Kedai Sayur, Startup Agritech yang Bertumpu pada Kehadiran Tukang Sayur

Tidak ada kebutuhan yang lebih fundamental dibanding kebutuhan pangan. Dengan jumlah penduduk dan luas wilayah yang begitu besar, ekosistem agritech terus berkembang dan memunculkan pemain baru.

Kedai Sayur adalah salah satu agritech yang bertekad mengisi potensi pasar produk segar di Indonesia. Berdiri sejak 2018 dengan CEO & Co-founder Adrian Hernanto, Kedai Sayur berupaya membuat rantai suplai sayur-mayur dari petani ke pedagang jadi lebih efisien.

Dibuat untuk tukang sayur

Melalui jawaban tertulis, Adrian menjelaskan layanan Kedai Sayur menargetkan para tukang sayur. Layanan mereka yang berbasis aplikasi mobile dibuat untuk memudahkan tukang sayur mendapatkan produk segara tanpa repot-repot meninggalkan rumah. Nantinya tukang sayur yang sudah tergabung sebagai mitra dapat memesan produk dari para petani yang sudah bekerja sama dengan Kedai Sayur lalu mengambilnya di lokasi drop-off terdekat.

Hal ini yang membedakan Kedai Sayur dengan agritech lainnya. Beberapa startup lain punya layanan yang menghubungkan langsung antara petani dengan lender seperti halnya iGrow, ritel seperti yang dilakukan TaniHub, atau langsung ke konsumen akhir seperti Chilibeli.

“Perbedaan yang bisa dilihat adalah kami adalah perusahaan startup pertama yang menyasar ke Tukang Sayur. Selain itu, kami bisa masuk untuk semua model bisnis, B2B dan B2C,” tukas Adrian.

Monetisasi

Bisnis Kedai Sayur saat ini memang bersifat B2B. Namun seperti yang Adrian utarakan, mereka akan merambah ke B2C. Ia menargetkan tahun ini mereka sudah bisa meluncurkan platform untuk rumah tangga. “Secepatnya akan dibuka aplikasi khusus untuk end customer yang tentunya tetap melibatkan Tukang Sayur, yang merupakan tujuan utama bisnis Kedai Sayur,” imbuhnya.

Adapun keuntungan yang diambil Kedai Sayur berasal dari selisih harga yang mereka bayarkan kepada petani dengan yang mereka jual ke para tukang sayur. Hal itu dimungkinkan karena mereka membeli hasil panen dalam kuantitas besar sehingga harga beli yang mereka peroleh dan harga jual yang mereka berlakukan dapat bersaing dengan harga di pasar.

Kedai Sayur punya standardisasi produk yang memudahkan mereka menyortir dan mengontrol kualitas produk yang mereka distribusikan ke tukang sayur. Untuk sejumlah produk, mereka memberlakukan penanganan khusus agar kesegaran produk hasil panen tetap terjaga hingga tiba di gudang dan konsumen.

Pendanaan

Sejak berdiri dua tahun lalu, Kedai Sayur tercatat sudah dua kali mengumumkan dua kali mendapat pendanaan. Yang pertama adalah pendanaan awal senilai US$1,3 juta (Rp18,7 miliar dengan kurs saat itu) pada akhir Mei tahun lalu dengan East Ventures yang memimpin babak pendanaan tersebut.

Berselang beberapa bulan kemudian, tepatnya pada Oktober 2019 kemarin, Kedai Sayur mendapat tambahan pendanaan sebesar US$4 juta (Rp57 miliar dengan kurs saat itu). East Ventures kembali memimpin pendanaan tambahan itu dengan sokongan dari SMDV, Triputra Group, dan Multi Persada Nusantara.

Suntikan modal itu mereka pakai untuk menarik lebih banyak tukang sayur dan pedagang sebagai mitra. Sesuai targetnya, Kedai Sayur kini sudah punya lebih dari 5 ribu mitra di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang bergabung di platform mereka, bertambah pesat dibanding pertengahan tahun lalu yang masih sekitar dua ribuan mitra.

Angka itu diperkirakan akan terus tumbuh seiring rencana mereka untuk memperluas jangkauan layanannya. “Juga kami ada target untuk ekspansi ke beberapa kota besar lainnya di Indonesia,” pungkas Adrian.

Application Information Will Show Up Here

Startup Agrotech Chilibeli Terapkan Pendekatan “Social Commerce” dan Pemberdayaan Komunitas

Sektor pertanian di Indonesia memiliki potensi bisnis yang sangat besar. Pun bagi startup digital yang menggarap solusi di bidang tersebut. Namun tantangannya, para inovator akan dihadapkan pada isu-isu dengan karakteristik yang unik. Pemain baru yang mencoba peruntungan adalah Chilibeli, mengangkat konsep pemberdayaan komunitas dipadukan dengan platform social commerce.

Konsep bisnis Chilibeli menjembatani produk segar dari petani (sepertisayur-mayur, buah-buahan dll) dengan konsumen akhir. Yang membedakan dengan kanal e-commerce lainnya, pemesanan dilakukan per komunitas, bukan secara individu. Alex Feng selaku founder & CEO mengungkapkan, pendekatan ini diusung dari kebiasaan masyarakat Indonesia yang gemar berkumpul dan beraktivitas bersama dengan orang lain di sekitar tempat tinggalnya.

Dengan menggunakan model C2M (customer to manufacturer), Alex meyakini cara ini dapat mengakali tantangan menjual produk segar langsung ke tangan pembeli. Ia mengklaim Chilibeli saat ini adalah satu-satunya agritech yang memakai sistem itu di Indonesia.

“Kita harus membuat pemesanan sebelumnya, mengumpulkan permintaan, menginformasikan ke supplier, lalu mengirim produk ke gudang; dan kami akan mengirimnya ke agen. Dengan demikian kita bisa memastikan kesegaran, mendorong efisiensi dan mengurangi kerugian,” imbuh Alex.

Pendanaan dan target

Sebagai platform yang menghubungkan pembeli akhir dengan penyuplai, Chilibeli mengambil keuntungan dari selisih harga yang mereka peroleh. Dengan beragam jenis pangan yang mereka jual, mereka mengakomodir tiga jalur penyuplai yakni petani, pedagang grosir dan pasar.

Dari skema tersebut, pihaknya menargetkan operasional yang selalu profit. Tahun ini mereka menargetkan memperoleh pendapatan US$120 juta atau Rp1,6 triliun.

Soal pendanaan, startup yang berdiri sejak tahun 2019 tersebut kini sudah mengantongi investasi seri A, persisnya pada Desember 2019 dengan nominal US$10 juta atau sekitar Rp137 miliar. Adapun investor yang berpartisipasi meliputi Lightspeed Venture Partners dan Northstar Group. Tak lama lagi, tepatnya kuartal kedua atau ketiga tahun ini, Chilibeli berniat membuka putaran seri B.

Sebelumnya Chilibeli juga masuk dalam program akselerasi Surge yang diinisiasi oleh Sequoia di tahun 2019.

Alex mengatakan visinya menjadi social commerce terbesar di Asia Tenggara untuk produk pertanian. Untuk itu mereka berniat segera melebarkan area pelayanan mereka ke Jawa Timur dan Jawa Tengah, diikuti dengan penambahan fasilitas gudang di sekitarnya. Seperti diketahui sekarang Chilibeli hanya dapat melayani pelanggan di Jakarta dan sekitarnya.

“Tidak ada pemain lain di negeri ini yang memakai sistem komunitas untuk produk segar, tidak ada baik itu B2B ataupun B2C. Kami memberdayakan ibu-ibu dan komunitas dengan mengombinasikan social commerce dan produk segar,” pungkas Alex.

Application Information Will Show Up Here

Ekosis Usung Konsep B2B Marketplace untuk Hubungkan Petani dengan Pebisnis

Di Indonesia sudah banyak startup yang mencari peluang bisnis dengan menghadirkan konsep marketplace, tentunya dengan niche dan pendekatan yang beragam. Satu dari banyak startup itu adalah Ekosis. Dengan konsep marketplace, mereka tengah berusaha menjadi tempat untuk menghubungkan pebisnis mendapatkan berbagai macam produk agribisnis, mulai dari pertanian, kelautan dan perikanan, perkebunan, peternakan, kehutanan, hingga pertambangan.

Ekosis dimulai sejak awal tahun 2019, persisnya pada bulan Maret. Kendati belum genap satu tahun Co-founder & CMO Ekosis Ranggi Muharam mengklaim mereka sudah berhasil menjangkau 15 perusahaan agribisnis, lebih dari 500 petani dan nelayan, dan sudah aktif di 15 kabupaten kota dan 7 provinsi.

“Posisi Ekosis adalah sebagai jembatan yang menghubungan petani dan nelayan dengan perusahaan. Kami bukan sebagai offtaker yang hanya menambah atau memindahkan mata rantai. Petani dan nelayan menjual langsung hasil panen dan produk mereka kepada perusahaan agribisnis melalui platform ekosis,” jelas Ranggi.

Ranggi menambahkan, transaksi dan negosiasi tawar menawar harga terjadi di chat room Ekosis. Dengan fitur ini perusahaan agribisnis dapat langsung menanyakan harga dan ketersediaan barang kepada petani dan nelayan. Startup yang sudah berhasil mendapatkan pendanaan tahap awal ini rencananya akan mengambil komisi untuk setiap transaksi yang terjadi, namun hal tersebut baru akan diimplementasikan di tahun ketiga atau keempat.

Suasana kantor Ekosis / Ekosis

Rantai perdagangan yang lebih efektif

Ranggi kepada DailySocial menceritakan bahwa Ekosis bermula dari cita-cita untuk memangkas rantai perdagangan agar lebih efektif. Mengusung misi menyejahterakan petani dan nelayan dengan membantu mereka mendapatkan harga yang pantas untuk hasil yang mereka dapatkan.

Menurutnya selain petani dan nelayan bisa menjual hasil panen, mereka juga bisa mengetahui kebutuhan perusahaan agribisnis, karena platform Ekosis memungkinkan para perusahaan memberikan informasi kebutuhan mereka untuk. Selanjutnya para petani dan nelayan bisa memberikan penawaran ke perusahaan tersebut.

“Selain itu kami juga menghubungkan penyedia jasa angkutan atau logistik, baik perorangan maupun perusahaan, untuk dapat menawarkan jasa melalui platform Ekosis guna mengangkut hasil panen dari petani atau nelayan ke perusahaan, sehingga mereka tidak lagi kebingungan dalam mengirim hasil panen ke perusahaan. Pemilik layanan angkutan pun bisa aktif mencari dan menawarkan jasa ke petani dan nelayan. Pilihaan layanan jasa angkut beragam, mulai dari darat, laut, maupun udara,” jelas Ranggi.

Ranggi dan timnya cukup optimis karena apa yang mereka hadirkan merupakan solusi dari permasalahan yang dikeluhkan petani dan nelayan di Indonesia. Terlebih lagi mereka telah bekerja sama dengan Kemendesa dan KKP untuk membantu memasarkan produk petani dan nelayan yang tinggal di daerah tertinggal dan pesisir.

“Target kami di tahun 2020, kami akan melakukan grand launching platform Ekosis, dapat memberikan dampak positif dan meningkatkan kesejahteraan kepada lebih dari 20.000 petani dan nelayan di 100 kabupaten dan kota di 15 provinsi Indonesia. Sedangkan target besar kami dalam 5 tahun bisa memberikan manfaat dan membantu 7 juta petani dan nelayan di lebih dari 300 kabupaten dan kota di 32 provinsi Indonesia,” tutup Ranggi.

Application Information Will Show Up Here

Peluang Startup Agritech Selesaikan Isu Manajemen Produk Pertanian

Sektor pertanian selalu menjadi perhatian besar di Indonesia, sebagai negara yang kerap mengklaim dirinya sebagai agraris. Kemunculan startup agritech relatif berhasil mengubah lanskap pertanian meskipun di dalamnya masih terdapat banyak sekali masalah belum terpecahkan.

Dalam #SelasaStartup minggu ketiga November 2019, menghadirkan VP of Product TaniHub Zakka Fauzan Muhammad. Ia mengemukakan seluk-beluk peluang dan tantangan agritech dari sudut pandang manajemen produk (product management).

Tantangan dan kesempatan

Sayur dan buah adalah sumber pangan penting yang menjadi salah satu komoditas utama TaniHub. Salah satu masalah besar menurut Zakka untuk komoditas ini adalah hasil panen dengan kualitas terbaik dari petani lokal masih terbilang sedikit. Diperkirakan hasil panen petani lokal yang memiliki grade A hanya sekitar 10-20%, grade B sekitar 20%, grade C sekitar 30-40%, dan sisanya grade D ke bawah.

“Petani kita ada kecenderungan lebih suka panennya dibeli semua dengan harga murah padahal grade A itu harganya bisa dua kali atau tiga kali lipat dari grade C,” ujar Zakka.

Salah satu penyebab kecilnya hasil panen berkualitas itu terkait pengairan dan pemupukan yang tidak merata. Zakka mengakui teknologi pertanian di sini masih jauh dari mapan sehingga ada kemungkinan pengairan dan pemupukan lahan pertanian tidak merata karena sifatnya yang masih manual.

Tantangan berikutnya, menurut Zakka, adalah memperkirakan angka permintaan konsumen dan hasil panen di sisi lain. Mencari titik temu antara supply dan demand ini adalah pekerjaan besar.

“Ini tantangan untuk product development. Caranya kita bisa lihat data beberapa tahun ke belakang agar bisa meminimalkan demand yang tidak terpenuhi dan supply yang berlebih,” ucapnya.

Zakka menambahkan tantangan lain yang tak kalah sulit adalah menghitung waktu pembusukan hasil panen. Faktor ini bisa berpengaruh besar terhadap distribusi.

Di sisi lain, mereka punya kesempatan mencari tahu waktu pembusukan paling akurat. Jika berhasil mereka bisa menentukan waktu penyimpanan dan pengiriman paling akurat agar produk yang dikirim tak akan lebih dari usia matangnya.

“Belum ada teknologi untuk mengukur kecepatan matang buah atau sayur,” pungkas Zakka.

Menurutnya, TaniHub saat ini memiliki sejumlah aplikasi dengan tujuan penggunaan berbeda. Aplikasi pertama untuk konsumen, yang kedua untuk petani, ketiga untuk tim internal, manajemen gudang, dan terakhir TaniFund.

TaniHub kini diklaim sudah merangkul sekitar 35 ribu petani dengan 800 SKU. Mayoritas produk yang mereka hasilkan antara lain buah, sayur, ikan, ayam, dan beras.

TaniHub Introduces a New Business Unit “TaniSupply”, Focused on Supply Chain

An agri-tech startup, TaniHub Group, introduces TaniSupply (PT Tani Supply Indonesia) focused on solving issues related to the supply chain. The firm was established in September, 19th 2019.

As a sidenote, TaniHub (e-commerce platform), TaniFund (p2p lending), and TaniSupply (supply chain) are operated under TaniHub Group. Each of them is working on different focuses with different regulators, yet one vision to accelerate a positive impact on the agriculture industry.

TaniSupply Director, Vincentius Sariyo explained the maneuver under its own entity will be more aggressive in order to develop supply chain business in agriculture. In fact, the license of TaniSupply stands under a different department with TaniFund (Financial) and TaniHub (Communication and Informatics).

In the warehouse, TaniSupply team makes purchasing from farmers. Next, the grading process for fruit and vegetables, measuring sweetness, quality control (QC), and quality assurance (QA). Lastly, a logistics team to ensure product quality until it’s safely delivered to the customers.

“We’re now in the middle, we have TaniHub upfront and TaniHub in the back for online distribution. TaniSupply will take care of purchasing from farmers, and the function of a chain, warehouse, last-mile delivery, quality control, and others,” Sariyo explained on Wed (11/20).

The current warehouses are installed with a certain-standard cooler to keep the product from deteriorating. Warehouses can also be used, in terms of rent, by other parties to store food products for a certain period of time.

Investment in storage machines such as blast freezers will also be prepared to complement market needs. He even mentioned that TaniSupply is applying for certification for ISO 22000 related to food safety and halal warehouses. It is also possible to export to neighboring countries.

As a result, plans are to be developed from TaniSupply in the future, not only for the ecosystem within the group but also for the sustainability of the overall agricultural ecosystem.

The distribution of the TaniSupply warehouse will be focused outside of Java for the more integrated agricultural ecosystem. This includes shortening the distribution chain from farmers before being distributed to consumers.

To date, the company has some warehouses or distribution centers located in four cities (Bogor, Bandung, Yogyakarta, and Surabaya) and some other locations.

TaniSupply is targeting more locations around Bali, Sulawesi, and Balikpapan. The latest one will be located in Cikarang for 10 thousand square meters.

“In 2021, we’re to open new locations in all over the cities throughout Indonesia.”

Last-year issues with the agriculture supply chain in Indonesia

TaniSupply Director Vincentius Sariyo / TaniHub Group
TaniSupply Director Vincentius Sariyo / TaniHub Group

Sariyo explained the first initiative in building TaniSupply is to create an end-to-end agriculture ecosystem. There are more issues on the field to be solved with technology.

Each business unit from TaniGroup has different issues with a red needle to improve the agriculture technology that is currently a mess.

All this time, there’s always been a mismatch in the composition of supply and demand in agriculture. It is due to the crops in different grades, not every off-taker (buyers, including middlemen) wants.

The rest of the low-rated crops forced to be sold way cheaper than the cost of goods sold (COGS). This is causing a loss for the farmers. Many more issues come from the old paradigm that imprisons local farmers, making it very difficult for them to grow.

TaniHub is said to cultivate 35 thousand farmers and agri-communities, providing 800 business certificates more or less. The majority of goods are fruits, vegetables, fish, chicken, eggs, and rice. Only, 90% of those are trading farmers or free trade.

“In order to fulfill the demand for TaniHub, 90% comes from trading farmers. Only 10% comes from TaniFund, so they [TaniFund] still have a lot of homework to do,” TaniHub’s VP of Corporate Services, Astri Purnamasari said.

The offline sales on TaniHub still leading with 80% than the offline service. Most of the offline consumers are supermarkets, Horeca, F&B industries, retails, and startups.

“Previously, TaniHub was directly focused on B2C through an application. As time goes on without scale-up, we finally switch to B2B.”

The company also distributes some private label to the offline partners. For example, SommerVille for fruit-only goods; VIS for fish products; Fowler for chicken, duck, and eggs; GoldFarm for organic vegetables; and Lentik for rice.

With TaniSupply, TaniHub Group is tightening its position as the end-to-end agri-tech service. To date, there is no agri-tech player to serve end-to-end service in the agricultural ecosystem.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

TaniHub Kenalkan Unit Bisnis Barunya “TaniSupply”, Khusus Tangani Rantai Pasokan

Startup agritech TaniHub Group memperkenalkan TaniSupply (PT Tani Supply Indonesia) yang bergerak khusus mengatasi isu di rantai pasokan. Perusahaan baru berdiri secara resmi pada 19 September 2019.

Sebagai catatan, TaniHub (platform e-commerce), TaniFund (p2p lending), dan TaniSupply (supply chain) bernaung di bawah agritech TaniHub Group. Ketiganya bergerak di bidang yang berbeda dengan regulator yang berbeda pula, namun dengan satu visi mempercepat dampak positif dalam pertanian.

Direktur TaniSupply Vincentius Sariyo menjelaskan, manuvernya di bawah entitas sendiri akan jauh lebih agresif dalam mengembangkan bisnis rantai pasokan pertanian. Pasalnya, izin usaha dari TaniSupply ini berdiri di bawah payung kementerian yang berbeda dengan TaniFund (OJK) dan TaniHub (Kemenkominfo).

Di gudang, tim TaniSupply melakukan proses pembelian dari petani. Lalu memroses grading buah dan sayur, mengukur tingkat kemanisan, melakukan quality control (QC), dan quality assurance (QC). Terakhir, ada tim logistik untuk mengunci kualitas produk yang sampai ke tangan pelanggan tetap terjaga.

“Kita ada di tengah-tengah, di depan ada TaniFund dan di belakang kita ada TaniHub untuk channel penjualan online-nya. TaniSupply akan mengurus pembelian dari petani, ada fungsi chain, gudang, last mile delivery, quality control, dan lainnya,” terang Sariyo, Rabu (20/11).

Saat ini gudang perusahaan diinstalasi dengan pendingin berstandar khusus untuk menjaga produk agar tidak mengalami penurunan kualitas. Gudang juga bisa dipakai, dalam artian sewa, oleh pihak lain untuk menyimpan produk makanan untuk jangka waktu tertentu.

Investasi mesin penyimpanan seperti blast freezer juga bakal disiapkan untuk melengkapi kebutuhan pasar. Bahkan dia menyebut TaniSupply sedang mengajukan sertifikasi untuk ISO 22000 terkait keamanan pangan dan gudang halal. Terbuka juga kemungkinan untuk ekspor ke negara tetangga.

Alhasil, banyak rencana yang bisa dikembangkan dari TaniSupply ke depannya, tidak hanya untuk ekosistem di dalam grup saja, juga buat keberlangsungan ekosistem pertanian secara keseluruhan.

Persebaran gudang TaniSupply akan difokuskan ke luar Jawa untuk perkuat ekosistem pertanian agar semakin terintegrasi. Termasuk di antaranya untuk persingkat rantai distribusi dari petani sebelum didistribusikan ke konsumen.

Saat ini perusahaan memiliki gudang atau distribution center yang terletak di empat kota (Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya), serta sejumlah titik distribusi di berbagai area.

Lokasi tambahan yang akan disasar TaniSupply di antaranya Bali, Sulawesi, dan Balikpapan. Gudang terbaru TaniSupply akan berada di Cikarang seluas 10 ribu meter persegi.

“Tahun 2021 kami targetkan hadir di seluruh kota di seluruh Indonesia.”

Isu lama soal rantai pasokan di pertanian Indonesia

Direktur TaniSupply Vincentius Sariyo / TaniHub Group
Direktur TaniSupply Vincentius Sariyo / TaniHub Group

Sariyo menjelaskan inisiasi mendirikan TaniSupply sebenarnya karena keinginan untuk membentuk ekosistem pertanian yang menyeluruh dari hulu ke hilir. Masih banyak isu di lapangan yang bisa diselesaikan dengan teknologi.

Masing-masing unit bisnis dari TaniGroup memiliki permasalahan berbeda dan punya benang merahnya, ingin memperbaiki ekosistem pertanian yang hingga kini belum tertata rapi.

Selama ini komposisi antara supply dan demand di pertanian selalu ada mismatch. Lantaran, hasil tani yang terbagi ke dalam beberapa grade, tidak semuanya mau diserap oleh off taker (pembeli, salah satunya tengkulak).

Hasil tani sisaan dengan grade rendah akhirnya terpaksa dijual jauh dari harga pokok penjualan (HPP). Kondisi ini tentunya membuat petani merugi. Masih banyak isu lainnya yang berkaitan dengan paradigma lama yang masih mengekang petani lokal, sehingga sulit untuk berkembang.

TaniHub terhitung telah membina sekitar 35 ribu petani dan kelompok tani, menyediakan sekitar 800 SKU. Mayoritas adalah buah-buahan, sayur, ikan, ayam, telur, dan beras. Hanya saja, 90% dari petani ini adalah petani trading atau jual lepas.

“Untuk memenuhi demand di TaniHub, 90% disuplai oleh petani trading. Baru 10% datang dari TaniFund, jadi PR-nya di TaniFund masih banyak,” tambah VP of Corporate Services TaniHub Astri Purnamasari.

Penjualan offline lewat TaniHub masih mendominasi sekitar 80%, ketimbang jalur online. Mayoritas konsumen di offline ini adalah supermarket, Horeca, industri F&B, peritel, hingga startup.

“Awalnya bisnis TaniHub itu, diarahkan ke B2C via aplikasi. Tapi seiring waktu tidak scale up, akhirnya kita switch ke B2B.”

Perusahaan mendistribusikan beberapa private label saat mendistribusikan ke mitra offline. Misalnya, SommerVille untuk brand khusus buah; VIS untuk produk ikan; Fowler untuk daging ayam, bebek, dan telur; GoldFarm untuk sayur organik; dan Lentik untuk beras.

Dengan kehadiran TaniSupply, TaniHub Group makin memantapkan diri sebagai layanan agritech end-to-end. Sejauh ini, kebanyakan pemain agritech belum ada yang bermain dari hulu ke hilir dalam ekosistem pertanian.

Application Information Will Show Up Here

Memahami Istilah-istilah Teknis dalam Bisnis dan Produk Startup Digital

Melanjutkan pembahasan mengenai istilah yang sering digunakan dalam perbincangan bertema startup, kali ini DailySocial mencoba mengupas terkait kategori bisnis startup yang banyak dikembangkan di Indonesia. Juga varian teknologi yang sering dijadikan jargon dalam produk atau layanan startup digital.

Didasarkan pada sektor bisnis yang digarap, startup dikelompokkan ke dalam beberapa kategori bisnis berikut ini:

  • Agtech (Agriculture Technology); juga sering disebut agrotech, yakni sebutan bagi startup yang mengembangkan solusi di bidang pertanian. Produk untuk peternakan dan kelautan juga kerap dimasukkan ke dalam kategori ini – kendati sempat muncul istilah aquatech namun tidak begitu populer. Bentuk layanannya bermacam-macam, ada yang menawarkan sistem manajemen, pemantauan, penjualan, hingga pendanaan. Contoh startup: Aruna, Eden Farm, TaniHub, dll.
  • E-commerce; kategori pelaku usaha yang berkaitan dengan sektor niaga. Online marketplace juga bisa dimasukkan dalam kategori ini, walaupun ditinjau dari proses bisnis sering dianggap berbeda. E-commerce identik dengan B2C – brand menjual produk ke konsumen, sementara online marketplace identik dengan C2C – konsumen bertindak sebagai penjual dan pembeli. Seiring perkembangannya, platform seperti Tokopedia, Shopee dll mengakomodasi dua model tersebut.
  • Edtech (Education Technology); juga sering disebut edutech, adalah istilah untuk startup yang menggarap solusi seputar edukasi, baik untuk jenjang formal maupun non-formal. Varian layanannya meliputi materi digital, kursus online, hingga pencarian guru belajar. Contoh startup: Bensmart, Ruangguru, Zenius, dll.
  • Fintech (Financial Technology); yakni istilah untuk startup yang memberikan layanan keuangan digital. Jenis produknya mencakup pinjaman online, dompet digital, platform pembayaran, aplikasi investasi, dan urun dana. Di Indonesia setiap pemain fintech wajib terdaftar di Bank Indonesia dan/atau Otoritas Jasa Keuangan. Contoh startup: Bibit, Dana, Modalku, dll.
  • Healthtech (Health Technology); sering juga disebut medtech (medical technology) dan baru-baru ini mencuat istilah wellness, yakni produk startup yang menyasar pada layanan kesehatan dan pemenuhan gaya hidup sehat, seperti konsultasi dokter online, pembelian obat, pemesanan antrean klinik kesehatan, hingga perangkat lunak manajemen untuk institusi kesehatan. Contoh startup: Halodoc, Medigo, SehatQ, dll.
  • Insurtech (Insurance Technology); merupakan bisnis yang coba mendigitalkan manajemen produk asuransi, bentuknya berupa kanal informasi dan perbandingan produk, pemesanan layanan, hingga klaim asuransi. Contoh startup: Premiro, Qoala, Futuready, dll.
  • Legaltech (Legal Technology); beberapa sering menyebut lawtech (law technology), yakni produk startup digital yang meningkatkan akses, kemudahan, dan efisiensi penyelenggaraan jasa hukum, baik bagi masyarakat dan pemberi layanan termasuk advokat dan paralegal. Selain itu ada juga regtech (regulatory technology) sebagai segmen startup digital yang memberikan akses, meningkatkan kemudahan, dan efisiensi pelaku usaha untuk mematuhi berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.. Contoh startup: PrivyID, Justika, Lexar, dll.
  • Loyalty Platform; layanan startup yang memfasilitasi sistem keanggotaan untuk meningkatkan loyalitas pelanggan sebuah merek atau bisnis. Biasanya mencatat total transaksi pengguna untuk brand tertentu, lalu mengkonversinya menjadi poin yang dapat ditukarkan dengan hadiah. Contoh startup: GetPlus, Tada, Pomona dll.
  • New Retail; sering disebut juga dengan istilah online-to-offline (O2O), yakni startup yang mentransformasi ritel tradisional dengan sentuhan teknologi tanpa menghilangkan model bisnis yang sudah ada. Misalnya melengkapi toko kelontong dengan produk-produk dari e-commerce atau memfasilitasi toko ritel dengan aplikasi yang meningkatkan pengalaman belanja. Contoh: Kopi Kenangan, Warung Pintar, Wahyoo dll.
  • On-Demand; yakni startup yang mengemas jasa pemesanan suatu layanan melalui aplikasi. Misalnya layanan pemesanan dan pengantar makanan, layanan pemesanan jasa cuci baju, dan sebagainya. Contoh startup: Sejasa, Mr Jeff, Kulina, dll.
  • OTA (Online Travel Agency); yakni startup yang menyediakan produk akomodasi perjalanan melalui aplikasi, termasuk tiket perjalanan, hotel, dan pertunjukan di tempat wisata. Contoh: Airy, Tiket.com, Traveloka, dll.
  • POS (Point of Sales); yakni startup yang menyediakan produk pendukung bisnis ritel, membantu mencatat transaksi dan mengelola alur kas. Contoh: Cashlez, Moka, Qasir, dll.
  • Proptech (Property Technology); merupakan startup yang menyediakan layanan digital di seputar bisnis properti, dapat berbentuk kanal konsultasi, layanan jual beli, layanan sewa, dan lain-lain. Contoh startup: Travelio, Rumah123, 99.co, dll.
  • Ride Hailing; startup yang menyediakan aplikasi untuk pemesanan jasa transportasi. Contoh: Bonceng, Gojek, Grab, dll.

Namun demikian, kadang satu menerapkan model bisnis yang mengombinasikan beberapa kategori di atas. Contohnya yang dilakukan iGrow, mereka adalah startup pertanian (agtech) yang menyajikan layanan melalui mekanisme fintech. Atau 99.co, menyajikan layanan proptech melalui pendekatan berbasis marketplace.

Produk teknologi startup

Selain kategori bisnis, ada cukup banyak terminologi yang kini mengemuka terkait produk teknologi yang digarap startup. Berikut beberapa yang populer di Indonesia:

  • AI (Artificial Intelligence); diterjemahkan menjadi kecerdasan buatan, ialah mekanisme untuk membuat sistem komputer bekerja cerdas seperti manusia. Sistem diprogram agar mampu membuat keputusan secara mandiri dengan mempelajari pola aktivitas dan data yang terekam sebelumnya. Contoh cara kerjanya seperti ini, misalnya AI yang diterapkan pada fitur rekomendasi di aplikasi e-commerce. Program AI akan mengamati tingkah laku pengguna dalam periode tertentu, mencatat perilaku dominan dari pengguna – misalnya pengguna X lebih suka barang bermerek alih-alih mementingkan harga, sehingga ketika nantinya pengguna kembali menggunakan aplikasi dan mencari sesuatu, sistem akan merekomendasikan barang-barang terkait didasarkan pada popularitas merek, sehingga lebih sesuai dan membuat pengguna merasa terbantu. Istilah “automation” juga sering disematkan dalam produk digital, pada dasarnya itu merupakan proses dan mekanisme kerja yang dihasilkan AI.
  • AR (Augmented Reality) dan VR (Virtual Reality); istilah ini mengacu pada konten virtual, keduanya memiliki cara kerja yang berbeda. AR adalah konten virtual yang dikombinasikan dengan realitas memanfaatkan perangkat penangkap gambar (kamera). Contohnya aplikasi desain interior yang banyak beredar di Playstore atau App Store, melalui ponsel pengguna bisa menyimulasikan penempatan perabotan di rumah – perabotnya adalah objek 3D virtual, sementara tempatnya merupakan gambaran nyata dan real-time dari tangkapan kamera. Aplikasi Pokemon-Go yang sempat populer juga menggunakan pendekatan ini. Sementara VR merupakan konten yang sepenuhnya realitas virtual yang disuguhkan kepada pengguna untuk menyuguhkan sesuatu. Misalnya untuk membuat pengguna merasakan pengalaman berada di dunia permainan – sehingga membutuhkan perangkat tambahan.
  • Big data; yakni pemrosesan data dalam jumlah yang besar, biasanya dihimpun dari pemrosesan terus menerus tanpa henti, misalnya dari aktivitas pengguna di media sosial; di dalamnya termasuk kegiatan pengambilan, pemilahan, pembelajaran, penerjemahan, hingga visualisasi data. Salah satu terminologi turunan yang juga populer adalah data analytics (kegiatan analisis dari hasil pemrosesan data, biasanya setelah divisualisasikan) dan data science (ilmu yang khusus mempelajari pengelolaan data).
  • Blockchain; yakni sebuah sistem revolusioner yang menghubungkan antarjaringan komputer secara terdesentralisasi dan terdistribusi. Maksudnya seperti ini, dengan mekanisme blockchain transaksi data dapat dilakukan secara langsung – sesederhana si A dapat langsung mengirimkan sesuatu ke si B tanpa perantara. Dikatakan revolusioner karena sejauh ini memang kebanyakan sistem masih tersentralisasi. Sebagai contoh saat mengirimkan pesan melalui aplikasi, dalam proses yang lebih detail, pesan itu tidak langsung sampai ke penerima, namun harus melewati server aplikasi lalu disampaikan ke penerima, sehingga pada dasarnya pesan tersebut jadi ada beberapa salinan – di perangkat pengirim, di server aplikasi, dan di perangkat penerima. Blockchain berusaha mengubah semua itu, tidak ada lagi penerima dan tidak ada lagi duplikasi, pesan yang dikirimkan benar-benar berpindah dari pengirim ke penerima – layaknya saat orang memberikan benda fisik kepada orang lain, benda tersebut sepenuhnya berpindah.
  • Chatbot; sering disebut juga sebagai asisten virtual, yakni salah satu produk kecerdasan buatan yang diterapkan pada aplikasi pesan, memungkinkan komputer untuk memahami dan menjawab setiap pesan yang dikirimkan. Biasanya diintegrasikan dengan aplikasi bisnis yang dimiliki perusahaan pengembang, agar dapat melakukan aksi secara otomatis.
  • IoT (Internet of Things); merupakan konsep konektivitas antar perangkat melalui sambungkan internet. Contoh penerapannya seperti yang dilakukan dalam produk eFishery, mereka mengembangkan perangkat pakan ikan yang dilengkapi dengan sensor. Sensor tersebut bertugas melakukan transmisi data dan mengoperasikan perangkat. Terhubung melalui konektivitas internet, pengguna dapat memantau dan mengontrol kinerjanya melalui aplikasi khusus.
  • Machine Learning; merupakan salah satu komponen terpenting AI, yakni algoritma komputer untuk mempelajari data, mengenali pola, dan membuat model berdasarkan data historis.
  • NLP (Natural Language Processing); merupakan salah satu produk AI, bekerja dengan machine learning untuk membantu komputer untuk menganalisis, memahami, dan memperoleh makna dari bahasa manusia. Layanan chatbot memanfaatkan NLP dalam kienrjanya.
  • SaaS, PaaS, dan … as a Services lainnya; yakni jenis aplikasi atau platform berbasis internet yang dapat digunakan secara cepat dengan konfigurasi sederhana. Misalnya Software as a Services (SaaS) untuk aplikasi kasir, memungkinkan pengguna memiliki sistem manajemen toko tanpa harus mengembangkan sendiri, menginstal di perangkat secara manual, dan menyediakan server untuk penyimpanan data. Atau Infrastructure as a Services untuk sistem server, memungkinkan pengembang membuat dan mengelola server tanpa harus membeli perangkat komputer dan memasang sistem operasi secara manual. Biaya berlangganannya juga fleksibel, bergantung intensitas penggunaan.

Konferensi tentang Digitalisasi di Sektor Pertanian Digelar Akhir Bulan Ini

Sebuah acara bertajuk “The Smart & Digitalization Farming Conference Indonesia 2019” akan segera digelar pada 25 September 2019 nanti. Bertempat di DoubleTree by Hilton Jakarta, beragam sesi dihadirkan mengangkat tema mengenai konsep cerdas dan digital di sektor pertanian.

Tidak hanya soal penerapan teknologi untuk membantu produktivitas petani, diskusi juga akan diisi oleh pembahasan mengenai transformasi rantai pasokan dan inovasi terkini dalam agrobisnis. Para peserta juga akan dimanjakan penampilan produk dari para mitra di sesi pameran.

Rahmad Syakib selaku Operations Officer dari Agribusiness of International Finance Corporation/IFC (World Bank Group) akan turut hadir dalam acara ini. Bersama dengan CTO Dattabot & HARA Imron Zuhri, ia akan berdiskusi tentang transformasi agrotech di Indonesia.

Delegasi dari Big Idea Ventures, yakni Qaynat Sharma, juga akan hadir mempresentasikan studi kasus tentang peningkatan peminat makanan nabati dan daging segar secara global. Termasuk membahas tentang dampak tren tersebut pada konsumen dan peluang investasi agro.

Selain itu masih ada tema lain yang akan disampaikan, termasuk kiat membangun kemitraan untuk peningkatan bisnis pertanian digital, hingga bagaimana petani milenial menjadi unjung tombak agrikultur di Indonesia.

Agenda selengkapnya beserta tata cara pendaftaran dapat disimak melalui situs resminya: http://www.smartdigitalizationfarming.com.

Smart & Digitalization Farming Conference Jakarta

Disclosure: DailySocial merupakan media partner acara konferensi ini

Startup Agrotech JALA Terima Pendanaan 8 Miliar Rupiah dari 500 Startups

JALA Tech, startup yang menghadirkan solusi teknologi untuk mengoptimalkan produktivitas petani udang di Indonesia berhasil mengamankan pendanaan putaran awal dari 500 Startups sebesar Rp8 miliar. Selanjutnya, startup yang juga lulusan program Hatch Aquaculture Accelerator ini merencanakan untuk diversifikasi produk mereka dengan mengembangkan sejumlah produk baru.

CEO JALA Liris Maduningtyas kepada DailySocial menceritakan, saat ini mereka menyediakan platform budidaya untuk petambak udang. Mereka mengembangkan layanan untuk memantau kualitas air secara real time, memprediksi pertumbuhan udang, dan estimasi hasil budidaya.

Saat ini JALA juga tengah mengembangkan dan memproduksi perangkat IoT (Internet of Things) untuk monitoring kualitas air. Semua solusi yang ditawarkan kepada pengguna/pemilik tambak dalam skema berlangganan.

“Untuk pendanaan, selain untuk hiring resources untuk mengembangkan produk kami dan memasarkannya, kita juga gunakan untuk memproduksi alat IoT. Setelah pendanaan, kita melakukan pengembangan dan produksi alat, pemasaran ke seluruh Indonesia, terutama Lampung, Jawa, Bali, dan Lombok,” jelas Liris.

Sementara itu pihak 500 Startups melalui Managing Partner of 500 Startups Khailee Ng menjelaskan bahwa mereka melihat peluang yang cukup besar bagi JALA untuk membantu meningkatkan produktivitas para petani udang. Terutama untuk memenuhi permintaan yang terus tumbuh.

“Semua orang tahu tentang kelas menengah yang tengah berkembang, terutama di sini, di Indonesia. Mereka berkembang lebih cepat daripada apa yang bisa diberikan petani kepada mereka. Inilah sebabnya kami berinvestasi dalam startup agrotech terkemuka seperti JALA. Kami perlu memanfatkan teknologi hingga [menumbuhkan] 100x produktivitas petani yang ada untuk memberi makan dunia,” terang Khailee Ng.

Untuk saat ini startup yang berkantor di Yogyakarta tengah fokus pada petumbuhan bisnis dan layanannya. Beberapa fokus mereka saat ini antara lain, pertumbuhan pasar, retention rate, dan beberapa target yang tengah dicapai. Sedangkan untuk target, JALA menargetkan untuk bisa digunakan di kolam-kolam tambak udang di Asia Tenggara.

“Saat ini target JALA adalah 20 ribu kolam tambak udang di Asia Tenggara menggunakan teknologi dan solusi dari JALA, kemudian mengembangkan beberapa produk lain untuk membantu petambak udang,” jelas liris.

Startup Pertanian Eden Farm Dapatkan Pendanaan Awal 24,8 Miliar Rupiah

Eden Farm adalah startup agrotech yang coba menghadirkan layanan distribusi produk sayur segar di restoran dan cafe. Platform yang mereka bangun menghubungkan secara langsung petani dengan pemilik bisnis. Guna mengakselerasi bisnisnya, belum lama ini mereka membukukan pendanaan baru dari Global Founders Capital untuk meningkatkan seed round senilai $1,7 juta lebih (setara 24,8 miliar Rupiah).

Sebelumnya startup yang digawangi oleh David Gunawan ini juga telah mendapatkan partisipasi pendanaan dalam tahap yang sama melalui program Y Combinator, dengan keterlibatan Everhaus, Soma Capital, S7 Venture dan sejumlah angel investor. Saat ini The Duck King, Cruchchaus Salads, OldTown White Coffe, Crystal Jade hingga Gyu-Kaku jadi beberapa nama yang sudah menjadi pelanggan Eden Farm.

Selain sayuran –yang berasal dari kebun petani tradisional dan hidroponik—dan buah segar, mereka juga melayani pemesanan makanan kering dan bumbu dapur. Ke depan juga akan melayani pembelian daging dan ikan dari peternak. Melayani secara end-to-end, selain jaminan kualitas dan harga yang dinilai lebih stabil, Eden Farm turut sajikan jasa pengantaran.

Didirikan sejak 2017, saat ini sudah melayani gerai-gerai di seputaran Jabodetabek. Sudah ada sekitar 60 mitra petani yang menjadi pemasok barang dagangan. Eden Farm meyakini, bahwa dengan solusinya permasalahan pebisnis kuliner selama ini –pasokan, stabilitas dan volatilitas harga yang ekstrem—dapat disiasati.

Mengenai strategi untuk menjamin stabilitas harga, selain mengambil langsung barang dari petani, mereka juga mengaplikasikan pembelian produk secara grosir. Kontrol kualitas selalu diterapkan, sebelum dikirim tim akan memeriksa dan mencuci produk tersebut. Menariknya, Eden Farm siap menampung jika ada produk yang sudah diantar dan tidak bisa digunakan.

Ekspansi juga akan menjadi fokus setelah pendanaan ini. Rencananya mereka akan segera hadir di Bali, Bandung, Malang, Medan dan Surabaya; dengan target ambisius merangkul 25 ribu restoran –termasuk yang berskala UKM.

Application Information Will Show Up Here