Runchise Dikabarkan Raih Investasi Tambahan dari East Ventures dan Genesia Ventures

Startup SaaS untuk bisnis kuliner Runchise dikabarkan meraih pendanaan awal tambahan sebesar $1 juta (sekitar Rp16,2 miliar). Mengutip dari Alternatives.pe, investasi ini dikucurkan oleh investor sebelumnya, yakni East Ventures dan Genesia Ventures.

DailySocial.id telah menghubungi perusahaan dan investor terkait informasi ini, namun belum ada respons yang diberikan hingga berita ini diturunkan.

Baik East Ventures dan Genesia Ventures merupakan investor awal Runchise. Pengumuman pendanaan disampaikan pada Oktober 2022. Jajaran investor lainnya yang turut serta adalah Arise MDI Ventures, Init-6, Prasetya Dwidharma, Alto Partners, dan sejumlah angel investor.

Runchise berdiri pada 2022 oleh Daniel Witono dan Ivana Widjaya. Daniel sebelumnya dikenal sebagai founder Jurnal (diakuisisi Mekari). Dalam wawancaranya bersama DailySocial.id di bulan Juni 2022 lalu, ia mengatakan bahwa Runchise dibangun sebagai sebuah “outlet management solution”.

Persoalan tentang pengelolaan hingga pembinaan franchise ternyata masih menjadi tantangan yang kerap dirasakan oleh pemilik restoran hingga pemilik brand. Mulai dari kurangnya transparansi dari penerima waralaba, hingga penggunaan bahan baku yang tidak sesuai. Hal ini lalu memberikan inspirasi bagi Daniel untuk menghadirkan platform end-to-end kepada pemilik franchise.

“Saat bersama Mekari konsep ini tidak bisa saya kembangkan karena fokus perusahaan adalah hanya kepada akunting dan personalia saja. Karena itu setelah saya keluar, saya mulai mengembangkan Runchise untuk membantu sektor F&B di Indonesia yang sangat luas potensinya,” kata Daniel.

Daniel juga mengatakan, salah satu segmen pasar utama Runchise adalah pebisnis waralaba (franchise). Persoalan tentang pengelolaan hingga pembinaan franchise masih menjadi tantangan yang kerap dirasakan oleh pemilik brand F&B. Mulai dari kurangnya transparansi dari penerima waralaba hingga penggunaan bahan baku yang tidak sesuai.

Runchise menyajikan tiga layanan:

  1. Supply Chain Management: memudahkan operasional restoran yang memiliki banyak outlet, mulai dari pengaturan dan pengadaan stok, bahan baku, hingga pengaturan akses data perusahaan yang fleksibel.
  2. Point of Sales, memudahkan proses transaksi dengan pelanggan.
  3. Online Ordering, untuk memudahkan pemilik gerai mengintegrasikan dengan layanan food delivery.

Di lanskap F&B, ada sejumlah pemain yang saat ini turut menjajakan solusi SaaS. Ada Esensi Solusi Buana yang telah didukung sejumlah investor termasuk Alpha JWC Ventures, solusi yang ditawarkan termasuk ERP, POS, dan manajemen layanan food delivery. Selain itu juga ada beberapa lainnyas seperti DigiResto yang dikembangkan MCAS.

Application Information Will Show Up Here

Startup E-commerce B2B “Sinbad” Dikabarkan Galang Dana Seri A Dipimpin Centauri Fund

Startup e-commerce B2B Sinbad dikabarkan menggalang pendanaan seri A yang dipimpin oleh Centauri Fund, dana kelolaan patungan antara Telkom dan KB Financial Group.

Menurut sumber DailySocial.id, putaran yang bernilai $5,5 juta (lebih dari 85,9 miliar Rupiah) ini juga diikuti investor lainnya, seperti Genesia Ventures, Central Capital Ventura, dan MDI Ventures. Dua nama terakhir merupakan investor lama Sinbad yang berpartisipasi dalam putaran sebelumnya. MDI Ventures memimpin putaran tahap awal untuk Sinbad pada awal tahun 2020.

Startup yang dirintis pada 2018 oleh Emilio Wibisono dan Jabert Hachchouch ini bermain di ranah e-commerce B2B yang memiliki misi ingin menyederhanakan rantai pasok di Indonesia, mempermudah pedagang dan pemasok dalam proses pengadaan. Diklaim pemesanan produk melalui Sinbad akan langsung terhubung ke distributor utama dengan tarif terendah yang ada di pasaran.

Kategori produk yang dijual Sinbad mayoritas adalah FMCG, mulai dari makanan, minuman, susu, perawatan tubuh, perlengkapan bayi, dan hewan peliharaan. Seluruh barang ini disuplai oleh brand prinsipal utama.

Perusahaan mengklaim telah memiliki 5 ribu+ total SKU, berasal dari 80 brand. Sinbad disebutkan telah menjangkau lebih dari 150 kota untuk persebaran jaringan toko dan pemasok. Tidak banyak informasi lainnya yang bisa digali mengenai pencapaian Sinbad sejak berdiri hingga sekarang.

Tak hanya kemudahan berbelanja dengan harga kompetitif langsung dari pemasok, Sinbad juga menawarkan kemudahan belanja dengan fitur bayar nanti (paylater). Sebetulnya, solusi yang ditawarkan Sinbad bukanlah barang baru di Indonesia. Perusahaan berkompetisi langsung dengan pemain lainnya, seperti GudangAda, Credibook (CrediMart), Ula, Warung Pintar, GoToko, Dagangan, dan lainnya, untuk permudah pemilik warung berbelanja.

Potensi digitalisasi warung

Solusi untuk warung ini sebetulnya menyelesaikan isu yang sangat mendasar. Berdasarkan hasil riset bertajuk The Future of Southeast Asia’s Digital Financial Services, sekurangnya 92 juta penduduk berusia dewasa di Indonesia belum tersentuh layanan finansial perbankan (unbankable) – sehingga sulit bagi mereka untuk mengakses layanan digital transaksional secara langsung. Warung berpeluang untuk menjadi medium inklusi keuangan, khususnya lewat layanan digital.

Warung adalah sistem bisnis yang paling menjangkau – tempat ekonomi mikro di berbagai penjuru Indonesia berputar. Menurut data Sensus Ekonomi 2016 yang dirilis BPS, dari 26,4 juta unit Usaha Mikro Kecil (UMK) & Usaha Menengah Besar (UMB), sebanyak 46,38% masuk dalam kategori “Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor” – warung masuk di sana. Jumlah ini sekaligus menjadi yang paling besar di antara jenis usaha lain yang ada di Indonesia.

Diestimasi, ekonomi warung informal Indonesia saat ini terdiri dari 168 juta orang yang bertransaksi $252 miliar setiap tahun. Dalam rangka menuju ekonomi digital yang inklusif, maka digitalisasi sangat penting untuk mengatasi masalah inti yang dihadapi oleh warung di lingkungan kecil ini.

Dalam wawancara dengan DailySocial.id, Co-Founder Ula Nipun Mehra menjelaskan analisisnya mengapa startupnya mantap merambah sektor ini. Menurutnya, ritel tradisional seperti warung adalah pilar utama ekonomi Indonesia. Tulang punggung dari ekonomi konsumsi, sekaligus mempekerjakan jutaan orang.

“Peritel tradisional tergolong cost-effective dan memiliki pengetahuan mendalam mengenai pasar lokal. Namun, sektor ini adalah bagian paling rentan dari value chain karena mereka biasanya bekerja secara individual dengan skala kecil,” ujarnya.

Application Information Will Show Up Here

Startup SaaS Kuliner “Runchise” Umumkan Pendanaan Awal

Startup pengembang layanan SaaS untuk bisnis kuliner Runchise mengumumkan pendanaan tahap awal dengan nilai yang dirahasiakan. Putaran investasi ini dipimpin oleh East Ventures, diikuti sejumlah investor meliputi Genesia Ventures, Arise MDI Ventures, Init-6, Prasetya Dwidharma, Alto Partners, dan sejumlah angel investor.

Ini bukan kali pertama SaaS yang spesifik untuk industri kuliner hadir, sebelumnya sudah ada Esensi Solusi Buana (ESB) yang juga fokus di area tersebut. Bahkan startup yang didukung Alpha JWC dan sejumlah investor ini sudah membukukan pendanaan seri B tahun ini senilai $29 juta atau sekitar 420 miliar Rupiah.

Runchise sendiri hadir tahun ini, didirikan Daniel Witono, yang sebelumnya dikenal sebagai founder Jurnal (diakuisisi Mekari). Dalam wawancaranya bersama DailySocial.id di bulan Juni 2022 lalu, ia mengatakan bahwa Runchise dibangun sebagai sebuah “outlet management solution“.

“Perkembangan bisnis kuliner dipengaruhi oleh pengelolaan atau sistem manajemen yang baik. Dengan menggunakan teknologi, kami yakin para pengusaha akan bisa meningkatkan profit dan meningkatkan output dari usaha. Runchise hadir menjadi solusi bagi pemilik bisnis kuliner, memberi para usaha kuliner solusi yang lengkap dalam satu platform di mana kebutuhan seluruh operasional usaha kuliner bisa terpenuhi,” ujar Daniel seperti disampaikan dalam rilis resminya.

Daniel juga mengatakan, salah satu segmen pasar utama Runchise adalah pebisnis waralaba (franchise). Persoalan tentang pengelolaan hingga pembinaan franchise masih menjadi tantangan yang kerap dirasakan oleh pemilik brand F&B. Mulai dari kurangnya transparansi dari penerima waralaba hingga penggunaan bahan baku yang tidak sesuai.

Layanan Runchise

Ada tiga layanan utama yang disajikan Runchise. Pertama adalah Supply Chain Management, tugasnya memudahkan operasional restoran yang memiliki banyak outlet, mulai dari pengaturan dan pengadaan stok, bahan baku, hingga pengaturan akses data perusahaan yang fleksibel. Kedua ada Point of Sales, memudahkan proses transaksi dengan pelanggan. Dan ketiga Online Ordering, untuk memudahkan pemilik gerai mengintegrasikan dengan layanan food delivery.

Runchise akan mengalokasikan dana dari investor untuk menambah talenta dan memperkuat tim, mengembangkan produk, dan inisiatif pemasaran. “Melalui investasi dan kolaborasi dengan investor, kami akan terus melakukan inovasi dengan menggunakan teknologi untuk meningkatkan performa bisnis F&B  dan menjadi mitra teknologi terpercaya di industri ini,” kata Daniel.

General Partner Genesia Ventures Takahiro Suzuki memberikan pandangannya terhadap potensi digitalisasi industri kuliner. “Dalam beberapa tahun terakhir ini, kita telah melihat bagaimana inovasi dan digitalisasi telah memberikan peluang baru bagi UMKM, khususnya sektor kuliner pada masa pandemi. Industri consumer food menjangkau hingga $50 miliar, dengan sebagian besar masih dijalankan secara offline, hal ini membuktikan bahwa masih banyak kesempatan untuk berinovasi, digitalisasi dan pertumbuhan di sektor ini,” ujarnya.

Ia melanjutkan, “Dengan pengalaman mengoperasionalkan perusahaan yang sedang berkembang dan menjadi founder untuk yang kedua kalinya, kami yakin Daniel beserta tim dapat menangkap peluang tersebut serta membawa progres yang positif bagi industri F&B di Indonesia.”

Startup Insurtech Rey Umumkan Pendanaan 63 Miliar Rupiah

Startup insurtech Rey Assurance mengumumkan pendanaan baru sebesar $4,2 juta (lebih dari 63 miliar Rupiah) dipimpin oleh Trans-Pacific Technology Fund (TPTF), Genesia Ventures, dan PT Reycom Document Solusi (RDS).

TPTF merupakan investor pra-awal Rey yang menyuntik dana sebesar $1 juta pada September 2021. Bersamaan dengan itu, perusahaan juga merilis fitur pendukung untuk kartu keanggotaan dinamai ReyCare, ReyCard, dan ReyFit.

Dalam keterangan resminya, Co-founder & CEO Rey Evan Wijaya Tanotogono menjelaskan, perusahaannya membawa misi ingin mewujudkan masyarakat Indonesia yang lebih sehat dan terproteksi. Maka dari itu, Rey membuka akses seluas-luasnya terhadap asuransi kesehatan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan biaya terjangkau demi mendapatkan layanan kesehatan yang lebih baik.

“Hal ini lantaran, penetrasi asuransi di negara ini masih rendah dan layanan kesehatan yang ada masih terkonsentrasi di wilayah tertentu,” ucapnya.

Produk baru

Dalam pembaruan terkini, Rey menambahkan produk proteksi baru, yakni ReyCare, ReyCard, dan ReyFit untuk melengkapi kartu proteksi kesehatan yang sudah diluncurkan sejak awal, meliputi manfaat rawat jalan dan rawat inap.

ReCare merupakan fitur yang melayani anggota untuk mengakses seluruh layanan kesehatan, mulai dari chat dokter sepuasnya untuk mendapatkan triase dan tindakan lanjutan yang sesuai, penebusan resep online, pembuatan janji dengan dokter, hingga proses pembayaran di rumah sakit. Semuanya dilakukan tanpa biaya tambahan, dilakukan secara digital melalui aplikasi, dan dibantu oleh tim Rey.

Dengan menggunakan fitur chat dokter yang disediakan, para pengguna segera mendapatkan diagnosis awal yang dapat dilanjutkan dengan pemberian resep obat oleh dokter yang ada dalam tim ReyCare. Seluruh dokter dalam tim ReyCare telah dipastikan memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) serta melaksanakan konsultasi berdasarkan SOP yang sesuai dengan kaidah kedokteran.

Resep dokter pun dapat ditebus langsung melalui aplikasi untuk untuk dikirim maupun diambil sendiri. Semuanya sesuai preferensi dan kenyamanan anggota. Jika diberikan rekomendasi untuk menemui dokter secara tatap muka, maka tim ReyCare akan membantu proses pemilihan rumah sakit atau dokter yang diinginkan oleh anggota sampai membuat janji temu.

Berikutnya ReyCard, berupa kartu debit berbasis jaringan GPN yang dapat digunakan sebagai metode pembayaran cashless di faskes manapun di seluruh Indonesia. Kemudian, ReyFit, untuk memotivasi anggota menjalankan hidup lebih sehat, salah satunya dengan target harian yang dapat dilacak untuk jumlah langkah kaki dan tingkat hidrasi.

Menariknya, ReyFit tidak hanya diperuntukkan untuk anggota Rey tapi juga pengguna aplikasi yang belum menjadi anggota. Jika pengguna memenuhi milestone kesehatan akan diberikan berbagai hadiah melalui ReyCoin.

Ekosistem Rey

Sejak awal berdiri, Rey membawa pendekatan baru dengan mengambil model berlangganan untuk mengubah perspektif masyarakat saat membeli produk asuransi. Dalam kartu keanggotaan, pengguna dapat memilih produk proteksi kesehatan yang sesuai dengan biaya terjangkau, layaknya mengakses layanan streaming musik dan hiburan.

Produk proteksi ini telah dilengkapi dengan fitur-fitur ekosistem kesehatan, sehingga Rey hadir sebagai one-stop solution yang melindungi sekaligus melayani kebutuhan kesehatan para anggotanya. Proteksi kesehatan yang dapat diakses melalui Rey saat ini mencakup rawat jalan dan rawat inap.

Saat pertama kali menjadi anggota, maka membership-nya sudah mencakup manfaat rawat jalan yang disediakan dari polis Rey Outpatient Care dan dilengkapi dengan fitur-fitur utama Rey, yaitu ReyCare, ReyCard, dan ReyFit. Semuanya dapat diperoleh dengan harga langganan mulai dari Rp35 ribu per bulan.

Polis Rey Outpatient Care juga menanggung biaya medis apabila anggota diharuskan berobat offline, termasuk konsultasi dokter umum dan dokter spesialis, pemeriksaan laboratorium, tebus resep obat lewat aplikasi, rawat jalan darurat akibat kecelakaan. Apabila anggota ingin menambahkan dengan rawat inap, harganya terjangkau dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Rey menawarkan tiga cakupan rawat inap. Adapun yang paling komprehensif, Rey Complete Care, meng-cover semua kondisi kesehatan selama tidak masuk ke dalam pengecualian. Rey Complete Care memberikan pertanggungan biaya medis rawat inap hingga batas limit tahunan Rp1 miliar, perawatan kamar 1 tempat tidur di Indonesia dan Malaysia. Semuanya sesuai tagihan atau as charge.

Tambahan polis rawat inap Rey Complete Care dapat diperoleh anggota, mulai dari Rp105 ribu per bulan. Apabila anggota menginginkan perlindungan yang lebih terjangkau, Rey menyediakan Rey Accident & Infection Care, yaitu asuransi rawat inap yang mengcover risiko cedera akibat kecelakaan serta 16 penyakit menular.

Lalu, Polis Rey Accident & Infection Care dimulai dari Rp95 ribu per bulan. Kemudian, Rey Critical Care yang mencakup 9 risiko penyakit kritis, termasuk kanker, serangan jantung, stroke, hingga gagal ginjal. Produk ini dapat diperoleh mulai dari Rp10 ribu per bulan.

“Dengan pendekatan digital first secara operasional maupun distribusi akses produk, Rey dapat memberikan premi yang lebih terjangkau kepada pengguna. Hal ini juga diperkuat oleh optimalisasi layanan kesehatan yang terintegrasi. Selain itu, dengan pendekatan ini, kami juga dapat menyajikan informasi yang lebih efisien dan straightforward sehingga masing-masing calon member mendapatkan kebebasan untuk menelaah, memilih, dan membeli produk yang sesuai dengan kebutuhan mereka semudah mengakses dari gadget masing-masing,” ujar Evan.

Proses pembayaran premi keanggotaan pun sangat mudah, yakni setelah proses pengisian data dilengkapi, calon Member dapat memilih metode membership secara bulanan atau tahunan menggunakan kartu kredit, e-wallet (OVO, DANA, Shopee), atau transfer Virtual Account (VA).

Tidak hanya permudah proses pembelian, perusahaan juga mengedepankan kemudahan saat klaim. Evan menjelaskan, proses klaim sepenuhnya dilakukan tanpa kertas (paperless) untuk rawat inap dan rawat jalan. Kemudian, proses klaim dapat dilakukan hanya dengan mengunggah foto dokumen medis yang diperlukan melalui aplikasi Rey.

Kedua, saat anggota mengalami perawatan, segala proses mulai dari pre-admisi, admisi, hingga discharge akan ditemani oleh tim ReyCare. Untuk proses pre-admisi, anggota dapat menghubungi tim ReyCare melalui chat yang tersedia pada aplikasi Rey. Tujuannya agar segala proses dapat dipersiapkan lebih awal oleh tim ReyCare sehingga tidak ada lagi proses menunggu berjam-jam di rumah sakit karena kurangnya koordinasi antara rumah sakit dengan pihak asuransi.

Ketiga, anggota juga dibekali dengan ReyCard, yaitu kartu pembayaran cashless yang dapat digunakan di rumah sakit dan penyedia kesehatan mana pun di seluruh Indonesia. ReyCard dapat digunakan pada mesin EDC mana pun bertanda GPN, layaknya kartu kredit atau debit biasa ketika melakukan pembayaran. Dengan ReyCard, anggota tidak perlu lagi merasa terbatas pada jaringan rumah sakit rekanan saja.

“Penyederhanaan dan digitalisasi proses klaim merupakan salah satu fokus kami di Rey karena mengetahui betapa rumitnya proses ini yang terjadi pada kondisi offline. Namun untuk memastikan kenyamanan penggunaan layanan para Member, kami tetap memberlakukan human-assisted digital process dengan tim ReyCare yang siap membantu di setiap proses klaim.”

Evan juga menuturkan bahwa saat ini Rey memperoleh sertifikasi ISO/IEC 27001:2013 untuk cakupan Sistem Manajemen Informasi dalam penyediaan asuransi digital yang terintegrasi dengan ekosistem kesehatan. “Pencapaian ini kami peroleh dalam waktu kurang dari satu tahun sejak kami berdiri. Harapannya, member Rey dapat lebih percaya karena data pribadi, data kesehatan, dan data telekonsultasi yang ada pada platform Rey dikelola sesuai dengan standar yang semestinya,” pungkas dia.

Wise Egg Announces Pre Series A Funding, Launching “MoneyDuck” Financial Products Aggregator in Indonesia

The Singapore based fintech startup Wise Egg announced a pre-series A funding with convertible notes led by Genesia Ventures, which was also a previous investor in the seed round. The new investors include Money Ventures and some angel investors. The value in this round is undisclosed.

The company will use this fresh money to build teams in Indonesia and Thailand, as well as expand its expert network and recruit engineers. Next, MoneyDuck plans to expand its business to other Southeast Asian countries by improving features to support sales for professionals.

Genesia Ventures’ General Partner, Takahiro Suzuki said, there are many consumers in Southeast Asia with limited access to financial services although the region’s economy continues to grow. “This business is in line with six of our challenges, including ‘Enriching People’s Lives’ and ‘Equality of Information and Opportunities’, therefore, we are re-investing in this round after the previous one,” he said in an official statement, Wednesday (12/1).

In Southeast Asia, the working age population continues to grow, creating a pyramid where the younger generation took bigger space than the older generation. It will give birth to a “demographic bonus” in the future. As income grows, people can access financial services and products.

Financial products such as insurance, loans, and fintech product innovations have been offered in the market and currently growing, however, there are many challenges on the way. One of the challenges is the lack of public financial literacy, that makes it difficult to optimize financial services experience.

Wise Egg is the company behind MoneyDuck, a financial solutions platform for consumers and financial providers. Wise Egg’s Founder & CEO, Takashi Matsuura said, “Through MoneyDuck, we want to increase user access to financial services, create efficient relationships between consumers and financial companies, and contribute to creating a richer life by solving financial inclusion and social problems.

“MoneyDuck is not only trying to provide financial inclusion solutions for the public as users of financial services, but also solutions to financial providers for appropriate financial services,” Matsuura said.

Some players in Indonesia have offered similar services, such as CekAja, Cermati, Lifepal and what GoBear used to do until it finally went out of business. However, MoneyDuck offers an added value that allows users to get financial advice from experts through the chat feature on MoneyDuck, WhatsApp, or other communication platforms.

In terms of experts, they will be able to find prospects and carry out promotions, and get access to a dashboard to contact potential consumers based on their profiles. Meanwhile,in terms of users, they can consult with financial experts through a friendly UI, after answering a few simple questions to connect with experts according to their financial needs, for free.

The company also ensures that the information entered by this user is shared with suitable experts, and nothing to worry about getting a massive sales offers.

“Financial services are an important foundation for living a stable life. However, there are many people who are yet to have access to financial services due to the low level of user literacy in Southeast Asia. Meanwhile, the digital transformation of financial institution is yet to be improved, it creates inefficiency to approach new customers,” Matsuura said.

Based on its website, MoneyDuck provides credit card products, loans, savings, insurance, investments, and others together with related partners. Starting from J Trust Bank, Bank Mega, BNI, DBS Bank Indonesia, CTBTC Bank, Bank Danamon, BCA, BRI, Panin Bank, and many more. In terms of investment products, forex is currently the sole trading products.

Similar business in Indonesia

The opportunity to become an aggregator of financial products is widely open. In Indonesia alone, the potential for the unbanked is still higher than the bankable. This is the right aggregator solution to reach those with low financial literacy and have not been able to keep up with the fast changing market. On the regulatory side, the aggregator platform is currently work under the Digital Financial Innovation at OJK.

Another issue is the inability to choose and conduct personal research on financial products, causing problems due to choosing illegal products without realizing the consequences; users cannot access certain financial products due to difficulties in filling out forms and incorrectly preparing the required documents; and there are still few sources of financial advice providers with friendly UX.

It creates difficulty for financial institutions to switch to more efficient features such as AI chat bots or communication methods without a human touch due to user resistance. Users need sales people and customer service personnel to offer and explain products, as well as guide them through the application process.

Both CekAja and Cermati, currently with their aggregator business bases that have been operating for a longer time, have transformed into various other fintech business units. CekAja, for example, ventured into the credit scoring business to see how much loan and credit card applications were approved. Meanwhile, Cermati entered the insurtech realm with the Cermati Protect brand, Indodana p2p lending, and Bank-as-a-service (BaaS) solutions.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Terima Pendanaan Pra-Seri A, Wise Egg Luncurkan Agregator Produk Keuangan “MoneyDuck” di Indonesia

Startup fintech asal Singapura Wise Egg mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A dengan instrumen convertible notes yang dipimpin oleh Genesia Ventures, yang juga merupakan investor sebelumnya dalam putaran tahap awal. Investor baru yang turut berpartisipasi ada Money Ventures dan sejumlah angel investor. Tidak disebutkan nominal yang didapat perusahaan dalam putaran ini.

Perusahaan akan memanfaatkan dana segar ini untuk membangun tim di Indonesia dan Thailand, serta memperluas jaringan expert dan perekrutan tenaga engineer. Ke depannya, MoneyDuck berencana untuk ekspansi bisnis ke negara-negara Asia Tenggara lainnya dengan meningkatkan fitur yang mendukung proses penjualan untuk para profesional.

General Partner Genesia Ventures Takahiro Suzuki menuturkan, masih banyak konsumen di Asia Tenggara yang mengalami keterbatasan akses ke layanan keuangan, kendati pertumbuhan ekonomi di regional ini terus mengalami tren pertumbuhan. “Bisnis ini sesuai dengan sesuai dengan enam dari tantangan kami, yaitu ‘Memperkaya Kehidupan Orang’ dan ‘Kesetaraan Informasi dan Peluang’, sehingga kami kembali berinvestasi dalam putaran ini setelah sebelumnya di putaran awal,” ucapnya dalam keterangan resmi, Rabu (1/12).

Di Asia Tenggara, populasi usia produktif terus tumbuh sehingga menciptakan diagram piramida penduduk dengan populasi generasi muda lebih banyak dibandingkan generasi tua. Hal ini akan melahirkan “bonus demografi” di masa depan. Dan seiring pertumbuhan pendapatan, masyarakat dapat mengakses layanan dan produk keuangan.

Produk-produk finansial seperti asuransi, pinjaman, dan inovasi produk fintech telah ditawarkan di pasar dan terus berkembang, namun ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Salah satu tantangannya adalah masih minimnya literasi keuangan masyarakat sehingga mereka sulit menikmati manfaat layanan keuangan secara optimal.

Wise Egg merupakan perusahaan di balik MoneyDuck, platform solusi keuangan bagi konsumen dan penyedia keuangan. Founder & CEO Wise Egg Takashi Matsuura menuturkan, melalui MoneyDuck pihaknya ingin meningkatkan akses pengguna layanan keuangan, menciptakan hubungan yang efisien antara konsumen dengan perusahaan keuangan, dan berkontribusi untuk melahirkan kehidupan yang lebih kaya lagi dengan memecahkan masalah inklusi keuangan dan masalah sosial.

“MoneyDuck tidak hanya berusaha memberikan solusi inklusi keuangan bagi masyarakat selaku pengguna layanan keuangan, namun juga solusi bagi penyedia keuangan agar layanan keuangan yang mereka miliki tepat guna,” ucap Matsuura.

Solusi ini tak jauh berbeda dengan yang ditawarkan pemain sejenis di Indonesia, seperti CekAja, Cermati, Lifepal dan dulu sempat digeluti oleh GoBear sampai akhirnya gulung tikar. Namun nilai tambah yang ditawarkan MoneyDuck adalah memungkinkan pengguna mendapat saran finansial dari expert melalui fitur chat di MoneyDuck, WhatsApp, atau platform komunikasi lainnya.

Dari sisi expert, mereka akan dapat menemukan prospek dan melakukan promosi, dan mendapat akses dasbor untuk menghubungi potensial konsumen yang disaring berdasarkan profilnya. Sementara itu, dari sisi pengguna, mereka dapat berkonsultasi dengan expert keuangan melalui UI yang bersahabat, setelah jawab beberapa pertanyaan sederhana untuk terhubung dengan expert sesuai dengan kebutuhan finansial secara gratis.

Perusahaan turut memastikan bahwa informasi yang dimasukkan pengguna ini hanya dibagikan ke expert yang cocok, sehingga tidak perlu khawatir akan mendapat tawaran sales yang bertubi-tubi.

“Layanan keuangan merupakan pondasi penting untuk menjalani kehidupan yang stabil. Namun, masih banyak masyarakat yang belum dapat menikmati keuntungan dari layanan keuangan karena rendahnya literasi pengguna di Asia Tenggara. Sementara itu, transformasi digital dari perusahaan keuangan belum mengalami peningkatan sehingga pendekatan ke pelanggan baru tidak efisien,” tutup Matsuura.

Berdasarkan hasil pantuan situsnya, MoneyDuck menyediakan produk kartu kredit, pinjaman, tabungan, asuransi, investasi, dan lainnya bersama dengan rekanan terkait. Mulai dari J Trust Bank, Bank Mega, BNI, DBS Bank Indonesia, CTBTC Bank, Bank Danamon, BCA, BRI, Panin Bank, dan masih banyak lagi. Sedangkan untuk produk investasi, sejauh ini baru menghadirkan produk forex trading.

Perkembangan dari bisnis sejenis di Indonesia

Kesempatan untuk menjadi pemain agregator produk keuangan masih begitu luas karena di Indonesia saja, potensi unbanked masih lebih tinggi daripada bankable. Solusi agregator ini tepat untuk menjangkau mereka yang memiliki literasi keuangan masih rendah dan belum mampu menyeimbangi perubahan pasar yang cepat. Di sisi regulasi, platform agregator saat ini masih dinaungi dalam Inovasi Keuangan Digital di OJK.

Isu lainnya yang timbul adalah ketidakmampuan dalam memilih dan melakukan riset pribadi mengenai produk keuangan, sehingga menimbulkan masalah akibat memilih produk ilegal tanpa menyadari akibatnya; pengguna tidak bisa mengakses produk keuangan yang diinginkan karena kesulitan mengisi formulir dan salah menyiapkan dokumen yang diperlukan; dan masih sedikit sumber penyedia saran finansial dengan UX bersahabat.

Kondisi tersebut juga mempersulit lembaga keuangan beralih ke fitur yang lebih efisien seperti AI chat bots atau metode komunikasi tanpa sentuhan manusia karena adanya penolakan dari pengguna. Pengguna masih membutuhkan sales person dan petugas customer service untuk menawarkan dan menjelaskan produk, serta memandu mereka melewati proses aplikasi.

Baik CekAja dan Cermati, saat ini dengan basis bisnis agregatornya yang telah lebih lama beroperasi, sudah menjelma ke berbagai unit bisnis fintech lainnya. CekAja misalnya, merambah ke bisnis skoring kredit untuk melihat seberapa besar disetujuinya pengajuan pinjaman dan kartu kredit. Sementara itu, Cermati masuk ke ranah insurtech dengan brand Cermati Protect, p2p lending Indodana, dan solusi Bank-as-a-service (BaaS).

[Video] Kesalahan Umum Pendiri Startup saat Penggalangan Dana

DailySocial bersama Elsha E. Kwee Simanjuntak dari Genesia Ventures membahas peluang pertumbuhan startup di Indonesia selama pandemi dan apa saja yang seharusnya dihindari para pendiri startup saat melakukan fundraising.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

Finantier Dapatkan Pendanaan Awal Dipimpin Global Founders Capital dan East Ventures, Fokus Perluas Akses “Open Finance”

Startup pengembang platform open finance Finantier mengumumkan telah menutup pendanaan awal (seed funding) yang dipimpin Global Founders Capital dan East Ventures. Tidak disebutkan spesifik nominal yang berhasil dibukukan, disampaikan dana 7-digit yang didapat melebihi target perusahaan dan diperoleh pada valuasi post-money 20x dibanding saat pre-seed di bulan November 2020 lalu.

Beberapa investor baru di putaran ini meliputi Future Shape, Partech Partners, Saison Capital, dan GMO VenturePartners. Sementara investor terdahulu seperti AC Ventures, Y Combinator, Genesia Ventures, Two Culture Capital, dan sejumlah angel investor turut berpartisipasi di putaran teranyar ini.

Pendanaan tersebut akan digunakan perusahaan untuk meningkatkan dan memperbesar penawaran produk, melakukan ekspansi di Indonesia dan sekitarnya, serta menggandakan jumlah karyawan. Disampaikan sejak awal tahun, perusahaan telah menambah timnya menjadi 50 karyawan dan memperbanyak klien serta kemitraan hingga lebih dari 50% per bulannya. Mereka juga telah bekerja sama dengan lebih dari 150 perusahaan dan memberikan akses ke beragam set data.

Selain itu, Finantier merekrut Co-Founder & CEO Truelayer Francesco Simoneschi untuk bergabung dalam jajaran kelompok penasihatnya.

Potensi open finance

Produk open finance yang ditawarkan Finantier berbentuk infrastruktur teknologi berbasis API yang dapat dimanfaatkan fintech untuk menghadirkan layanan keuangan inklusif. Contohnya produk “Finantier Score“, yakni platform credit scoring teregulasi yang dapat dimanfaatkan institusi keuangan digital dalam menunjang layanan pinjaman dengan memastikan kelayakan calon nasabah.

Open finance adalah perpanjangan dari open banking, memungkinkan pertukaran data finansial nonperbankan termasuk kredit dan hipotek secara aman. Selain itu open finance juga memfasilitasi pertukaran terbuka data konsumen sehingga perusahaan dapat memanfaatkannya untuk menjangkau lebih banyak pelanggan sekaligus menciptakan layanan yang lebih dipersonalisasi,” jelas Co-Founder & CEO Finantier Diego Rojas.

Tingginya persentase masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, dinilai menghadirkan kesempatan baik bagi pemain open finance. Berbeda dengan open banking yang memfokuskan layanan yang terpusat di sekitar rekening bank, cakupan open finance lebih luas dan tidak terbatas di institusi keuangan berbasis bank.

“Finantier memudahkan akses ke layanan keuangan bagi jutaan orang yang tidak memiliki rekening bank, mulai dari warung-warung pinggir jalan (UKM), hingga pekerja gig economy, memperoleh keuntungan dari jejak data digital mereka. Dengan adanya akses ke layanan keuangan, kami dapat membantu mereka dan orang yang mereka cintai untuk memiliki kehidupan yang lebih baik,” imbuh Co-Founder & COO Finantier Edwin Kusuma.

Data Bank Indonesia mengatakan ada sekitar 90 juta orang dewasa di Indonesia yang tidak memiliki akses produk perbankan.

“Meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia sangatlah penting mengingat banyaknya orang yang belum memiliki akses ke lembaga keuangan. Dengan akses yang lebih baik ke layanan keuangan, mereka bisa hidup dengan lebih baik dan dapat ikut meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Kami punya harapan untuk Finantier sejak awal dan yakin bahwa mereka berperan penting dalam mewujudkan harapan tersebut dengan menghubungkan mereka yang tidak memiliki akses keuangan ke fintech dan institusi keuangan di berbagai negara,” kata Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Open finance di Indonesia

Layanan open finance di Indonesia cukup berkembang, hal ini ditengarai maraknya pemain fintech dan penerimaan masyarakat luas terhadap produk yang dihadirkan. Dengan bentuk yang berbeda, selain Finantier ada beberapa pemain lain yang juga menjajakan platform serupa. Misalnya Ayoconnecet untuk API bill-payment, Brankas untuk API BaaS, Instamoney untuk API remitansi, dan sebagainya.

Dari sisi pengembang, jelas ini menyajikan kemudahan yang sangat berarti. Dan yang terpenting adalah makna “open” dari istilah yang digunakan, menandakan adanya keterbukaan –dalam kaitannya dengan pengelolaan data– yang bisa menjadikan ekosistem keuangan digital tersebut jauh lebih sehat. Berbagai inisiatif serupa nyatanya juga terus digencarkan para pemain fintech di Indonesia, misalnya yang diinisiasi AFPI untuk membangun pusat data bersama.

“Growth vs Profit”: Tren Tesis Investor di Tahun 2021

Tersandungnya rencana IPO WeWork di tahun 2019, seakan membuka mata para perusahaan modal ventura bahwa metrik growth (pertumbuhan) yang selama ini menjadi fokus startup dan perusahaan modal ventura, tidak lagi jadi satu-satunya andalan. Kegiatan “membakar uang” demi inovasi dan pengguna baru, jika tidak dibarengi strategi bisnis yang kuat, bisa berujung kegagalan.

Di awal tahun 2021, ketika pandemi masih menjadi persoalan utama, banyak startup yang melakukan pivot model bisnis dan mendapatkan penerimaan demi bisa mempertahankan operasional.

Kami berbincang dengan sejumlah investor untuk memahami bagaimana tesis investasi mereka tahun ini.

Pandemi menjadi momen pembuktian

Menurut Managing Partner BAce Capital Benny Chen, pandemi menjadi kesempatan membuka mata lebih lebar lagi untuk mendorong perusahaan menjadi lebih baik. Kondisi ini menjadi momen penting untuk lebih waspada dan lebih fokus ke model bisnis.

Hal senada diungkapkan Investment Manager Genesia Ventures Elsha E. Kwee. Menurutnya, perusahaan yang sukses melakukan penggalangan dana saat pandemi memiliki posisi yang lebih baik untuk fokus ke pertumbuhan. “Kuncinya” adalah memiliki 18-24 bulan runway.

“Menurut saya tidak ada perubahan mendasar dalam hal sikap umum terhadap growth dan profitabilitas.”

Portofolio Genesia Ventures, klaim Elsha, menutup tahun dengan angka yang jauh lebih baik daripada di awal tahun 2020.

Sementara menurut Kelvin Yim dari Alpha Momentum Indonesia, pertumbuhan dan profitabilitas startup di tahun 2021 mendatang sangat bergantung pada ide bisnis startup dan strategi di tengah pandemi.

“Jika produk dan layanan tersebut memiliki relevansi selama pandemi ini, maka ini adalah peluang yang baik untuk merebut pangsa pasar dan mendorong beberapa keuntungan. Jika tidak, maka strategi harus diterapkan untuk melihat bagaimana startup dapat mendorong penjualan dan pertumbuhan selama pandemi,” kata Kelvin.

Tidak dapat dipungkiri pandemi telah menurunkan bahkan menunda kegiatan perusahaan modal ventura untuk memberikan investasi kepada startup.

Menurut Managing Director ANGIN David Soukhasing, kondisi ini memaksa para pendiri yang tidak dapat mencapai target penggalangan dana mereka untuk menciptakan aliran pendapatan baru atau mengontrol pengeluaran mereka dengan lebih baik.

“Menurut saya tahun 2021 masih belum jelas seperti apa prospeknya. Pengelolaan pertumbuhan akan terus menjadi fokus dari pendiri startup. Pada akhirnya, keputusan akan ada di tangan investor dan keinginan dari para pendiri sendiri. [..] Jika logika berubah dan Anda melihat perusahaan dinilai dengan EBITDA atau laba bersih, maka investor akan mendorong kepada pertumbuhan dan profitabilitas yang terkendali,” kata David.

Menyeimbangkan pertumbuhan dan profitabilitas

Menurut Benny, meskipun kebanyakan fokus startup di tahapan pendanaan awal adalah kepada pertumbuhan, tidak menutup kemungkinan profitibilitas juga bisa diraih dengan strategi yang tepat. Benny menambahkan, tidak ada standarisasi untuk hal tersebut, jika startup tersebut memiliki model bisnis yang relevan, baiknya dicoba saja kedua proses tersebut, tentunya setelah pendiri memahami benar bagaimana cara tepat mendapatkan profit dan mencapai pertumbuhan yang ideal.

Sementara menurut Kelvin, menjadi lebih baik untuk startup yang masih dalam tahapan pendanaan awal untuk selalu memikirkan kepada pertumbuhan. Pertumbuhan dapat diukur dengan berbagai indikasi. Indikator umum kemungkinan akan berada di sekitar jumlah pelanggan dan jika startup berada pada tahap awal, idealnya harus memiliki rencana strategis untuk melihat bagaimana pertumbuhan pelanggan dilakukan.

“Profitabilitas cenderung berada dalam fase di mana startup dapat mengidentifikasi annual break-even point terhadap pengeluaran operasional. Beberapa startup mungkin memiliki masalah dalam mengidentifikasi di mana pendapatan dapat diperoleh, tetapi selalu lebih baik untuk masuk ke bisnis dengan mempertimbangkan profitabilitas. Pada tahap awal untuk rencana 3 atau 5 tahun, startup harus memasukkan break-even dan profitabilitas, sehingga startup dapat menyusun strategi bagaimana mencapai tujuan tersebut sejak awal,” kata Kelvin.

Sebagai perusahaan modal ventura yang fokus kepada startup tahap awal, Genesia Ventures melihat kebanyakan startup tahap awal akan menghabiskan sebagian besar waktu dan sumber daya mereka untuk mencari product market fit dan begitu mereka menemukannya, pertumbuhan menjadi fokus yang penting, karena menunjukkan kepada calon investor bahwa solusi yang diberikan startup adalah sesuatu yang diinginkan pasar.

“Secara keseluruhan, menurut saya pertumbuhan lebih dihargai pada tahap awal, meskipun pada saat yang sama penting untuk menunjukkan kepada investor bahwa setidaknya ada jalan menuju profitabilitas dengan mencapai unit ekonomi yang sehat. Ketika perusahaan tumbuh, fokusnya kemudian akan mulai bergeser ke arah profitabilitas. Para pendiri perlu menemukan keseimbangan antara pertumbuhan dan profitabilitas,” kata Elsha.

Menurut Kelvin, jika startup berada pada tahapan awal tapi menuntut ticket size yang besar di awal, maka mungkin pertumbuhan vs profitabilitas harus sudah disiapkan untuk menarik investasi.

Tanpa pertumbuhan, sebuah startup tidak mungkin dapat mencapai tahap keuntungan, mengingat mereka akan menghabiskan dana operasional dengan sangat cepat. Bergantung pada tahap di mana startup berada, indikator pertumbuhan biasanya penting pada tahap awal. Ketika startup telah beroperasi selama beberapa waktu, profitabilitas adalah tonggak pencapaian selanjutnya.

“Jika saya harus memilih, saya percaya bahwa pola pikir perspektif pertumbuhan memaksa para pendiri untuk bergantung pada pendanaan. Itu berarti tidak hanya pelanggan dan pasar yang memutuskan kepercayaan perusahaan, tetapi juga investor yang membuat keputusan tentang siapa yang akan dipertaruhkan,” kata David.

Sementara menurut Elsha, investor juga akan melihat metrik lain, seperti pendapatan berulang dan keterlibatan pengguna. Pendapatan adalah indikator yang baik tentang apakah perusahaan memberikan solusi untuk masalah yang cukup signifikan bagi pengguna untuk membayar, sedangkan pengulangan dan keterlibatan menunjukkan utilitas yang berkelanjutan.

“Tetapi sekali lagi, memiliki unit ekonomi yang baik dan menunjukkan jalur menuju profitabilitas adalah penting, terutama seiring kemajuan perusahaan menuju penggalangan dana untuk tahap pertumbuhan,” kata Elsha.

Metrik Startup Tahap Awal yang Dipertimbangkan Investor

Untuk mengakselerasi bisnis, founder startup tahap awal biasanya melakukan penggalangan dana ke investor, baik kalangan angel ataupun venture capital. Mempelajari pengalaman startup terdahulu, ada beberapa pendekatan yang biasa dilakukan agar sukses mengantongi dana investasi pre-seed atau seed funding. Pertama, mereka bisa “menjual” pengalaman atau visi founder disertai dengan potensi besaran pasar yang akan digarap lewat produk/layanan yang dikembangkan.

Kedua, ini pendekatan yang lebih terukur, yakni menyuguhkan capaian bisnis kepada investor. Tentu konteksnya adalah penerimaan pasar terhadap minimum viable product (MVP) yang telah diluncurkan; untuk menunjukkan bahwa apa yang dikerjakan sudah mencapai product-market fit. Di sini founder perlu menggunakan metrik yang tepat untuk menggambarkan situasi bisnis di fase early-adoption. Statistik tersebut bisa menjadi bekal bagi investor untuk melihat potensi startup di waktu mendatang saat disuntik modal untuk pertumbuhan.

DailySocial telah berbincang terhadap beberapa perwakilan venture capital untuk menanyakan metrik yang biasa mereka lihat ketika bertemu dengan startup tahap awal yang tengah mencari dana. Pertama, kami berbincang dengan Principal Indogen Capital Kevin Chandra. Ia mengatakan, bahwa metrik akan sangat bergantung pada model bisnis yang diadopsi oleh startup.

“Untuk B2B, di mana siklus penjualan cenderung bergerak jauh lebih lambat, kami cenderung melihat efisiensi penjualan berdasarkan channel di fase awal. Kemudian, untuk model bisnis yang memiliki elemen pendapatan berulang, salah satu metrik utama yang kami evaluasi adalah Net Monthly Recurring Revenue (Net MRR). Jadi tidak ada satu formula yang cocok untuk diterapkan ke semua,” ujarnya.

Net MRR adalah pendapat bersih bulanan yang didapatkan oleh startup. Perhitungannya didasarkan pada uang yang didapat kemudian dikurangi berbagai biaya-biaya yang menyertai. Misalnya di e-commerce, revenue ini baru dihitung dari total hasil penjualan barang dikurangi berbagai biaya seperti potongan untuk diskon atau pengembalian barang karena cacat.

Pincipal Indogen Capital Kevin Chandra / Dok. Pribadi Kevin
Pincipal Indogen Capital Kevin Chandra / Dok. Pribadi

Kevin melanjutkan, spesifik untuk startup tahap awal Indogen selalu melihat dua metrik utama, yakni Vanity dan KPI. Metrik Vanity digunakan untuk membantu memahami posisi startup dalam satu lanskap. Contohnya untuk startup berbasis e-commerce biasanya dengan melihat GMV (Gross Merchandise Value), yakni total nilai penjualan seluruh barang dalam periode tertentu.

“Metrik berbasis KPI dinilai dari pengguna akhir yang mendapatkan value dari produk/layanan yang dijajakan atau dikenal dengan ‘aha moment’. Contohnya, 7 teman dalam 10 hari adalah pengukuran yang dipilih perusahaan seperti Facebook untuk memahami bahwa mereka memiliki tanda awal dari product-market fit. KPI tentu akan berkembang seiring pertumbuhan bisnis. Dan ini menjadi indikator utama (yang jelas) untuk memahami bisnis yang dilakukan pada waktu tertentu,” imbuh Kevin.

Dalam hipotesis investasinya, Indogen Capital sendiri cukup sector agnostic. Mereka berinvestasi di berbagai lanskap bisnis. Beberapa portofolionya meliputi Travelio (proptech), Carsome (car marketplace), Hijup (e-commerce), GoWork (coworking space), Wahyoo (new retail), Ekrut (job marketplace), dll.

Kami juga berbincang dengan Head of OCBC NISP Ventura Darryl Ratulangi, CVC yang baru diresmikan awal tahun ini biasanya mengukur calon portofolio potensial menggunakan tiga penilaian utama. Yakni didasarkan pada customer acquisition cost, customer lifetime value, dan customer cohort.

Customer acquisition cost dipakai untuk mengukur seberapa banyak (biaya) yang mereka keluarkan untuk mendapatkan pelanggan baru, untuk mengukur (memastikan) tidak terlalu mahal dan diukur bersamaan dengan customer lifetime value,” ujarnya.

Customer lifetime value mengukur pendapatan yang diterima bisnis dari tiap pelanggannya. Jadi mengukur transaksi yang mereka lakukan secara berulang setelah pembelian pertamanya. Semakin tinggi nilainya, maka akan semakin baik bagi bisnis. Sementara customer cohort analysis merupakan metrik analisis yang digunakan untuk mempelajari perilaku pengguna dari waktu ke waktu dan memahami retensi pelanggan.

Kendati di bawah naungan perusahaan induk perbankan, OCBC NISP Ventura memiliki portofolio yang unik. Sejak debutnya, mereka telah berinvestasi di empat startup meliputi AwanTunai (fintech), Sirclo (e-commerce enabler), Dekoruma (e-commerce furnitur), dan Kiddo (marketplace aktivitas anak).

Proyeksi profitabilitas

Pada dasarnya statistik pertumbuhan awal juga menjadi variabel yang digunakan oleh investor untuk memperkirakan potensi ROI (Return of Investment), salah satunya dengan menerawang potensi profitabilitas dari model bisnis yang diaplikasikan. Hal tersebut juga diungkapkan Selina Koharjo selaku Investment Analyst Vertex Ventures. Karena setiap startup yang ia temui unik dan beroperasi di industri berbeda, mereka menggunakan dua metrik utama untuk melihat potensi pertumbuhan ke depan, yakni unit economy dan customer cohort analysis.

Unit economics digunakan untuk melihat pendapatan dan biaya yang terkait dengan satu unit produk atau layanan dan memproyeksikan profitabilitas sebuah startup,” kata Selina.

Kendati demikian, Selina juga mengatakan bahwa pihaknya memahami bahwa di fase awal sebagian besar bisnis akan mengeluarkan banyak biaya operasional — termasuk untuk akuisisi pengguna.

Namun menurutnya, unit economics adalah fondasi yang akan menopang sebuah startup saat mereka tumbuh dan berkembang. “Dengan menganalisis berbagai komponen biaya startup di industri serupa, kami dapat menilai efisiensi setiap startup dengan lebih baik,” imbuhnya.

Investment Analyst Vertex Ventures Selina Koharjo / Dok. Pribadi Selina
Investment Analyst Vertex Ventures Selina Koharjo / Dok. Pribadi

Lebih lanjut ia mencontohkan, analisis unit economics untuk startup direct-to-consumer dapat menyoroti area kekuatan atau peningkatan dalam direct costs, variable costs, outliers, dan fixed expenses. “Dalam industri startup, mungkin akan banyak tergoda mengandalkan asumsi pertumbuhan signifikan tanpa strategi monetisasi. Kenyataannya, terutama seperti yang disoroti selama pandemi ini, ketika unit ekonomi tidak diprioritaskan, kesuksesan startup akan diuji,” jelas Selina.

Sementara itu, untuk cohort analysis menurutnya diperlukan karena startup terus melakukan iterasi dan inovasi. Kelompok pelanggan terbaru idealnya akan meningkatkan retensi. Meskipun perusahaan mungkin tumbuh secara cepat, pertumbuhan ini mungkin tidak berkelanjutan jika bergantung pada pelanggan baru saja. Jadi, membandingkan cohort (kelompok pelanggan) dari setiap startup dapat menyoroti product-market fit.

“Selain itu, memahami unit economics dan cohort analysis akan memungkinkan kami memahami customer lifetime value […] Karena memperoleh pelanggan baru mungkin mahal, startup baru dapat tumbuh secara berkelanjutan jika customer lifetime value lebih besar daripada biaya akuisisi. ” ujarnya.

Vertex Ventures memiliki cakupan investasi di Asia Tenggara dan India, beberapa portofolionya di Indonesia meliputi HappyFresh (online grocery), RateS (social commerce), Aruna (aquatech), Gredu (edtech), Tanihub (agtech), Tjetak (printing marketplace), dan lain-lain.

Menemukan peluang kolaborasi

Di ekosistem startup Indonesia, juga terdapat kalangan investor yang berasal dari korporasi. Disebut Corporate Venture Capital, selain berinvestasi pada pertumbuhan startup mereka juga mencari peluang sinergi atau inovasi. Salah satu pemodal ventura korporasi yang cukup aktif di Indonesia adalah Central Capital Ventura (CCV) dari Bank Central Asia (BCA). Kami berkesempatan untuk berbincang dengan Investment Analyst CCV Anthony Adiputra Lauw untuk mendiskusikan tentang metrik yang biasa mereka gunakan ketika mempertimbangkan untuk berinvestasi ke calon portofolionya.

Di CCV, Anthony dan tim selalu memeriksa semua peluang investasi secara holistik. “Sebagai lengan inovasi dan investasi BCA, mereka selalu ingin memosisikan dirinya sebagai investor strategis pertama dan utama. Jadi satu-satunya metrik terpenting yang kami fokuskan untuk semua fintech, fintech-enabler, atau embdedded-fintech startup, adalah nilai tambah strategis yang mereka hadirkan [terkait sinergi dengan BCA],” ujarnya.

Investment Analyst Central Capital Ventura Anthony Adiputra Lauw / Dok. Pribadi Anthony
Investment Analyst Central Capital Ventura Anthony Adiputra Lauw / Dok. Pribadi

Sinergi adalah bentuk mutualisme, artinya harus memberikan keuntungan bagi pihak yang terlibat. Demikian pula prinsip di CCV, mereka tidak hanya ingin mendapatkan nilai strategis dari inovasi yang dilahirkan startup, namun juga berharap bisa memberikan nilai lebih untuk perkembangan startup itu sendiri; misalnya dengan menghubungkan mereka dengan jaringan lembaga keuangan di grup BCA di seluruh Indonesia.

“Untuk itu, cakupan investasi CCV telah berkembang di luar fintech, karena kami memiliki tujuan untuk bersinergi dengan rangkaian industri yang lebih luas yang dapat berkolaborasi dengan pertumbuhan perusahaan kami. Saat mencari founder dengan solusi inovatif untuk bermitra dengan BCA dan ekosistemnya, tidak pernah ada metrik tunggal yang cocok diterapkan ke semua [jenis startup],” jelas Anthony.

Lebih lanjut ia mencontohkan, ketika CCV berinvestasi pada startup p2p lending, mereka mengidentifikasi saluran sinergi yang kuat antara mereka dan BCA. “Akseleran dan KlikACC [portofolio CCV] sama-sama berhasil menaklukkan segmen pasar yang mungkin belum dimiliki oleh BCA. Dengan demikian, kami dapat membina kerja sama yang mulus dan saling menguntungkan; bank mendapatkan eksposur yang lebih luas, sementara startup mendapatkan likuiditas dari BCA.”

Selain dua startup yang sudah disebutkan, CCV yang sudah berdiri sejak tahun 2017 tersebut telah berinvestasi ke pemain lain meliputi Wallex (fintech), Element (biometrik), Qoala (insurtech), Pomona (loyalty), Julo (fintech), dll.

Berinvestasi pada pre/post-traction

Seperti yang diungkap pada paragraf pembuka, kadang investor juga berinvestasi pada startup yang sama sekali belum menghasilkan traction. Salah satunya Genesia Ventures, menurut penjelasan Elsha E. Kwee selaku Investment Manager, untuk startup yang masih sangat awal atau baru beberapa bulan diluncurkan tidak banyak data yang bisa didapat atau dianalisis. Sering kali yang dilakukan adalah melihat beberapa cakupan faktor seperti kondisi pasar (market size, competition, customer pipeline, dll), model bisnis, dan founder.

Sementara untuk startup yang sudah memiliki beberapa traction, biasanya Elsha menggunakan metrik berbeda untuk setiap model bisnis. Tapi sebagian besar akan bermuara pada dua hal, yakni recurring revenue dan user engagement.

“Saya percaya bahwa pendapatan adalah indikator yang baik tentang apakah perusahaan memberi solusi untuk masalah yang cukup signifikan bagi pengguna sehingga ia mau membayar. Sedangkan pengulangan dan keterlibatan menunjukkan utilitas yang berkelanjutan dan memiliki ketahanan,” ujarnya.

Untuk revenue atau pendapatan, ia mengatakan akan sangat bergantung pada apakah layanan/produk adalah sesuatu yang harus memberikan nilai sejak awal atau apakah model bisnis tersebut harus mengumpulkan jumlah pengguna yang besar terlebih dulu sebelum memberikan nilai kepada pengguna. Misalnya online marketplace, sangat bergantung pada efek jaringan dan nilainya meningkat seiring penambahan jumlah pengguna, sehingga pendapatan di awal mungkin belum terlalu penting diperhitungkan.

Investment Manager Genesia Ventures Elsha E. Kwee / Dok. Pribadi Elsha
Investment Manager Genesia Ventures Elsha E. Kwee / Dok. Pribadi

Elsha juga memberikan contoh lain. Untuk startup menyediakan SaaS seperti sistem manajemen pembelajaran untuk sekolah, penting untuk mulai menghasilkan pendapatan dari awal daripada membiarkan sekolah menggunakan platform secara gratis. Karena jika sudah diberikan secara gratis, bisanya sulit untuk mengonversinya menjadi pengguna berbayar. Untuk tipe layanan SaaS, memiliki banyak pengguna tanpa pendapatan bukan pertanda baik untuk keberlangsungan bisnis.

“Kemudian terkait keterlibatan pengguna, itu bergantung apakah perusahaan adalah marketplace, SaaS, B2C, B2B, atau lainnya. Contohnya, saya mengharapkan keterlibatan pengguna lebih tinggi (berdasar DAU dan/atau MAU) dari B2C seperti aplikasi sosial atau komunitas ketimbang SaaS untuk layanan perpajakan,” jelas Elsha.

Genesia Ventures berinvestasi pada startup tahap awal di Asia, kendati sector-agnostic mereka memiliki kecenderungan pada startup B2B dan SaaS. Beberapa portofolionya di Indonesia termasuk Bobobox (hospitality), Qoala (insurtech), Finantier (fintech), Logisly (logistic), dan lain-lain.

Partner SeedPlus Tiang Lim Foo turut memberikan pendapatnya. Memang sulit untuk mengeneralisasi metrik untuk semua startup. Namun ia selalu memiliki beberapa variabel dasar untuk analisis, meliputi jumlah pelanggan, tingkat keterlibatan pelanggan dengan produk, dan nilai pendapatan. Hal tersebut, sambungnya, dipengaruhi oleh pengalamannya berinvestasi sebagian besar di startup B2B untuk produk SaaS.

“Jumlah pelanggan memberikan saya indikasi tentang ukuran audiens yang mereka miliki saat ini dan seberapa cepat startup membangun ukuran audiens tersebut. Sementara tingkat keterlibatan memberikan saya gambaran tentang seberapa berguna produk yang dihasilkan, dan secara alami indikator nilai terbaik adalah berapa banyak pelanggan yang membayar layanan tersebut, dan seberapa besar nilainya,” ujar Tiang.

SeedPlus adalah perusahaan modal ventura bermarkas di Singapura. Mereka sudah memiliki tiga portofolio di Indonesia, meliputi Travelstop (SaaS), Qoala (insurtech), dan Logisly (logistic).