Blibli Konfirmasi Status “Startup Unicorn”

Blibli menambah daftar startup unicorn Indonesia. Konfirmasi ini disampaikan CEO Kusumo Martanto dalam sebuah wawancara eksklusif kolom Mastermind dengan DailySocial.id.

Kusumo mengatakan, “Meskipun kami belum mengumumkan status apapun secara terbuka, ukuran bisnis kami telah melampaui miliaran dolar. Lalu, apakah saya bisa mengatakan sudah mencapai status unicorn? Ya. Namun, sebagai perusahaan digital yang sangat kami inginkan adalah menciptakan bisnis berkelanjutan dengan nilai dan dampak positif bagi masyarakat.”

Sebelumnya konfirmasi status unicorn juga disampaikan Tiket.com, startup OTA yang diakuisisi Blibli pada tahun 2017. Tiket.com dikabarkan menjajaki potensi go public melalui kendaraan SPAC COVA Acquisition Corp. (COVA) dengan estimasi nilai gabungan perusahaan mencapai $2 miliar.

Berikut ini daftar selengkapnya startup unicorn Indonesia – beberapa perusahaan mengonfirmasi statusnya secara khusus kepada DailySocial.id dan belum mengumumkannya ke publik:

Perusahaan Est. Valuasi
Gojek-Tokopedia $18 miliar
Traveloka ~$3 miliar
Bukalapak ~$3 miliar
OVO ~$2,9 miliar
JD.id (dikonfirmasi perusahaan) undisclosed
Blibli (dikonfirmasi perusahaan) undisclosed
Tiket.com (dikonfirmasi perusahaan) ~$1 miliar
Kredivo $2,5 miliar

Peta bisnis Blibli

Di bawah naungan GDP Venture, perusahaan investasi grup Djarum, Blibli telah melakukan sejumlah aksi strategis. Selain mengakuisisi Tiket.com, mereka juga menjadi perpanjangan tangan akuisisi dan investasi ke startup lain. Inisiatif tersebut mengantarkan CEO Blibli sebagai anggota board / komisaris di sejumlah startup.

Di bisnis utamanya, selama dua tahun terakhir, berbagai inisiatif digenjot perusahaan. Pertama penguatan konsep O2O perusahaan, termasuk melalui layanan BlibliMart — yang pada awal 2020 dikatakan menjadi kategori terkuat kedua di Blibli setelah elektronik untuk tingkat pesanan dan GMV. Mereka juga sempat menginisiasi offline store, namun ditunda perluasannya akibat pandemi.

Akhir 2020, bersama Indodana yang merupakan anak usaha dari Cermati Fintech Group, Blibli meluncurkan fitur paylater untuk menambah kanal pembayaran. Blibli Mitra juga digalakkan sebagai upaya menggandeng lebih banyak UMKM — per akhir 2020 diklaim sudah mendapati 16 ribu mitra dengan 1 juta lebih konsumen.

Di tahun ini, ada beberapa inisiatif yang menjadi fokus perusahaan. Pertama, untuk menangkap tren used car marketplace yang terus meroket, Blibli meningkatkan kolaborasinya bersama Garasi.id, unit bisnisnya, untuk melayani kebutuhan jual-beli mobil bekas.

Selanjutnya, di era bank digital, mereka menggandeng BCA Digital sebagai mitra eksklusif. Di tahap awal ini pengguna Blibli dapat melakukan pembukaan rekening blu, pembayaran e-commerce, hingga bertransaksi lewat in-app payment.

Application Information Will Show Up Here

Lakukan Penyesuaian Akibat Pandemi, Platform Loyalitas GetPlus Gulirkan Fitur Baru

Salah satu upaya untuk memberikan layanan lebih kepada pelanggan adalah dengan menghadirkan rewards program. Sebagai platform yang dikembangkan untuk membantu bisnis ritel melalui program loyalitas koalisi (coalition loyalty), GetPlus mencatat saat ini menjadi waktu yang tepat bagi brand untuk melancarkan kegiatan tersebut.

Kepada DailySocial, Co-Founder & COO GetPlus Adrian Hoon mengungkapkan, era digital telah meningkatkan ekspektasi pelanggan, di sisi lain persaingan yang ketat juga menjadikan rewards program menjadi penting untuk menjaga loyalitas dan kepercayaan brand. Selain Adrian, co-founder GetPlus lainnya adalah Antonny Liem yang juga merupakan Partner dari GDP Venture yang juga memberikan investasi tahap awal ke GetPlus.

“Agar tetap relevan dan memenangkan loyalitas dalam ekonomi digital, brand harus memanfaatkan data konsumen untuk memberikan pengalaman pelanggan yang sangat relevan, sangat nyaman, dan dapat dipercaya. Ini akan membina hubungan yang lebih baik dengan basis pelanggan terbaik Anda,” kata Adrian.

Disinggung seperti apa pandemi mempengaruhi pertumbuhan bisnis dari GetPlus, sekitar 80% dari mitra merchant adalah ritel offline, F&B, dan bisnis travel yang sangat terpengaruh oleh penutupan sementara mal dan pergerakan terbatas. Meskipun semua proses belanja beralih ke online, namun jumlah transaksi terlihat menurun dan kebanyakan orang melakukan pembelian untuk barang yang tidak terlalu penting.

“Bisnis kami mengalami penurunan 60-70% selama tahap awal PSBB pada tahun 2020. Respons kami selanjutnya adalah dengan cepat meningkatkan teknologi Optical Character Recognition (OCR) untuk menerima tanda terima pembelian pengiriman rumah, memungkinkan pengguna kami untuk terus mendapatkan poin GetPlus saat berbelanja di rumah dan pada saat yang sama membantu meningkatkan beberapa bisnis mitra F&B kami,” kata Adrian.

GetPlus mengklaim telah mengelola tiga kali lipat kemitraan dengan merchant dan menggandakan basis keanggotaan melalui kerja sama strategis dengan 4 dari 5 operator telekomunikasi teratas dan beberapa layanan e-commerce. Masih banyak rencana yang bakal dilancarkan oleh GetPlus, salah satunya adalah ekspansi ke kota-kota besar di Indonesia. Rencana tersebut tergantung kepada besarnya permintaan dan kondisi pandemi di daerah tersebut.

Meluncurkan kanal baru

GetPlus meluncurkan kanal terbaru, memungkinkan pengguna mendapatkan poin dengan mengunggah struk pembelian. Harapannya pilihan ini bisa mempermudah lebih dari 300 ribu pengguna GetPlus menukarkan struk belanja dari supermarket dan minimarket apa pun di Jabodetabek menjadi Poin GetPlus.

“Model bisnis kami adalah membantu menghubungkan mitra merchant kami dengan konsumen (yang merupakan anggota kami) melalui program loyalitas koalisi kami. Perpanjangan ke minimarket dan supermarket memberi anggota kami jalan lain untuk mendapatkan poin GetPlus.”

Selain ritel bahan makanan, GetPlus juga memiliki CPG (consumer package goods) dalam kemitraan brand dengan untuk memberi penghargaan kepada pelanggan yang membeli produk mereka. Cara ini memungkinkan anggota untuk mendapatkan poin GetPlus dari ritel dan brand CPG secara bersamaan-penghasilan berlipat ganda dalam satu perjalanan belanja.

“Melalui brand CPG, kami menyadari pentingnya melibatkan pelanggan mereka secara langsung. Karena konsumen telah mengubah perilaku belanja mereka, model periklanan dan pemasaran tradisional tidak efektif seperti sebelumnya. Dengan memanfaatkan platform loyalitas koalisi GetPlus, brand CPG dapat memiliki ‘permulaan yang cepat’ tanpa investasi teknologi pemasaran, untuk mempromosikan langsung kepada konsumen dan memberi penghargaan atas pembelian mereka,” kata Adrian.

Application Information Will Show Up Here

TekenAja Meluncur sebagai Platform Tanda Tangan Digital, Tawarkan Kapabilitas Verifikasi Biometrik

PT Djelas Tandatangan Bersama (DTB), pengusung produk tanda tangan digital TekenAja, hari ini (03/2) resmi melakukan grand launching. Kepada DailySocial, Rionald Soerjanto selaku Co-Founder & COO menjelaskan, DTB merupakan anak perusahaan GDP Venture yang berbentuk joint venture. Saat ini juga menjadi perusahaan penyelenggara sertifikasi elektronik pertama yang mendapatkan status berinduk dari Kementerian Kominfo.

“Untuk digital signature, di Indonesia itu ada beberapa peringkat. Yakni terdaftar, lalu tersertifikasi, dan berinduk. Kalau berinduk, platform harus memenuhi banyak persyaratan teknis, sistem, dan keamanan yang harus dilakukan,” ujar Rionald.

Selain harus lolos audit yang cukup ketat dari Kementerian Kominfo, status tersebut turut didapat perusahaan berkat infrastruktur yang tersertifikasi. Misalnya, mereka sudah mendapatkan ISO 27001 untuk keamanan sistem. Perusahaan juga telah memiliki fasilitas pusat data tier-3 dan pusat pemulihan data tier-4 untuk melakukan proses bisnis.

Daftar penyelenggara tanda tangan digital yang telah memiliki status legal dari regulator
Daftar penyelenggara tanda tangan digital yang telah memiliki status legal dari regulator

TekenAja juga diklaim menjadi penyedia platform tanda tangan digital pertama yang benar-benar memanfaatkan verifikasi biometrik. Untuk validasi data, mereka telah menjalin perjanjian kerja sama dengan Dukcapil untuk mengakses data kependudukan.

“Biasanya ketika melakukan verifikasi identitas, pengguna akan diminta selife bersama KTP-nya. Kemudian sistem akan mencocokkan foto yang ada di KTP dengan wajah aslinya. Mekanisme tersebut masih memiliki celah, pengguna yang tidak bertanggung jawab bisa saja menggunakan identitas (NIK, Nama, Alamat dll) orang lain, kemudian membuat KTP palsu dengan fotonya sendiri untuk verifikasi. Maka dari itu biometrik menjadi penting,” lanjut Rionald.

Ia juga menjelaskan, konsep tanda tangan digital ini pada dasarnya memungkinkan individu untuk bisa melakukan transaksi online secara aman dengan melampirkan sertifikat digital (berisi data pribadi) yang telah terverifikasi. Keluarannya bisa bermacam-macam, beberapa yang populer berupa tanda tangan elektronik atau kode QR unik. Peran pemain seperti TekenAja tugasnya melakukan penerbitan sertifikat digital tersebut.

Digital signature cakupannya sampai harus memverifikasi identifikasinya. Ada beberapa tahapan, waktu pendaftaran orangnya harus benar. Kemudian ketika melakukan proses transaksi, juga harus diverifikasi. Jadi katakanlah istri saya punya data login saya untuk menandatangani sesuatu, dia tetap tidak bisa menggunakan karena harus diverifikasi dulu biometriknya untuk memastikan yang tanda tangan benar-benar saya.”

Skenario penggunaan

Untuk pengguna akhir, layanan TekenAja saat ini bisa dipakai di lembaga jasa keuangan untuk menjaga transaksi bisa berjalan secara online dan aman. Pengguna nantinya bisa menggunakan aplikasi mobile untuk melakukan proses tanda tangan. Tapi tidak hanya menutup di sektor itu saja, nantinya juga akan diperluas kegunaannya untuk fungsi-fungsi lain. Contohnya membantu sistem HRD di perusahaan agar berbagai pengajuan (cuti, reimbursement, dll) yang dilakukan karyawan pengesahannya dilakukan secara digital.

Di sisi bisnis nantinya akan ada dua model penerapan, bisa melalui portal khusus yang disediakan atau melalui integrasi API ke dalam sistem aplikasi. Sementara yang sudah pakai TekenAja ada perbankan, multi-finansial, fintech, hingga perusahaan ritel.

Rionald mengatakan, penerapan TekenAja bakal bisa digunakan untuk menjamin legalitas transaksi antarindividu. Ia mencontohkan, ketika ada akad jual-beli mobil atau rumah, pengesahannya (biasanya dilakukan dengan tanda tangan basah di atas materai) bisa dilakukan secara digital lewat aplikasi.

Terintegrasi dengan Asli RI

Rionald sendiri buka orang baru di industri digital. Ia juga menggawangi platform autentikasi biometrik Asli RI dan Login ID. Dengan induk perusahaan yang sama, TekenAja pun terintegrasi dengan kapabilitas yang dimiliki Asli RI. “TekenAja adalah perusahaan digital signature yang kental dengan biometrik. Karena menurut saya autentikasi biometrik itu saat ini jadi sistem keamanan terbaik, paling sulit dijebol,” ujarnya.

Ia juga mengatakan, pemerintah Indonesia baik itu Dukcapil maupun Kominfo cukup suportif dalam hal penerapan biometrik untuk tanda tangan digital. Sementara banyak pemain yang merasa cukup dengan hanya melakukan verifikasi dengan mekanisme selfie tadi, padahal menurutnya konsep tersebut baru bisa efektif di negara seperti Singapura atau Tiongkok (cth. di Tiongkok memalsukan e-KTP hukumannya mati).

“Target tahun ini, kami ingin lebih agresif melakukan penetrasi pasar, selain itu juga akan memperluas kerja sama di berbagai lini,” tutup Rionald.

Gambar Header: Depositphotos.com

Brodo Bags Series A Funding from Sembrani Nusantara Venture Fund and GDP Venture

BRI Ventures, through its latest managing fund, Sembrani Nusantara, announced its participation in the Series A round of local shoe startup brand, Brodo. Gdp Venture is also joined as an investor in this round. The value remains undisclosed.

Previously, Brodo has received seed funding from 500 Startups, Cento Ventures, Chris Angkasa, and Inovasi Partners. Was founded in 2010 by Yukka Harlanda and Putera Dwi Karunia, Brodo has achieved product-market fit through hundreds of products launched. Sales are supported online and offline, utilizing digital channels for various promotional activities.

This additional funding will be used to expand its business. In addition, it’s to increase the digital marketing platform, called Boleh Dicoba Digital (BDD). This platform currently becomes a “cloud marketing” service that has been used by some local brands such as Eiger, CottonInk, Kick Avenue, Rata.id, etc.

“Looking for a partner with aligning vision and mission is not easy […] we hope this (investment) can become a momentum for the revival of the local SME brands, especially in this quite challenging moment, because we always believe that there will be an opportunity behind any crisis,” Brodo’s Co-Founder & CEO, Yukka said.

He also said that in addition to strengthen its marketing tools, Brodo will invest in product innovation and supply chains in the shoe industry which is supported by SMEs.

Meanwhile, BVI’s CEO Nicko Widjaja said, “Brodo’s understanding of the segments they serve and their ambition to support other SMEs in advancing together through the utilization of the BDD digital platform is something that we really appreciate […] I myself see it as the most important component in Brodo’s future business, such as AWS, which has become a cloud computing platform for startups who are also part of Amazon.”

Investment to the new economy

The Sembrani Nusantara Venture Fund has previously anchored a local beverage brand Haus!. Through the series A round, the startup received an investment of 30 billion Rupiah. Indeed, this is quite good news for non-digital startups in Indonesia; because venture capitalists began to allocate special funds to invest in this segment.

We define the new economy as a startup with non-technology or non-digital products. They are potential businesses for millions of SMEs throughout Indonesia. By strengthening resources, they are projected to achieve exponential growth, along with the help of a technological approach – for example for the operational, marketing, and expansion.

For BVI, one of its missions is to strengthen the BRI’s SME ecosystem as the largest microfinance institution in the world (established and assisted the most SMEs). Their hypothesis is well-known as the EARTH (Education, Agriculture, Retail, Transportation, Healthcare). Haus! and Brodo are included in the retail category.

On DailySocial’s observation, other local venture capitalists have also started allocating funds for non-digital startups. Some of them are East Ventures, Alpha JWC Ventures, Intudo Ventures, Taja Ventures, Salt Ventures, etc.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Disclosure: DailySocial.id juga merupakan portfolio GDP Venture

Brodo Dapatkan Pendanaan Seri A dari Dana Ventura Sembrani Nusantara dan GDP Venture

BRI Ventures (BVI) melalui dana kelolaan terbarunya Sembrani Nusantara mengumumkan telah terlibat dalam pendanaan seri A kepada startup pengembang produk sepatu lokal Brodo. Dalam putaran ini, GDP Venture turut terlibat menjadi investor. Tidak disebutkan besaran nilai yang diberikan.

Sebelumnya di tahap awal, Brodo mendapatkan investasi dari  500 Startups, Cento Ventures, Chris Angkasa, dan Inovasi Partners. Sejak didirikan tahun 2010 oleh Yukka Harlanda dan Putera Dwi Karunia, merek Brodo telah mendapatkan product-market fit melalui ratusan produk yang diluncurkan. Penjualannya pun ditopang secara online dan offline, memanfaatkan kanal digital untuk berbagai kegiatan promosi.

Modal tambahan ini akan dimanfaatkan Brodo untuk melakukan perluasan bisnis. Salah satunya meningkatkan platform pemasaran digital yang telah dikembangkan, bernama Boleh Dicoba Digital (BDD). Seperti diketahui, platform tersebut kini telah menjadi layanan “cloud marketing” yang sudah dimanfaatkan beberapa brand lokal seperti Eiger, CottonInk, Kick Avenue, Rata.id, dll.

“Mencari partner yang satu visi dan misi tidaklah mudah […] kami berharap (investasi) ini bisa menjadi momentum kebangkitan untuk brand UMKM lokal, terutama di momen penuh tantangan seperti sekarang, karena kami selalu dan harus percaya bahwa di balik krisis akan ada kesempatan,” ujar Yukka selaku Co-Founder & CEO Brodo.

Ia turut mengatakan, selain mempertajam alat pemasaran yang dimiliki, Brodo akan berinvestasi pada inovasi produk dan rantai pasok di industri sepatu yang ditopang oleh para pelaku UKM.

Sementara itu CEO BVI Nicko Widjaja menyampaikan, “Pemahaman Brodo akan segmen yang mereka layani serta ambisi mereka untuk mendukung UMKM lainnya naik kelas bersama lewat utilisasi platform digital BDD menjadi sesuatu yang kami sangat apresiasi […] Saya sendiri melihatnya sebagai komponen yang terpenting dalam bisnis Brodo ke depannya, seperti AWS yang telah menjadi cloud computing platform untuk para startup yang juga merupakan bagian dari Amazon.”

Berinvestasi pada new economy

Dana Ventura Sembrani Nusantara sebelumnya telah berlabuh ke brand minuman lokal Haus!. Melalui putaran seri A, startup tersebut mendapat kucuran investasi senilai 30 miliar Rupiah. Tentu kabar ini menjadi angin segar bagi startup nondigital di Indonesia; pasalnya pemodal ventura mulai mengalokasikan dana khusus untuk berinvestasi di segmen tersebut.

New economy sendiri kami definisikan sebagai usaha rintisan dengan produk nonteknologi atau nondigital. Mereka adalah bisnis potensial dari jutaan pelaku UMKM yang tersebar di Indonesia. Dengan penguatan sumber daya, diyakini mereka bisa mencapai pertumbuhan eksponensial, tak terkecuali dengan dibantu pendekatan teknologi – misalnya dari sisi operasional, pemasaran, hingga ekspansi.

Bagi BVI, salah satu misinya adalah menguatkan ekosistem UMKM BRI selaku institusi keuangan mikro terbesar di dunia (paling banyak menjalin dan membantu kalangan UMKM). Hipotesis mereka disebut dengan EARTH (Education, Agriculture, Retail, Transportation, Healthcare). Adapun Haus! dan Brodo masuk ke dalam kategori ritel.

Dari pantauan DailySocial, modal ventura lokal lain juga mulai mengalokasikan dana untuk startup nondigital. Beberapa di antaranya East Ventures, Alpha JWC Ventures, Intudo Ventures, Taja Ventures, Salt Ventures dll.

Disclosure: DailySocial.id juga merupakan portofolio GDP Venture

CATAPA Focuses on Relevant HR Solution Amid Pandemic

Recently, the HR solutions provider and payroll CATAPA launched a new program called #CATAPAFreeforUMKM. Through this program, Indonesian SMEs can get free access to their services. This is one of the company’s new initiatives in the last six months since the Covid-19 outbreak.

CATAPA’s Founder & CEO Stefanie Suanita acknowledged that the pandemic had both positive and negative impacts on her business. “The negative impact is due to CATAPA’s subscription business model for employees per month,” Stefanie told DailySocial.

It is said during the last few months, corporations in Indonesia have had to hold/reduce their budget for efficiency. Not a few business people – even small to large scale – are forced to lay off their employees.

On the other hand, he continued, this pandemic is forcing the business sector to perform digital transformation. This is because many companies implement Work From Home (WFH) during a pandemic which results in Human Resource (HR) activities must be performed outside the office.

“In this situation, many companies need payroll processing that can be done outside the office, such as at home,” he added.

Stefanie sees this situation as a positive impact because it presents opportunities. For example, an attendance solution can be monitored easily. She also mentioned, there are still many companies that have an attendance system using a fingerprint machine. Meanwhile, this device has the potential to become a medium for virus transmission because of the touching system.

Then the solution for approval of leave or overtime can be processed paperless and from anywhere. From the various possibilities above, his team tries to accommodate the demand of corporations in Indonesia.

“For now, we put more energy into features that are relevant to current conditions. The key is speed and adaptability. This means that CATAPA seeks to launch products or programs that are relevant to current conditions quickly,” she said.

Meanwhile, the #CATAPAFREEforUMKM program which was launched on September 1, is intended only for MSMEs with a maximum number of employees of 20 people. Stefanie said that this program is valid until August 31, 2021. However, it does not rule out the possibility of this program being extended if the enthusiasts continue to grow.

MSMEs will get free access to CATAPA Basic services which include payroll solutions, Time Management (employee attendance management), Employee Self Service / ESS (time management submission and approval portals, company information, and employee data), and Claudia Chatbot.

Previously, CATAPA had also launched a number of initiatives during the pandemic. For example, CATAPA Safe, an application that serves to identify distances between employees while in the work area.

The application, which was released in April 2020, has three main features, Track, Trace, and Isolate. If there are employees who are positive for Covid-19, the company can trace who has been in contact with the employee in question for the past 14 days for immediate isolation.

CATAPA was founded in 2017 and is one of the companies under GDP Venture. As of August 2020, CATAPA users have experienced a growth of more than 300 percent since its inception.

As a general note, the Minister of Cooperatives & Small and Medium Enterprises, Teten Masduki, previously predicted that as many as 50 percent of MSME businesses in Indonesia would go out of business due to the Covid-19 pandemic. The government has also disbursed Rp. 123 trillion for the UMKM assistance program.

As reported by Kompas.com, Workday’s latest report notes that as many as 50 percent of companies in Indonesia prioritize digital transformation, while 31 percent of them actually slow down this effort.

In addition, as many as 41 percent of companies in Indonesia have had difficulty managing new ways of tracing the licensing chain and other operational activities due to the pandemic. This report also states that the company’s ability to utilize digital means is one of the biggest challenges in implementing digital transformation during a pandemic.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

CATAPA Fokuskan pada Kebutuhan Solusi HR yang Relevan Selama Pandemi

Beberapa waktu lalu, penyedia solusi HR dan payroll CATAPA meluncurkan program baru bernama #CATAPAFreeforUMKM. Lewat program ini, UMKM di Indonesia mendapatkan akses gratis pada layanan mereka. Ini merupakan satu dari sekian inisiatif baru perusahaan dalam enam bulan terakhir sejak mewabahnya Covid-19.

Founder & CEO CATAPA Stefanie Suanita mengakui bahwa pandemi membawa dampak positif dan negatif terhadap bisnisnya. “Dampak negatifnya, ini berpengaruh ke bisnis kami karena model bisnis CATAPA adalah biaya berlangganan per karyawan per bulan,” ungkap Stefanie dalam pernyataannya kepada DailySocial.

Hal ini karena selama beberapa bulan terakhir korporasi di Indonesia harus menahan/mengurangi budget demi efisiensi. Tak sedikit pelaku bisnis–berskala kecil hingga besar sekalipun–terpaksa harus merumahkan karyawannya.

Di sisi lain, lanjutnya, pandemi ini memaksa sektor bisnis untuk melakukan transformasi digital. Hal ini karena banyak perusahaan memberlakukan Work From Home (WFH) selama pandemi yang mengakibatkan aktivitas Human Resource (HR) harus dilakukan di luar kantor.

“Dengan situasi ini, banyak perusahaan jadi memerlukan proses penggajian yang dapat dilakukan di luar kantor, seperti di rumah,” tambahnya.

Stefanie melihat situasi ini sebagai dampak positif karena memunculkan peluang. Misalnya, solusi pencatatan kehadiran yang dapat dimonitor dengan mudah. Menurutnya, masih banyak perusahaan yang memberlakukan sistem absensi dengan menggunakan fingeprint machine. Sementara, perangkat ini berpotensi menjadi media penularan virus karena banyaknya sentuhan.

Kemudian solusi untuk persetujuan cuti atau lembur yang bisa diproses secara paperless dan dari mana saja. Dari berbagai kemungkinan di atas, pihaknya berupaya mengakomodasi kebutuhan korporasi di Indonesia.

“Untuk saat ini, kami put more energy pada fitur-fitur yang relevan dengan kondisi saat ini. Kuncinya adalah speed dan adaptability. Artinya, CATAPA berupaya meluncurkan produk atau program yang relevan dengan kondisi saat ini dengan cepat,” tuturnya.

Adapun, program #CATAPAFREEforUMKM yang meluncur  pada 1 September lalu, diperuntukkan hanya untuk UMKM dengan jumlah karyawan maksimal 20 orang. Stefanie menyebutkan bahwa program ini berlaku sampai 31 Agustus 2021. Namun tidak menutup kemungkinan program ini diperpanjang apabila peminatnya terus bertambah.

UMKM akan mendapat akses gratis untuk layanan CATAPA Basic yang mencakup solusi payroll, Time Management (pengelolaan kehadiran karyawan), Employee Self Service/ESS (portal pengajuan dan persetujuan time management, informasi perusahaan, dan data karyawan), dan Claudia Chatbot.

Sebelumnya, CATAPA juga telah meluncurkan sejumlah inisiatif selama masa pandemi. Misalnya, CATAPA Safe, sebuah aplikasi yang berfungsi untuk mengidentifikasi jarak antar-karyawan selama berada di area kerja.

Aplikasi yang dirilis pada April 2020 ini memiliki tiga tujuan utama, yakni Track, Trace, dan Isolate. Apabila ada karyawan yang positif Covid-19, perusahaan dapat melacak siapa yang pernah melakukan kontak dengan karyawan bersangkutan selama 14 hari ke belakang untuk segera diisolasi.

CATAPA berdiri pada 2017 dan merupakan salah satu perusahaan di bawah naungan GDP Venture. Per Agustus 2020, pengguna CATAPA telah mengalami pertumbuhan lebih dari 300 persen sejak pertama berdiri.

Sebagaimana diketahui, sebelumnya Menteri Koperasi & UKM Teten Masduki memprediksi sebanyak 50 persen bisnis UMKM di Indonesia bakal gulung tikar akibat pandemi Covid-19. Pemerintah pun telah mengucurkan sebesar Rp123 triliun untuk program bantuan UMKM.

Dilansir Kompas.com, laporan terbaru Workday mencatat sebanyak 50 persen perusahaan di Indonesia memprioritaskan transformasi digital, sedangkan 31 persen di antaranya justru memperlambat upaya ini.

Selain itu, sebanyak 41 persen perusahaan di Indonesia kesulitan mengelola cara-cara baru dalam merunut rantai perizinan dan kegiatan operasional lain karena pandemi. Laporan ini juga menyebutkan kemampuan perusahaan dalam memanfaatkan sarana digital menjadi salah satu tantangan terbesar dalam melaksanakan transformasi digital di masa pandemi.

Application Information Will Show Up Here

Konvergen AI Introduces Data Capture Platform to Facilitate Photo Transcription

Public and private sectors in Indonesia have massively digitized their services. The goal is clear, to make existing business processes faster and more efficient. In fact, some digital processes are yet to fully automated. For example, with a digital application, a company still has to go manual on validating the online submission to ensure that the attached files are appropriate.

These problems encouraged Lintang Sutawika, Roan Gylberth, and Timothy Devin to initiate the Konvergen AI. It’s a startup focused on developing artificial intelligence technology for data capture – refers to the process of collecting data from paper or digital documents using optical character recognition (OCR) components. OCR is functioned to produce a transcription of texts in digital format from photos, images or scans.

How does it work? For example, there is an application for shopping records, developers can use the Konvergen AI feature to scan the receipt with a mobile camera. It allows the application to recognize the products and nominal listed, users don’t need to write manually.

“In brief, Konvergen AI’s products and services are used to improve performance efficiency involving manual and repetitive processes, as data input. Currently,  the Konvergen AI system can process various documents ranging from identity-related such as eKTPs or Family Cards, and documents such as invoices,” The Co-Founder, Lintang Sutawika said.

Konvergen AI provides data extract service for various purposes
Konvergen AI provides data extract service for various purposes / Konvergen AI

He also mentioned, to begin with, the Konvergen AI product was aimed at financial companies, such as banking, insurance, and financing; however, it can also be adjusted to other industries such as export/import and legal processing. As SaaS, products are commercialized through a subscription license.

“Currently, we are assisting a private bank in registering new customers. In this case, our system helps to input customer identity data as stated in documents such as eKTP and NPWP. With this data capture system, the banking registration and checking process should be faster,” he added.

Seed funding from GDP Venture

Konvergen AI was first founded in late 2018 and proceed more than one million documents from a number of customers. They also secured seed funding from GDP Venture, a venture capital actively involved in artificial intelligence startups. Aside from Konvergen AI, GDP also invested in Datasaur, Prosa,ai, 6Estates, Qlue, and Glair.

Founder Konvergen AI Timotius Devin, Lintang Sutawika, dan Roan Gylberth / Konvergen AI
Konvergen AI’s Founders, Timotius Devin, Lintang Sutawika, and Roan Gylberth / Konvergen AI

In terms of founders, Sutawika mentioned the first time the three of them met while studying master’s degree of Computer Science in Universitas Indonesia.

“At first, the three of us ran several computer vision and image processing projects. A simple thing, such as reading or inputting data can become very overwhelming when it was done repetitively and on a large scale. We thought we can engineer the development of artificial intelligence to reduce manual work.”

In actual days, there are many vendors offering data capture services, such as cloud computing providers, they have various cognitive services, one of which is an OCR-based system. Konvergen AI aware of the issue and came up with such differentiation.

“The system we developed is an end-to-end service. For example, some cloud computing service vendors have OCR API services, yet in daily practice, these OCRs still have to be processed before the outputs considered to be suitable for use. The system we’ve developed has been adjusted for non-ideal conditions,” he said.

Closing the interview, he explained his plan in 2020, “We plan to increase the number of  ready-to-extract documents and increase the language types, therefore the Konvergen AI can serve more industries and customers, especially in Indonesia.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Konvergen AI Hadirkan Platform “Data Capture”, Mudahkan Proses Transkripsi Informasi dari Foto

Digitalisasi layanan sudah makin masif dilakukan sektor publik dan privat di Indonesia. Tujuannya jelas, untuk menjadikan proses bisnis yang ada lebih efisien dan cepat. Namun dalam praktiknya, beberapa proses digital belum sepenuhnya terautomasi. Misalnya dengan adanya aplikasi digital, suatu perusahaan masih harus memvalidasi hasil masukan formulir online secara manual, untuk memastikan berkas yang dilampirkan sesuai.

Permasalahan tersebut yang membuat Lintang Sutawika, Roan Gylberth, dan Timotius Devin menginisiasi Konvergen AI. Yakni startup yang fokus mengembangkan teknologi kecerdasan buatan untuk kebutuhan penangkapan data (data capture) – merujuk pada proses koleksi data dari dokumen kertas atau digital dengan menggunakan komponen optical character recognition (OCR). OCR berfungsi menghasilkan transkripsi teks dalam format digital dari foto, gambar, atau hasil scan.

Begini gambaran cara kerjanya. Misalnya ada sebuah aplikasi catatan pengeluaran belanja, pengembang bisa memanfaatkan layanan Konvergen AI untuk menghadirkan fitur pemindai kuitansi belanja dengan kamera ponsel. Memungkinkan aplikasi mencatat produk dan nominal yang tertera, pengguna tidak perlu menuliskan secara manual.

“Secara singkat, produk dan layanan Konvergen AI digunakan untuk meningkatkan efisiensi kinerja yang melibatkan proses manual dan repetitif, yaitu input data. Saat ini sistem Konvergen AI dapat memproses berbagai dokumen mulai dari dokumen identitas seperti eKTP atau Kartu Keluarga, hingga dokumen perdagangan seperti invoice,” ujar Co-Founder Lintang Sutawika.

Konvergen AI sajikan layanan ekstraksi data untuk berbagai keperluan / Konvergen AI
Konvergen AI sajikan layanan ekstraksi data untuk berbagai keperluan / Konvergen AI

Lintang melanjutkan, sebagai permulaan produk Konvergen AI ditujukan untuk perusahaan finansial yang meliputi perbankan, asuransi, maupun pembiayaan; namun bisa juga diadaptasikan ke industri lain seperti pemrosesan ekspor/impor dan legal. Sebagai SaaS, produk dikomersialkan melalui lisensi berlangganan.

“Saat ini, kami membantu sebuah bank swasta dalam melakukan registrasi nasabah baru. Dalam kasus ini, sistem kami membantu meng-input data identitas nasabah yang tertera pada dokumen seperti eKTP dan NPWP. Dengan sistem data capture ini, proses registrasi dan pengecekan oleh pihak bank menjadi lebih cepat,” lanjutnya.

Mendapatkan pendanaan awal dari GDP Venture

Konvergen AI resmi berdiri sejak akhir 2018 dan telah memproses lebih dari satu juta dokumen dari puluhan pelanggan. Mereka juga sudah membukukan pendanaan awal (seed funding) dari GDP Venture, perusahaan modal ventura yang cukup aktif berinvestasi ke startup kecerdasan buatan. Selain Konvergen AI, GDP juga berinvestasi ke Datasaur, Prosa.ai, 6Estates, Qlue, dan Glair.

Founder Konvergen AI Timotius Devin, Lintang Sutawika, dan Roan Gylberth / Konvergen AI
Founder Konvergen AI Timotius Devin, Lintang Sutawika, dan Roan Gylberth / Konvergen AI

Terkait founder Lintang juga bercerita, ketiganya bertemu ketika menjalankan program magister di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.

“Pada awalnya kami bertiga menjalankan beberapa proyek computer vision dan image processing. Hal yang sederhana untuk kita seperti membaca dan meng-input data menjadi hal yang overwhelming apabila dilakukan secara repetitif dan skala besar. Kami menilai bahwa perkembangan kecerdasan buatan saat ini dapat di-engineer untuk mengurangi kerja manual.”

Sebenarnya layanan data caputure juga sudah dijajakan banyak vendor, misalnya oleh penyedia komputasi awan, mereka punya varian layanan kognitif salah satunya sistem berbasis OCR. Konvergen AI pun melihat kondisi tersebut, sehingga mereka juga berupaya hadirkan diferensiasi.

“Sistem yang kami kembangkan bersifat end-to-end. Sebagai contoh, beberapa vendor layanan cloud computing memiliki layanan API OCR, namun dalam praktik sehari-hari, OCR ini masih harus diproses sebelum output-nya dapat dinilai layak pakai. Sistem yang kami kembangkan telah disesuaikan untuk kondisi-kondisi yang bersifat non-ideal,” terang Lintang.

Menutup wawancara, ia menyampaikan rencananya di tahun 2020, “Kami berencana untuk menambah jumlah dokumen yang siap ekstrak serta menambah jenis bahasa yang mampu dibaca sehingga Konvergen AI dapat melayani lebih banyak industri dan pelanggan khususnya di Indonesia.”

Datasaur Receives More Funding, to Optimize Data Labeling Platform

The data labeling platform developer startup, Datasaur, has announced new funding worth $1 million or equivalent to 14.2 billion Rupiah. This is a same round with the last one with GDP Venture. There are some angel investors involved, one is Calvin French-Owen as Segment’s Co-Founder & CTO.

The fresh money will be used for platform capability, including minimizing bias on text labeling. As we all know, data labeling become one of the most crucial processes in the development of artificial intelligence (AI) based services, particularly in the natural language process (NLP).

Datasaur developed tools to support data labeling workers to be more productive and efficient. It includes to improve data privacy and security – in fact, most data labeling is done by outsourcing.

“Basically, we are now handling all kinds of NLP, including entity recognition, parts of speech, document labeling, coreference resolution, and dependency parsing. We’re to build intelligence into the system to make labeling process more efficient and accurate and allow the company to manage the data labeling team through a simple platform,” Datasaur’s Founder & CEO, Ivan Lee told DailySocial

Ivan Lee (middle) and Datasaur team / Datasaur
Ivan Lee (middle) and Datasaur team / Datasaur

Currently, the Datasaur team is participating in the Y Combinator acceleration program for the Winter 2020 batch in San Francisco. The company’s based in California and Indonesia.

NLP become the most AI technology-based implementation in Indonesia

AI is getting more popular as services that can automate several business processes emerged. One of the most widely used products is a chatbot, the corporation is busy using the platform to provide automatic replies to every message given by a customer. Some of them are BCA (chatbot name: Vira), Telkomsel (Veronika), BNI (Love) and others.

Behind the chatbot technology, there are a variety of AI tools applied, one of the most significant is NLP. Its function is to make the computer system understand t0ahe language and context written by the user. In fact, there are still many shortcomings in the current chatbot product, including the most fundamental which is the lack of vocabulary understanding. The impact on services that still feels very rigid, is as natural as the conversation between humans.

Advantages and challenges for chatbot implementation for business
Advantages and challenges for chatbot implementation for business

One of the results of labeling the data is used to train the machine (known as the concept of machine learning) in order to have a better understanding of language, by classifying certain words into groups that have been defined. Some of the scenarios carried out, for example, are continuously learning new words conveyed by the user.

“Despite all the hype, AI is a technology that is still being developed. Many companies are looking for best practices in their labeling process. The first generation solution is to outsource all the labeling work. Many companies are building ‘Mechanical Turk’, but for AI, ” Ivan explained.

He continued, “We now see companies identify that high-quality data is one of the most valuable assets to build and improve AI models. Datasaur is present as the next generation solution, we build software to improve best practices in data labeling, to help develop AI workflows company.”

Along with its development, the market share of AI-based products will continue to increase. Research projects that the global value will reach US$ 390 billion in 2025. For data labeling itself, on the global scene, there are several other services besides Datasaur that can help such as Labelbox, Cloudfactory, and even Google Cloud products are also releasing beta versions for AI Data Labeling Services.

Data labeling implementation scheme

Example of data labeling process in Datasaur
Example of data labeling process in Datasaur / Datasaur

By understanding the input data, there are many things that can be done. From the existing case studies, Datasaur helps companies to do various things, such as understanding contract documents, transcribing customer service conversations, analyzing product reviews, and detecting false news.

“Our software has been used to detect and mark suspicious fake news articles by the Indonesian government. A case study with one of our clients shows a 70% increase in labeling efficiency after adopting the Datasaur platform, and we still have more room to improve,” Ivan said.

Currently, the data labeling platform has been used by various business verticals, from the financial technology industry, health, customer service, social media to chatbot.

Revision from the previous article: this is not a follow on funding, still in a seed round similar with the last one from GDP Venture


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian