Mengungkit Pentingnya Kesehatan Mental Menurut Kacamata Gojek dan East Ventures

Bekerja di startup teknologi dituntut untuk selalu kreatif dan inovatif, bekerja dengan cepat, dan di saat yang bersamaan harus memikirkan bagaimana bisnis bisa tetap bertahan. Bila burnout, tidak bisa menyeimbangkan antara hidup dan kerja, lambat laun membahayakan bagi diri sendiri, keluarga, maupun perusahaan.

Gangguan kesehatan mental seringkali menjadi topik yang dihindari dan dianggap tabu untuk dibicarakan di kalangan penggiat startup. DailySocial pernah mengangkat topik ini dan mewawancarai sejumlah pekerja startup dan bagaimana work life balance itu harus selalu dijunjung tinggi.

Kali ini mengangkat kembali dengan perspektif dari founder dari startup unicorn dan investor. Pasalnya, di konferensi manapun, tidak ada ada yang mengangkat topik ini.

Setidaknya fakta inilah yang diakui oleh President Gojek Andre Soelistyo, saat menjadi pembicara di perayaan hari jadi East Ventures ke-10 yang dimoderatori oleh Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

“Isu mental health buat founder dalam kepemimpinannya di perusahaan ini tidak pernah ada yang di bahas di konferensi manapun. Padahal kita semua, investor, dan founder harus mulai memikirkan ini,” kata Andre, Senin (7/10).

Dia tidak menceritakan secara spesifik bagaimana dirinya mengatasi permasalahan ini. Namun dia mengaku hal demikian bisa menganggu kejiwaan founder bila tidak ditangani dengan serius.

Dari statistik yang ia kutip, founder itu punya kemungkinan dua kali lebih besar menderita depresi, tiga kali lebih besar untuk substance abuse disorder atau penyalahgunaan zat, dan statistik-statistik lainnya yang menghantui founder.

Kemungkinan buruk ini, menurutnya, sangat wajar terjadi karena founder itu dituntut untuk kreatif. Yang mana, orang kreatif itu punya tendensi sering kesepian. Ketika ada masalah, mereka selalu membebani pikiran tersebut ke diri sendiri ketimbang berbagi cerita ke orang lain, terlebih karyawannya.

“Ingin sekali mendorong bagaimana komunitas startup ini bisa berubah karena hal ini bisa dimulai dari komunitas. Orang terdekat founder itu adalah investor, sehingga perlu dilihat bagaimana investor menangani hal ini.”

Willson setuju, bahwa investor adalah orang terdekat bagi founder. Sejujurnya pekerjaan investor setelah menanamkan dana ke startup, adalah menerima keluh kesah para founder. Dia mengaku dirinya menghabiskan banyak waktu untuk hal yang satu ini.

“Bahkan ada founder kami yang berpikir untuk mau bunuh diri. Ini isu serius karena ketika investasi ke early stage di ekonomi digital, investor itu sebenarnya gak lihat ke ekonominya itu sendiri atau ke teknologi yang dipakai, justru ke orangnya.”

“Jadi filosofi kita adalah merawat orangnya [founder] karena kita berinvestasi ke people,” tambah Willson.

Bentuk komunikasi antar petinggi di Gojek

Selain membahas kesehatan mental, topik lainnya yang turut dibahas adalah bagaimana berkomunikasi dengan masing-masing founder yang membawahi vertikal unit bisnis dari Gojek.

Perlu diketahui, Gojek punya 20 vertikal bisnis dan anak-anak usaha yang sudah diakusisi. Masing-masing founder yang berasal dari startup berbeda dan dikumpulkan dalam satu perusahaan, pasti memiliki gaya kepemimpinan yang beragam.

Akan tetapi, hubungan antara masing-masing founder ini lebih pas disebut sebagai partnership-driven organization, bukan dinasti dengan menempatkan orang dengan posisi tertinggi.

“Aldi [Go-Pay], Ryu [Midtrans], Catherine, dan 20 strong leaders lainnya punya gaya kepemimpinan masing dan kemampuan yang baik dalam mengeksekusi. Mereka semua punya perspektif yang sama, jadi ketika kita fokus ke tujuan dan misi Gojek itu sendiri, ada banyak objektif yang muncul dan akhirnya menghasilkan sinergi satu sama lain.”

Dia mencontohkan, salah satu bentuk sinerginya adalah produk dari Gojek yang memiliki ongkos akuisisi konsumen terendah dari Go-Ride. Ketika mereka dikaitkan dengan produk Go-Food, ada potensi menjadikan mereka sebagai konsumen loyal.

Berikutnya, agar konsumen semakin mudah bertransaksi, disediakan sistem pembayaran dari Gopay. “Semuanya saling berhubungan sehingga konsumen jadi lebih sticky dengan layanan Gojek dan akhirnya banyak bertransaksi di tempat kita. Kira-kira seperti ini tujuannya.”

Sebagai catatan, Gojek tidak termasuk ke dalam portofolio di East Ventures. Ketika ditanya alasannya oleh Andre, Willson menjelaskan bahwa di 2011, dia sempat bertemu dengan Nadiem di Bali untuk menghadiri acara yang dihadiri oleh eks Menlu AS Hillary Clinton.

Namun Willson memutuskan untuk tidak berinvestasi di Gojek karena Gojek sudah dirintis, tapi Nadiem belum bekerja full time. Waktu itu Nadiem masih bekerja di Zalora sebagai Managing Director.

“Hipotesis kita sejak awal itu jelas hanya mau berinvestasi di founder yang bekerja full time. Itu saja alasannya.”

Kendati begitu, Willson mengaku tidak menyesal kehilangan calon unicorn, yang pada akhirnya memang menjadi unicorn di 2017. Menurut dia, investor harus tetap disiplin dengan hipotesis yang sudah dibuat dari awal. Bila tidak disiplin, justru investor akan rugi karena tidak bisa jeli menangkap potensi unicorn.

Missed one or two unicorn tidak apa, asal disiplin dengan hipotesis. Ada istilah tidak ada seorangpun yang bisa berinvestasi ke semua unicorn. Untuk itu, perlu bangun hipotesis dan disiplin menerapkannya, maka akhirnya kamu bisa mendapat banyak atau missed sedikit [kemungkinan menangkap calon unicorn],” pungkas dia.

Pandangan Investor tentang Kesenjangan Pendanaan Awal di Industri Startup Indonesia

Popularitas bisnis digital di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan membawa berkah bagi para investor. Pada 2018, Menristekdikti Mohamad Nasir sempat menyebutkan terdapat 956 startup di Indonesia dalam empat tahun terakhir.

Meroketnya industri startup turut mendorong iklim investasi. Startup bergerak cepat dalam mengembangkan inovasi yang memicu Venture Capital (VC) untuk berinvestasi dengan harapan return besar dan boom, industri VC tumbuh subur di Indonesia. Deal investasi semakin banyak, cuan ikut meningkat.

Sampai saat ini, ada banyak VC yang aktif memberikan pendanaan di Indonesia. Fokusnya beragam, mulai dari fokus pada pendanaan tahap awal (early stage) hingga penggalangan dana putaran akhir (later stage), seperti yang diterima Gojek dan Tokopedia.

Tidak ada yang menyangka model bisnis yang dijalankan keduanya berhasil merebut pasar di Tanah Air. Keduanya kini memiliki kesamaan, yakni sama-sama mengantongi valuasi tinggi yang mengantarkannya pada status unicorn dan memperoleh investasi yang terbilang sebagai pendanaan terbesar di Indonesia untuk saat ini.

Tahun lalu Tokopedia memperoleh pendanaan yang dipimpin Softbank dan Alibaba senilai $1,1 miliar atau setara Rp16 triliun. Sementara, Gojek dikabarkan bakal mendapatkan pendanaan seri F senilai $3 miliar dalam waktu dekat. Sebuah angka fantastis yang tidak pernah terpikirkan ketika keduanya merintis bisnis.

Semakin ke sini, ekosistem startup semakin terbentuk. Hal ini memicu sejumlah VC mulai aktif berinvestasi di Indonesia, termasuk kemunculan VC baru, seperti Venturra Discovery. Ekosistem startup kita juga banyak dimotori oleh kehadiran program inkubator dan akselerator.

Bukan berarti iklim investasi sepi-sepi saja pada masa-masa awal ekosistem startup terbangun. Co-founder dan CEO DailySocial Rama Mamuaya mengungkap, investasi startup pada 2014 ke belakang sangat aktif.

Ia mencontohkan e-commerce fashion wanita Berrybenka mendapat pendanaan seri B senilai $5 juta dari TransCosmos dan Gree Ventures. Angka $5 juta terbilang sangat besar untuk ukuran industri yang baru berkembang saat itu. Jika bicara kondisi sekarang, investasi $5 juta sudah sangat mungkin diperoleh startup sebagai pendanaan tahap awal.

Ada sejumlah faktor mengapa para investor kini mulai mengucurkan pendanaan seed dalam jumlah besar. Bisa jadi karena industri yang semakin matang hingga berubahnya mindset investor dalam berinvestasi di industri startup.

Meningkatnya nilai pendanaan seed dan perubahan mindset investor

Fenomena kesenjangan (gap) pada pendanaan tahap awal (pre-seed, seed, dan seri A) sebetulnya tidak mampir begitu saja. Pasar Amerika Serikat (AS) yang merupakan kiblat industri digital dunia juga sempat mengalaminya. Mengingat pasar digital AS dimulai sejak era 1999, tren pendanaan tahap awal VC di AS baru booming pada 2006.

Seperti dikutip dari artikel “Why Has Seed Investing Declined? And What Does This Mean for the Future?”, pendanaan tahap awal di AS sempat mengalami kemerosotan. Hal ini bukan disebabkan oleh kemauan VC untuk berinvestasi dalam jumlah kecil, melainkan perkembangan teknologi yang membuat biaya untuk meluncurkan dan mengembangkan produk startup semakin murah.

Bagaimana di Indonesia? Fenomena gap ini disebut mulai terjadi sejak dua-tiga tahun belakangan. Ada yang menyebutkan gap pendanaan tahap awal membuat para VC kini berinvestasi dalam jumlah kecil dengan nilai berkisar $100 ribu-$500 ribu. Ada juga yang mengatakan bahwa sesungguhnya gap ini paling dirasakan pada pendanaan seri A.

Saat ini, belum ada data yang dapat menunjukkan tren penurunan nilai pendanaan seed selama tiga-empat tahun terakhir. Hal ini karena sejumlah kesepakatan memang sengaja tidak umumkan agar startup dapat fokus untuk membangun produk dan terhindar dari publisitas pasar. Alhasil data yang tersedia saat ini hanya menampilkan jumlah deal untuk pendanaan seed dalam tiga tahun terakhir.

Namun, dari segi jumlah deal, pertumbuhan pendanaan tahap awal tidak terlalu signifikan. Startup Report DailySocial mencatat jumlah pendanaan seed (tidak termasuk pre-seed) mengalami naik-turun, antara lain 28 deal (2016) lalu naik menjadi 32 deal (2017), dan turun drastis ke 21 deal (2018). Sementara, pendanaan seri A mengalami penurunan drastis sebanyak 19 deal (2018) dari 29 deal (2017).

Investasi startup tahap awal dan series A di Indonesia
Jumlah deal pendanaan startup tahap awal dan series A di Indonesia

Berdasarkan wawancara DailySocial dengan sejumlah VC di Indonesia, beberapa di antaranya mengakui adanya gap tersebut. Head of Investment MDI Ventures Aldi Adrian Hartanto menilai stage wise untuk pendanaan seed mulai menjadi masalah karena perolehan dana investasi yang dikelola VC semakin meningkat.

Sebagai contoh saja, dalam dua tahun terakhir, ada beberapa startup yang telah memperoleh penggalangan dana tahap awal dengan nilai besar. Contohnya, Ajaib mendapat suntikan dana sebesar $2,1 juta (Rp29,6 miliar). Adalagi platform agregator logistik Shipper yang menerima investasi awal $5 juta (Rp70,1 miliar).

Nah, karena tren ini, Aldi menilai tidak masuk akal apabila VC memberikan investasi dalam jumlah kecil lagi. Alih-alih menahan pendanaan seed, industri VC justru meningkatkan besaran investasinya. Kondisi ini juga membuat sejumlah VC beralih fokus pada startup di growth round karena pengalamannya terbukti dan risikonya kecil.

“Karena banyak kekosongan [investasi] di seed, kondisi ini akhirnya memaksa startup yang masih berada di tahap itu untuk sekalian saja menggalang dana dalam nilai yang lebih besar,” ungkap Aldi beberapa waktu lalu.

Nilai pendanaan seed yang diumumkan dalam 5 tahun terakhir
Deretan pendanaan seed yang diumumkan dalam 5 tahun terakhir

Fenomena ini berkebalikan dengan kondisi di 2014 ke belakang di mana saat itu belum ada sektor bisnis yang menunjukkan dominasinya. Pertumbuhan industri baru berkembang dan startup masih mencari model bisnis yang tepat. Masuk akal jika investor belum berani berinvestasi di later stage karena berisiko gagal.

Seiring berjalan waktu, industri startup di Tanah Air semakin matang. Dominasi mulai ditunjukkan oleh keberhasilan sejumlah pelaku startup dalam menjalankan bisnis e-commerce, ride-hailing, dan online travel. Seleksi alam pun terjadi di mana ada banyak startup yang gagal dan investor memilih jalur exit lewat merger dan akuisisi.

Kini, investor mengalami perubahan mindset di mana startup yang ingin menggalang pendanaan awal harus memiliki rencana traction dan monetisasi yang jelas. Dengan kata lain, investor semakin selektif dalam berinvestasi.

Menurutnya, perusahaan VC kini cenderung konservatif. Hipotesisnya tak lagi sebatas pada visi dan misi para founder, tetapi termasuk bagaimana startup memiliki rencana monetisasi yang jelas dalam beberapa tahun ke depan, cara untuk scale up untuk pengembangan bisnis, dan tidak hanya fokus dalam mencari pendanaan saja.

Ia menilai akan sangat berbahaya bagi investor apabila menaruh uang di awal dalam nilai besar pada sebuah startup hanya bermodalkan produk, tanpa tahu rencana monetisasi untuk menuju profitabilitas.

Sebagaimana kita tahu, pendanaan tahap awal atau biasa disebut seed mengacu pada penanaman modal di awal untuk mendukung bisnis sebuah startup sampai dapat menghasilkan uang sendiri atau sampai penggalangan dana berikutnya. Startup tahap awal biasanya belum memiliki traction.

Partner Venturra Discovery Raditya Pramana juga menilai bahwa tidak tepat apabila startup menggalang investasi besar di awal dengan traction yang nihil. Menurutnya ada banyak yang harus dilakukan startup untuk mencapai sebuah valuasi.

“Di Indonesia, pendanaan seed $1 juta itu normal, kan valuasi jadi naik. Pasar makin kompetitif, semakin banyak orang ingin menaruh uang dalam jumlah besar. Yang utama itu orang mau mengambil uang dalam jumlah besar dengan valuasi besar,” ujarnya.

Pria yang karib disapa Adit ini menilai gap pendanaan tahap awal mulai berangsur mengecil sejalan dengan kemunculan VC baru yang fokus untuk mengisi kekosongan pendanaan seed di Indonesia.

Dampaknya bagi industri VC dan startup

Mindset investor tetap mengacu pada cuan. Memberikan investasi awal dalam jumlah besar tentu berisiko. Tetapi ada keuntungan yang dapat dirasakan bagi investor dan startup. Kami mencatat beberapa poin penting dari para VC terkait dampaknya bagi ekosistem startup di Indonesia.

Partner Alpha JWC Erika Dianasari menilai berkurangnya pendanaan VC pada seed justru membuka pintu bagi angel investor untuk berinvestasi di Indonesia. Di sisi lain, tren pendanaan awal yang lebih besar justru dapat memperkuat fondasi para founder startup untuk lebih giat dalam membangun bisnisnya.

“Hal lain menjadi poin penting, seleksi alam akan terjadi antara pemain berkualitas dan bisnis yang solid. Ketika investor lihat potensi besar startup, kenapa tidak kita investasi lebih? Dengan begitu tim dapat fokus membangun milestone sambil membebaskan founder dari distraksi lain,” jelasnya kepada DailySocial.

Sementara menurut Aldi, tren pendanaan tahap awal dengan nilai besar memberikan nilai tambah bagi startup untuk memiliki kesempatan meraih pertumbuhan awal lebih cepat dari sebelumnya. Dengan pendanaan ini, startup dapat memaksimalkan pengembangan produk demi menggaet traction dan mempercepat pencapaian valuasi.

Soal pencapaian valuasi memang tidak bisa kita bandingkan pada lima tahun ke belakang. Startup masih kesulitan untuk membuahkan traction karena sejumlah faktor, seperti ekosistem digital di Indonesia yang belum matang, infrastruktur yang masih minim, hingga rendahnya awareness masyarakat terhadap layanan digital kala itu.

“Startup dapat berkembang menjadi lebih cepat karena mereka didukung oleh pendanaan yang besar. Hal ini tentu bagus [bagi industri startup], tetapi bisa berdampak buruk karena dapat menciptakan gelembung [ekonomi]. Ini sebaiknya dihindari agar [pendanaan] seed bisa balance lagi,” ucap Aldi.

Sementara itu, Adit menilai tingginya penggalangan dana untuk seed dapat mendorong industri VC. Menurutnya, semakin tinggi investasi yang dikucurkan, akan semakin besar juga fee yang dikantongi VC. Artinya, keuntungan ini dapat dimanfatkan perusahaan untuk melakukan ekspansi tim, serta membangun kapabilitas dan defensibilitas sebuah VC.

Ia mencontohkan, penggalangan dana sebesar $10 juta dan $100 juta tentu akan berbeda pengelolaannya, demikian juga fee yang diterima. Bayangkan jika VC mendapat dua persen fee atau $2 juta per tahun dari $100 juta, tentu ini lebih menguntungkan bagi pengembangan bisnis VC.

“Sebagai investor, kalau beli barang karena kualitas bagus tapi untung kecil buat apa? Nah, kalau saya bayar mahal sekarang [investasi di seed], tidak apa deh karena valuasinya bakal besar,” papar Adit.

Di sisi lain, Adit memprediksi tren pendanaan seed dalam ticket size yang lebih besar akan terus berlanjut sampai terjadi market correction yang masif. Menurutnya, jika market correction di pasar saham terjadi, hal ini akan berdampak pada valuasi startup yang didanainya dan membuat private market seperti VC ikut jatuh.

Dari paparan di atas, kita dapat sepakat bahwa pendanaan tahap awal di Indonesia masih cukup aktif meskipun tidak tumbuh secara signifikan. Bahwasannya juga, VC sudah mengubah mindset berinvestasi sejalan dengan perkembangan industri dan lanskap bisnis digital di Indonesia.

Peluang investasi di Indonesia menjadi tak terbatas mengingat VC tak lagi menyuntik pendanaan pada startup yang mengembangkan produk murni teknologi. Kini, VC juga sudah mulai masuk ke startup tech enabler dengan model bisnis konvensional, seperti coffee chain dan warung tradisional.

Meminjam sebuah istilah, tren “pendanaan seed masa kini adalah seri A di masa lalu, dan pre-seed adalah seed lama” di Indonesia sebetulnya kini telah dimulai.

Marsya Nabila berkontribusi dalam pembuatan artikel in-depth ini.

Gojek Resmi Luncurkan Platform “Video on Demand” GoPlay

Gojek akhirnya resmi memperkenalkan GoPlay, platform video on demand yang menayangkan film dan serial. Penggunaannya memakai sistem berlangganan dengan dua opsi harga senilai Rp89.000 dan Rp99.000.

GoPlay sejatinya sudah meluncur secara terbatas dua bulan lalu. Namun dengan peluncuran ke publik kali ini, GoPlay menegaskan serius menjamah bisnis video on demand.

“Kami ingin jadi wadah bagi sineas sehingga dapat memakai GoPlay menjadi alat distribusi karya mereka ke publik yang lebih luas,” ucap CEO GoPlay Edy Sulistyo.

Edy menolak menyebut jumlah video yang tersedia di GoPlay. Akan tetapi ia mengklaim saat ini sudah ada ratusan jam konten berupa film dan serial yang dapat diakses di platform tersebut.

Beberapa di antaranya adalah konten original buatan GoStudio. GoStudio sendiri adalah divisi tersendiri di bawah GoPlay yang bertugas memproduksi konten.

Film dan serial seperti Buffalo Boys, Aruna & Lidahnya, Filosofi Kopi The Series, Kata Bocah The Show adalah contoh film dan serial yang diproduksi oleh GoStudio ini. Dalam waktu dekat konten original itu pun akan ditambah tiga serial baru yakni Tunnel, Saiyo Sakato, dan Gossip Girl Indonesia.

“Kita bekerja sama dengan rumah produksi. Gojek kan expertise di teknologi dan distribusi, jadi kita berharap kerja sama dengan rumah produksi yang lebih expert dalam membuat film berkualitas,” imbuh Edy.

GoPlay mengaku tak punya target berapa banyak konten yang akan mereka sediakan di platform. Sebagai gantinya, ia mengundang sineas lokal lain untuk berkolaborasi untuk memproduksi film atau serial untuk GoPlay. Mulai hari ini aplikasi GoPlay sudah dapat diunduh di PlayStore dan AppStore.

Data dari Pusbang Film Indonesia menyebutkan jumlah penonton Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Dalam tiga tahun jumlah penonton film di Indonesia bergerak dari 100,6 juta (2016) ke 108,2 juta (2017) dan menjadi 129,5 juta (2018).

Kendati begitu, akses penonton ke film lokal masih jadi persoalan. Hal ini terlihat dari jumlah penonton film lokal yang selalu jauh tertinggal dari film luar negeri. Riset yang sama menunjukkan film lokal hanya dipilih 36 persen total penonton bioskop di Indonesia.

GoPlay mengklaim kondisi pasar yang demikian melatarbelakangi tujuan mereka sebagai jembatan penonton agar lebih mudah mengakses film-film produksi dalam negeri.

Resminya kehadiran GoPlay ini meramaikan pelaku video on demand di Indonesia baik yang lokal maupun regional seperti MNC Now, Maxstream, BlibliPlay, iflix, Viu, dan Hooq.

Application Information Will Show Up Here

ABI Research: Transportasi Saja Tidak Cukup untuk Menopang Bisnis “Super App”

ABI Research sebuah lembaga riset yang bermarkas di London, Inggris, mengeluarkan sebuah hasil penelitian mengenai industri transportasi online. Dalam laporannya dikemukakan beberapa data, Asia Pasifik memiliki 70% dari total seluruh perjalanan transportasi online di dunia dengan Indonesia dan Vietnam menjadi dua negara yang dominan.

Riset juga mengemukakan data bahwa untuk bertahan sebagai sebuah bisnis, penyedia layanan transportasi online harus berinovasi dengan menambah layanannya.

Di kawasan ini Grab disebut sebagai pemilik pangsa pasar tertinggi dengan persebaran 11,4% secara keseluruhan; dengan rincian 64% di Indonesia dan 74% di Vietnam. Sementara Gojek, sebagai pesaing utama memiliki 35,3 persen pasar Indonesia dan 10,3 persen di pasar Vietnam.

ABI Research juga menyoroti perkembangan industri transportasi online yang mengalami penurunan dari jumlah perjalanan jika dibanding tahun kemarin. Hal ini mengindikasikan bahwa para pemainnya harus segera berbenah untuk tetap di jalur yang benar.

“Pertumbuhan transportasi online mengalami perlambatan. Setelah mencapai 22 miliar perjalanan pada tahun 2018, tahun ini diperkirakan akan ditutup dengan angka perjalanan sedikit di bawah 22 miliar,” terang Smart Mobility Principal Analyst ABI Research James Hodgson.

Penurunan jumlah perjalanan ini membuat penyedia layanan transportasi online harus mulai mengembangkan ke layanan lainnya, seperti pengiriman makanan, pengiriman barang, hingga layanan-layanan lainnya.

“Super app” sebagai bentuk evolusi selanjutnya

Menurutnya, posisi yang didapat Grab ini tidak terlepas dari strategi transformasi menjadi “super app” yang mereka lakukan saat ini. Menambah jumlah layanan dan menggabungkan banyak fitur ke dalam satu aplikasi membuat banyak pengguna betah.

Strategi menjadikan diri sebagai aplikasi dengan beragam layanan memang ditempuh Grab dan Gojek dalam beberapa tahun belakangan. Layanan pengantaran makanan sekarang bahkan menjadi andalan keduanya dalam melayani pengguna.

Belum lagi strategi kerja sama, akuisisi, dan juga integerasi yang mulai gencar dilakukan setahun belakangan. Membuat keduanya menjadi aplikasi yang cukup komplit.

Di regional Gojek memang masih berada di belakang Grab, terutama dari segi implementasi inovasi. Sejauh ini layanan seperti Go[ay dan GoCar bahkan belum ada di Vietnam, sehingga membuat semangat “super app” sedikit terhambat di regional.

AIA Indonesia Berpartisipasi dalam Pendanaan Seri F Gojek, Akan Berkolaborasi Hadirkan Produk Wellness

AIA Indonesia hari ini (18/9) mengumumkan keterlibatannya dalam putaran pendanaan seri F Gojek dengan nilai yang tidak disebutkan. Kedua perusahaan juga akan menjalin sinergi bisnis untuk mengintegrasikan platform dan produk yang dimiliki.

Sebagai bagian dari kerja sama, AIA Indonesia akan menjadi salah satu pilar dalam strategi layanan finansial Gojek. Salah satu realisasinya pada penyediaan solusi asuransi jiwa dan asuransi kesehatan bagi pengguna, mitra pengemudi, dan merchant Gojek.

Selain itu mereka juga akan bersama-sama merancang dan mengembangkan penawaran wellness dari Grup AIA serta ekosistem Gojek, untuk membantu masyarakat Indonesia hidup lebih sehat.

“Melalui putaran pendanaan seri F, berbagai perusahaan kelas dunia turut bergabung dengan Gojek. Bergabungnya AIA Indonesia semakin mengukuhkan langkah Gojek untuk menghadirkan lebih banyak lagi perubahan-perubahan positif,” sambut Co-Founder Gojek Kevin Aluwi.

Sementara itu Presiden Direktur AIA Indonesia Sainthan Satyamoorthy mengatakan, “Melalui kerja sama strategis ini, AIA Indonesia dan Gojek akan dapat menggabungkan berbagai produk dan layanan terdepan kami untuk mengembangkan cara inovatif yang lebih tepat sasaran untuk para konsumen kami di seluruh Indonesia.”

Dikenal sebagai perusahaan penyedia produk asuransi jiwa dan investasi, AIA Indonesia (PT AIA Financial) merupakan anak usaha dari AIA Group Limited.

Baru-baru ini Visa dan Siam Commercial Bank juga mengumumkan telah berpartisipasi dalam pendanaan putaran seri F yang menargetkan dana hingga $3 miliar tersebut. Sebelumnya putaran pendanaan telah dimulai dari keterlibatan JD, Tencent, Google, Astra International, dan Mitsubishi Corporation.

Dalam rilis yang kami terima turut disampaikan, bahwa saat ini aplikasi Gojek sudah digunakan lebih dari 155 juta pengguna di Asia Tenggara.

Application Information Will Show Up Here

Gojek Introduces “Gojek Xcelerate” Program, Aiming for the Early Stage Startups

Gojek and Digitaraya have launched an accelerator program named Gojek Xcelerate. The name implies the objective to support Indonesia’s startups to level up from the early stage.

Aside from Digitaraya, Gojek also supported by Google Developer Launchpad, UBS, and McKinsey & Company. Each company has contributed to this accelerator program.

In the pers conference at Digitaraya tower on Tuesday (9/10) this afternoon, the accelerator program aims for 20 startups in 4 batch within the next 6 months. The first one is to held from 10 – 27 September 2019.

Digitaraya’s Managing Director, Nicole Yap emphasized on the startup they’re going to invest must be a running business, even though a small one. “We’re currently focused on the early-stage startups,” she said.

She also mentioned the gap between the rising number of startups and the low rate of funding. It is the main issue we’ve tried to solve through this accelerator program.

Gojek’s SVP of Product Management, Dian Rosanti said, their team has done some mentoring and training to startups.  However, they believe it’s not enough to hold the accelerator program alone, therefore they have Digitaraya.

In this program, Gojek Xcelerate has set the curriculum with partners. It is said to include all subjects from growth hacking, machine learning, data science, the right business model for startup, and how to calculate business valuation.

Participants will get the opportunity for a consulting session with the experts in the global tech industry. Gojek also mentioned that startups with a related solution will have space in their ecosystem.

“Therefore, we provide opportunities for those in our program to create a solution for Gojek partners and consumers to step into the ecosystem,” Dian said.

Indonesia is said to have great potential for startup expansion. It was shown at Google and Temasek research that Indonesia’s projected to contribute at US$100 billion or Rp1,400 trillion in the SEA economy by 2025. There are 46 of the 847 registered startups have raised funding worth of Rp57 trillion.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Program Akselerator “Gojek Xcelerate” Diluncurkan, Sasar Startup Tahap Awal

Gojek bersama Digitaraya meluncurkan sebuah program akselerator yang diberi nama Gojek Xcelerate. Seperti namanya, program tersebut bertujuan membantu startup di Indonesia untuk membesarkan bisnisnya yang masih berusia dini.

Selain Digitaraya, Gojek juga mendapat dukungan dari Google Developers Launchpad, UBS, dan McKinsey & Company. Masing-masing perusahaan tersebut menyumbangkan keahliannya dalam program akselerasi ini.

Dalam jumpa pers yang digelar di Menara Digitaraya pada Selasa (10/9) siang tadi, program akselerator ini akan mencari 20 startup dalam 4 angkatan selama 6 bulan ke depan. Gelombang pertama program ini dijadwalkan berlangsung dari 10 September hingga 27 September.

Managing Director Digitaraya Nicole Yap menegaskan bahwa startup yang dicari dalam program ini harus yang bisnisnya sudah berjalan meskipun masih berskala kecil. “Fokus kita ke startup yang masih early stage,” kata Nicole.

Nicole juga menambahkan bahwa saat ini ada jarak antara jumlah startup yang makin banyak di Indonesia dengan aliran pendanaan yang hanya masuk segelintir startup. Jarak tersebut yang menurut Nicole diusahakan teratasi lewat program akselerator ini.

SVP of Product Management Gojek Dian Rosanti menyebut, pihaknya sejatinya punya riwayat mentoring dan pembinaan ke sejumlah startup. Namun ia mengakui pihaknya belum punya cukup pengalaman untuk menggelar program akselerasi sehingga menggandeng Digitaraya.

Dalam program ini Gojek Xcelerate menyusun kurikulum bersama mitra mereka. Kurikulum itu memuat sejumlah materi mulai dari growth hacking, penggunaan machine learning, data science, pengembangan model bisnis yang tepat untuk startup, serta cara mengukur valuasi perusahaan.

Peserta juga akan diberi kesempatan konsultasi tatap muka dengan mentor yang punya pengalaman industri teknologi global. Gojek bahkan menjanjikan startup yang memiliki solusi yang cocok diaplikasikan untuk mitra atau konsumen Gojek untuk masuk ke dalam platform mereka.

“Maka dari itu kita memberi kesempatan bagi peserta program kami yang bisa menemukan solusi bagi mitra atau konsumen Gojek untuk masuk dalam platform Gojek,” ucap Dian.

Indonesia masih dinilai sebagai negara dengan potensi yang besar bagi perkembangan startup. Riset Google dan Temasek memperlihatkan Indonesia diprediksi berkontribusi US$100 miliar atau Rp1.400 triliun dalam ekonomi Asia Tenggara pada 2025. Dari 847 startup terdaftar, 46 di antaranya tercatat meraup pendanaan sebesar Rp57 triliun.

Application Information Will Show Up Here

Gojek Kenalkan GoCar Instan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta

Gojek secara resmi memperkenalkan fitur GoCar Instan. Sebuah fitur yang memungkinkan pengguna yang ada di Bandara Internasional Soekarno-Hatta mendapatkan layanan GoCar dengan cepat.

Co-Founder Gojek Kevin Aluwi menyebutkan fitur GoCar Instan mampu mempersingkat waktu tunggu penjemputan di terminal kedatangan sehingga berdampak pada lancarnya arus keluar masuk kendaraan di bandara.

“Kami sangat berterima kasih kepada Angkasa Pura II atas sambutan hangat serta keterbukaan untuk mengadopsi teknologi yang memudahkan mobilitas pengguna bandara. Untuk itu, kami menghadirkan fitur baru, GoCar Instan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Fitur tersebut merupakan salah satu solusi Gojek untuk transportasi cepat dan mudah dari bandara,” jelas Kevin.

Mengenai GoCar Instan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta Kevin menjelaskan, mereka tak hanya menyediakan fitur pemesanan on the spot tetapi juga dilengkapi oleh solusi pengelolaan antrian untuk membantu konsumen mendapatkan kendaraan dengan cepat tanpa menunggu kelancaraan arus kendararaan. Bagi mitra driver Gojek, fitur ini memudahkan mereka untuk bisa cepat bertemu dnegan pelanggan.

Seremoni Sambung Pita oleh Gojek, Angkasa Pura II dan Koperasi Ligat Utama Sejahtera (Maesa) disaksikan oleh perwakilan Kemenhub dan Kemenkominfo.

“Kami tawarkan solusi pengelolaan antrian yang membuat arus masuk dan keluarnya kendaraan jadi ringkas. Kami melihat bahwa penumpukan antrian kendaraan cukup sering terjadi di bandara, sementara zaman sekarang masyarakat ingin semuanya serba cepat. Untuk itu kami hadirkan fitur GoCar Instan agar pemesan layanan dan mitra driver cepat bertemu dan dapat langsung berangkat,” jelas Kevin.

Fitur GoCar Instan juga didukung dengan hadirnya titik jemput GoCar Instan di Terminal Kedatangan 2D, dan 2F. Dalam waktu dekat juga akan diperluas untuk area kedatangan 1A dan Terminal 3 Domestik serta Internasional di Bandara Soekarno-Hatta.

“Dukungan dari Angkasa Pura II menjadi tonggak sejarah pengembangan layanan pemesanan on the spot yang cepat dan mudah. Kami juga berharap masyarakat mencoba layanan baru kami di Bandara Internasional Soekarno-Hatta dan tidak ragu berbagi pengalaman bersama kami agar kami dapat ide-ide fresh untuk terus berinovasi,” terang Kevin.

Selain GoCar Instan, Gojek juga memperkenalkan GoRide Instan yang mulai tersedia di Stasiun Depok Baru dan Pasar Blora Dukuh Atas, lokasi ini berdekatan dengan Stasiun Sudirman maupun Stasiun MRT Dukuh Atas. Fitur GoRide Instan ini merupakan fitur yang serupa dengan GrabNow milik Grab.

Application Information Will Show Up Here

Tak Hanya Top Up, GoJek Juga Sediakan Artikel dan Video Tentang Gaming di GoGames (UPDATED)

Indonesia adalah negara dengan populasi terbanyak ke-4 di dunia. Di Asia Tenggara, selain sebagai negara dengan populasi terbanyak, Indonesia juga menjadi negara dengan ekonomi terbesar, menurut Kata Data. Secara global, Indonesia masuk ke dalam daftar 20 negara dengan industri game terbesar menurut Newzoo. Dengan total pemasukan di industri game mencapai US$1,13 miliar, Indonesia ada di posisi ke-17. Pada 2017, jumlah gamer Indonesia diperkirakan mencapai 43,7 juta. Inilah yang menjadi target Gojek ketika mereka meluncurkan fitur baru bernama GoGames.

Pada awalnya, Gojek memang hanya menawarkan layanan transportasi on-demand. Namun, sekarang, Gojek mulai aplikasi super yang menyediakan berbagai fitur, seperti GoFood untuk memesan makanan atau GoMart yang memungkinkan Anda untuk menggunakan jasa tukang ojek untuk membeli barang di swalayan. Sama seperti GoFood dan GoMart, GoGames adalah fitur yang ada pada aplikasi Gojek. Jika ingin menggunakan fitur baru itu, pastikan bahwa aplikasi Gojek Anda sudah diperbarui. Anda bisa menemukan fitur GoGames dengan mengetuk ikon “More”. Jika Anda gamer yang sering menggunakan fitur GoGames, Anda bisa memasukkannya ke dalam fitur favorit.

Screenshot dari aplikasi Gojek.
Screenshot dari aplikasi Gojek.

GoGames diluncurkan pada hari Minggu, 8 September. Ini bukan pertama kalinya Gojek menyediakan fitur untuk para gamer. Sebelum ini, mereka telah bekerja sama dengan Unipin, Coda Pay, dan Tencent, memudahkan para pemain game seperti PUBG Mobile dan Mobile Legends untuk membeli item dalam game melalui GoPay. Belum lama ini, Gojek bahkan menawarkan opsi pembayaran Google Pay via GoPay. Pihak Gojek mengungkap, transaksi top up game di GoPay naik 40 persen setiap bulan.

“Lewat GoGames, kami mencoba menjawab berbagai kebutuhan gamers dengan menghadirkan berbagai fitur, mulai dari kemudahan top up games hingga tips dan trik strategi bermain game. Semuanya dapat diakses dalam satu platform,” kata Head of GoGames, Timothius Martin dalam pernyataan resmi. Di GoGames, Anda akan menemukan tiga fitur utama, yaitu Top Up, TV, dan Recipe. Selain untuk melakukan top up, fitur GoGames Top Up juga menawarkan informasi tentang promosi dan diskon yang ada. Sementara GoGames TV menyajikan konten video terkait game. Terakhir, Recipe berupa artikel tips dan trik dalam bermain game. Selain itu, Recipe juga akan berisi artikel tentang cara menjadi gamer yang lebih bijak, baik terkait pembelian item dalam game ataupun soal manajemen waktu.

Screenshot dari GoGames.
Screenshot dari GoGames.

“Penting bagi kami untuk mendorong para pengguna agar menjadi gamers yang bijak dengan menghadirkan konten-konten berkualitas, seperti cara mengatur waktu dan pengeluaran untuk bermain games,” kata Co-founder Gojek, Kevin Aluwi. Gojek menyebutkan, untuk memastikan bahwa konten yang mereka sajikan tepat sasaran, mereka bahkan bekerja sama dengan tim dan pemain profesional seperti RRQ, Bigetron, dan Belletron.

“Mempertegas upaya Gojek untuk memudahkan dan menjawab kebutuhan para penggunanya, GoGames hadir sebagai one-stop gaming ecosystem di Indonesia, yang menawarkan berbagai fitur yang khusus dirancang untuk memberikan pengalaman terbaik bagi para gamers, apapun tingkat ketangkasan mereka,” kata Kevin.

Video pada GoGames merupakan video eksklusif. Platform yang digunakan untuk menampilkan konten video tetaplah YouTube, tapi semua video dalam GoGames masuk dalam kategori Unlisted. Itu artinya, video hanya bisa ditonton atau dibagikan oleh orang yang tahu tautan tersebut. Jadi, jika Anda mencoba mencari video dalam GoGames dengan menggunakan kata kunci tertentu atau bahkan mengetik judul video pada search bar di YouTube, video tidak akan muncul.

“Dalam pembuatan dan penyusunan konten di dalam GoGames, kami melibatkan top publishers, top esports pro-players, dan top game YouTubers seperti Afif Yulistian, Bang Alex, BTR Zuxxy & Luxxy, dan Frontal Gaming. Kami pun memiliki tim khusus yang bertugas mengurasi konten-konten yang ada di dalam aplikasi,” kata Timothius ketika ditanya melalui pesan singkat. Dia juga menyebutkan, ke depan, mereka juga akan terus berusaha konten dalam GoGames tetap relevan dengan para gamer.

Timothius juga menyebutkan, kerja sama Gojek dengan tim atau pemain profesional untuk konten GoGames merupakan salah satu bentuk apresiasi startup unicorn tersebut. “Gojek sangat mengapresiasi kontribusi yang telah diberikan oleh para esports pro-players Indonesia yang telah menorehkan prestasi di tingkat dunia. Kami pun melihat bahwa sudah semakin banyak nama atlet esports yang bermunculan di Indonesia bahkan go international, termasuk RRQ dan Bigetron,” ujarnya. Selain kerja sama dalam GoGames, sebelum ini, GoPay, layanan pembayaran cashless dari Gojek, juga menjadi sponsor RRQ.

Update: Penjelasan tentang ekslusivitas konten video di GoGames serta proses pembuatan dan pemilihan video oleh Head of GoGames, Timothius Martin.

Gojek Mulai Uji Coba Fitur Voucher Berlangganan untuk GoRide

Gojek mulai melakukan uji coba sistem voucher berlangganan untuk layanan GoRide. Fitur dan penawaran serupa sebelumnya juga ada di GoFood.

Layanan ini memungkinkan pengguna membeli paket layanan hemat. Bisa jadi ini akan menjadi fitur yang menggantikan model promo. Model layanan berlangganan seperti ini nantinya akan menjadi salah satu strategi yang bisa bisa membuat pengguna betah.

Untuk penawaran yang dijumpai dalam masa uji coba ini nominalnya cukup menggiurkan. Contohnya seperti tangkapan layar di bawah, dengan harga Rp9.000 kita bisa mendapat voucher GoRide seharaga Rp160.000.

screenshot_20190830-152821_gojek

Sejauh ini belum ada informasi apa pun dari pihak Gojek mengenai fitur voucher berlangganan GoRide. Saat tulisan ini ditulis, website resmi Gojek pun masih nihil informasi. Besar kemungkinan startup yang dibesarkan Nadiem Makarim dan Kevin Aluwi ini masih mencari skema dan penawaran yang sesuai.

Informasi yang ada saat ini, pengguna hanya bisa membeli voucher berlangganan GoRide satu kali. Masa penawaran pun terbatas dalam kurun waktu promosi.

Menghadirkan penawaran menarik tampaknya menjadi bagian dari “perlombaan” Grab dan Gojek dalam menarik pengguna baru dan menjaga mengguna setia mereka. Setelah memanjakan pengguna dengan sederet promo dan cashback perlombaan tampaknya akan dilanjutkan melalui ragam voucher dan fitur berlangganan.

Lebih dulu hadir, Grab juga mempunyai fitur serupa. Memungkinkan pengguna membeli voucher yang bisa digunakan untuk mendapatkan layanan. Sedikit berbeda, Grab menggunakan sistem berlangganan, tergantung jenis dan durasi paket yang dibeli. Bisa dua mingguan dan bulanan.

Application Information Will Show Up Here