Melihat Minat Besar Investor Tiongkok terhadap Startup Indonesia

Sejak dua tahun terakhir Indonesia banyak kedatangan investor Tiongkok untuk melakukan investasi hingga akuisisi kepada startup lokal. Mulai dari Alibaba Group hingga Tencent, semua menunjukkan rasa antusiasme terhadap industri startup Indonesia.

Salah satu alasan mengapa makin besarnya minat investor Tiongkok adalah sudah semakin sempitnya industri startup di Tiongkok. Hal ini menjadikan Indonesia, yang saat ini masih dalam fase early stage dalam perkembangan startup hingga teknologi, menjadi negara yang paling “seksi” sebagai tujuan berikutnya

Seperti diungkapkan di Tech In Asia Jakarta 2017, menurut Adrian Li, Founder & Managing Partner Convergence Ventures, makin maraknya investor asal Tiongkok masuk ke Indonesia seharusnya disambut baik dan patut untuk dicermati. Hal ini menandakan Indonesia memiliki potensi yang besar seperti India dan Tiongkok.

“Saya melihat hingga kini Indonesia masih kekurangan modal untuk late stage company. Berbeda dengan Tiongkok yang makin dibanjiri investor asal Silicon Valley. Hal tersebut yang kemudian membuat banyak investor asal Tiongkok berminat untuk melakukan investasi di Indonesia untuk mengisi celah tersebut,” kata Adrian.

Adrian bersama investor Tiongkok lainnya ingin memberikan kontribusi, tidak hanya modal namun pengetahuan tentang membangun startup berbasis teknologi yang sukses, seperti yang terjadi dengan kebanyakan startup asal Tiongkok saat ini.

Mengubah tantangan menjadi peluang

Hingga kini Indonesia masih disebut sebagai negara di Asia yang banyak memiliki unbankable people. Hal tersebut, menurut Ian Goh, Managing Partner 01VC, justru menjadi potensi yang baik untuk dikembangkan.

“Intinya adalah jadikan tantangan dan kekurangan yang ada menjadi sebuah peluang. Salah satunya dengan mengembangkan layanan financial technology (fintech), seperti e-wallet dan layanan keuangan digital lainnya di Indonesia.

Ian melihat fintech saat ini masih menjadi industri yang menjanjikan terutama di Indonesia dengan kondisi yang unik dan masih minimnya infrastruktur saat ini. Jika nantinya ekosistem hingga infrastruktur sudah tercipta dengan baik, pastinya akan memudahkan startup untuk membangun bisnis.

Serupa dengan Ian, Adrian melihat fintech masih menjadi industri yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan dan merupakan sektor yang paling diminati investor Tiongkok.

“Selain fintech saya juga ingin melihat startup yang bisa men-distrupt industri televisi melalui fitur hingga teknologi yang baru untuk orang banyak,” kata Adrian.

Ciptakan model bisnis baru dan hindari meniru

Meskipun memiliki optimisme yang tinggi terhadap startup asal Indonesia, beberapa investor Tiongkok masih melihat pola sama yang banyak diterapkan startup lokal, yaitu meniru model bisnis yang sebelumnya sudah hadir dan terbilang sukses. Hal ini juga ditegaskan Joseph Chan, Partner AppWorks Ventures.

“Ciptakan inovasi baru yang bisa dimanfaatkan oleh pengguna terbesar saat ini, yaitu kalangan millennial. Mereka tidak hanya dikenal sebagai digital native, namun juga pasar yang tergolong sangat konsumtif,” kata Joseph.

Sebagai investor, Joseph ingin melihat lebih banyak startup lokal menciptakan inovasi memanfaatkan Artificial Intelligence, juga bisa memecahkan masalah rutinitas dengan mengutilisasi mobile internet.

Tampil lebih unggul dibanding pemain asing

Meskipun saat ini sudah banyak layanan e-commerce asing masuk ke Indonesia hingga rencana Amazon yang memperluas layanannya ke Asia Tenggara, menurut investor Tiongkok hal tersebut tidak akan berpengaruh kepada startup lokal yang sebelumnya sudah membangun bisnis di Indonesia.

“Berbeda dengan Amazon India yang hadir jauh sebelum startup lokal mulai banyak hadir di India sehingga cukup menyulitkan startup lokal untuk bersaing. Di Indonesia selama ini pemain lokal sudah hadir lebih awal, sehingga sudah memiliki pondasi yang kuat dan mampu bersaing dengan pemain asing,” kata Ian.

Sementara menurut Joseph, Indonesia memiliki keunikan tersendiri yang membedakan startup negara lainnya, sehingga memudahkan startup Indonesia menentukan jalannya sendiri.

Pada akhirnya startup lokal yang ingin berhasil dan mampu bersaing dengan pemain asing, menurut para investor Tiongkok, harus memiliki passion yang mendalam terhadap bisnis yang dijalankan, memiliki tim yang solid, dan menciptakan bisnis yang mampu memberikan solusi terhadap masalah yang kerap dihadapi masyarakat luas.

Zuzu Hotels Hentikan Layanan Reservasi Hotel Budget di Indonesia, Fokus ke Segmen B2B

Setelah sempat meluncurkan layanan online hospitality di Indonesia bulan November 2016 lalu, ZuzuHOTELS memutuskan menghentikan layanan hotel budget mereka di Indonesia dan kemudian hanya fokus kepada hotel budget di Taiwan. Keputusan ini diambil Co-founder Vikram Malhi dan rekannya yang sama-sama memiliki pengalaman bekerja di Expedia, Dan Lynn, setelah menjalankan bisnis dan mendapatkan pendanaan awal dari angel investor beberapa waktu yang lalu.

“Setelah mendapatkan funding di awal bisnis kami mulai menjalankan bisnis Zuzu Hotels, belajar dari pengalaman tersebut akhirnya kami memutuskan untuk fokus kepada B2B dan mulai mengurangi B2C di beberapa negara di Asia termasuk Indonesia,” kata Dan Lynn kepada DailySocial.

Dari pantauan DailySocial, saat ini budget hotel di Indonesia sudah tidak bisa diakses dan hanya terdaftar beberapa budget hotel di Taiwan, India dan Thailand. Disinggung tentang adanya persaingan yang cukup sengit di industri budget hotel, terutama di Indonesia, menurut Lynn bukan menjadi kendala.

Meskipun tidak memberikan penyebab pivot secara detail, Zuzu Hospitality Solutions didirikan. Hal ini mengingatkan kita akan pivot Tinggal.com yang menempuh arahan yang sama.

“Kami ingin memberikan platform teknologi dan service terbaik kepada hotel independen, visi tersebut yang kemudian menjadi fokus utama Zuzu Hospitality Solutions saat ini,” kata Lynn.

Pendanaan baru untuk mengembangkan teknologi

Hari Senin lalu (23/10) Zuzu Hospitality Solutions mengumumkan telah mendapatkan seed funding sebesar $2 juta (26 miliar Rupiah) yang dipimpinventure capital asal Silicon Valley yaitu Wavemaker Partners. Venture capital lainnya yang termasuk dalam putaran pendanaan seed ini adalah Golden Gate Ventures (Singapura), Alpha JWC dan Convergence Ventures (Indonesia).

“Mereka adalah tim yang terbaik dengan pengalaman dan traksi yang positif untuk wilayah regional terutama di Indonesia,” kata Founder dan Managing Partner Convergence Ventures Adrian Li kepada DailySocial tentang pendanaan ini.

Dengan pendanaan baru tersebut, Zuzu Hospitality Solutions ingin mengembangkan platform teknologi terutama teknologi manajemen pendapatan hotel. Termasuk di dalamnya fungsi yang memungkinkan Zuzu untuk menerapkan software dan model “layanan” kepada mitranya.

“Demi memastikan layanan yang dihadirkan Zuzu bisa menambah penghasilan hotel, kami ingin membatasi jumlah klien dulu hingga akhirnya bertambah secara organik dengan hasil yang memuaskan,” kata Lynn.

Fokus ke hotel independen

Untuk memastikan hotel independen di Asia saat ini memiliki teknologi dan sistem terpadu dalam manajemennya, Zuzu Hospitality Solutions tidak hanya menawarkan platform teknologi, namun juga layanan yang lebih personal langsung dengan tim sales untuk masing-masing hotel.

“Kita bisa memastikan pihak hotel akan mendapatkan [peningkatan] revenue 20-40% jika memanfaatkan layanan Zuzu Hospitality Solutions. Dengan demikian pihak hotel bisa memberikan pengalaman pelanggan lebih baik lagi,” kata Lynn.

Bisnis model yang baru ini memudahkan Zuzu Hospitality Solutions membina kemitraan dengan layanan OTA, seperti Traveloka dan Expedia, demi mendongkrak penjualan hotel independen yang memanfaatkan platform Zuzu.

“Saat ini sedikitnya sudah 150 hotel di Asia yang sudah menggunakan platform ZUZU Hospitality Solutions. Jumlah tersebut cukup beragam dari beberapa negara di Asia, termasuk di Indonesia,” kata Lynn.

Coworking Space Rework Umumkan Perolehan Dana 40 Miliar Rupiah

Coworking space Rework mengumumkan perolehan dana Pra-Seri A senilai $3 juta (hampir 40 miliar Rupiah) untuk berekspansi di area Jakarta, Surabaya, dan Bali. Diharapkan tahun depan Rework sudah memiliki 35 lokasi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Pendanaan kali ini dipimpin ATM Capital dan Convergence Ventures, sementara raksasa coworking space Tiongkok (berstatus unicorn) UrWork, Social Capital, Fortune Union Investments, ACE Capital, dan sejumlah investor terdahulu juga turut berpartisipasi.

Masuknya UrWork ke Indonesia melalui Rework meningkatkan persaingan sektor coworking space, setelah sebelumnya unicorn coworking space Amerika Serikat WeWork mengakuisisi Spacemob yang baru saja membuka unit coworking space baru di Indonesia.

Founder dan CEO Rework Vanessa Hendriadi mengatakan, “Setelah merasakan energi dan nilai-nilai yang diberikan ruang kerja kolaboratif untuk UKM [dan startup], saya tahu hal ini [coworking space] akan menjadi peluang besar di Indonesia dan saya memiliki latar belakang dan jaringan yang tepat untuk menciptakan produk yang bernilai unik.”

Para investor terkesan bagaimana Vanessa menjalankan bisnisnya dan menyebutkan potensi besar sektor coworking space di Indonesia.

Pendiri UrWork, Mao Da Qing, yang memiliki valuasi lebih dari $1,3 miliar soal keputusannya terlibat investasi di Rework menyebutkan, “Vanessa jelas-jelas menunjukkan passion dan purpose untuk misinya memberdayakan bisnis melalui ruang kerja kolaboratif. Kami melihat potensi di Indonesia dan sangat senang bermitra dengan mereka untuk merevolusi ruang kerja di Indonesia.”

Berdasarkan perbincangan kami dengan sejumlah pengelola coworking space, saat ini mereka belum fokus soal profit dan lebih tertarik soal bagaimana membantu kolaborasi antar startup dan pengembangan ekosistem. Disebutkan kini ruang kerja fleksibel (semacam coworking space) hanya mencakup 1% dari total ruang kerja yang tersedia di Indonesia.

Kata.ai Umumkan Perolehan Pendanaan Seri A Sebesar 46,5 Miliar Rupiah

Kata.ai, layanan lokal yang fokus di penggunaan teknologi artificial intelligence untuk interaksi brand dan penggunanya, mengumumkan perolehan pendanaan $3,5 juta (atau sekitar 46,5 miliar Rupiah) yang dipimpin Trans-Pacific Techology Fund (TPTF) Taiwan. Juga turut berpartisipasi dalam putaran pendanaan kali ini MDI Ventures, Access Ventures Korea Selatan, Convergence Ventures, VPG Asia, Red Sails Investment, dan Eddy Chan.

Pasca pendanaan ini, pimpinan TPTF Barry Lee akan masuk ke dewan direksi Kata.ai. Dana yang diperoleh akan digunakan untuk R&D, peningkatan layanan untuk menjadi yang terdepan di Indonesia, dan perluasan layanan ke Asia Tenggara dan Taiwan.

“Kami sangat terkesan dengan manajemen tim Kata.ai. Mereka menunjukkan semangat dan kecakapan teknis yang luar biasa dalam industri AI. Kemampuan mereka untuk memonetisasi platform sembari menangani beberapa jenis industri telah membawa mereka ke posisi strategis untuk pertumbuhan eksponensial. Meskipun tergolong startup muda, kami percaya Kata.ai sudah menjadi pemimpin industri NLP Indonesia,” ungkap Barry tentang pendanaan ini.

Kata.ai adalah pivot perusahaan yang sebelumnya mengusung brand YesBoss. Jika sebelumnya YesBoss menyasar pasar ritel, Kata.ai lebih ditujukan ke klien korporasi (B2B). Perusahaan mengklaim pihaknya, setelah pivot, telah meningkatkan pendapatan hingga 30 kali lipat dalam waktu setahun.

Kepada DailySocial, Co-Founder dan CEO Kata.ai Irzan Raditya menyebutkan, “Salah satu hal yang kami pelajari adalah pada dasarnya suatu startup harus bisa mencari cara untuk tetap bertahan dengan membangun fundamental bisnis secara kuat, terlepas dari kondisi fundraising di suatu pasar.”

“Melihat kondisi pasar saat ini, ketika misi kami ingin mendemokrasikan teknologi chatbot (AI/NLP) kepada masyarakat luas, edukasi pasar adalah hal yang sangat krusial. Salah satu bentuk pendekatan pasar yang paling efektif menurut kami adalah dengan meluncurkan solusi chatbot untuk merek-merek/perusahaan-perusahaan ternama bagi pelanggan mereka demi menjawab beberapa permasalah yang dialami dan meningkatkan kualitas layanan,” lanjutnya.

Dimulai dengan Veronika dan Jemma

Kata.ai telah mengembangkan Veronika, bersama Accenture, untuk Telkomsel dan Jemma untuk Unilever Indonesia. Veronika tersedia di platform Facebook Messenger, LINE, dan Telegram; sementara Jemma tersedia di LINE.

Irzan menyebutkan hingga saat ini total percakapan di kedua platform tersebut sudah mencapai 170 juta buah, sementara jumlah keseluruhan pengguna yang berinteraksi dengan chatbot Kata.ai telah mencapai 6 juta orang.

Dalam pengembangan layanan ini, mereka mencari cara yang scalable untuk mendistribusikan teknologinya melalui kemitraan dengan konsultan teknologi, system integrator, dan software house untuk mengimplementasikan solusi chatbot menggunakan teknologi dan platform yang perusahaan kembangkan.

Secara jangka panjang, Irzan berharap banyak pemain lokal yang dapat memanfaatkan teknologi tersebut demi memberikan kemudahan dan efisiensi di berbagai macam layanan dan sektor indsutri, dari telekomunikasi, healthcare, layanan finansial dan perbankan, smart city, dan lainnya.

“Era ini mengingatkan kami 10 tahun yang lalu, ketika iPhone baru pertama kali rilis. [Ketika itu] aplikasi merupakan hal yang sangat baru di pasaran. Kami sendiri memiliki optimisme yang kuat dengan perkembangan bot ke depannya,” ujar Irzan.

Ia melanjutkan, “Dasar alasan kami adalah sebagai berikut: untuk perbandingan dalam 1 tahun App Store rilis hanya tersedia 50.000 aplikasi di pasaran, namun dalam 1 tahun Facebook Messenger merilis teknologi chatbot, angka tersebut mencapai 2 kali lipat. 100.000 bots dalam setahun sudah tersedia di pasaran.”

“Era aplikasi selama 10 tahun terakhir telah melahirkan perusahaan-perusahaan teknologi berbasis aplikasi dengan valuasi miliaran dollar dan dampak besar di masyarakat. Kami percaya 10 tahun ke depan adalah eranya AI dan bot. Kami ingin melahirkan the next generation of entrepreneurs melalui teknologi yang kami bangun.”

Ekspansi

Tentang rencana ekspansinya di Asia Tenggara dan Taiwan, Irzan menyebutkan Jakarta akan tetap menjadi kantor pusat, tetapi pihaknya sudah memiliki beberapa rencana ke depan. Kata.ai akan mengembangkan teknologi Pengolahan Bahasa Alami (NLP) dengan tujuan dapat memahami dan meningkatkan kemampuannya beroperasi dalam beberapa bahasa Asia Tenggara, di luar Bahasa Indonesia yang digunakan sekarang.

“Kami sudah memiliki rencana dengan beberapa mitra strategis untuk support pengembangan bahasa lokal di masing-masing negara. Begitu halnya dari segi pemasaran kami memiliki relasi yang sangat baik dengan mitra kami seperti Microsoft dan Accenture untuk solusi go-to-market.”

Dengan bantuan TPTF, Kata.ai akan mendirikan anak perusahaan yang sepenuhnya berdiri di Taiwan dan berkolaborasi dengan startup teknologi untuk melayani pasar lokal. Kini, mereka sedang menjalani proses diskusi dengan mitra potensial dalam seluruh wilayah jangkauannya.

“Fleksibilitas teknologi Kata.ai untuk mengadopsi bahasa baru juga memungkinkan perluasan secara cepat ke berbagai negara. Dengan memanfaatkan jaringan internasional dan kemampuan teknologi TPTF, kami ingin memperluas bisnis Kata.ai di luar Indonesia,” ungkap Barry.

Bot Studio Platform

Pengembangan teknologi Kata.ai ke depannya adalah pengembangan platform bagi pengembang yang ingin membangun chatbot sendiri dengan teknologi bot dan NLP dari Kata.ai. Disebut sebagai “Bot Studio Platform”, platform ini ditujukan untuk memenuhi permintaan dari perusahaan regional dan pemerintah. Saat ini versi betanya sudah tersedia untuk beberapa mitra terpilih, seperti Accenture. Meskipun demikian, Bot Studio Platform akan melayani suatu cita-cita yang lebih besar.

“Bot Studio Platform akan tersedia juga versi gratisnya. Misi kami adalah memberikan akses ‘teknologi masa depan’ yang kami garap seluas mungkin tidak hanya ke sektor enterprise namun juga startup, software developers, pelajar dan komunitas. Bot Studio Platform ini dijadwalkan akan siap di pasar dalam waktu dekat,” tutup Irzan.

Sale Stock Raih Pendanaan Seri B+ Senilai 360 Miliar Rupiah

Salah satu sektor startup digital di tanah air yang tengah berkembang cukup jauh adalah bisnis e-commerce. Kabar terbaru adalah pendanaan yang didapat Sale Stock pasca masuk dalam jajaran startup di Meranti ASEAN Growth Fund oleh Gobi Partners.

Dalam rilis yang kami terima, Sale Stock menjadi startup e-commerce pertama yang masuk di jajaran portofolio Meranti ASEAN Growth Fund. Pendanaan kali ini merupakan pendanaan Series B+ bagi Sale Stock. Selain Gobi ada venture capital lain seperti Alpha JWC Ventures, Convergence Ventures, KIP, MNC, dan SMDV.

Di putaran kali ini Sale Stock disebut mendapatkan pendanaan sebesar $27 juta atau setara dengan 360 miliar rupiah. Angka yang cukup besar untuk berbuat banyak memenangi persaingan bisnis e-commerce di Indonesia.

Menanggapi pendanaan kali ini salah satu co-founder Sale Stock Lingga Madu mengungkapkan keseriusan Sale Stock dalam menghadapi pasar e-commerce di Indonesia.

“Penyuntikan modal baru ini akan digunakan untuk memperkuat posisi kita sebagai pemimpin pasar di Indonesia dan mencoba mendapatkan keuntungan di dalam waktu dekat.”

Rencana untuk bisa menghasilkan profit ini juga diamini oleh President Sale Stock Jeffrey Yuwono. Dikutip dari e27 Jeffrey menuturkan salah satu tujuan utama mereka adalah menjadi startup yang profitable di Indonesia.

“Tujuan pertama kami adalah menjadi profitable di Indonesia, yang kami rencanakan untuk tahun depan. Dan setelah itu kami akan berpikir tentang ekspansi regional,” ujarnya.

Di sisi lain Lingga secara tersirat juga menyebutkan bahwa pihaknya mengundang orang-orang yang memiliki kemampuan teknologi dan big data untuk bergabung dengan Sale Stock. Pernyataan tersebut menggambarkan rencana besar Sale Stock yang berusaha memperkuat jajaran teknologinya untuk bersaing di pasar Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Platform Rekrutmen Urbanhire Umumkan Perolehan Dana Pra-Seri A

Platform rekrutmen Urbanhire mengumumkan perolehan pendanaan Pra-Seri A, dengan jumlah yang tidak disebutkan, dari sejumlah investor yang dipimpin oleh Convergence Ventures. Turut berpartisipasi dalam pendanaan ini adalah Social Capital, 500 Startups, Tortola Capital, Denali Capital, dan Intrafood Group. Urbanhire disebutkan adalah portofolio Social Capital pertama di Asia Tenggara. Social Capital merupakan investor sejumlah startup ternama, seperti Slack, Box Inc, dan SurveyMonkey.

Dana yang diperoleh bakal digunakan untuk memperluas jangkauan layanan (secara nasional dan regional), membangun kapabilitas penjualan dan pemasaran, dan mempercepat pengembangan produk (termasuk pencocokan algoritma pencari kerja dan perusahaan).

Urbanhire, yang didirikan oleh Benson Kawengian, Hengki Sihombing, dan Jepri Sinaga di tahun 2016, kini disebutkan telah memiliki mitra lebih dari 2000 entitas yang menggunakan sistem rekrutmennya. Urbanhire juga membantu grup Kompas Gramedia mendirikan kembali KompasKarier.

“Dalam waktu dekat platform kami akan menggunakan machine learning untuk memfasilitasi pencocokan kebutuhan antara perusahaan dan pencari kerja, ujar CEO Urbanhire Benson Kawengian.

Meski tidak menyebutkan nominal, Benson memastikan dana ini bisa menjadi bahan bakar perusahaan hingga 1-2 tahun ke depan.

Managing Partner Convergence Ventures Adrian Li berkomentar, “Rekrutmen adalah salah satu aspek terpenting dalam bisnis apapun dan tim Urbanhire telah membangun produk yang berbeda dengan menggunakan teknologi untuk membuat perekrutan lebih cepat dan mudah bagi bisnis.”


Marsya Nabila berkontribusi dalam pembuatan artikel ini

Layanan KTA Online JULO Peroleh Pendanaan Awal

JULO bukan Jualo atau Jualio. JULO, layanan peminjaman online yang bisa memberikan dana cepat tanpa agunan atau mudahnya KTA online, hari ini mengumumkan perolehan pendanaan awal, yang tak disebutkan jumlahnya, dari East Ventures, Skystar Capital, Convergence Ventures, dan sejumlah angel investor. Dana yang diperoleh akan digunakan untuk mengakselerasi misi JULO memberikan layanan finansial untuk seluruh masyarakat, khususnya yang tidak terjangkau perbankan.

JULO didirikan Adrianus Hitijahubessy, Hans Sebastian, dan Victor Darmadi yang bertemu saat sama-sama berkarier di Silicon Valley. Berdasarkan informasi yang kami peroleh, JULO memiliki dua produk, yaitu JULO Cicil (pinjaman KTA Rp2-8 juta dengan jangka waktu 3 – 6 bulan) dan JULO Mini (pinjaman KTA Rp 1 juta dengan jangka waktu 1 bulan). Yang dibutuhkan hanya KTP dan slip gaji. Secara umum tampak kemiripan bisnis antara JULO dan UangTeman.

Proses permintaan peminjaman dan penyertaan dokumen bisa dilakukan melalui aplikasi Android dengan verifikasi dalam jangka waktu maksimal 24 jam.

Co-Founder dan CEO JULO Adrianus Hitijahubessy dalam rilisnya menyebutkan:

“Ide JULO bermula ketika saya membangun solusi penilaian kredit berbasis AI untuk sebuah negara berkembang di perusahaan tempat kerja saya sebelumnya. Saya menyadari ketimbang membantu konsumen negara-negara Amerika Latin dan Afrika untuk memperoleh akses kredit, saya lebih baik membantu orang-orang di negara saya sendiri.”

“Setelah tinggal di luar negeri selama 20 tahun, saya memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan membangun JULO bersama co-founder saya,” lanjutnya.

JULO berusaha mengatasi permasalahan kurangnya akses ke peminjaman yang selama ini menjadi momok bagi 100 juta orang Indonesia. Selama ini pasar dikuasai oleh lintah darat, tetapi layanan berbasis online seperti JULO mencoba memberikan solusi yang lebih mudah dan bunga yang relatif lebih terjangkau.

Para investor memberikan pendanaan bagi JULO karena mereka percaya dengan latar belakang para pendiri yang memiliki pengalaman panjang di bidang teknis dan finansial.

Partner Skystar Capital Edward Gunawan menyebutkan pihaknya percaya bahwa memiliki algoritma penilaian kredit yang kuat merupakan kunci pembeda [JULO] dibanding startup p2p lending lainnya.

Sementara Managing Partner East Ventures Willson Cuaca dengan optimis mengatakan, “JULO dapat menawarkan bunga yang secara signifikan jauh lebih rendah dibanding kompetitor (online dan offline) karena penilaian risiko kredit yang jauh lebih baik, dibantu oleh algoritma proses underwriting yang berbasis machine learning.”

Application Information Will Show Up Here

Mudahkan Pemesanan, Rework Coworking Space Merilis Aplikasi Mobile

Kehadiran coworking space telah memberikan pilihan baru kepada pelaku startup untuk beraktivitas. Tidak lagi mengandalkan gedung atau tempat khusus untuk ruang kerja, coworking space saat ini banyak digunakan oleh startup baru, pekerja media hingga profesional lainnya untuk bekerja. Salah satu coworking space yang baru saja diresmikan adalah Rework yang terletak di kawasan strategis Kuningan, Jakarta Selatan.

Kepada media hari Ini (24/04) CEO dan Founder Rework Vanessa Hendriadi Li mengungkapkan, coworking space telah dibuka untuk umum sejak bulan Maret 2017. Dalam peresmian hari ini Rework merilis aplikasi untuk pengguna dalam versi Android dan iOS. Rework adalah coworking space pertama yang meluncurkan aplikasi mobile di Indonesia.

“Alasan utama kami merilis aplikasi mobile adalah karena selama ini smartphone sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Indonesia. Dengan memanfaatkan teknologi, aplikasi mobile coworking space Rework diharapkan bisa memudahkan proses pemesanan hingga pembayaran dalam satu aplikasi.”

Rework sendiri saat ini sudah memiliki dua cabang, yang terletak di Cityloft Sudirman dan yang terbaru di Setiabudi Building, Kuningan Jakarta. Untuk memudahkan pemesanan kedua lokasi tersebut terintegrasi dalam satu aplikasi. Paket berlangganan pun tersedia dalam 4 kategori, yaitu Rework Connect, Workflex, Workdesk dan Private Office. Harga yang ditawarkan juga cukup terjangkau, dan semua pembayaran bisa menggunakan kartu kredit dan pilihan pembayaran lainnya hanya dalam aplikasi.

“Dengan hadirnya Rework diharapkan bisa menjadi tempat untuk berkolaborasi, networking antara pelaku startup, entrepreneur dan pihak terkait lainnya,” kata Vanessa.

Kegiatan pemasaran mengandalkan kemitraan

Rework coworking space

Untuk kegiatan pemasaran selain kepada pelanggan yang ada, Rework juga mengandalkan kemitraan, di antaranya adalah dengan ISMAYA Group. Kerja sama ini memungkinkan untuk pebisnis menikmati gaya hidup bekerja sambil bermain (work and play).

“Dalam waktu dekat aplikasi Rework juga bisa dipakai untuk melakukan pemesanan workspace di berbagai lokasi ISMAYA di Indonesia,” kata Vanessa.

Terkait dengan investasi yang digelontorkan oleh Rework untuk pembangunan cabang Rework kedua di Jakarta serta peluncuran aplikasi Rework, Vanessa enggan untuk mengungkapkannya. Bisa dipastikan meskipun memiliki relasi dengan Convergence Ventures, uang yang diinvestasikan untuk Rework dan aplikasi mobile sepenuhnya berasal dari uang pribadi dan keluarga Vanessa selaku CEO Rework.

“Untuk ke depannya Rework bisa memberikan solusi untuk tidak sekedar tempat kerja yang nyaman dan tetap produktif, namun juga kepada akses teknologi untuk membangun ekosistem kondusif tumbuh bersama,” tutup Vanessa.

Application Information Will Show Up Here

Potensi Cerah Produk SaaS dan Makin Maraknya Kehadiran Investor Tiongkok di Indonesia

Memasuki hari kedua kegiatan Global Ventures Summit 2017, rangkaian acara lebih banyak diisi dengan penjabaran serta diskusi dari investor asing dan lokal. Venture capital lokal yang dihadirkan adalah Kejora Ventures dan Convergence Ventures. Ada pula VC asing seperti Wavemaker Partners yang memiliki beberapa portofolio di Asia Tenggara. Terdapat tiga hal yang menjadi sorotan dan disepakati oleh masing-masing investor tersebut, yaitu networking, SaaS dan pelokalan sebagai kunci kesuksesan membangun startup di Indonesia.

Kejora dan rencana ekpansi ke mancanegara

Sebagai salah satu venture capital dari Indonesia yang termasuk aktif membina startup lokal, Kejora Ventures memiliki rencana yang cukup agresif sepanjang tahun 2017. Salah satu rencana yang akan diwujudkan Kejora adalah menambah lebih banyak lagi kantor perwakilan Kejora di berbagai negara dan menambah jumlah partner dari Eropa, Korea Selatan, dan Thailand.

“Kami memang sedang menempatkan beberapa kantor oprasional di negara tujuan yang kami anggap memiliki potensi dan layak untuk ditempatkan kantor perwakilan, seperti yang baru kami lakukan di Bangkok baru-baru ini,” kata Managing Director Kejora Ventures Andy Zain.

Dalam proses pemilihan startup yang tepat di Indonesia, Andy dan tim melihat ke industri yang hingga kini masih belum disentuh oleh pemain lainnya. Contoh keberhasilan yang telah diterapkan Kejora adalah dengan menjadi salah satu venture capital yang serius mengembangkan layanan financial technology (fintech).

“Kami dari Kejora melihat nampaknya sudah cukup sulit untuk memasuki industri e-commerce di Indonesia. Dengan alasan itulah kami akhirnya memilih layanan fintech, HR dan logisitik yang menjadikan Kejora salah satu pionir di industri tersebut,” kata Founding Partner Kejora Group (Mountain Kejora Ventures) Sebastian Togelang.

Kekuatan networking untuk mendukung pertumbuhan startup

David Siemer dari Wavemaker Partners

Dalam beberapa diskusi yang digelar dalam cara GVS 2017 hari kedua, pentingnya networking saat membangun startup banyak disampaikan oleh para investor. Menurut Andy, sebaik apa pun ide yang dimiliki atau seberapa besar pendanaan yang didapatkan, tidak akan memberikan impact yang cukup baik jika tidak dibarengi dengan kemampuan untuk networking yang baik.

Kekuatan networking juga disinggung David Siemer dari Wavemaker Partners. Wavemaker adalah venture capital asal Amerika Serikat yang telah mendalami dunia startup di Asia Tenggara selama 10 tahun terakhir. Menurut Andrew, penggiat startup wajib mencermati seperti apa jaringan atau networking yang dimiliki oleh venture capital tersebut sebelum mendapatkan pendanaan. Jaringan tersebut seyogyanya akan memberikan keuntungan lebih kepada startup.

“Selain jaringan, hal lain yang harus diperhatikan oleh startup ketika memilih VC adalah siapa saja capital partner mereka, personality dari VC tersebut dan tentunya LP (limited partner).”

Potensi menjanjikan SaaS

Terkait dengan sektor yang paling menjanjikan untuk diinvestasikan di Indonesia, Adrian Li dari Convergence Ventures menyebutkan layanan atau produk Software as a Service (SaaS) tidak disangka memiliki potensi yang cukup cerah di Indonesia. Adrian juga menambahkan selain SaaS, sektor yang menarik untuk dikembangkan adalah mobile internet, O2O dan fintech.

“Awalnya saya tidak yakin dengan produk SaaS atau bisnis software di Indonesia, namun saat ini sudah banyak produk SaaS dan software tumbuh dengan baik di Indonesia,” kata Adrian.

Sementara itu menurut Andrew dari Wavemaker, produk SaaS di Asia Tenggara, nilai valuasinya masih sangat rendah. Namun hal tersebut tidak menjadikan sektor SaaS kurang diminati.

Kehadiran perusahaan dan VC Tiongkok di Indonesia

Adrian Li dari Convergence, Jefferson Chen dari GSR Ventures, Ian Goh dari 01VC

Salah satu topik menarik yang juga dibahas dalam acara GVS 2017 adalah kehadiran investor dan perusahaan raksasa asal Tiongkok seperti Alibaba ke Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang banyak dan kebiasaan konsumen yang tidak jauh berbeda dengan Tiongkok, Indonesia menjadi pasar yang menarik untuk dijajaki  investor Tiongkok.

Namun demikian, pelokalan masih menjadi faktor penentu keberhasilan perusahaan asing yang berencana masuk ke Indonesia. Hal ini ditegaskan Jefferson Chen dari GSR Ventures.

“Untuk menjalankan bisnis di Indonesia harus mengerti kultur dan pasar di Indonesia. Hal ini berlaku untuk semua bisnis dari luar negeri untuk selalu menempatkan tim lokal terlebih dahulu di Indonesia.”

Akuisisi yang dilakukan oleh Alibaba kepada Lazada, kolaborasi antara Emtek dengan Alipay juga membuktikan bahwa secara perlahan makin banyak investor asal Tiongkok yang mulai melirik pasar di Indonesia. Menurut Ian Goh, Founding Partner 01vc, diperkirakan akan lebih banyak lagi investor asal Tiongkok yang berinvestasi di Indonesia.

“Saya melihat akan makin banyak Chinese capital masuk ke bisnis di Indonesia. Untuk itu masalah seperti kurangnya talenta yang berkualitas hingga minimnya kemampuan dan pengalaman dari pendiri startup harus diminimalisir,” kata Goh.


DailySocial adalah media partner Global Venture Summit 2017

MDI dan Convergence Ventures Kembali Terlibat dalam Pendanaan Ematic Solutions

MDI dan Convergence Ventures kembali terlibat pada pendanaan startup pengembang SaaS asal Singapura Ematic Solutions (Ematic). Kali ini suntikan pendanaan yang diberikan senilai $2,4 juta atau senilai Rp32.1 miliar. Selain MDI dan Convergence turut berpartisipasi investor lama Ematic WaveMaker Partners dan dukungan investor baru Walden Internasional. Sehingga total investasi yang telah dibukukan mencapai Rp4,4 juta. Pendanaan ini sekaligus menutup putaran pendanaan pra seri A untuk Ematic.

“Pertumbuhan kami mencapai tiga kali lipat dari tahun ke tahun, dan sejak Oktober 2015 monthly recurring revenue (MRR) terus meningkat dua kali lipat per enam bulan. Kami juga telah menyelesaikan ekspansi tahun pertama kami di pasar Asia Tenggara, termasuk di Indonesia Thailand, Vietnam, Malaysia dan Filipina. Saat ini kami memiliki jumlah staf 80 orang,” ujar Founder & CEO Ematic Solutions Paul Tenney.

Ematic menyediakan platform berbasis komputasi awan untuk kebutuhan pemasaran digital melalui sistem email yang dilengkapi dengan teknologi artificial intelligence (AI). Pendanaan Ematic tersebut rencananya akan digunakan untuk meningkatkan kapabilitas produk terutama di platform mobile sekaligus meningkatkan skalabilitas untuk pengembangan sebuah self-service platform.

“Investasi pra seri A ini menggarisbawahi keyakinan investor kami dengan model bisnis, teknologi dan laju pertumbuhan kami. Pendanaan ini akan mempercepat berbagai hal dan memberikan kekuatan untuk membuat produk yang lebih efisien,” ujar Tenney.

Selain itu penguatan posisi di pasar Asia Tenggara juga akan menjadi fokus utama. Hal ini sejalan dengan visi perusahaan untuk segera bergegas mendominasi pasar Asia Pasifik. Untuk memulai dominasi di pasar yang lebih luas, Ematic juga telah menghadirkan bisnisnya di Hong Kong. Pembukaan kantor di wilayah tersebut dinilai akan menjadi landasan kuat di wilayah Asia Utara.