Traveloka Announces New Funding Worth of 3.6 Trillion Rupiah

Traveloka, today (7/28) announced the latest funding worth of US$250 million or equivalent to 3.6 trillion Rupiah. There are no further details on who participated, but EV Growth is one of the previous investors confirmed to be involved in this round. This investment is to focus on build up the company’s balance sheet while strengthening several product lines amid the Covid-19 pandemic.

This funding is previously reported by several media since early July 2020. Rumor has it that some investors, including Siam Commercial Bank, FWD Group, GIC, and East Ventures, mentioned involved in the final stage of negotiations for Traveloka’s follow-on funding. Reuters also says the Qatar Investment Authority (QIA) is leading the current round.

In this round, Traveloka’s valuation is estimated to drop at $2.75 billion (nearly 40 trillion Rupiah). The down round action was taken due to the company’s business struggle by Covid-19 and the declining traction.

“This is a major crisis in the current time, both in terms of finance and humanity. This situation is a form of re-adjustment that forces business people to rethink their plans, strategies, and business models. The travel industry is experiencing hard times that have never happened before, including Traveloka. The management team has made quite difficult efforts, including restructuring and optimization, to minimize the financial risks. We are confident that Traveloka will rise again stronger after going through this crisis,” Willson Cuaca said as Managing Partner EV Growth involved in this round.

Hardships during Covid-19 pandemic

Covid-19 has brought the OTA business experience a difficult challenge. Public transportation freeze, various destinations are closed; transactions declined. For Traveloka and many other OTA players, this has been the worst condition in their history.

Traveloka’s partners in the transportation, accommodation, activities, and restaurant sector also having some difficulty. In terms of transportation, consumer demand dropped dramatically while demand for refunds jumped significantly; the hotel business experienced the lowest occupancy rate ever; lifestyle partners in domestic and regional and restaurant partners must temporarily close their business operations.

“It can’t be denied that Traveloka is very affected by the Covid-19 pandemic. Our business is at its lowest point since we first started. However, we always believe that Traveloka will bounce back with the rapid adjustment of business strategies, working together with industry partners and other stakeholders, and continue to deliver innovative products to users as our main focus,” Traveloka’s Co-founder and CEO, Ferry Unardi said.

Struggling for business sustainability

In order to sustain, Traveloka applied some steps to optimize business, make savings, and refocus to prepare strategies to welcome the new normal. In Indonesia and Vietnam, for example, Traveloka finds the domestic sector, travel or short-range entertainment activities are getting back to normal and restore business, along with the high level of public awareness of pandemics and lifestyle adjustments to the current situation.

Various initiatives were launched to answer consumers’ changing demand, such as the Covid-19 Test service combined with airline tickets, booking hotel vouchers with flexible stays through “Buy Now Stay Later”, the Online Xperience program featuring popular hosts, the Traveloka LIVEstyle live stream program Flash Sale, as well as the Traveloka Clean campaign that allows users to place orders through Traveloka more convenient and secure.

“I am pleased to say that from a business standpoint, we are seeing a gradual recovery in all of our main markets. The Traveloka business in Vietnam has begun to stabilize and is approaching the period before Covid-19, while our business in Thailand is now almost beyond 50% compared to normal situations. “Even though Indonesia and Malaysia are still in the early stages of recovery, both markets continue to show promising momentum with week-to-week progress, especially for the line of accommodation business with the emergence of a short-term vacation stay or staycation,” Ferry added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Traveloka Umumkan Perolehan Pendanaan Baru 3,6 Triliun Rupiah

Hari ini (28/7) Traveloka mengumumkan perolehan pendanaan baru senilai US$250 juta atau setara 3,6 triliun Rupiah. Meski tidak disebutkan secara detail siapa saja yang berpartisipasi,  EV Growth adalah salah satu investor terdahulu yang dikonfirmasi terlibat di putaran kali ini. Fokus investasi adalah untuk memperkuat neraca keuangan perusahaan sembari memperkuat beberapa lini produk di tengah pandemi Covid-19 ini.

Perolehan ini sejalan dengan kabar yang diberitakan beberapa media sejak awal Juli 2020 lalu. Sebelumnya dirumorkan sejumlah investor, termasuk Siam Commercial Bank, FWD Group, GIC, dan East Ventures, disebutkan terlibat  negosiasi tahap akhir untuk pendanaan lanjutan Traveloka. Rumor terbaru dari sumber Reuters mengatakan Qatar Investment Authority (QIA) memimpin putaran pendanaan kali ini.

Untuk mendapatkan suntikan dana tersebut, valuasi Traveloka diestimasi turun menjadi $2,75 miliar (hampir 40 triliun Rupiah). Aksi down round ini diambil karena bisnis perusahaan yang terpukul akibat Covid-19 dan mengalami penurunan traksi layanan.

“Ini merupakan krisis besar di generasi saat ini, baik dari sisi keuangan maupun kemanusiaan. Situasi ini merupakan bentuk dari penyesuaian ulang yang memaksa para pelaku bisnis untuk memikirkan kembali rencana, strategi dan model bisnis mereka. Industri perjalanan juga mengalami masa sulit yang belum pernah terjadi sebelumnya, termasuk Traveloka. Tim manajemen telah melakukan berbagai upaya sulit namun harus dilakukan, termasuk restrukturisasi dan optimalisasi, untuk meminimalisir risiko keuangan yang timbul. Kami yakin bahwa Traveloka akan kembali bangkit dengan lebih kuat setelah melewati krisis ini,” ungkap Willson Cuaca, Managing Partner EV Growth yang tergabung dalam putaran pendanaan ini.

Akui kesulitan di tengah Covid-19

Covid-19 membuat bisnis OTA mengalami tantangan pelik. Operasional transportasi publik banyak yang dibekukan, berbagai destinasi diliburkan; jelas membuat transaksi terperosok. Bagi Traveloka dan banyak pemain lainnya, ini menjadi kondisi terburuk sepanjang sejarah mereka hidup.

Mitra Traveloka di sektor transportasi, akomodasi, aktivitas, dan restoran juga mengalami rintangan yang berat. Untuk transportasi, permintaan konsumen menurun drastis sementara permintaan pengembalian dana melonjak secara signifikan; hotel mengalami tingkat hunian terendah yang pernah ada; para mitra aktivitas lifestyle di domestik maupun regional dan mitra restoran harus menutup operasional bisnisnya untuk sementara waktu.

“Tidak dapat dipungkiri bahwa Traveloka sangat terpengaruh dengan pandemi Covid-19. Bisnis kami berada di titik terendah yang belum pernah terjadi sejak kami pertama kali berdiri. Namun, kami selalu percaya bahwa Traveloka akan bangkit kembali dengan adanya penyesuaian strategi bisnis secara cepat, bekerja sama dengan para mitra industri dan para pemangku kepentingan lainnya, serta terus menghadirkan produk-produk inovatif bagi para pengguna yang merupakan fokus utama kami,” ujar Co-founder dan CEO Traveloka, Ferry Unardi.

Merangkak stabilkan bisnis

Demi tetap bertahan, Traveloka menerapkan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk optimalisasi bisnis guna melakukan penghematan serta kembali berfokus untuk menyiapkan strategi dalam menyambut era normal baru. Di Indonesia dan Vietnam misalnya, Traveloka melihat sektor domestik, perjalanan ataupun aktivitas hiburan jarak dekat telah mulai menggeliat dan bangkit kembali, seiring dengan tingginya kesadaran masyarakat akan pandemi dan penyesuaian gaya hidup dengan situasi saat ini.

Berbagai inisiatif diluncurkan untuk memenuhi perubahan kebutuhan konsumen, seperti layanan Covid-19 Test yang digabungkan dengan tiket pesawat, pemesanan voucher hotel dengan periode inap yang fleksibel melalui “Buy Now Stay Later”, program Online Xperience yang menampilkan host ternama, program live stream Traveloka LIVEstyle Flash Sale, serta kampanye Traveloka Clean yang memungkinkan pengguna untuk melakukan pemesanan melalui Traveloka dengan lebih tenang dan aman.

“Saya senang dapat menyampaikan bahwa dari sisi bisnis, kami melihat pemulihan secara bertahap di seluruh pasar utama kami. Bisnis Traveloka di Vietnam telah mulai stabil dan mendekati periode sebelum adanya Covid-19, sementara bisnis kami di Thailand kini hampir melampaui 50% dibandingkan situasi normal. Meskipun Indonesia dan Malaysia masih berada di tahap awal pemulihan, namun kedua pasar ini terus memperlihatkan momentum yang menjanjikan dengan kemajuan dari minggu ke minggu, terutama untuk lini bisnis akomodasi dengan kemunculan tren berlibur jarak dekat atau staycation,” tambah Ferry.

Application Information Will Show Up Here

KoinWorks Receives 316 Billion Rupiah Funding from European Financial Institution and Venture Capital

A fintech lending, KoinWorks, today (2/13) just announced new funding in two terms, equity and loan. The amount reaches US$20 million or around 316 billion Rupiah. Regarding investors, Quona Capital, EV Growth, and Saison Capital with participation of some others are involved in the equity. In terms of the loan, the company only reveals the two financial institutions that come from Europe.

This round has added up to the company’s capital after previously announced series B and B2 funding on November 2019 worth of SG$18.5 million (around 190 billion Rupiah) from Saison Capital. EV Growth and Quona Capital had first pour US$16.5 million (around 170 billion Rupiah). The flowing cash from investors has tightened its vision to be a “Super Financial App” in Indonesia.

“We are proud to announce funding from various sources amidst the challenging business situations. KoinWorks also stands along with some of the large financial institutions and hundreds of thousands retail investors to support digital SMEs during the Covid-19 outbreak,” KoinWorks’ Executive Chairman & Co-founder, Willy Arifin said.

In addition, KoinWorks also plans to use the fresh money for financial loans through the fintech lending platform. The new credit feature is provided by an international institution, namely Triodos Bank, global banking from the Netherlands.

In December 2019, the team has announced a new row of institutional lenders from abroad. Previously, there were only local financial institutions, including Sampoerna and Bank CIMB Niaga.

Investors are pouring money for Indonesian startups

The pandemic occurs in Indonesia and around the world has created difficulty for various life aspects, including the economy. Some startups had no other option than to downsizing business – including layoffs. While some others seem to be on-track in growth.

In addition to KoinWorks, several startups who have recently announced funding include Kargo Technologies (logistics), Investree (financial), WebTrace (logistics), BukuWarung (SaaS), and others.

DSResearch’s report has noted that during the first quarter of 2020, funding trends remained relatively normal. At least 20 funding transactions were announced to the public during the period. It includes Gojek’s Series F funding that reaches 21 trillion Rupiah.

Koinworks’s founder agreed, trusts from investors during these difficult times – especially from the outside – show a good indication for the digital ecosystem in Indonesia. At the same time providing slick business validation, bringing startups to sustainable growth.

“Investment from Triodos, especially during the current turbulence, shows extraordinary confidence in our ability as the best loan provider in the Indonesian fintech industry. We are pleased to have a leading international institution joining our ranks of investors while continuing to move forward,” KoinWorks CEO & Co-Founder, Benedicto Haryono said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

KoinWorks Dapat Pendanaan 316 Miliar Rupiah dari Institusi Finansial Eropa dan Pemodal Ventura

Startup fintech lending Koinworks hari ini (13/2) mengumumkan perolehan pendanaan baru dalam dua skema, yakni pinjaman dan ekuitasi. Nilainya mencapai US$20 juta atau setara 316 miliar Rupiah. Terkait investor, Quona Capital, EV Growth, dan Saison Capital dan beberapa lainnya terlibat di sisi ekuitas. Sementara untuk pemberi pinjaman, perusahaan hanya memberikan informasi bahwa berasal dari dua institusi finansial asal Eropa.

Pendanaan ini menambah pundi-pundi modal perusahaan setelah sebelumnya pada November 2019 mereka mengumumkan seri B dan B2 senilai SG$18,5 juta (setara 190 miliar Rupiah) dari Saison Capital. EV Growth dan Quona Capital terlebih dulu menggelontorkan dana US16,5 juta (sekitar 170 miliar Rupiah). Mulusnya dana dari investor akan semakin mengokohkan visinya menjadi “Super Financial App” di Indonesia.

“Kami dengan bangga mengumumkan penerimaan pendanaan dari berbagai sumber di tengah situasi bisnis yang menantang. KoinWorks juga tetap berdiri beriringan dengan berbagai institusi keuangan besar dan ratusan ribu pendana retail untuk mendukung UKM digital selama Covid-19 mewabah,” Executive Chairman & Co-Founder KoinWorks Willy Arifin.

Selain itu, KoinWorks juga mengumumkan penerimaan pendanaan yang akan dimanfaatkan untuk pembiayaan pinjaman melalui platform fintech lending. Fasilitas kredit baru tersebut salah satunya diberikan oleh sebuah institusi internasional, yaitu Triodos Bank, perbankan global asal Belanda.

Pada Desember 2019 lalu pihaknya memang sudah mengumumkan bahwa segera menambah deretan lender institusi dari luar negeri. Sebelumnya baru ada institusi finansial lokal, termasuk Sampoerna dan Bank CIMB Niaga.

Dana investor mengalir untuk startup Indonesia

Serangan pandemi di Indonesia dan dunia memang terbukti menyulitkan berbagai aspek kehidupan, tak terkecuali perekonomian. Sebagai dampak, beberapa startup memilih melakukan perampingan – termasuk dengan melakukan layoff. Sementara beberapa lain terlihat terus on-track dalam pertumbuhan.

Selain KoinWorks, beberapa startup yang baru-baru ini mengumumkan pendanaan termasuk Kargo Technologies (logistik), Investree (finansial), WebTrace (logistik), BukuWarung (SaaS), dan lain-lain.

Catatan DSResearch bahkan mengemukakan bahwa sepanjang kuartal pertama 2020, tren pendanaan masih relatif normal. Sekurangnya ada 20 transaksi pendanaan yang diumumkan ke publik di periode tersebut. Termasuk pendanaan Seri F yang kembali didapat Gojek mencapai 21 triliun Rupiah.

Senada dengan yang diyakini founder Koinworks, masih adanya kepercayaan dari investor di masa sulit seperti saat ini – terlebih dari luar—menjadi indikasi baik bagi ekosistem digital di Indonesia. Sekaligus memberikan validasi bisnis yang apik, membawa startup menuju pertumbuhan berkelanjutan.

“Investasi dari Triodos, terutama saat masa bergejolak seperti sekarang, menunjukkan kepercayaan diri yang luar biasa atas kemampuan kami sebagai penyedia pinjaman terbaik di kelas fintech Indonesia. Kami dengan senang memiliki institusi internasional terkemuka yang bergabung bersama jajaran investor kami seraya terus bergerak maju,” ujar CEO & Co-Founder KoinWorks Benedicto Haryono.

Application Information Will Show Up Here

Inisiatif “Growth Fund” untuk Ekosistem Startup Indonesia

Ada perkembangan luar biasa yang terjadi pada ekosistem startup di Asia Tenggara beberapa tahun terakhir. Salah satu takarannya adalah popularitas growth fund – baik dari sisi startup yang telah mencapai tahapan tersebut dan/atau investor yang mengalokasikan investasi untuk tahapan tersebut.

Menurut catatan Cento Ventures, sepanjang tahun 2019 ada beberapa startup yang mulai masuk ke kelompok centaur (memiliki valuasi antara US$100-900an juta), di antaranya Payfazz (fintech), Moka (SaaS), HappyFresh, Xendit, dan Alodokter.

Startup di atas mengokohkan diri dengan valuasi tersebut pada tahun 2019 melalui pendanaan di tahap lanjutan (growth). Ruangguru mengumumkan pendanaan Seri C US$150 juta menjelang akhir tahun. Atau Halodoc yang menggalang pendanaan Seri B mulai awal tahun, termasuk merangkul yayasan ternama Bill & Melinda Gates Foundation sebagai salah satu investornya.

Startup Asia tenggara 2020

Growth fund

Kebalikan dari early stage, later stage adalah tahapan startup yang telah mencapai kematangan dalam bisnis. Variabel yang dihitung cukup beragam, mulai dari kualitas produk, cakupan area, traksi pengguna, jajaran tim hingga nilai investasi yang didapatkan.

Untuk berinvestasi ke startup later stage, ada dua pendekatan yang selama ini dijalankan. Pertama, venture capital (VC) atau corporate venture capital (CVC) menyediakan dana besar –yang didapat dari LP atau modal yang disuntikkan perusahaan induk—untuk diinvestasikan ke startup. Skema kedua, VC berkolaborasi membentuk inisiatif dana gabungan.

Hal menarik lain dalam perkembangan growth fund adalah beberapa diinisiasi investor yang sebelumnya fokus pada early stage. Dana yang lebih besar diguyurkan untuk membantu portofolionya mencapai ekspansi pasar yang lebih luas.

Berikut ini beberapa inisiatif growth fund di Asia Tenggara yang sudah diresmikan atau sudah beroperasi:

Growth Fund in SEA

Desember lalu, Telkom dan KB Financial Group meresmikan dana kelolaan baru Centauri Fund. Fokusnya untuk pendanaan Pra-Seri A hingga Seri B. Sebelumnya CVC milik mereka MDI Ventures juga memberikan porsi pendanaannya di tahap tersebut.

Di bulan yang sama, EV Growth mengumumkan telah membukukan US$250 juta (hard cap) setara 3,4 triliun Rupiah dalam pengumpulan dana pertamanya. Perusahaan mengklaim, saat ini mereka telah menyalurkan lebih dari 50% total dana yang dikumpulkan ke dalam 20 kesepakatan pendanaan. Sebanyak 80% startup yang mendapatkan kucuran dana dari Indonesia. Turut diinformasikan internal rate of return pendanaan berkisar 36%.

Peluang investasi

Dalam sebuah kesempatan, Direktur Lippo John Riady berujar, ia cukup optimis ketika pertama kali membuat proposal untuk berinvestasi di bidang teknologi.  John memproyeksi bahwa dalam 10 tahun pasar tersebut tumbuh bernilai US$20-100 miliar. Tahun 2017 ia mulai membangun OVO dan kini perusahaan digital tersebut sudah mencapai status unicorn dengan valuasi terakhir yang diketahui mencapai US$2,9 miliar.

“Teknologi adalah salah satu aset paling menarik yang dimiliki perusahaan. Teknologi memungkinkan perubahan luar biasa dalam perilaku konsumen. Ini mempengaruhi mata pencaharian hingga tidak dapat dibalik. Saya benar-benar yakin dengan semua perubahan mendasar yang terjadi ini,” kata John.

Kini setidaknya ada 11 startup unicorn di Asia Tenggara. Hipotesis mengenai prakiraan pertumbuhan yang pesar di masa mendatang tampaknya juga dimiliki oleh para investor lain, melihat pertumbuhan startup di Indonesia. Beberapa model bisnis telah tervalidasi dengan baik, lainnya lagi tengah memastikan penerimaan pasar atas solusi yang ditawarkan.

Berikut ini daftar vertikal startup yang telah berhasil memvalidasi model bisnisnya dengan baik – ditandai dengan besarnya investasi yang masuk ke beberapa startup pendominasi pasar:

Vertikal Keterangan
E-commerce Saat ini Indonesia telah memiliki 2 unicorn dari kategori bisnis ini, sementara beberapa pemainnya memiliki sokongan besar dari raksasa teknologi Singapura (Sea) dan Tiongkok (Alibaba, JD.com).
On-Demand Didominasi dua pemain utama, kendati tidak menutup kemungkinan hadirnya beberapa platform baru yang menyasar model layanan spesifik. Seperti Anterin yang tengah dalam proses perampungan akuisisi oleh salah satu unit usaha grup MNC.
Travel & Hospitality Pariwisata menjadi sektor prioritas pemerintah yang terus dioptimalkan, mengharap perputaran ekonomi yang besar –baik dari wisatawan domestik maupun mancanegara—terjadi di sini. Bisnis di bidang OTA dan pemesanan hunian menjadi bagian penting untuk menopang strategi tersebut.
Fintech, Insurtech Menurut laporan Fintech Report 2019, tahun lalu sekurangnya ada 144 perusahaan p2p lending yang telah mendapatkan status terdaftar dan berizin di OJK, sementara ada 39 pemain di bidang pembayaran yang telah kantongi lisensi dari Bank Indonesia. Pergeseran gaya hidup masyarakat Indonesia menjadikan layanan berbasis finansial digital mudah diterima masyarakat.
Online-to-Offline Konsep O2O direpresentasikan dalam berbagai model bisnis, beberapa di antaranya memberdayakan masyarakat/pedagang kecil untuk mitra distribusi, beberapa lainnya menyajikan pengalaman campuran antara melakukan transaksi secara langsung dan melalui aplikasi. Bisnis-bisnis dengan pendekatan ini mendapatkan pertumbuhan signifikan beberapa waktu terakhir.
Healthtech Dengan perolehan pendanaan seri B+, Halodoc mantap masuk ke jajaran startup centaur. Sementara sejak dua tahun terakhir, sektor ini terus dieksplorasi para pemain digital lokal. Termasuk menghadirkan ragam inovasi untuk mendukung gaya hidup sehat dalam layanan wellness.
Edtech Tahun 2019 ada tiga startup yang membukukan pendanaan lanjut, meliputi Ruangguru, HarukaEdu dan Zenius. Ketiganya berambisi untuk merangkul pelajar dengan jumlah yang besar melalui pendekatan baru dalam kegiatan belajar.
SaaS Pada dasarnya produk vertikal ini mendukung proses bisnis digital dari startup lain, misalnya berbentuk layanan POS, kecerdasan buatan, analisis data, sistem perekrutan dan lain-lain.

Potensi terhadap vertikal tersebut di atas senada dengan target investasi yang sudah dicanangkan oleh investor. Salah satunya Telkom Group melalui Centauri.

“Sekarang kami sedang evaluasi lima startup di bidang fintech, insurtech, big data dan artificial intelligence. Sejauh ini semua [dari Indonesia]. Target kami mungkin bisa investasi ke lima sampai sepuluh [startup] di 2020,” ungkap Manaing Partner MDI Ventures Kenneth Li.

Tahun 2020 prospek investasi melambat?

Banyak analis yang menerangkan, tahun ini akan ada perlambatan dalam iklim investasi untuk startup digital. Ada beberapa faktor penyebab, dua di antaranya karena perlambatan ekonomi global di tengah isu-isu internasional yang memanas dan kejadian seperti “WeWork apocalypse” yang berdampak pada kepercayaan investor.

Menelisik lebih dalam kondisi di Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya. Startup later stage terus meningkatkan laju bisnis untuk menjadi profitable, beberapa telah menyampaikan rencana IPO. Di tahap early-stage, founder baru mulai realistis. Saat mereka merasa tidak mungkin lagi bersaing dengan model bisnis yang telah diusung pemain besar lainnya, jalan yang ditempuh adalah menghasilkan solusi mendukung model bisnis yang ada – atau satu hal yang benar-benar unik dan menyasar ceruk pengguna yang sangat spesifik.

Faktanya VC masih memiliki ambisi kuat dengan prospek Indonesia. Tahun ini bank OCBC NISP melalui OCBC NISP Ventura debut dengan 400 miliar Rupiah untuk berinvestasi ke startup digital. Tidak hanya menyasar fintech, namun juga proptech hingga edtech. Kinesys Group sebagai “binaan” Northstar Group juga hadir untuk mendampingi segmen early stage dengan menyiapkan dana senilai 280 miliar Rupiah.

Penggalangan dana dari sisi investor juga masih berjalan mengesankan. Salah satu pemain teraktif di Indonesia, Alpha JWC Ventures, akhir tahun lalu mengumumkan penutupan Fund 2-nya dengan status “oversubscribed”, artinya jumlah yang diterima dari LP yang masuk lebih besar dari nilai yang ditargetkan di awal. Mereka mengumpulkan dana 1,7 triliun Rupiah dan masih akan terus disalurkan untuk startup-startup yang sebagian besar beroperasi di Indonesia.

The Potential of On-Demand Platform for Caretaker Service in Indonesia

Last Monday (1/13), a venture capital EV Growth announced to invest series B funding in the on-demand platform for caretaker service Homage. Based in Singapore, the startup provides personalized caretaker curation services, for individuals, families or organizations.

After the investment, Homage’s Co-founder & CEO, Gillian Tee said his intention for expansion to Indonesia. He saw the large market potential.

Based on BPS data, the total elderly (people in their 60s and older) increased from 18 million in 2010 (7.56%) to 25.9 million in 2019. In 2019, Indonesia sent 300 caretakers for the elderly to work in Japan.

Digital health services enthusiasm

Last year, DSResearch has released “Wellness Report 2019“, one of the highlighted points is the use of healthcare apps. There are 438 people among the total 600 respondents in Jakarta who have used the websites or apps for healthcare or wellness.

Consultation-based and doctor’s appointment apps are the most widely used. Halodoc (45.3%), Alodokter (32.3%) and KlikDokter (18.8%) are the apps with the highest percentage. The healthtech industry trend is due to the presence of consumer trust in the health solutions through digital media.

It is also questioned in the report on the factor that makes the respondent loyal to the healthtech apps. The easy access, complete features, and total users are top of the list. Followed by costs, product innovation, and brands.

DSResearch findings on heathtech consumers
DSResearch findings on heathtech consumers

The on-demand platform for caretaker in Indonesia

In Indonesia, there are some players using a platform to connect caretaker provider with the communities. First, there is MHomecare, which is currently available in Jabodetabek.

MHomecare’s Angga Pramana Jaya said, based on the National Agency for Placement and Protection of Indonesian Workers (BNP2TKI) data, the growth of nurse graduates in Indonesia has reached more than 26 thousand people each year, the employment growth on the other hand (in terms of health service facilities) was far below that.

Health workers (nurses, midwives, and caretakers) who are members of this service can receive training provided by MHomecare Provider Academy to develop their soft skills and hard skills, including service standardization.

In addition, there is a Homecare24 portal. This startup founded by Theresia Monica has embraced markets in Greater Jakarta, Medan, Surabaya and Makassar. The lack of appreciation and salary rate for nurses in Indonesia is currently one of the reasons for this service development.

There are other startups tried to explore a similar segment, such as Insan Medika, RuangRawat, and MyNurz.

Business opportunities

In the interview with DailySocial in the midst of 2019, Homecare24 has acquired 1300 caretakers. While MHomecare has 672 caretakers who already passed the selection process and the internal education program. Each application has been used by thousands of users.

MHomecare caretakers who graduated competention test
MHomecare caretakers who graduated competention test

As seen from the survey on the public enthusiasm with the digital-based health services, about the easy access and others, on-demand service for caretaker also has good potential.

Not to mention the needs of caretakers in the Southeast Asian region. BNP2TKI detected an increase in demand for caretaker services from Indonesia. Sequentially the number starts at 278 people each, 279 people, 324 people and 329 people from 2015 to 2018.

The Director of BNP2TKI Services said, they actually served 550 quotas, but it’s not full yet. Using the access and synchronization with digital platforms, it is believed to deliver more caretakers especially when graduates from the nursing academy keep increasing.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Peluang Platform “On-Demand” Penyedia Jasa Perawat di Indonesia

Senin (13/1) lalu, modal ventura EV Growth mengumumkan telah memimpin pendanaan seri B untuk pengembang platform layanan perawat on-demand Homage. Berbasis di Singapura, startup tersebut menyediakan jasa kurasi perawat yang terpersonalisasi, baik untuk individu, keluarga atau organisasi.

Pasca-pendanaan ini, Co-founder & CEO Homeage Gillian Tee mengatakan niatnya untuk melakukan ekspansi, termasuk ke Indonesia. Ia melihat adanya potensi pasar yang besar.

Menurut data BPS, jumlah lansia (orang dengan umur 60 tahun ke atas) meningkat dari 18 juta jiwa pada tahun 2010 (7,56%) menjadi 25,9 juta jiwa pada tahun 2019. Pada 2019, Indonesia mengirimkan sekitar 300 ahli perawat lansia untuk bekerja di Jepang.

Peminat layanan kesehatan digital

Tahun lalu, DSResearch merilis sebuah laporan bertajuk “Wellness Report 2019“, salah satu poin yang diangkat adalah tentang penggunaan aplikasi kesehatan (healthtech). Dari total 600 responden yang tinggal di area Jakarta, 438 di antaranya mengaku pernah memanfaatkan situs atau aplikasi penunjang kesehatan atau kebugaran.

Aplikasi berbasis konsultasi dan layanan dokter jadi yang paling banyak digunakan. Halodoc (45,3%), Alodokter (32,3%) dan KlikDokter (18,8%) mendapati persentase tertinggi. Tren baik untuk industri healthtech karena artinya sudah ada kepercayaan konsumen untuk mempercayakan solusi kesehatannya melalui medium digital.

Dalam riset tersebut juga ditanyakan mengenai faktor yang membuat responden betah untuk memanfaatkan aplikasi healthtech. Kemudahan akses, kelengkapan fitur dan banyaknya pengguna sebelumnya menjadi alasan teratas. Dilanjutkan harga, inovasi produk dan merek dari layanan itu sendiri.

Temuan DSResearch mengenai alasan masyarakat penggunaan layanan healthtech
Temuan DSResearch mengenai alasan masyarakat penggunaan layanan healthtech

Platform perawat on-demand di Indonesia

Di Indonesia sudah ada beberapa pemain yang menyediakan platform untuk menjembatani pemberi jasa perawat dengan masyarakat yang membutuhkan. Pertama ada MHomecare, saat ini beroperasi di seputaran Jabodetabek.

CEO MHomecare Angga Pramana Jaya menyebutkan, menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), pertumbuhan lulusan perawat di Indonesia tiap tahunnya mencapai lebih dari 26 ribu orang, sebaliknya pertumbuhan lapangan kerjanya (dalam hal ini fasilitas layanan kesehatan) jauh di bawah itu.

Tenaga kesehatan (perawat, bidan dan caregiver) yang tergabung dalam layanan ini bisa mendapat pelatihan yang diberikan MHomecare Provider Academy untuk mengembangkan soft skill dan hard skill mereka, termasuk standardisasi pelayanan.

Selain itu ada juga portal Homecare24. Startup yang didirikan Theresia Monica ini telah merangkul pasar di Jabodetabek, Medan, Surabaya dan Makassar. Masih rendahnya apresiasi dan standar gaji yang diterima perawat di Indonesia saat ini merupakan salah satu alasan pendirian layanan tersebut.

Masih ada startup lain yang coba mengeksplorasi di bidang serupa, di antaranya Insan Medika, RuangRawat dan MyNurz.

Peluang bisnis

Dalam wawancaranya dengan DailySocial pada pertengahan tahun lalu, Homecare24 telah memiliki 1300 mitra perawat. Sementara MHomecare telah memiliki 672 mitra yang juga telah lulus proses seleksi dan program edukasi internalnya. Masing-masing aplikasi juga sudah digunakan oleh ribuan pengguna.

Mitra perawat MHomecare yang telah lulus pengembangan kompetensi
Mitra perawat MHomecare yang telah lulus pengembangan kompetensi

Kembali melihat hasil survei tentang ketertarikan masyarakat dengan layanan kesehatan berbasis digital, yakni soal kemudahan dan lain-lain, layanan on-demand keperawatan pun punya potensi baik.

Belum lagi jika membicarakan kebutuhan perawat di kawasan Asia Tenggara. BNP2TKI mencatatkan ada peningkatan permintaan jasa perawat dari Indonesia. Jumlahnya secara berurutan mulai tahun 2015 hingga 2018 masing-masing sebanyak 278 orang, 279 orang, 324 orang, dan 329 orang.

Menurut Direktur Pelayanan BNP2TKI, kuota yang mereka miliki sebenarnya 550, hanya saja masih belum terpenuhi. Dengan adanya akses dan sinkronisasi dengan platform digital, diyakini dapat menyalurkan lebih banyak perawat terlebih jumlah lulusan dari akademi keperawatan selalu meningkat.

Startup Kesehatan di Indonesia

Tambahan Rp150 Miliar Genapkan Pendanaan Seri A untuk Waresix

Startup logistik Waresix melengkapi pendanaan seri A mereka di angka US$25,5 juta atau sekitar Rp348,7 miliar. EV Growth dan Jungle Ventures menjadi entitas penting dalam putaran ini.

Nominal tersebut merupakan akumulasi babak pendanaan yang sudah dimulai sejak Juli 2019 lalu. Saat itu, startup yang dipimpin CEO Andree Susanto ini, mendapatkan kucuran dana US$14,5 juta dari para investor yang dipimpin oleh EV Growth. Tambahan US$11 juta dari EV Growth dan Jungle Ventures menggenapkan putaran pendanaan seri A ini.

“Dana tambahan ini semakin mempertegas kepercayaan para investor utama dan akan membantu kami memperkuat dominasi pasar sambil mempersiapkan putaran pendanaan seri B pada 2020,” ucap Andree dalam rilis resmi mereka.

Waresix adalah startup bidang logistik yang berfokus menghubungkan layanan pengiriman dengan jasa pengangkutan termasuk truk pengangkut dan gudang penyimpanannya. Platform mereka kini tercatat sudah beroperasi dengan 30.000 truk dan 300 operator gudang di seluruh Indonesia.

Semenjak beroperasi pada kuartal IV 2018, Waresix diklaim mengalami pertumbuhan cepat. Salah satu indikatornya adalah mereka berhasil membukukan EBITDA (earnings before interest, tax, depreciation, and amortization) positif.

“Waresix dengan jelas merupakan pemenang di segmen first dan middle-mile dalam bidang logistik. Kami fokus kepada laju pertumbuhan perusahaan yang pesat dan keberhasilannya mengakhiri 2019 dengan profit. Ini merupakan bonus kecil bagi kami sebagai growth-stage investor,” ujar Co-Founder East Ventures & Managing Partner EV Growth Willson Cuaca.

Kabar tambahan pendanaan untuk Waresix ini menandakan geliat industri logistik di Indonesia akan kembali cemerlang tahun ini. Pasalnya sepanjang 2019 kemarin, industri ini diwarnai dengan kemunculan pemain baru dan pendanaan yang jumlahnya cukup banyak.

Startup Logistik di Indonesia

Platform logistik B2B Ritase memperoleh pendanaan seri A senilai US$8,5 juta pada Juli. Ada juga Kargo Tecnlogies yang mendapat kucuran pendanaan awal US$7,6 juta dari Sequoia Capital India. Lalu ada SiCepat Express, Triplogic, Logisly, Shipper, dan Crewdible yang mengalami hal serupa. Pendanaan yang diterima oleh perusahaan rintisan tersebut rata-rata di level seed dan seri A.

Kian membesarnya pasar e-commerce (juga social commerce) di Indonesia tak bisa dipungkiri menjadi angin segar industri logistik. Laporan McKinsey pada 2018 lalu memproyeksikan nilai pasar e-commerce di Tanah Air akan menyentuh US$65 miliar atau Rp910 triliun pada 2022. Tak heran jika pelaku industri logistik percaya diri bisnis ini dapat tumbuh lebih dari 30% pada tahun ini.

EV Growth Bukukan 3,4 Triliun Rupiah dalam Penggalangan Dana Pertamanya

EV Growth, perusahaan modal ventura hasil joint-venture East Ventures, SMDV, dan Yahoo! Japan Capital, hari ini (30/12) mengumumkan telah membukukan $250 juta (hard cap) setara 3,4 triliun Rupiah dalam pengumpulan dana pertamanya. Angka ini melebihi nominal yang ditargetkan sebelumnya, yakni $150 juta. Temasek dan beberapa perusahaan keluarga di kawasan Asia turut terlibat dalam putaran ini sebagai LP (Limited Partner).

Perusahaan mengklaim, saat ini mereka telah menyalurkan lebih dari 50% total dana yang dikumpulkan ke dalam 20 kesepakatan pendanaan. Sebanyak 80% startup yang mendapatkan kucuran dana dari Indonesia. Turut diinformasikan internal rete of return pendanaan berkisar 36%.

Sejak didirikan pada Maret 2018, pemodal ventura berbasis di Singapura tersebut sudah mengucurkan dana investasinya ke beberapa startup, termasuk pendanaan seri C Ruangguru, seri D Sociolla, seri B Warung Pintar, dan sebagainya.

“Pengalaman operasi perusahaan kami, kecepatan transaksi, pengetahuan lokal dan jaringan regional telah membantu kami mendapatkan beberapa penawaran terbaik di wilayah ini. Kami berencana untuk menggelontorkan $325 juta untuk startup Asia Tenggara yang menggabungkan pendanaan aktif untuk tahap perusahaan awal dan perusahaan fase pertumbuhan,” ujar Willson Cuaca, selaku Managing Partner EV Growth sekaligus Co-Founder East Ventures.

Selain Willson, EV Growth turut dinakhodai oleh Roderick Purwana dari SMDV, dan Shinichiro Hori dari Yahoo! Japan Capital. Tidak hanya di Indonesia, fokusnya menyasar startup di seluruh Asia Tenggara.

Sociolla Receives 567 Billion Rupiah Series D Funding Led by EV Growth and Temasek

Social Bella (Sociolla brand) announced series D funding worth of $40 million (over 567 billion Rupiah) led by EV Growth and Temasek. Newcomers in this round are EDBI, Pavilion Capital, and Jungle Ventures.

Funding is to fully focused on recruiting new talents and developing technology, particularly in So.Co.  The offline store‘s expansion will continue although the company confirmed no plans to enter the global market.

“Funding was closed last week. There are four new investors and the single investor, EV Growth, was there from the seed and now the co-lead in the series D,” Social Bella’s Co-Founder and CEO, John Rasyid said on Monday (9/2).

Social Bella’s Co-Founder and President, Christopher Madiam added, “Through the strategic partnership with our investors, we are to build a growing beauty-tech ecosystem.”

Last Year, the company announced series C funding worth of $12 million (around 169 billion Rupiah) led by EV Growth, Japan-based beauty platform,, Istyle Inc., and UOB Ventures.

Focus on So.Co development

Social Bella owns three business units,  Sociolla (e-commerce), So.Co and Beauty Journal (media), and brand development. Sociolla is the earliest one and the biggest contributor in Social Bella. Nevertheless, they didn’t mention an exact number.

“The whole business runs in parallel, we didn’t put a single fighter. Despite all units, the e-commerce has been established for four years and become our biggest contributor,” he added.

“Therefore, GMV is not our company’s achievement matrix since e-commerce is not our only business line, but we also provide media. It involves different matrix, GMV alone will not make our business unique,” Madiam said.

So.Co becomes the database bank for customers and now the company focused on its development. So.Co stores various kinds of customer’s data, from the profile, transactions, and others to be utilized for a better experience.

The concept might be different because it combines Sociolla and Beauty Journal. It’s not only for consumers who want to shop online at Sociolla but also those interested in reviews and other activities.

Madiam said there will be an additional feature soon to improve customer experience on So.Co. Users will not be limited to end-user, but also brands.

Customers can log in via So.Co before visiting Sociolla offline to help them decide what products to buy based on their skin condition. It’s for their efficiency when shopping at an offline store.

In order to create an ecosystem, the company builds all technologies, including POS machine integrated with So.Co at the offline stores.

“Our warehouse has integrated with technology in order to create an integrated ecosystem.”

He also guaranteed the data collected will not be used for monetization. It will be managed accordingly to improve user experience, therefore, the company will keep all the private data secure.

Based on the monthly unique visitor, John said there are 5 to 7 million and 1,2 million of them are all registered customers. In accumulation, there are 20.2 million visitors joined Social Bella platform since 2018, via Sociolla, So.Co. or Beauty Journal.

Despite all strategies, they expect to increase unique visitors to 100 million by 2021.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here