Pitik Dapat Pendanaan Seri A 206 Miliar Rupiah Dipimpin Alpha JWC Ventures

Startup pengembang inovasi teknologi peternakan “Pitik” hari ini (19/5) mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $14 juta atau setara 206 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Alpha JWC Ventures dengan partisipasi dari investor sebelumnya, yakni MDI Ventures dan Wavemaker Partners.

Seperti diberitakan sebelumnya, Pitik resmi meluncur pada pertengahan 2021 diprakarsai oleh Arief Witjaksono dan Rymax Joehan. Mereka berambisi menghadirkan solusi teknologi end-to-end memberdayakan peternak unggas di Indonesia. Termasuk menghadirkan kemudahan dari sisi pembiayaan dan efisiensi rantai pasok.

Dengan dana segar yang dibukukan ini, Pitik akan memperluas ekosistem layanannya ke lebih banyak peternak ayam di Indonesia. Termasuk dengan memperkuat tim di seluruh divisi yang ada.

Selain itu, Pitik akan terus mengembangkan teknologi canggih dan produk automasi yang akan meningkatkan produktivitas pertanian lebih jauh. Perusahaan juga menargetkan membangun kehadiran di seluruh wilayah Jawa tahun ini dan memperluas ke pulau-pulau lain pada tahun 2023. Perusahaan juga akan memperluas bisnisnya ke layanan hilir seperti pemrosesan dan distribusi ke pengguna akhir.

Permasalahan di peternakan unggas

Sektor peternakan di Indonesia memiliki nilai ekonomi yang sangat besar. Menurut data, konsumsi daging ayam pada 2020 mencapai 7,9 kg per kapita, setara 3,5 juta kg per tahun. Diproyeksikan akan terus meningkat hingga 9,32 kilogram per kapita pada tahun 2029.

Kendati demikian, Pitik masih melihat adanya inefisiensi dalam sistem produksi dan rantai pasok produk ayam segar. Sistem produksi yang buruk dinilai mengakibatkan tingkat kematian unggas nasional 5-8x lebih tinggi dari rata-rata global. Sementara manajemen yang buruk membuat kebocoran pendapatan tahunan hingga 2 miliar Rupiah di tiap peternakan.

Solusi yang dihadirkan Pitik berupa platform manajemen peternakan. Perangkat lunak tersebut turut terhubung dengan sensor berbasis IoT yang diterapkan di kandang — menghasilkan model smart farming. Sehingga peternak bisa melakukan pemantauan lebih akurat terkait kondisi kandang dan perkembangan unggasnya.

Perangkat IoT Box Pitik yang dipasang di peternakan / Pitik

Di sisi lain, platform juga mendemokratisasi layanan pasok, menghubungkan petani dengan mitra terpercaya untuk menjual hasil panennya. Layanan pembiayaan turut dihadirkan untuk meningkatkan kapabilitas bisnis petani — data-data yang dihasilkan dianalisis sebagai potensi ternak untuk menghasilkan skoring kredit yang lebih kredibel.

Berdasarkan data terbaru, pemanfaatan layanan tersebut oleh Kawan Pitik (sebutan untuk mitra petani) diklaim bisa menekan angka kematian hingga 50% dan meningkatkan rasio konversi pakan 12% dibandingkan rata-rata nasional, yang akhirnya meningkatkan pendapatan mereka.

Dalam 6 bulan terakhir, Pitik telah meningkatkan ukuran jaringan pertaniannya lebih dari 10x lipat melalui kemitraan dengan ratusan petani di 53 kabupaten di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dari jaringan peternak ini, Pitik saat ini menjual lebih dari 16 juta ekor ayam per tahun.

“Kami telah membuktikan bahwa teknologi kami efektif dalam membantu petani meningkatkan hasil panen mereka dan ekosistem kami mampu memberikan layanan bernilai tambah bagi petani. Impian besar kami adalah memberdayakan semua peternak unggas di Indonesia melalui layanan terpadu kami dan memastikan kami dapat meningkatkan taraf hidup mereka,” kata Co-Founder & CEO Pitik Arief Witjaksono.

Pertumbuhan startup di bidang peternakan

Di tengah potensi Indonesia sebagai penghasil ternak, beberapa startup hadir memunculkan solusi inovatif. Baik untuk membantu petambak udang, ikan, hingga peternak unggas. Selain Pitik, ada pemain lain yang juga mencoba membantu efisienkan proses bisnis di peternakan ayam, salah satunya Chickin. Berawal dari sebuah B2B commerce daging ayam untuk horeka, kini mereka turut kembangkan teknologi IoT untuk optimalkan manajemen kandang.

Tentu ini menjadi angin segar untuk para pelaku bisnis. Dari banyak riset yang dilakukan, mereka memang masih menghadapi banyak isu klasik. Seperti akses ke modal dan input produksi, masalah produksi (seperti inefisiensi pakan, penyakit, kualitas benih dan teknologi budidaya), dan masalah pasca produksi (seperti harga di tingkat petani yang rendah karena rantai pasokan yang panjang). Hal tambahan lainnya, seperti infrastruktur dan kebijakan yang tidak tepat, juga menjadi tantangan.

Harapannya, tentu adanya teknologi pendukung ini benar-benar bisa mendemokratisasi model bisnis yang ada. Dengan tujuan akhir meningkatkan kualitas hasil ternak dan pemasukan dari para peternak. Di samping untuk memastikan supply dari pasar terpenuhi dengan baik dari produsen dalam negeri.

“Kami telah membuka peluang bisnis hulu di bidang peternakan unggas. Memperluas ke hilir berarti kami dapat membantu petani mengekstraksi margin yang lebih tinggi dari rantai nilai. Ini selaras dengan misi kami untuk menjadi mitra petani di semua titik perjalanan pertanian,” kata Co-Founder & COO Pitik Rymax Joehana.

Ia melanjutkan, “Tidak hanya itu, ini juga berarti kami dapat menyediakan ayam yang lebih sehat dan berkualitas tinggi untuk konsumen Indonesia karena produk yang dijual oleh Pitik bersumber dari jaringan petani kami dengan standar kontrol kualitas dan pemantauan produk yang paling ketat.”

Application Information Will Show Up Here

Masih Berkondisi “Stealth”, Honest Bank Dikabarkan Telah Bervaluasi Centaur

Masih dalam mode “stealth”, startup digitalopen banking Honest Bank dikabarkan telah mencapai valuasi sekitar $200 juta. Hal ini ditopang dengan pendanaan yang terus mengalir.

Menurut data yang disetor ke regulator, terakhir pada April 2022 ini sejumlah investor turut menambah pundi-pundi modal lebih dari $10,4 juta, di antaranya XYZ Capital, Digital Horizon, Alumni Ventures, dan sejumlah nama lainnya.

Sebelumnya, di tahap seed Honest Bank mendapatkan dukungan dalam XYZ Capital dan Village Global senilai hampir $3 juta. Kemudian dilanjutkan pendanaan seri A senilai hampir $23 juta dari Insignia, Global Founder Capital, Alpha JWC Ventures, dan beberapa lainnya. Jika ditotal dana ekuitas yang berhasil dibukukan sejauh ini hampir $37 juta.

Sementara itu, sampai saat ini produk atau layanan Honest Bank masih belum diluncurkan ke publik. Namun diketahui, perusahaan berbasis di Singapura itu memiliki misi untuk menawarkan platform keuangan yang bisa memberikan akses layanan perbankan yang adil kepada masyarakat di Asia Tenggara.

Startup ini mulai diinisiasi sejak 2019 oleh Peter Panas dan Will Ongkowidjaja. Will sendiri adalah salah satu Founding Partner dari Alpha JWC Ventures.

Indonesia jadi prioritas pasar

Awal tahun ini, Honest Bank mengakuisisi mayoritas saham (71,2%) dari PT Sahabat Finansial Keluarga (SFK). SFK adalah perusahaan pembiayaan yang dimiliki PT Bank Permata Tbk.

Berdasarkan keterbukaan di BEI, nilai akuisisi ini 241 miliar Rupiah. Disampaikan oleh Direktur Bank Permata Chalit Tayjasanant, akuisisi diharapkan bisa memperkuat lini pembiayaan konsumen dan produk keuangan inovatif SFK.

Selain terkait akuisisi SFK, sinyal rencana menjadikan Indonesia sebagai pasar debut mereka, saat ini perusahaan tengah melakukan perekrutan sejumlah posisi untuk ditempatkan di Jakarta.

Selain Indonesia, Thailand juga menjadi target awal yang sepertinya akan disinggahi Honest Bank.

VIDA Dikabarkan Mendapat Pendanaan 591 Miliar Rupiah, Masuk Kategori Centaur

Startup pengembang layanan tanda tangan digital VIDA dikabarkan telah mendapatkan pendanaan seri A senilai $41,2 juta atau setara dengan 591,4 miliar Rupiah. Alpha JWC Ventures, Endeavor Catalyst, Ferro Investments, dan sejumlah lainnya terlibat dalam putaran ini.

Terkait kabar ini, DailySocial.id sudah mencoba meminta keterangan pihak terkait. Namun sampai berita ini diterbitkan, belum ada komentar.

Menurut data yang telah diinputkan ke regulator, total dana investasi keseluruhan yang telah dihimpun VIDA mencapai $51 juta. Membawa valuasi perusahaan sekitar $260 juta, sekaligus mengokohkan mereka masuk ke jajaran centaur.

VIDA didirikan sejak 2018 oleh Niki Luhur, Sati Rasuanto, dan Gajendran Kandasamy. Saat ini mereka memiliki 3 layanan utama, meliputi VIDA Verify (layanan verifikasi identitas), VIDA Sign (layanan tanda tangan elektronik), dan VIDA Pass (sistem autentikasi dan otorisasi). VIDA juga telah menjadi penyelenggara sertifikasi elektronik (PSrE) yang terdaftar di Kemkominfo.

Selain Kominfo, di Indonesia untuk platform seperti yang disediakan VIDA turut bernaung dalam beleid yang dikeluarkan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan — kendati saat ini masih di tahapan regulatory sandbox.

Perkembangan bisnis VIDA

Selain telah mendapatkan perizinan dari regulator di Indonesia, VIDA juga telah melakukan sejumlah aksi strategis untuk mendukung layanannya. Termasuk kemitraan dengan Ditjen Dukcapil hingga mendapatkan sertifikasi ISO 27001 untuk stardardisasi manajemen keamanan informasi.

VIDA juga telah mendapatkan akreditasi internasional, seperti dari WebTrust, menjadi anggota Cloud Signature Consortium, dan terdaftar dalam anggota Adobe Approved Trust List. Dengan kehadirannya di lanskap internasional, VIDA Sign kini sudah dikenali pengguna di 40 negara.

Terbaru, awal tahun ini VIDA mengumumkan kerja sama strategis dengan DocuSign. Kemitraan ini memberikan pilihan bagi pengguna tanda tangan elektronik DocuSign di Indonesia untuk menandatangani dokumen dengan verifikasi identitas online yang aman dan berkekuatan hukum, didukung platform yang dimiliki VIDA.

Kompetisi pasar

Menurut laporan Fortune Business Insight, ukuran pasar untuk layanan tanda tangan digital telah mencapai $3 miliar pada 2021. Tahun ini diperkirakan akan meningkat menjadi $4,05 miliar dan bertumbuh hingga $35,03 miliar pada 2029 dengan CAGR 36,1%. Sementara di Indonesia, menurut DocuSign total addressable market masih terbuka sangat luas. Potensinya bisa mencapai $25 triliun.

Di Indonesia sendiri selain VIDA juga sudah terdapat beberapa pemain lainnya yang sudah terdaftar di regulator, di antaranya Privy, TekanAja, dan Digisign.

Dengan use case yang semakin luas, khususnya di sektor konsumer digital seperti fintech, e-commerce, dan lain-lain, diyakini solusi terkait tanda tangan digital akan bisa diadopsi secara luas. Terlebih Covid-19 membawa tren digitalisasi di berbagai lini industri, yang juga mendorong pemberkasan administrasi turut dilakukan secara digital.

Application Information Will Show Up Here

NOICE Umumkan Pendanaan Seri A 316 Miliar Rupiah Dipimpin Northstar

Hari ini (22/4), NOICE mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $22 juta atau setara 316 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Northstar dan diikuti oleh para investor sebelumnya, yaitu Alpha JWC, Go-Ventures, dan Kinesys. Capaian ini akan mendukung ambisi perusahaan menjadi platform audio terbesar di Indonesia melalui percepatan akuisisi konten serta pengembangan platform teknologi audio kreator.

Sebelumnya NOICE telah menutup putaran pendanaan pra-seri A yang dipimpin oleh Alpha JWC Ventures dan Go-Ventures pada 2021 lalu. Belum lama ini, perusahaan juga mendapat dukungan investasi strategis dari RANS Entertainment milik Raffi Ahmad dan Nagita Slavina.

Menurut dari total perolehan yang ada, diperkirakan valuasi NOICE telah mencapai setingkat Centaur (di atas $100 juta).

Dirancang semula sebagai platform radio streaming, NOICE mulai memperlebar segmen layanannya dengan merambah pada konten audio on-demand. NOICE berdiri di bawah naungan PT Mahaka Radio Digital pada 2018 yang merupakan perusahaan patungan milik PT Mahaka Radio Integra Tbk (IDX: MARI) dan PT Quatro Kreasi Indonesia. Adapun Quatro adalah hasil konsorsium perusahaan rekaman di Indonesia, antara lain Musica, Aquarius, My Music, dan Trinity.

Dalam persaingan dengan pemain lokal dan global di industri platform audio streaming, NOICE mengedepankan strategi hyperlocal sebagai bagian dari hipotesis perusahaan yang ingin menjadi rumah konten audio di Indonesia. Sebelumnya, perusahaan juga telah mengenalkan NOICE Live, fitur social networking dalam format audio yang memungkinkan interaksi real-time antara kreator, pendengar, musisi, fans, hingga expert.

“Investasi ini akan kami gunakan untuk mengembangkan komunitas kreator, platform teknologi, dan memperluas cakupan konten audio series untuk menghadirkan cerita-cerita terbaik Indonesia dari komunitas penulis lokal dan mengadaptasinya ke dalam format audio. Kami telah menguji coba format baru ini dan melihat hasil interaksi dan retensi yang sangat menjanjikan. Ini benar-benar ruang baru yang menarik untuk dijelajahi dan memiliki banyak sekali potensi,” ujar CEO NOICE Rado Ardian.

Meluncurkan Noicemaker Studio

Prospek industri konten di Indonesia kian populer dengan semakin menjamurnya kreator yang menciptakan ragam karya melalui berbagai platform. Di tengah pandemi Covid-19, saat banyak sektor usaha turun, ekonomi kreatif melalui kreator konten justru menjadi peluang bagi generasi muda untuk terus berkarya.

Hal ini dilihat sebagai peluang oleh NOICE, perusahaan rintisan teknologi asal Indonesia yang berfokus untuk menghadirkan platform konten audio terlengkap. Dirancang semula sebagai platform radio streaming, NOICE mulai memperlebar segmen layanannya dengan merambah pada konten audio on-demand.

NOICE resmi menghadirkan “Noicemaker Studio”, sebuah ruang digital tanpa batas bagi para kreator untuk dapat mengoptimalkan karya mereka di industri konten audio tanah air. Melalui kanal ini, semua konten kreator dari seluruh daerah di Indonesia dapat menghadirkan karya mereka, khususnya podcast, ke dalam aplikasi NOICE dan menjangkau audiens secara lebih luas melalui jaringan ekosistem perusahaan.

Rado menjelaskan bahwa Noicemaker Studio memungkinkan para konten kreator (Noicemaker) memasukkan konten podcast mereka ke aplikasi NOICE dengan mudah, serta memiliki akses langsung ke dasbor akun kreator NOICE untuk melihat performa karya mereka secara detail. Hal ini secara langsung akan memudahkan mereka untuk mendapatkan berbagai insight menarik yang tentunya akan mendorong kualitas karya mereka ke depan.”

Platform Noicemaker Studio dapat diakses oleh semua kreator tanpa terkecuali. Akan dilakukan screening berkala setiap minggunya untuk memonitor kualitas konten podcast. Selain itu, untuk melindungi sekaligus memastikan kualitas konten tetap terjaga, NOICE juga menghadirkan fitur report bagi pengguna untuk melaporkan jika ada konten yang dirasa vulgar atau tidak layak tayang.

Untuk mulai menggunakan platform ini, kreator dapat mengakses Noicemaker Studio melalui halaman website dan mendapatkan akses untuk menghadirkan konten mereka di NOICE dengan cara memasukkan tautan RSS podcast mereka ke halaman website tersebut. Selain para kreator baru, Noicemaker Studio juga dapat dimanfaatkan oleh para kreator terdaftar untuk melihat performa dari berbagai konten yang mereka hadirkan.

Co-founder & CBO NOICE Niken Sasmaya mengungkapkan “Noicemaker Studio merupakan langkah awal yang kami hadirkan untuk mengembangkan potensi konten kreator yang bergabung dan tumbuh di dalam ekosistem NOICE. Noicemaker Studio sendiri merupakan bagian dari Noicemaker Club Program (NCP), sebuah program terintegrasi yang dihadirkan NOICE untuk mendukung para konten kreator untuk tumbuh dan berkembang seiring dengan kesuksesan performa konten mereka.”

Program ini diharapkan bisa melampaui segala batasan bagi para kreator untuk memperkenalkan dan mempopulerkan karya mereka ke masyarakat secara luas. “Siapapun bisa jadi konten kreator dan podcaster. Dengan hampir 2 juta pendengar NOICE yang terus bertumbuh, kami yakin hal ini akan sangat membantu dalam mewujudkan komitmen NOICE untuk memajukan industri konten audio di tanah air, sejalan dengan posisi kami saat ini sebagai produsen IP (intellectual property) konten audio terbesar di Indonesia ,” ungkap Niken.

Application Information Will Show Up Here

Alpha JWC Ventures Leads 24 Billion Rupiah Funding for Alt-Protein Startup “Off Foods”

The Off Foods food-tech startup has announced a $1.7 million seed funding (approximately 24.3 billion Rupiah) led by Alpha JWC Ventures. Global Founders Capital (GFC) and other strategic investors, including Creative Gorilla Capital, Lemonilo, and United Family Capital (UFC) are participated in this round.

The company will use the fresh funds to develop research related to the Off Meat variety, from alternative processed chicken meat products, such as nuggets. Also, entering other cities by implementing a direct-to-consumers strategy, in order to reach more consumers.

Off Foods is a local startup founded by Dominik Laurus and Jhameson Ko last year. This startup has ambitions to become a leading alternative protein (alt-protein) producer from Indonesia. It is said by providing an opportunity for more people to consume animal meat, without killing real animals for sustainability, and without sacrificing taste.

Off Foods Co-founder & CEO Dominik Laurus said, “We are doing more than just selling food, introducing new ideas for lifestyle changes in Indonesia that are expected to produce a healthier society and a more sustainable earth.

“Off Meat and the Indonesian [market] are just our starting points. We are excited to receive such enthusiasm from new and existing investors, including established experts in the F&B industry, and we are excited to move forward with our product innovations, imminent national expansion, and finally regional expansion in 2024,” Dominik said in an official statement, Tuesday (19/4).

The company launched Off Meat’s flagship product, a protein similar to chicken meat, in August 2021. Using the B2B model, Off Foods supplies its products to various restaurants, such as Gaaram, Wanfan, Mamma Rosy, and Fitco Eats disributed across seven cities (Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Medan, Yogyakarta, Makassar and Bali).

It is claimed, the company’s business growth has soared up to 10 times through this B2B concept. The partnerships number goes up, some of which are already in process, including Mangkokku, Zenbu, and Byurger which already have outlets throughout Indonesia.

“Off Meat is a solution for foodservice businesses in supplying plant-based meat fillets to the horeca market (hotels, restaurants, cafes). Our products are affordable and customizable for chefs to create meatless dishes on their menus with their own special recipes and techniques. Customers will be able to enjoy the familiar tastes of restaurants in the form of meatless dishes and be part of the future of sustainability,” Jhameson Ko, Co-founder & CPO of Off Foods said.

The company recently opened a new branch in Bali which is one of the most important plant-based food markets in Indonesia. Off Foods will see more adoption and partnerships in the near future as meats have high applicability in the kitchen, for example from fried ‘chicken’ menus to nuggets to traditional chicken sambal matah, offering horeca markets in emerging markets a more localized taste and texture than with alt-products available in the market today.

Non-meat food potential

According to a recent report from BIS Research, the plant-based food sector as a whole is expected to reach $480 billion globally by 2024. The plant protein industry is also expected to continue to grow in Indonesia with a CAGR of 27.5% from 2021 to 2027, representing an increase of about sixfold by 2027, as quoted by Research and Markets.

Historically, plant-based adoption has an obstacle through the premium price point it is often associated with. The challenge for competition in this industry is not only the right taste and texture, but also includes improving know-how and manufacturing efficiencies to approach price parity.

“Off Meat tries to solve this long-overdue issue by coming up with an affordable alternative, providing a plant-based protein substitute at at least half the price point of its competitors.”

Alpha JWC Ventures’ Partner Eko Kurniadi also agreed, he said that alt-proteins need time to be adopted in developing countries because of the premium costs. However, consumers have realized the health value and environmental benefits that alt-food products bring.

“Now the revolution is sweeping almost the whole emerging markets like Indonesia, and it is the right time for Off Foods. With the great products, strong go-to-market strategy and best-in-class cost structure suited to growing markets, we believe they are in a strong position to bring the alt-protein movement mainstream to Indonesian households,” Eko said.

Previously, a similar startup, Green Rebels has recently received funding to increase its penetration in serving alt protein-based foods.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Alpha JWC Ventures Pimpin Pendanaan 24 Miliar Rupiah Startup Alt-Protein “Off Foods”

Startup food-tech Off Foods mengumumkan perolehan pendanaan awal sebesar $1,7 juta (sekitar 24,3 miliar Rupiah) dipimpin Alpha JWC Ventures. Global Founders Capital (GFC) dan investor strategis lainnya, termasuk Creative Gorilla Capital, Lemonilo, dan United Family Capital (UFC) berpartisipasi dalam putaran tersebut.

Perusahaan akan memanfaatkan dana segar untuk  pengembangan penelitian terkait variasi Off Meat, dimulai dengan produk olahan alternatif daging ayam, seperti nugget. Juga masuk ke kota-kota lain dengan menerapkan strategi direct-to-consumers agar semakin banyak konsumen yang dapat dijangkau.

Off Foods merupakan startup lokal yang didirikan pada tahun lalu oleh Dominik Laurus dan Jhameson Ko. Startup ini berambisi menjadi produsen protein alternatif terkemuka (alt-protein) dari Indonesia. Caranya dengan menyediakan kesempatan bagi lebih banyak orang mengonsumsi daging hewan, tanpa mematikan daging dari hewan asli demi keberlanjutan, juga tanpa mengorbankan rasa.

Co-founder & CEO Off Foods Dominik Laurus menuturkan, pihaknya melakukan lebih dari sekadar menjual makanan, memperkenalkan ide baru perubahan gaya hidup di Indonesia yang diharapkan bisa menghasilkan masyarakat yang lebih sehat dan bumi yang lebih berkelanjutan.

“Off Meat dan [pasar] Indonesia hanyalah poin awal kami. Kami sangat senang menerima antusiasme seperti investor baru dan yang sudah ada, termasuk para ahli mapan di industri F&B, dan kami senang untuk bergerak maju dengan inovasi produk kami, ekspansi nasional segera, dan akhirnya ekspansi regional pada 2024,” kata Dominik dalam keterangan resmi, Selasa (19/4).

Perusahaan meluncurkan produk flagship Off Meat, protein serupa daging ayam, pada Agustus 2021. Dengan menggunakan model B2B, Off Foods menyuplai produknya ke berbagai restoran, seperti Gaaram, Wanfan, Mamma Rosy, dan Fitco Eats yang tersebar di tujuh kota (Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Medan, Yogyakarta, Makassar, dan Bali).

Diklaim, pertumbuhan bisnis perusahaan melonjak hingga 10 kali lipat lewat B2B ini. Jumlah kemitraan akan terus digenjot, beberapa yang sudah dalam proses, yakni Mangkokku, Zenbu, dan Byurger yang memiliki outlet tersebar di seluruh Indonesia.

“Off Meat menjadi solusi untuk bisnis jasa makanan dalam memasok fillet daging berbasis tanaman ke pasar horeca (hotel, restoran, cafe). Produk kami terjangkau dan dapat disesuaikan untuk koki untuk membuat hidangan tanpa daging pada menu mereka dengan resep dan teknik khusus mereka sendiri. Pelanggan akan dapat menikmati selera akrab dari restoran dalam bentuk hidangan tanpa daging dan menjadi bagian dari keberlanjutan masa depan,” tambah Co-founder & CPO Off Foods Jhameson Ko.

Perusahaan ini baru-baru ini membuka cabang baru di Bali yang merupakan salah satu pasar makanan berbasis nabati yang paling penting di Indonesia. Off Foods akan melihat lebih banyak adopsi dan kemitraan dalam waktu dekat karena daging memiliki penerapan tinggi di dapur, misalnya dari menu ‘ayam’ goreng ke nugget ke ayam sambal matah tradisional, menawarkan pasar horeca di pasar negara berkembang dengan rasa yang lebih terlokalisasi dan tekstur dibandingkan dengan alt-produk yang tersedia di pasaran saat ini.

Potensi makanan nondaging

Menurut laporan terbaru dari BIS Research, sektor makanan berbasis tanaman (plant-based) secara keseluruhan diperkirakan akan mencapai $480 miliar secara global pada 2024. Industri protein tanaman juga diperkirakan akan terus tumbuh di Indonesia dengan CAGR 27,5% dari 2021 hingga 2027, mewakili peningkatan sekitar enam kali lipat pada 2027, seperti dikutip dari Research and Markets.

Secara historis, adopsi nabati telah dihambat melalui titik harga premium yang sering dikaitkan dengan. Tantangan untuk kompetisi di industri ini tidak hanya soal rasa dan tekstur yang benar, tetapi juga mencakup penyempurnaan pengetahuan dan efisiensi manufaktur untuk mendekati paritas harga.

“Off Meat mencoba untuk menyelesaikan masalah lama ini, karena datang dengan alternatif yang terjangkau, menyediakan pengganti protein berbasis tanaman dengan setidaknya setengah dari titik harga para pesaingnya.”

Turut menambahkan pandangannya Partner Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi, menurutnya alt-protein membutuhkan waktu untuk diadopsi di negara berkembang karena biayanya yang premium. Namun, konsumen telah menyadari nilai kesehatan dan manfaat lingkungan yang dibawa produk alt-food.

“Sekarang revolusi hampir menyapu pasar berkembang, seperti Indonesia dan itu adalah waktu yang tepat untuk Off Foods. Dengan produk-produknya yang hebat, strategi go-to-market yang kuat, dan struktur biaya terbaik di kelasnya yang cocok untuk mengembangkan pasar, kami percaya mereka berada dalam posisi yang kuat untuk membawa gerakan alt-protein arus utama ke rumah tangga Indonesia, “kata Eko.

Sebelumnya, startup serupa Green Rebels juga baru mendapatkan pendanaan untuk meningkatkan penetrasinya dalam menyajikan makanan berbasis alt protein.

Hangry Dikabarkan Galang Pendanaan Lanjutan 205 Miliar Rupiah

Startup kuliner multi-brand sekaligus brand aggregator Hangry dikabarkan tengah merampungkan putaran pendanaan terbarunya. Dari data yang telah diinputkan ke regulator, saat ini nilai putaran ekuitas yang telah terkumpul mencapai $14,25 juta atau sekitar 205 miliar Rupiah.

Digabungkan dengan putaran pendanaan awal dan seri A yang didapat tahun lalu, saat ini diperkirakan valuasi perusahaan mendekati $150 juta, mengokohkan pada status “centaur”.

Sejumlah pemodal ventura dan angel investor berpartisipasi dalam investasi tersebut, termasuk Alpha JWC Ventures dan Orzon Ventures. Kami sudah mencoba meminta pernyataan ke eksekutif perusahaan. Namun sampai berita ini diterbitkan belum ada respons yang diberikan.

Perluas model bisnis dan ekspansi

Sejak didirikan tahun 2019, kini Hangry telah mengoperasikan 74 outlet yang terbesar di Jabodetabek, Bandung, Surabaya, dan Semarang. Hingga 2021, disampaikan juga mereka telah menjual 10 juta porsi makanan dan minuman.

Perluasan yang cukup kencang tersebut didukung model bisnis ala cloud kitchen yang diadopsi. Hal ini dilandasi model operasional Hangry mengutamakan pesanan via aplikasi food delivery — kendati beberapa waktu terakhir mereka juga mulai menyediakan opsi dine-in.

Selain mengembangkan brand makanan sendiri, tahun ini Hangry juga memulai strategi brand aggregator. Mereka akan mengakuisisi penuh brand kuliner yang dianggap potensial masuk ke ekosistem produknya. Pekan lalu, Hangry mengumumkan akuisisinya atas Accha, sebuah brand makanan khas India yang beroperasi di Jakarta.

Masuknya Accha akan melengkapi varian produk yang telah dimiliki Hangry, seperti Moon Chicken, San Gyu, Kopi Dari Pada, dan Ayam Koplo. Kendati demikian, Co-Founder & CEO Abraham Viktor memastikan bahwa pembuatan brand baru secara mandiri akan terus dilakukan, seiring dengan strategi akuisisi yang akan mulai digencarkan.

Selain itu turut dikatakan, strategi brand aggregator juga diyakini bisa mendekatkan Hangry dengan cita-citanya untuk melayani pasar global, sehingga tidak menutup kemungkinan ke depan juga akan ada brand makanan di luar Indonesia yang akan diakuisisi dan dimasukkan ke dalam ekosistemnya.

Application Information Will Show Up Here

DELOS Announces Additional Funding of 115 Billion Rupiah Led by Centauri Fund and Alpha JWC Ventures

Post securing early-stage funding led by the Arise Fund, aquatech startup DELOS announced an additional investment of $8 million, equivalent to 115 billion Rupiah. This round was led by the Centauri Fund and Alpha JWC Ventures. Both Centauri and Arise are funds under MDI Ventures management.

Other investors involved in this funding are Number Capital, Arise, iSeed SEA, Irvan Kolonas, as well as Alto Partners Multi-Family Office, Mahanusa Capital, Kopi Kenangan’s Founder, James Prananto, and a number of advanced strategic investors.

The company plans to use the funds to accelerate the on-boarding process of its farm-based clients. In addition, they continue to build and scale-up its main products AquaHero, AquaLink, and AquaBank to accelerate the growth of Indonesian aquaculture.

“We want to encourage Indonesia to realize and take advantage of its vast marine potential, setting it as major and sustainable national economic driver in the near future,” said DELOS Co-founder Guntur Mallarangeng.

Within months of operations following the early-stage funding round, DELOS has been working on developing its flagship product line. AquaHero, which is a complete agricultural productivity system combining scientific, technological and operational expertise was developed to increase agricultural yields. AquaHero products use high-end data collection methods and biological models to predict and reduce crop risk. This model will be applied to thousands of shrimp ponds in the DELOS ecosystem throughout Indonesia.

“DELOS comes with real, data-driven solutions to the everyday problems faced by shrimp farmers, and early traction has proven its effectiveness in optimizing farm operations and significantly growing output. With the expertise and network of its founders, we are confident DELOS can lead the aquaculture revolution in Indonesia,” Alpha JWC Ventures’ Partner, Eko Kurniadi said.

Meanwhile, Centauri Fund’s Managing Partner, Kenneth Li, said that agriculture is one of Indonesia’s grassroots industries that contributes significantly to national GDP. In this regard, the shrimp industry in Indonesia is also one of the largest in the world and the largest contributor to the Indonesian fishery industry as a whole.

“DELOS is capable of producing a staggering output yield of 2-3x the industry average. It also capable to solve this problem by implementing modern and standardized production methods and providing scalable supply chain solutions,”  he added.

Business Growth

Since November 2021, the company has been actively on-boarding 100 hectares of intensive and super intensive shrimp ponds, with a backlog demand of more than 600 hectares in the company’s pipeline. This year, the company will continue to strengthen and expand AquaHero’s product range, accuracy, features and clients, by increasing farm productivity and profitability, thereby adding value to the industry. The company is targeting around 200 hectares to be managed this year.

DELOS claims to have helped its clients multiply their results through an app from AquaHero. This has resulted in the client base’s agricultural output continuing to outperform the Indonesian shrimp farming industry, producing an average of 10-15 tons/ha/cycle.

Supporting DELOS’ long-term goals, the company later established the DELOS Maritime Institute (DMI) in Yogyakarta. The Institute will become a training center for the development of specialized aquaculture talent, with a world-class curriculum and on-site practical training, to cultivate a new generation of farm managers, technicians, lab assistants and field operators. In addition, this activity will also support research and development of the latest technology in cultivation technology, such as: early detection and prevention of disease and livestock supporting infrastructure.

“The feedback of DELOS in the aquaculture industry has been very positive, with client acquisitions beyond the team’s ability to get into the farm,” Guntur said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

DELOS Umumkan Pendanaan Lanjutan 115 Miliar Rupiah, Dipimpin Centauri Fund dan Alpha JWC Ventures

Setelah sebelumnya telah mengantongi pendanaan tahap awal yang dipimpin Arise Fund, startup aquatech DELOS mengumumkan pendanaan tahap awal tambahan senilai $8 juta atau setara 115 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Centauri Fund dan Alpha JWC Ventures. Baik Centauri dan Arise adalah dana kelolaan dari MDI Ventures.

Investor lainnya yang turut terlibat dalam pendanaan ini adalah Number Capital, Arise, iSeed SEA, Irvan Kolonas, serta Alto Partners Multi-Family Office, Mahanusa Capital, Pendiri Kopi Kenangan James Prananto, dan sejumlah investor strategis lanjutan.

Perusahaan berencana untuk menggunakan dana tersebut untuk mengakselerasi proses on-boarding kliennya dari peternakan. Selain itu mereka terus membangun dan melakukan scale-up produk utamanya AquaHero, AquaLink, dan AquaBank untuk mempercepat pertumbuhan perikanan budidaya Indonesia.

“Kami ingin mendorong Indonesia untuk menyadari dan memanfaatkan potensi lautnya yang luas, menjadikannya penggerak ekonomi nasional yang utama dan berkelanjutan dalam waktu dekat,” kata Co-founder DELOS Guntur Mallarangeng.

Dalam beberapa bulan operasinya setelah putaran pendanaan awal, DELOS telah bekerja mengembangkan lini produk unggulannya. AquaHero, yang merupakan sistem produktivitas pertanian lengkap yang menggabungkan keahlian ilmiah, teknologi, dan operasional dikembangkan untuk meningkatkan hasil pertanian. Produk AquaHero menggunakan metode pengumpulan data kelas atas dan model biologis untuk memprediksi dan mengurangi risiko panen. Model ini akan diterapkan pada ribuan udang tambak dalam ekosistem DELOS di seluruh Indonesia.

“DELOS hadir dengan solusi nyata berbasis data untuk masalah sehari-hari yang dihadapi oleh petambak udang, dan traksi awal telah membuktikan efektivitasnya dalam mengoptimalkan operasi tambak dan keluaran yang tumbuh secara signifikan. Dengan keahlian dan jaringan yang dimiliki oleh para pendirinya, kami yakin DELOS dapat menjadi yang terdepan dalam revolusi akuakultur di Indonesia,” kata Partner Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi.

Sementara itu menurut Managing Partner Centauri Fund Kenneth Li, agriculture merupakan salah satu industri akar rumput Indonesia yang memberikan kontribusi cukup besar bagi pendapatan nasional PDB. Dalam hal ini industri udang di Indonesia juga merupakan salah satu yang terbesar di dunia dan penyumbang terbesar bagi industri perikanan Indonesia secara keseluruhan.

“DELOS mampu menghasilkan output hasil yang mengejutkan 2-3x dari rata-rata industri. DELOS telah mampu memecahkan masalah ini dengan menerapkan metode produksi modern dan standar dan menyediakan solusi rantai pasokan yang terukur.”

Pertumbuhan bisnis DELOS

Sejak November 2021, perusahaan aktif melakukan on-boarding 100 hektar tambak udang intensif dan super intensif, dengan backlog permintaan yang ada lebih dari 600 hektar di pipeline perusahaan. Tahun ini perusahaan juga akan terus memperkuat dan memperluas cakupan produk AquaHero, akurasi, fitur, dan klien, dengan meningkatkan produktivitas dan profitabilitas pertanian, sehingga menambah nilai bagi industri. Perusahaan memiliki target sekitar 200 hektar yang bisa dikelola tahun ini.

DELOS mengklaim telah membantu kliennya menggandakan hasil mereka melalui aplikasi dari AquaHero. Hal ini mengakibatkan hasil pertanian basis kliennya terus mengungguli Industri budidaya udang Indonesia rata-rata menghasilkan 10-15 ton/ha/siklus.

Mendukung tujuan jangka panjang DELOS, perusahaan kemudian mendirikan DELOS Maritime Institute (DMI) di Yogyakarta. Institut akan menjadi pusat pelatihan untuk pengembangan bakat akuakultur khusus, dengan kurikulum kelas dunia dan pelatihan praktis di tempat, untuk menumbuhkan pertanian generasi baru manajer, teknisi, asisten lab, dan operator lapangan. Selain itu kegiatan ini juga akan mendukung penelitian dan pengembangan teknologi mutakhir dalam teknologi budidaya, seperti: deteksi dini dan pencegahan penyakit serta infrastruktur penunjang peternakan.

“Penerimaan DELOS di industri akuakultur sangat positif, dengan akuisisi klien melampaui kemampuan tim untuk masuk ke peternakan,” kata Guntur.

Sayurbox Umumkan Pendanaan Seri C Senilai 1,7 Triliun Rupiah

Sayurbox mengumumkan telah mendapatkan pendanaan seri C senilai $120 juta atau setara 1,7 triliun Rupiah. Putaran investasi ini dipimpin oleh Northstar dan Alpha JWC Ventures, dengan partisipasi dari International Finance Corporation (IFC). Investor sebelumnya turut terlibat, di antaranya Astra, Syngenta Group Ventures, Global Brain, dan beberapa investor lainnya.

Pendanaan seri C ini didapat kurang dari setahun setelah pendanaan Seri B senilai $15 juta yang dipimpin oleh Astra. Perolehan tersebut makin mengokohkan perusahaan di jajaran centaur lokal dengan estimasi valuasi sekitar $200 juta-$400 juta.

Dana segar yang didapat akan digunakan untuk mempercepat penetrasi layanan Sayurbox di kota-kota baru seperti Bandung dan beberapa kota lainnya, serta memperluas rantai pasokan end-to-end Sayurbox secara nasional.

Sayurbox mengatakan telah mengalami pertumbuhan eksponensial melalui penambahan produk, ekspansi cakupan wilayah dari Jabodetabek ke Surabaya dan Bali, serta membangun jaringan gudang mikro untuk layanan cepat (quick commerce) Sayurbox dan SayurKilat.

“Sayurbox didirikan dengan misi sosial untuk memberikan akses pasar kepada petani lokal melalui digitalisasi rantai pasok pertanian Indonesia. Sistem dan ekosistem yang kami kembangkan memungkinkan kami untuk memiliki visibilitas penuh dari seluruh rantai pasokan pertanian, memberikan pengalaman terbaik bagi pelanggan dalam hal pilihan produk, kesegaran, harga, dan pengiriman tepat waktu,” ujar Co-Founder & CEO Sayurbox Amanda Susanti.

Didirikan pada tahun 2017, Sayurbox kini menyediakan lebih dari 5.000 produk hasil pertanian, daging dan ikan, serta makanan jadi, dengan cakupan pengantaran di Jabodetabek, Surabaya, dan Bali. Sayurbox saat ini melayani sekitar 1 juta pelanggan serta bekerja sama dengan lebih dari 10.000 petani di seluruh Indonesia.

Online grocery di Indonesia

Sayurbox juga telah memulai model bisnis quick commerce / Sayurbox

Layanan online grocery menjadi salah satu model bisnis yang berkembang pesat selama pandemi. Mobilitas masyarakat yang terbatas membuat mereka mencari alternatif untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari. Namun demikian, untuk memenangkan pangsa pasar online grocery bukan perkara mudah. Tantangannya mulai dari penyediaan infrastruktur, sistem rantai pasok, sampai dengan persaingan yang semakin ketat – baik dengan para pendatang baru maupun raksasa ritel sebelumnya.

“Berkembang di sektor online grocery bukanlah sesuatu yang mudah, mengingat risiko besar operasional dan logistik, serta perbedaan perilaku konsumen yang beragam. Namun, Sayurbox telah menemukan kunci dan solusi mengatasi tantangan ini dan berhasil berkembang pesat serta berkelanjutan. Sayurbox kini telah menjadi perusahaan berkelas dunia, tak kalah dengan startup-startup online grocery unggul lainnya di dunia, dengan operasional yang memungkinkan mereka mengantarkan produk segar dari petani ke konsumen hanya dalam 12 jam,” ujar Partner Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi.

Sepanjang tahun 2022 ini, industri online grocrey di Indonesia memang menjadi lebih menarik untuk diperhatikan. Januari lalu, Kedai Sayur baru umumkan dana segar 50 miliar Rupiah dan mengokohkan diri menjadi bagian Triputra Group. Dilanjutkan CT Corp dan Bukalapak yang meluncurkan AlloFresh — terafiliasi dengan bisnis ritel Transmart. Astro dan Bananas juga bukukan pendanaan untuk penetrasi lebih dalam layanan quick commerce mereka. Terakhir Traveloka kenalkan fitur serupa online grocery sebagai bagian dari lifestyle superapp.

Menurut studi yang dilakukan L.E.K. Consulting, layanan online grocery di Indonesia nilai pasarnya telah mencapai $1 miliar di tahun 2021, diproyeksikan akan bertumbuh pesat sampai $6 miliar pada 2025 mendatang.

Potensi nilai yang besar tersebut turut dilihat raksasa teknologi lokal sebagai sebuah kesempatan. Misalnya dilakukan Blibli dengan mengakuisisi induk Ranch Market untuk perkuat penetrasi produk bahan makanan segar. GoTo sebelumnya mengakuisisi 6,74% saham jaringan ritel Hypermart untuk perkuat strategi omnichannel di kebutuhan pokok. Terakhir ada Traveloka yang mulai kenalkan fitur serupa online grocery di aplikasinya.

Application Information Will Show Up Here