meski kemungkinan [aturan] tidak terlalu matang, [risiko] mungkin agak samar, itu akan jauh lebih baik daripada apa yang terjadi bertahun-tahun kemudian,” katanya.

Kualitas di Indonesia sejauh ini

Dalam mengukur kualitas suatu industri indikatornya bisa dilihat dari kinerja. Menurut data yang dirangkum OJK, per Januari 2020, akumlasi penyaluran pinjaman secara nasional mencapai Rp88,37 triliun naik 239,85% yoy. Pulau Jawa masih mendominasi dari total portofolio sebesar Rp75,71 triliun dan luar Pulau Jawa Rp12,67 triliun.

Tingkat keberhasilan 90 hari (TKB90) mencapai 96,02% (skala 100), turun dibandingkan Desember 2018 sebesar 98,55%. Meski turun, angka ini menurut Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI Tumbur Pardede masih dalam tahap wajar, sehingga tidak akan mengurangi kepercayaan pemberi pinjaman.

“Turunnya tingkat keberhasilan tahun lalu dianggap merupakan konsekuensi dari upaya penetrasi ke daerah-daerah yang tengah gencar dilakukan oleh pemain. Di luar Jawa, mereka gencar dengan sasaran utamanya adalah pinjaman bersifat konsumtif,” kata Tumbur dikutip dari Bisnis.com.

TKB adalah istilah lazim dalam dunia p2p lending, untuk memberi gambaran kepada calon pemberi pinjaman sebelum berinvestasi melalui platform. TKB merujuk pada tingkat keberhasilan dari perusahaan dalam menyediakan fasilitas penyelesaian kewajiban pinjam meminjam dalam jangka waktu 90 hari sejak jatuh tempo.

TKB wajib dicantumkan dalam laman situs platform sebagai perwujudan transparansi. Semakin tinggi persentase TKB 90 dalam sebuah platform menunjukkan bahwa perusahaan memiliki strategi yang solid untuk mencegah terjadinya gagal bayar kepada pemberi pinjaman.

Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

Penyaluran peminjaman memang sudah merambah ke daerah luar Jawa. OJK mencatat, titik lokasinya terlihat sudah menyentuh Aceh hingga Papua. Dari pertumbuhan yoy terbesar, dipegang oleh Sulawesi Utara (458,37%), Sulawesi Tengah (437,1%), Papua Barat (432,73%), Maluku Utara (392,71%), dan Kalimantan Tengah (380,24%).

Meskipun secara nominal belum besar, tapi pertumbuhan ini menjadi indikasi bahwa ada kebutuhan yang besar di sana. Angka pertumbuhan yang dipegang lima provinsi ini kalah jauh dengan pertumbuhan di Pulau Jawa dan Bali.

Peluang tersebut, bisa dijawab oleh pemain fintech lending entah baru atau petahana dengan meracik produk pinjaman yang bisa menjawab kebutuhan pasar. Jadi sebenarnya ini bukan soal perlu atau tidaknya banyak pemain baru. Melainkan seberapa cepat perusahaan berinovasi menangkap peluang. Kesempatan terbuka ini berlaku buat semua perusahaan.

Keberadaan platform digital, sangat membantu perusahaan ekspansi lebih cepat. Pemberi pinjaman dari manapun bisa meminjamkan dananya untuk peminjam di lokasi lain. Memanfaatkan keberadaan pemain industri keuangan konvensional seperti koperasi dan BPR, atau membuat skema urun dana seperti Amartha bisa menjadi cara untuk mengendalikan potensi fraud dan kredit macet.

Laporan East Ventures bertajuk EV-DCI 2020 menjadi rujukan terbaik (untuk saat ini) dalam memetakan potensi ekonomi digital dari masing-masing kota atau provinsi yang bisa dikembangkan lebih dalam. Di Sulawesi Utara, misalnya, masuk urutan ke-15 dengan skor 30,2 (dari skala 0-100).

Kekuatan di provinsi ini adalah pilar penggunaan ICT (54,9; urutan ke-10 dari semua provinsi). Pilar tersebut didukung oleh indikator rasio penduduk yang mengakses internet dengan smartphone (93,1; ke-8). Selain itu, infrastruktur juga sudah cukup baik (46,9; ke-17).

Akan tetapi, dari sisi SDM masih tertinggal dan ada di posisi ke-24 karena jumlah program studi digital yang sangat minim. Alhasil mahasiswa berkemampuan digital menjadi sangat terbatas. Input dan penunjang yang masih kurang membuat kewirausahaan digital di provinsi ini sulit berkembang (5,8; ke-24).

Kondisi ini selaras dengan jumlah Usaha Menengah Besar (UMB) dan Usaha Mikro Kecil (UMK) yang menggunakan internet (3,3) dan rasio antara keduanya (21,7).

Bagi sektor fintech lending, menciptakan produk pinjaman dimulai dari bersifat konsumtif bisa menjadi panduan awal sebelum diperkenalkan lebih dalam dengan produk pinjaman lainnya yang diperuntukkan buat modal usaha di sektor usaha yang paling dominan.

Di sana, kontribusi PDRB (produk domestik regional bruto) terbesar dipegang oleh ICT (38,3), sektor jasa keuangan (29,6), dan subsektor pergudangan, penunjang angkutan, pos & kurir (16,4).

EV-DCI mencatat rasio desa yang memiliki ATM sangat kecil (9,2). Angka ini selaras dengan ketersediaan kantor cabang bank (9,7). Dengan kata lain, provinsi ini punya peluang yang besar untuk dirambah pemain fintech, khususnya lending.

Kaleidoskop Industri Fintech Pembayaran dan Lending Selama Tahun 2019

Dinamika perjalanan startup fintech terus menggeliat hingga tahun ini, terutama untuk dua industri fintech terbesar, yakni pembayaran dan lending. Masih tajamnya jumlah underbanked dan unbanked masih menjadi optimisme pemain fintech untuk terus bergerak maju.

Berbekal laporan e-Conomy SEA 2019, ada 51% penduduk Indonesia yang masuk ke golongan unbanked; underbanked 26%; dan banked 23%. Sementara, secara umum, 75% penduduk di Asia Tenggara masuk kategori underbanked dan unbanked. Mereka ini kurang terlayani karena berbagai alasan, salah satunya infrastruktur dan regulasi yang ketat.

Satu data ini menjadi pendukung bahwa baik di Indonesia, maupun negara lain di ASEAN punya peluang yang besar untuk menggarap lini pembayaran dan lending. Maka, tak heran, bila pada tahun ini ada sejumlah pemain lending yang ekspansi ke luar Indonesia.

Investasi terbesar dipegang oleh sektor fintech

Menurut laporan DSResearch, tercatat ada 110 investasi yang diumumkan startup dan/atau investor per 18 Desember 2019. Dari jumlah ini, fintech mendapatkan porsi terbanyak dengan 23 transaksi, disusul SaaS (9), e-commerce (8), dan logistik (6).

Bila dijabar lebih dalam, mengutip dari Fintech Report 2019, pendanaan untuk startup fintech lending dengan tahap tertinggi adalah Akulaku yang memperoleh pendanaan Seri D sebesar $100 juta dipimpin Ant Financial.

Kemudian menyusul kompetitor terdekatnya, Kredivo dengan pendanaan Seri C senilai $90 juta (lebih dari Rp1,2 triliun) dipimpin Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund dan Square Peg.

Berikutnya untuk Seri B, terdapat Investree, Amartha, KoinWorks, dan UangTeman. Besar kemungkinan perusahaan ini akan kembali menggalang dana untuk tahun depan, seperti halnya Investree yang sudah sesumbar sedang dalam penggalangan Seri C untuk ekspansi regional tahun depan.

Bagaimana dengan fintech pembayaran? Menurut laporan kami, dari 23 transaksi, hanya ada satu pendanaan yang masuk ke vertikal fintech ini, yakni Aino. Startup ini memperoleh pendanaan tahap awal sebesar $4 juta dari TIS.

Mereka bergerak di bidang platform pembayaran non tunai dengan menggunakan uang elektronik di sektor publik, seperti tiket transportasi, bayar parkir, tol, vending machine, hingga tiket wahana wisata.

Ekspansi ke negara ASEAN

Kembali ke premis awal, baik Indonesia maupun negara ASEAN lainnya, kecuali Singapura, punya potensi yang besar untuk menggalakkan bisnis lending dan pembayaran.

Indonesia selalu menjadi benchmark suatu perusahaan, bila sukses menjadi pemain terdepan di sini, artinya ada optimisme yang tinggi ketika ekspansi ke negara lain. Mereplikasinya lalu menyesuaikan dengan unsur lokalisasi yang berlaku di negara tersebut.

Keyakinan inilah yang membuat pemain lending yakin untuk ekspansi ke negara tetangga. Diantaranya adalah Kredivo dan Investree. Kredivo berencana untuk masuk ke Filipina pada tahun ini. Wacana ini kembali menyeruak, setelah pending sejak pertama kali sesumbar di 2018.

Sementara, Investree akan melanjutkan ekspansinya ke Filipina, setelah sukses hadir di Thailand dan Vietnam. Di Vietnam, Investree hadir dengan brand eLoan. Sementara di Thailand tetap dengan brand Investree Thailand. Model bisnis yang ditawarkan kurang lebih mirip dengan Indonesia, pembiayaan invoice dan modal usaha.

Pemain lainnya adalah Kredit Pintar yang masuk ke pasar Filipina dengan brand Atome. Layanan yang disajikan juga kurang lebih sama yakni payday loan dengan nominal dari Rp270 ribu sampai Rp2,7 juta.

Kolaborasi incar vertikal fintech yang lain

Pergerakan vertikal fintech, berkat teknologi, tidak harus melulu menyediakan satu lini produk saja. Sebabnya, kebutuhan finansial seorang manusia itu selalu berkembang.

Jalur pertama masuk ke layanan finansial adalah melalui e-wallet ketika ia hanya punya smartphone, tapi tidak punya rekening bank (unbanked). Semakin ia terbiasa transaksi non tunai, di tambah hadirnya asumsi bahwa ekonominya meningkat.

Disitulah muncul kebutuhan produk pinjaman payday loan, mengingat mereka belum masuk sebagai nasabah bank. Bila mereka adalah pengusaha, maka ada kebutuhan pinjaman untuk mengembangkan usahanya.

Semakin terbentuklah skoring kredit yang bisa dipakai untuk menentukan kualitas finansial seseorang. Di saat yang sama, mereka bisa masuk sebagai nasabah bank untuk menerima fasilitas finansial lebih dalam, atau bisa membeli produk asuransi, dan mulai berinvestasi.

Logika inilah yang melatarbelakangi perkembangan produk fintech, terlihat dari pergerakan para pemain fintech pembayaran dari awal hingga kini. Ovo segera menghadirkan produk reksa dana, bekerja sama secara strategis, sekaligus menunjuk CEO Bareksa Karaniya Dharmasaputra sebagai Presiden Direktur Ovo.

Karaniya Dharmasaputra
Co-Founder CEO Bareksa Karaniya Dharmasaputra yang kini jadi Presdir Ovo

Di saat yang bersamaan, Ovo merilis dua produk turunan lending bersama Taralite, portofolio di bidang lending, untuk menyasar pinjaman produktif untuk pengusaha dan payday loan untuk mitra GrabCar. Vertikal bisnis Ovo diperluas untuk bisnis big data dengan membuat smart vending machine “Ovo SmartCube.”

Perusahaan bersama Tokopedia pada awal tahun ini merilis Ovo PayLater untuk memudahkan transaksi dalam platform tanpa harus memiliki kartu kredit.

Kompetitor terdekatnya, GoPay perluas fungsinya tidak hanya mendukung seluruh layanan dalam ekosistem Gojek saja. Kini menyentuh berbagai fasilitas baik di sektor publik, hadir sebagai salah satu opsi pembayaran di Samsung Pay bersama Dana.

Tak lupa, bermitra dengan pemain global lainnya seperti Boku dari Inggris, membuka pintu bagi mitra global Boku di Indonesia untuk menggunakan GoPay sebagai opsi pembayaran digital.

Saldo GoPay kini mendukung untuk pembelian reksa dana di aplikasi Bibit atau beli emas lewat Pluang. Untuk produk lending, GoPay memanfaatkan Findaya dalam merilis PayLater pada tahun lalu.

Pluang juga menjadi mitra untuk salah satu produk di Bukalapak yakni Cicil Emas, dalam rangka memperkuat jajaran produk finansial sebelumnya BukaEmas dan BukaReksa.

Polda Metro Jaya menggandeng GoPay sebagai mitra pembayaran non tunai untuk pembuatan dan perpanjangan SIM. Memperdalam penetrasi GoPay di layanan publik
Polda Metro Jaya menggandeng GoPay sebagai mitra pembayaran non tunai untuk pembuatan dan perpanjangan SIM. Memperdalam penetrasi GoPay di layanan publik

Rumor terpanas yang terjadi tahun ini adalah konsolidasi Dana dan Ovo untuk mengalahkan dominasi GoPay. Dikatakan selambat-lambatnya pada kuartal pertama tahun depan rampung. Kedua belah pihak kompak tidak mau berkomentar terkait rumor yang beredar.

Pemain pembayaran berikutnya ada LinkAja yang agresif merilis berbagai produk, seperti syariah, produk PayLater kerja sama dengan Kredivo. Terakhir, hadir sebagai alternatif metode pembayaran di aplikasi Gojek dan Grab, yang sebelumnya dimonopoli oleh GoPay dan Ovo.

LinkAja memperkuat kehadirannya di jaringan publik milik negara, misalnya untuk Commuter Line dan dalam waktu dekat segera hadir di MRT Jakarta.

Dari sisi pemain lending, semakin banyak yang tertarik sebagai agen penjualan SBN agar memberikan nilai tambah buat para investor. Di samping itu, platform mereka juga dijadikan sebagai channel penjualan produk asuransi. Seperti yang dilakukan oleh Tanamduit dengan Premiro.

Peluang e-commerce dan merchant online-nya tidak menyurutkan incaran para pemain lending untuk bermitra dengan platform marketplace. Seperti yang dilakukan Modalku untuk Tokopedia yang merilis produk Modal Toko.

Catatan fintech lending, belajar dari Tiongkok

Sebelum mengawali kaleidoskop, Indonesia boleh bernafas lega karena regulatornya yang aktif mengawal perkembangan fintech karena belajar dari negara lain. Tiongkok menjadi contoh negara yang memiliki bahan ajar terbaik untuk tidak melakukan kesalahan yang sama, sekaligus patut diwaspadai gerak geriknya.

Tahun ini menjadi senjakala untuk industri p2p lending di Tiongkok. Regulator memerintahkan kepada seluruh pemain p2p lending untuk transisi jadi penyedia pinjaman kecil dalam dua tahun mendatang.

Mereka harus memenuhi syarat modal minimal tidak kurang dari RMB 50 juta (hampir Rp100 miliar) untuk menjadi perusahaan pinjaman kecil regional. Sementara untuk operasi nasional, nominalnya naik tidak kurang dari RMB 1 miliar (hampir Rp2 triliun).

Di saat yang bersamaan, mereka harus membersihkan pinjaman outstanding dalam waktu kurang dari setahun sebelum beralih ke pinjaman kecil. Platform yang diindikasi fraud dan memiliki risiko kredit serius akan dilarang melakukan transisi dan dipaksa tutup.

Penertiban ekstrem ini diambil karena ingin menghapus praktek shadow banking dan skema ponzi yang dianut para pemain p2p lending ‘nakal’, mengakibatkan gurita skandal.

Bisnis p2p lending di Tiongkok mulai tumbuh sejak 2011 dan sempat mencapai volume penyaluran RMB 1,3 triliun (setara Rp2.644 triliun) pada Juni 2018. Pada puncaknya, ada 50 juta investor tercatat di platform ini tersebar di sekitar 6.200 platform.

Saking menggeliatnya, disebutkan muncul tiga platform baru setiap harinya. Pertimbangan regulator untuk tidak meregulasi secara disengaja dengan harapan lebih mudahnya akses menerima pendanaan buat pengusaha kecil di sana, tapi malah jadi malapetaka.

Tercatat, saat ini hanya 427 platform p2p lending yang beroperasi pada akhir Oktober 2019, menurut data termutakhir dari China Banking and Insurance Regulatory Commission (CBIRC).

Pengetatan aturan yang ekstrem akhirnya membuat Lufax, salah satu pemain p2p lending terbesar di sana, menyatakan untuk keluar total dari ranah ini dan beralih ke pinjaman komersial biasa di bawah bank.

Lufax berdiri pada 2011, disebutkan pada akhir tahun lalu memiliki dana kelolaan sekitar RMB 370 miliar (setara Rp752 triliun), 80% dana tersebut berasal dari portofolio p2p lending.

Pengalaman mahal ini sudah sepatutnya menjadi perhatian buat semua stakeholder di industri terkait. Pendekatan yang dilakukan OJK untuk mengatasi isu di Tiongkok agar tidak terjadi di Indonesia, kian hari kian ketat.

Untuk mencegah skema ponzi, OJK menerapkan kewajiban escrow account. Sementara untuk risiko borrower meninggal atau masa sulit, dibuka peluang kerja sama dengan asuransi kredit, atau restrukturisasi hutang.

Terobosan lainnya, OJK menerapkan collection dengan menggunakan jasa collector yang bersertifikasi resmi, memanfaatkan Fintech Data Center dan membatasi akses smartphone konsumen untuk skoring kredit, membatasi tingkat bunga dan penalti tidak boleh melewati pokok, wajib menggunakan digital signature, dan masih banyak lagi.

Pemain yang tidak mematuhi aturan tersebut, jangan harap bisa mendapat izin usaha dari OJK. Terhitung OJK baru memberikan izin untuk 25 pemain p2p dan 119 pemain yang lain tengah dalam proses perizinan.

Pemberian izin usaha p2p lending untuk 12 pemain dari OJK / DailySocial
Pemberian izin usaha p2p lending untuk 12 pemain dari OJK / DailySocial

Jumlah penambahan izin ini sempat mandeg dari 2017 hanya ada satu, baru terjadi penambahan pada awal 2019 berangsur-angsur hingga menjelang akhir tahun. OJK mengeluarkan sekaligus untuk 12 perusahaan dalam satu waktu.

Bukan tanpa sebab, fintech lending ini melibatkan uang publik sehingga regulator harus berhati-hati dalam memberikan izin. Sejak 2018 sampai November 2019, Satgas Waspada Investasi menemukan 1.898 fintech lending ilegal.

Mereka mencoba tindakan fraud karena ada beberapa server-nya dioperasikan di negara lain. Protocol internet-nya berjalan dinamis, tidak dari satu negara saja yang terdeteksi, melainkan ada dari Amerika Serikat, kemudian berubah ke Tiongkok, dan Eropa.

Selain mengencangkan aturan dari berbagai sisi, bahkan OJK sudah mewacanakan rencana pembatasan pemain lending. Kendati, menurut Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi masih menunggu rekomendasi dari AFPI terkait angka idealnya.

“AFPI belum pernah menyampaikan kepada kami, sebab kalaupun kami mau batasi harus ada dasarnya yaitu dari AFPI sebab mereka yang paling paham, apa sebenarnya kebutuhan dari publik. Tentunya kami akan tunggu usulan mereka,” katanya, Kamis (19/12).

INDEF: Fintech P2P Lending Diproyeksi Sumbang 100 Triliun Rupiah Terhadap PDB 2020

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memproyeksikan perusahaan p2p lending menyumbang Rp100 triliun terhadap PDB Indonesia di 2020. Angka ini naik hampir empat kali lipat dibanding tahun lalu sebesar Rp25,97 triliun. Adapun, prediksi untuk tahun ini sebesar Rp60 triliun.

Peneliti INDEF Izzudin Al Farras menjelaskan penelitian yang dilakukan bersama AFPI ini mengacu pada data I-O 2014 yang diperbarui Bekraf.

Ada 21 sektor ekonomi yang dikaji untuk melihat dampak fintech p2p terhadap ekonomi Indonesia, misalnya nilai sektor jasa perbankan bertambah Rp1,95 triliun, dana pensiun naik Rp3,32 triliun, jasa asuransi Rp1,51 triliun, dan jasa lainnya Rp1,87 triliun.

Menurutnya, ada dua faktor yang menyebabkan kontribusi fintech p2p lending terhadap PDB meningkat. Pertama, karena memudahkan pengajuan pinjaman, dan penyalurannya ke borrower dengan memanfaatkan teknologi.

Kedua, terjadi kenaikan indeks literasi keuangan dari 29,07% pada 2016 menjadi 38,03% pada tahun ini.

Riset ini juga menyoroti pengaruhnya terhadap penyerapan tenaga kerja. Industri ini mampu menyerap 362 ribu tenaga kerja atau 0,32% terhadap total angkatan kerja nasional.

Bila dirinci, tenaga kerja di dana pensiun naik 25,5%, jasa keuangan lainnya 68,1%, asuransi 2,7%, dan perbankan 1%.

Di samping itu, peran p2p lending adalah menurunkan angka kemiskinan hingga 0,7% dan meningkatkan pendapatan masyarakat, termasuk pelaku UMKM. Salah satu yang terlihat adalah peningkatan pendapatan petani di desa sebesar 1,23% dan pekerja perdagangan di kota sebesar 2,59%.

Fintech lending juga memiliki dampak terhadap pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga pengusaha pertanian meningkat 1,34%, rumah tangga golongan rendah perkotaan meningkat 1,34%, dan rumah tangga golongan atas perkotaan naik 1,77%.

“Dampak positif fintech p2p lending terhadap perekonomian Indonesia, harapannya akan terus meningkat seiring dengan semakin berkembangnya bisnis fintech p2p lending. Prospek investasi fintech ke depannya cukup menjanjikan, baik di Indonesia maupun di Asean,” menurutnya, Senin (11/11).

Riset ini dilakukan selama Agustus hingga September tahun ini dengan mengacu pada data OJK per Juni. Pada periode itu ada 113 perusahaan fintech p2p lending yang terdaftar.

AFPI Bangun Pusat Data Fintech Demi Cegah Kredit Macet

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) merilis pusat data Fintech Data Center (FDC) untuk mempermudah penyedia layanan p2p dalam melakukan credit assessment saat menyalurkan kredit. FDC memiliki kesamaan fungsi dengan BI Checking dari Bank Indonesia dan SLIK dari OJK. Perilisan FDC sekaligus bersamaan dengan hari jadi AFPI yang pertama.

Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi menerangkan, tujuan dibentuknya FDC adalah membuat data para anggota AFPI lebih terintegrasi. Hal ini sekaligus memperjelas peran dan fungsi AFPI sebagai self regulatory organization yang mewadahi industri fintech p2p lending.

FDC juga memastikan industri p2p lending di Indonesia lebih sehat karena menghindari potensi kredit macet, penipuan, dan penyaluran kredit yang berlebihan. Untuk itu AFPI mewajibkan seluruh penyelenggara yang terdaftar di bawah OJK untuk menyerahkan data pelanggan untuk dimasukkan ke data center tersebut.

“Setiap ada borrower atau peminjam yang mau ambil pinjaman, penyelenggara wajib cek data mereka di FDC. Jika peminjam pernah bermasalah atau tidaknya, baru setelah itu baru ambil keputusan. Ini wajib dilakukan oleh penyelenggara,” terangnya, Senin (11/11).

Adapun data nasabah yang dimasukkan dan bisa diakses di data center antara lain NPWP, KTP, dan kolektabilitas kredit. Nama penyelenggara dirahasiakan demi kepentingan bersama.

Adrian mencontohkan, saat ini ada 15 perusahaan yang berpartisipasi dalam uji coba FDC. Beberapa nama di antaranya adalah Amartha, Danamas, Dompet Kilat, Finmas, Investree, Kimo, KlikACC, KoinWorks, Kredit Pintar, KTA Kilat, Maucash, Modalku, Taralite, Tokomodal, dan UangTeman.

Dari situ ada beberapa statistik yang berhasil dikumpulkan, misalnya borrower individu yang meminjam lebih dari satu penyelenggara sekitar 800 ribu orang. Angka tersebut didapat dari pengurangan jumlah borrower 2,9 juta orang dan jumlah borrower unik 2,1 juta orang.

Begitupun untuk peminjam dari skala perusahaan. Mereka yang meminjam di lebih dari satu penyelenggara ada 3 ribuan perusahaan. Angka tersebut diambil dari pengurangan jumlah borrower 19.826 dengan borrower unik sebesar 16.129.

Dari data tersebut diperoleh data seperti ada yang meminjam di 73 penyelenggara namun gagal bayar di 21 penyelenggara atau meminjam ke 53 penyelenggara, tapi gagal bayar di 49 penyelenggara. Hal ini diharapkan bisa diantisipasi lebih baik lagi.

Tentu saja bukan berarti pinjam di lebih dari satu perusahaan selalu buruk. FDC mencatat ada satu peminjam yang telah meminjam hingga 111 kali tapi tidak memiliki kredit macet sama sekali.

Perkaya data dari sumber lain

Saat ini, seluruh data nasabah wajib disampaikan penyelenggara setiap hari menjelang akhir hari ke dua regulator, yakni pusat Pusdafil OJK dan FDC AFPI. Setelah itu data yang persis sama akan direkonsiliasi di OJK.

Berikutnya, para penyelenggara diwajibkan untuk mengecek data di FDC, berbasis situs, sebelum memberikan pinjaman ke peminjam. Di sini diharapkan dapat menghindari risiko kredit macet dan potensi penipuan.

Adrian menjelaskan, untuk menjaga data-data tersebut tidak disalahgunakan oleh penyelenggara, OJK dan AFPI hanya akan memberi izin pengecekan data bila data tersebut memang tengah mengajukan pinjaman atau tengah dalam proses peminjaman.

Bila ada pelanggaran, asosiasi tidak segan-segan mencabut akses FDC maupun mencabut keanggotaan. “Di luar dua alasan tersebut, tidak boleh melakukan pengecekan. Apabila terbukti melakukan, aksesnya kami cabut dan tidak bisa jadi anggota AFPI lagi.”

Asosiasi akan mewajibkan seluruh penyelenggara yang terdaftar di bawah OJK untuk menyerahkan data nasabah paling lambat sampai akhir November 2019. OJK mencatat ada 144 penyelenggara yang terdaftar. “Kalau belum ada sampai akhir November, ya kita akan berikan warning.”

Mengingat seluruh data yang diinput menjelang akhir hari setiap harinya, alhasil data yang diakses penyelenggara tidaklah real time. Dia menyebut ke depannya, asosiasi akan mempersiapkan FDC agar dapat menyajikan data secara real time, paling lambat pada kuartal pertama 2020 mendatang.

Berikutnya FDC akan dilengkapi dengan sumber data dari pihak lain, seperti BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, asuransi, multifinance, perbankan, dan pasar modal. Saat ini FDC dapat diintegrasikan dengan BI Checking dan SLIK.

Dorong Industri Lebih Kondusif, Tiga Asosiasi Fintech Teken Kode Etik Bersama

Tiga asosiasi fintech yakni Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), dan Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI), menandatangani kode etik bersama atau joint code of conduct untuk perkuat aspek perlindungan konsumen dan iklim industri p2p lending yang jauh lebih sehat.

Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi menjelaskan, masing-masing asosiasi sebenarnya sudah memiliki kode etik, namun dengan penyatuan ini diharapkan bisa saling menguatkan satu sama lain. Sebab semangat akhir yang ingin dituju adalah pelayanan masyarakat yang lebih baik, untuk proteksi data mereka dan perlindungan konsumen itu sendiri.

“Ada yang kami bagian yang kami tambahkan agar kode etik ini saling melengkapi satu sama lain dan bisa diimplementasi oleh tiga asosiasi fintech,” katanya, Selasa (24/9).

Ketua Umum AFSI Ronald Yusuf Wijaya menambahkan, “Asosiasi sepakat bahwa kita harus payungi inovasi yang bergerak sangat cepat sekali ini dengan norma-norma dan etika dalam berbisnis fintech.”

Lewat kode etik bersama ini, ada sejumlah penyempurnaan, misalnya terkait privasi data dan perlindungan konsumen. Keseluruhan poin yang terangkum dalam kode etik ini berisi semua prinsip, proses, dan panduan yang mengikat semua anggota fintech dan penyelenggara pendukungnya.

Bila terbukti ada melanggar, ada hukuman yang siap diberikan. Terparah adalah dikeluarkan dari keanggotaan asosiasi.

Payung sementara sebelum regulasi resmi terbit

Kehadiran kode etik ini sebenarnya sangat dibutuhkan oleh industri untuk menekan praktik ilegal, mengingat UU perlindungan data pribadi yang belum disahkan oleh pemerintah. Itu di luar kuasa OJK maupun asosiasi.

Maka, tindakan preventif yang perlu dilakukan adalah membuat kode etik. Dari sisi OJK, hanya mensyaratkan para pemain fintech lending yang terdaftar boleh akses kamera, lokasi, dan mikrofon dari perangkat konsumen. Di luar ketiga itu, akan ada tindak tegas oleh regulator.

Pada intinya, kode etik ini punya empat prinsip dasar yang meliputi: perlindungan konsumen termasuk transparansi produk dan harga, penawaran layanan atau metode produk yang bertanggung jawab, penyebaran informasi terkait risiko, penanganan keluhan dan standar sistem manajemen, dan lain-lain; mitigasi dan manajemen risiko; tata kelola perusahaan yang baik; anti pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menjelaskan, keberadaan UU perlindungan data pribadi tidak hanya dibutuhkan oleh fintech saja, tapi juga seluruh perusahaan teknologi.

Pasalnya, ada era teknologi 4.0 ini seluruh transaksi sudah dilakukan tanpa tatap muka. Alhasil data pribadi akan terekam dan ini yang dikhawatirkan bisa terjadi kebocoran. Lantaran belum ada payung hukum yang jelas, bisa mengakibatkan tidak ada hukuman buat pelaku yang setimpal.

“UU PDP saat ini belum gol. Jadi jangan heran kebocoran airline [Lion Group] terjadi karena ini sulit ditangani. Kami khawatir ke depannya [hal-hal sejenis] bisa ada lagi di kemudian hari, jadinya kontradiktif dan tidak ada pertanggungjawaban dari pelakunya,” pungkas dia.

Four Fintech Lending Startup Acquired License from OJK

Indonesian Fintech Lenders Association (AFPI) announces its four members, Investree, Amartha, Dompet Kilat, and Kimo to acquire license from OJK as fintech lending. In total, with Danamas, there are only five out of 113 AFPI members listed in OJK.

“We appreciate our four members to acquire OJK’s license after the long process to make sure the fintech lending industry was build upon a strong infrastructure,” AFPI’s Head of Institutions and Public Relation, Tumbur Pardede said.

He continued, the four startups reflect all fintech lending’s business models. Investree with the SME’s productive sector and supply chain, Amartha focused on women’s micro businesses. Dompet kilat aims for consumptive sector with quick loan, and Kimo runs payment for balance top-up sellers.

In order to fasten the other members to acquire business license, AFPI is to build a special working group for license. Therefore, all startups which already listed are encouraged to share insights for members that suits their respective segments.

Therefore, they should be faster in completing requirements from OJK, the positive image will built among society.

Investree’s Co-Founder and CEO, Adrian A Gunadi said, the company needs two years to complete the requirements, as for Amartha. In the process, there are series of agreements in terms of administration or risk management that is completely essential.

One of those is to comply with ISO 27001, it doesn’t apply to every tech-based startup. The license isn’t simple and requires so things, particularly for startup working in financial service. Confidentiality is one of the example.

Furthermore, the integration system must adapt per OJK request, devices to monitor in order to run along the APU PPT (anti money laundering) it should be perfect, the auditor must be included in OJK.

“Any [requirements] to be integrated with system must be prioritized and meet the OJK standard. Some product development plans should be ‘hold’ for it,” he added.

After acquiring license, the company’s build up its confidence for partnership with all classes, either the government or private company. Also, there are companies and financial industries in need for partner with official license from regulator to guarantee their users.

“I think what we’ve been planning this year should worked. Starting to expand agressively with new partners is to be realized next year for we’ve grown confident through license,” Amartha’s Founder and CEO, Andi Taufan Garuda Putra said.

In terms of industry, fintech lending has distributed Rp33 trillion loans per April. For further detail, Amartha is claimed to distribute more than Rp 1 trillion for 230 thousand entrepreneurs with 98,26% payment success rate (TKB).

While, Dompet Kilat has distributed more than Rp10 billion loans for 20 thousand active consumers, the payment success rate has reached 97%. Investree has distributed over Rp2 trillion for 4 thousand borrowers. There are 66 thousand lenders with payment success rate up to 90,99%.

Lastly, Kimo has distributed Rp1 trillion loans since founded in 2016 with 10 thousand balance top-up partners.

Success payment rate is OJK’s requirement for all p2p lending entities with license to display success rate in the 90th day of its operation. It intends to improve transparency and help the lenders to know the risk of its funding placement.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Empat Startup Fintech Lending Terima Izin Usaha dari OJK

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengumumkan empat anggotanya, yakni Investree, Amartha, Dompet Kilat, dan Kimo telah mengantongi izin usaha dari OJK sebagai perusahaan fintech lending. Bila ditotal, ditambah Danamas, baru ada lima startup sudah berizin dari total 113 anggota AFPI yang sudah berstatus terdaftar.

“Kami mengapresiasi kepada empat anggota kami yang berhasil memperoleh izin OJK setelah melalui serangkaian proses panjang demi memastikan industri fintech lending dibangun dengan infrastruktur yang kuat,” terang Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI Tumbur Pardede, Kamis (16/5).

Dia melanjutkan, keempat startup ini mencerminkan semua bisnis model yang diterapkan oleh fintech lending. Investree bergerak di sektor produktif UKM dan supply chain, Amartha fokus untuk pembiayaan mikro usaha perempuan. Dompet Kilat menyasar sektor konsumtif dengan layanan pinjaman kilat, dan Kimo bergerak pembiayaan untuk penjual pulsa.

Untuk mempercepat anggota AFPI lainnya memperoleh izin usaha, asosiasi akan membuat working group khusus mengenai perizinan. Jadi setiap startup yang sudah berizin didorong untuk berbagi catatan apa saja yang harus dipenuhi anggota, sesuai dengan segmen usahanya masing-masing.

Dengan demikian, mereka akan semakin cepat memenuhi ketentuan dari OJK, citra positif industri pun lambat laun akan semakin positif di mata masyarakat.

Co-Founder dan CEO Investree Adrian A Gunadi menerangkan, perusahaan butuh waktu dua tahun untuk memenuhi ketentuan dari OJK, sama seperti Amartha. Dalam prosesnya, ada serangkaian ketentuan baik dari tata kelola dan manajemen risiko yang harus betul-betul dijaga perusahaan.

Di antaranya adalah memenuhi ISO 27001, aturan ini belum tentu diberlakukan buat startup berbasis teknologi lainnya. Lisensi ini tidak sederhana dan mencakup banyak hal yang harus dipatuhi perusahaan, apalagi buat startup yang bergerak di jasa keuangan, misalnya tentang kerahasiaan data pengguna.

Kemudian, dari sisi integrasi sistem harus menyesuaikan dengan apa yang OJK minta, perangkat untuk monitor agar sejalan dengan APU PPT (anti pencucian uang) harus sempurna, auditor pun harus masuk ke dalam daftar rekanan OJK saat audit.

“Apapun [ketentuan] yang harus integrasi ke sistem itu harus didahulukan dan harus memenuhi aturan OJK. Bahkan ada beberapa rencana pengembangan produk harus di-hold demi OJK,” terangnya.

Dari sisi perusahaan, pasca memperoleh izin usaha tentunya menambah kepercayaan diri untuk lebih gencar melakukan kemitraan dari berbagai kalangan baik dari pemerintah maupun swasta. Pasalnya, banyak perusahaan dari industri keuangan yang butuh mitra dengan status izin resmi dari regulator demi meyakini para konsumennya.

“Buat kami apa yang sudah direncanakan tahun ini tetap akan dijalankan. Mulai melebarkan sayap lebih agresif dengan cari mitra baru akan dilakukan pada tahun depan karena kami sudah percaya diri lewat izin resmi,” tambah Founder dan CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra.

Secara industri, fintech lending per April telah menyalurkan pinjaman sekitar Rp33 triliun. Dirinci lebih dalam, Amartha diklaim telah menyalurkan lebih dari Rp1 triliun untuk 230 ribu pengusaha dengan tingkat keberhasilan bayar (TKB) 98,26%.

Sementara, Dompet Kilat menyalurkan lebih dari Rp10 miliar pinjaman untuk 20 ribu konsumen aktif, TKB-nya 97%. Investree menyalurkan lebih dari Rp2 triliun untuk 4 ribu peminjam. Terdapat 66 ribu pemberi pinjaman dengan TKB 90,99%.

Terakhir, Kimo telah menyalurkan pinjaman Rp1 triliun sejak berdiri di 2016 dan memiliki 10 ribu mitra penjual pulsa.

TKB adalah kewajiban dari OJK untuk seluruh entitas p2p lending yang terdaftar untuk menampilkan tingkat keberhasilan pengembalian pada hari ke-90 di situsnya. Maksudnya untuk meningkatkan transparansi sekaligus membantu calon pemberi pinjaman untuk mengetahui risiko penempatan dananya.

OJK in An Effort to Remove Illegal “Fintech Lending” in Indonesia

The rise of online based financial services, including p2p lending, has put more pressure to Financial Service Authority (OJK) in sorting and managing in Indonesia. Currently, OJK has recorded many unregistered fintech lending app in Google Play.

Tongam L. Tobing, Head of Investment Awareness Unit said that Google is now trying to collaborate with the regulators for qualification process.

Along with the Ministry of Communication and Informatics (Kemkominfo), OJK is still exploring the online loan distribution on Google Play platform. There are 803 illegal fintech lending recorded and blocked by Investment Awareness Unit since 2018.

Most of the illegal services have server base in US, Singapore, China, and Malaysia. “We’ve tried to partner with Google. If there’s any app offer through p2p lending fintech on Play Store should be blocked,” he said as quoted by Kompas.

AFPI as partner

In order to speed up the business, OJK has appointed Indonesia’s Fintech Association (AFPI) as the official partner to lead all kinds of IT based financial loans in Indonesia. One of its focus is to remove any illegal fintech lending and avoid being in debt to pay other debt.

Currently, OJK has listed 99 apps providing legal loan online valid per February 2019. The cultivation investment, Angon, that having a difficult time also haven’t registered in OJK.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

OJK Berupaya Bersihkan “Fintech Lending” Ilegal di Indonesia

Menjamurnya layanan pembiayaan berbasis online, termasuk p2p lending, menyulitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan penyaringan dan pengendalian di Indonesia. Saat ini OJK mencatat makin banyak aplikasi fintech lending di Google Play, meskipun statusnya belum terdaftar.

Menurut Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing, saat ini Google sudah berupaya melakukan kolaborasi dengan regulator untuk melakukan penyaringan.

Bersama dengan Kemenkominfo, saat ini OJK masih terus melakukan penyisiran penyebaran pinjaman online yang beredar di Google Play. OJK mencatat saat ini terdapat 803 layanan fintech lending ilegal yang sudah diblokir Satgas Waspada Investasi sejak tahun 2018 lalu.

Kebanyakan layanan ilegal tersebut memiliki server di Amerika Serikat, Singapura, Tiongkok, dan Malaysia.

“Kami sudah berusaha kerja sama dengan Google. Kalau ada penawaran aplikasi melalui fintech p2p lending di Play Store kami minta untuk diblokir,” ujar Tongam seperti dilansir Kompas.

AFPI sebagai badan mitra

Untuk mempercepat usaha ini, OJK telah menunjuk Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sebagai badan resmi yang mewadahi penyelenggara layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi di Indonesia. Salah satu fokus utama AFPI adalah melakukan pembersihan fintech lending ilegal dan mencegah terjadinya praktik gali lubang tutup lubang oleh masyarakat.

Saat ini OJK mencatat terdapat sekitar 99 aplikasi penyedia jasa pinjaman online legal yang terdaftar per bulan Februari 2019 ini. Layanan investasi budidaya Angon, yang saat ini mengalami kendala, hingga saat ini statusnya masih belum terdaftar di OJK.