YCAB Ventures Bicara Langkah Awal Masuk ke Ekosistem Startup dan Lanskap Investasi Berdampak

Kementerian Koperasi dan UKM melaporkan terdapat 64,19 juta UMKM di Indonesia, di mana lebih dari 50% di antaranya dijalankan oleh perempuan. Data ini menunjukkan ada potensi luar biasa untuk mendorong perekonomian melalui kewirausahaan perempuan.

Potensi-potensi tersebut digarap oleh perpanjangan tangan Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB), melalui YCAB Ventures, dengan menyalurkan skema microfinance kepada para ibu pemilik usaha selama sepuluh tahun terakhir.

Meskipun demikian, peningkatan pemberdayaan perempuan dirasa tak cukup dengan membantu permodalan wirausaha semata. Maka itu, sejak satu tahun terakhir, YCAB Ventures mulai terlibat di ekosistem startup Indonesia.

Adalah Adelle Odelia Tanuri yang memimpin Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF), sebuah dana kelolaan yang memberikan investasi ke startup yang menawarkan produk/layanan berbasis teknologi, serta dipimpin/dikelola oleh tim yang memiliki keseimbangan gender antara laki-laki dan perempuan.

Mengenai Adelle, ia telah lama berkecimpung dalam berbagai kegiatan dan usaha untuk memberdayakan perempuan. Adelle merupakan salah satu Co-founder dan Director di Rahasia Gadis, komunitas perempuan online yang berfokus pada tentang kesehatan mental, hak-hak, dan kepemimpinan remaja perempuan.

Pada kesempatan ini, DailySocial berbincang dengan Adelle selaku Head of Impact Investments YCAB Ventures dalam memulai langkahnya di ekosistem startup, bicara lanskap investasi, dan misinya membuka kesempatan terhadap female founder di Indonesia.

Mengenai YCAB Ventures

Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB) merupakan organisasi nirlaba yang berdiri di 1999 dan berfokus pada pengembangan anak muda secara berkelanjutan hingga menjadi social enterprise.

Sejak 2010, YCAB mulai memperluas ekstensinya dengan mendirikan YCAB Ventures untuk terlibat dalam pengentasan kemiskinan dan ketidaksetaraan di Indonesia. Salah satu programnya adalah memberikan pembiayaan usaha (microfinance) kepada perempuan.

Adelle meyakini bahwa pemutusan rantai kemiskinan dapat dilakukan dengan memberdayakan perempuan dan memberikan akses terhadap layanan keuangan yang selama ini belum inklusif. Misalnya, memberikan microfinancing kepada ibu-ibu pemilik usaha makanan kecil-kecilan di rumah.

Per 31 Desember 2020, YCAB Ventures telah menyalurkan sebanyak 592.825 pinjaman produktif dengan nilai sebesar Rp1,2 triliun sejak 2010. YCAB Ventures juga telah berinvestasi dengan total sebesar Rp22,8 triliun di sepuluh social enterprise, termasuk GSI Lab, Krakakoa, dan EVOS Esports.

Empowerment perempuan bisa improve livelihood sekeluarga, dan mereka bisa memastikan anak-anaknya [bisa] sekolah. Selama perjalanan ini, kami melihat ada different angle dan peluang untuk berinvestasi di ekosistem startup,” tuturnya.

Maka itu, YCAB Ventures memutuskan untuk berinvestasi ke startup sejak 2021 karena dipicu oleh sejumlah faktor, seperti pertumbuhan ekonomi digital, iklim investasi, dan masih ada ketidaksetaraan di kalangan perempuan. YCAB Ventures juga ingin fokus terhadap pengembangan female founder startup di Indonesia.

“YCAB Ventures tidak bisa menjangkau semuanya sendiri. Kami mungkin sudah menjangkau ratusan ribu UMKM, tetapi kami dapat reach lebih banyak lagi dengan berinvestasi di startup. Dengan begitu kami bisa dorong impact lebih luas,” tuturnya.

IWEF dan tesis investasi

YCAB Ventures memulai langkah awalnya dengan membentuk Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF) bersama Moonshot Ventures. IWEF merupakan dana kelolaan yang bertujuan untuk mendorong dampak terhadap pemberdayaan perempuan di industri startup Indonesia.

“Kami melihat timing dan momentumnya tepat saat ini untuk bisa [dorong] impact. Jadi kami tidak hanya fokus pada low income saja, tetapi juga female founder yang memiliki produk yang melayani dan memberdayakan perempuan,” tuturnya.

Secara umum, YCAB Ventures punya tiga tesis investasi utama. Pertama, pihaknya mencari startup di kategori dampak (impact) yang tidak hanya fokus terhadap financial return, tetapi juga memiliki metrik untuk mengukur impact, bukan sekadar klaim saja.

Kedua, IWEF berinvestasi ke startup berbasis growth hack berbasis teknologi untuk memecahkan berbagai masalah di kalangan perempuan. Ketiga, pihaknya menggunakan kriteria Gender Lens Investing untuk berinvestasi pada perempuan. Menurut Adelle, integrasi dan analisis terhadap gender dapat digunakan untuk membuat keputusan investasi.

Mengutip Kumparan, Gender Lens Investing (GLI) merujuk pada tindakan dan proses yang dilakukan investor dengan memerhatikan manfaat investasi bagi perempuan. Singkatnya, GLI dapat menciptakan perubahan di ranah bisnis untuk memajukan kesetaraan gender. Di Indonesia, sejumlah investor maupun perusahaan telah menggunakan model ini. Menurut data Intellecap Indonesia, sebanyak 95% investor GLI berfokus pada bisnis yang dipimpin perempuan.

Pemberdayaan perempuan dalam kegiatan ekonomi / Sumber: YCAB Ventures

Adelle menilai konsep GLI melihat apakah faktor gender berkontribusi terhadap absennya investasi sebuah startup. Demikian juga pada faktor Gender Lens Team, untuk melihat kesetaraan gender pada tim di startup. Menurutnya, GLI juga berpotensi menjadi “the next big thing” di Indonesia sejalan dengan semakin tingginya keterlibatan banyak pihak untuk memberdayakan perempuan dalam kegiatan perekonomian.

“Kami berinvestasi ke startup yang punya co-founder perempuan karena mereka di-underestimate dan undervalued oleh sejumlah faktor, seperti [konstruksi] sosial dan bias gender. Kami juga melihat produk consumer untuk perempuan itu sangat besar di Indonesia, dan perempuan yang membuat purchasing decision,” jelasnya.

Mengutip laporan riset Kauffman Foundation di 2013, Adelle mengatakan bahwa perusahaan teknologi swasta yang dipimpin wanita, terbukti lebih capital-efficient, mencapai Return of Investment (ROI) 35% lebih tinggi, dan–apabila didukung oleh VC–mengantongi 12% pendapatan lebih tinggi dibandingkan startup yang dijalankan oleh pria.

Selain kriteria di atas, IWEF membidik investasi di startup di pre-seed dan seed (early stage). Pihaknya juga menekankan pentingnya kualitas pada founder, seperti keinginan beradaptasi, mengeksekusi produk, dan kepemimpinan.

Di luar kolaborasi ini, YCAB Ventures juga terbuka terhadap kemitraan dengan VC lain, terutama lokal, selama memiliki kesamaan visi-misi dan ekspertis lebih dalam terhadap pemberdayaan perempuan dan dampak.

Impact insentive

Ada banyak pertanyaan mengenai upaya startup mencapai impact dan return secara berkesinambungan. Adelle menilai kedua hal tersebut dapat memungkinkan berjalan bersamaan apabila startup memiliki aspek kepemimpinan dan model bisnis yang saling melekat dengan impact.

“Kami mencari model bisnis di mana dampak dan financial return bisa tumbuh bersama-sama. Dan hal ini dapat terjadi apabila founder punya leadership dan mengutamakan impact, itu yang terpenting,” kata Adelle.

Di YCAB Ventures, Adelle menerapkan beberapa metode pengukuran dampak. Pertama, ia mengadopsi standardisasi metrik yang digunakan oleh organisasi nirlaba Global Impact Investing Network (GIIN) untuk membantu startup untuk menemukan metrik yang tepat.

“Terkadang it gets really complicated [bicara soal dampak] dan bisa klaim punya impact. Apakah membuka pekerjaan termasuk impact? Semua orang punya definisi masing-masing. Namun, kami selalu merekomendasikan GIIN sebagai referensi untuk mengukur hal itu,” ujarnya.

Kedua, pihaknya juga mencoba konsep impact incentive yang kerap digunakan di industri VC. Adelle mencontohkan, apabila berinvestasi di startup dan memperoleh financial return melebihi hurdle rate, misal 7%, VC dapat memberikan profit sharing ke investor, general partner, atau limited partner.

Di IWEF, pihaknya menerapkan impact insentive dengan model impact-linked carry kepada fund manager yang fokus ke impactful investment. Artinya, fund manager bisa memperoleh insentif berupa profit sharing jika berhasil mencapai impact yang dituju.

“Saat ini, impact-linked carry belum [banyak diterapkan] di Indonesia. Semoga IWEF bisa menjadi yang pertama membawa model ini untuk measure dan track impact karena keduanya mahal. Untuk bisa dapet insentif, mau tidak mau ya harus track impact.”

Roadmap 2022

IWEF memiliki target kelola dana selama sepuluh tahun, di mana saat ini baru mengumpulkan $2 juta dari LP Investing in Women untuk tahap pertama. Sementara, sisanya $8 juta akan dikumpulkan dengan skema blended finance, terbuka untuk investor lokal dan asing.

Sambil mengumpulkan dana, IWEF menargetkan investasi ke sebanyak 20-40 startup di Indonesia dalam tiga sampai lima tahun ke depan. Per Desember 2021, IWEF telah memberikan investasi ke 11 startup di Indonesia, termasuk di antaranya Eateroo (F&B), Binar Academy (edtech), dan TransTRACK.ID (logitech).

Ticket size investasi berkisar antara $15.000 sampai $200.000, tetapi besarannya tergantung apa yang kami yakini dan sesuai dengan misi investasi kami. Dan investasi ini bisa bertahap tergantung dari trennya. Jadi bisa kami top up,” ujarnya.

YCAB Ventures tidak terpaku pada vertikal tertentu atau agnostik, selama memenuhi kriteria yang dipaparkan pada tesis investasi di atas. Namun, Adelle melihat bahwa edtech dan fintech menjadi beberapa vertikal yang akan menjadi tren besar setelah ride hailing dan e-commerce.

Menurutnya, pendidikan masih menjadi salah satu concern besar terhadap pemutusan rantai kemiskinan. Meski saat ini sudah banyak pemain edtech di Indonesia, ia menilai masih ada ruang pertumbuhan dan peluang yang dapat digali untuk mengatasi masalah di industri pendidikan Indonesia.

Demikian pula dengan inklusi keuangan di Indonesia yang terbatas bagi kalangan unbanked dan underbanked. Peningkatan adopsi keuangan digital selama pandemi Covid-19 membuktikan bahwa potensi layanan fintech dapat dieksplorasi lebih lanjut.

Tak kalah penting, Adelle juga menyoroti tentang ketimpangan ekosistem startup yang selama ini mayoritas terkonsentrasi di Jakarta dan sekitarnya.

“Salah satu tantangan utama di industri startup adalah a lot of tech-based service terpusat di Jakarta. Tapi, kami melihat banyak entreprenuer di tier 2 dan 3 yang belum tergarap dengan baik dan sebetulnya dapat menjadi masa depan,”

Pendampingan bisnis

Adelle menilai semakin ke sini, startup semakin selektif dalam mencari investor. Mereka tak lagi hanya mencari sumber permodalan, tetapi juga networking dan mentorship yang dapat membantunya mengembangkan bisnis. Di YCAB Ventures, Adelle ikut terlibat dalam melakukan pendampingan bisnis (mentoring) kepada para founder yang minim pengalaman.

Pihaknya fokus mengasah kemampuan founder di early stage, seperti bisnis, marketing, dan kepemimpinan, dapat dilakukan melalui komunikasi tim IWEF dan portofolio. Dan melalui program khusus She Disrupts Indonesia yang menyediakan sesi mentorship dan training. YCAB Ventures juga menawarkan jejaring koneksi kuat pada sektor pemerintahan maupun swasta.

“Khususnya female founder, mengapa mereka tidak mendapat investasi sebanyak male founder? Itu bisa jadi karena sejumlah faktor, misalnya kepercayaan diri rendah, tidak ada pengalaman, dan literasi keuangan juga rendah. Bagi kami, [pemberdayaan perempuan] bukan cuma memberikan modal, tetapi mengasah kemampuan bisnis dan networking.”

Mengulik Dapur WLabku, Daur Ulang Ampas Tebu demi Akselerasi “Zero Carbon Emission” di Indonesia

“Many business leaders are seeing the relationship between long term success and sustainability, and that’s very heartening.” — Jacqueline Novogratz, entrepreneur

Ada berbagai persepsi yang menyebutkan bahwa tak mudah untuk berkecimpung pada bisnis di environmental impact. Anggapan pertama, sulit bagi pelaku startup untuk menghasilkan uang–apalagi keuntungan–dan realisasinya pun memakan waktu panjang. Kedua, anggapan ini membuat minat investor semakin terbatas. Namun, bukan berarti tidak ada.

Banyak startup di dunia yang membawa misi untuk menyelamatkan bumi alih-alih mengedepankan keuntungan. Di Indonesia, jumlahnya mungkin masih terhitung jari. Ada startup energi terbarukan Xurya dan startup pengumpulan sampah Duitin. Semua ini ingin membuat bumi menjadi lebih hijau dan ramah bagi manusia.

WLabku, sebuah startup waste management yang mendapatkan pendanaan dari impact investor Gayo Capital, memiliki misi yang sama, yaitu mendaur ulang ampas tebu menjadi produk bernilai demi mewujudkan akselerasi zero carbon emission di Indonesia.

DailySocial berkesempatan berbincang dengan dua sosok penting di Gayo Capital, yakni Jefri R Sirait selaku Co-Founder & Managing Partner dan Eldo Wana Kusuma sebagai Investment Principal tentang pengembangan daur ulang, metrik bisnis, hingga dampak lingkungan di segmen bisnis ini.

Mengenai WLabku

Berdiri sejak 2019, WLabku merupakan startup di bidang waste management solution yang mendaur ulang limbah tebu sebagai pakan ternak (bagasse). Tak hanya itu, hasil daur ulang ini dapat digunakan sebagai biofuel (bahan bakar dari materi tumbuhan dan hewan) untuk memproduksi panas, energi, listrik, serta manufaktur pulp dan bahan bangunan. Kuantitas yang diperoleh berkisar 22%-36%, tergantung porsi serat dan kebersihan dari pasokan tebu.

Mengapa tebu? Mengutip informasi di situs resmi Gayo, ampas tebu adalah residu berserat yang tersisa setelah penggilingan, mengandung kadar air sebesar 45%-50% dengan campuran serat fibre dan jaringan parenkim yang lembut dan halus dengan sifat higroskopis tinggi. Ampas tebu juga mengandung selulosa, hemi selulosa, pentosan, lignin, gula, lilin, dan mineral.

Di Indonesia, tebu telah ditanam dengan luas mencapai 450.000 hektar. Rata-rata hasil produksinya di community plantation (sekitar 266.000 hektar) tak sampai 80 ton per hektar dengan yield level di bawah 8%. Potensi kapitalisasi pasar daur ulang tebu berkisar 5% dari ampas tebu tua, yakni sebesar Rp2,2 triliun.

Pada 2020, WLabku memperoleh investasi dari Gayo Capital lewat dua putaran pendanaan. Berdasarkan data Crunchbase, WLabku mendapat pendanaan tahap awal (seed) pada Januari 2020 sebesar $1 juta, dan putaran kedua pada Juli 2020 melalui convertible note sebesar $90.000.

Co-Founder & Managing Partner Jefri R Sirait mengungkap, WLabku merupakan salah satu portofolio investasi Gayo Capital yang menawarkan value added sebagai biomass waster. Menurutnya, banyak sekali material tak terpakai (unused) yang sebetulnya dapat dimanfaatkan kembali (circular economic) di sektor pertanian, peternakan, bahkan masyarakat Indonesia.

Ia menilai daur ulang material terpakai ini menjadi salah satu kunci penting untuk memperkuat ketahanan pangan dan energi di Indonesia, serta dapat memproduksi carbon farming.

“Sejak awal, saya dan Edward [Ismawan Chamdani] sebagai Founder Gayo Capital, melihat Sustainable Development Goals (SDG) serta petani, peternak, nelayan, dan UMKM harus menjadi epicentrum di Indonesia. Ini menjadi dasar kuat bagaimana pedesaan dapat memperkuat perkotaan. Hal ini juga menjadi fundamental dalam investasi kami dan we bring the tech ke mereka. WLabku akan melengkapi ekosistem portofolio kami di bidang waste management dan agriculture,” ujar Jefri.

Agenda WLabku

Ada dua agenda besar yang akan dilakukan WLabku. Pertama, mengekspor sampah ampas tebu yang sudah didaur ulang menjadi produk bernilai. Misalnya, daur ulang menjadi bahan baku (feedstock). WLabku mengambil peran untuk mendaur ulang dan mengolahnya menjadi makanan sapi, lalu mengekspornya ke beberapa negara, seperti Jepang dan kemungkinan Selandia Baru.

Investment Principal Eldo Wana Kusuma mengungkap, salah satu klien supplier-nya kebingungan untuk mengolah limbah ampas tebu yang telah menumpuk bertahun-tahun. Apabila limbah ini dibakar, prosesnya menghasilkan lebih banyak emisi karbon yang justru menimbulkan polusi terhadap lingkungan. Artinya, metode pembakaran bukan lah solusi tepat untuk mengolah sampah organik.

Selain itu, prosesnya juga memakan waktu lama sehingga hasil produksi tidak seimbang dengan proses pemusnahan sampahnya. Ini belum lagi bicara potensi pengeluaran biaya baru untuk menampung sampah.

Tanpa pabrik pengolahan, ampas tebu akan terbuang sia-sia karena hanya akan berakhir di pembakaran dan kehilangan nilainya. Ini akan berdampak buruk terhadap lingkungan karena memicu produksi karbon. WLabku memainkan peran untuk menyelesaikan masalah-masalah di atas dengan mengubah sampah atau limbah menjadi produk bernilai. 

Berdasarkan laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah timbulan sampah nasional mencapai 175.000 ton per hari atau setara 64 juta ton per tahun (asumsi sampah dihasilkan setiap orang per hari sebesar 0,7 kg)

Dirinci dari komposisinya, mayoritas sampah sebesar 50% berasal dari organik (sisa makanan dan tumbuhan), plastik (15%), dan kertas (10%). Sisanya berasal dari logam, karet, kain, kaca, dan lain-lain. Dari kategori sumber, rumah tangga paling banyak menghasilkan sampah (48%), diikuti pasar tradisional (24%), kawasan komersial (9%), dan sisanya dari fasilitas publik, sekolah, kantor, dan jalan.

Kedua, mengakselerasi program zero emission. “Sisa penyaringan ampas tebu tidak 100% bisa dijadikan feedstock. Sisa residu dapat dipadatkan dan dimanfaatkan untuk bahan bakar co-firing dalam bentuk pellet untuk mengurangi emisi karbon dari hasil pembakaran fossil. Ini yang saya maksud sebagai akselerasi program zero emission,” tuturnya.

Pada 2030, Jepang mengeluarkan kebijakan yang melarang seluruh pabrik menggunakan bahan bakar fossil. Ampas tebu dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dalam bentuk pellet atau bahan pakan yang dipadatkan sedemikian rupa dari bahan konsentrat atau hijauan untuk mengurangi sifat keambaan pakan. Adapun, pellet yang dihasilkan WLabku dapat mencapai 4.300 kalori.

Akselerasi bisnis

Dengan berbagai rencana di atas, bagaimana upaya Gayo Capital untuk mengakselerasi bisnis WLabku?

Gayo Capital turut berperan sebagai venture builder. Mereka ikut memberikan pendampingan dan menghubungkan jaringan bisnis kepada founder WLabku. Gayo tak hanya terlibat dari aspek permodalan saja. Apalagi, ungkapnya, tiga partner di Gayo Capital memiliki latar belakang kuat di bidang keuangan, operasional, jaringan, dan kemitraan bisnis. Ini menjadi nilai tambah yang ingin diberikan kepada WLabku.

Lebih lanjut, Eldo berujar skalabilitas bisnis WLabku dapat ditingkatkan selama memiliki model bisnis yang matang. Menurutnya, skalabilitas bisnis impact sulit dicapai apabila founder hanya memikirkan aspek ‘for the sake of humanity and mother earth‘.

Salah satu tantangannya adalah berinvestasi di sektor lingkungan membutuhkan lebih dari satu sumber permodalan, yakni menggabungkan private capital dan development funding. Penggunaannya pun harus tepat sasaran. Ambil contoh, dana hibah dari yayasan atau program CSR dapat digunakan untuk kebutuhan riset, sedangkan investasi dari Venture Capital (VC) dipakai untuk biaya operasional (opex) dan modal kerja.

Pendekatan investasi untuk membangun sustainable ecosystem / Sumber: Gayo Capital

Dalam kasus WLabku, perusahaan telah melakukan riset sendiri, sedangkan sumber pendanaan masih dipimpin oleh Gayo Capital. “Selagi penggunaannya tepat sasaran, saya rasa semua bisa berjalan lancar. Kebanyakan para founder yang bermain di ranah impact, terlalu mementingkan riset dan mengesampingkan bisnis. Jadi ini tantangan yang lumayan sulit,” ucapnya.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Eldo mengincar kolaborasi strategis antara WLabku dan ekosistem portofolio di Gayo Capital. Terutama kolaborasi lintas produk/layanan yang masih dalam koridor sustainability. Misalnya, waste-to-energy atau clean energy. Artinya, scale up bisnis tak cuma terbatas pada pemilik model bisnis serupa dengan WLabku.

“Kami tidak bisa bergantung hanya dari fossil fuel dan ini sebetulnya agenda kami sejak lama. Kami berharap ada kolaborasi antara portofolio dengan pendekatan penta-helix di Gayo Capital, dan seharusnya hal ini bisa diakselerasi lebih cepat lagi.”

Impact vs profit

Mana yang perlu didahulukan, dampak atau keuntungan? Sebuat pertanyaan sulit menyikapi tantangan berbagai investor ketika melakukan impact investing di sektor environmental atau sustainability.

Eldo mengungkap, saat ini pihaknya tengah mencoba membuktikan model bisnis WLabku dapat diterima di pasar, yakni mengubah sampah menjadi valuable product untuk menyelesaikan masalah pada penumpukan limbah pabrik. Apabila berhasil, Gayo baru akan bicara soal financial return.

Adapun, ia menyebut rerata investasi VC secara umum berkisar 3-5 kali dalam 5-10 tahun fund lifetime (berkisar 27%-30% return per tahun).

Profit belum menjadi fokus utama meski pada akhirnya investor pasti mengharapkan return. Untuk tahap awal, kami berharap pada impact. Sebetulnya, berkat bantuan stakeholder, kami sudah [mulai] mengarah ke dua-duanya, baik impact maupun financial return,” ujarnya.

WLabku menggunakan sejumlah metrik untuk mengukur pertumbuhan bisnis maupun dampak terhadap lingkungan. Dari pertumbuhan bisnis, Gayo memakai metrik, seperti jumlah supplier dan buyer.

Secara paralel, ia menilai semakin banyak yang suplai, semakin berkurang juga sampah limbah pabrik. Semakin banyak yang membeli, semakin cepat pula akselerasi untuk mewujudkan program zero carbon emission.

Sementara itu, WLabku mengukur lewat jumlah ampas tebu yang didaur ulang dan dampak terhadap lingkungan dari solusi yang mereka tawarkan. Dampak ini dapat diukur dari tingkat pengurangan polusi bau atau pencemaran lingkungan. “Untuk [mengukur] dampak itu, kami pakai tools dengan ESG Report,” tambahnya.

Sedikit informasi, ESG (Environmental, Social, Governance) Reports merupakan acuan atau formula untuk mengukur dampak pencemaran lingkungan. ESG melaporkan data operasional berbagai perusahaan yang berfokus pada tiga area, yaitu lingkungan, sosial, dan corporate governance.

Di Indonesia, penerapan ESG mulai diberlakukan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pada Maret 2021, BEI meluncurkan indeks baru IDX ESG untuk mendorong praktik lingkungan, sosial, dan tata kelola emiten (perusahaan tercatat di pasar modal). Dalam jangka panjang, penerapan ESG diharapkan dapat menggerakan lebih banyak aliran modal ke Indonesia.

Metrik satu-untuk-semua

DailySocial berbincang singkat dengan Partner di Patamar Capital Dondi Hananto, bicara tentang metrik dan skalabilitas impact investing di Indonesia secara umum. Mengambil contoh pada social impact, menurutnya saat ini belum ada metrik satu-untuk-semua (one for all) yang dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan bisnis, baik yang bersifat equity maupun non-equity. Semua bergantung dari model bisnis dan dampak yang dikejar oleh startup.

Sementara di segmen environmental impact, Dondi menilai pengembangan bisnisnya belum dapat mengandalkan commercial financing sepenuhnya mengingat pasarnya di kawasan Asia Tenggara belum matang. Maka itu perlu dorongan dari sumber pendanaan lain (blended finance), seperti yayasan, CSR, atau dana sosial.

Ini menjadi salah satu faktor mengapa skalabilitas bisnis pada startup di environmental impact sulit diakselerasi. Belum lagi bicara soal benturan dalam mengejar ‘impact versus profit‘ mengingat keduanya sulit untuk dicapai secara bersamaan. Dondi menilai sulit untuk menahan dampak dalam jangka panjang apabila sejak awal bisnisnya sudah profit-oriented.

“Secara business model, saya belum melihat [environmental startup] yang bisa cepat scalable. But, the trend is going there,” ungkap Dondi.

JALA Tech Announces 85.7 Billion Rupiah Funding

Aquatech startup JALA Tech announced $6 million funding or equivalent to 85.7 billion Rupiah. A number of global venture capitalists focusing on impact investment were involved in this round, including The Meloy Fund (managed by US based company, Deliberate Capital), Real Tech Fund (Japan), and Mirova (France).

Previously, JALA has also been supported by a number of investors, including Hatch Blue and 500 Startups since 2019.

In an official statement, JALA Tech’s Co-Founder & CEO, Liris Maduningtyas said, “We are delighted to receive this fresh funding, which will play an important role in helping us achieve our goal of developing new ways to improve the industry and its impact on society.”

In a general note, JALA develops technology in the form of hardware and software to help farmers boost up production. Some of these include water quality measuring tools, micro bubble generators, business recording applications and analytic tools. These devices can be connected and operated through applications with the Internet of Things (IoT) capabilities.

One of JALA’s target markets is shrimp farmers. It is said that Indonesia is one of the 5 largest shrimp producers in the world along with China, Ecuador, India and Vietnam. To date, many problems related to shrimp farming remain unresolved, such as pollution caused by the release of agricultural wastes in rivers and seas, disease outbreaks and mortality, inefficient value chains, low added value for farmers, and traceability of products that are poor limited, and transparency.

“JALA aims to contribute to solving some of these problems to make the shrimp value chain more sustainable, transparent, efficient and fair,” he said.

Regional expansion

Previously, in mid-2020, JALA had stated its intention to enter the regional market. It is started with a branch office in Thailand. Liris said that the company has expanded its business to Thailand, Malaysia, Vietnam, and Ecuador since 2019. However, it is still limited to a business agreement between the company with the B2B and B2C clients in the country.

As of July 2020, the company said, JALA’s user base have now reached more than 6 thousand farmers and over 100 IoT hardware devices are used.

In fact, this achievement blows a fresh air for the local cultivation industry. With technology and digital-based innovations, it is expected that the existing potential can be more optimized. Apart from JALA, other startups have also introduced innovations in the aquaculture sector, one of which is eFishery with its flagship product, automatic fish feed. With better investor support, eFishery is now entering the funding and online grocery business aiming to provide solutions from upstream to downstream.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

JALA Tech Umumkan Perolehan Pendanaan 85,7 Miliar Rupiah

Startup pengembang perangkat teknologi akuakultur JALA Tech mengumumkan perolehan pendanaan senilai $6 juta atau setara 85,7 miliar Rupiah. Sejumlah pemodal ventura yang fokus pada impact investment dari beberapa negara terlibat dalam putaran ini, di antaranya The Meloy Fund (dikelola Deliberate Capital dari Amerika Serikat), Real Tech Fund (dari Jepang), dan Mirova (dari Prancis).

Sebelumnya JALA juga telah didukung sejumlah investor, termasuk Hatch Blue dan 500 Startups sejak tahun 2019 lalu.

Dalam keterangan resminya, Co-Founder & CEO JALA Tech Liris Maduningtyas mengatakan, “Kami senang menerima pendanaan baru ini, yang akan berperan penting dalam membantu kami mencapai tujuan dalam mengembangkan cara baru untuk meningkatkan industri dan dampaknya terhadap masyarakat.”

Seperti diketahui, JALA mengembangkan teknologi berupa perangkat keras dan lunak untuk membantu petambak meningkatkan produksinya. Beberapa di antaranya alat pengukur kualitas air, pembuat gelembung mikro, aplikasi pencatatan bisnis hingga analisis. Perangkat-perangkat tersebut dapat terhubung dan dioperasikan melalui aplikasi dengan kapabilitas Internet of Things (IoT) yang dimiliki.

Salah satu target pasar produk JALA adalah petambak udang. Disampaikan, Indonesia satu dari 5 produsen udang terbesar di dunia bersama Tiongkok, Ekuador, India, dan Vietnam. Sampai saat ini, banyak masalah yang terkait dengan budidaya udang masih belum terselesaikan, seperti polusi yang disebabkan oleh pelepasan limbah pertanian di sungai dan laut, wabah penyakit dan kematian, rantai nilai yang tidak efisien, nilai tambah yang rendah bagi petani, dan ketertelusuran produk yang terbatas, dan transparansi.

“JALA bertujuan untuk berkontribusi dalam memecahkan beberapa masalah ini untuk membuat rantai nilai udang lebih berkelanjutan, transparan, efisien, dan adil,” ungkapnya.

Lancarkan ekspansi regional

Sebelumnya pada pertengahan tahun 2020 lalu, JALA telah memantapkan niatnya untuk masuk ke pasar regional. Diawali dengan membuka kantor cabang di Thailand. Disampaikan Liris, sejak tahun 2019 perusahaan sudah ekspansi bisnis ke Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Ekuador. Tapi itu masih sebatas ada kesepakatan bisnis antara perusahaan dengan klien B2B maupun B2C di negara tersebut.

Per Juli 2020 perusahaan menyampaikan, pengguna solusi JALA kini sudah mencapai lebih dari 6 ribu petambak dan lebih dari 100 perangkat hardware IoT dipakai.

Tentu prestasi ini menjadi angin segar untuk industri budidaya lokal. Dengan adanya inovasi berbasis teknologi dan digital, diharapkan potensi yang ada dapat terdorong lebih optimal. Selain JALA, inovasi di bidang pertambakan juga telah dihadirkan startup lain, salah satunya eFishery dengan produk andalannya pakan ikan otomatis. Dengan dukungan investor yang cukup baik, eFishery kini juga masuk ke bisnis pendanaan dan online grocery dengan harapan dapat memberikan solusi dari hulu ke hilir.

Application Information Will Show Up Here

Peran Instellar Mendukung Ekosistem Startup Berdampak di Indonesia

Investasi berdampak atau impact investment menjadi topik yang turut menonjol di samping sektor yang tumbuh hijau semenjak pandemi berlangsung. Menurut artikel yang dipublikasi oleh Schroders, Covid-19 telah memperbesar pentingnya investasi berdampak di negara berkembang.

“Saat dunia keluar dari pandemi, masalah lingkungan dan sosial kemungkinan akan mendapatkan fokus yang lebih besar. Alat yang lebih baik untuk menganalisis dan memantau perusahaan dan operasinya membutuhkan dorongan yang ada di tangan investor,” paparnya.

Di dunia, ukuran pasar investasi berdampak sekitar $715 miliar pada akhir 2019, berdasarkan perkiraan dari Global Impact Investing Network (GIIN). Potensi pertumbuhannya signifikan dan kemungkinan besar didorong oleh permintaan investor untuk menyelaraskan nilai mereka dengan tujuan investasi mereka.

Inti dari investasi berdampak adalah niat untuk menghasilkan manfaat sosial, dalam kombinasi dengan pengembalian finansial bagi pemegang saham dan untuk mengukur dampaknya.

Di Indonesia sendiri, segmen ini awalnya diisi oleh para filantropi, aktivis, dan lembaga nirlaba, hingga akhirnya belakangan mulai dilirik oleh investor mainstream. Salah satunya adalah Instellar Indonesia, perusahaan yang berfokus pada pengadaan kegiatan pengembangan kapasitas untuk wirausaha dan bisnis sosial, yang sudah beroperasi sejak 2014.

Kepada DailySocial.id, CEO Instellar Indonesia Romy Cahyadi menjelaskan dari tahun ke tahun semakin banyak wirausaha sosial atau social enterprise yang muncul dan berkembang. Menurut riset yang dipublikasi British Council pada 2018, ada sekitar 342 ribu wirausaha sosial di Indonesia dengan kontribusi terhadap PDB negara sebesar 1,9%.

Sementara itu, mengutip dari sumber lainnya, seperti yang dipublikasi oleh ANGIN bertajuk “Investing in Impact in Indonesia 2020”, terlihat adanya kenaikan dari sisi investasi, baik impact investor maupun mainstream investor, ke wirausaha sosial di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Jumlah social enterprise (SE) yang diinvestasi oleh impact investor meningkat hingga 31 investor sepanjang 2019-2020, dan jumlah SE yang diinvestasi oleh mainstream investor adalah 19 usaha di tahun yang sama.

Berangkat dari hasil temuan tersebut, ia meyakini bahwa bakal semakin banyak wirausaha sosial yang tumbuh dengan sokongan modal/investasi tidak hanya dari impact investor, tapi juga mainstream investor. “Selain itu startup secara umum juga akan semakin mempertimbangkan/berusaha menciptakan social impact melalui bisnis mereka, walaupun startup tersebut belum tentu merupakan social enterprise,” terang Romy.

Dia melanjutkan, “Jadi akan terjadi semacam mainstreaming mengenai social & environmental impact ke dalam praktik bisnis wirausaha sosial dan/atau startup pada umumnya. Mainstreaming ini juga terjadi di sisi investor. Semakin banyak investor akan menanamkan modalnya di wirausaha sosial atau bisnis komersial biasa yang menciptakan social atau environmental impact.”

Posisi Instellar

Sedari awal, Instellar memosisikan diri sebagai katalisator, konsultan, dan konektor dalam ekosistem wirausaha sosial. Terdapat tiga departemen yang menjalankan masing-masing peran tersebut. Pertama, Enterprise Development (ED) yang memiliki beberapa program utama yang bertujuan mengembangkan ekosistem berkelanjutan (sustainable ecosystem) di Indonesia. Sebagai katalisator, Instellar menyediakan modul untuk program inkubasi dan akselerasi.

“Dalam setiap programnya, kami berusaha memahami tujuan masing-masing enterprise untuk mendukung mereka dengan implementasi program yang sesuai kebutuhan. Melalui ED, Instellar membuat Enterprise Development Program bernama Rise Inc atau Rich and Impactful Social Enterprise Incubation, yang merupakan program inkubasi 6 bulan yang fokus pada social enterprise tahap awal.”

Selain itu, Instellar berkolaborasi dengan korporat untuk membuat program CSR yang impactful and sustainable, serta membuat sinergi yang horizontal. Serta, Instellar menjadi country implementing partner untuk beberapa organisasi internasional yang memiliki perhatian untuk mengembangkan enterprise di Indonesia.

Kedua, Instellar Impact Advisory (IIA) merupakan bagian jasa konsultasi one-on-one, baik untuk social enterprise atau investor yang tertarik dengan impact investing. IIA juga menyediakan jasa konsultasi kepada CSO seperti lembaga-lembaga non-profit yang perlu mengembangan strategi bisnis untuk kemandirian finansial.

Terakhir, Community and Partnership (CP) bertugas untuk membangun komunitas Instellar dengan bekerja sama dengan pihak-pihak yang memiliki tujuan yang sama dan memastikan para social entrepreneur mendapatkan program-program berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan perkembangan bisnis mereka. CP bertujuan untuk membangun dan menjaga ekosistem wirausaha dan bisnis-bisnis berdampak sosial agar tetap maju dan berkembang.

Program I-SEA

Sumber: Instellar Indonesia

Lebih lanjut dijelaskan, dalam menjalankan perannya sebagai katalisator, Instellar mengadakan program inkubasi dan akselerasi. Ada kerangka kerja yang digunakan, disebut SEED Map, yang dikembangkan Instellar untuk mengukur perkembangan usaha sosial selama mengikuti program. Tak hanya itu, Instellar juga membekali usaha sosial dengan Business Development Plan (BPD) untuk mengukur dampak yang ditimbulkan kepada penerima manfaat.

“Kami juga menyediakan program yang dibuat khusus dengan menerapkan Teori Perubahan (Theory of Change/Impact Model) bagi wirausaha usaha sosial pemula. Sedangkan untuk yang sudah berkembang, diperkenalkan konsep pengukuran dengan Pengembalian Investasi Sosial (SROI/Social Return on Investment) atau sertifikasi bisnis sosial dengan model B Corp.”

Salah satu program akselerasi teranyar yang sedang digelar Instellar adalah Instellar and IKEA Social Entrepreneurship Indonesia Accelerator (I-SEA). IKEA Social Entrepreneurship sebagai inisiatif global oleh IKEA, usaha retail perabot rumah berbasis di Swedia, berfokus pada kegiatan-kegiatan pemberdayaan wirausaha sosial dari seluruh dunia. Objektif dari I-SEA adalah mengajak para wirausaha sosial untuk meningkatkan bisnis sosialnya demi mencapai visi dan misi membangun sebuah bisnis dalam lingkungan sosial yang setara dan inklusif, tidak lagi Jawa-sentris.

Kegiatan ini berfokus pada wirausaha sosial yang menargetkan dampak sosial dan dampak lingkungan di luar Jawa, atau yang saat ini beroperasi di Jawa namun memiliki rencana panjang untuk mengembangkan target area terdampak di luar Jawa.

Pendaftaran program ini sudah dibuka sejak 22 Oktober 2021 hingga 10 Desember 2021. I-SEA akan memilih 10 tim wirausaha sosial dengan profil terbaik yang berbasis di luar Jawa atau memiliki penerima manfaat di luar Jawa untuk diikutsertakan dalam program yang berlangsung selama dua tahun.

Setiap tim akan berkesempatan mendapatkan dana hibah untuk membantu meningkatkan kualitas bisnis mereka. Program ini sendiri terdiri dari beberapa tahapan, dimulai dengan rekrutmen, selanjutnya tahap akselerasi yang mana peserta didampingi konsultan, termasuk melakukan penilaian kebutuhan bisnis dan memfasilitasi mereka dengan sejumlah workshop.

Tahap akselerasi ini diakhiri dengan showcase event, peserta akan mempresentasikan hasil dari apa yang telah mereka pelajari dan praktikkan. Pada akhir program, peserta akan berada di tahap Growth and Impact Hack yang didampingi mentor untuk diberikan dukungan lebih jauh, termasuk perluasan jejaring yang akan menghubungkan mereka dengan berbagai pelaku di ekosistem.

Wirausaha sosial terbantukan

Romy melanjutkan, hingga saat ini, sudah lebih dari 174 usaha yang menjadi alumni program-program Instellar dan telah memberi dampak kepada lebih dari 7000 beneficiaries yang tersebar di 18 provinsi di seluruh Indonesia. Keseluruhan usaha ini terbagi menjadi sembilan sektor.

Persentase terbesar dipegang oleh creative, art, fashion & cultural (20,71%), agrikultur dan perikanan (15,71%), F&B (14,29%), edukasi (12,14%), environment & sustainable energy (11,43%), kesehatan (5,71%), pariwisata (5%), infrastruktur (3,57%), dan terakhir IoT, beauty & skincare (2,86%).

Sementara itu, bila melihat dari ketahanan bisnis, menariknya dari survei yang diselenggarakan Instellar mengungkapkan bahwa sebanyak 90% usaha dapat bertahan. Faktor utamanya adalah karena mereka berhasil menemukan model bisnis yang bagus dan sustainable, sehingga bisa memperluas pasar dan dampak sosial dan berhasil mengatasi masalah pendanaan.

“Sementara, sisanya yang 10% tidak bertahan karena dua penyebab utama, yaitu tidak berhasil menemukan model bisnis yang sustainable dan founder-nya melanjutkan studi atau bekerja.”

Menurut Romy, sejauh ini dana hibah yang sudah disalurkan Instellar adalah $340 ribu (sekitar 4,8 miliar Rupiah). “Instellar tidak mengelola fund khusus untuk disalurkan kepada wirausaha sosial, tetapi kadang-kadang ada beberapa partner yang memang dibantu untuk menyalurkan financial support melalui kami,” tutup Romy.

The Momentum of Green Business Startup

Blue skies, fresher air, cooking back to the kitchen, exercising are just some of the signs that many people have experienced since the pandemic. Even though the situation is getting flexible as there have been relaxation in many sectors, a figure pops out that there is an awareness to start living a healthy life.

The opportunity arises for environmental enterprises to be recognized. Although there are not many startups practicing green or environmental, social and governance (ESG) approach, Managing Director of Angel Investor Network Indonesia (ANGIN), David Soukhasing said, there is currently a positive trend of having impactful businesses in the ecosystem. Impact investment has also emerged, which has been discussed in the DSInnovate report on Indonesian agritech.

Most of them are there to support entrepreneurship, providing more specific support for certain groups of social entrepreneurs, for example an energy focus accelerator program, an accelerator program waste management focus, or entrepreneurial support that focuses on a specific geographic area.

For Soukhasing, this factor was able to measure Indonesia’s readiness for impact investment. Indonesia needs a comprehensive ecosystem to be ready to welcome impact investors. Not only capital, basically a strong pipeline from companies/startups is necessary.

“A measure of maturity is the overall value of diversity in capital, diversity of investors, different stages, different types of money, and all supporting functions. In terms of supporting functions, such as incubators, accelerators, co-working spaces, Indonesia is actually quite developed. There are quite a lot of pipeline networks and investors here,” Soukhasing explained to DailySocial.

He continued, “However, we need more action, capital diversity is required to really talk about a mature ecosystem. Another aspect of maturity is the policy, how regulations are developed to have an impact on investment and entrepreneurship, and this is still lacking in Indonesia.”

Based on ANGIN’s report entitled Investing in Impact in Indonesia, in 2013, the concept of impact investing was quite rare in Indonesia. However, it is getting more familiar as some VCs has created special funds to invest in impact business.

There are several impact investors have invested in Indonesia, both local and foreign players. Some already have a representative team in Indonesia. It has reached 66 investors, including 61 from foreign funds and the five remaining from Indonesia.

Meanwhile, the mainstream investors that have disbursed its funds to impactful sectors will continue to increase, nearly two times as many as 107 investors. It includes 32 local investors and 75 investors from abroad.

Each impact investor actually has different focuses. ANGIN thematically recorded, there are 10 types of respective focus for impactful businesses, divided into financial inclusion, forestry, clean energy, poverty, gender lens, circular economy, fisheries, climate, agriculture, and the media. Each reflects the opportunities and challenges in Indonesia.

What the global non-profit organization New Energy Nexus has done may be a concrete example in the field. They know that the potential for renewable energy has not been fully explored in Indonesia, provoking them to be present in Indonesia since 2018 through the routinely held incubation and acceleration programs and hackhaton.

To date, New Energy Nexus has completed seven batches of incubation and acceleration programs, and guided more than 40 renewable startups in honing their business and innovation strategies. “We not only provide capacity building support but also provide funding to provide overall support,” New Energy Nexus Indonesia’s Program Director, Diyanto Imam said.

Total grants has reach IDR650 million until March 2021, while convertible notes funding has reached IDR 3.5 billion. One of its portfolios is PT Bina Usaha Lintas Ekonomi (BLUE), a renewable energy startup that provides a Warung Energi marketplace and B2B solar energy solutions for commercial, industrial, and centralized.

It’s different with philantrophy

Soukhasing explained that the basic similarity between philanthropy and impact investing is that both have “impact intention” and “impact measurement”. However, we can distinguish them based on two factors, priorities and expectations of financial returns.

Philanthropy has clear social and environmental objectives, placing investments that are given as grants and not to expect returns. Unlike philanthropy, impact investors prioritize impact and profit.

Thus, impact investors expect financial returns. However, there are investors adopting a second approach called venture philanthropy.

This hybrid approach takes the best of both ways. The gain is the creation of a social impact and an expected financial return. Impact investors value opportunities differently from philanthropists. “It is important to note that not every impact (which is often discussed by philanthropists) is always suitable for impact investing and vice versa.”

Monetization strategy and challenges of impact business

Interestingly, many impact businesses have currently positioned its businesses as startups, aka using a technological approach to reach their target users, monetize, and accept investments from third parties.

One example is Siklus, which focuses on reducing plastic waste. Siklus provides a mobile refill post for shampoo, detergent, and floor cleaning fluid. One jerry can of shampoo brought by the officers is claimed to save the cost of making 2,500 sachets. Consumers can buy few or many refills at a lower price.

The business model Siklus uses is B2C because they do capital expenditures and require a number of orders per station which is difficult to do when using B2B2C.

“Our selling point is that we offer cheaper price and deliver to consumers’ places, suitable for price sensitive customers. However, we also see that there is a growing consumer segment that cares about sustainability,” Siklus’ Founder and CEO, Jane von Rabenau said.

The same focus, but with a different approach, was used by Rekosistem. They focus on recycling inorganic waste by creating a collection point or approaching consumers with a logistics fleet provided and ordered through the application.

Any inorganic waste received will be reprocessed into recycled materials, energy, and environmentally friendly building materials. Meanwhile, organic waste is processed using a biodigester into liquid fertilizer and biogas which will be given to consumers.

In other sectors, nafas focuses on providing air quality data through applications. The Indonesian people awareness about the pros and cons of air quality has not become a common topic for many people’s daily lives. Currently, apart from the application, nafas is exploring a smart home based air purifier product called aria. Nafas’ Co-Founder & CEO, Nathan Roestandy explained, the biggest challenge for startups like nafas, apart from increasing awareness in the market, is access to good quality factories for ease of the manufacturing process.

“Manufacturing in Indonesia is still dominated by large electronics brands that are capable of setting up large factories. Resources [that big] are not accessible to startups. However, we have the experience to build a supply chain to overcome this,” Nathan said.

Aria is indeed no different from the products of other brands. Nathan claims, aria has a sensor connected to nafas for the most up-to-date indoor air quality monitor. These are the advantages offered to the market.

Soukhasing added that the challenges of impacts business  is quite vary and is not apple-to-apple with other types of businesses. He gave an example that the green energy sector has its own characteristics and stakeholder profiles that cannot be compared with other types of startups.

Talking about “attractiveness” also has a different meaning, as green energy startups also comprise multiple verticals – whether they work with urban households/settlements, rural residents, or B2B companies.

“Therefore, we’d say we can’t measure green energy startups using the same success metrics we usually have for a typical startup. This will bring another context to the problems faced by green energy startups, including finding the right investors and support systems who understand their sector well.”

Most investors who are unfamiliar with green energy startups may perceive their business model to be capital heavy (high capital expenditure), require a longer timeframe, and require more effort to penetrate and educate a market that is more familiar with existing solutions (e.g. energy-based fossil). Therefore, startups have a lot of homework to “educate” customers and investors, supported by programs or other ecosystem actors.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Momentum Startup Hijau Naik Panggung

Langit biru, udara yang lebih segar, kembali memasak di dapur, kembali berolahraga adalah sekian pertanda yang dialami banyak orang sejak pandemi. Meski sekarang kondisi tersebut tidak sepenuhnya valid karena sudah ada pelonggaran di banyak sektor, namun ada gambaran bahwa timbul kesadaran untuk mulai hidup sehat.

Muncul kesempatan bagi usaha-usaha yang peduli pada lingkungan dikenali banyak orang. Meski jumlah startup yang memakai pendekatan hijau atau environmental, social, and governance (ESG) masih terbatas, menurut Managing Director Angel Investor Network Indonesia (ANGIN) David Soukhasing, saat ini terjadi tren positif kehadiran usaha berdampak di ekosistem. Investasi berdampak (impact investment) pun bermunculan, sebagaimana yang juga dibahas di laporan DSInnovate tentang agritech di Indonesia.

Mayoritas mereka hadir untuk mendukung kewirausahaan, memberikan dukungan yang lebih spesifik untuk kelompok wirausaha sosial tertentu, misalnya program akselerator fokus energi, fokus pengelolaan limbah program akselerator, atau dukungan wirausaha yang berfokus pada area geografis tertentu.

Bagi Soukhasing, faktor tersebut mampu mengukur kesiapan Indonesia terhadap investasi berdampak. Indonesia butuh ekosistem menyeluruh untuk siap menyambut investor berdampak. Tidak hanya permodalan, pada dasarnya dibutuhkan pipeline yang kuat dari perusahaan/startup.

“Salah satu ukuran kematangan adalah keseluruhan nilai keanekaragaman permodalan, keragaman investor, tahapan yang berbeda, jenis uang yang berbeda, dan semua fungsi pendukung. Dari segi fungsi pendukung, seperti inkubator, akselerator, co-working space, Indonesia sebenarnya cukup berkembang. Ada cukup banyak jaringan pipeline dan investor ada di sini,” terang Soukhasing kepada DailySocial.

Ia melanjutkan, “Namun kita perlu lebih banyak tindakan, keragaman permodalan diperlukan untuk benar-benar berbicara tentang ekosistem yang matang. Aspek kedewasaan lainnya adalah aspek kebijakan, bagaimana regulasi dikembangkan untuk berdampak pada investasi dan kewirausahaan, dan hal ini masih kurang di Indonesia.”

Menurut laporan ANGIN bertajuk Investing in Impact in Indonesia, pada tahun 2013 konsep investasi berdampak masih sangat jarang di Indonesia. Namun sekarang makin familiar karena mulai ada VC yang membuat fund khusus untuk investasi di sektor berdampak.

Ada sejumlah investor berdampak yang telah berinvestasi di Indonesia, baik itu pemain lokal dan asing. Beberapa telah memiliki tim representatif di Indonesia. Totalnya mencapai 66 investor, dengan rincian 61 dari fund luar negeri dan lima sisanya dari Indonesia.

Sementara itu, investor mainstream yang telah mengucurkan sejumlah dananya untuk sektor berdampak jumlahnya jauh lebih banyak, hampir dua kali lipatnya sebanyak 107 investor. Dengan rincian 32 investor lokal dan 75 investor dari luar negeri.

Fokus dari tiap investor berdampak juga berbeda. ANGIN mencatat secara tematik, ada 10 jenis usaha berdampak yang menjadi fokus masing-masing, terbagi menjadi inklusi keuangan, kehutanan, energi bersih, kemiskinan, gender lens, circular economy, perikanan, iklim, agrikultur, dan media. Masing-masing tema ini mencerminkan peluang dan tantangan di Indonesia.

Apa yang dilakukan lembaga non-profit global New Energy Nexus mungkin bisa menjadi contoh konkret di lapangan. Mereka tahu potensi energi terbarukan belum tergali dengan maksimal di Indonesia, memancing mereka untuk hadir di Indonesia sejak 2018 melalui program inkubasi dan akselerasi dan hackhaton yang rutin diadakan.

Sampai saat ini, New Energy Nexus sudah menyelesaikan tujuh angkatan program inkubasi dan akselerasi, serta membimbing lebih dari 40 startup terbarukan dalam mengasah strategi bisnis dan inovasi mereka. “Kami tidak hanya berikan dukungan capacity building tapi juga ada pendanaan untuk memberikan dukungan secara menyeluruh,” ucap Program Director New Energy Nexus Indonesia Diyanto Imam.

Total hibah yang telah diberikan mencapai Rp650 juta sampai Maret 2021, sementara pendanaan berbentuk convertible notes mencapai Rp3,5 miliar. Salah satu portofolionya adalah PT Bina Usaha Lintas Ekonomi (BLUE), startup energi terbarukan yang menyediakan marketplace Warung Energi dan solusi B2B energi surya untuk komersial, industrial, maupun tersentralisasi.

Berbeda dengan filantropi

Soukhasing menerangkan, persamaan mendasar antara filantropi dan investasi berdampak adalah keduanya sama-sama memiliki “niat dampak (impact intention)” dan “pengukuran dampak (impact measurement)”. Namun kita dapat membedakannya berdasarkan dua faktor, yaitu prioritas dan ekspektasi keuntungan finansial.

Filantropi jelas memiliki tujuan sosial dan lingkungan, menempatkan investasi yang diberikan sebagai hibah sehingga tidak mengharap imbal hasil. Tidak seperti filantropi, investor berdampak memprioritaskan dampak dan keuntungan.

Dengan demikian, investor berdampak mengharapkan keuntungan finansial. Akan tetapi, ada investor yang mengadopsi pendekatan keduanya yang disebut venture philanthropy.

Pendekatan hibrida ini mengambil sisi terbaik dari kedua sisi. Keuntungan yang didapat adalah penciptaan dampak sosial dan ekspektasi keuntungan finansial. Investor dampak menilai peluang dengan cara yang berbeda dari filantropis. “Penting untuk diperhatikan bahwa tidak setiap dampak (yang sering dibahas oleh para filantropis) selalu cocok untuk investasi berdampak dan sebaliknya.”

Cara monetisasi dan tantangan usaha berdampak

Menariknya, saat ini usaha berdampak banyak yang menempatkan diri sebagai startup, alias memanfaatkan pendekatan teknologi untuk menjangkau para target penggunanya, melakukan monetisasi, dan menerima investasi dari pihak ketiga.

Salah satu contohnya adalah Siklus yang fokus mengurangi sampah plastik. Siklus menyediakan pos pengisian isi ulang mobile untuk sampo, deterjen, hingga cairan pembersih lantai. Satu jerigen sampo yang dibawa petugas diklaim mampu menghemat biaya pembuatan sebanyak 2.500 sachet. Konsumen dapat membeli sedikit atau banyak isi ulang dengan harga lebih murah.

Model bisnis yang dimanfaatkan Siklus adalah B2C karena mereka melakukan belanja modal dan membutuhkan sejumlah pesanan per stasiun yang sulit dilakukan jika memakai B2B2C.

“Nilai jual kami adalah bahwa kami lebih murah dan mengirimkan ke rumah konsumen, cocok untuk mereka yang sensitif terhadap harga. Namun, kami juga melihat bahwa ada segmen konsumen yang terus bertumbuh yang peduli dengan keberlanjutan,” terang Founder dan CEO Siklus Jane von Rabenau.

Fokus yang sama, tapi dengan pendekatan yang berbeda, diambil Rekosistem. Mereka fokus pada daur ulang sampah anorganik dengan membuat titik penampungan atau menghampiri konsumen dengan armada logistik yang disediakan dipesan melalui aplikasi.

Setiap sampah anorganik yang diterima akan diproses kembali menjadi material daur ulang, energi, dan material bahan bangunan ramah lingkungan. Sementara sampah organik diolah menggunakan biodigester menjadi pupuk cair dan biogas yang akan diberikan kepada konsumen.

Di sektor lainnya ada nafas yang fokus menyediakan data kualitas udara lewat aplikasi. Kesadaran masyarakat Indonesia terhadap baik buruknya kualitas udara belum menjadi topik umum bagi keseharian banyak orang. Kini selain bermain di bidang aplikasi, nafas merambah produk air purifier berbasis smart home bernama aria. Co-Founder & CEO nafas Nathan Roestandy menerangkan, tantangan terbesar bagi startup seperti nafas, selain meningkatkan awareness di pasar, adalah akses untuk mendapat pabrik berkualitas baik untuk kemudahan proses manufakturnya.

“Manufaktur di Indonesia masih didominasi brand elektronik besar yang mampu setup pabrik besar. Resources [sebesar itu] itu tidak accessible bagi startup. Akan tetapi kami punya pengalaman untuk bangun supply chain buat mengatasi hal tersebut,” kata Nathan.

Produk aria memang secara kasat mata tidak berbeda dengan produk keluaran brand lain. Nathan mengklaim, aria memiliki sensor terhubung dengan nafas untuk monitor kualitas udara di dalam ruangan yang paling aktual. Kelebihan tersebut yang ditawarkan ke pasar.

Soukhasing menambahkan, tantangan usaha berdampak cukup beragam dan tidak bisa dibandingkan secara apple-to-apple dengan jenis usaha lainnya. Ia mencontohkan sektor green energy memiliki karakteristik dan profil pemangku kepentingannya sendiri yang tidak dapat dibandingkan dengan jenis startup lainnya.

Membahas tentang “daya tarik” juga memiliki arti yang berbeda, karena startup energi hijau juga terdiri dari berbagai vertikal — apakah mereka bekerja dengan rumah tangga / pemukiman perkotaan, penduduk pedesaan, atau perusahaan B2B.

“Jadi, kami akan mengatakan bahwa kami tidak dapat mengukur startup energi hijau dengan metrik kesuksesan yang sama yang biasanya kami miliki untuk startup biasa. Sebab ini akan membawa konteks lain untuk masalah yang dihadapi oleh para startup energi hijau, yaitu menemukan investor yang tepat dan sistem pendukung yang memahami sektor mereka dengan baik.”

Sebagian besar investor yang tidak mengenal startup energi hijau mungkin menganggap model bisnisnya adalah modal berat (belanja modal tinggi), membutuhkan jangka waktu yang lebih lama, dan membutuhkan lebih banyak upaya untuk menembus dan mendidik pasar yang lebih akrab dengan solusi yang ada (misalnya energi berbasis fosil). Oleh karena itu, startup memiliki pekerjaan rumah “mengedukasi” pelanggan maupun investor, dengan didukung program atau pelaku ekosistem lainnya.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

The Future of Impact Investment in Indonesia

How many startups and investors in Indonesia are using an environmental, social, and governance (ESG) approach or better known as impact investment in running their business? The answer is indeed limited. There are many factors to cause this. However, the digital economic entities are recently paying attention to this aspect.

In fact, Indonesia is not as mature as developed countries with regulations that “force” more players to make impactful investments. Apart from the current digital ecosystem which is yet to mature, there are a number of factors that hold the rise of impactful investment.

Piotr Jakubowski founded nafas with a focus on raising public awareness of the importance of clean air. Nafas allows an individual or corporation to participate as a sponsor in providing air quality sensors.

What becomes a challenge, says Piotr, is that often environmental impact initiatives such as the one he built through nafas are associated with company’s charity or CSR program. It is yet to be the main objective of an entity.

“The future of this category is clear. Science has confirmed the urgency of a number of environmental issues that can result in the growth of a for-profit business model that will focus on avoiding harm to our planet,” Piotr explained.

Crowde also nurtured the importance of green business. Head of Impact Investment, Afifa Urfani said that the urgency of holding the value of sustainability is not only for the purposes of company branding which is temporary but also for long-term interests.

Afifa takes an example of how Crowde, which focuses on credit in the agricultural sector, also implements reasonable restrictions on the use of chemicals, analyzes the impact of climate change on agriculture, mitigates risks related to climate change, such as the impact of prolonged drought on capital, and the formation of green scoring to assess the capital of a sustainable plan.

“For example, we invest a certain amount of money for a conventional business. Indeed, the income will be large and quite instant, but investing in a sustainable business looks heavy in the future, it can get low maintenance costs afterward,” Afifa said.

From an investor’s point of view, belief in the importance of impact investing can determine the sustainability of a company both resource and financially. This is held what ANGIN believes in.

ANGIN’s Impact Investment Lead, Benedikta Atika, noticed that impact investment growth in Indonesia maybe around 5-10 years behind other countries with more mature markets, however, there’s still some space for impact investment to grow in Indonesia.

In the early stages of private investment, Atika sees that many digital economy players in the country are starting to look at the environmental impact on the business they are in. The growth of the sustainable agricultural sector, waste management, and circular economy represent a positive movement of impactful investment.

“Apart from that, we also observed that several VCs who previously did not pay special attention to environmental impacts are now starting to have exposure, either having a special team related to impact investment or ESG (Environment, Social, and Governance) investment. They even launching a new fund for this approach,” Atika added.

Bagan di laporan ANGIN yang menemukan investasi berdampak di Indonesia makin bergairah setiap tahun.
ANGIN’s report shows that impact investing in Indonesia gets more excited every year.

Overall awareness

Even though it is called impact investment, the awareness of its importance must start from the business players. Crowde and nafas represent this by implementing sustainability values ​​into its business model.

Atika said, aligning perceptions of investment opportunities with the business entity’s mission of sustainability is a challenge. Based on the Investing in Impact in Indonesia 2020 report, there is indeed a gap in the perceptions of the two parties. One is very focused on how big the impact of the solution they can provide, the other prioritizes the scalability of solutions that can reach a wider market in the hope of bringing greater financial benefits.

Atika believes, as long as the business model and strategy to be implemented by startups are sustainable, investors’ trust will follow.

“In fact, commitment to the environment must come from the startup and be embedded in its business model, not as a “mandate” from investors. This commitment will then be reflected in the business strategy and implementation,” Atika said.

Crowde has applied that. They have won the trust of a number of investors. Trusts earned because their entire team has equal awareness of the importance of the impact of their business on the agricultural environment

Crowde is one of the few startups that has compiled an environmental impact report on the business they run. The distribution of knowledge and awareness is not only held by company officials, but also by all employees.

“For example, the approval of a draft budget for farmers’ costs for capital by using certain chemicals that have passed the dose will not reach the CEO’s ears. It takes awareness not only from agents in the field but also from supervisors at HQ,” Afifa added.

Pandemic accelerates process

The market’s flavor can determine investment appetite. Shifts in community behavior will affect business people in sustainable issues. We can take an example of the increasing public enthusiasm for clean energy products which is finally captured by new energy startups. However, it usually takes a long time to shift human behavior into a new habit.

Pandemic accelerates this process. Piotr said public awareness of clean air began to increase rapidly since the Covid-19 outbreak took place. A study from Harvard University showed there was a higher death rate from Covid-19 in areas with more concentrated PM2.5 pollution.

Afifa also sees the same thing in the agricultural sector. When the pandemic hits the global economy, investment in the food sector comes into the spotlight. Increasing productivity has always been the main focus of the food sector, almost without intersect on the sustainable aspect. In fact, Afifa mentioned, there are quite a lot of incentives from the government and the private sector to encourage investment in startups that hold sustainable issues as stated in the SDGs.

“Before the pandemic, investment in the agricultural sector was considered a ‘futuristic’ concept for future generations – which is clearly a misconception. However, with a huge hit during the pandemic, finally, investment in the food sector has become the main focus for economic growth, not just inclusively but massively,” Afifa said.

Growing awareness in the digital economy ecosystem also requires a long-term approach. Atika noticed that people often only rely on financial reports as a reference for operating expenses. Whereas health, welfare, and access can also be counted as non-financial burdens.

These indicators should be used to measure whether their business can contribute better to their environment. In addition, pursuing sustainability values, according to him, can still go hand in hand with the financial targets of a business entity.

“Again, reflecting on the mission and vision of the organization about what approach is the most feasible to do, both in terms of solutions, value chains, and business processes,” Atika said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Masa Depan “Impact Investment” di Indonesia

Ada berapa banyak startup dan investor di Indonesia yang memakai pendekatan lingkungan, social, dan governance (ESG) atau investasi berdampak (impact investment) dalam menjalankan bisnisnya? Jawabannya tentu belum banyak. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Meskipun demikian, belakangan ini keberadaan entitas ekonomi digital yang memerhatikan aspek itu mulai bermunculan.

Tentu keadaan di Indonesia belum sejauh negara-negara maju yang sudah memiliki regulasi yang “memaksa” lebih banyak pemain membuat investasi berdampak. Selain ekosistem digital di sini yang masih di tahap awal, ada sejumlah faktor yang membuat investasi berdampak masih terbatas.

Piotr Jakubowski mendirikan nafas dengan fokus mengangkat kesadaran masyarakat akan pentingnya udara bersih. nafas memungkinkan individu atau korporasi berpartisipasi sebagai sponsor dalam menyediakan sensor kualitas udara.

Yang jadi tantangan, menurut Piotr, adalah seringkali inisiatif berdampak lingkungan seperti yang ia bangun lewat nafas diasosiasikan sebagai program amal atau CSR suatu perusahaan. Belum sebagai tujuan utama suatu entitas.

“Masa depan kategori ini jelas. Sains sudah memastikan gentingnya sejumlah isu lingkungan yang dapat berakibat pada tumbuhnya model bisnis berorientasi profit yang akan fokus pada menghindari kerusakan terhadap planet kita,” jelas Piotr.

Pentingnya bisnis berwawasan lingkungan juga dipelihara Crowde. Head of Impact Investment Afifa Urfani mengungkapkan, urgensi memegang nilai keberlanjutan tak hanya untuk keperluan branding perusahaan yang sifatnya sesaat, tapi juga untuk kepentingan jangka panjang.

Afifa mencontohkan bagaimana Crowde yang fokus pada kredit sektor pertanian turut melakukan pembatasan secara wajar terhadap pemakaian bahan kimia, analisis dampak perubahan iklim terhadap pertanian, mitigasi risiko terkait perubahan iklim seperti dampak kekeringan berkepanjangan terhadap permodalan, hingga pembentukan green scoring untuk menilai suatu permodalan dari rencana yang berkelanjutan.

“Semisal kita investasikan sejumlah uang untuk bisnis konvensional. Memang pendapatannya akan besar dan hampir selalu instan, tapi investasi pada bisnis berkelanjutan terlihat berat di depan justru dapat memperoleh biaya maintenance yang rendah setelahnya,” ungkap Afifa.

Dari sudut pandang investor, kepercayaan akan pentingnya investasi berdampak dapat menentukan keberlanjutan suatu perusahaan secara sumber daya maupun finansial. Kepercayaan ini dipegang oleh ANGIN.

Benedikta Atika, Impact Investment Lead ANGIN, mengakui pertumbuhan investasi berdampak di Indonesia mungkin tertinggal sekitar 5-10 tahun dari negara-negara dengan pasar yang lebih matang. Namun, karena hal itu pula, tampak ruang pertumbuhan bagi investasi berdampak sangat besar di Indonesia.

Di cakupan private investment tahap awal, Atika melihat mulai banyak pelaku ekonomi digital di Tanah Air yang mulai melirik dampak lingkungan terhadap bisnis yang mereka jalani. Tumbuhnya sektor agrikultur berkelanjutan, pengelolaan limbah, ekonomi sirkular, menjadi representasi pergerakan positif investasi berdampak.

“Selain itu, kami juga mengobservasi beberapa VC yang sebelumnya tidak khusus memperhatikan dampak lingkungan, sekarang mulai memiliki exposure antara dengan memiliki team khusus terkait impact investment atau ESG (Environment, Social, and Governance) investment. Bahkan juga launching fund baru untuk pendekatan ini,” imbuh Atika.

Bagan di laporan ANGIN yang menemukan investasi berdampak di Indonesia makin bergairah setiap tahun.
Bagan di laporan ANGIN yang menemukan investasi berdampak di Indonesia makin bergairah setiap tahun.

Kesadaran menyeluruh

Meskipun bernama investasi berdampak, kesadaran pentingnya hal ini justru harus dimulai dari pelaku bisnisnya. Crowde dan nafas mewakili hal tersebut dengan mengimplementasikan nilai-nilai keberlanjutan ke dalam model bisnisnya.

Menurut Atika, menyelaraskan persepsi tentang peluang investasi dengan misi keberlanjutan dari entitas bisnis merupakan tantangan yang mereka hadapi. Berdasarkan laporan Investing in Impact in Indonesia 2020, memang ada jurang perbedaan persepsi kedua belah pihak. Yang satu sangat memfokuskan seberapa besar dampak dari solusi yang mereka bisa berikan, yang satu lagi lebih memprioritaskan skalabilitas solusi yang bisa menyentuh pasar lebih luas dengan harapan membawa keuntungan finansial lebih besar.

Atika meyakini, selama model bisnis dan strategi yang akan diterapkan oleh startup berwawasan berkelanjutan, kepercayaan dari investor akan datang.

“Justru komitmen terhadap lingkungan harus datang dari startup ini sendiri dan embedded di model bisnisnya, bukan sebagai “mandat” dari investor. Komitmen tersebut kemudian akan tercermin dalam strategi bisnis dan implementasinya,” tukas Atika.

Crowde setidaknya sudah mempraktikkan hal itu. Mereka telah mendapat kepercayaan dari sejumlah investor. Kepercayaan itu diperoleh karena seluruh tim mereka memiliki kesadaran yang setara akan pentingnya dampak usaha mereka terhadap lingkungan pertanian.`

Crowde adalah satu dari sedikit startup yang menyusun laporan dampak lingkungan atas bisnis yang mereka jalankan. Distribusi pengetahuan dan kesadaran pun tak hanya dipegang oleh petinggi perusahaan, tapi juga semua karyawan.

“Seperti penyetujuan rancangan anggaran biaya petani untuk permodalan dengan memakai bahan kimia tertentu yang melewati dosis, tidak akan sampai ke telinga CEO. Butuh kesadaran tidak dari agen di lapangan saja, tapi juga supervisor di HQ,” terang Afifa.

Pandemi mempercepat proses

Selera pasar dapat menentukan selera investasi. Pergeseran perilaku masyarakat akan memengaruhi pelaku bisnis dalam isu berkelanjutan. Kita bisa ambil contoh meningkatnya gairah publik atas produk energi bersih yang akhirnya ditangkap oleh startup new energy. Namun biasanya waktu panjang untuk menggeser perilaku manusia hingga menjadi kebiasaan baru.

Pandemi mempercepat proses ini. Piotr bercerita kesadaran publik akan udara bersih mulai meningkat pesat sejak wabah Covid-19 berlangsung. Sebuah studi dari Universitas Harvard menunjukkan terdapat tingkat kematian lebih tinggi akibat Covid-19 di area dengan polusi PM2,5 lebih pekat.

Afifa juga melihat hal serupa di sektor pertanian. Saat pandemi menghantam ekonomi global, investasi pada sektor pangan tampil sebagai sorotan utama. Peningkatan produktivitas selalu menjadi fokus utama sektor pangan tanpa, nyaris tanpa menyinggung aspek berkelanjutan. Padahal, menurut Afifa, ada cukup banyak insentif dari pemerintah maupun swasta yang mendorong investasi pada startup yang memegang isu berkelanjutan seperti tertuang dalam SDGs.

“Sebelum pandemi, investasi pada sektor pertanian dianggap konsep ‘futuristik’ yang diperuntukkan kepada generasi masa depan — yang mana ini jelas sebuah konsepsi yang salah. Namun dengan pukulan keras selama pandemi, akhirnya investasi pada sektor pangan menjadi sorotan utama untuk kenaikan ekonomi bukan hanya secara inklusif tapi secara masif,” lengkap Afifa.

Menumbuhkan kesadaran di ekosistem ekonomi digital pun butuh pendekatan jangka panjang. Atika menilai orang kerap hanya mengandalkan laporan keuangan sebagai acuan beban usaha. Padahal kesehatan, kesejahteraan, dan akses dapat juga bisa dihitung sebagai beban non-keuangan.

Indikator-indikator inilah yang semestinya bisa dipakai untuk mengukur apakah bisnis mereka dapat barkontribusi lebih baik ke lingkungannya. Tak kalah penting, mengejar nilai-nilai keberlanjutan pun menurutnya tetap bisa berjalan beriringan dengan target finansial suatu entitas bisnis.

“Kembali lagi, berefleksi ke misi dan visi organisasi tentang pendekatan apa yang paling feasible untuk dilakukan, baik dari segi solusi, value chain, maupun proses bisnis,” pungkas Atika.