Pintek Introduces “Pintek Instan”, Adjusting Educational Loan Amid Pandemic

The specific p2p lending platform for the education sector, Pintek, launched a new product called Pintek Instant. Pintek’s Co-Founder & President Director Tommy Yuwono said the new service was made specifically to help parents of students from early childhood education to college during this pandemic situation.

As Tommy said, the education sector was severely affected by the Covid-19 outbreak. First, the increasing unemployment rate and the decreasing income of the majority of the population. On the other hand, there are around 69 million students who lost access to education during this pandemic, only 40% of Indonesia’s population has internet access. Educational institutions are automatically affected because they need funds to digitize teaching and learning activities.

In fact, Pintek Instant is an upgraded version of the Pintek Student. The difference is, this latest product is able to do credit approval in just one hour.

The credit limit that can be submitted reaches IDR 5 million. The urgent need for education funding along with the economic turmoil due to the pandemic has made Tommy believe that Pintek Instant can help parents to pay for everything in school, from admission fees, gadgets for distance learning, and other bills.

“This Pintek Instant can be given quickly, there is also an option for restructuring, and integrated into schools for submission,” Tommy said in the webinar.

There are two tenor options available for those who want to use this service, 30 days and 90 days. The 30-day settlement option has no interest, while the 90-day option will cost 2.19% interest. All with a loan limit of IDR 5 million.

“Pintek Instant is limited to schools partnered with us. Therefore, we also invite schools in need of this solution, where there are parents who experience problems, therefore, cash flow does not decrease, the students can learn in peace, to contact us,” he added.

Apart from Pintek, there are other fintech lending platforms in Indonesia that offer loans in the education sector. Some of them are Cicil, KoinPintar from KoinWorks, and DanaDidik.

Restructuring as an option

Pintek service has reached 20 provinces in Indonesia with more than 3 thousand borrowers. In addition, they have collaborated with 142 educational institutions. With a large enough scale and this pandemic condition, Pintek provides loan restructuring options for Pintek Instant.

Tommy explained that the restructuring application can be done by filling in the required documents through their customer service. After completing the document, they will offer a new installment scheme, of course, with the approval of the lender.

“We also improve or justify our scoring criteria to prevent bad credit,” said Tommy.

Through this latest product, Tommy targets to gain around 5,000 new borrowers in the next six months. This target is very likely to be achieved considering the large funding needs in the education sector during this pandemic and the number of p2p lenders that focus on education is still relatively small in the country.

Pintek Instant is also a continuation of Pintek’s plan after securing an extension fund from their pre-series A round which was announced last May. At that time, Tommy stated that the funds they obtained is to be focused on developing technology that supports the education industry affected by Covid-19.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pintek Luncurkan “Pintek Instan”, Penyesuaian Pinjaman Pendidikan di Tengah Pandemi

Platform p2p lending khusus sektor pendidikan Pintek meluncurkan produk terbaru bernama Pintek Instant. Co-Founder & Direktur Utama Pintek Tommy Yuwono mengatakan, layanan baru tersebut dibuat khusus untuk membantu orang tua pelajar dari pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi selama situasi pandemi ini.

Menurut Tommy, sektor pendidikan terkena dampak yang cukup dalam dari wabah Covid-19 yang berkepanjangan. Pertama adalah membesarnya angka pengangguran dan kian turunnya pendapatan sebagian besar masyarakat. Di sisi lain ada sekitar 69 juta pelajar yang kehilangan akses pendidikan selama pandemi ini, hanya 40% dari penduduk Indonesia yang punya akses internet. Institusi pendidikan pun otomatis terkena imbasnya karena mereka butuh dana untuk melakukan digitalisasi kegiatan belajar-mengajar.

Sejatinya Pintek Instan ini merupakan versi upgrade dari Pintek Student. Bedanya, produk terbaru ini mampu melakukan persetujuan kredit hanya dalam satu jam.

Adapun batas kredit yang boleh diajukan mencapai Rp5 juta. Kebutuhan pendanaan pendidikan yang mendesak diiringi dengan gejolak ekonomi akibat pandemi membuat Tommy yakin Pintek Instan dapat membantu orang tua pelajar untuk melunasi segala keperluan di sekolah mulai dari uang pangkal, gawai untuk belajar jarak jauh, dan tagihan lainnya.

“Pintek Instant ini bisa dengan cepat diberikan, juga ada opsi untuk restrukturisasi, dan terintegrasi ke sekolah untuk pengajuannya,” ujar Tommy dalam webinar yang mereka selenggarakan.

Ada dua pilihan tenor yang tersedia bagi mereka yang ingin menggunakan Pintek Instan ini yakni 30 hari dan 90 hari. Opsi pelunasan 30 hari tidak dikenakan bunga, sedangkan opsi 90 hari dikenakan bunga 2,19%. Semua dengan batas pinjaman Rp5 juta.

“Pintek Instant terbatas ke sekolah-sekolah yang bekerja sama dengan kami. Jadi kami pun mengundang sekolah-sekolah yang membutuhkan solusi ini, di mana ada orang tua murid mengalami kendala, agar cash flow tidak berkurang, anak-anak murid bisa belajar dengan tenang, bisa menghubungi kami,” imbuhnya.

Selain Pintek, di Indonesia sudah ada platform fintech lending lain yang tawarkan pinjaman di sektor pendidikan. Dua di antaranya Cicil, KoinPintar dari KoinWorks, dan DanaDidik.

Pilihan restrukturisasi

Layanan Pintek sudah menjamah 20 provinsi di Indonesia dengan lebih dari 3 ribu peminjam. Selain itu mereka telah bekerja sama dengan 142 institusi pendidikan. Dengan skala yang sudah cukup besar dan kondisi pandemi ini, Pintek menyediakan opsi restrukturisasi pinjaman untuk Pintek Instan ini.

Tommy menjelaskan, pengajuan restrukturisasi dapat dilakukan dengan mengisi dokumen-dokumen yang dibutuhkan melalui customer service mereka. Jika hal itu sudah rampung mereka baru akan menawarkan skema cicilan yang baru yang tentu saja dengan persetujuan pemberi pinjaman.

“Kami juga meningkatkan atau menjustifikasi kriteria scoring kami untuk mencegah kredit macet,” tukas Tommy.

Melalui produk anyar ini Tommy menargetkan bisa memperoleh sekitar 5.000 peminjam baru dalam enam bulan ke depan. Target itu sangat mungkin tercapai mengingat kebutuhan pendanaan di sektor pendidikan yang masih besar selama masa pandemi ini dan jumlah p2p lending yang fokus di pendidikan masih tergolong sedikit di Tanah Air.

Pintek Instant ini juga merupakan kelanjutan dari rencana Pintek ketika berhasil mengantongi extension fund dari putaran pra-seri A mereka yang diumumkan Mei lalu. Saat itu Tommy menyatakan dana yang mereka peroleh saat itu akan difokuskan untuk mengembangkan teknologi yang mendukung industri pendidikan yang terdampak Covid-19.

Pandemi Buat Nilai Industri Esports Turun, Genshin Impact Dapatkan US$60 Juta dari Mobile

Dalam satu minggu terakhir, ada sejumlah berita menarik terkait bisnis di industri game dan esports. Salah satunya adalah tentang Newzoo yang menurunkan perkiraan valuasi industri esports akibat pandemi. Selain itu, juga ada kabar tentang Genshin Impact, game buatan developer Tiongkok yang dengan cepat menjadi populer di tingkat internasional.

Newzoo Menurunkan Perkiraan Pemasukan untuk Industri Esports

Pada Februari 2020, Newzoo memperkirakan, valuasi industri esports akan mencapai lebih dari US$1,1 miliar pada tahun ini. Namun, karena pandemi COVID-19, mereka harus membuat perubahan pada perkiraan nilai industri esports. Pada April 2020, mereka memperkirakan, valuasi industri esports akan turun menjadi US$1,05 miliar. Sementara pada Juli 2020, mereka kembali menyesuaikan perkiraan mereka menjadi US$973,9 juta. Kali ini, Newzoo menyebutkan, valuasi industri esports turun menjadi US$950,3 juta.

“Satu hal yang harus diingat, audiens esports tidak mengecil (permintaan tidak turun) dan jumlah penyelenggara turnamen juga tidak bertambah sedikit (pasokan konten esports juga tidak berkurang),” ujar Newzoo, seperti dikutip dari VentureBeat. “Kami menyesuaikan nilai industri esports karena ada beberapa turnamen esports yang tertunda atau harus dibatalkan.”

The International 10 jadi salah satu turnamen esports yang ditunda.
The International 10 jadi salah satu turnamen esports yang ditunda.

Selama pandemi, turnamen esports memang masih bisa diselenggarakan. Namun, kebanyakan turnamen tersebut diadakan secara online. Newzoo menyebutkan, hal ini memengaruhi pemasukan industri esports dari penjualan tiket. Tak hanya itu, jika turnamen esports hanya diadakan secara online, hal ini juga berdampak pada penjualan merchandise. Akibat pandemi, Newzoo menurunkan perkiraan pemasukan industri esports dari penjualan tiket dan merchandise dari US$76,2 juta menjadi US$52,5 juta.

Kabar baiknya, pandemi membuat viewership turnamen esports meningkat. Salah satu indikasi yang Newzoo perhatikan adalah viewership dari turnamen esports yang diadakan oleh Riot Games. Biasanya, viewrship dari turnamen yang diadakan pada musim panas (Juni-September) mengalami penurunan sekitar 20%-30% jika dibandingkan dengan turnamen pada musim semi (Maret-Juni). Namun, kali ini, viewership dari turnamen League of Legends di Eropa dan Amerika Utara justru mengalami kenaikan sekitar 16,7% sampai 30%. Hanya saja, ke depan, mungkin akan muncul masalah baru karena penyelenggara kesulitan untuk mengadakan turnamen internasional.

Masalah lain yang muncul akibat pandemi adalah berkurangnya minat perusahaan untuk menjadi sponsor atau memasang iklan. Hal ini bisa membaut pemasukan di bagian sponsorship dan hak siar media mengalami penurunan. Newzoo mengungkap, jika pandemi masih berlangsung hingga 2021, berbagai pelaku dunia esports mau tidak mau harus melakukan revisi akan strategi bisnis mereka.

ReKTGlobal Mendapatkan Dana Bank Sebesar US$35 Juta

ReKTGlobal, perusahaan induk dari tim esports Rogue dan London Royal Ravens, baru saja mendapatkan dana bank sebesar US$35 juta dari Summit Partners. Dana tersebut akan digunakan untuk beberapa hal. Salah satunya adalah untuk mempekerjakan sejumlah eksekutif baru, menambah tim sales, dan juga mencari pemain esports berbakat.

London Royal Ravens adalah salah satu tim Call of Duty League. | Sumber: The Loadout
London Royal Ravens adalah salah satu tim Call of Duty League. | Sumber: The Loadout

Jika dibandingkan dengan organisasi esports lain, ReKTGlobal cukup unik. Mereka tidak hanya fokus untuk membangun tim esports yang kuat, mereka juga berinvestasi di berbagai bagian lain dari esports. Sebelum ini, mereka telah mengakuisisi perusahaan media Fearless Media dan juga perusahaan marketing Greenlit Content, menurut laporan Forbes.

Sebelum mendapatkan dana bank, ReKTGlobal juga telah berhasil mendapatkan sejumlah invsetor ternama, seperti musisi Steve Aoki, Imagine Dragons, dan Nicky Romero. Mereka juga didukung oleh beberapa atlet olahraga seperti pemain basket Prancis Rudy Gobert, atlet american football Landon Collins, dan petenis Amerika Serikat Taylor Fritz.

Genshin Impact Mendapatkan US$60 Juta di Perangkat Mobile Dalam Minggu Pertama

Dalam satu minggu, Genshin Impact dari developer Tiongkok, miHoYo, mendapatkan pemasukan sebesar US$60 juta dari App Store dan Google Play Store. Menurut laporan Sensor Tower, game ini duduk di peringkat dua dalam daftar mobile game dengan pemasukan terbesar pada minggu peluncuran. Peringkat pertama diduduki oleh Honor of Kings, yang berhasil meraup US$64 juta dalam satu minggu setelah peluncurannya, sementara peringkat ketiga diisi oleh PUBG Mobile dengan pemasukan US$56 juta.

Di Tiongkok, Genshin Impact mendapatkan US$25 juta dari App Store. Namun, tidak diketahui berapa pemasukan yang didapatkan oleh game itu dari pengguna Android. Pasalnya, Google Play Store tidak tersedia di Tiongkok. Negara yang menyumbangkan kontribusi terbesar kedua pada pemasukan Genshin Impact adalah Jepang dengan spending sebesar US$17 juta. Amerika Serikat ada di posisi ketiga dengan total spending sebesar US$8 juta, lapor GamesIndusty.

Selain diluncurkan untuk mobile, Genshin Impact juga dirilis untuk PlayStation 4 dan PC. Ke depan, miHoYo juga berencana untuk meluncurkan game ini ke platform lain. Saat ini, Genshin Impact sudah berhasil menjadi game Tiongkok dengan peluncuran internasional paling sukses.

ESL dan GUNNAR Perkenalkan Kacamata Gaming Kedua, ESL Blade

Pada April 2020, ESL mengumumkan kerja samanya dengan GUNNAR Optiks untuk membuat kacamata khusus gamer. Sekarang, keduanya merilis produk kedua hasil kerja sama mereka, yaitu ESL Blade. Sebelum ini, mereka telah merilis kacamata Lighting Bolt 360: ESL Edition. Sama seperti produk-produk GUNNAR lainnya, ESL Blade menggunakan lensa “Blue Light Protection Factor”, yang diklaim memblokir 65% cahaya biru dari layar dan mengurangi kesilauan layar, lapor The Esports Observer.

Kacamata ESL Blade, hasil kerja sama antara ESL dan GUNNAR. | Sumber: The Esports Observer
Kacamata ESL Blade, hasil kerja sama antara ESL dan GUNNAR. | Sumber: The Esports Observer

Menurut organisasi Prevent Blindness, yang bertujuan untuk memberikan informasi pada masyarakat tentang cara melindungi mata mereka, cahaya biru dari layar komputer dan perangkat digital lainnya dapat menyebabkan kelelahan pada mata, yang bisa berujung pada kerusakan di retina.

Gojek and Halodoc Shared Some Tips to Optimize Growth Opportunity Amid Pandemic

The pandemic has turned out to be able to make big tech companies like Gojek perform strategic changes and focus on new businesses on the platform. In the webinar event initiated by the Technology Journalists Forum (Forwat), representatives from Gojek and Halodoc conveyed challenges to new innovations that are then implemented and are expected to become their respective superior products.

Focused on user’s feedback

The pressure and economic changes that occurred during the pandemic have actually increased the number of Halodoc users who then conduct mental consultations to psychiatrists and psychologists through the platform. After being officially launched in late June, the consulting service has now been supported by 500 psychologists and psychiatrists.

According to Halodoc’s CMO, Dionisius Nathaniel, not only was it used by adults, but there were also some children who took advantage of the mental consultation channel presented by Halodoc through the application and website. This achievement shows the increasing need for users to convey the complaints and stresses they experience during the pandemic.

As a platform that promotes health for all, Halodoc has also carried out several activities that help the government and of course the community during the pandemic. One of them is the giving of the Covid-19 Rapid Test. At the beginning of the pandemic, Halodoc has also introduced chatbot technology, namely Preliminary Risk Assessment. Its function is in the form of a questionnaire that helps people check whether they are at risk of being affected by Covid-19 or not.

“In the mapping, we can see how many users use this feature and help us to see the location. Mostly are those living in big cities,” said Dionisius.

In addition to mental consultations and Covid-19 rapid tests, Halodoc also claims to have experienced positive growth from the Health Shop. In this case, taking advantage of partnerships with 100 health shops spread out and integrated delivery with Gojek driver-partners, is able to increase the number of purchases and deliveries easier and of course faster.

“The strategic collaboration with Gojek proves that what we present, namely a fast delivery in under 60 minutes, has been successfully realized by Halodoc and of course Gojek,” said Dionisius.

To maintain business growth during the pandemic and help more people access health information and consultation services with doctors, Halodoc wants to continue to get feedback from users in order to provide comprehensive digital health services, not only in big cities but in other regions in Indonesia.

“We currently have around 20 million active users on applications and websites. This increase is supported by the services and information we provide related to the Covid-19 topic. Education is part of our strategy to increase user traction on applications and websites,” Dionysius said.

Support partners with technology

Meanwhile, Gojek, which already has a variety of services, during the pandemic began to focus on the welfare of driver-partners and merchants. Starting from making donations to launching appropriate technology. According to Gojek’s Chief of Corporate Affairs Nila Marita, the company is trying to focus on their core business. Starting from mobility, food-related, logistics, and payment.

“An interesting fact that also occurred during the Gomed service pandemic has also increased quite well. We note that transactions in Gomed have increased by up to 103%,” Nila mentioned.

Another service that has also increased is entertainment, with GoTix services recorded an increase of up to 30 times. Adjusting the PSBB rules and working at home which is mostly applied by office workers and students. Meanwhile, to help culinary partners outside the culinary business to run their business, Gojek has also launched Selly which is a keyboard and dashboard application that makes it easier for SMEs to serve customers.

With the launch of this special merchant application, it is hoped that it can accelerate the acceleration of Gojek merchants through tools tailored to their needs.

“Through the Selly application, we hope that there will be more social commerce players in Indonesia who can be facilitated in terms of supporting tools for their business. Gojek will also continue to collaborate with relevant partners and brands,” Nila said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

How These Early-Stage Startups Can Survive Despite Pandemic

There are many reasons why startups in the early stages have so many difficulties. Obstacles in finding the right talent, building solid team communication, product exploration, also penetration on the target market.

During this pandemic, these obstacles converge to several more fundamentals. Maintaining cash flow and seeking new funding to secure business continuity are two of them.

We spoke with three startups in the early phase (seed) to find out tips and strategies for dealing with this pandemic. They generally don’t have the flexibility of a more mature startup. However, it is not impossible. They have taken various initiatives to survive this abnormal situation.

Focus not only to a single market

It still remains the memory of the early months when the pandemic hit so many businesses until some are collapsed. The sectors most affected, such as hospitality, restaurants, import-export logistics, transportation, experienced the hardest hit. Large-scale social restrictions (PSBB) to reduce the level of transmission of the outbreak forced the sector to hold back for a while.

Stoqo is one of the victims. The discontinuity of thousands of restaurants and shopping centers caused their income to drop significantly. Stoqo announced shutdown in April.

Startup Izy.ai, which business is closely related to hospitality, learned from this situation. The CEO, Gerry Mangentang does not want the startup he founded to have the same fate.

Izy started its operation in 2018, relies on the sustainability of hotels and accommodations. Its platform helps hotels and accommodations digitize services and increase guests. Gerry realized that his party could not continue to rely solely on the hospitality business. Moreover, the local situation indicates that the pandemic will last longer.

“We have to pivot into another direction and must not depend only on accommodations. We have plans to enter the residential and retail [markets],” Gerry said.

Izy’s core business actually lies in fulfilling the digitization of hotel services through a subscription model. Services such as ordering food in the hotel, room service, laundry, and others. With the same principle, they are trying to open new markets by penetrating modern retail and residential settlements.

“We are an on-demand platform, with this retail we can be considered light e-commerce, but for malls and retail. The focus will be on Jakarta, Bandung, and Bali,” Gerry added.

Efficiency and other initiatives

If Izy decided to pivot in order to survive this crisis, Crowde and Doogether prefer efficiency strategy.

Crowde’s Head of Impact Investment, Afifa Urfani admitted, at the beginning of the pandemic, her team experienced a strong impact in order to survive until public acceptance of its products. Therefore, Afifa thought Crowde is more selective with every step of the way.

“We chose to slow down, to speed up later,” she said.

Crowde carefully calculates the costs in and out of the company, tightens expenses, and changes the company’ss culture to do all its activities digitally. This method is the compensation that Crowde chose, therefore the acquisition and maintenance process of their capital project continues.

Crowde’s core business is actually capital risk control in the agricultural sector. Since the pandemic began, Afifa said the company has made several initiatives to adjust to the situation. One of these initiatives is to link market access with tonnage purchases.

“What is different is that in the past we focused on the hospitality business (hotels, restaurants, cafes/catering), now we are open to multi-layer market potential,” she added.

Doogether has similar strategies. The wellness platform fronted by Fauzan Gani admits Doogether has made many adjustments to expenses.

From an initiative aspect, Doogether focuses on enriching its service features. One of them is by launching a live streaming-based class to be ordered through the application. This strategic step was taken to target people who now exercise more at home.

“In addition, we also add a verification feature for our partners who have opened their facilities and comply with the SOP from the government,” Doogether’s CEO, Fauzan Gani said.

New funding is still an option

Extending the runway is the focus of all startups in these situations. Apart from previous strategies, funding is a clearly available option. However, funding is not an easy choice because it involves many other factors.

Fauzan said that the obstacle to raising a new funding round is the unstable economic situation in Indonesia. He thought, the availability of vaccines is hope for getting out of the pandemic crisis and the adoption of the community for the industry they are in.

Fauzan admitted that his team had no plans to raise new funds. He believes the Doogether runway is still sufficient to survive the pandemic crisis since they have succeeded in getting extension funding from its investors.

“However, as a startup, we must always be ready for a new round of funding,” he said.

Afifah has quite similar answer. Attracting investors for new funding is clearly more challenging. That’s why deploying Series A funding is the second priority. Crowde’s first priority, she mentioned, is to optimize the scheme and business model in order to finance operational expenses, even though the profits they earned were thin.

We strongly believe that the runway is still long enough to survive the company, Crowde is determined to get through this crisis with their own business.

“Certainly our choice is to run a healthy business in order to ensure investment possibilities,” Afifa said.

Meanwhile, Izy is racing against time. The recent seed funding gave them a one-year runway. With hospitality and accommodation conditions still far from normal, their pivot plan will play a big role in the company’s future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

H1 2020, Pemasukan Industri Game di jerman Capai Rp64,4 Triliun

Pemasukan industri game di Jerman pada semester pertama 2020 mencapai €3,7 miliar (sekitar Rp64,6 triliun) menurut data dari GfK dan App Annie yang dikumpulkan oleh Game, badan dagang untuk industri game di negara tersebut. Hal ini berarti, pemasukan industri game Jerman pada 2020 naik 27% jika dibandingkan dengan tahun lalu. Sebagai perbandingan, sepanjang 2019, total pemasukan industri game di Jerman hanya mencapai €6,2 miliar (sekitar Rp108 triliun).

Dari semua segmen industri game, sektor in-game purchase mengalami pertumbuhan paling besar. Total pemasukan dari in-game purchase mencapai €1,5 miliar (sekitar Rp26,1 triliun) naik 35% jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Sementara sektor yang mengalami pertumbuhan terbesar kedua adalah hardware, yang mencakup PC, konsol, dan aksesori. Secara keseluruhan, hardware gaming mendapatkan pemasukan sebesar €1,3 miliar (sekitar Rp22,6 triliun), naik dari €1,1 miliar (sekitar Rp19,2 triliun) pada tahun lalu. Diperkirakan, industri game di Jerman, khususnya bagian hardware gaming, masih akan tumbuh pada semester 2 2020. Pasalnya, akan ada 2 konsol baru yang diluncurkan tahun ini, yaitu Sony PlayStation 5 dan Xbox Series X/S dari Microsoft.

pemasukan industri game jerman
Pasar mobile game di Jerman naik dari tahun ke tahun. | Sumber: European Gaming

Pandemi COVID-19 menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan industri game di Jerman. Selama lockdown, masyarakat disarankan untuk tidak keluar dari rumah. Jadi, mereka punya waktu lebih banyak untuk bermain game. Memang, beberapa bulan belakangan, industri game cenderung mengalami pertumbuhan di berbagai negara. Misalnya, di Tiongkok, pemasukan industri game naik hingga 30%. Total belanja gamer di Amerika Serikat juga mengalami kenaikan pada Q1 2020.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Game, lebih dari sepertiga masyarakat Jerman mengaku bahwa mereka menghabiskan waktu lebih banyak untuk bermain game selama pandemi, lapor GamesIndustry. Sementara itu, sebanyak 27 persen konsumen Jerman mengatakan bahwa mereka kini lebih sering bermain game bersama keluarga dan teman mereka.

“Selama krisis pandemi, banyak orang menghabiskan waktunya untuk menggunakan smartphone mereka, baik sebagai sarana hiburan, edukasi, atau sebagai cara untuk tetap terhubung dengan teman dan keluarga mereka,” kata Managing Director dari Game, Felix Falk, seperti dikutip dari European Gaming. “Melanjutkan kesuksesan pada tahun lalu, pasar mobile game mengalami pertumbuhan lebih dari 10 persen pada semeseter pertama dari 2020. Bagi jutaan masyarakat Jerman, bermain game di smartphone dan tablet kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.”

Fintech Business in the First Half of 2020

Financial technology (fintech) is a well-developed business landscape in Indonesia. The growth lies on both sides, from businessmen and consumers. It is recognized by the increasing categories of fintech services in Indonesia with an increasing user base. Annually, DSResearch is to release “Fintech Report”, an integrated report discussing the trends and dynamics of the related industry.

Earlier this year, in the latest published report, presented some interesting data. One of which is related to the distribution of funds by p2p lending startups. Last year, the value was up to IDR 60.4 trillion, increased by almost 3 times from the previous year. Borrower accounts registered with the OJK also increased to 14.3 million, 3 times exceeding from a total number in 2018 at 4.3 million accounts.

In conclusion, there is always an increase in business from year to year, with the most popular sub-businesses related to loans and digital wallets. Unlike this year, Covid-19 has “disrupted” various business arrangements, including fintech, therefore, many business agendas must be readjusted. However, has this pandemic really caused significant disruption to fintech in Indonesia?

This article intends to present analysis and comparison data, referring to business activities that have taken place during the first half of 2020.

Startup funding

Amid business objectives to accelerate growth, funding is an important business aspect that the founder continues to strive for. In the first half of 2020 (H1 2020), there were 8 funding involving fintech startups operating in Indonesia. Regarding transactions, the number decreased compared to H1 2019, last year there were 12 transactions. However, in terms of nominal (published), the value is much greater in H1 2020.

There are no publications of fintech funding throughout the first quarter of this year, all the news starting to be announced in April 2020. Here’s the full list:

Stage Month Startup Value
Debt Funding April KoinWorks $20 million
May KoinWorks $10 million
Pre-Series A May Pintek Undisclosed
Series A April Qoala $13.5 million
June Wallex Technologies Undisclosed
Series B March Digiasia Bios Undisclosed
Series C April Investree $23.5 million
April Modalku Undisclosed

If last year most of the funding was in the early stages, this year more funding was disbursed for further funding. Some analysts have predicted that the crisis caused by this pandemic will make investors more selective in disbursing their funds. Most chose to increase the spin in established businesses and get good traction, also in this Covid-19 period.

In addition, Cashlez made a successful IPO on the Indonesia Stock Exchange earlier this year. The company released 250 million new shares at Rp350 per share. This amount of capital includes approximately 17.5 percent of the paid-up and issued capital. Successfully booked Rp 87.5 billion from the event.

P2P lending amid pandemic

The Indonesian Joint Funding Fintech Association (AFPI) in early June 2020 published its research. It is disclosed that during the pandemic period, loans that were successfully facilitated and approved by lenders reached IDR 237 billion from 674 thousand accounts/transactions. The survey was held on 9-14 May 2020 with 143 p2p lending organizers as respondents.

In terms of consumer, the return rate is quite stable. A total of 90 platforms claim that TKB90 is stable, 34 platforms claim that TKB90 has increased, and 6 platforms claim that TKB90 has increased. TKB90 is a credit quality level on a platform. The higher and closer to level 100, the better. Based on OJK’s data as of March 2020, the TKB90 for the p2p lending industry was recorded at the level of 95.78%.

As of April 2020, the accumulated lending in the p2p lending industry was IDR 106.06 trillion, increased by 186.54% YoY. Java Island dominates the total loans of up to Rp 90.88 trillion, the remaining Rp 15.18 trillion comes from outside Java. The number of registered lenders was 647,993 and borrowers reached 24.77 million.

Product consolidation and innovation

Several new product initiatives are being rolled out by local fintech players. Last June, KoinWorks announced that they are serious about working on the investment business, they are collaborating with MMI to release a mutual fund feature through its application. Regarding investment, Indodax and Tanamduit have also expanded their business to accommodate these demands, by presenting a digital gold sell-and-buy feature.

Another collaboration formed between Dana and YesDok, for a telemedicine feature on the Dana app – previously Gojek-Halodoc and Grab-Ping An had released similar services. In the meantime, LinkAja launched a sharia feature to work on new market segments. Several business platforms outside the fintech industry also expand their business lines in the financial sector. As an effort of helping SME partners in their ecosystem, Moka and eFishery have launched the capital-loan feature this year.

This year, the banking sector also increased its penetration to present technology products. Expecting good fortune in the digital wallet ecosystem, Bank OCBC NISP has started to seriously work on ONe Wallet. Jenius also strengthened the features in the application, last May they introduced Moneytory to help users with personal financial planning. Meanwhile, Bank Mandiri also released a special application to accommodate MSME loans this year.

Remittance should be a highlight

Layanan remitansi mulai banyak diminati di tengah kebutuhan solusi transfer dana antar negara yang lebih efisien / Freepik - pch.vector
Remittance service is gaining popularity amid the demand for an efficient cross-country money transfer / Freepik – pch.vector

In the first half of 2020, two remittance-related innovations were introduced. First, Zendmoney attempts to bridge migrant workers, then the OY! Indonesia, which released a new feature entitled remittances. The demand for cheap and efficient cross-country transactions has succeeded in making players in this sub-sector capture the consumers’attention.

DailySocial had a chance to talk with two remittance players, Transfez and Topremit. Transfez’ representative said, since the Covid-19 pandemic in March 2020, the number of Transfez users has increased by more than 400%. Moreover, TopRemit claims to have successfully processed more than 280 billion Rupiah with 16 thousand users registering and within the first 6 months of 2020.

Wallex Technologies is a player in local remittance technology which is getting funding this year. During the pandemic period, they claim on average a 20% increase in business every month.

In May 2020, BRI Ventures also announced to involve in Nium funding, a Singapore-based remittance startup. Visa also participates in this round. Before changing its name, Nium has secured an investment from MDI Ventures in 2014. Then, MDI Ventures was still directed by Nicko Widjaja, who now leads BRI Ventures. In the first quarter of 2020, Nium achieved a transaction value of $2 billion.

Fintech’s future development

Unfortunately, the pandemic impact is yet to end. Even in various cities, PSBB is still running to prevent virus transmission, which indeed has an impact on the economy in the local area. Basically, fintech startups work to “accommodate” the economic (monetary) process of society, as simple as: digital wallets will only be filled when the user has money/income. Therefore, the ongoing economic slowdown can also have a negative impact related to traction.

On the other hand, people are still pursuing many opportunities. There are more activities at home, many have started to try their luck with entrepreneurship – starting food, crafts, or other services. At a time when banks are increasingly selective in applying for credit, p2p lending can be an alternative solution for capital. Nevertheless, the challenge for the platforms is an increase in risk analysis – some credit scoring players are starting to emerge to accommodate these needs.

Beyond remittances and the popular fintech business model, there are still some business opportunities with potential development. There are two, we projected to be significant are the insurtech and equity crowdfunding. Supported by a quite low insurance penetration that continues to increase, and the culture of mutual cooperation that is unique to Indonesian society.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bisnis Fintech di Paruh Pertama 2020

Financial technology (fintech) menjadi lanskap bisnis yang berkembang baik di Indonesia hingga saat ini. Pertumbuhannya di dua sisi, dari pebisnis maupun konsumen. Hal tersebut ditunjukkan dengan makin bervariasinya layanan fintech yang ada di Indonesia, dan memiliki basis pengguna yang besar. Setiap tahun, DSResearch rutin merilis “Fintech Report”, sebuah laporan terpadu membahas tren dan dinamika industri terkait.

Dalam laporan terbaru yang diluncurkan awal tahun ini, dikemukakan beberapa data menarik. Salah satunya terkait penyaluran dana oleh startup p2p lending, tahun lalu nilainya sampai Rp60,4 triliun Rupiah, naik hampir 3x lipat dari tahun sebelumnya. Akun peminjam yang tercatat di OJK juga naik menjadi 14,3 juta, meningkat 3x lipat lebih dari tahun 2018 yang hanya 4,3 akun.

Kesimpulannya, terpantau selalu ada peningkatan bisnis dari tahun ke tahun, dengan sub-bisnis yang paling populer terkait pinjaman dan dompet digital. Sayangnya tahun ini Covid-19 telah “mengganggu” berbagai tatanan bisnis, tak terkecuali fintech, sehingga banyak agenda bisnis yang harus disesuaikan ulang. Namun apakah pandemi tersebut benar-benar memberikan gangguan yang berarti kepada fintech di Indonesia?

Artikel ini akan mencoba menyajikan data ulasan dan perbandingannya, mengacu pada aktivitas bisnis yang telah berlangsung selama paruh pertama tahun 2020.

Pendanaan startup

Di tengah kebutuhan bisnis untuk mengakselerasi growth, pendanaan menjadi aspek bisnis penting yang terus diupayakan oleh founder. Di paruh pertama 2020 (H1 2020), tercatat 8 pendanaan yang melibatkan startup fintech yang beroperasi di Indonesia. Terkait transaksi, jumlahnya turun dibanding H1 2019, tahun lalu ada 12 transaksi. Namun terkait nominal (yang dipublikasikan), nilainya jauh lebih besar H1 2020.

Tidak ada publikasi pendanaan fintech sepanjang kuartal pertama tahun ini, semua pendanaan baru diumumkan mulai April 2020. Berikut daftar selengkapnya:

Tahapan Bulan Startup Nilai
Debt Funding April KoinWorks $20 juta
Mei KoinWorks $10 juta
Pre-Series A Mei Pintek Tidak dipublikasi
Series A April Qoala $13.5 juta
Juni Wallex Technologies Tidak dipublikasi
Series B Maret Digiasia Bios Tidak dipublikasi
Series C April Investree $23.5 juta
April Modalku Tidak dipublikasi

Jika tahun lalu kebanyakan adalah pendanaan di tahap awal, tahun ini pendanaan lebih banyak dikucurkan untuk pendanaan lanjutan. Beberapa analis sudah memprediksi, krisis akibat pandemi ini membuat investor menjadi lebih selektif dalam mengucurkan dananya. Sebagian besar memilih meningkatkan putaran di bisnis yang sudah mapan dan mendapatkan traksi baik, juga pada periode Covid-19 ini.

Selain itu, awal tahun ini Cashlez berhasil melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia. Perusahaan melepas 250 juta saham baru dengan harga Rp350 per lembar. Jumlah modal ini meliputi sekitar 17,5 persen dari modal disetor dan ditempatkan. Berhasil membukukan Rp87,5 miliar dari hajatan tersebut.

P2P lending selama pandemi

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) pada awal Juni 2020 lalu mengumumkan hasil risetnya. Dipaparkan, selama periode pandemi pinjaman yang berhasil difasilitasi dan disetujui lender mencapai Rp237 miliar dari 674 ribu akun/transaksi. Survei tersebut diselenggarakan pada 9-14 Mei 2020 dan diikuti oleh 143 platform penyelenggara p2p lending sebagai responden.

Dari sisi konsumen, tingkat pengembaliannya cukup stabil. Sebanyak 90 platform menyatakan TKB90 stabil, 34 platform penurunan TKB90, dan 6 platform mengaku TKB90 naik. TKB90 adalah level kualitas kredit dalam suatu platform. Semakin tinggi dan mendekati level 100, maka semakin baik. Berdasarkan data OJK per Maret 2020, TKB90 industri p2p lending tercatat di level 95,78%.

Per April 2020, akumulasi penyaluran pinjaman di industri p2p lending sebanyak Rp106,06 triliun, naik 186,54% secara yoy. Pulau Jawa mendominasi total pinjaman hingga Rp90,88 triliun, sisanya sebanyak Rp15,18 triliun datang dari luar Pulau Jawa. Jumlah lender yang tercatat ada 647.993 dan borrower mencapai 24,77 juta.

Konsolidasi dan inovasi produk

Beberapa inisiatif produk baru terus digulirkan oleh pemain fintech lokal. Juni lalu KoinWorks umumkan mulai serius menggarap bisnis investasi, mereka menggandeng MMI untuk rilis fitur reksa dana melalui aplikasinya. Soal investasi, Indodax dan Tanamduit juga melebarkan sayapnya untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut, dengan menghadirkan fitur jual-beli emas secara digital.

Kolaborasi lain juga dijalin antara Dana dengan YesDok, menambahkan fitur telemedicine di aplikasi Dana — sebelumnya Gojek-Halodoc dan Grab-Ping An juga telah rilis layanan serupa. Di periode yang sama, LinkAja resmikan fitur syariah untuk menggarap segmen pasar baru. Beberapa platform bisnis di luar fintech juga terus upayakan perluasan lini bisnis di bidang finansial. Berdalih untuk membantu mitra UKM di dalam ekosistemnya, Moka dan eFishery tahun ini resmikan fitur permodalan.

Di sektor perbankan, tahun ini juga meningkatkan eksistensinya untuk menghadirkan produk teknologi. Mengharapkan peruntungan di ekosistem dompet digital, Bank OCBC NISP mulai serius garap ONe Wallet. Jenius pun perkuat fitur di aplikasinya, Mei lalu mereka hadirkan Moneytory untuk membantu pengguna melakukan perencanaan keuangan pribadi. Sementara Bank Mandiri tahun ini juga merilis aplikasi khusus untuk mengakomodasi kredit UMKM.

Remitansi layak menjadi perhatian

Layanan remitansi mulai banyak diminati di tengah kebutuhan solusi transfer dana antar negara yang lebih efisien / Freepik - pch.vector
Layanan remitansi mulai banyak diminati di tengah kebutuhan solusi transfer dana antar negara yang lebih efisien / Freepik – pch.vector

Paruh pertama 2020, ada dua inovasi terkait remitansi dihadirkan. Pertama kehadiran Zendmoney yang ingin membantu menjembatani pekerja migran, kemudian yang kedua aplikasi OY! Indonesia yang merilis fitur baru bertajuk remitansi. Kebutuhan transaksi antarnegara (cross-border) yang murah dan efisien secara proses berhasil membuat para pemain di sub-sektor ini mencuri perhatian konsumen.

DailySocial sempat berbincang dengan dua pemain remitansi, Transfez dan Topremit. Pihak Transfez mengatakan, sejak pandemi Covid-19 di bulan Maret 2020, jumlah pengguna Transfez telah meningkat lebih dari 400%. Pun demikian buat TopRemit, mereka mengklaim berhasil memproses lebih dari 280 miliar Rupiah dengan 16 ribu pengguna yang mendaftar dan dalam 6 bulan pertama 2020.

Wallex Technologies menjadi pemain di teknologi remitansi lokal yang tahun ini mendapatkan pendanaan. Selama periode pandemi, mereka mengklaim rata-rata dapatkan peningkatan bisnis sekitar 20% setiap bulan.

BRI Ventures pada Mei 2020 lalu juga mengumumkan turut terlibat dalam pendanaan Nium, startup Remitansi asal Singapura. Visa turut berpartisipasi pada putaran ini. Sebelum berganti nama, Nium pernah mendapat suntikan dana dari MDI Ventures di 2014. Saat itu MDI Ventures masih dipimpin oleh Nicko Widjaja yang kini telah memimpin BRI Ventures. Pada kuartal pertama 2020, Nium telah mengantongi nilai transaksi sebesar $2 miliar.

Perkembangan fintech selanjutnya

Sayangnya dampak pandemi belum berakhir sampai saat ini. Bahkan di berbagai kota masih dilakukan PSBB untuk mencegah penularan virus, yang tentu berdampak pada perekonomian di wilayah setempat. Pada dasarnya startup fintech bekerja “menampung” proses ekonomi (moneter) dari masyarakat, sesederhana: dompet digital baru akan terisi kalau penggunanya memiliki uang/penghasilan. Sehingga perlambatan ekonomi yang terus menjadi-jadi ini bisa juga memberikan dampak buruk terkait dengan traksi.

Di sisi lain, banyak peluang yang diburu oleh masyarakat. Lebih banyak aktivitas di rumah, banyak yang mulai mencoba peruntungan dengan berwirausaha – membuka jasa pesan makanan, kerajinan atau jasa lainnya. Di saat perbankan makin selektif terhadap pengajuan kredit, p2p lending bisa menjadi solusi alternatif untuk permodalan. Maka tantangannya untuk para platform adalah peningkatan analisis risiko – beberapa pemain credit scoring mulai bermunculan untuk akomodasi keperluan tersebut.

Di luar remitansi dan model bisnis fintech populer, masih ada beberapa peluang bisnis yang berpotensi dikembangkan. Dua di antaranya yang menurut kami akan menjadi sesuatu yang signifikan adalah insurtech dan equity crowdfunding. Didukung penetrasi asuransi yang masih minim dan terus meningkat; dan kultur gotong-royong yang khas di masyarakat Indonesia.

Tren Perlambatan Iklim Investasi Startup Indonesia di Semester II 2020

Pandemi Covid-19 belum usai, perekenomian juga belum pulih. Indonesia bisa masuk ke periode resesi apabila perekonomian masih mencatat pertumbuhan minus di kuartal III 2020 .

Seluruh sektor bisnis dan industri saat ini sedang mengalami masa sulit karena pandemi. Meskipun demikian, ada juga yang melihat situasi ini sebagai momentum untuk mengakselerasi peran digitalisasi. Ini juga menjadi salah satu manuver terhadap perubahan pasar dan perilaku konsumen di tengah pandemi.

Bagaimana pencapaian transaksi pendanaan startup di Indonesia di semester I 2020 dan seperti apa tren selanjutnya di penghujung 2020?

Pendanaan di semester I 2020

Sebagaimana diberitakan Nikkei, tren investasi di Asia Tenggara justru melonjak pada kuartal II 2020 (periode April-Juni). Pandemi menjadi momentum bagi pelaku bisnis e-commerce dan fintech untuk memperoleh traksi layanan besar seiring dengan kebijakan pemerintah untuk melaksanakan pembatasan sosial dan Work From Home (WFH).

Menurut data DealStreetAsia, Indonesia menyumbang transaksi terbanyak pada periode tersebut dengan 45,8 persen dibandingkan negara lain di kawasan Asia Tenggara. Terbanyak kedua dan ketiga adalah Singapura (33,2%) dan Vietnam (7,9%).

Pada semester I 2020, DailySocial mencatat sebanyak 52 transaksi pendanaan startup Indonesia yang diumumkan. Apabila dibandingkan dengan periode sama tahun lalu, memang ada peningkatan dari sebanyak 50 transaksi pendanaan, tetapi tidak signifikan.

Pendanaan Startup Indonesia Semester I 2020 / DailySocial
Pendanaan Startup Indonesia Semester I 2020 / DailySocial

Jumlah transaksi ini sebetulnya bisa lebih meningkat lebih besar dibandingkan periode sama tahun lalu. Hanya saja pandemi juga mengakibatkan sejumlah kesepakatan pendanaan menjadi mundur dari target semula.

Misalnya, Paxel awalnya menargetkan dapat mengantongi pendanaan baru di kuartal II 2020. Namun, rencana ini terpaksa diundur pada kuartal III 2020. Sementara, Mbiz mengaku kesulitan mencari investor baru karena situasi ini. Bahkan perusahaan di bidang e-procurement ini harus merevisi target penggalangan dana.

Dari sisi tahapan, startup pemula (seed) masih mendominasi transaksi pendanaan. Sementara, startup fintech dan edtech menjadi vertikal bisnis yang paling banyak memperoleh suntikan investasi di semester I 2020.

Tren investasi di kuartal III mulai melambat?

Kuartal ketiga 2020 memang belum berakhir. Namun, berdasarkan data yang dirangkum DailySocial, tren investasi pada kuartal ini terbilang cukup melambat.

Pada periode Juli hingga saat ini (year-to-date), terdapat sebanyak 19 transaksi pendanaan startup di Indonesia. Sebagai gambaran, pada kuartal ketiga 2019 terdapat 30 transaksi pendanaan yang diumumkan sebagaimana dirangkum pada Startup Report 2019.

Beberapa di antaranya berasal dari startup unicorn dan tahap lanjut, yaitu Traveloka dengan perolehan dana sebesar Rp3,6 triliun dan Sociolla sebesar Rp841 miliar.

Valuasi Traveloka sendiri diestimasi turun menjadi $2,75 miliar (hampir Rp40 triliun) demi memperoleh suntikan dana segar ini. Aksi down round ini terpaksa diambil karena bisnis perusahaan terpukul akibat Covid-19 sehingga mengakibatkan penurunan layanan.

Lebih lanjut, perolehan investasi periode Juli hingga awal September ini masih didominasi oleh beberapa vertikal bisnis yang mendapatkan keuntungan dari situasi saat ini, misalnya beautytech, e-commerce, logistik, dan fintech.

Startup Vertikal Bisnis Pendanaan
Sociolla Beautytech Series E
Payfazz  Fintech Series B
TiinTiin E-commerce Seed
SYCA Beautytech Seed
Kiddo  Edtech  Seed
Traveloka  OTA Series Unknown
Ayoconnect  Fintech Pre-Series B
Wahyoo  Social Enterprise Series A
CrediBook  Fintech  Seed
eFishery  Aquatech Series B
IUIGA E-commerce Series Unknown
BukuKas SaaS Pre-Series A
Tjetak Others Series A
SIRCLO E-commerce Enabler Series B
PasarPolis  Insurtech Series B
PropertyGuru Group Proptech Series Unknown
Webtrace Logistik Seed
CredoLab  Fintech Series A

Akselerasi digital picu optimisme iklim investasi

Dihubungi secara terpisah, Managing Partner MDI Ventures Kenneth Li mengungkap bahwa tren pendanaan startup di kuartal keempat 2020 diprediksi tetap lebih lambat dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini mengingat situasi pandemi masih berlanjut dan perekonomian belum pulih.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 minus 5,32 persen (year-on-year). Pertumbuhan ini terburuk sejak krisis 1998 di Indonesia. Belum lagi, Jakarta kembali menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) jilid dua mulai pekan ketiga September ini.

Kendati demikian, Kenneth mengaku optismistis terhadap tren investasi ke depan mengingat ada banyak vertikal bisnis startup yang justru terdampak positif dari kondisi ini. Hal ini terutama berkaitan dengan akselerasi kapabilitas digital menjadi lebih cepat dan urgent.

Ia juga melihat ke depannya bisa saja jadi momentum konsolidasi lewat merger dan akuisisi (M&A) bagi industri startup. “Ini karena sekaligus mengevaluasi apakah para founder startup tersebut memiliki kemampuan untuk bertahan. Cara bertahan itu banyak, bisa lewat galang pendanaan baru, pivot, dan konsolidasi,” ujarnya kepada DailySocial.

Sebelumnya, perusahaan VC raksasa Sequoia Capital telah memperingatkan bahwa penyebaran COVID-19 bakal memberikan efek turbulensi terhadap bisnis dan iklim investasi di industri startup dunia. Sequoia bahkan menyebut Covid-19 sebagai “The Black Swan di 2020”.

Sequoia memperingatkan seluruh ekosistem startup dan turunannya untuk memikirkan ulang sejumlah aspek bisnisnya di sepanjang tahun ini. “Meskipun mungkin bisnis Anda belum akan terdampak langsung dari kasus ini, Anda perlu mengantisipasi bahwa konsumen bisa saja mengubah spending habit mereka,” menurut Sequoia.

Bagaimana Beberapa Startup Fase Awal Ini Bertahan dari Pandemi

Ada banyak alasan mengapa startup di tahap awal punya banyak kesulitan. Kendala mencari talenta yang tepat, membangun komunikasi tim yang solid, eksplorasi produk, hingga menembus pasar yang dituju.

Di masa pandemi ini, kendala tersebut mengerucut ke beberapa hal yang lebih fundamental. Menjaga cash flow dan mencari pendanaan baru untuk mengamankan keberlangsungan bisnis adalah dua di antaranya.

Kami berbicara dengan tiga startup di fase awal (seed) untuk mengetahui bagaimana kiat dan strategi mereka menghadapi pandemi ini. Pada umumnya mereka tidak punya fleksibilitas seluas startup di fase yang lebih matang. Namun bukan berarti tanpa harapan. Berbagai inisiatif mereka lakukan agar selamat dari situasi tidak normal ini.

Tidak terpaku ke satu pasar

Masih lekat di ingatan bagaimana di bulan-bulan awal pandemi menghantam begitu banyak bisnis runtuh. Sektor yang paling terpengaruh seperti hospitality, restoran, logistik ekspor impor, transportasi, jelas kena imbas paling keras. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menekan tingkat penularan wabah memaksa sektor tadi gigit jari untuk sementara waktu.

Stoqo adalah salah satu korbannya. Tutupnya ribuan restoran, rumah makan, dan pusat perbelanjaan menyebabkan turunnya pendapatan mereka turun drastis. Stoqo mengumumkan berhenti beroperasi pada April lalu.

Startup Izy.ai, yang bisnisnya bersinggungan erat dengan hospitality, belajar dari keadaan tersebut. CEO Gerry Mangentang tidak ingin startup yang ia dirikan bernasib serupa.

Izy yang mulai beroperasi pada 2018 menggantungkan bisnisnya pada keberlangsungan hotel dan akomodasi. Platform-nya membantu hotel dan akomodasi dalam mendigitalisasi layanan dan meningkatkan konsumsi tamu. Gerry sadar pihaknya tak bisa terus-menerus hanya bersandar pada bisnis hospitality. Terlebih situasi di dalam negeri mengindikasikan pandemi masih akan berlangsung lebih lama.

“Kita harus pivot ke arah lain dan tidak boleh bergantung ke hotel saja. Kita ada rencana masuk ke [market] residensial dan ritel,” ujar Gerry.

Fokus bisnis Izy sejatinya terletak pada pemenuhan digitalisasi layanan hotel lewat model berlangganan. Layanan itu seperti pemesanan makanan di dalam hotel, room service, binatu, dan lainnya. Dengan prinsip yang sama, mereka berupaya membuka pasar baru dengan merambah ritel modern dan permukiman residensial.

“Kita ini platform on demand, kalau dengan ritel ini kita bisa dianggap light e-commerce-lah, tapi untuk mall dan ritel. Fokusnya akan ada di Jakarta, Bandung dan Bali,” ujar Gerry.

Efisiensi dan inisiatif lainnya

Jika Izy memilih pivot sebagai jalan untuk terus bertahan dari masa paceklik ini, Crowde dan Doogether lebih memilih jalan efisiensi.

Head of Impact Investment Crowde Afifa Urfani mengakui, di awal pandemi pihaknya mengalami dampak yang kuat dalam kekuatan untuk bertahan sampai penerimaan publik terhadap produknya. Itu sebabnya, menurut Afifa, Crowde lebih berhitung dalam setiap langkahnya.

“Kami memilih untuk slowing down, to speed up kemudian,” tutur Afifa.

Crowde menghitung baik-baik biaya keluar-masuk dari perusahaan, mengetatkan pengeluaran, hingga mengubah kultur perusahaan untuk melakukan segala kegiatannya secara digital. Cara tersebut merupakan kompensasi yang dipilih Crowde agar proses akuisisi dan maintenance proyek permodalan mereka tetap berjalan.

Bisnis inti Crowde sejatinya berporos pada pengendalian risiko permodalan di sektor pertanian. Sejak pandemi berlangsung, menurut Afifa, perusahaan membuat sejumlah inisiatif untuk menyesuaikan keadaan. Inisiatif tersebut salah satunya menghubungkan akses pasar dengan pembelian tonase.

“Yang berbeda hanyalah jika dulu fokus terhadap bisnis horeka (hotel, restoran, kafe/katering), kalau sekarang kami terbuka dengan potensi pasar multi-layer,” terang Afifa.

Doogether punya kiat tak jauh berbeda. Platform wellness yang digawangi Fauzan Gani ini mengakui Doogether melakukan banyak penyesuaian untuk pengeluaran.

Dari aspek inisiatif, Doogether fokus memperkaya fitur layanan mereka. Salah satunya dengan meluncurkan kelas berbasis live streaming yang dapat dipesan melalui aplikasi. Langkah strategis ini diambil untuk menyasar masyarakat yang kini lebih banyak berolahraga di dalam rumah.

“Selain itu pun kita menambahkan fitur verifikasi untuk para mitra kami yang sudah membuka fasilitas mereka dan mematuhi SOP dari pemerintah,” jelas CEO Fauzan Gani.

Pendanaan baru tetap jadi opsi

Memperpanjang napas menjadi fokus semua startup di situasi seperti ini. Di luar yang telah dilakukan tadi, pendanaan jelas jadi opsi yang tersedia untuk mereka. Namun pendanaan bukan pilihan mudah karena melibatkan lebih banyak faktor.

Fauzan berpendapat, kendala untuk menggelar babak pendanaan baru adalah situasi ekonomi Indonesia yang belum stabil. Ketersediaan vaksin sebagai harapan keluar dari krisis pandemi serta adopsi masyarakat terhadap industri yang mereka geluti menurutnya adalah faktor penentu.

Fauzan mengakui pihaknya belum ada rencana menggalang dana baru. Ia yakin runway Doogether masih cukup untuk selamat dari krisis pandemi semenjak mereka berhasil mendapatkan extension funding dari para investornya.

“Namun sebagai startup kita harus selalu siap melakukan babak baru pendanaan,” ungkapnya.

Afifah memiliki pendapat yang sama. Menarik minat investor untuk pendanaan baru jelas lebih menantang. Itu sebabnya menggelar pendanaan Seri A jadi proritas kedua. Prioritas pertama Crowde, menurutnya, adalah mengoptimalkan skema dan model bisnis agar bisa membiayai pengeluaran operasional, meski profit yang mereka peroleh tipis.

Dengan keyakinan runway dari pendanaan sebelumnya masih kuat menopang keberlangsungan perusahaan, Crowde bertekad melalui situasi krisis ini dengan bisnis mereka sendiri.

“Pastinya pilihan kami adalah menjalankan bisnis yang sehat agar bisa meyakinkan kemungkinan investasi,” pungkas Afifa.

Sementara itu Izy sedang berpacu dengan waktu. Pendanaan awal yang diperoleh belum lama ini membuat mereka memiliki runway hingga setahun ke depan. Dengan kondisi perhotelan dan akomodasi yang masih jauh dari normal, rencana pivot mereka akan berperan besar untuk masa depan perusahaan.