Kopi Kenangan Bidik Ekspansi ke Lima Negara di Asia Tenggara

Kopi Kenangan (Kenangan Brands) gencar ekspansi ke Asia Tenggara hingga 2030. Rencananya, perusahaan akan memperluas jangkauannya ke lima negara baru dan menambah 100 outlet di Malaysia yang sudah masuk sejak tahun lalu.

Disampaikan saat acara halal bihalal bersama media (17/5), Group CEO of Kenangan Brands Edward Tirtanata menargetkan dapat membuka sekitar 50 outlet lewat ekspansi baru pada tahun ini jika proses riset dan eksplorasi sudah selesai. Secara keseluruhan, totalnya ada 150 outlet di Asia Tenggara.

“Kita tidak berencana ekspansi ke Eropa, tapi tidak menutup kemungkinan kita lakukan. Kita ingin Kopi Kenangan menjadi global brand. Pertama, kita fokus ekspansi di lima negara di Asia Tenggara, yang pada akhirnya kita akan masuk ke Eropa dan Amerika,” kata Edward.

Tahun lalu, Kopi Kenangan mengawali ekspansi pertamanya di Asia Tenggara dengan membuka sepuluh gerai di Malaysia. Menurut Edward saat itu, ekspansi Malaysia seharusnya ditargetkan dapat terealisasi pada 2020, tetapi tertunda karena pandemi Covid-19.

Persiapan IPO

Edward juga bicara persiapan Kopi Kenangan melantai di bursa saham. Startup coffee chain yang sudah menyandang status unicorn ini tengah fokus melakukan restrukturisasi perusahaan, baik tata kelola hingga urusan legal. Edward menilai, jika melihat pengalaman perusahaan lain, banyak yang menunda IPO karena kurang persiapan.

Perusahaan juga masih melihat kondisi makroekonomi dan pertumbuhan perusahaan sehingga IPO dapat dilakukan di waktu yang tepat dan fundamental sudah mencapai titik yang baik. “Restrukturisasi perusahaan saat ini sudah on the way. Harusnya akhir tahun ini sudah selesai semua persiapan tersebut. Namun, kapan waktu kita untuk IPO masih belum kita pastikan,” tuturnya.

Perusahaan juga belum memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana tahapan lanjutan tahun ini. Pendanaan terakhir yang mereka peroleh adalah, pendanaan seri C senilai $96 juta atau setara Rp1,3 triliun tahun 2021 lalu.

Sebagai informasi, pada 2020, Kenangan Brands mulai merambah ke kategori makanan seperti roti dan soft-baked cookies, dan juga Chigo x Flip yang menyajikan makanan gurih, seperti fried chicken dan burger. Pada 2022, perusahaan masuk ke pasar FMCG melalui peluncuran produk siap minum Kopi Kenangan Hanya Untukmu.

Menjadi perusahaan F&B berkelanjutan

Lebih lanjut, Kenangan Brands juga ingin mendukung prinsip Environment, Social, dan Governance (ESG). Pihaknya menyadari bahwa perusahaan yang berkelanjutan harus sehat secara finansial sehingga dapat mendukung ESG. Maka itu, Kenangan Brands memiliki target untuk menjadi perusahaan sustainable sekaligus profitable pada 2030.

Beberapa strategi, seperti ekspansi gerai, inovasi produk, hingga
pemasaran yang intensif telah dilakukan untuk menjalankan bisnis yang sehat dan membangun profitabilitas. Termasuk juga menerapkan eco-friendly operations dengan fokus utama untuk mencapai zero waste tolandfill.

Saat ini, Kenangan Brands telah menjalin kemitraan dengan pelaku UMKM hingga startup yang memiliki layanan dan produk berdampak kepada lingkungan. Mulai dari melancarkan proses daur ulang bermitra dengan Octopus hingga startup cleantech yang menawarkan jasa pengelolaan sampah, termasuk di dalamnya pengumpulan, pemilahan, serta daur ulang, yaitu Rekosistem.

“Kami sangat terbuka untuk membuka kolaborasi dengan pihak terkait. Kita membuka kesempatan kerja sama dengan UMKM hingga startup yang memiliki layanan dan produk berdampak pada lingkungan.” Tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Pemodal Ventura Dorong Startup untuk Ubah “Playbook” Bisnis

Para pemodal ventura (venture capitalist) di Indonesia tak henti-hentinya menekankan para startup untuk tetap resilient di tengah berbagai gejolak ekonomi dunia tahun ini. Apalagi, di sepanjang tahun ini, kita telah menyaksikan sejumlah startup melakukan efisiensi, ada yang menutup layanan dan ada juga yang merumahkan banyak karyawannya.

Gejolak ekonomi yang terjadi diketahui merupakan salah satu langkah antisipasi global untuk menghadapi resesi dengan adanya inflasi dan kenaikan suku bunga tinggi. Bahkan, gejolak baru bertambah pasca-pemerintah Indonesia mengumumkan kenaikan harga BBM.

Sebetulnya, CEO BNI Ventures Eddi Danusaputro menilai sentimen yang terjadi tak selalu berarti buruk, baik itu tren bullish, bearish, atau market correction. “It’s a market adjusting itself. Apalagi valuasi [startup] mahal dalam beberapa tahun terakhir,” ujarnya pada sesi Nexticorn International Summit 2022 beberapa waktu lalu.

Kendati demikian, founder startup juga untuk jangan terlalu overlook pada cash management yang dapat memicu startup menjadi lalai terhadap penggunaan modal mereka. Startup perlu menahan diri melakukan shopping spree, bakar uang untuk kegiatan promo, atau menambah banyak tim.

“Kita lihat startup mulai melakukan efisiensi, bisa berupa mengurangi biaya marketing atau human resource. Startup harus mengubah playbook di situasi saat ini. Cobalah untuk fall in love dengan produk yang mereka kembangkan,” tutur Eddie.

Senada dengan di atas, Co-founder dan Managing Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe berpendapat bahwa situasi ‘tech winter‘ dapat menjadi momentum founder untuk merefleksi dan fokus kembali pada pengembangan produk. Para founder juga perlu mengubah cara mereka untuk membangun bisnis.

Menurutnya, tantangan besar justru akan dialami pada startup di tahap seri A, B, dan C, bukan di early stage. Berkaca dari pengalamannya, Jefrey menilai tidak semua startup mampu menunjukkan profitabilitas di tahapan tersebut. Startup harus kembali fokus pada fundamental dan tidak perlu terjebak pada tekanan harus segera profit selama bisnisnya solid.

“Tahun lalu, kami pikir pasar sangat bullish, banyak founder dapat funding, tim bertambah. Tiba-tiba tahun ini bearish sangat ekstrem. Where’s the money, where’s the profit? Maka itu, startup yang dapat pendanaan harus take it slow. Mereka harus berubah, salah satunya mencapai product-market-fit sampai lima tahun untuk bisa achieve profitabilityWe’ll see a lot of potential growth dalam 3-5 tahun ke depan,” jelasnya.

Ekspansi regional

Pada kesempatan sama, DailySocial.id juga sempat berbincang dengan sejumlah startup unicorn menanggapi isu IPO maupun rencana ekspansi. Sebagian besar mengaku merampungkan tahun 2022 dengan fokus terhadap pengembangan produk dan ekspansi regional.

Kopi Kenangan, misalnya, akan membuka gerai regional pertamanya di Malaysia pada kuartal IV 2022. Co-founder dan CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata mengungkap bahwa ini merupakan bagian dari rencana ekspansi ke Asia Tenggara yang akan dilakukan secara bertahap.

Ia mengaku telah mematangkan rencana ekspansi sejak lama dengan memperhitungkan potensi kenaikan harga bahan baku. Namun, situasi tersebut diatasi dengan melakukan integrasi dari sisi upstream. Per 2021, Kopi Kenangan telah menjual sebanyak 40 juta cangkir. Kini, total outlet-nya telah mencapai 672 outlet di 45 kota di Indonesia.

Demikian juga Co-founder dan COO Xendit Tessa Wijaya yang mengaku fokus terhadap ekspansi regional alih-alih memikirkan rencana melantai di bursa saham sebagaimana telah dilakukan oleh GoTo dan Bukalapak. Sekadar informasi, Xendit telah memulai ekspansi regionalnya sejak 2020.

“Saat ini, kami baru hadir di dua tenggara dan impian kami adalah menguasai Asia Tenggara. Mungkin selanjutnya, kami melirik Malaysia, Thailand, dan Vietnam untuk [ekspansi] ini karena ada permintaan dari customer. Indonesia semakin disorot, banyak global company yang berkembang. Mereka ingin suatu produk tidak cuma di Indonesia, tapi di Asia Tenggara,” jelasnya.

Adapun,  J&T Express tengah melakukan ekspansi ke Tiongkok dan Amerika Latin. Menurut CEO J&T Robin Lo, pasar J&T telah berkembang besar di Indonesia, tetapi belum merambah ke Asia Tenggara. Per 2021, J&T telah menyandang gelar decacorn dengan valuasi sebesar $20 miliar.

“Banyak perusahaan luar masuk ke Indonesia membawa investasi super raksasa. Kalau tidak menjajal negara lain, ketika diserang luar, kita akan sulit survive karena cuma punya market di Indonesia. Once we survive in Asia Tenggara dan Tiongkok, [kita] akan mudah survive di mana saja.” Tutupnya.

Kopi Kenangan Siap Ekspansi ke Malaysia pada Q4 2022

Usai mencapai tonggak unicorn, Kopi Kenangan akan menambah milestone baru pada tahun ini. Startup coffee chain tersebut siap ekspansi ke Asia Tenggara dengan membuka gerai pertamanya di Malaysia.

Malaysia is the first country untuk ekspansi di Asia Tenggara. Sebetulnya, rencana ekspansi sudah disiapkan sejak 2020, tetapi saat itu kami postpone dikarenakan pandemi Covid-19,” ungkap Co-Founder & CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata saat berbincang dengan media di Nexticorn International Summit 2022.

Edward enggan mengelaborasi lebih lanjut terkait kesiapan ekspansi ini. Namun, ia bilang ekspansi tersebut akan dibarengi dengan peluncuran produk atau brand baru, tergantung negara yang akan dituju. “Kata ‘kopi’ itu cuma dipahami di Indonesia dan Malaysia, sedangkan di negara lain tidak. Branding [baru] Kopi Kenangan akan di-announce nanti,” tambahnya.

Di masa awal berdiri, Kopi Kenangan masih memanfaakan konsep zero marketing. Mengingat saat ini awareness konsumen terhadap brand Kopi Kenangan sudah terbangun, pihaknya akan menyiapkan budget, baik untuk peluncuran produk atau pasar di luar negeri.

Menurutnya, ekspansi ini menjadi strategi Kopi kenangan untuk memperkenalkan sekaligus men-define kembali konsep kopi Indonesia di pasar internasional. Ia ingin kopi Indonesia dapat dinikmati bukan sebagai komoditas, melainkan sebagai sebuah brand.

Tahun ini, Kopi Kenangan juga masuk ke sektor FMCG dengan produk pertamanya Kopi Kenangan Hanya Untukmu. Adapun, Kopi Kenangan telah menjual sebanyak 40 juta cangkir di sepanjang 2021. Kini, perusahaan memiliki 672 outlet yang tersebar di 45 kota di Indonesia.

Menurut catatan DailySocial.id, Kopi Kenangan telah mengumpulkan dana dari investor sekitar $240 juta per akhir 2021. Ini sudah termasuk dengan pendanaan terakhir senilai $96 juta atau setara Rp1,3 triliun yang diperoleh tahun lalu.

Menanggapi gejolak ekonomi, termasuk inflasi di Indonesia, Edward mengaku bahwa perusahaan telah memprediksi situasi tersebut. Memang, situasi ini berdampak terhadap kenaikan harga beberapa bahan baku. Namun, situasi tersebut mendorongnya untuk melakukan integrasi dari sisi upstream.

Gross margin kami sudah improve sekitar 7% year-to-date, this year alone. Tentunya karena kami naikin harga, tetapi kami juga banyak melakukan upstream integration,” tambahnya.

Berdasarkan laporan Statista, pendapatan dari bisnis kopi (roast coffee) tahun ini diproyeksikan sebesar $10,6 miliar di 2022 dengan estimasi pertumbuhan CAGR 9,27% pada 2022-2025. Adapun, pendapatan dari bisnis kopi tahun lalu diperkirakan sebesar $9,5 miliar.

Application Information Will Show Up Here

Makmur Investment Platform Secures Seed Funding

Online investment platform Makmur secures seven-figure seed funding led by BEENEXT. A number of VCs and angel investors participated in this round, including Kinesys Group, Trihill Capital, Yiping Goh (Partner at Quest Ventures), Edward Tirtanata via Kenangan Kapital, Vidit Agrawal (CEO of GajiGesa), and Andrew Lee.

The money will be used to drive business growth by developing product features and portfolios. Makmur will also increase the number and develop the quality of its human resources.

“Currently, Indonesia’s capital market investors are experiencing significant growth, but only represent 2% of the total population in Indonesia. We expect this funding to support our efforts to close the financial inclusion gap and encourage literacy in Indonesia,” Sander said in his official statement.

Edward Tirtanata through his angel investment fund, Kenangan Kapital said that Indonesia is currently experiencing an unprecedented surge in investment from the retail market. Using this growth, Makmur focuses on financial advisory and goal-based investing to help assist novice investors. He considered this to provide different values ​​compared to wealthtech startups in Indonesia.

“Non-professional investors like me need financial advisors, and Makmur democratizes financial advisor services,” Edward told DailySocial.id in separate occation.

In general note, Makmur allows investors to invest with a minimum value of IDR 10,000. Makmur offers a number of features to strengthen the added value of its products. First, technology-based human advisors and Makmur Recipe to make it easier for novice investors to compare the right mutual funds. Users can also place mutual funds in different pockets according to their needs or investment goals (goal based investing).

Currently, Makmur provides eight investment managers, BNI Asset Management, Bahana TCW Investment Management, Trimegah Asset Management, Avrist Asset Management, Capital Asset Management, RHB Asset Management, FWD Asset Management, and Syailendra Asset Management.

Strengthen its position

In fact, Makmur is backed by a series of team work experiences at well-known technology and financial companies in Silicon Valley and Wall Street. Sander previously had an internship as a Facebook Software Engineer who was responsible for the algorithm for sorting posts on the News Feed and a Software Engineer at Motorola Solutions.

He has also held various positions in the financial industry, from KCG Holdings to Head of Quantitative Trading at Virtu Financial, one of the largest stock trading companies on Wall Street.

As DailySocial.id reached, Sander based his thought on a number of strategies in blending Makmur’s superior features, therefore, users can experience investing like having a personal wealth manager

For example, Makmur Recipe’s superior features were developed in several options, such as Makmur Recipe for emergency funds, retirement funds, and passive income. In addition, there is also a tech-enabled human advisor feature to design strategies according to the user’s investment goals. The recommended investment strategy will also follow the user’s risk profile.

Sander said this feature was designed by experts in their fields with the support of research and data-based investment technology. He considered that human advisors better understand the investment needs of users than robo advisors that have been circulating on similar platforms.

“We see that Indonesia has a quite low investment literacy. Most people invest because they join in or are attracted to sweet returns. In fact, a good investment must be based on data and research, not just feeling or simply following. Therefore, we made a quantitative investment strategy which draws on decades of data and research results used by Wall Street, not just academic theory,” Sander said.

Business development

This year, Sander revealed that his team will increase the mutual funds options by adding investment manager partners with good reputation and track record. His team will also collaborate with several mutual fund sales outlet partners

“We strictly select investment manager partners. In terms of mutual fund products, we consider some factors, such as performance, top holding, managed funds, and management fees for similar mutual funds,” he said.

In terms of products, Makmur will add new features to make it easier for users to invest, such as payment methods. According to Sander, the GoPay and Direct Debit payment methods are in the process of being integrated and are targeted for release in the next two months.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Platform Investasi “Makmur” Mengamankan Pendanaan Tahap Awal

Platform investasi online Makmur mengamankan pendanaan tahap awal dengan nominal tujuh digit yang dipimpin oleh BEENEXT. Sejumlah VC dan angel investor turut berpartisipasi pada putaran ini, antara lain Kinesys Group, Trihill Capital, Yiping Goh (Partner di Quest Ventures), Edward Tirtanata via Kenangan Kapital, Vidit Agrawal (CEO GajiGesa), dan Andrew Lee.

Pendanaan ini akan digunakan untuk mendorong pertumbuhan bisnisnya dengan mengembangkan fitur dan portofolio produk. Makmur juga akan menambah jumlah dan mengembangkan kualitas SDM-nya.

“Saat ini, investor pasar modal di Indonesia mengalami pertumbuhan signifikan, tetapi baru mewakili 2% dari total populasi di Indonesia. Kami harap pendanaan awal ini dapat mendukung upaya kami menutup gap inklusi keuangan dan mendorong literasinya di Indonesia,” ungkap Sander dalam keterangan resminya.

Edward Tirtanata melalui angel investment fund miliknya di Kenangan Kapital mengatakan saat ini Indonesia tengah mengalami lonjakan investasi dari pasar ritel yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan pertumbuhan ini, Makmur berfokus pada financial advisory dan goal-based investing yang dapat membantu mendampingi investor pemula. Ia menilai fokus tersebut memberikan nilai berbeda dibandingkan startup wealthtech yang ada di Indonesia.

“Investor non-profesional seperti saya membutuhkan financial advisor, dan Makmur mendemokratisasi layanan financial advisor,” ungkap Edward dihubungi terpisah oleh DailySocial.id.

Sekadar informasi, Makmur memungkinkan investor untuk berinvestasi dengan nilai minimal Rp10.000. Makmur menawarkan sejumlah fitur untuk memperkuat nilai tambah produknya. Pertama, human advisor berbasis teknologi dan Makmur Recipe untuk mempermudah investor pemula dalam membandingkan reksa dana yang tepat. Pengguna juga dapat menempatkan reksa dana pada kantong berbeda sesuai kebutuhan atau tujuan investasi (goal based investing).

Saat ini Makmur menyediakan delapan manajer investasi, yaitu BNI Asset Management, Bahana TCW Investment Management, Trimegah Asset Management, Avrist Asset Management, Capital Asset Management, RHB Asset Management, FWD Asset Management, dan Syailendra Asset Management.

Memperkuat posisi Makmur

Sebagai informasi, Makmur diperkuat deretan pengalaman kerja tim di perusahaan-perusahaan teknologi dan keuangan ternama di Silicon Valley dan Wall Street. Sander sebelumnya pernah magang sebagai Software Engineer Facebook yang bertanggung jawab atas algoritma pengurutan postingan di News Feed dan Software Engineer di Motorola Solutions.

Ia juga pernah menduduki berbagai posisi di industri keuangan, mulai dari KCG Holdings hingga menjadi Head of Quantitative Trading di Virtu Financial, salah satu perusahaan trading saham terbesar di Wall Street.

Dihubungi DailySocial.id, Sander berpatokan pada sejumlah strategi dalam meracik-racik fitur unggulan Makmur agar pengguna dapat merasakan pengalaman berinvestasi layaknya memiliki wealth manager pribadi

Contohnya, fitur unggulan Makmur Recipe yang dikembangkan dalam beberapa opsi, yaitu Makmur Recipe untuk dana darurat, dana pensiun, dan penghasilan pasif. Selain itu, ada pula fitur tech-enabled human advisor yang dapat merancang strategi sesuai tujuan investasi pengguna. Strategi investasi yang direkomendasikan juga akan mengikuti profil risiko pengguna.

Sander mengatakan, fitur ini dirancang oleh para ahli di bidangnya dengan dukungan teknologi investasi berbasis riset dan data. Ia menilai human advisor lebih memahami kebutuhan investasi pengguna daripada robo advisor yang telah banyak beredar di platform sejenis.

“Kami melihat literasi investasi di Indonesia masih sangat rendah. Kebanyakan orang berinvestasi karena ikut-ikutan atau kepincut imbal hasil yang manis. Padahal, investasi yang baik harus berdasarkan data dan riset, bukan sekadar feeling atau following. Maka itu, kami membuat quantitative investment strategy yang mengacu pada data puluhan tahun dan hasil riset yang digunakan oleh Wall Street, bukan sekadar teori dunia akademis,” papar Sander.

Rencana pengembangan Makmur

Pada tahun ini, Sander mengungkap pihaknya akan menambah pilihan reksa dana dengan menambah partner manajer investasi yang memiliki reputasi dan rekam jejak yang baik. Pihaknya juga akan menggandeng beberapa partner gerai penjualan reksa dana

“Kami selalu menyeleksi partner manajer investasi dengan ketat. Untuk produk reksa dana, kami mempertimbangkan sejumlah faktor, seperti kinerja, top holding, dana kelolaan, dan management fee reksa dana sejenis,” ungkapnya

Dari sisi produk, Makmur akan menambah fitur-fitur baru untuk mempermudah pengguna berinvestasi, seperti metode pembayaran. Menurut Sander, metode pembayaran GoPay dan Direct Debit sedang dalam proses integrasi dan ditargetkan rilis dalam dua bulan mendatang.

Application Information Will Show Up Here

Podcast Popularity to Mark the Rise of Voice Based Content Industry in Indonesia

Voice-based content has existed before the internet, through the radio. As technology advanced, now voice-based content has evolved into on-demand content accessible through platforms.

One of those is the podcast or web podcast, which has become popular in recent years. Podcasts are serialized sound-based content that can be downloaded on your device. The term podcast or a combination of the words “iPod” and “broadcasting” was born along with the birth of this Apple device in 2001. Referring to Podcast Hosting data, there are 1.75 million podcast broadcasts in the world with 43 million episodes as of February 2021.

Now, voice-based content is transformed into on-demand content and available on various platforms, such as Apple Podcast, Spotify, Google Play Music, and Anchor. Not only on-demand, but the audio-based platforms Clubhouse is also gaining popularity among users in Indonesia.

Clubhouse is actually an audio-chat-based social media application that allows users to discuss various topics with other users. Exclusively, this application is to deliver a podcast format, but live. Then, how is the Indonesian market’s acknowledgment of voice-based content?

Podcast to lead the media landscape

Based on the information from several sources, there are some reasons why podcast is dominating the media landscape in a few countries, including Indonesia. First, podcast comes in a format that allows listeners to do other activities or multitask. This situation is different while enjoying video, e-book, or image based content,

In terms of consumers, this format is considered fine to take up their busy lives. The diversity of podcasts have the ability to build a community with the same preferences.

These factors are considered relevant for the Indonesian market. Referring to Podcast User Research in Indonesia in 2018, content variation and flexibility are two big reasons why consumers listen to this digital-based audio content.

Sumber Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial
Source: Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial

In addition, the smartphone’s existence is one of the driving factors why podcasts have paved the way from specialized media to become mainstream media. What we know is that podcast content is only available in certain media, such as iPods, media players, and desktops/laptops.

According to Grand View Research, low storage space, internet connection, and the limited media to access podcasts at that time hindered the growth of this industry. Now, smartphones with high-bandwidth internet connections are starting to empower the industry.

Trend of local podcast platform

The global podcast market value is estimated at $9.28 billion in 2019 and is predicted to reach $11.7 billion in 2020 according to Grand View Research data. In Indonesia, the number of content and listeners is still dominated by foreign platforms, such as Spotify and Google Podcast.

At least, this refers to Podcast User Research in Indonesia data in 2018, where Spotify (52.02%) was recorded as the most popular platform for podcast. However, Inspigo is actually included as the only local player in the top 10.

Sumber: Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial
Source: Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial

This indicates the development of the local podcast platform awareness. The podcast growth trend in Indonesia has also encouraged a number of business players to develop similar platforms, such as Noice and PodMe.

Inspigo was launched in October 2017, but the platform was released to the public in April 2018. Meanwhile, Inspigo offers various packaged audio content, ranging from on-demand content, talk shows, and interactive sessions.

Meanwhile, Noice was launched in 2018 under PT Mahaka Radio Digital, a joint venture company formed by PT Mahaka Radio Integra Tbk (MARI) and PT Quatro Kreasi Indonesia. Quatro is a consortium of four recording companies in Indonesia, including Musica, Aquarius, My Music, and Trinity.

Finally, PodMe was developed by a media conglomerate, the Media Group. The PodMe platform was released in October 2019 and offers a number of on-demand audio content, such as comedy, business, and the Kick Andy program.

Mahaka Radio’s President Director, Adrian Syarkawie revealed that Noice, which was originally developed as a streaming radio platform, was deemed insufficient to meet the growing market needs. In fact, on-demand content is considered to be growing rapidly in a number of countries, including Indonesia.

“If only from streaming radio alone, it seems [lacking] for digital applications. Moreover, people can still hear radio from other media. So, we are looking forward to what will be attractive to consumers through this application, and so we enter the podcast content, “he said to DailySocial.

In addition, on-demand audio content is getting highlighted by investors as an interesting digital business trend in the future. For example, Kopi Kenangan’s CEO and Co-founder, Edward Tirtanata, who recently announced as an angel investor through his fund, Kenangan Kapital, is reportedly going to invest in one of the local podcast platforms.

Although it is yet to be confirmed, Edward had mentioned in an interview with DailySocial that Indonesia demands more disruption in the consumer tech segment. In his observation, the products/services of this segment are still underrated in terms of technology.

Monetization hitch

Regardless, in any format, on-demand content will always lead to one big challenge, on how to monetize the business model. In general, on-demand content relies on two schemes, advertising and subscription systems.

The second option is quite attractive for platform providers to gain revenue. As long as customers can see/enjoy the value provided, they will continue to pay. Unfortunately, this option is considered difficult for the Indonesian market with a lack of willingness to pay.

Even Spotify, which has gone public, has to make a bet on making podcast content as its way to profitability. Referring to Spotify data in Indonesia, this strategy is actually make sense.

Spotify spotted that Indonesia is dominating podcast consumption in Southeast Asia in 2020. Around 20% of the total Spotify users in Indonesia listen to podcasts every month, and this number is higher than the global average percentage.

Spotify’s Head of Studios for Southeast Asia, Carl Zuzarte said that Indonesian podcast listeners have their own characteristics, the majority like content to listen to at night before bed. The consumption rate has increased in recent months, especially during the PSBB.

Meanwhile, in terms of podcasters, Box2Box ID’s Co-founder, Tio Prasetyo , also acknowledged the challenges of monetization. He said, podcasters still rely on revenue from brand-sponsored content. In this case, clients generally have an entire episode broadcast for their own promotion, similar to radio.

“The difference is, compared to radio, we can provide more accurate data, such as the number of listeners in real-time and reach to clients,” Utomo said as quoted from krAsia.

Utomo said podcasters are to raise additional income with other models, such as speaking at offline events or distributing broadcast material on podcast platforms for paid campaigns.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Popularitas Podcast Tandai Kebangkitan Industri Konten Berbasis Suara di Indonesia

Konten berbasis suara sebetulnya sudah ada sebelum zaman internet, yakni melalui radio. Seiring berkembangnya kecanggihan teknologi, kini konten berbasis suara berkembang menjadi konten on-demand yang dapat diakses melalui platform.

Salah satunya adalah podcast atau siniar web yang mulai populer dalam beberapa tahun terakhir ini. Podcast adalah konten berseri berbasis suara yang dapat diunduh pada perangkat. Istilah podcast atau kombinasi dari kata “iPod” dan “broadcasting” lahir seiring dengan kelahiran perangkat besutan Apple ini pada 2001. Mengacu data Podcast Hosting, terdapat 1,75 juta siaran podcast dengan 43 juta episode per Februari 2021 di dunia.

Kini konten berbasis suara menjelma menjadi konten on-demand dan dapat dinikmati di berbagai platform, seperti Apple Podcast, Spotify, Google Play Music, hingga Anchor. Tak cuma on-demand, platform berbasis audio Clubhouse juga mulai populer di kalangan pengguna di Indonesia.

Clubhouse sebetulnya adalah aplikasi media sosial berbasis audio-chat yang memungkinkan penggunannya untuk berdiskusi berbagai macam topik dengan pengguna lain. Bersifat eksklusif, aplikasi ini seperti menghadirkan format podcast, tetapi secara live. Lalu, bagaimana penerimaan pasar Indonesia terhadap konten berbasis suara?

Podcast mulai kuasai lanskap media

Berdasarkan informasi yang kami kutip dari sejumlah sumber, ada beberapa alasan mengapa podcast mulai mendominasi lanskap media di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Pertama, Podcast hadir dengan format yang memungkinkan pendengar melakukan aktivitas lain atau multitasking. Situasi ini berbeda apabila menikmati konten berformat video, e-book, atau gambar,

Tentu bagi konsumen, format ini dinilai pas untuk mengisi kehidupan mereka yang sibuk. Keragaman konten podcast juga dinilai punya kemampuan untuk membangun komunitas yang memiliki preferensi sama.

Faktor-faktor  tersebut dinilai relevan bagi pasar Indonesia. Mengacu riset Podcast User Research in Indonesia di 2018, variasi konten dan fleksibilitas menjadi dua alasan besar mengapa konsumen mendengarkan konten audio berbasis digital ini.

Sumber Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial
Sumber Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial

Selain itu, kehadiran smartphone menjadi salah satu driven factor mengapa podcast membuka jalan dari media khusus menjadi media arus utama. Yang kita ketahui awalnya konten podcast memang hanya dapat diakses di media tertentu saja, seperti iPod, media player, dan dekstop/laptop.

Menurut riset Grand View Research, terbatasnya media untuk mengakses podcast saat itu, koneksi internet, dan ruang penyimpanan yang rendah, menghambat pertumbuhan industri ini. Kini kehadiran smartphone dengan koneksi internet dengan bandwith tinggi justru mulai mendorong kembali industri ini.

Tren platrform podcast lokal

Nilai pasar podcast global diestimasi mencapai $9,28 miliar pada 2019 dan diprediksi mencapai $11,7 miliar di 2020 menurut data Grand View Research. Di Indonesia, konten maupun jumlah pendengar masih dikuasai oleh platform asing, seperti Spotify dan Google Podcast.

Setidaknya demikian mengacu data Podcast User Research in Indonesia di 2018, di mana Spotify (52,02%) tercatat sebagai platform terpopuler untuk mendengarkan konten podcast. Kendati demikian, rupanya ada Inspigo yang masuk sebagai satu-satunya pemain lokal di jajaran 10 besar.

Sumber: Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial
Sumber: Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial

Ini menandakan awareness terhadap platform podcast lokal sudah mulai terbangun. Tren pertumbuhan podcast di Indonesia juga mendorong sejumlah pelaku bisnis untuk mengembangkan platform sejenis, misalnya Noice dan PodMe.

Inspigo diluncurkan pada Oktober 2017, tetapi platformnya baru dirilis ke publik pada April 2018. Adapun, Inspigo menawarkan konten audio yang dikemas secara beragam, mulai dari konten on-demand, talkshow, dan sesi interaktif.

Sementara Noice meluncur pada 2018 di bawah naungan PT Mahaka Radio Digital, perusahaan joint venture bentukan PT Mahaka Radio Integra Tbk (MARI) dan PT Quatro Kreasi Indonesia. Quatro merupakan konsorsium empat perusahan rekaman di Indonesia, yakni Musica, Aquarius, My Music, dan Trinity.

Terakhir, PodMe dikembangkan oleh konglomerasi media, yakni Media Group. Platform PodMe dirilis pada Oktober 2019 lalu dan menawarkan sejumlah konten audio on-demand, seperti komedi, bisnis, hingga program Kick Andy.

Presiden Direktur Mahaka Radio Adrian Syarkawie mengungkap, Noice yang awalnya dikembangkan sebagai platform radio streaming dinilai tak cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar yang terus berkembang. Padahal, konten on-demand dinilai sedang berkembang pesat di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

“Kalau hanya dari radio streaming saja, kelihatannya [kurang] untuk aplikasi digital. Terlebih orang masih bisa mendengar radio dari media lain. Jadi, kami melihat ke depan apa yang menarik bagi konsumen lewat aplikasi ini, dan maka itu kami masuk ke konten podcast,” ujarnya kepada DailySocial.

Tak hanya itu, konten audio on-demand juga mulai dilirik investor sebagai salah satu tren bisnis digital menarik ke depan. Misalnya, CEO dan Co-founder Kopi Kenangan Edward Tirtanata yang baru setahun belakangan merangkap sebagai angel investor lewat fund miliknya, yakni Kenangan Kapital, dikabarkan bakal berinvestasi di salah satu platform podcast lokal.

Meski belum mengonfirmasi kabar ini, Edward sempat menyebutkan dalam wawancara dengan DailySocial, bahwa Indonesia masih membutuhkan disrupsi lebih banyak di segmen consumer tech. Menurut pengamatannya, produk/layanan segmen ini di Indonesia masih terbilang underrated dari sisi teknologi.

Kerikil saat monetisasi

Terlepas dari itu semua, apapun formatnya, konten on-demand akan selalu bermuara pada satu tantangan besar, yakni bagaimana cara memonetisasi model bisnis. Umumnya, konten on-demand mengandalkan dua skema, yakni melalui iklan (ads) dan sistem berlangganan (subscription).

Opsi kedua memang menarik bagi penyedia platform untuk meraup pendapatan. Selama pelanggan dapat melihat/menikmati value yang diberikan, mereka akan terus membayar. Sayangnya, opsi ini dinilai masih sulit untuk pasar Indonesia yang punya willingness to pay yang rendah.

Bahkan Spotify yang sudah go public pun sampai harus bertaruh dengan menjadikan konten podcast sebagai cara untuk menuju profitabilitas. Jika mengacu data Spotify di Indonesia, tampaknya strategi tersebut masuk akal.

Spotify mencatat bahwa Indonesia mendominasi konsumsi podcast terbanyak se-Asia Tenggara pada 2020. Sebanyak 20% dari total pengguna Spotify di Indonesia mendengarkan podcast setiap bulan, dan jumlah tersebut lebih tinggi dari persentase rata-rata global.

Head of Studios Spotify untuk Asia Tenggara Carl Zuzarte mengatakan bahwa pendengar podcast Indonesia memiliki karakteristik tersendiri, yakni mayoritas menyukai konten yang bisa didengarkan di malam hari sebelum tidur. Konsumsinya meningkat dalam beberapa bulan terakhir terutama saat PSBB.

Sementara dari sisi podcaster, Co-founder Box2Box ID Tio Prasetyo Utomo juga mengakui adanya tantangan monetisasi. Menurutnya, saat ini podcaster masih mengandalkan pendapatan dari konten yang disponsori oleh brand. Di sini, klien umumnya meminta seluruh episode disiarkan untuk promosi mereka sendiri, mirip dengan radio.

“Bedanya adalah, jika dibandingkan radio, kami dapat memberikan data yang lebih akurat, seperti jumlah pendengar secara real-time dan jangkauan kepada klien,” ujar Tio sebagaimana dikutip dari krAsia.

Menurut Tio, podcaster bisa mendulang penghasilan tambahan dengan model lain, misalnya menjadi pembicara di acara offline atau menyebarkan materi yang disiarkan di platform podcast untuk kampanye berbayar.

Medigo Announces Pre Series A Funding, to Expand with Clinic Supply Chain

Healthtech startup Medigo announced it has secured pre-series A funding of an undisclosed amount. There are three investors involved in this new funding, the existing Venturra Discovery, and two new investors: Golden Gate Ventures and Kenangan Kapital participated as an angel investor by Kopi Kenangan’s Co-founder, Edward Tirtanata.

In his interview with DailySocial, Co-founder and CEO of Medigo Harya Bimo revealed that this new funding will support the company’s expansion plan to focus on becoming a clinic chain provider in Indonesia.

“Previously, the clinic chain was one of Medigo’s initiatives to strengthen the healthcare ecosystem in Indonesia. We are now focus on becoming a clinic chain. So, our revenue stream will be mainly from clinics,” said the man better known as Bimo.

On a separate occasion, Edward Tirtanata revealed his reasons for being involved as an angel investor in Medigo. He considered that currently there is still a big gap in the Indonesian health industry. It is undeniable that the clinic is quite the main goal of the Indonesian people considering the high cost of the hospital (RS).

The standardization of clinics in Indonesia is currently still low, so not all people are able to obtain the same health care in every region. With the support of digital platforms, Indonesia can improve the standardization of its clinic ecosystem.

“This is why this pivot can be a game changer. Not only for Medigo’s business, but also for Indonesia’s [health industry]. We made a small bet in the beginning, but Medigo is now showing promising results, even during the pandemic,” he said.

Aim to transform Indonesia’s health industry

Currently, Medigo has partnered with 73 clinics in 42 cities in Indonesia. According to Bimo, the number of partnerships will continue to be increased next year and will be followed by the presence of new services, such as telemedicine.

Klink Pintar offers a solution through a profit sharing system with clinic owners. This collaboration is in the form of providing technology solutions to digitize business processes and services, standardization, and investment that can help clinic owners develop their business and increase value-based care. Two clinics have been built by the end of 2019.

Medigo has started to fully focus on becoming the clinic supply chain since the beginning of 2019. This is because the first approach through the hospital is considered difficult to accelerate. Initially, Medigo had a mission to connect all health ecosystems in Indonesia from upstream to downstream, from patients, medical personnel, clinics, hospitals, to laboratories.

It turns out that in his journey, Medigo realized that the nature of the hospital industry is to have a long bureaucratic chain. Bimo admitted that it took him almost one year per hospital to carry out the implementation, such as platform integration and HR training.

He said this strategy is quite the right one because it reaches more on the grassroots segment. In addition, there are more clinics than hospitals in Indonesia. According to the data from the Ministry of Health per 2018, there are 2,813 hospitals in Indonesia, while there are 8,841 clinics and 9,993 health centers.

“When developing the clinic management system, more than 300 clinics registered on our platform. Only, the usage is quite low. We started to research the clinic to find out what the problem is. Is technology the main problem or is there anything else that hasn’t been resolved?” Bimo explained.

From this research, Medigo continued to prepare plans in July 2019. One of the realizations was to build a Klinik Pintar (Smart Clinic) by collaborating with the Indonesian Doctors Association (IDI) in December 2019 and officially launched in February 2020.

Pivot during pandemic

Before the pandemic, Klinik Pintar was divided into two models, independent development or collaboration with existing clinics. For the second option, Medigo can manage all existing clinic operations. There are clinics managed jointly with its owner.

When the Covid-19 pandemic occurred, the third Klinik Pintar planned to be built in March was hampered. This development requires face-to-face and continuous monitoring, while the social distancing policy does not allow this plan to continue. Even though his team has tried to provide a seamless experience to reduce interactions, people still tend to be reluctant to come to hospitals or clinics during a pandemic.

Medigo then decided to re-evaluate its pivot strategy considering the pandemic situation did not allow the startup which was founded in 2018 to continue with the Klinik Pintar partnership model at that time.

“At first, we thought this [pivot] should partner with several hundred physical clinics that can be managed by yourself. Due to pandemic, we are trying to see what are the real focus and values we aim for from the entire healthcare ecosystem. Now, we have strengths where there aren’t many who play in [the clinic supply chain],” he explained.

Medigo finally performed a repositioning strategy with two new business models, (1) continuing to build a physical clinic that would be 100 percent managed by Medigo and (2) increasing cooperation with existing clinics. He said his main focus was on the second model by expanding services rather than building a new physical clinic.

Bimo said pivot with the new business model can be effective. Even during the pandemic situation, the presence of digital communication platforms (Zoom, WhatsApp, Google Meet, and others) has greatly helped companies build trust with clinics throughout Indonesia.

Although it was down for several months, Medigo’s business is progressively growing. The peak, last May, Medigo obtained an increased rate of service up to four times compared to April. In fact, Bimo said that Medigo’s business has earned healthy margins every month until now.

Apart from that, it has also noted a significant increase in interactions on its platform. The interaction referred to is the connection among stakeholders in the health industry. Bimo admitted that this was his main KPI when Medigo was founded.

Currently, Medigo manages patient medical record data at its clinic partners. Of the 73 registered clinics, a clinic can have 100 patients per day. Along with the increasing number of Medigo partners in the future, his team targets the interactivity in the Indonesian health ecosystem will be even higher.

“Our pivot already has validation and the business model is clear. We have a demand that we can answer, the numbers prove it. It’s just how we proceed vertically, such as clinical acquisitions and service scale-up, and horizontally,” Bimo added.

To date, Medigo is focusing on expanding access to Covid-19 testing in clinics to all regions in Indonesia. His team is also conducting a proof of concept (POV) for teleconsulting specialist doctor services.

“We are aware that Covid-19 has an impact on mothers. They are not brave enough to go out for vaccines for their children because of this pandemic. We are worried that there will be a generation gap. Therefore, in the future we also want to become a distribution network for any vaccine. clinic, our ultimate goal is transparency and reduce monopoly potential.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Medigo Umumkan Pendanaan Pra Seri A, Berencana Ekspansi ke Rantai Suplai Klinik

Startup healthtech Medigo mengumumkan perolehan pendanaan pra seri A dengan nilai yang tidak disebutkan. Ada tiga investor yang terlibat dalam pendanaan baru kali ini, yakni investor existing Venturra Discovery serta dua investor baru: Golden Gate Ventures dan Kenangan Kapital yang merupakan angel fund milik Co-founder Kopi Kenangan Edward Tirtanata.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Co-founder dan CEO Medigo Harya Bimo mengungkapkan bahwa pendanaan baru ini akan mendukung rencana ekspansi perusahaan untuk fokus menjadi menjadi penyedia rantai suplai klinik (clinic chain) di Indonesia.

“Tadinya clinic chain adalah satu dari sekian inisiatif Medigo untuk memperkuat ekosistem healthcare di Indonesia. Sekarang kami fokus untuk menjadi clinic chain saja. Jadi, revenue stream kami nanti [mainly] dari klinik,” ujar pria yang karib disapa Bimo ini.

Dihubungi secara terpisah, Edward Tirtanata mengungkapkan alasannya terlibat sebagai angel investor di Medigo. Ia menilai saat ini masih ada gap besar di industri kesehatan Indonesia. Tak dipungkiri, klinik masih menjadi tujuan utama masyarakat Indonesia mengingat biaya rumah sakit (RS) masih mahal.

Standardisasi klinik di Indonesia saat ini terbilang masih rendah sehingga tidak semua masyarakat mampu memperoleh perawatan kesehatan yang sama di setiap wilayah. Dengan dukungan platform digital, Indonesia dapat meningkatkan standardisasi ekosistem kliniknya.

“Inilah mengapa pivot ini dapat menjadi game changer. Tak hanya bagi bisnis Medigo, tetapi juga bagi [industri kesehatan] Indonesia. Kami bertaruh di awal dengan jumlah yang masih kecil, tetapi sekarang Medigo menunjukkan hasil yang menjanjikan, bahkan selama pandemi,” ungkapnya.

Ingin ubah wajah industri kesehatan Indonesia

Saat ini, Medigo telah bermitra dengan 73 klinik di 42 kota di Indonesia. Menurut Bimo, jumlah kemitraan ini akan terus ditingkatkan di tahun depan dan akan diikuti dengan kehadiran layanan-layanan baru, seperti telemedicine.

Klinik Pintar menawarkan solusi melalui sistem bagi hasil dengan pemilik klinik. Kerja sama ini berupa pemberian solusi teknologi untuk mendigitalkan proses bisnis dan layanan, standarisasi, dan investasi yang dapat membantu pemilik klinik mengembangkan usaha dan meningkatkan value based care. Dua Klinik Pintar telah dibangun per akhir 2019.

Fokus untuk sepenuhnya menjadi rantai suplai klinik sudah mulai dieksekusi Medigo sejak awal 2019. Hal ini karena pendekatan awal melalui RS dinilai sulit diakselerasi. Semula Medigo memang memiliki misi untuk menghubungkan seluruh ekosistem kesehatan di Indonesia dari hulu ke hilir, mulai dari pasien, petugas medis, klinik, RS, hingga laboratorium.

Ternyata dalam perjalanannya, Medigo menyadari bahwa nature dari industri RS adalah memiliki rantai birokrasi yang panjang. Bimo mengaku pihaknya membutuhkan hampir satu tahun per RS untuk melakukan implementasi, seperti integrasi platform dan training SDM.

Menurutnya, strategi ini sudah tepat karena lebih banyak menyentuh segmen grassroots. Selain itu, jumlah klinik di Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan RS. Data Kementerian Kesehatan per 2018 mencatat ada 2.813 RS di Indonesia, sedangkan klinik mencapai 8.841 dan puskesmas 9.993 unit.

“Saat mengembangkan clinic management system, lebih dari 300 klinik mendaftar di paltform kami. Hanya saja usage-nya masih kecil. Di sini kami mulai riset ke klinik untuk tahu apa masalahnya. Apa teknologi jadi masalah utama atau ada hal lain yang belum bisa diselesaikan?” jelas Bimo.

Dari riset tersebut, Medigo berlanjut pada persiapan rencana pada Juli 2019. Salah satu realisasinya saat itu adalah membangun Klinik Pintar dengan menggandeng Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada Desember 2019 meresmikannya pada Februari 2020.

Mengeksekusi pivot selama pandemi

Sebelum pandemi, Klinik Pintar terbagi atas dua model kerja sama, yakni membangun sendiri atau berkolaborasi dengan klinik existing. Untuk opsi kedua, Medigo dapat mengelola seluruh operasional klinik existing. Ada juga yang dikelola secara bersama dengan pemilik klinik tersebut.

Ketika pandemi Covid-19 terjadi, Klinik Pintar ketiga yang direncanakan dibangun pada Maret menjadi terhambat. Pembangunan ini membutuhkan tatap muka dan monitoring berkelanjutan, sedangkan kebijakan pembatasan sosial tak memungkinkan untuk meneruskan rencana ini. Meskipun pihaknya sudah mencoba memberikan seamless experience untuk mengurangi interaksi, masyarakat tetap cenderung enggan datang ke RS atau klinik selama pandemi.

Medigo pun memutuskan mengevaluasi ulang strategi pivot-nya mengingat situasi pandemi tidak memungkinkan startup yang berdiri pada 2018 tersebut melanjutkan model partnership Klinik Pintar saat itu.

“Semula, kami pikir [pivot ini] harus menggandeng sekian ratus klinik fisik yang dapat dikelola sendiri. Karena pandemi ini, kami coba lihat apa sebetulnya fokus dan value yang ingin kami tuju dari seluruh ekoistem healthcare. Nah, kami punya strength di mana belum banyak yang bermain di [rantai suplai klinik],” jelasnya.

Medigo akhirnya melakukan repositioning strategi dengan dua model bisnis baru, yakni (1) tetap membangun klinik fisik yang akan 100 persen dikelola oleh Medigo dan (2) memperbanyak kerja sama dengan klinik existing. Ia menyebut fokus utamanya pada model kedua dengan memperbanyak layanan ketimbang membangun klinik fisik baru.

Menurut Bimo, pivot dengan model bisnis baru ini dapat dikatakan efektif. Meski di situasi pandemi ini, kehadiran platform komunikasi digital (Zoom, WhatsApp, Google Meet, dan lainnya) sangat membantu perusahaan membangun kepercayaan dengan klinik di seluruh Indonesia.

Meski sempat turun selama beberapa bulan, kini bisnis Medigo berangsur meningkat kembali. Puncaknya, pada Mei lalu, Medigo mengantongi kenaikan layanan hingga empat kali lipat dibandingkan April. Bahkan, Bimo menyebut bisnis Medigo sudah meraup margin yang sehat setiap bulan hingga saat ini.

Selain itu, pihaknya juga mencatat peningkatan signifikan pada interaksi di platform-nya. Interaksi yang dimaksud adalah keterhubungan para stakeholder di industri kesehatan. Bimo mengaku bahwa ini menjadi KPI utamanya ketika Medigo didirikan.

Saat ini, Medigo mengelola data rekam medis pasien pada mitra kliniknya. Dari 73 klinik yang dikelolanya, per klinik saja dapat memiliki 100 pasien per hari. Seiring dengan bertambahnya jumlah mitra Medigo ke depan, pihaknya menargetkan interactivity di ekosistem kesehatan Indonesia akan semakin tinggi.

“Kini pivot kami sudah memiliki validasi dan sudah jelas model bisnisnya. Kami punya demand yang dapat kami jawab, the numbers prove it. Tinggal bagaimana selanjutnya kami mengeksekusi vertikal, seperti akuisisi klinik dan scale up layanan, dan horizontal,” tambah Bimo.

Saat ini, Medigo tengah fokus untuk memperluas akses tes Covid-19 di klinik hingga ke seluruh wilayah di Indonesia. Pihaknya juga tengah melakukan proof of concept (POV) untuk telekonsultasi layanan dokter spesialis.

“Kami menyadari bahwa Covid-19 berdampak pada ibu-ibu. Mereka menjadi tidak berani keluar untuk vaksin anaknya karena pandemi ini. Kami khawatir bakal ada generation gap. Maka itu, ke depannya kami juga ingin menjadi jaringan distribusi vaksin apapun. Dengan dukungan rantai suplai klinik, tujuan akhir kami adalah transparansi dan mengurangi potensi monopoli.”

Application Information Will Show Up Here

Edward Tirtanata’s New Role: An Angel Investor through Kenangan Kapital

The new retail startup Kopi Kenangan has received a lot of attention, thanks to the Indonesian coffee chain business which has received large funding from a number of well-known VCs, including Sequoia Capital and Facebook Co-Founder Eduardo Saverin.

The success of this business cannot be separated from the efforts of its founders, Edward Tirtanata and James Prananto. Kopi Kenangan has now transformed into one of the top-tier coffee brands, especially among young adults in Indonesia.

DailySocial had the opportunity to interview Edward Tirtanata, not as a business founder, but his new experience as an angel investor through Kenangan Kapital. How does Edward define his new role?

Passion for entrepreneurship

Edward’s role as an angel investor has been going on since last year. Through his angel fund (called the Kenangan Investment Fund), he has invested in some of Indonesian startups, including BukuKas, GudangAda, OtoKlix, and Medigo (Smart Clinic).

From the beginning, he declared his big passion for entrepreneurship. This is visible from his efforts to build Kopi Kenangan. However, his success in building a business does not end there.

For him, entrepreneurship can be said as “good wealth management” which involves asset class in diverse. This means that if he wants to make a distinction, he doesn’t want to invest in just blue chips or deposits.

“A good investor must be able to diversify. Angel investing class assets, to increase ten times in a year is normal. I find it interesting,” Edward said.

Through Kenangan Kapital, he expects to contribute more to the Indonesian startup industry. This also encourages Edward to experience new role by being involved in startup funding.

Interest in the consumer tech

Consumer tech is one of the business verticals that attracts many investors. Consumer products combined with technology are the reasons why this business can be easily scalable.

The most obvious example is the mushrooming startups entering traditional businesses and utilizing technology with a direct-to-consumer (DTC) approach. Either eyewear or beauty products can now be marketed without having to build distribution channels.

Realizing this trend, Edward admits that he is interested to top up in the consumer tech sector through Kenangan Kapital. He said that there is still a missing gap in Indonesian consumer tech.

He said Indonesia needs more disruption, considering that products/services targeting the consumer segment are still underrated in terms of technology. On the other hand, Edward curious to what extent this vertical leads him to new experiences in entrepreneurship.

This is reflected in a number of his portfolios that mostly running in the B2C segment. A somewhat different hypothesis is taken when investing in Medigo.

Medigo’s business model is considered to have an impact on the consumer segment. Clinics are the main pillars of the health ecosystem in Indonesia. Currently, there are many clinics that are yet to be standardized, while being hospitalized costs quite expensive and is yet to reach the grassroots segment.

“We took an early bet when the numbers are still small, but now they are [Medigo] showing promising results even during the pandemic,” Edward said.

Challenges

Apart from his main focus on consumer tech, Edward revealed that he did not set any portfolio targets in 2021. Likewise, the target range of investment for Kenangan Kapital.

In his opinion, angel investors do not have a certain pressure in providing funding. This is in contrast to the way VCs work, which is to follow KPIs. He tends to choose to invest if there’s a sight of opportunities.

“I think being an angel investor doesn’t require an investment target [issued]. It all depends on the deal per deal. In fact, if there are exceptions for certain companies, I can invest as much as I can,” he added.

Without any specific KPI, Edward emphasized that the most important thing in following the growth of his portfolio business is the product-market fit. If a startup is gaining organic traction, the metric is at least customer acquisition cost (CAC).

However, Edward admits that the challenge of becoming an angel investor is not that different from a venture capitalist. The most common issue is selecting portfolios. He tends to choose founders who can run/find the right business.

“There are many good founders, but not many of them pick a good business. Better to invest in a good business even though the founder is quite Mediocre. The most important thing for me is conviction. That is, no matter what happens, they stick around and make the best out of it. The term is determination,” he said.

Become the CEO and investor at a time

How come Edward manages his role as CEO and angel investor as the number of Capital Memories portfolios grows in the future?

“First, I need to emphasize that my main full-time job is the CEO of Kopi Kenangan. I don’t want my passion to help entrepreneurs interfere with my main job at Kopi Kenangan,” he said.

Second, he thinks it is not good for every businessman to be too dependent on their investors for a long time. Ideally, these founders are expected to be independent and focused on their business in three to six months.

“Because Kenangan Kapital is like a family office and there are no outside investors, I have no pressure to deploy capital like private equity or VC. I can invest in a very few but exceptional founders and help 2-3 founders at a time,” he said.

In fact, he admits that he is happy when his portfolio joins a well-known accelerator program. According to Edward, that could mean they won’t need his further involvement in terms of business.

Accommodating the angel investor ecosystem

It can’t be denied that the angel investor ecosystem in Indonesia is quite silent. Even though angel investors play a big role in providing startup funding in the early phase.

Edward said, the existence of angel investors in Indonesia is very different from the one in the United States (US). The country which is the mecca for the startup industry has a database platform that attracts thousands of angel investors. That way, startups can get direct access and find it easier to find funding from angel investors.

“Here, access to angel investors is rather difficult, so they tend to look for funding options from their families. Therefore, this is what makes them unable to provide [relevant] experience to invested startups because the investors are not from a startup background,” Edward said.

He is aware of the situation. He thought the phenomenon is similar to when the new VC industry has emerged and popular in recent years. As the industry develops, he expects the angel investor ecosystem to develop along the way in the future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian