TaniHub Fokus Menjadi “Supply Chain” Produk Pertanian Indonesia

Sejak didirikan tahun 2016 lalu, TaniHub yang bernaung di bawah startup agritech TaniGroup, sudah memiliki lebih dari 25.000 petani lokal di seluruh Indonesia dan mengoperasikan lima kantor cabang dan pusat distribusi regional di Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.

Kepada media saat acara kunjungan ke gudang TaniHub Bogor beberapa waktu lalu, CEO TaniGroup Ivan Arie Sustiawan menyebutkan, fokus TaniHub saat ini adalah agar bisa menjadi platform agritech top of mind bagi kalangan korporasi maupun konsumen umum. Dilengkapi dengan gudang, teknologi dan jaringan petani di pulau Jawa, TaniHub ingin menjadi layanan supply chain terlengkap di Indonesia.

“Ke depannya kami berharap TaniHub bisa menjadi [layanan] supply chain terlengkap dengan teknologi dan aplikasi yang kami ciptakan untuk memudahkan petani hingga pelanggan untuk mengakses TaniHub. Bukan hanya berfungsi sebagai tools, aplikasi TaniHub kami ciptakan untuk memperkuat supply chain,” kata Ivan.

Rencana mendirikan packing house

Saat ini gudang TaniHub di Bogor diklaim menjadi salah satu gudang percontohan yang dinilai paling lengkap dan mewakili proses hingga teknologi yang dimiliki perusahaan. Semua produk yang dikirimkan dari berbagai wilayah di pulau Jawa, dikumpulkan di gudang TaniHub Bogor untuk kemudian dilakukan proses grading atau penentuan kelas dari buah hingga sayuran. Usai proses tersebut, produk akan dikemas dan dikirimkan ke pelanggan.

Ke depannya TaniHub juga berencana mendirikan packing house di sejumlah lokasi yang bisa memudahkan petani mengirimkan semua produk pertanian mereka secara langsung.

“Pembangunan packing house tersebut masih menjadi rencana kami selanjutnya. Kami melihat packing house bakal menjadi ‘the next best thing‘ untuk Tanihub dan juga para petani pada khususnya,” kata Ivan.

Disinggung apakah TaniHub bakal melakukan ekspansi ke pulau-pulau Indonesia yang lain, Ivan menyebutkan rencana tersebut ada, namun untuk saat ini TaniHub masih fokus di pulau Jawa dan Bali.

Pasca perolehan pendanaan Seri A bulan Mei 2019 lalu, sebesar $10 juta atau setara dengan 143 miliar Rupiah, TaniHub masih ingin fokus untuk mengakuisisi lebih banyak petani untuk bergabung sekaligus mengembangkan ekosistem agritech di Indonesia.

“Setelah fokus kami mulai bergeser kepada B2B pada tahun 2017 lalu, TaniHub telah melancarkan strategi yang cukup efektif dan berhasil mendapatkan product market fit. Untuk saat ini dan selanjutnya kami ingin meng-cater industri terkait dalam hal penyediaan supply chain produk pertanian di Indonesia hingga ekspor ke mancanegara,” kata Ivan.

Kolaborasi dengan IPB

Acara penandatanganan MOU IPB dan TaniGroup / Bhisma Adinaya-TaniGroup
Acara penandatanganan MOU IPB dan TaniGroup / Bhisma Adinaya-TaniGroup

TaniGroup juga menandatangani nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) dengan Institut Pertanian Bogor (IPB). Sebagai institusi pendidikan yang fokus ke segmen pertanian di Indonesia, TaniGroup melihat kolaborasi ini bisa membantu, tidak hanya untuk perusahaan, tapi juga mahasiswa pada khususnya.

TaniGroup melihat kolaborasi dengan institusi pendidikan penting dilakukan karena berbagai permasalahan di sektor pertanian Indonesia sangat mendesak untuk dipecahkan. Perusahaan dan IPB bersama-sama memiliki peran sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) di dunia pertanian Indonesia.

Kerja sama tersebut tidak terbatas pada bidang penelitian serta pengembangan data dan SDM yang bersifat mutual saja. Sebagai contoh, SDM yang ahli dalam pengelolaan tanah dan tanaman (agronomist) dapat berperan signifikan dalam memperbaiki kualitas hasil panen, sehingga para petani dapat memenuhi kebutuhan pasar yang terus meningkat.

“Saya harapkan ada hasil konkret dari kolaborasi ini yang selanjutnya bisa menghasilkan inovasi atau sesuatu yang positif yang bermanfaat, tidak hanya untuk TaniGroup namun juga IPB dan ekosistem agritech,” kata Ivan.

Application Information Will Show Up Here

TaniFund Telah Salurkan Dana Rp75 Miliar ke 2100 Petani

TaniFund, platform crowdfunding dan crowdlending yang membantu para petani untuk mendapatkan dana pinjaman untuk proyek budidaya pertanian, hingga saat ini telah menyalurkan dana lebih dari Rp75 miliar ke 2.100 petani dalam 83 proyek budidaya. TaniFund menargetkan penyaluran pinjaman hingga akhir 2019 bisa mencapai Rp100 miliar ke 5.000 petani. Saat ini TaniFund mengklaim telah memiliki jumlah lender yang cukup banyak berasal dari kalangan milenial.

Secara keseluruhan, jumlah petani yang bergabung di TaniFund saat ini sekitar 25 ribu dengan gudang dan cabang yang tersebar di lima kota, yaitu Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Ke depannya TaniFund juga sudah membuat sejumlah program untuk menjangkau petani di luar pulau Jawa.

Resmi hadir tahun 2017 lalu, TaniFund mengklaim hingga kini NPL tercatat cukup baik dan menjamin kepastian panen dari masing-masing petani di berbagai wilayah. TaniFund ini sudah resmi terdaftar dan diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ia juga menjadi anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).

Disinggung apakah TaniFund memiliki rencana untuk menambah kemitraan dengan startup fintech P2P lainnya setelah Modalku, CEO TaniGroup Ivan Arie Sustiawan mengungkapkan, pihaknya belum memiliki niat untuk menambah jumlah mitra startup terkait dan masih menjalankan kerja sama strategis dengan Modalku.

“Kami belum memiliki rencana untuk menambah kemitraan selain dengan Modalku yang diresmikan sejak tahun 2017 lalu. Melalui TaniFund kami ingin membantu petani mendapatkan tambahan modal sekaligus memberikan peluang investasi untuk masyarakat,” kata Ivan.

Bantu petani tingkatkan kualitas panen

Egi Gunawan mitra TaniFund / Petani cabai di Bogor, Jawa Barat mitra TaniFund / Bhisma Adinaya-TaniGroup
Egi Gunawan, mitra TaniFund / Bhisma Adinaya (TaniGroup)

Meskipun sudah memberikan kontribusi terbesar kedua terhadap perekonomian Indonesia, banyak petani lokal belum dapat menikmati hasil yang adil atas jerih payah mereka. Sebagai negara agraris, tingkat kesejahteraan petani masih rendah karena berbagai permasalahan.

Untuk menyederhanakan rantai pasok, TaniHub hadir dengan teknologi yang diklaim mampu memotong proses tersebut dan meminimalisir jumlah ketergantungan pada middleman.

Sementara untuk memaksimalkan hasil panen dan kualitas dari produk petani, TaniFund lahir untuk menjawab kebutuhan petani untuk pendanaan usaha taninya.

“Kami menyadari bahwa kesejahteraan hidup petani hanya dapat ditingkatkan jika upaya perubahan dilakukan dari berbagai sisi dan tidak terbatas pada supply chain saja. Oleh karena itu, pada awal 2017, kami mendirikan TaniFund sebuah crowdfunding platform yang menyalurkan pendanaan dari lender kepada para borrower, dalam hal ini adalah petani,” kata Ivan.

Untuk memastikan hasil panen memiliki kualitas yang sempurna, di lapangan TaniFund menempatkan tim Field Specialist yang bertugas membimbing petani melalui aplikasi khusus untuk petani yang mudah diakses. Dengan bantuan teknologi tersebut, mitra petani TaniFund dapat lebih tertata dalam mengelola proyeknya.

Dalam proses kurasinya, tim Business Partner secara rutin merekap data mitra petani, memastikan petani tersebut memiliki sertifikasi tanah yang jelas dan bekerja dengan baik untuk bisa mengembalikan dana yang dipinjamkan lender kepada petani. Prosesnya pun cukup berlapis, mulai dari pengawasan, laporan secara real time lahan pertanian hingga edukasi kepada petani.

Salah satu petani yang sudah cukup lama menjadi mitra dari TaniFund adalah Egi Gunawan, petani milenial berusia 27 tahun yang kerap disapa dengan panggilan Kang Egi. Bersama kelompok taninya, Guna Tani, Kang Egi berhasil mengembangkan budidaya tomat TW dan cabai merah keriting lewat pembiayaan peer-to-peer lending (p2p) dari TaniFund.

“Setelah bergabung dengan TaniFund saya tidak dipusingkan lagi dengan fluktuasi harga dan bisa menjual produk hingga dengan mudah mengajukan pinjaman melalui TaniFund. Saat ini sudah dua kali proyek saya selesaikan di TaniFund,” kata Egi.

Application Information Will Show Up Here

Melalui Pendekatan Online-Offline, Pak Tani Digital Upayakan Sinergi di Industri Pertanian

Pak Tani Digital merupakan startup yang mencoba mengambil peran untuk menghubungkan petani dengan seluruh pemain di industri pertanian dari hulu ke hilir, mulai dari supplier hingga ke pelanggan rumah tangga. Startup ini sudah dua tahun berjalan secara bootstrap dan terus berupaya mengembangkan bisnisnya.

“Pak Tani Digital sudah beroperasi sejak November 2017, hingga saat ini kami punya lebih dari 28 ribu pengguna aplikasi. Tidak hanya itu, program Pak Tani Digital Goes To Campus sudah mengunjungi berbagai daerah, baik di kampus-kampus pertanian di Sumatera Utara maupun di luar Sumatera,” jelas CEO Pak Tani Digital Kris Pradana kepada DailySocial.

Startup yang berkantor di Medan ini diprakarsai oleh Mahendara Sitepu, Yosephine Natalia Sembiring, dan Nador Darojad Iwa Brahmana. Ketiganya memiliki visi menyelesaikan permasalahan pertanian di Indonesia, seperti kurang fasihnya para petani menggunakan teknologi untuk mendapatkan informasi dan terhubung dengan pasar.

Usia petani yang rata-rata sudah tidak muda lagi membuat mereka jauh dengan teknologi digital. Sementara pemanfaatan teknologi berpotensi untuk membantu mengembangkan bisnis cocok tanam mereka. Untuk itu Pak Tani Digital aktif mengedukasi para petani dengan cara mendekat ke petani muda dan kelompok tani untuk melakukan sosialisasi.

Tim Pak Tani Digital juga berusaha membangun sebuah ekosistem marketplace pertanian yang mampu menyediakan informasi. Melalui sistem itu diharapkan petani dapat dihubungkan dengan para stakeholder industri. Misinya memangkas banyak biaya, salah satunya terkait distribusi.

“Semua orang pasti membutuhkan makanan, sehingga pertanian sudah pasti sangat menjanjikan. Di samping itu, kita melihat nasib petani kita belum membaik sepenuhnya, sehingga peran kita adalah empowering mereka dan menantang mereka bersemangat menjadi petani dengan prospek yang tidak diragukan lagi,” imbuh Kris.

Saat ini mungkin konsep yang diusung Pak Tani Digital bukanlah hal baru. Untuk itu mereka berusaha mengembangkan fitur-fitur yang bisa bermanfaat bagi seluruh stakeholder di ekosistem pertanian. Seperti, fitur “Pasar Online”, memungkinkan petani menjual komoditi pertanian secara langsung.

Ada juga fitur “Supplier” yang disiapkan untuk memudahkan para supplier menjual alat dan bahan pertanian. Fitur “Cek Harga” untuk memudahkan memantau harga komoditas pertanian di Indonesia. Dan fitur “Transporter” untuk memudahkan siapa saja menyewakan armada angkut yang mereka miliki.

Tahun ini Pak Tani Digital akan melanjutkan program “Pak Tani Digital Goes to Campus” untuk mengajak para mahasiswa menjadi pionir pertanian memanfaatkan pendekatan digital. Selain itu mereka juga aktif mencari mitra untuk bersama-sama membantu petani dalam menjual hasil panen.

Application Information Will Show Up Here

10 Startup Peserta “Grab Ventures Velocity” Angkatan Kedua

Grab mengumumkan 10 startup terpilih sebagai peserta Grab Ventures Velocity (GVV) angkatan kedua. Program flagship ini memilih dua fokus tema, yakni pemberdayaan petani dan usaha kecil.

Dari 10 startup tersebut, 7 datang dari Indonesia, 2 di antaranya dari Singapura, dan sisanya dari Malaysia. Secara berurutan, mereka adalah Eragano, PergiUmroh, Porter, Sayurbox, Tanihub, Tamasia, Qoala, Treedots, GLife, dan MyCash Online. Diklaim ada 150 startup yang mengajukan, mayoritas datang dari Asia Tenggara tapi ada juga datang dari luar Asia Tenggara.

“Menjadi decacorn pertama di Asia Tenggara merupakan perjalanan yang sangat kami syukuri dan kali ini kami ingin berkontribusi kembali dan membagikan apa yang telah kami pelajari untuk juga berkontribusi pada kemajuan negara,” terang President of Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata, kemarin (17/6).

Pada pengumuman ini, turut dihadiri Menteri Kominfo Rudiantara, Staf Ahli Kemenkeu, serta mitra eksklusif Grab (Ovo, Kudo, Microsoft, dll). Dalam sambutannya, Rudiantara memberikan dukungannya terhadap program ini. Menurutnya, secara bersama-sama dapat membangun Asia Tenggara yang lebih kuat sebagai rumah dan ekosistem bagi banyak startup.

“Melalui program GVV ini saya berharap agar startup Indonesia juga mampu berkompetisi secara global dan mengharumkan nama bangsa,” tambahnya.

Ridzki melanjutkan pemilihan tema ini dilatarbelakangi oleh komitmen keberlanjutan kepada pemerintah Indonesia untuk mengambil peran utama dalam mengembangkan ekosistem agritech, tidak hanya di Indonesia tapi juga di Asia Tenggara. Dua fokus ini secara tidak langsung juga berkaitan dengan fokus perusahaan yang ingin memberdayakan usaha kecil dan menengah.

Mengenai update dari batch pertama, Grab dalam waktu dekat akan segera menghadirkan layanan Sejasa dalam aplikasinya. Sebelumnya, layanan pesenan film dari BookMyShow berbentuk tile dinamai “Tiket” sudah resmi dihadirkan.

“Sejasa tahun ini akan datang ke aplikasi Grab dan bisa segera digunakan untuk jutaan pengguna Grab.”

Pada batch pertama yang digelar akhir tahun lalu, memilih tiga startup dari Indonesia dari lima peserta untuk dibantu scale up. Mereka adalah BookMyShow, Sejasa, dan Minutes. Pihak BookMyShow menyebut pada bulan pertama uji coba berlangsung, bisnisnya tumbuh hingga 70%.

Program GVV batch kedua

Head of Grab Ventures Chris Yeo menjelaskan, batch ini memiliki dua jalur, pemberdayaan petani dan usaha kecil. Keduanya direpresentasikan oleh ada lima startup. Jalur pertama ada GLife, Tanihub, Treedots, Sayurbox, dan Eragano. Jalur kedua ada PergiUmroh, Porter, Tamasia, Qoala, dan MyCash Online.

Bila dihitung keseluruhan, ada 30 ribu petani dan 5500 pengusaha kecil yang sudah terbantu dengan total GMV lebih dari US$110 juta. Prospek ke depannya, masih ada 35 juta petani di Indonesia saja yang bisa berpeluang terbantu oleh teknologi, potensi GMV-nya sekitar US$136 miliar. Lalu ada 46 juta pengusaha kecil di Indonesia yang siap terhubung dengan teknologi.

Pengangkatan tema untuk batch kali ini, juga dilatarbelakangi oleh beberapa pembelajaran yang diambil dari batch pertama. Chris menjelaskan dari pilot project, pihaknya mendapat proof of concept dari para peserta.

Ada data nyata yang berhasil diperlihatkan, semisal dari pencapaian BookMyShow pasca bergabung. Data tersebut dimanfaatkan untuk menggali lebih dalam sinergi yang bisa dilakukan kedua perusahaan agar tetap selaras dengan kebutuhan pengguna Grab.

“Tapi di sisi lain, pada batch pertama tidak ada tema spesifik yang diangkat. Makanya startup yang mendaftar itu dari berbagai sektor. Kali ini mau kita fokuskan agar lebih spesifik dan targeted,” terangnya.

Peserta batch kedua ini akan menguji proyek awal mereka dalam ekosistem Grab, menyesuaikan dengan layanan yang ditawarkan. Ada beberapa channel yang disediakan, melalui aplikasi Grab itu sendiri, basis merchant GrabFood, atau jaringan agen Kudo. Dibandingkan batch sebelumnya, hanya ada integrasi ke aplikasi Grab.

Akan tetapi, Chris mengaku pihaknya belum menetapkan ada berapa banyak startup yang bakal dipilih dan nominal investasi yang disiapkan. Dia hanya memastikan besaran nominal investasi yang disiapkan adalah post-seed stage. Berbeda dengan fokus Grab Ventures yang mengincar pendanaan ke startup mulai dari tahap seri B ke atas.

Seluruh peserta ini akan mengikuti pelatihan selama 16 minggu, diisi berbagai kegiatan dari mentoring hingga kelas bertema khusus. Pada akhir sesi, startup akan pitching di hadapan Grab. Mereka yang berhasil, akan mendapat kesempatan untuk berkolaborasi dengan Grab dalam bentuk pendanaan atau kemitraan strategis.

Seluruh kegiatan program akan berlangsung di kawasan Digital Hub BSD City, sehubungan dengan kemitraan strategis antara perusahaan dengan Sinar Mas Land.

“Program ini banyak membahas soal isu dasar untuk bantu founder saat scale up. Dari situ, kami harapkan mereka bisa memberikan solusi yang lebih berani dan inovatif meski berangkat dari layanan marketplace.”

Chris juga menyebut pihaknya mulai mempersiapkan GVV batch ketiga, namun belum ditentukan tema apa yang akan dipilih. Kemungkinan besar akan digelar menjelang akhir tahun ini.

Belum Tinggalkan Platform Investasi, Ternaknesia Mulai Fokus ke Pemasaran Hasil Ternak

Ternaknesia merupakan sebuah platform digital untuk solusi peternakan. Tak hanya layanan investasi ke peternakan, ia berkembang menjadi platform pemasaran hasil peternakan yang kini menjadi fokus utama perusahaan. Tahun ini Ternaknesia menyiapkan berbagai rencana, termasuk menguatkan aspek pemasaran dan mengurus perizinan ke OJK.

Founder dan CEO Ternaknesia Dalu Nuzlul Kirom kepada DailySocial menceritakan, mereka saat ini mulai fokus pada aspek pemasaran hasil peternakan sejak tahun lalu. Saat ini Ternaknesia memiliki puluhan mitra peternak yang tersebar di kota-kota di Indonesia.

“Pertama perlu saya jelaskan bahwa Ternaknesia adalah platform digital pemasaran dan permodalan peternakan. Memang awalnya kami mengawali dan membesarkan aspek permodalan untuk peternakan melalui crowdfunding P2P (Peer to Peer).  Namun sejak 2018 kami mulai menguatkan aspek pemasaran hasil panen peternakan.”

“Sampai saat ini mitra peternak kami ada sekitar 57 peternak. Di antara peternak tersebut, hanya 16 peternak yang pernah dan sedang kami bantu aspek permodalan yang tersebar di seluruh kawasan Pulau Jawa. Dana yang kami kelola sampai saat ini sudah di atas 15 Miliar [Rupiah], begitu pula omset untuk pemasaran hasil ternak,” imbuhnya.

Nuzlul menjelaskan, perkembangan Ternaknesia sejauh ini tidak lepas dari upaya mereka menjaga kualitas layanan dan hubungan dengan pelanggan. Salah satu cara yang dilakukan adalah tetap menerima saran dan masukan dari pelanggan dan memberikan transparansi data berupa laporan rutin,  terutama yang berkaitan dengan investasi dan menyiapkan beberapa mitigasi risiko.

Mitigasi risiko

Meski mulai fokus pada pemasaran hasil ternak, perusahaan masih memiliki layanan investasi. Untuk itu Nuzlul memastikan pihaknyaa harus paham betul bagaimana menyiapkan mitigasi risiko-risiko yang ada. Salah satunya dengan terjun langsung ke lapangan.

Menurut Nuzlul, dirinya masuk ke beberapa asosiasi dan organisasi peternakan. Dua di antara nya adalah HPDKI (Himpunan Peternak Domba Kambing Indonesia) dan Aspetindo (Asosiasi Pengusaha Pengusaha Ternak Indonesia). Dengan bergabung ke dalam asosiasi, pihak Ternaknesia bisa menentukan apakah peternak yang mengajukan permohonan pendanaan bisa dipercaya atau tidak.

“Di sinilah kami terbantu untuk menentukan apakah peternak yang mengajukan permohonan pendanaan, bisa dipercaya atau tidak. Kami juga bisa melacak track record transaksi si peternak dari beberapa peternak di asosiasi ini, baik sebagai supplier maupun buyer,” jelasnya

Ternaknesia sendiri memberikan modal ke bisnis peternakan, bukan per hewan ternak. Dengan demikian jika ada satu-dua ekor hewan yang mati maka risiko akan ditanggung bersama oleh para investor. Ternaknesia juga memiliki standar peternakan yang akan didanai, seperti sudah berjalan minimal tiga tahun, memiliki kepastian pasar yang jelas, dan beberapa standar lainnya.

Penyaluran dana yang dilakukan Ternaknesia dibuat bertahap, dilihat dari perkembangan aktivitas para peternak. Mereka mengklaim rutin melakukan kunjungan untuk memantau dan mengawasi perkembangan ternak.

“Kami membuka pasar sendiri agar bisa menjadi offtaker hasil panen peternak. Dengan demikian paternak memiliki kepastian buyer yang aman dan menguntungkan. Latar belakang solusi ini dari kejadian yang riil yang pernah kami dapati adalah peternak tidak dibayar oleh buyer-nya, jadi di bayangan kami nantinya tercipta closed loop. Offtaker-nya dari kami, kemudian jika demand lebih besar kami bantu supplier dengan pemodalan sehingga investor yang terlibat dalam pemodalan juga merasa aman karena pasarnya pasti,” terang Nuzlul.

Rencana-rencana tahun ini

Tahun ini Ternaknesia sudah merencanakan beberapa hal. Termasuk di dalamnya menguatkan aspek pemasaran hasil ternak, baik produk harian maupun tahunan seperti perayaan Kurban. Penguatan ini rencananya akan difokuskan di Surabaya sebagai validasi pasar awal.

“Untuk fintech, tahun ini proyek investasi untuk peternakan kami kurangi karena fokus mengawasi dan mengontrol proyek yang sudah ada. Kami juga sedang mempelajari dan mengurus perijinan ke OJK. Selain itu, tahun ini kami mengembangkan aplikasi untuk peternak, sehingga manajemen mereka bisa lebih baik dan aktivitas mereka, terutama keuangan bisa lebih terpantau oleh kami dan investor,” tutup Nuzlul.

Application Information Will Show Up Here

Nanobubble Ingin Tingkatkan Potensi Budidaya Perikanan Melalui Nanoteknologi

Besarnya potensi perikanan d Indonesia ternyata masih memiliki kendala dalam produktivitas budidaya, serangan virus atau penyakit, kondisi air tambak yang rusak, dan lainnya sehingga menyebabkan gagal panen di mana-mana. Di sisi lain, kebutuhan pasar lokal maupun ekspor sangat tinggi, khususnya udang.

Berawal dari riset, Nanobubble didirikan oleh CEO Hardi Junaedi, CBDO Dedi Cahyadi, dan CPO Rizki Nugraha Saputra. Startup ini memanfaatkan nanoteknologi yang berfokus meningkatkan produktivitas budidaya perikanan. Mereka disebut berhasil mematenkan dan membuat mesin yang dapat menginjeksi gas (baik oksigen, nitrogen, karbondioksida, maupun gas lainnya) ke dalam suatu air (atau larutan lainnya).

“Kelebihan mesin kami adalah gas yang diinjeksi akan dipecah dan dilarutkan dalam air di dalam milling zone (zona pemecahan) sehingga menghasilkan luaran air dengan kelarutan gas yang tinggi dengan ukuran gelembung (bubble) di kisaran 200-900 nanometer. Gas yang berada di dalam bubble akan mudah larut dalam air. Dampaknya kadar gas menjadi lebih tinggi daripada kondisi pada umumnya,” kata Hardi kepada DailySocial.

Gas yang dimaksud adalah oksigen dan bermanfaat meningkatkan kadar oksigen terlarut dalam tambak udang sehingga pada panen pertama mampu meningkatkan hasil panen hingga empat kali lipat.

Nanobubble mendapatkan pengetahun ini setelah melakukan studi banding ke Jepang.

“Alhamdulillah sepulang dari Jepang tim kami terinspirasi untuk mengembangkan teknologi Nanobubble dengan teknologi yang dimodifikasi menggunakan material lokal dan terjangkau. Harapannya Nanobubble ini bisa menjadi bisnis teknologi yang mampu menghilirisasi hasil penelitian Nanobubble selama dua tahun ke belakang dan bisa dikomersialkan,” kata Hardi.

Fitur Nanobubble

Mesin yang dikembangkan Nanobubble secara otomatis menginjeksi oksigen ke dalam tambak saat kondisi kadar oksigen rendah dan mesin dengan timer otomatis. Diharapkan dalam waktu 2-3 bulan ke depan Nanobubble mampu melengkapi fitur dan menyelesaikan kontrol otomatis parameter DO (oksigen), suhu, dan pH sehingga petambak dan pengguna mampu mengontrol secara real time kondisi budidaya udang pada aplikasi di smartphone.

“Tim kami, selain berfokus pada fitur mesin Nanobubble untuk menunjang kadar oksigen pada air tambak udang sehingga produktivitas meningkat, juga pernah bekerja sama dengan BUMN untuk penerapan Nanobubble nitrogen untuk pengawetan ikan tuna. Hasilnya pun sangat memuaskan dan menambah masa kesegaran ikan,” kata Hardi.

Tahun ini ada beberapa target yang ingin dicapai Nanobubble. Di antaranya adalah bisa merevolusi dunia budidaya perikanan dengan meningkatkan produktivitas dengan luasan tambak yang lebih kecil sehingga mendukung terciptanya optimalisasi lahan tambak di Indonesia. Kemudian membantu penyediaan stok udang atau ikan untuk pasar lokal maupun ekspor, serta mampu meningkatkan kesejahteraan petambak atau buruh tambak yang terlibat dalam proses budidaya.

“Selain itu tim research & development kami juga masih dalam tahapan penelitian penerapan di dunia pertanian, terutama terobosan pupuk cair nitrogen ataupun untuk mendukung oksigen dan nutrisi pada budidaya sistem hidroponik. Pada tahun 2017 kami sebenarnya juga sudah pernah berhasil menerapkan Nanobubble nitrogen untuk pengawetan ikan tuna. Sehingga besar harapan kami untuk mampu menjadi solusi permasalahan perikanan dan pertanian dengan terobosan nanoteknologi,” kata Hardi.

Rencana penggalangan dana

Meskipun masih baru, Nanobubble telah memiliki strategi monetisasi, yaitu berkolaborasi dengan komunitas dan praktisi budidaya udang. Untuk kegiatan pemasaran, Nanobubble memanfaatkan media sosial, situs, seminar dan workshop, serta forum berbagi teknologi lainnya.

“Untuk model bisnis kami saat ini adalah skema persewaan mesin Nanobubble dan bagi hasil kerja sama budidaya,” kata Hardi.

Nanobubble berhasil mengumpulkan pendanaan dari dewan juri Thinkubator sebesar Rp825 juta sebagai pemenang utama program. Modal tersebut nantinya akan dimanfaatkan perusahaan untuk menambah demonstration plot (demplot) ukuran tambak 1000m2, menambah talenta di bidang perikanan dan IoT, serta memproduksi sekitar 18-20 mesin untuk penerapan di tambak daerah Sukabumi dan Situbondo.

Terkait penggalangan dana, Nanobubble saat ini sedang dalam komunikasi dengan tiga mitra. Selain dari Grab, Nanobubble juga telah mendapatkan tambahan modal dari research grant PPTI Kemenristek DIKTI dan Coremap CTI LIPI.

Grab Ventures Velocity Angkatan Kedua Incar Pemberdayaan Usaha Mikro

Grab resmi mengumumkan Grab Ventures Velocity (GVV) angkatan kedua, Rabu (10/4) kemarin. Berbeda dari angkatan pendahulunya, program flagship Grab ini akan fokus pada inovasi dan penyelesaian masalah di bidang agrikultur dan pemberdayaan usaha mikro.

Dalam pembukaannya, Presiden Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata menegaskan, sejak awal bahwa kehadiran program ini diharapkan dapat memberikan dampak luas. Tidak hanya untuk Grab, tetapi juga masyarakat.

“Kami meyakini dua fokus tersebut dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang besar di Asia Tenggara. Melalui program ini, kami juga ingin nurturing bakal unicorn selanjutnya (nexticorn) di Asia Tenggara,” tutur Ridzki di Jakarta.

GVV merupakan program khusus pengembangan startup yang berstatus post seed dan ingin melakukan scale up. Sebanyak 3-5 startup terpilih akan mendapatkan mentorship, akses ke basis pelanggan dan teknologi Grab, serta mereka dapat menguji coba solusinya di platform Grab.

Head of Investments & Programs Grab Ventures Aditi Sharma menambahkan, ada banyak peluang yang dapat digali dari agrikultur, terutama yang berkaitan dengan rantai pasokan makanan segar tradisional, seperti buah dan sayur-sayuran.

Indonesia dinilai punya banyak persoalan berkaitan dengan rantai pasokan produk pertanian. Rumitnya jalur perdistribusian hingga kondisi geografis di Indonesia membuat prosesnya menjadi lama dan tidak efisien.

Diharapkan GVV dapat memaksimalkan potensi startup dalam membawa bahan makanan segar secara terjangkau dan berkualitas kepada seluruh target pasarnya di Asia Tenggara.

Demikian juga pemberdayaan terhadap pedagang kecil yang bertujuan memotong biaya operasional agar dapat meningkatkan pendapatan mereka. Aditi menyebutkan uji coba solusi mereka akan mengandalkan jaringan agen Kudo yang saat ini telah dipakai di 250 ribu wirausahawan digital Indonesia.

“Di angkatan sebelumnya, startup hanya menguji coba layanannya di negara asal mereka sendiri. Pada angkatan kedua, mereka berkesempatan untuk pilot di semua negara di Asia Tenggara,” ungkap Aditi.

Selain fase pendanaan post seed, kriteria lain yang dicari pada program ini adalah startup yang memiliki product market fit, telah memiliki basis pengguna, dan memiliki strong early traction. Pendaftaran telah dimulai sejak 29 Maret hingga 15 Mei. Program ini sendiri akan berjalan dua bulan (Mei dan Juni).

GVV didukung sejumlah instansi pemerintah terkemuka di Indonesia, seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dan Badan Kreatif Ekonomi (BEKRAF).

Angon.id Cultivation Investment Startup Issue

Within the past few months, some DailySocial readers might find out Angon.id cultivation investment startup issue on social media accounts related to the refund of all investors. Through its main Instagram channel for sharing information, Angon.id has the latest status updates in October 2018.

As the media that has covered their launch and development, we feel required to seek the truth. We tried to contact boards of founders by phone or social media, but there’s no feedback.

Some staff who had been connected with DailySocial said they started to left the company since mid-2018.

Moreover, we’ve got some news from trusted source of what happened.

“Fraud”

According to our source, a person having close connection to Angon.id management, said this issue risen due to an error of business calculation. The money collected from investors was used mostly for operational expenditure and founder’s demand which wasn’t urgent.

One case is when it was used to buy office property in “fancy enough” area in Semarang. Regardless, they have deadline to return the investor’s fund for livestock cultivation and its outcome.

The total loss is claimed to reach four billion Rupiah

Angon.id is a Telkom-based Indigo Creative Nation program incubation, under Jogja Digital Valley.

Debuted on October 2016, this startup combined investment startup (fintech) with agriculture (agtech) concept. Investor is to invest through Angon.id to raise fund for farmers, before they get profit sharing from the product sales.

“[Simple] Angon.id management committed fraud to the investor’s money. I would say this case is like First Travel [with a different scale]. Management has been “broken” since the late 2018.”

They’re facing a condition which solution is on its own management, while Telkom claims its position as business coach in early stage and not related to the operational.

“The last time we communicate with Agif [Angon.id’s CEO, Agif Arianto], they guarantee to return the money, gradually. Currently, it’s very difficult to connect.”

Update: Angon.id’s CEO gives clarification to the public funding issue on its platform
Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Klarifikasi CEO Angon.id terhadap Isu Kisruh Dana Publik

Sebagai tanggapan terhadap pemberitaan DailySocial yang berjudul “Kisruh Startup Investasi Budidaya Angon.id“, Co-Founder & CEO Agif Arianto menghubungi DailySocial untuk memberikan klarifikasi. Sebagai bagian dari hak jawab, berikut ini adalah penjelasan menurut sisi Angon.id.

Kondisi yang terjadi

Agif menceritakan adanya gagal panen yang dialami pemilik ternak online (disebut member Angon) dan direalisasikan menjadi kerugian. Ia mengklaim hal ini bukan karena Angon melakukan penipuan ataupun salah melakukan pengelolaan uang member.

Diklaim ada oknum peternak wanprestasi (belantik yang mengaku jadi peternak) yang mengakibatkan ternak mengalami masalah dalam pertumbuhan bobot. Kondisi tersebut diperparah adanya penurunan harga jual ternak di pasar.

Agif mengatakan, “Ternak yang telah dibeli oleh member dan rugi sudah menjadi risiko member. Namun karena tipe member Angon berbeda-beda, beragam pula kondisi member Angon dalam menyikapi kejadian ini.”

“Yang paling ekstrem adalah CS Angon sempat ada yang mau bunuh diri akibat tekanan dari beberapa member yang mengalami gagal panen, bahkan rumah mertua saya pun diancam mau dibakar, menelpon dengan kata makian yang sama sekali tidak mau tahu tentang risiko kerugian yang sedang dialaminya dan sama sekali tidak mau memahami penjelasan kami tentang bahwa Angon itu bukan lembaga keuangan atau manajer investasi atau crowdfunding yang mengumpulkan dana masyarakat kemudian menyalurkan pembiayaan kepada peternak,” ujarnya.

Agif melanjutkan, “Platform Angon merupakan marketplace yang coba mendigitalkan proses bisnis beternak. Mitra peternak rakyat itu layaknya pet shop, tempat penitipan hewan ternak saja tanpa bagi hasil. Jika untung 100% hasil diambil oleh member, begitu juga saat rugi 100% ditanggung member, karena member memilih sendiri ternaknya dan lokasi ternaknya. Setelah member membeli ternak di aplikasi Angon, member bisa langsung mengambil ternaknya. Intinya risiko dalam beternak online sama seperti beternak offline. Member perlu bijak dalam menyikapinya.”

Terkait isu Angon membeli kantor di kawasan mewah Semarang juga diklarifikasi tidak benar oleh Agif. Status kantor Angon di Semarang itu sewa bulanan, layaknya sebuah coworking space.

Pengembalian dana

Untuk menyelesaikan masalah gagal panen member, tim Angon mengklaim telah berkomunikasi langsung kepada member secara satu per satu untuk menghindari adanya pihak yang mengaku-ngaku memiliki ternak.

Customer handling Angon saat ini dilakukan melalui sambungan telepon dan WhatsApp pada jam 09.00-17.00 WIB di nomor 081220337376.

Alternatif jalan keluar yang coba ditawarkan tim Angon adalah sebagai berikut:

  • Member dapat melakukan perpanjangan masa perawatan ternak hingga harga membaik (diperkirakan di bulan April-Mei 2019).
  • Bagi pemilik ternak yang ingin menjual ternaknya dengan harga saat ini (dalam kondisi rugi) akan diproses dalam 4-14 hari kerja.
  • Jika member menginginkan refund, Angon mencoba membantu memfasilitasinya dengan mencicil sebanyak 8 kali.

“Dari pengalaman ini kami menyadari tidak semua peternak rakyat amanah dan tidak semua orang juga memahami masalah dari berbagai sisi,” tutup Agif.

Kisruh Startup Investasi Budidaya Angon.id (UPDATED)

Pembaca DailySocial mungkin telah melihat “keributan” di akun media sosial startup investasi budidaya Angon.id mengenai isu tuntutan pengembalian dana yang diminta hampir seluruh investor.

Di kanal Instagram, yang selama ini menjadi kanal utamanya untuk berbagi informasi, pihak Angon.id terakhir kali melakukan pembaruan status pada Oktober 2018.

Sebagai media yang pernah meliput peluncuran dan perkembangan Angon.id, kami merasa perlu mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kami mencoba menghubungi jajaran founder Angon.id, baik melalui ponsel maupun media sosial, namun sama sekali tidak terhubung.

Beberapa staf yang pernah berkomunikasi dengan DailySocial mengatakan mereka mulai meninggalkan posisinya di perusahaan pembiayaan tersebut sejak pertengahan 2018.

Kami kemudian mendapat informasi dari setidaknya dua sumber terpercaya, yang tidak mau disebutkan namanya, tentang apa yang sebenarnya terjadi.

“Fraud”

Menurut sumber kami, isu ini terjadi lantaran ada kesalahan kalkulasi bisnis. Uang yang dihimpun dari investor banyak digunakan untuk belanja operasional dan kebutuhan founder yang sifatnya tidak terlalu mendesak.

Salah satunya digunakan membeli properti yang dijadikan kantor di kawasan yang “cukup mewah” di daerah Semarang. Padahal ada tenggat waktu pengembalian dana investor untuk budidaya ternak dan hasilnya.

Diklaim total kerugian yang dihasilkan mencapai empat miliar Rupiah.

Angon.id merupakan startup hasil inkubasi program Indigo Creative Nation milik Telkom, tepatnya di bawah naungan Jogja Digital Valley.

Memulai debutnya sejak Oktober 2016, startup ini menggabungkan konsep startup investasi (fintech) sekaligus pertanian (agtech). Investor bisa menanamkan duitnya melalui Angon.id untuk membantu memodali peternak, sebelum kemudian mendapatkan bagi hasil jika ternaknya dijual.

“[Sederhananya] manajemen Angon.id melakukan fraud kepada uang investor. Kalau saya bilang kasusnya jadi mirip First Travel [dengan skala yang berbeda]. Manajemen juga sudah ‘bubar’ sejak akhir 2018 lalu,” ujar sumber kami.

Kondisi yang dihadapi tim Angon.id disebut harus diselesaikan manajemennya sendiri, sementara sumber kami mengklaim posisi Telkom hanya sebagai pembina bisnis di tahap awal dan tidak terkait dengan bagaimana startup tersebut dijalankan.

“Komunikasi terakhir dengan Agif [CEO Angon.id Agif Arianto], pihaknya berkomitmen untuk mengembalikan, secara bertahap. Kalau sekarang memang sulit sekali dihubungi.”


Update: CEO Angon.id telah memberikan tanggapannya terhadap isu kisruh dana publik di platform-nya.