BRI Ventures Contributes in Modalku’s Series C Funding

BRI Ventures agrees to invest in Modalku’s fintech lending company, Funding Societies. This is to be discussed directly by Modalku Co-Founder & CEO Reynold Wijaya. He mentioned to DailySocial, inviting BRI Ventures is part of the Modalku C series which was posted last April 2020.

“It is expected that we have announced that the Modalku group has raised commitments for the series C funding worth of US$ 40 million (or around 625 billion Rupiah) from the current investors and undisclosed investors. The fund with BRI Ventures contribution is part of our series C,” said Reynold.

This fresh fund will be increased by Modalku to realize the vision of increasing financial inclusion in Southeast Asia, as well as enhancing a positive vision for growth in Indonesia. Especially in the future of this pandemic, asking for this will support the company’s strategy to support SMEs to continue to grow and survive. In addition, Modalku is tocontinue innovation in providing new products.

“The company also has a target to be able to support more SMEs in various sectors and regions. However, our main focus now is to support SMEs whose business is increasing this pandemic. Supporting our main strategy now is better to promote restructuring.”

Pandemic effect

Pandemic made several technology startups do business operational efficiency, some of which even layoff to pivot business models. Meanwhile Reynold stressed, so far Modalku did not do that, including laying off employees. The wave of pandemic that occurred forced Modalku to make various internal and external anticipatory measures.

From the internal side, the company also conducts streamline operations to improve efficiency so that operational processes are simpler. According to Reynold, in these conditions, it is important for companies to stabilize the company’s pace and continue to grow in a healthy manner. Therefore, he was reluctant to call this a layoff.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BRI Ventures Terlibat dalam Pendanaan Seri C Modalku

BRI Ventures terlibat dalam pendanaan induk perusahaan fintech lending Modalku, Funding Societies. Hal ini dikonfirmasi langsung oleh Co-Founder & CEO Modalku Reynold Wijaya. Kepada DailySocial ia mengungkapkan, keterlibatan BRI Ventures merupakan bagian dari pendanaan seri C Modalku yang dibukukan April 2020 lalu.

“Sebelumnya kami telah mengumumkan bahwa grup Modalku telah memperoleh komitmen pendanaan seri C sebesar US$40 juta (atau sekitar 625 miliar Rupiah) dari investor-investor terdahulu yang telah bergabung serta investor baru yang belum bisa diumumkan namanya. Pendanaan yang melibatkan BRI Ventures ini merupakan bagian dari pendanaan seri C kami,” kata Reynold.

Dana segar ini akan difokuskan Modalku untuk merealisasikan visi meningkatkan inklusi keuangan di Asia Tenggara, serta menciptakan dampak positif bagi perekonomian di Indonesia. Terutama di masa pandemi ini, pendanaan ini akan mendukung strategi perusahaan untuk mendukung UKM tetap bisa bertumbuh dan bertahan. Selain itu, Modalku untuk terus berinovasi menyediakan produk baru.

“Perusahaan juga memiliki target untuk bisa menjangkau lebih banyak UKM di berbagai sektor dan wilayah. Namun, fokus utama kami saat ini adalah mendukung UKM yang bisnisnya terkena dampak pandemi ini. Sehingga strategi utama kami saat ini adalah bereaksi lebih cepat terhadap perubahan kondisi ekonomi makro melalui restrukturisasi.”

Dampak pandemi

Pandemi membuat beberapa startup teknologi melakukan efisiensi operasional bisnis, beberapa di antaranya bahkan sampai melakukan layoff hingga pivot model bisnis. Sementara itu Reynold menegaskan, sejauh ini Modalku tidak melakukan hal tersebut, termasuk mem-PHK pegawainya. Gelombang pandemi yang terjadi memaksa Modalku membuat berbagai langkah antisipasi internal dan eksternal.

Dari sisi internal, perusahaan juga melakukan streamline operations untuk meningkatkan efisiensi agar proses operasional lebih sederhana. Menurut Reynold, pada kondisi seperti ini, penting bagi perusahaan untuk menstabilkan laju perusahaan dan tetap tumbuh secara sehat. Maka dari itu, ia enggan menyebutnya ini sebagai layoff.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Galang Dana Kelolaan untuk Startup Tahap Awal, Targetkan 1,2 Triliun Rupiah

East Ventures hari ini (25/6) mengumumkan penutupan pertama dari penggalangan dana untuk seed fund terbarunya. Ini jadi dana kelolaan ke-8 yang melibatkan pemodal ventura tersebut, menargetkan menghimpun dana US$88 juta atau setara 1,2 triliun Rupiah. Fokusnya untuk mendanai startup baru yang muncul atau berkembang pasca-lockdown; terbuka untuk semua sektor dengan (salah satunya) mempertimbangkan kualitas founder.

Beberapa institusi finansial telah bergabung sebagai penyuntik dana, di antaranya Pavilion Capital dan Adams Street.

Dari pernyataan yang dikirimkan, perusahaan mengatakan sengaja mempertahankan besaran dana di bawah US$100 juta untuk menjaga fokus pendanaan ke perusahaan tahap awal. Selain itu, besaran tersebut membantu East Ventures untuk lebih cepat mencapai tujuan utama perusahaan yaitu menjadi kelas aset terbaik bagi investornya (limited partner).

“Pandemi ini memberikan kesempatan bagi generasi entrepreneur baru untuk memikirkan permasalahan baru dan mencari solusi yang efisien memanfaatkan teknologi […] Situasi saat ini justru membuktikan hipotesis utama East Ventures, yaitu founder yang hebat selalu menemukan jalan untuk mengembangkan perusahaan mereka, bahkan di hadapan krisis,” sambut Co-founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

“Flywheel Effect”

Di Indonesia, East Ventures percaya dengan keberadaan “flywheel effect”. Roda gila atau flywheel adalah bagian berbentuk roda di dalam mesin yang berfungsi untuk mengkonservasi energi. Konsep yang sama diterapkan oleh East Ventures dalam berinvestasi.

Realisasinya East Ventures bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan termasuk perusahaan lokal, family offices, startup tahap awal, dan startup pada tahap pertumbuhan yang lebih lanjut untuk membangun sebuah flywheel tanpa friksi. Kolaborasi ini melahirkan siklus lengkap di ekosistem startup mulai dari investasi pada tahap awal, menemukan product market fit, value creation, dan scaling, yang diakhiri dengan exit dan reinvestasi.

Terkait krisis yang berdampak langsung kepada ekosistem startup digital, Willson juga memberikan komentar. “Kami sadar bahwa mayoritas CEO perusahaan di portofolio kami belum pernah melalui krisis. Karena itu, kami segera melakukan analisis performa bisnis dengan founder dan CEO dari perusahaan-perusahaan di portofolio kami. Tujuannya bukan menentukan langkah detail yang harus mereka ambil, tetapi untuk memahami dampak krisis terhadap tiap perusahaan.”

Beberapa hal juga disarankan, termasuk menghemat kas, hanya mengubah bisnis inti mereka jika benar-benar dibutuhkan, mempertimbangkan dengan masak sebelum melakukan pivot, dan founder harus tegas dalam mengambil keputusan.

[Founders Library] Penggalangan Dana dan Pengelolaan Finansial Startup

Modal dan arus kas adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya sama-sama harus dikelola dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab. Keduanya juga menjadi bagian atau syarat penting startup yang ingin bertumbuh.

DailySocial merangkum beberapa tips mengenai bagaimana strategi melakukan fundraising hingga bagaimana cara mengelola cashflow. Topik ini berguna bagi para founder pemula atau founder yang tidak memiliki latar belakang pendidikan akuntansi atau keuangan. Berikut daftarnya:

Artikel

Schoters Accommodates Student’s Requirements to Pursue Education Abroad

In an objective to help high school/vocational graduates and professionals who want to pursue a higher-level education, Radyum Ikono (CEO) and Muhammad Aziz (COO) created Schoters. Operating since January 2019, this edutech platform is formed as a marketplace accommodating users to get access to education abroad.

“I see many Indonesians from high school students to professionals who want to study abroad to get a better-quality education. However, there is limited access to information and preparation. We then created Schoters as a platform that provides end-to-end solutions for everyone who wants to study abroad in various countries,” Ikono said.

Schoters platform offers some features, such as campus registration consulting and scholarships, TOEFL / IELTS preparation, test preparation such as SAT / GRE / GMAT, document translation services, other foreign language courses (German, Japanese, Korean, Arabic), installment assistance, and tuition payment. Schoters intends to solve any problems faced by prospective students. In addition to being accessible through the website, Schoters also provides an application on the Android platform.

“Schoters’ business model is a marketplace that involves partners with expertise in specific services. Schoters takes fees from each transaction made by students to these partners,” Ikono said.

Available for everyone

Regarding the key features that distinguish Schoters with previous platforms, Ikono highlighted some companies engaged in similar business sectors tend to reach only the upper middle segment. Therefore, it is perceived that studying abroad is expensive and only affordable for certain classes.

“At Schoters, we present an affordable alternative preparation service, that anyone can make their dream of studying abroad come true. In addition, unlike Schoters which already full online, some other companies are still opening and outreach conventional offline-based classes (with branches in big cities),” Ikono said.

To date, Schoters has more than 200 thousand active users throughout Indonesia. They noted many students from outside the city who are yet to have access by other service providers.

“The fun thing is when they took part in the Schoters program and finally managed to go abroad for Bachelor, Master, or Doctoral degree. Schoters currently has helped students get hundreds of admissions on campus and scholarships in more than 15 countries. Starting from Japan, United Kingdom (UK), Australia, New Zealand, Korea, China, Russia, the Netherlands, Switzerland, Thailand, Malaysia and so on,” Ikono added.

In the near future, the company plans to raise Pre-Series A fund. During the Covid-19 pandemic, it is quite affecting the course of the company’s business. However, Schoters claims to solve it with a special strategy.

“Using the right marketing strategy, the team managed to make a turnaround, which is uniquely attract many students to come and study at Schoters for more productive time during work and study at home. It s enough said, there is no significant negative impact from The Covid-19 pandemic to our business,” Ikono said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Schoters Jembatani Kebutuhan Pelajar Lanjutkan Pendidikan ke Luar Negeri

Bertujuan untuk membantu siswa lulusan SMA/K dan profesional yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, Radyum Ikono (CEO) dan Muhammad Aziz (COO) kemudian mendirikan Schoters. Beroperasi sejak Januari 2019, platform edutech ini berbentuk marketplace yang memberikan kemudahan kepada penggunanya untuk mendapatkan akses pendidikan di luar negeri.

“Saya melihat bahwa begitu banyak warga Indonesia dari pelajar SMA hingga profesional yang ingin kuliah ke luar negeri untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Namun demikian, akses terhadap informasi dan persiapannya sangat terbatas. Kami kemudian mendirikan Schoters sebagai platform yang memberikan end-to-end solution untuk siapa pun yang ingin study abroad ke negara manapun,” kata Ikono.

Fitur-fitur yang ditawarkan pada platform Schoters adalah konsultasi pendaftaran kampus dan beasiswa, persiapan TOEFL/IELTS, persiapan tes seperti SAT/GRE/GMAT, layanan penerjemahan dokumen, kursus bahasa asing lainnya (Jerman, Jepang, Korea, Arab), hingga bantuan cicilan pembayaran uang kuliah. Schoters ingin agar masalah apapun yang dihadapi oleh calon siswa dapat dibantu untuk diatasi. Selain bisa diakses melalui situs web, Schoters memiliki aplikasi untuk platform Android.

“Model bisnis Schoters adalah marketplace yang melibatkan mitra yang memiliki keahlian dalam jasa-jasa yang spesifik. Schoters mengambil fee dari setiap transaksi yang dilakukan oleh siswa terhadap mitra tersebut,” kata Ikono.

Menjangkau seluruh kalangan

Disinggung apa yang membedakan Schoters dengan layanan serupa yang sudah hadir lebih dulu, Ikono menegaskan beberapa perusahaan pada sektor study abroad lainnya cenderung hanya menyentuh segmen menengah ke atas. Sehingga dipersepsikan bahwa kuliah ke luar negeri itu mahal dan hanya terjangkau untuk kalangan tertentu.

“Di Schoters, kami menyajikan alternatif layanan persiapan yang terjangkau, sehingga siapa pun bisa mewujudkan mimpinya untuk kuliah ke luar negeri. Selain itu, berbeda dengan Schoters yang sudah full online, beberapa perusahaan lain di sektor study abroad masih membuka kelas dan outreach konvensional berbasis offline (dengan cabang-cabang di kota besar),” kata Ikono.

Hingga saat ini Schoters telah memiliki lebih dari 200 ribu pengguna aktif, yang berasal dari seluruh wilayah Indonesia. Schoters mencatat, banyak para siswa berasal dari kota-kota yang umumnya tidak dijangkau oleh penyedia layanan lainnya.

“Yang menyenangkan juga adalah ketika mereka mengikuti program Schoters dan akhirnya berhasil berangkat ke luar negeri untuk jenjang S1, S2 maupun S3. Saat ini Schoters telah membantu siswa mendapatkan ratusan acceptance pada kampus dan beasiswa di lebih dari 15 negara. Mulai dari Jepang, United Kingdom (UK), Australia, New Zealand, Korea, Tiongkok, Rusia, Belanda, Swiss, Thailand, Malaysia dan lain sebagainya,” kata Ikono.

Dalam waktu dekat, perusahaan berencana melakukan penggalangan dana untuk tahapan Pra- Seri A. Selama pandemi virus Covid-19 berlangsung saat ini, cukup mempengaruhi jalannya bisnis perusahaan. Namun Schoters mengklaim telah mengakalinya dengan strategi khusus.

“Dengan strategi marketing yang tepat, tim berhasil melakukan turnaround, yang justru uniknya banyak siswa yang datang dan ingin belajar di Schoters karena ingin mengisi waktu produktif selama masa bekerja dan belajar di rumah. Dapat dikatakan bahwa secara bisnis, tidak ada dampak negatif yang signifikan dari pandemi Covid-19 ini,” kata Ikono.

Application Information Will Show Up Here

Beenext Closes 2.2 Trillion Rupiah Fund, Indonesian Startups Remain a Potential

As a Singapore based Venture Capital, Beenext, which actively participated in the seed funding of Indonesian startups, today (16/6) announced the closing for two new managed funds, raising around US$160 million or equivalent to 2.2 trillion Rupiah. Previously, they’ve booked US$110 million in their first fund titled “Beenext Emerging Asia Fund”.

The fresh fund came from institutions in the United States, Japan, family conglomerates, and businesses interested in the digital industry. The new round is designed to connect early-stage startups with Beenext’s founder network, in order to gain global partnership opportunities and access to the best resources.

Beenext’s investment approach is centered on the founder; outside of monetary commitments, they will also provide a key role in accelerating business. The company has invested in more than 180 startups around the world, 45 of those are in the Asia Pacific region.

“Covid-19 has affected every aspect of global business, but we continue to detect novice founders who push boundaries not only to survive but also thrive in these conditions […] we feel required to nurture an entrepreneurial ecosystem to ensure reviving as a strong founding community,” Founder & Managing Partner, Teruhide Sato said.

He added, “Beenext has always believed in building a business together with local founders and co-investors, in order to have a lasting impact. We look forward to being able to create and grow together with more new company founders.”

Also mentioned in the release, the funds will be focused on ecosystems in India, Southeast Asia, and Japan. India will get the 50% portion of the first managed fund while also managed to increase funding in Southeast Asia.

Faiz Rahman from Beenext told DailySocial, “We plan to allocate 40% of the managed funds to Southeast Asia and Indonesia. We continue to focus on early-stage startups, in e-commerce, fintech, healthtech, agritech, logistics, HR-tech, and SaaS.”

Beenext is yet to plant local teams and office buildings in Indonesia, however, they have invested in 16 Indonesian startups and several regional startups that are expanding into the Indonesian market. These include Ralali, Zilingo, Amartha, Dekoruma, Happy Fresh, Sweet Escape, Zenius, Snaphunt, Mekari, Andalin, Janio, Ritase, Provesty, AgenKan, Raena, Jendela360, Akseleran, AdaKerja, and TrustMedis. The last three names secured investments around early 2020.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Beenext Bukukan Dana Kelolaan 2,2 Triliun Rupiah, Startup Indonesia Tetap Jadi Perhatian

Beenext selaku venture capital asal Singapura yang turut aktif berinvestasi untuk startup tahap awal di Indonesia, hari ini (16/6) mengumumkan telah menutup dua dana kelolaan (fund) baru, mengumpulkan dana senilai US$160 juta atau setara 2,2 triliun Rupiah. Sebelumnya mereka telah membukukan US$110 juta dalam fund pertamanya bertajuk “Beenext Emerging Asia Fund”.

Dana ini bersumber dari institusi di Amerika Serikat, Jepang, konglomerasi keluarga, hingga pengusahan yang tertarik di bisnis digital. Dana baru dirancang untuk menghubungkan startup tahap awal dengan jaringan founder Beenext, demi mendapatkan peluang kemitraan global dan akses ke sumber daya terbaik.

Pendekatan investasi Beenext memang terpusat pada founder; karena di luar komitmen moneter, mereka juga akan memberikan peran kunci dalam mengakselerasi bisnis. Perusahaan telah berinvestasi di lebih dari 180 startup di seluruh dunia, 45 di antaranya dari kawasan Asia Pasifik.

“Covid-19 telah memengaruhi setiap aspek bisnis global, tetapi kami terus melihat para pendiri pemula yang mendorong batasan untuk tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang dalam kondisi ini […] kami merasa perlu memelihara ekosistem kewirausahaan untuk memastikan kami bangkit kembali sebagai komunitas pendiri yang kuat,” ujar Founder & Managing Partner Teruhide Sato.

Ia melanjutkan, “Beenext selalu percaya untuk membangun bisnis bersama dengan pendiri dan co-investor lokal, demi memiliki dampak yang langgeng. Kami menantikan untuk bisa menciptakan dan tumbuh bersama dengan lebih banyak pendiri perusahaan baru.”

Dalam rilis disebutkan, dana akan difokuskan ke ekosistem di India, Asia Tenggara, dan Jepang. India akan mendapatkan porsi 50% dari dana kelolaan pertama dengan tetap meningkatkan volume pendanaan di Asia Tenggara.

Kepada DailySocial, Faiz Rahman dari Beenext menjelaskan, “Kami berencana mengalokasikan 40% dari dana kelolaan untuk Asia Tenggara dan Indonesia. Kami terus fokus pada startup tahap awal, di sektor e-commerce, fintech, healthtech, agritech, logistik, HR-tech, dan SaaS.”

Kendati hingga saat ini Beenext belum punya tim dan kantor lokal di Indonesia, mereka telah berinvestasi ke 16 startup Indonesia dan beberapa startup regional yang ekspansi ke pasar Indonesia. Termasuk di antaranya Ralali, Zilingo, Amartha, Dekoruma, Happy Fresh, Sweet Escape, Zenius, Snaphunt, Mekari, Andalin, Janio, Ritase, Provesty, AgenKan, Raena, Jendela360, Akseleran, AdaKerja, dan TrustMedis. Tiga nama terakhir mendapatkan investasi sekitar awal tahun 2020 ini.

PasarPolis and Its Focus on Product Innovation and Growth

After receiving fresh series A funding in 2018 from Go-Jek, Tokopedia, and Traveloka with an unspecified value, PasarPolis insurtech is reportedly to be in discussion with the International Finance Corporation (IFC) for further round. Regarding the truth, Cleosent Randing as the founder gives some clarification to DailySocial.

“We avoid commenting on such speculation. We continue to receive offers from the best investors from within and outside the country. We are always open to those who have the vision to democratize insurance for all through technology,” Cleosent said.

Was founded in 2015, PasarPolis is said to experience double-digit growth every month. The company has also developed some new breakthroughs such as collaboration with Gojek in developing insurance named Go-Sure, and developing new products such as cracked screen protection using patented QR code technology. Previously. they also expand to Thailand and Vietnam.

“Amid the Covid-19 pandemic we’ll also launched many products to protect the wider community,” Cleosent said.

The current outbreak of the Covid-19 virus is claimed to affect just a speck of the PasarPolis business. Although some of our partners in the transportation sector have decreased in traffic rate. It is said that PasarPolisis to overcome this by diversifying products into health. For example, the current products that rapidly growing with the number of partners from several industry segments outside transportation.

“To date, we have worked with more than 30 partners, almost all of them are leaders in their respective industries, such as Gojek on ride-hailing, Tokopedia in e-commerce services. In 2019, PasarPolis protects and releases more than 50 million insurance policy every month,” Cleosent said.

PasarPolis plans after the pandemic

Cleosent Randing saat peluncuran Go-Sure
Cleosent Randing at Go Sure launching

With the Covid-19 pandemic still ongoing, it is predicted that today and in the future new habits will be formed among people who prefer to buy insurance products online.

The insurtech platforms, such as PasarPolis which is actively increasing literacy in the importance of insurance, expected to increase public awareness in the future about the importance of easy and affordable insurance. Utilizing platforms such as PasarPolis that provide access and convenience in providing insurance is now much easier via digital.

“We see that after the Covid-19 pandemic ends will begin a new ‘ normal’ era where insurance purchases via digital continue to increase. With lower distribution costs, consumers can get more value and this Pandemic certainly provides a lesson for us all how important it is to maintain health,” Cleosent said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian 

Inovasi Selama Pandemi, Frame A Trip Buat Layanan “Virtual Photoshoot”

Frame A Trip, online marketplace jasa fotografer, merilis layanan virtual photoshoot sebagai inovasi teranyar. Tren pemotretan yang tengah menjadi populer selama pandemi ini dilakukan tanpa pertemuan fisik antara fotografer dan model.

“Virtual Photoshoot by Frame A Trip ini merupakan produk pertama kalinya di Indonesia yang empowering para fotografer untuk bisa berkarya dan scale-up tanpa jarak dan waktu travel, sehingga ke depannya pun kami juga akan menambah dan mengundang para fotografer professional untuk bergabung,” ucap CEO Frame A Trip Patricia Rose kepada DailySocial, Jumat (15/5).

Dia menerangkan berbeda dengan sesi foto biasanya, sesi foto virtual ini sangat mengandalkan komunikasi fotografer dan model. Melalui beberapa aplikasi video conference, kedua belah pihak akan mengomunikasikan pencahayaan, latar, busana, riasan wajah, sekaligus tata rambut.

Layanan tersebut memberikan kesempatan unik bagi semua orang untuk merasakan pengalaman sesi foto bersama fotografer dari kalangan selebriti. Di antaranya, Gading Marten, Dion Wiyoko, Tommy Siahaan, Michael Cools, dan Ana Octarina.

“Namun tidak semua fotografer di sini adalah selebriti. Kami juga mengundang fotografer professional untuk bergabung bersama kami, namun kami juga tetap kurasi untuk menjaga kualitas hasil fotonya.”

Model bisnis dari layanan ini tergolong cukup simpel. Patricia menerangkan, pengguna bisa melakukan pemesanan melalui situs resmi atau melalui tim Frame A Trip.

Setelah itu, pihaknya akan memberikan sejumlah panduan singkat sebelum sesi foto dimulai dan beragam tips untuk sesi virtualnya. Sesi foto dilakukan selama satu jam penuh dengan biaya yang dipatok mulai dari 1 jutaan Rupiah.

Personal assistant kami akan menghubungi klien untuk ensure mendapatkan brief yang jelas sesuai dengan request client, sehingga bisa kami sampaikan ke fotografer dan sesi bisa berjalan lancar.”

Patricia juga memastikan bahwa layanan ini akan menjadi produk permanen, yang tidak hanya hadir selama pandemi saja, karena punya nilai jual unik bukan dari hasil fotonya saja. Dari sisi gaya hasil editing dan arahan gaya dari tiap fotografer punya ciri khas masing-masing. “Kami percaya bahwa produk baru Virtual Photoshoot ini bisa menjadi produk permanen kami.”

Cari pendanaan

Patricia menuturkan perusahaan berencana untuk melakukan penggalangan dana. Bukan hanya sekadar cari dana segar saja, perusahaan ingin mencari partner strategis yang bisa mengakselerasi pertumbuhan perusahaan.

Sejak berdiri pada tahun 2017, Frame A Trip belum melakukan penggalangan dana eksternal, alias masih bootstrap dari kantong sendiri para pendirinya. Startup ini dirintis oleh Dian Sastrowardoyo, Michael Tampi, Arief Subardi, Hermawan Sutanto, dan Damon Hakim.

Diklaim perusahaan telah menjaring lebih dari 400 ribu fotografer di seluruh dunia.

Dia juga mengungkapkan dampak pandemi terhadap bisnisnya, terjadi penurunan yang sangat signifikan, selaras dengan industri perjalanan. “Namun, kami juga bersyukur karena sampai saat ini belum mengurangi karyawan,” pungkasnya.

Nasib yang berbeda, dialami pemain sejenisnya yakni SweetEscape. Perusahaan tersebut melakukan pengurangan karyawannya secara besar-besaran karena ada tim in-house, sehingga tidak hanya bersifat marketplace fotografer. Mereka tengah berusaha untuk menghidupkan bisnis dengan merilis layanan fotografi untuk usaha kuliner “Fotto”.