Elevarm Dapat Pendanaan Awal Rp41,7 Miliar dari Insignia, 500 Global, dan Gibran Huzaifah

Elevarm, platform yang mengintegrasikan berbagai layanan dan produk hortikultura, baru-baru ini mengumumkan keberhasilan dalam mendapatkan pendanaan awal sebesar $2,6 juta atau setara Rp41,7 miliar. Pendanaan ini diharapkan dapat meningkatkan produksi bibit dan pupuk organik guna mendukung petani kecil di Indonesia.

Putaran ini sebenarnya sudah mulai bergulir sejak tahun 2022 lalu. Pendanaan yang dipimpin oleh Insignia Ventures Partners dari Singapura ini juga melibatkan partisipasi dari 500 Global dan Gibran Huzaifah, pemimpin startup eFishery.

“Kami berkomitmen untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh petani kecil dengan menyediakan akses yang lebih baik ke bibit dan pupuk berkualitas tinggi,” ujar Co-founder & CEO Elevarm Bayu Syerli Rachmat.

Selain itu, Elevarm juga akan fokus pada pengembangan NextBio, divisi penelitian dan pengembangan yang bertujuan untuk menciptakan produk pertanian organik yang inovatif. Pendanaan ini juga akan dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas produksi dengan pembangunan fasilitas pabrik baru yang dilengkapi dengan teknologi manufaktur canggih.

“Kami menyadari pentingnya solusi hortikultura yang terjangkau dan berbasis teknologi untuk mengatasi berbagai tantangan lokal di setiap tahap perjalanan bertani,” tambah Bayu.

Dengan lebih dari 13,000 mitra pertanian dan 5,000 petani aktif sebagai pelanggan, Elevarm telah mencatat pertumbuhan pendapatan yang signifikan, meningkat tujuh kali lipat dari tahun sebelumnya. Perusahaan ini berharap dapat terus memberikan dampak positif tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh kawasan dengan memperluas jangkauan produk organik dan solusi pertanian berkelanjutan.

Melalui inisiatif ini, Elevarm menunjukkan komitmennya dalam mendukung pertumbuhan berkelanjutan dan meningkatkan kualitas hidup para petani kecil di Indonesia, sejalan dengan visi mereka untuk memajukan industri pertanian melalui inovasi dan teknologi.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

BroilerX Bukukan Pendanaan Pra-Seri A dari Saison Capital, Insignia, Kopital, dan Orvel Ventures

Startup di bidang peternakan ayam BroilerX mendapatkan pendanaan pra-seri A. Menurut data regulator, seperti dikutip dari Alternative.PE, putaran tersebut diikuti Saison Capital, Insignia Ventures Partners, Kopital Ventures, dan Orvel Ventures. Investasi baru ini membawa total pendanaan yang didapat BroilerX mencapai $3,5 juta atau setara 54,4 miliar Rupiah.

Kabar ini dibenarkan oleh salah satu investor yang terlibat dalam kesepakatan ini.

Bermarkas di Yogyakarta, BroilerX didirikan Prastyo Ruandhito (CEO), Jati Pikukuh (CTO), dan Pramudya Rizki Ruandhito (COO) sejak 2022. Sebelumnya mereka juga telah mendapatkan pendanaan awal $1,3 juta dipimpin Insignia Ventures Partners. Dalam debutnya, mereka telah bekerja sama dengan 30+ mitra peternak untuk melayani 1000+ pelanggan.

Terdapat empat layanan utama yang dihadirkan oleh BroilerX. Pertama sistem Smart Farming, menyediakan peralatan berbasis IoT untuk membantu peternak mengontrol dan memonitor kondisi lingkungan kadang lewat aplikasi. Kedua, mereka juga menyediakan layanan ERP terpadu untuk mendigitalkan proses penjualan, persediaan, manufaktur, hingga pengelolaan SDM.

Ketiga, BroilerX turut membuka layanan kemitraan bagi peternak ayam. Para mitra akan dibantu dengan sistem ternak berbasis smart farming dan solusi pendukungnya. Saat ini mitra yang digandeng berada di seputar Yogyakarta, Solo, Magelang, Purwokerto, Tegal, Pati, Madiun, Sidoarjo, Kediri, dan Malang.

Kemudian layanan terakhir, BroilerX juga menyediakan suplai ayam hidup dengan kualitas terjamin berasal dari ayam yang dibudidayakan bersama mitra peternak; juga karkas ayam segar dan beku yang tersertifikasi halal.

Selain itu, menjelang akhir tahun lalu mereka juga mulai menguji coba LayerX dan RabuX. LayerX adalah sebuah program yang bertujuan untuk memberikan dampak sosial kepada peternak ayam. Sementara RabuX adalah dedikasi perusahaan untuk mengembangkan ekosistem berkelanjutan. Komitmen awalnya dengan memproduksi pupuk dari kotoran ayam dan sekam bekas kandang. Program ini telah mendapati pilot project di daerah Gunungkidul, Yogyakarta.

Startup di area peternakan ayam

BroilerX bukan satu-satunya startup lokal yang mencoba mendemokratisasi sistem peternakan ayam dengan sentuhan teknologi. Sejumlah startup juga bermain di area ini, seperti Pitik dan Chickin. Pitik sendiri terakhir telah mendapatkan pendanaan seri A senilai $14 juta yang dipimpin oleh Alpha JWC Ventures. Sementara Chickin juga telah didukung pendanaan awal dari East Ventures.

Komoditas daging ayam sendiri termasuk yang cukup laris di Indonesia. Menurut data OECD-FAO, konsumsi daging ayam di Indonesia mencapai 7,9 kg per kapita pada 2020, diperkirakan akan meningkat menjadi 9,32 kg per kapita pada 2029.

Selain pangsa pasar yang besar, industri ini juga masih memiliki potensi untuk dioptimalkan dengan meminimalkan isu klasik yang terjadi dari hulu hingga hilir, seperti akses ke modal dan input produksi, masalah produksi (seperti inefisiensi pakan, penyakit, kualitas benih dan teknologi budidaya), dan masalah pasca produksi (seperti harga di tingkat petani yang rendah karena rantai pasokan yang panjang).

Para startup tersebut di atas mencoba hadir untuk menyelesaikan isu-isu tersebut dengan pendekatan modern, dimulai dari automasi hingga memperluas jangkauan pasar melalui saluran digital.

Application Information Will Show Up Here

Transformasi Wifkain Menghubungkan Pebisnis Fashion dan Manufaktur, Siap Ekspansi ke Uni Emirat Arab

Berawal sebagai marketplace untuk produk tekstil, kini Wifkain bertransformasi menjadi platform Manufacturing-as-a-Service (MaaS), layanan multifungsi yang memungkinkan pemilik bisnis fashion mendapatkan sumber bahan baku dan semua kebutuhan produksi bisnis secara lebih praktis.

Kepada DailySocial.id, Co-founder dan CEO Wifkain Sara Sofyan menyampaikan rencana Wifkain untuk menambah jumlah brand hingga melakukan ekspansi ke Uni Emirat Arab.

Menjembatani pembeli dan manufaktur

Salah satu industri yang belum tersentuh teknologi, seperti proses dan otomasi, adalah fashion. Rumitnya proses hingga sulitnya pencarian atau discovery yang harus dilakukan oleh pebisnis fashion dari awal hingga akhir, menjadi salah satu alasan Wifkain berdiri.

Pandemi yang sempat mengganggu industri fashion pada dua tahun lalu, menjadi momen tepat bagi Wifkain untuk membantu pembeli dan brand di segmen menengah ke atas hingga UMKM dalam menemukan manufaktur yang relevan untuk melancarkan bisnis mereka. Saat ini, kondisi industri fashion mulai memulih.

Menurut Sara, ada perubahan yang cukup signifikan terjadi saat pandemi. Jika dulu banyak pemain mengandalkan produk impor dari negara lain, seperti Tiongkok, kini mereka mengandalkan tenaga dan tim lokal di dalam ekosistemnya.

“Saat pasar sudah mulai pulih kembali setelah first wave pandemi, kami melihat ini sebagai kesempatan untuk Wifkain. Kami melihat akan banyak lokalisasi manufacturing bukan hanya di Indonesia, tetapi juga negara lainnya,” kata Sara.

Berdiri sejak 2020, Wifkain adalah platform penyedia layanan manufaktur yang dapat memenuhi segala kebutuhan produksi bisnis fashion secara lebih praktis. Memosisikan diri sebagai pionir, Wifkain membidik sebagai platform berbasis teknologi pertama untuk memenuhi kebutuhan rantai pasok (supply chain) tekstil bagi fashion brand di Indonesia.

Layanan MaaS dari Wifkain akan memudahkan pengusaha untuk mendapatkan desain atau pola jahit yang sesuai dengan keinginan, serta mempermudah dan mempercepat proses textile procurement, manufacturing, quality assurance, dan penyediaan logistik.

“Proses supply chain yang terjadi di Indonesia saat ini masih long tail. Semakin downstream, semakin fragmented prosesnya. Wifkain hadir untuk mengotomasi proses tersebut,” kata Sara.

Saat ini, Wifkain memiliki sekitar 200 mitra, terdiri dari 60 pabrik dan sisanya adalah trader, distributor, dan penjahit. Semua mitra telah melalui proses kurasi yang ketat sebelum bergabung ke ekosistem Wifkain. Hal tersebut dilakukan guna memberikan kepastian dan jaminan kepada brand. Strategi monetisasi yang dilancarkan oleh Wifkain adalah langsung kepada mitra mereka.

Ekspansi ke Uni Emirat Arab

Didukung oleh teknologi, Wifkain ingin menghadirkan sebuah fitur yang bisa digunakan oleh pembeli untuk memonitor pembuatan atau proses produk yang mereka pesan. Fitur ini bisa meminimalisasi terjadinya pengiriman yang terlambat dan masalah lainnya.

Untuk mitra, teknologi tersebut diharapakan dapat memonitor kinerja pekerja mereka agar lebih transparan. Praktik ini sebelumnya sudah dilancarkan oleh industri fashion di Tiongkok. Saat ini, khususnya di Indonesia, semua proses tersebut masih banyak dilakukan secara konvensional.

Roadmap perusahaan ke depan adalah menciptakan tech-enabled tracking di garmen untuk menyediakan buyers daily output berupa monitoring process. Dari sisi pabrik, mereka bisa memonitor working flow labour menjadi lebih transparan,” ucap Sara.

Tahun depan perusahaan juga akan melancarkan ekspansi ke Uni Emirat Arab. Masih dalam proses penjajakan, adanya kesamaan iklim hingga besarnya potensi fashion muslim di Indonesia, menjadikan rencana ekspansi tersebut tepat dan relevan.

Sebagai informasi, Wifkain telah mengantongi pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh Insignia Ventures Partners dengan nominal yang dirahasiakan. Sejumlah angel investor terkemuka ikut berpartisipasi pada putaran ini, termasuk CEO Atome Financial Indonesia Wawan Salum.

Bersama dengan Co-founder lainnya, yakni Rudy Setyo Hartono dan Chindera Soewandy, dana segar tersebut kemudian dimanfaatkan oleh Wifkain memperluas jangkauan bisnisnya ke UMKM dan pemilik fashion brand, meningkatkan jumlah merchant, dan membangun tim.

Kemitraan strategis dengan KoinWorks

Untuk memperkuat komitmen, Wifkain menggandeng KoinWorks sebagai mitra strategis untuk menyediakan supply chain financing bagi mitra pabrik dan fashion brand yang menjadi partner dan kliennya.

Masih banyak perbankan hingga institusi finansial yang belum menjangkau para pebisnis fashion dalam melancarkan bisnis mereka. Ini menjadi alasan kuat Wifkain dan KoinWorks untuk memfasilitasi supply chain financing. Solusi ini dilihat sangat tepat untuk membantu pebisnis fashion, bukan hanya dukungan dalam pemenuhan bahan.

“Solusi pendanaan ini memberikan jaminan pembayaran menjadi lebih baik. KoinWorks menjadi mitra yang tepat bagi kami untuk menawarkan pembiayaan kepada para buyer. Dari sisi fund flow, kami pastikan pendanaan ini digunakan untuk working capital sehingga tidak disalahgunakan untuk penggunaan yang tidak tepat,” tuturnya.

Industri fashion tercatat sebagai salah satu industri dengan kontribusi terbesar dalam perekonomian Indonesia. Menurut laporan Euromonitor International, bisnis fashion berkontribusi sebesar 18,01% dari Gross Domestic Product (GDP) di Indonesia dengan CAGR sebesar 9%-10% untuk kategori womenswear, menswear, dan childrenswear. Selain itu, tekstil dan manufacturing menempati peringkat ke-12 di Asia Tenggara dengan pertumbuhan CAGR sebesar 5%.

Melihat besarnya peran industri fashion, Wifkain dan KoinWorks berharap kolaborasi ini dapat mendukung lebih banyak lagi UMKM sehingga dapat mendorong pertumbuhan industri fashion lebih pesat.

FishLog Raih Pendanaan Pra-Seri A 55 Miliar Rupiah

Startup aquatech FishLog mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A sebesar $3,5 juta (lebih dari 55 miliar Rupiah). Sejumlah investor ikut berpartisipasi dalam putaran tersebut, yakni BRI Ventures, Accel, Insignia Ventures Partners, Patamar Capital, Indogen Capital, dan Triputra Agri Group.

FishLog akan memanfaatkan dana segar tersebut untuk memperkuat jaringan rantai dingin perikanan domestik Indonesia melalui ekosistem yang dibangun. Termasuk akses ke pembiayaan dan mitra ekosistem. Kemudian, memperkuat peran FishLog dalam rantai pasokan global sebagai penggerak ekosistem dan mengembangkan keberlanjutan tenaga kerja di industri melalui “FishLog Academy”.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (3/10), Chief Investment Officer BRI Ventures Markus Rahardja menyampaikan, fokus FishLog yang menyeluruh dalam mendigitalkan rantai pasok perikanan menjadi solusi permasalahan cold storage dan menjaga distribusi logistik dari hulu hingga hilir.

Hal tersebut sejalan dengan tugas Badan Logistik Indonesia dalam menjaga stabilitas harga, stok, kualitas hasil perikanan, dan pemerataan distribusi, serta menerapkan sistem penamaan Unit Penyimpanan Stok Nasional dan Internasional (SKU) yang terstandardisasi.

“Kami sangat senang dapat bermitra dengan FishLog dengan peran inovatif yang mereka mainkan di industri perikanan Indonesia dan mendukung mereka untuk terus fokus pada Rantai Pasokan Terintegrasi di Industri Makanan Laut dan memperluas digitalisasi ekosistem FishLog secara global,” jelas Markus.

Sejak 2020, FishLog telah mendorong peningkatan penyimpanan dingin, mengolah, dan mendistribusikan perikanan Indonesia agar mampu memenuhi penawaran dan permintaan global dengan lebih baik.

FishLog mengaktifkan wilayah pesisir perikanan dengan mendirikan FishLog Quality Centers, platform hybrid offline-online yang bekerja dengan mitra cold storage lokal untuk memberikan para pemangku kepentingan lokal termasuk nelayan, agregator, dan pedagang, akses yang lebih besar kepada pembeli dengan mendaftarkan inventaris mereka di pasar FishLog dan mendigitalkan mereka operasi.

FishLog juga memungkinkan bisnis perikanan untuk memaksimalkan operasi hulu hingga hilir melalui empat produknya, penanganan inventaris, pembiayaan, B2B marketplace, dan Digitalisasi Cold Storage.

Sejumlah startup di bidang aquatech tampak mendapatkan perhatian lebih dari investor. Tahun ini saja beberapa pemain telah mendapatkan pendanaan, termasuk eFishery (Rp1,2 triliun), Aruna (Rp431 miliar), hingga Delos (Rp115 miliar).

Pencapaian dan rencana berikutnya

Suasana di FishLog Quality Center / FishLog

CEO & Co-founder FishLog Bayu Anggara mengatakan, meskipun ada potensi bisnis global yang sangat besar untuk sektor perikanan Indonesia, namun hal itu telah lama diganggu oleh inefisiensi dan fragmentasi. Misinya di FishLog adalah membuka potensi penjualan dan memaksimalkan utilitas penyimpanan industri perikanan Indonesia yang terfragmentasi, membangun cara terbaik dan paling terjangkau untuk memastikan keberlanjutan produk dan tenaga kerja di industri.

“Melalui pendanaan ini, kami akan terus membangun cold chain ekosistem enabler dan sistem operasi untuk perikanan di Indonesia. Visi kami adalah agar semua pemangku kepentingan di sektor ini dapat berpartisipasi secara produktif dalam industri ini, bertransaksi dengan aman, dipercaya oleh, dan terintegrasi dengan mulus satu sama lain,” kata Bayu.

Dia melanjutkan untuk mencapai visinya untuk industri perikanan yang lebih kuat di Indonesia, diperlukan banyak talenta yang mumpuni. Untuk itu, FishLog telah meningkatkan perekrutan dan ekspansi timnya. Saat ini, perusahaan memiliki lebih dari 200 karyawan.

Di sisi lain, sebagai bentuk berkontribusi pada pengembangan bakat industri yang berkelanjutan, pihaknya membentuk FishLog Academy. Program ini dibangun untuk mengembangkan dan memiliki standar yang sama dalam industri perikanan ini.

FishLog Academy adalah program intensif untuk menghasilkan talenta terbaik dalam hal ini industri yang menawarkan pendidikan profesional, pengembangan pribadi, dan peluang karier yang terjamin. Fishlog Academy berkomitmen untuk memperkuat keterampilan dan kemampuan talenta masa depan di industri perikanan.

FishLog Academy berfokus pada dua program yang akan menghasilkan talenta muda yang kompeten di bidang Quality Control dan Cold Storage Operations. Mereka akan langsung mendapat teori dan praktek langsung di FishLog Quality Center di seluruh Indonesia.

Selain itu, program lain di FishLog Academy adalah mempersiapkan talenta yang siap bekerja secara profesional, dan yang berkompeten di industri perikanan. Mereka akan diberikan pelajaran tentang Operasi & Manajemen Bisnis.

Ke depannya, perusahaan akan tetap menjadikan Indonesia sebagai pasar utama. Namun tetap membuka potensi perikanan domestik Indonesia di mata panggung global. Saat ini, perusahaan sedang mempersiapkan produk marketplace enabler untuk semua pemangku kepentingan perikanan di Indonesia, merampingkan proses rantai pasokan mereka menjadi lebih efisien dan transparan dengan cara yang lebih berkelanjutan.

“Kami telah membangun model yang kuat dan dapat direplikasi di seluruh Indonesia, kami sekarang berinisiatif untuk berkembang di rantai pasokan global,” tutup Bayu.

Application Information Will Show Up Here

Fazz Raih Pendanaan 1,4 Triliun Rupiah, Seriusi Garap Inovasi Keuangan untuk Bisnis

Fazz, rebrand dari Fazz Financial Group, mengumumkan perolehan dana senilai $100 juta (lebih dari 1,4 triliun Rupiah) dalam putaran seri C. Angka yang dikonfirmasi perusahaan lebih besar dari pemberitaan DailySocial.id sebelumnya sebesar $60 juta.

Perusahaan akan memanfaatkan dana segar ini untuk mengembangkan produk keuangan agar dapat menjangkau seluruh segmen bisnis, mulai dari mikro hingga korporat besar.

Putaran seri C terdiri dari pendanaan ekuitas sebesar $75 juta dan debt sebesar $25 juta. Dalam jajaran pendanaan ekuitas ini didukung oleh jajaran investor Fazz sebelumnya, seperti Tiger Global, DST Investment, B Capital, Insignia Ventures Partners, dan ACE & Company.

Investor lain yang turut berpartisipasi dalam pendanaan ini, meliputi Ilham Ltd (yang berkaitan dengan dana kekayaan negara di wilayah Asia Tenggara), EDBI, InterVest, Michael Seibel (Managing Director Y Combinator) dan Hans Tung (Managing Partner GGV Capital).

Adapun, fasilitas debt yang dikantongi ini diperoleh dari Lendable yang telah ditandatangani perusahaan dalam lembar ketentuan (term sheet) senilai $25 juta.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (14/9), Co-Founder & CEO Fazz Hendra Kwik menyampaikan, dana tambahan ini akan digunakan untuk membangun Fazz, akun bisnis yang memungkinkan usaha dengan berbagai skala – mulai dari usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) hingga perusahaan yang masuk ke dalam daftar Fortune 500 – untuk melakukan pembayaran, penyimpanan, dan memperoleh kredit dengan mudah di Asia Tenggara.

Dengan demikian, ambisi Fazz dalam mengakselerasi transformasi digital di Asia Tenggara dapat segera terealisasi. Untuk mendukung hal tersebut, Fazz akanperluas tim mereka di Singapura, Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Taiwan dari 800 orang lebih menjadi 1.400 orang.

Menurut Hendra, banyak bisnis di Asia Tenggara masih belum memperoleh akses terhadap layanan keuangan sepenuhnya dan beberapa di antaranya sangat terdampak oleh pandemi. Fazz pun masuk untuk membantu mereka pulih dan tumbuh kembali menjadi lebih kuat.

“Kami berinvestasi besar pada teknologi dalam bisnis kami untuk memastikan bahwa segala usaha, mulai dari toko kecil milik keluarga hingga perusahaan besar, dapat mengakses layanan keuangan untuk membangun usaha mereka,” kata dia.

Dia melanjutkan, “Hal penting lainnya adalah kami ingin memberikan manfaat yang sama seperti yang dimiliki perusahaan besar kepada usaha kecil dan pemilik warung. Pendanaan ini memungkinkan kami untuk membangun keunggulan teknologi tersebut bagi pengguna kami.”

Partner Tiger Global Alex Cook turut menyampaikan sambutannya. Dia bilang, Fazz menyediakan perangkat keuangan penting untuk bisnis-bisnis di Asia Tenggara mengingat banyak di antaranya yang belum memperoleh kemudahan akses pembayaran digital, fungsi perbendaharaan, dan pertumbuhan modal.

“Platform Fazz telah diadopsi dengan cepat oleh usaha kecil dan perusahaan besar, dan kami berharap dapat melanjutkan kemitraan kami dengan Fazz,” kata Cook.

Pencapaian Fazz

Hendra melanjutkan, investasi ini diperoleh atas kesuksesan Fazz baru-baru ini. Diklaim perusahaan mencatat rekor volume transaksi tahunan sebesar $10 miliar selama setahun terakhir. Ia pun optimistis dapat melipatgandakan volume transaksinya dalam 12 bulan ke depan.

Fazz terdiri dari Fazz Agen, sebuah aplikasi keuangan berbasis agen yang melayani usaha mikro dan kecil di Indonesia dengan memberikan kemudahan akses untuk pembayaran, pembelian grosir dan permodalan yang merata. Berikutnya, Fazz Business, rebrand dari Xfers, sebuah akun bisnis untuk membantu startup, UMKM dan perusahaan-perusahaan besar yang sedang berkembang.

Fazz Businesss akan bantu bisnis-bisnis dalam membangun, menjalankan dan mengembangkan bisnis mereka di Asia Tenggara dengan menyediakan kemampuan untuk melakukan dan menerima pembayaran, mengembangkan modal, dan memperoleh pendanaan.

Selain Fazz Agen dan Fazz Business, Fazz juga memiliki unit bisnis lainnya, terdiri atas Modal Rakyat – layanan pendanaan Peer-to-Peer dan pinjaman untuk UMKM, dan StraitsX – infrastruktur pembayaran untuk aset digital.

Perubahan dunia bisnis selama pandemi telah memposisikan UMKM pada kerugian yang lebih besar akibat kurangnya akses terhadap modal, teknologi, dan koneksi. Kurangnya akses terhadap perangkat teknologi dan pendanaan bank yang merata merupakan tantangan utama bagi UMKM di Asia Tenggara, dengan kesenjangan pendanaan yang saat ini menyentuh US$300 miliar.

Diharapkan Fazz dapat membantu UMKM lebih mudah mengakses perangkat keuangan yang dapat membantu mereka dalam perampingan proses, memperluas jangkauan mereka, memperbaiki rantai pasokan mereka dan yang paling penting, mendapatkan pendanaan yang mereka butuhkan untuk berkembang.

Application Information Will Show Up Here

Social Commerce Platform Super Secures Over 1 Trillion Rupiah Series C Funding

Super social commerce announced a $70 million (over 1 trillion Rupiah) series C funding round led by New Enterprise Associates (NEA), a Silicon Valley-based VC. Also participating in this round, Insignia Ventures Partners, SoftBank Ventures Asia, DST Global Partners, Amasia, B Capital, and TNB Aura.

In fact, a number of angle investors were also involved, including Stephen Pagliuca (Chairman of Bain Capital), Eric Feng (former General Partner of Kleiner Perkins and Gold House), and Moses Lo (Xendit’s CEO).

It is said that they have reached $106 million (over 1.5 trillion Rupiah) in total funding since its debut. Also, this is the highest figure for the social commerce vertical in Indonesia. The latest round was announced after a year of Super’s $28 million Series B funding led by SoftBank Ventures Asia.

In an official statement today (2/6), Super’s Co-founder and CEO, Steven Wongsoredjo said the company will use the additional capital to continue its mission of equal access for people in Kalimantan, Bali, West Nusa Tenggara, East Nusa Tenggara, Maluku, and Papua in the next few years.

One way is to focus on regional expansion for multinational and local FMCG suppliers in rural areas. In the meantime, empowering more community leaders to optimize their income to have a better quality of life.

“The two and third tier cities have 3-5 times lower GDP per capita than Jakarta. However, the cost of consumer goods is higher by 20-200%. In fact, more than 30% of Indonesia’s GDP comes from East Java, Kalimantan and East Indonesia. Super is targeting a huge untapped market,” Steven said.

NEA’s partner, Andrew Schoen added, “We are thrilled to be able to support the entire Super team. The company is positioned to improve the lives of the 260 million Indonesians living outside the Indonesian capital. Super will continue to improve access to basic goods, create meaningful and rewarding jobs, and streamline supply chains for tier-2, tier-3, and Indonesian rural areas.”

Future plans

Super’s Head of Strategy and Business Development, Gisella Tjoanda said, in its fourth year, Super gets the meaning of data collection and analysis as one of the keys to success in launching new SKUs. Therefore, they will expand the engineer team to improve the warehouse management system.

“By applying machine learning, we can help Super make better use of data to expand its SKUs in the future,” she said.

Currently, Super has successfully launched two private-label brands to realize product-market fit. The company is to reinvest some of the fresh money to develop additional private-label FMCG brands in the next few years. In addition, launching cosmetic products due to the increasing market demand for this segment throughout Indonesia.

In order to accomplish its mission of being a sustainable company, Super will launch a feature for community agents to track end consumer transactions to help community agents offer better-designed experiences for end customers.

Super was founded in 2018, offering differentiation that utilizes a hyperlocal logistics platform to deliver consumer goods to thousands of agents within 24 hours of ordering. Super partners with thousands of community agents such as individuals and stalls to collect and distribute millions of dollars worth of goods to their communities each month.

It is said that Super is currently available in 30 cities in East Java and South Sulawesi, primarily targeting areas with $5,000 or lower GDP per capita.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform Social Commerce “Super” Raih Pendanaan Seri C Lebih dari 1 Triliun Rupiah

Startup social commerce Super mengumumkan perolehan pendanaan seri C sebesar $70 juta (lebih dari 1 triliun Rupiah) yang dipimpin New Enterprise Associates (NEA), VC berbasis di Silicon Valley. Jajaran investor lain yang turut berpartisipasi meliputi Insignia Ventures Partners, SoftBank Ventures Asia, DST Global Partners, Amasia, B Capital, dan TNB Aura.

Selanjutnya, sejumlah angle investor juga turut terlibat, di antaranya Stephen Pagliuca (Chairman Bain Capital), Eric Feng (eks-General Partner Kleiner Perkins dan Gold House), dan Moses Lo (CEO Xendit).

Disebutkan, total perolehan dana yang berhasil raih Super hingga kini mencapai $106 juta (lebih dari 1,5 triliun Rupiah) sejak pertama kali berdiri. Diklaim angka ini tertinggi untuk vertikal social commerce di Indonesia. Putaran teranyar ini didapat selang setahun lebih pasca Super mengantongi pendanaan Seri B sebesar $28 juta yang dipimpin oleh SoftBank Ventures Asia.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (2/6), Co-founder dan CEO Super Steven Wongsoredjo menuturkan, dana segar ini akan dimanfaatkan perusahaan untuk melanjutkan misinya pada pemerataan akses bagi masyarakat di Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua dalam beberapa tahun ke depan.

Salah satunya caranya, yakni berfokus pada perluasan wilayah bagi para pemasok FMCG multinasional dan lokal di daerah pedesaan. Sekaligus, memberdayakan lebih banyak pemimpin masyarakat untuk mengoptimalkan pendapatan mereka agar memiliki kualitas hidup yang lebih baik.

“PDB per kapita di kota-kota tingkat dua dan tiga itu lebih rendah hingga 3-5x dari Jakarta. Namun, biaya barang-barang konsumsi lebih tinggi sebesar 20-200%. Padahal, lebih dari 30% PDB Indonesia berasal dari Jawa Timur, Kalimantan, dan Indonesia Timur. Super mengejar pasar besar yang belum dimanfaatkan,” kata Steven.

Partner NEA Andrew Schoen menambahkan, “Kami sangat senang dapat mendukung seluruh tim Super. Super diposisikan untuk meningkatkan kehidupan 260 juta orang Indonesia yang tinggal di luar ibu kota Indonesia. Super akan terus meningkatkan akses ke barang-barang dasar, menciptakan pekerjaan yang berarti dan bermanfaat, dan merampingkan rantai pasokan untuk wilayah tingkat-2, tingkat-3, dan pedesaan di Indonesia.”

Rencana berikutnya Super

Head of Strategy and Business Development Super Gisella Tjoanda menuturkan, di tahun keempatnya, Super memahami pentingnya pengumpulan dan analisis data sebagai salah satu kunci sukses dalam meluncurkan SKU baru. Oleh karena itu, pihaknya akan memperluas tim engineer untuk meningkatkan sistem manajemen gudang.

“Dengan menerapkan machine learning, dapat membantu Super memanfaatkan data dengan lebih baik untuk memperluas SKU-nya di masa mendatang,” kata dia.

Saat ini, Super berhasil meluncurkan dua merek private-label untuk merealisasikan product-market fit. Perusahaan akan kembali berinvestasi sebagian dari modal baru mereka untuk mengembangkan merek private-label FMCG tambahan dalam beberapa tahun ke depan. Selain itu, meluncurkan produk kosmetik karena melihat dari keinginan pasar yang meningkat untuk segmen ini di seluruh Indonesia.

Untuk melanjutkan misinya menjadi perusahaan berkelanjutan, Super akan meluncurkan fitur bagi agen komunitas untuk melacak transaksi konsumen akhir guna membantu agen komunitas menawarkan pengalaman yang dirancang lebih baik bagi pelanggan akhir.

Super dirintis sejak 2018, membawa diferensiasi yang memanfaatkan platform logistik hyperlocal untuk mengirimkan barang-barang konsumen ke ribuan agen dalam waktu 24 jam dari waktu pemesanan. Super bermitra dengan ribuan agen komunitas seperti individu dan warung untuk mengumpulkan dan mendistribusikan barang bernilai jutaan dolar AS ke komunitas mereka setiap bulan.

Diklaim, saat ini Super beroperasi di 30 kota di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, terutama menargetkan daerah yang memiliki PDB per kapita $5.000 atau lebih rendah.

Application Information Will Show Up Here

Pinhome Dikabarkan Kantongi Pendanaan Seri B 719 Miliar Rupiah

Platform proptech Pinhome dikabarkan telah mengantongi pendanaan seri B senilai $50 juta atau setara 719 miliar Rupiah. Dari data yang disetorkan ke regulator, beberapa investor yang terlibat meliputi Goodwater Capital, Intudo Ventures, Ribbit Capital, Eurazeo Smart City, Insignia Ventures Partners, Watiga Trust, Global Founders Capital, dan sejumlah lainnya.

DailySocial.id mencoba untuk mendapatkan konfirmasi dari pihak terkait, namun mereka enggan untuk menjelaskan lebih lanjut terkait dengan pendanaan ini. Menurut juru bicara Pinhome yang diwakilkan oleh Head of Marketing & PR Pinhome Dani, mereka belum dapat memberikan komentar apapun terkait dengan pendanaan maupun investor.

“Fokus Pinhome saat ini untuk meningkatkan layanan serta pengalaman konsumen saat melakukan transaksi properti maupun layanan rumah tangga, sehingga dapat meningkatkan new user serta monthly active user di aplikasi dan situs kami.”

Tahun 2021 lalu Pinhome telah mendapatkan pendanaan seri A yang dipimpin oleh Ribbit Capital dengan nilai investasi sebesar $25,5 juta atau setara 369,3 miliar Rupiah. Beberapa investor lain juga turut andil dalam pendanaan Pinhome, di antaranya Goodwater Capital, Insignia Ventures Partners, dan Global Founder Capital selaku unit investasi milik Rocket Internet.

Sebelumnya Pinhome juga telah melakukan penggalangan dana awal. Investor yang terlibat di antaranya adalah Insignia Ventures dan Global Founders Capital. Dari keseluruhan pendanaan yang berhasil dibukukan, diperkirakan valuasi Pinhome saat ini sudah mencapai $225 juta dan masuk ke jajaran Centaur.

Didirikan oleh CEO Dayu Dara Permata dan CTO Ahmed Aljunied sejak tahun 2020, Pinhome hadir dengan tujuan memfasilitasi transaksi properti agar lebih mudah, cepat, dan transparan dengan bantuan teknologi.

Dalam sebuah kesempatan wawancara Dara menjelaskan, “Pinhome sangat berbeda, kami adalah sebuah platform online yang memfasilitasi interaksi antara pemilik, pembeli, dan agen properti. Sebagai pemilik properti akan sangat dimudahkan karena ke depannya kami akan memiliki akses ke ratusan ribu agen yang siap membantu memasarkan propertinya.”

Dilengkapi fitur unggulan

Sempat melakukan integrasi dengan Gojek, saat ini Pinhome mengklaim telah dibekali dengan sederet keunggulan, salah satunya panduan membeli properti. Pengguna akan dipandu dalam menentukan budget dan properti ideal, opsi pembayaran, mengontak agen, melakukan kunjungan properti, menentukan estimasi harga, panduan KPR, memulai transaksi, menyiapkan dokumen penting, hingga proses serah terima semua dalam satu aplikasi.

Menurut survei internal Pinhome, KPR masih menjadi primadona generasi muda dalam membeli rumah idaman. Sebanyak 78% memiliki metode KPR bank, 12% memilih metode uang tunai (cash keras, cash bertahap), dan 9% menggunakan KPR multifinance. Saking pentingnya program KPR bagi pemilik rumah, Pinhome juga membuka kesempatan untuk KPR refinancing.

Saat ini, Pinhome telah bermitra dengan 50 lembaga keuangan, mulai dari bank dan multifinance yang dapat dipilih konsumen.

Application Information Will Show Up Here

Wifkain Bags Seed Funding Led by Insignia Ventures [UPDATED]

Textile supply chain platform, Wifkain, announced seed funding led by Insignia Ventures Partners with an undisclosed amount. A number of prominent angel investors participated in this round, including the Atome Financial Indonesia‘s CEO, Wawan Salum.

The company positioned itself as a pioneer, Wifkain aspires to be the first technology-based platform to meet the needs of the textile supply chain for fashion brands in Indonesia. Through this funding, Wifkain intends to expand its business reach to SMEs and fashion brand owners, increase the number of merchants, and build a team.

On the general note, Wifkain was founded by former banker and fashion entrepreneur Sara Sofyan (CEO), D2C brand entrepreneur Chindera Soewandy, and former Bukalapak’s executives Rudy Setyo Hartono (CTO) in 2020.

The Co-founder & CEO, Sara Sofyan said many brands had difficulty finding manufacturing partners due to several factors. In that case, Wifkain provides Manufacturing-as-a-Service (MaaS) services by cooperating with various manufacturers in various specialties, capacities, and locations in Indonesia.

“The platform we built connects sellers and buyers directly, simplify the long supply chain by cutting out intermediaries, the transaction process is cheaper, faster, and low risk,” Sara said in her official statement.

Meanwhile, Yinglan Tan, Founding Managing Partner of Insignia Ventures Partners, said that e-commerce and social media make fashion available quickly and easily accessible online. However, the upstream supply chain in Indonesia will remain disconnected and fragmented.

“Thus, Sara and the team at Wifkain are in a strong position to digitize the entire supply chain in the textile industry. They have made significant early-stage progress since launching the platform. We are delighted to be their partner on this journey,” he said.

Challenges and target

Sara views the Indonesian textile industry ecosystem from upstream to downstream has not been fully digitized. The process chain is very long, complex, and not transparent as it involves many intermediaries.

Manufacturing companies also have no integrated system for buyers, limiting their opportunities to increase sales. The ordering process can take up to several days. The level of non-fulfillment (unfulfillment rate) of sales can reach 30-50 percent. This situation forces fashion business people and brand owners through a multi-layered chain of processes.

In addition, traditional textile traders who sell offline have limitations in the choice of products which are relatively expensive, the ordering system is not integrated, and there is no product guarantee.

In fact, Indonesia is one of the largest textile markets and manufacturing centers in the world. Its market value is around 40% of the total global fashion industry market of $55 billion according to the Euromonitor report in 2018. The value is projected to grow at 5% CAGR in 2022.

Wifkain seeks to digitize the supply chain, especially for long-tail merchants in the MSME segment, aka merchants with search volumes and relatively low levels of competition. Through the solutions built, Wifkain wants to increase connectivity, transparency and efficiency for the textile industry supply chain

In order to meet supply chain needs in Indonesia, Wifkain will develop order management and inventory management that will allow order confirmation within a few hours, reduce order non-fulfillment rates to less than 5%, increase production process transparency, and provide analytical data such as demand predictions to suppliers.

Since its commercial service in 2020, Wifkain recorded an 11-fold growth in GMV (YoY) and pocketed 150 merchants (textile and factory traders) on the island of Java. The company claims to be able to complete the sourcing process in one day, faster than the standard which generally takes up to three weeks. It guarantees that there is an efficiency of purchasing costs of up to 50%.

On a separate session with DailySocial, Sara revealed that it is not easy to digitize merchants or textile suppliers with long history of conventional operation. One of the obstacles is shown from the development of technology on the platform to accommodate merchant needs.

“[The development of] technology [for the textile market] does not have many benchmarks in the market, therefore, we have to [do] testing properly according to the needs of merchants,” Sara added.

Although the textile marketplace is relatively new to the Indonesian market, Sara admitted that Wifkain’s business measurement metrics remain the same as the e-commerce model in general, such as Monthly Active User (MAU), Lifetime Value (LTV), and retention rate.

To date, Wifkain merchants are only available in the Java and Bali areas, however, the scope of buyers has reached various locations throughout Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Wifkain Peroleh Pendanaan Awal Dipimpin Insignia Ventures [UPDATED]

Platform supply chain tekstil Wifkain mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal (seed) yang dipimpin oleh Insignia Ventures Partners dengan nominal yang dirahasiakan. Sejumlah angel investor terkemuka ikut berpartisipasi pada putaran ini, termasuk CEO Atome Financial Indonesia Wawan Salum.

Memposisikan diri sebagai pionir, Wifkain berkeinginan untuk menjadi platform berbasis teknologi pertama untuk memenuhi kebutuhan rantai pasokan (supply chain) tekstil bagi fashion brand di Indonesia. Lewat pendanaan ini, Wifkain ingin memperluas jangkauan bisnisnya ke UKM dan pemilik fashion brand, meningkatkan jumlah merchant, dan membangun tim.

Sebagai informasi, Wifkain didirikan oleh mantan bankir dan pengusaha fashion Sara Sofyan (CEO), pengusaha brand D2C Chindera Soewandy, dan eks Bukalapak Rudy Setyo Hartono (CTO) di 2020.

Co-founder & CEO Sara Sofyan mengatakan banyak brand kesulitan mencari mitra manufaktur karena sejumlah faktor. Untuk itu, Wifkain menghadirkan layanan Manufacturing-as-a-Service (MaaS) dengan menggandeng berbagai macam pabrikan di berbagai spesialisasi, kapasitas, dan lokasi di Indonesia.

“Platform yang kami bangun menghubungkan penjual dan pembeli langsung, memotong supply chain yang panjang dengan memangkas perantara, proses transaksi lebih murah, cepat, dan rendah risiko,” ujar Sara dalam keterangan resminya.

Sementara itu, Founding Managing Partner Insignia Ventures Partners Yinglan Tan mengatakan e-commerce dan media sosial membuat fashion dapat tersedia dengan cepat dan mudah diakses secara online. Namun, supply chain hulu di Indonesia akan tetap terputus dan terfragmentasi.

“Maka itu, Sara dan tim di Wifkain memiliki posisi kuat untuk mendigitalkan seluruh rantai pasokan di industri tekstil. Mereka telah membuat kemajuan tahap awal yang signifikan sejak meluncurkan platformnya. Kami senang dapat menjadi partner mereka dalam perjalanan ini,” ujarnya.

Tantangan dan target

Sara melihat ekosistem industri tekstil Indonesia dari hulu ke hilir belum sepenuhnya terdigitalisasi. Rantai prosesnya sangat panjang, kompleks, dan tidak transparan karena melibatkan banyak perantara.

Perusahaan manufaktur juga tidak punya sistem terintegrasi kepada pembeli sehingga membatasi peluang mereka meningkatkan penjualan. Proses pemesanan memakan waktu hingga beberapa hari. Tercatat tingkat ketidakterpenuhan (unfulfillment rate) penjualan bisa mencapai 30-50 persen. Situasi ini memaksa pelaku bisnis fashion dan pemilik brand melalui rantai proses yang berlapis.

Selain itu, pedagang tekstil tradisional yang berjualan secara offline memiliki keterbatasan pada pilihan produk yang harganya relatif mahal, sistem pemesanannya tidak terintegrasi, dan tidak ada jaminan produk.

Padahal Indonesia merupakan salah satu pasar tekstil dan pusat manufaktur terbesar di dunia. Nilai pasarnya berkisar 40% dari total pasar industri fashion global $55 miliar mengacu laporan Euromonitor di 2018. Nilai tersebut diproyeksi tumbuh 5% CAGR di 2022.

Wifkain berupaya mendigitalkan rantai pasokan, terutama bagi long-tail merchant di segmen UMKM alias merchant dengan volume pencarian dan tingkat persaingan yang relatif rendah. Melalui solusi yang dibangun, Wifkain ingin meningkatkan keterhubungan, transparansi, dan efisiensi bagi rantai pasokan industri tekstil

Untuk memenuhi kebutuhan rantai pasok di Indonesia, Wifkain akan mengembangkan order management dan inventory management yang memungkinkan konfirmasi pesanan dalam waktu beberapa jam, menurunkan tingkat ketidakterpenuhan pesanan kurang dari 5%, meningkatkan transparansi proses produksi, dan menyediakan data analisis seperti prediksi permintaan ke pemasok.

Sejak layanannya komersial di 2020, Wifkain mencatat pertumbuhan GMV sebesar 11 kali lipat (YoY) dan mengantongi 150 merchant (pedagang tekstil dan pabrik) di pulau Jawa. Wifkain mengklaim dapat menyelesaikan memproses sourcing dalam satu hari, lebih cepat dibanding standar yang umumnya memakan waktu sampai tiga minggu. Pihaknya menjamin ada efisiensi biaya pembelian hingga 50%.

Dihubungi DailySocial secara terpisah, Sara mengungkap tidak mudah untuk mendigitalisasi merchant atau supplier tekstil yang selama ini beroperasi secara konvensional. Salah satu kendalanya terlihat dari pengembangan teknologi di platform untuk mengakomodasi kebutuhan merchant.

“[Pengembangan] teknologi [untuk pasar tekstil] tidak banyak benchmark-nya di pasar sehingga kami harus [melakukan] testing dengan benar sesuai dengan kebutuhan merchant,” tutur Sara.

Meski marketplace tekstil terbilang baru untuk pasar Indonesia, Sara mengaku metrik pengukuran bisnis Wifkain tetap sama dengan model e-commerce pada umumnya, seperti Monthly Active User (MAU), Lifetime Value (LTV), dan retention rate.

Adapun, saat ini merchant Wifkain baru ada di area Jawa dan Bali, tetapi cakupannya pembelinya sudah menjangkau berbagai lokasi di seluruh Indonesia.

**
Ikuti kuis dan challenge #NgabubureaDS di Instagram @dailysocial.id selama bulan Ramadan, yang akan bagi-bagi hadiah setiap minggunya berupa takjil, hampers hingga langganan konten premium DailySocial.id secara GRATIS. Simak info selengkapnya di sini dan pantau kuis mingguan kami di sini.