Sains sebagai Akar Inovasi, Cerita DELOS Dorong Petambak Udang Berdaya Saing

Perjuangan untuk digitalisasi di industri akuakultur terus digalakkan oleh banyak pihak. Di tengah potensinya yang menggiurkan, menurut Food and Agriculture Organization, Indonesia menempati peringkat ke-2 dari 10 negara peringkat teratas produksi akuakultur, namun banyak proses hulu hingga hilir yang dilakukan secara manual. Kendala tersebut memengaruhi berjalannya proses produksi budidaya di negara ini.

Guntur Mallarangeng, Bobby Indra Gunawan, Alexander Farthing, dan Aristya Noerhadi, dengan latar belakang dari multidisiplin, mencakup akuakultur, ilmu kelautan dan mikrobiologi, serta teknologi dan kewirausahaan; memutuskan untuk menyelesaikan tantangan tersebut. Kemudian DELOS pun lahir pada November 2021. DELOS memperkenal misi “Revolusi Biru”, yakni sebuah cara untuk mengembangkan dan memodernisasi teknologi akuakultur Indonesia agar mampu bersaing dengan pemain sejenis di skala global.

DELOS fokus pada budidaya udang karena merupakan komoditas laut di Indonesia yang paling besar dan berharga. Berdasarkan data yang dikutip DELOS, pertambakan udang adalah industri yang besar tapi tidak optimal. Nilai ekspornya di Indonesia saat ini berada di kisaran $2-2,5 miliar, seharusnya angka tersebut bisa menjadi setidaknya $4-5 miliar per tahun karena Indonesia memiliki garis pantai, iklim, dan masyarakat yang sulit dikalahkan.

“Kenapa industri budidaya maritim Indonesia yang besarnya miliaran USD per tahun, tetap ketinggalan dibandingkan negara lain? Jawaban dari pertanyaan ini menarik, karena jawabannya sama-sama sederhana dan rumit. Sederhananya, tidak banyak petambak yang memiliki kemampuan finansial untuk investasi di bidang teknologi budidaya atau pengertian teknis tentang teknologi budidaya, sehingga akhirnya ketinggalan dengan petambak-petambak di negara lain,” ucap Guntur kepada DailySocial.id.

Ia melanjutkan, jawaban lebih rumitnya ini berkaitan dengan masalah sistemik. Bila dilihat secara makro, masalah-masalah ini berasal dari kurangnya perkembangan dan aplikasi sains pertambakan di Indonesia; kurangnya inklusi finansial di industri pertambakan; kurangnya adopsi teknologi terkini di industri pertambakan; dan kurangnya tenaga-tenaga ahli dan keahlian yang berkembang di industri pertambakan.

“Gabungan dari keempat poin di atas merupakan faktor-faktor yang memengaruhi kurangnya kemajuan industri pertambakan kita. Kurangnya inklusi finansial dari institusi finansial negeri kita berkontribusi kepada seretnya investasi yang bisa diperoleh industri pertambakan, sehingga membuat harga inovasi, bahkan investasi berkepanjangan, tak terjangkau,” sambungnya.

Guntur bilang, “Kurangnya investasi ini membuat pelatihan dan perkembangan tenaga ahli sangat lambat, bahkan tidak mencukupi untuk target perkembangan industri. Kurangnya tenaga ahli dan investasi membuat riset, perkembangan dan aplikasi sains, dan adopsi teknologi menjadi sulit untuk dipercepat.”

Sumber: DELOS

Solusi DELOS

Guntur menjelaskan, sains adalah akar dari industri akuakultur ini karena memiliki proses yang panjang untuk membuat penemuan baru dan menjadikan penemuan-penemuan itu menjadi sesuatu yang bisa diterapkan di lapangan. Dalam menjalani proses tersebut, DELOS mengangkat perspektif yang sedikit berbeda dalam memperkenalkan teknologi kepada petani udang.

“Kita anggap sebuah tambak bagaikan sebuah komputer, maka kita bisa lihat bahwa tambak akan membutuhkan hardware dan software. Selain itu, tambak membutuhkan update sehingga teknologi yang ada sekarang bisa menjadi lebih baik lagi. Teknologi peningkatan produktivitas DELOS dinamakan Aquahero, produk yang tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan dan daya saing petambak Indonesia.”

Aquahero ini ditenagai dengan algoritma prediktif yang dinamai PrawnHub Engine (PH Engine). Mesin tersebut sedang diprogram agar dapat gunakan ratusan hingga ribuan hektar tambak yang telah dikelola perusahaan sebagai dataset. Dataset akan dicerna oleh mesin sehingga DELOS bisa memberikan rekomendasi operasional kepada petambak.

“Selebihnya, kami juga menginstalasikan SOP yang sudah kami riset ke tambak-tambak mitra kami, sehingga mereka bisa menggunakan SOP yang terbaru dan terbarukan, yang sudah terbukti meningkatkan produktivitas. Ini semua didampingi oleh tim DELOS ahli, full-time, untuk mengawasi dan membimbing tambak-tambak mitra kami.”

Sementara itu, dari sisi perangkat kerasnya, ada beberapa poin instalasi infrastruktur yang sudah ada dan harus diinstalasikan. Contohnya, IoT seperti auto-feeder, sanitasi air, pengolahan limbah, dan laboratorium agar kualitas air tetap terjaga. DELOS juga terus melakukan pembaruan di teknologi tersebut dengan riset agar harga capex bisa ditekan dan harga lebih terjangkau.

“Kami sudah mulai riset tentang genetika udang dan penyakit udang (virus dan bakteri) sehingga bisa mulai membuat proses dan alat uji penyakit lebih cepat dan murah, agar dapat menjangkau semua petambak di Indonesia. Kami juga sedang bekerja sama dengan institusi finansial untuk membuat akses finansial lebih mudah untuk mitra-mitra tambak kami.”

Selain produktivitas, DELOS juga turut mengatasi rantai pasok yang terintegrasi ke pasar luar negeri dan akses keuangan masih menjadi masalah mendasar bagi industri akuakultur Indonesia. Lewat solusi AquaLink, memungkinkan petambak udang dengan pemasok untuk memfasilitasi penjualan hasil panen dengan harga dan sistem pembayaran yang terbaik.

Tantangan selanjutnya yang akan dijawab oleh DELOS adalah akses finansial dan kesulitan permodalan yang dialami banyak petambak independen. Lantaran, banyak petambak terpaksa menggunakan uang dari kantong mereka sendiri sebagai modal usaha. Ini merupakan hambatan besar karena banyak petambak yang tidak memiliki rencana cadangan jika tambak udang mereka tidak menghasilkan keuntungan.

Melalui AquaBank, DELOS menghadirkan layanan pendanaan yang dilengkapi dengan penilaian risiko dan kebutuhan yang unik untuk setiap tambak dan pemiliknya. Dengan demikian, petambak dapat terbantu mencapai kesuksesan.

Guntur melanjutkan, masing-masing produk dan jasa memiliki strategi go-to-market (GTM) dan timeline yang berbeda-beda. Semuanya ini kembali berakar pada sains. Sains memiliki proses yang panjang untuk membuat penemuan baru dan menjadikan penemuan-penemuan itu menjadi sesuatu yang bisa diterapkan lapangan.

Ia pun meyakini lewat kerja sama dengan banyak petambak dan laboratorium di seluruh Indonesia, DELOS optimistis solusinya yang sedang dalam uji riset dapat diaplikasikan dalam satu hingga dua tahun mendatang, terutama yang sifatnya berbasis SOP dan membutuhkan dataset yang besar.

“Untuk hal-hal yang bersifat genetik, mungkin akan membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama. Namun, kami percaya bahwa terobosan-terobosan ilmiah ini harus dikerjakan dan diterapkan, agar Indonesia bisa menjadi pemimpin dunia dalam budidaya maritim.”

Sumber: DELOS

Rencana berikutnya

Di samping bisnis, DELOS juga menaruh perhatian besar bagi pengembangan sumber daya manusia dalam industri akuakultur. Pihaknya akan mendirikan DELOS Maritime Institute (DMI) di Yogyakarta sebagai pusat pelatihan dengan kurikulum kelas dunia dan praktik lapangan, untuk menciptakan generasi baru siap kerja di bidang akuakultur sebagai manajer tambak, teknisi, asisten laboratorium, maupun petugas lapangan.

Selain itu, DMI juga akan menjadi pusat penelitian ilmiah dan teknologi di bidang akuakultur, di antaranya pendeteksian dini dan pencegahan penyakit hewan ternak serta inovasi infrastruktur tambak. “Proses edukasinya cukup panjang, tetapi memang kami siapkan tim untuk mengurus masing-masing mitra petambak. Kami ibaratkan tambak seperti sekolah dan lab besar, sehingga proses pembelajaran tidak pernah berhenti.”

Diklaim, sejak pertama kali beroperasi hingga kini, DELOS on track untuk menjalankan pendampingan 100 hektare tambak udang intensif dan super-intensif dalam waktu dekat. Permintaan dari berbagai wilayah untuk disambangi DELOS turut membludak.

“Lebih dari 600 hektar tambak yang masih menunggu sentuhan DELOS. Kami memang ingin mendorong Indonesia untuk sadar bahwa lautan kita yang luas memiliki potensi besar untuk menjadi sumber penggerak ekonomi nasional yang besar dan berkelanjutan.”

Dalam menjalankan bisnisnya, Guntur mengaku bahwa DELOS memiliki falsafah bisnis yang cukup sederhana: value creation dan value capture. Untuk create value, atau menciptakan nilai tambah, di industri pertambakan dengan cara meningkatkan hasil produksi industri secara menyeluruh.

Selebihnya, pihaknya akan mulai mencari untung ketika industri sudah merasakan dampak positif operasional dan kontribusi DELOS. Semua solusi yang ditawarkan sifatnya kolaboratif. “Semua tambak-tambak kami bermitra dengan kami, entah itu solusi peningkatan produktivitas, solusi supply chain, atau solusi financing. Yang kami berusaha untuk bangun adalah kepercayaan dan hubungan kerja jangka panjang.”

Bagaimana FisTx Selesaikan Masalah Inti Tambak Udang Lewat Teknologi

Bukan rahasia umum kalau industri akuakultur di Indonesia penuh dengan isu klasik, sehingga menjadikannya tidak seseksi industri riil dan nonriil lainnya. Kendala tersebut memengaruhi berjalannya kegiatan akuakultur di negara ini. Padahal, menurut Food and Agriculture Organization, Indonesia menempati peringkat ke-2 dari 10 negara peringkat teratas produksi akuakultur.

Meski masuk posisi atas, akan tetapi jumlah total produksi akuakultur negara ini sangat jauh berbeda dengan Tiongkok. Pada 2019, produksi ikan budidaya di Tiongkok sebesar 68,42 juta ton per tahun, sementara Indonesia 15,89 juta ton. Padahal, panjang garis pantai Tiongkok yang bisa dimanfaatkan untuk budidaya hanya 14.500 km, sementara Indonesia 99.083 km.

Kiwi Aliwarga dan Rico Wibisono, dengan latar belakang yang mendalam di dunia akuakultur mencoba untuk menyelesaikan isu klasik ini dengan mendirikan FisTx (dibaca Fistek) di Yogyakarta pada 2019. Kiwi sendiri merupakan pengusaha diaspora yang sukses membangun bisnis di Myanmar. Di kancah startup, Kiwi membangun UMG Idealab yang merupakan lengan investasi dari UMG Myanmar. Portofolionya tersebar di regional, tidak hanya di Indonesia saja, mulai dari Aruna, Crowde, Botika, Prosehat, Perawatku, Arutala, dan lainnya.

Sementara itu, Rico Wibisono punya ketertarikan di dunia perikanan sejak kecil hingga akhirnya melanjutkan di bangku kuliah. Kemudian, terjun ke industri ini dengan bekerja untuk berbagai perusahaan di CP Prima, Manggalindo, dan beberapa proyek di luar Indonesia, yakni di Vietnam, Brazil, Arab Saudi, dan Brunei Darussalam mengerjakan proyek tambak udang.

“Ketertarikan kami dalam dunia akuakultur, meneruskan kami untuk mengembangkan teknologi perikanan yang berkelanjutan berfokus pada 3P (profit, people, planet),” terang Co-founder dan COO FisTx Rico Wibisono kepada DailySocial.id.

Inovasi FisTx

FisTx menyoroti setidaknya ada empat tantangan dalam budidaya tambak udang, yakni manajemen tambak, operasional, tambak, dan alam, contohnya pemilihan lokasi tambak yang rawan bencana alam, seperti tsunami dan gempa. Oleh karenanya, FisTx berfokus pada pengembangan teknologi untuk budidaya udang pada proses perbaikan air yang lebih berkelanjutan.

Misalnya, mobile water sterilizer yang merupakan teknologi desinfeksi ramah lingkungan dengan sinar ultraviolet. Teknologi ini tidak menghasilkan residu bila dibandingkan dengan bahan kimia bahkan bisa mengefisiensikan biaya disinfektan sebesar 35%-53%. Alat ini juga dapat digunakan sebagai water treatment unit.

Kemudian, mengembangkan Recirculating Aquaculture System (RAS), yakni teknologi yang berkonsep kolam petak untuk sistem budidaya secara intensif dengan memanfaatkan air secara terus menerus, sehingga air pada kolam utama terjaga kualitasnya, menghemat penggunaan air dan biaya pergantian air. Produk ini serupa dengan akuarium, air kolam tidak dibuang tetapi disaring terus menerus. Air yang ada di kolam dapat dikonservasi dan dipakai berkesinambungan dengan sistem filtrasi yang perusahaan kembangkan.

Berikutnya, menghadirkan teknologi untuk imbuhan pakan guna meningkatkan penyerapan nutrisi, sehingga pertumbuhan lebih cepat dan limbah lebih sedikit. “Semua teknologi ini diarahkan pada keberlanjutan dan kesejahteraan petambak. Proses development-nya bergantung pada ketersediaan sumber daya dan kebutuhan pasar, ada yang tiga sampai delapan bulan.”

Disediakan pula aplikasi yang dinamai FisTx Aquagram yang dapat digunakan petambak untuk memantau kondisi tambak langsung dari ponsel mereka. Aplikasi merupakan teknologi pengukur kualitas air yang dapat mencatat kualitas air secara real time, tidak hanya untuk satu petak tambak tapi juga memantau empat petak sekaligus. Petambak akan memperoleh informasi terkait durasi pemberian pakan, jarak waktu pemberian pakan, kadar oksigen, hingga suhu dan tingkat keasamaan air.

Dalam satu alat sensor, mampu mengukur berbagai indikator. Beberapa di antaranya, suhu air kolam, EC, nilai pH, DO (Dissolved Oxygen atau kadar oksigen terlarut) dan ORP (Oxidation Reduction Potential). Semua data ini akan muncul pada aplikasi FisTx dalam sekali klik.

Dari seluruh rangkaian produk tersebut, FisTx menyesuaikan kembali dengan kebutuhan para petambak. Pihaknya menyediakan FisTx 360 yang merupakan sistem berlangganan untuk membantu semua kebutuhan budidaya, mendampingi petambak dengan konsultasi dan manajemen tambak selama satu siklus, mulai dari persiapan hingga panen. “Tapi kami juga menyediakan sistem beli putus, terutama untuk konsumen kami yang belum dijangkau oleh tim offline, tapi kami tetap terbuka dengan konsultasi online.”

Rico mengakui proses edukasi dalam memperkenalkan solusi Fistx tidak bisa dianggap sepele. Karena animo positif baru diterima perusahaan, apabila lokasi tambak dan persona petambaknya dilihat dari psikologi dan psikografinya. Maka dari itu, saat masuk ke lokasi baru perusahaan mengambil strategi dengan mencari early adopter dan dikawal hingga muncul hasil panen yang memuaskan.

“Dari situ terjadilah mouth to mouth branding, inilah yang kami lakukan dalam menjawab itu. Alhamdulillah, hingga saat ini kami memiliki 340 petambak yang tersebar di 21 provinsi.”

Salah satu perusahaan yang sudah menggunakan teknologi FisTx adalah PT Nayottama Kelola Laut Indonesia (NKLI). Awalnya, NKLI menggunakan teknologi existing Aqua Input sejak 2021 dan merasakan terjadinya peningkatan hasil tambak secara berkala dari 18 ton hingga 51 ton per hektare atau kenaikan hampir tiga kali lipat.

Kemudian, NKLI upgrade teknologi terbaru RAS FisTx untuk kolam budidaya yang terletak di Tasikmalaya, Jawa Barat, Januari 2021 lalu. Selain ramah lingkungan, manfaat lain yang didapat dari penggunaan teknologi RAS adalah meningkatkan produktivitas, meminimalisir permasalahan udang mati dini, dan hemat hingga 30% jika dibandingkan dengan pemakaian kimia seperti kaporit. Produksi per hari pun lebih cepat, tingkat pertumbuhan meningkat rata-rata sekitar 20%, dengan efisiensi pakan hingga 23,5%.

Harapan di akuakultur

Rico menilai solusi yang dibangun oleh FisTx ini sejatinya dapat diimplementasikan di luar tambak udang, seperti kepiting, belut, lobster, dan sidat. Hal tersebut sudah menjadi misi berikutnya perusahaan, kendati fokus utama saat ini masih pada budidaya udang.

“Potensi perikanan Indonesia luar biasa besar dan kami akan berikan hak yang sama untuk setiap spesies lain untuk dibudidayakan secara luas. [..] menjadi karunia besar bagi kami untuk bisa mengembangkan spesies lokal yang memiliki high demand, sehingga dapat memajukan pesisir seperti peradaban maritim yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita. Melalui budaya ini, kami ingin mengulang kembali kejayaan peradaban pesisir.”

Saat ini, FisTx didukung dengan 19 orang, terbagi jadi empat orang sales offline, tiga sales Aqua Input, dan satu sales project. Perusahaan akan terus menambah tim, terutama untuk bagian teknis dan expert agar solusi FisTx dapat lebih masif diadopsi banyak petambak di Indonesia. Meski tidak dijelaskan secara rinci, FisTx telah didukung dengan sokongan investasi dari UMG Idealab, perusahaan yang juga dipimpin oleh Kiwi.

“Tahun ini kami berfokus pada dua hal, yaitu sebagai base untuk target bisa profit di 2023 dan melakukan branding,” tutup Rico.

ARIA Agritech’s Strategy to Produce New Generation of Indonesian Farmers

One of the biggest obstacles in the agriculture industry is the lack of interest among young generation of becoming farmers. The large amount of land to be cultivated using conventional methods also makes it difficult for most farmers to optimize their performance.

In fact, when there is a pest attack, farmers should have anticipated quickly and it usually requires a large number of workers to carry out the process. As a result, many farmers experienced crop failures and large losses because it was too late to overcome the issue.

Through this problem, ARIA, as an agritech startup, comes with a solution to increase productivity using drones and IoT, while providing prevention and predictive agricultural solutions to large-scale farmers and plantations. In addition, the idea for developing this product is to help farmers and plantation owners get good agricultural products, while at the same time attracting more young farmers to enter the agricultural sector.

ARIA’s Co-Founder & CEO, William Sjaichudin revealed to DailySocial, starting with drone technology, they wanted to be an agritech platform that could help farmers get quality agricultural products with the right planting process, while minimizing labor work in the field.

“Most agritech platforms in Indonesia are currently focused on the supply chain. However, many of them are complaining about the low quality of farmers’ harvests. With the technology and services we have, we want to overcome these problems and focus on quality control,” William said.

Focus on B2B segment

ARIA’s drone spray technology

ARIAwas co-founded by Arden Lim (CPO) and Yosa Rosario (COO). Currently, they operate two business verticals, B2B companies such as plantations and forestry. Especially for B2B clients, ARIA provides SaaS technology that helps them to carry out the planting process using directly connected data, so they can carry out accurate spraying activities.

Meanwhile, for both individual and farmers who own plantations, they expect to apply the best practices that previously been applied to large companies such as Sampoerna, Sahabat Agro Group, Sinarmas, Triputra Group, and as ARIA’s current clients.

“Our target this year is to be able to serve 60 to 70 percent of B2B clients and 30 percent to farmers. We hope that ARIA can also help through programs owned by local governments and available vacant land,” William added.

Starting from technology, ARIA is quite confident to create jobs that attract the new potential farmers in Indonesia. Therefore, the regeneration of farmers can run well, replacing the farmers who are currently fewer in number and most of them have aged.

From the responses of farmers in various regions who welcome their mapping technology and drone spray, ARIA sees the potential to be able to produce new young farmers and drone pilots in the future.

“For the drone pilots, we currently have around 16 people and targeting to grow 40 more by the end of the month. Our drone pilots come from each region, adjusting the demand from the units ordered,” William said

ARIA adopts a business model as a service company. As buying and selling drones is difficult, their way of running a business is to provide drones at a low cost,  service per hectare. Thus, it can be more affordable for farmers. In order to integrated services, ARIA also collaborates with Bayer in the supply of chemicals for agriculture.

“In the future, we want to be able to make our own drones. What distinguishes us from other platforms is our direct approach by providing solutions. We are an end-to-end software and hardware platform for farmers,” William said.

Early stage fundraising plan

Currently, ARIA has secured pre-seed funding, which was organized and led by GK-Plug and Play Indonesia, East Ventures and market leaders in agriculture and logistics such as Triputra Group, Waresix, and Sahabat Group who participated in this series.

ARIA will use this funding to develop its infrastructure network and quickly establish distribution points in 17 branches spread across Indonesia to reach 40 billion hectares of ARIA’s potential market. This development was also accompanied by the purchase of a large drone fleet, as well as the development of a key IoT asset in the form of tracking technology to provide value and impact of change for ARIA customers.

“It is very important for ARIA to deal with the regeneration of young Indonesian farmers, who are constrained by limited land and suffer from working in low-income professions throughout Indonesia. Farmers in Indonesia are slowly dying. ARIA’s vision is to grow a new generation of young millennial farmers who are tech-savvy and able to compete and develop at a global level,” William said.

In order to get a strategic partner who can help ARIA open up more opportunities, in the near future ARIA will also complete an early stage fundraising. It’s in the finalizing stage, according to the plan, ARIA will get the fresh funds at the end of March.

“The biggest advantage in Indonesia as an agriculture country is being a farmer. However, as they are still using the conventional methods, the opportunities and benefits that can be obtained by farmers stay limited. Through ARIA, we want to make the farming profession more profitable,” William concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Ambisi Startup Agritech ARIA Lahirkan Generasi Baru Petani di Indonesia

Salah satu kendala yang saat ini masih menjadi tantangan bagi pertanian adalah kurangnya minat petani muda untuk terjun ke bidang pertanian. Besarnya lahan yang harus digarap menggunakan cara dan metode lama juga menyulitkan sebagian besar petani untuk mengoptimalkan kinerja mereka.

Belum lagi jika ternyata ada serangan hama yang harus diantisipasi cepat, biasanya membutuhkan jumlah pekerja yang cukup besar untuk melakukan proses tersebut. Hasilnya banyak dari petani yang mengalami gagal panen dan kerugian yang cukup besar karena terlambat untuk diatasi.

Melihat masalah tersebut, ARIA yang merupakan startup agritech hadir dengan solusi untuk meningkatkan efisiensi produktivitas melalui penggunaan drone dan IoT, sekaligus menyediakan pencegahan dan prediksi solusi agrikultur kepada para petani dan perkebunan skala besar. Selain itu, motivasi pengembangan produk ini adalah untuk membantu petani dan pemilik perkebunan bisa mendapatkan hasil pertanian yang baik, sekaligus memancing lebih banyak petani muda untuk masuk ke sektor pertanian.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO ARIA William Sjaichudin mengungkapkan, berawal dari teknologi drone, mereka ingin menjadi platform agritech yang bisa membantu petani mendapatkan hasil pertanian yang berkualitas dengan proses penanaman yang tepat, sekaligus meminimalisir penggunaan tenaga kerja di lapangan.

“Kebanyakan saat ini platform agritech di Indonesia lebih fokus kepada rantai pasok. Namun banyak juga di antara mereka yang mengeluhkan masih rendahnya kualitas panen petani. Dengan teknologi dan layanan yang kami miliki, kami ingin mengatasi masalah tersebut dan fokus kepada quality control,” kata William.

Fokus di segmen B2B

Teknologi drone spray milik ARIA

Aria turut didirikan oleh Arden Lim (CPO) dan Yosa Rosario (COO). Saat ini ada dua vertikal bisnis yang disasar oleh ARIA, yaitu perusahaan B2B seperti perkebunan dan kehutanan. Khusus untuk klien B2B, ARIA memberikan teknologi SaaS yang membantu mereka untuk melakukan proses penanaman memanfaatkan data yang terhubung langsung, sehingga bisa melakukan aktivitas penyemprotan yang akurat.

Sementara untuk petani baik itu yang individu hingga petani yang memiliki perkebunan, harapannya bisa menerapkan best practice yang telah diterapkan kepada perusahaan besar seperti Sampoerna, Sahabat Agro Group, Sinarmas, Triputra Group, dan lainnya yang merupakan klien dari ARIA saat ini kepada mereka.

“Target kami tahun ini bisa melayani klien B2B sebanyak 60 hingga 70% dan ke petani sebanyak 30%. Kita harapkan melalui program yang dimiliki oleh pemerintah daerah dan lahan kosong yang ada bisa membantu ARIA,” kata William.

Berangkat dari teknologi, ARIA cukup yakin bisa menciptakan lahan pekerjaan yang menarik perhatian calon petani baru di Indonesia. Sehingga regenerasi petani bisa berjalan dengan baik, menggantikan para petani yang saat ini makin sedikit jumlahnya dan kebanyakan sudah masuk dalam usia tua.

Dilihat dari respons para petani di berbagai daerah yang menyambut baik teknologi pemetaan dan drone spray yang mereka miliki, ARIA melihat ada potensi untuk bisa melahirkan petani muda baru dan drone pilot ke depannya.

“Untuk drone pilot sendiri saat ini kami sudah memiliki sekitar 16 orang dan targetnya bisa bertambah hingga 40 lebih hingga akhir bulan nanti. Drone pilot kita berasal dari masing-masing daerah, menyesuaikan demand dari unit yang dipesan,” kata William

Model bisnis yang diterapkan oleh ARIA adalah sebagai service company. Karena jual beli drone terbilang sulit, cara mereka menjalankan bisnis adalah menghadirkan drone dengan biaya murah yaitu service per hektar. Dengan demikian bisa lebih terjangkau untuk petani. Untuk memberikan layanan yang terpadu, ARIA juga menjalin kolaborasi dengan Bayer dalam hal penyediaan bahan kimia untuk pertanian.

“Ke depan kita maunya bisa bikin drone sendiri. Yang membedakan kami dengan platform lainnya adalah pendekatan langsung dengan memberikan solusi. Kita merupakan end-to-end software dan hardware platform untuk petani,” kata William.

Rencana penggalangan dana tahapan awal

Saat ini ARIA telah mendapatkan pendanaan tahapan pre-seed yang diselenggarakan dan dipimpin oleh GK-Plug and Play Indonesia, East Ventures serta pemimpin pasar di bidang agrikultur dan logistik seperti Triputra Group, Waresix, dan Sahabat Group yang turut berpartisipasi dalam seri ini.

ARIA akan menggunakan pendanaan  ini untuk mengembangkan jaringan infrastruktur dan secara cepat membentuk titik distribusi pada 17 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia untuk menjangkau 40 miliar hektar pasar potensial ARIA. Pengembangan ini juga diiringi dengan pembelian armada drone dalam jumlah besar, serta pengembangan aset kunci IoT berupa teknologi pelacakan untuk memberikan nilai dan dampak perubahan besar untuk pelanggan ARIA.

“Sangat penting untuk ARIA untuk menghadapi regenerasi petani muda Indonesia, yang terkendala dengan keterbatasan lahan dan menderita karena menjalani profesi dengan penghasilan rendah di seluruh Indonesia. Petani di Indonesia perlahan mati. Visi ARIA adalah untuk menumbuhkan generasi petani muda milenial baru yang tech-savvy dan mampu berkompetisi serta berkembang di tingkat global,” kata William.

Untuk mendapatkan mitra strategis yang dapat membantu ARIA membuka peluang lebih banyak lagi, dalam waktu dekat ARIA juga akan merampungkan penggalangan dana tahapan seed. Masih dalam proses finalisasi jika sesuai rencana dana segar tersebut akan diperoleh ARIA akhir bulan Maret ini.

“Keuntungan paling besar di Indonesia sebagai negara agriculture adalah menjadi petani. Namun karena saat ini masih menggunakan metode dan cara-cara yang lama menjadi kecil peluang dan manfaat yang bisa didapatkan oleh petani. Melalui ARIA kita ingin menjadikan profesi petani lebih profitable,” kata William.

Xiaomi Menjadi Top Maker di 22 Pasar Global Pada Kuartal Kedua 2021

Xiaomi telah berkembang pesat dalam dua belas bulan terakhir, mereka memanfaatkan dengan sangat baik kekosongan yang ditinggalkan oleh Huawei di dunia smartphone. Xiaomi mengungkap bahwa perusahaannya berhasil meningkatkan pendapatan, pengiriman smartphone, dan metrik penting lainnya.

Antara bulan April dan Juni 2021, Xiaomi mengirimkan 52,6 juta unit smartphone atau 86,6% dari kuartal kedua 2020. Menurut Canalys, Xiaomi menguasai pangsa pasar global 16,7% dan menjadikannya sebagai produsen smartphone terbesar ke dua di dunia untuk pertama kalinya pada kuartal kedua, di belakang Samsung dan di depan Apple.

Dari smartphone yang dikirimkan pada paruh pertama tahun ini, 12 juta unit diantaranya berada di segmen yang harganya lebih dari CNY 3.000 atau sekitar Rp6,6 jutaan ke atas. Di negara asalnya, pangsa pasar smartphone mereka naik menjadi 16,8% dari 10,3% dan menempati peringkat ketiga dengan peningkatan 35,1% dari tahun ke tahun.

Selain itu, pendapatan dari produk Internet of Things (IoT) dan lifestyle-nya juga tumbuh 35,9% dari tahun ke tahun. Sekarang ada 374,5 juta perangkat IoT yang terhubung ke platform Xiaomi, itu tidak termasuk smartphone dan laptop. Jumlah pengguna dengan lima atau lebih perangkat yang terhubung ke platform AIoT (tidak termasuk smartphone dan laptop) mencapai 7,4 juta, meningkat 44,5% dari tahun ke tahun.

Xiaomi terus meningkatkan keunggulan kompetitifnya di pasar-pasar utama. Menurut Canalys, pangsa pasar Xiaomi pada kuartal kedua 2021 berada di peringkat lima teratas di 65 pasar global dan nomor satu di 22 pasar, 10 di antaranya mencapai nomor 10 untuk pertama kalinya seperti di Italia dan Prancis. Xiaomi juga menempati peringkat satu di Asia Tenggara dengan pangsa pasar mencapai 28,2%.

Sumber: GSMArena, Blog.mi.com

Deretan Tren Teknologi yang Bakal Mendisrupsi Dunia Bisnis Versi McKinsey

Teknologi memegang peranan penting dalam segala aspek kehidupan. Dalam konteks bisnis, teknologi juga bisa menentukan seberapa jauh korporasi dapat berkembang. Agar tidak kehilangan momentum, para eksekutif bisnis perlu menaruh perhatian khusus pada sejumlah tren teknologi yang paling berpengaruh ke depannya. Kira-kira begitulah kesimpulan yang bisa ditarik dari riset terbaru yang dilakukan oleh McKinsey & Company.

Dari 10 tren teratas yang dibahas, 7 di antaranya masuk ke ranah digital. Tren yang dibahas juga bukan sekadar yang berpotensi mendisrupsi banyak sektor industri sekaligus, melainkan juga yang tergolong niche seperti revolusi bioteknologi maupun kemajuan tren nanopartikel dan nanomaterial.

McKinsey memprediksi bahwa ke depannya teknologi robotik, Industrial Internet of Things (IIoT), digital twins, dan additive manufacturing (3D atau 4D printing) bakal digabungkan untuk mempersingkat pekerjaan-pekerjaan rutin, meningkatkan efisiensi operasional, dan mempercepat waktu penetrasi pasar. McKinsey mendeskripsikan tren ini dengan istilah “next-level process automation and virtualization“.

McKinsey mengestimasikan bahwa di tahun 2025, lebih dari 50 miliar perangkat bakal terhubung dengan jaringan IIoT dan menghasilkan data sebesar 79,4 zettabyte setiap tahunnya. Sebagai konteks, 1 zettabyte itu setara dengan 1 miliar terabyte. Lalu di tahun 2030, 10% dari seluruh proses manufaktur bakal digantikan oleh teknologi 3D atau 4D printing.

Tren yang berikutnya menggabungkan kemajuan infrastruktur 5G dengan IoT guna mewujudkan sederet layanan maupun model bisnis baru. McKinsey menemukan ada sekitar 1.000 kasus penggunaan di berbagai sektor industri yang berkaitan erat dengan tren konektivitas ini, yang diperkirakan bisa berkontribusi terhadap angka GDP di tahun 2030 hingga sebesar 5-8 triliun dolar Amerika Serikat.

Tanpa harus terkejut, AI tentu juga termasuk sebagai salah satu tren dengan implikasi terbesar di dunia bisnis. McKinsey bahkan memprediksi bahwa kemajuan di bidang AI dan machine learning bakal mewujudkan konsep “Software 2.0”, konsep di mana profesi pengembang software telah digantikan oleh AI. Meski demikian, untuk bisa memaksimalkan tren automated programming ini, perusahaan harus meningkatkan kapabilitas DataOps maupun MLOps-nya terlebih dulu.

Di masa yang akan datang, demokratisasi infrastruktur IT juga bakal semakin dipercepat dengan semakin meningkatnya pengadopsian teknologi cloud computing. Menurut McKinsey, angka pengadopsiannya bisa meningkat hingga mendekati 50% di tahun 2025, dan bukan tidak mungkin menembus angka 80% jika tren yang ada sekarang masih terus berlanjut sampai ke depannya.

Quantum computing dan neuromorphic computing diperkirakan juga bakal terus bertambah mainstream. Tren komputasi generasi baru ini diprediksi bakal menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selama ini belum bisa terjawab di dunia sains. Masa pengembangan industri farmasi dan bahan kimia bakal dipangkas secara drastis, demikian pula industri mobil kemudi otomatis yang bakal diakselerasi. Bukan cuma itu, next-gen computing juga diprediksi bakal mendisrupsi bidang cybersecurity secara signifikan.

Lebih lengkapnya mengenai tren-tren teknologi terpenting di dunia bisnis dapat langsung dibaca di situs McKinsey.

Gambar header: Depositphotos.com.

Targetkan Segmen B2B, eFishery Perkuat Layanan eFisheryFresh

Setelah resmi diperkenalkan awal tahun 2020 lalu, eFisheryFresh yang dibangun oleh eFishery telah menjalin kolaborasi dengan kalangan horeka (hotel, restoran, dan kafe) sekaligus memperkuat kerja sama strategis mereka dengan Gojek. Layanan tersebut bertujuan untuk membukakan akses pembudidaya terhadap pasar dengan menghubungkan mereka secara langsung kepada agen dan distributor mitra eFishery. Saat ini sudah hadir di berbagai wilayah di Jabodetabek, Bandung, Purwakarta, Subang, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Solo, dan Surabaya.

eFishery juga telah membangun eFisheryPoint (kantor cabang eFishery) di 110 kota/kabupaten di Indonesia dan memiliki rencana untuk menyambungkan pasar-pasar lokal dengan pembeli wilayah-wilayah tersebut sehingga supply chain dapat lebih efisien. Untuk saat ini fokus eFisheryFresh masih di segmen B2B, dengan menyalurkan ikan dari pembudidaya ke agen, distributor, dan pemroses bahan mentah. Selain itu mereka juga bekerja sama dengan lebih dari 2000 horeka di berbagai wilayah di Indonesia.

“Fokus kami saat ini masih meningkatkan volume. Sebelumnya kami sudah banyak melayani agen dan distributor besar. Di tahun 2021 ini kami ingin lebih banyak melayani horeka, warung, dan modern trade. Ada beberapa inisiatif juga yang terkait kategori baru dan pembukaan outlet kemitraan,” kata Co-Founder & CEO eFishery Gibran Huzaifah.

Target eFishery

 

Memanfaatkan data yang dikumpulkan di sektor hulu, melalui teknologi eFisheryFeeder, memungkinkan perusahaan untuk memprediksi panen. Selanjutnya dapat mengetahui sejak awal siapa pembudidaya yang akan panen ikan X di daerah Z. Sebelum tiba masa panen, eFishery akan menginformasikan kepada mitra agen/distributor dan horeka mengenai jadwal panen dan mengumpulkan pesanan dari mereka (crowd buying), sehingga saat masa panen tiba, ikan dapat langsung diantarkan.

Melalui eFisheryFresh, misi besar eFishery adalah menjadikan akuakultur sebagai sumber protein hewani terbesar di dunia. Dengan demikian semua orang dapat memperoleh akses terhadap makanan bernutrisi tinggi dengan mudah dan harga yang terjangkau. Beberapa hal seperti metric bisnis mengenai revenue, active customer, hingga ke LTV menjadi target dari eFisheryFresh. Selain itu  tahun ini mereka juga menargetkan untuk meningkatkan pertumbuhan 4x lipat dari tahun lalu.

Saat ini efIshery sedang menjajaki kerja sama dengan GoFresh, marketplace yang menyediakan bahan baku segar untuk kebutuhan usaha Mitra Usaha GoFood. Merchant GoFood yang menjual ikan di menunya kini bisa mendapatkan ikan segar berkualitas langsung dari pembudidaya dengan harga terbaik. Selain itu, mereka juga sedang mengembangkan berbagai potensi yang bisa dilakukan dengan ekosistem Gojek tersebut, mulai dari merchant GoFood hingga payment platform GoPay.

eFishery sendiri diinvestasi oleh Go-Ventures di putaran seri B mereka. Saat ini mantan CEO Gopay, Aldi Haryopratomo, juga diangkat menjadi komisaris startup tersebut.

“Sejauh ini ekosistem di Gojek yang sudah dikolaborasikan, namun baru yang terkait ke merchant GoFood, di mana kami yang menyediakan ikannya. Sementara Untuk B2C di Gojek semoga dalam waktu dekat bisa tersedia ,” kata Gibran.

Application Information Will Show Up Here

Optimisme nafas Rambah Produk Air Purifier “aria”

Baik buruknya kualitas udara akibat polusi dan hal-hal eksternal lainnya, belum menjadi topik umum bagi sebagian besar orang Indonesia. Perjalanan dalam meningkatkan kesadaran ini masih begitu panjang, yang sekarang dititahkan kepada nafas, sebagai aplikasi penyedia data kualitas udara.

Sementara itu di sisi yang lain, dibutuhkan solusi sebagai aksi nyata untuk meningkatkan kualitas udara di sekitar. nafas pun merambah produk air purifier berbasis smart home dinamai “aria” yang sudah dibeli secara online di platform marketplace.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO nafas Nathan Roestandy menjelaskan bahwa aria menjadi tindakan langsung terhadap peningkatan kualitas udara. Meski segmen ini sudah dihuni oleh banyak merek elektronik multinasional, aria cukup percaya diri dapat bersaing di lapangan karena memiliki proposisi yang unik.

Selama ini produk yang ada di pasaran belum memberikan pengalaman pengguna maksimal karena tidak memberikan umpan balik dari data-data kualitas udara yang ditarik dari ruangan pengguna. Pertanyaan-pertanyaan seperti, apakah air purifier tersebut apakah mampu meningkatkan kualitas udara di sekitar atau tidak, belum mampu dijawab oleh perangkat yang ada saat ini.

Sementara, aria memiliki sensor terhubung dengan nafas yang dapat dimanfaatkan untuk monitor kualitas udara di dalam ruangan adalah yang paling aktual. Sensor kualitas udara mendefinisikan AQI dan kadar PM2.5 yang dapat menjadi panduan aman buat aktivitas pengguna setiap hari.

“Secara product journey, kita bangun nafas dulu baru kurang lebih setahun kemudian aria kami rintis. Sebagian proses manufakturnya kami lakukan di Indonesia dan ada di luar negeri,” terang Nathan.

Aria memiliki dua produk, yakni AirTest untuk memonitor kualitas udara dan memastikan data kualitas udara di dalam ruangan adalah yang paling aktual karena terhubung dengan aplikasi nafas. Lalu, Pure40 yang mampu membersihkan polusi udara di ruangan dengan jangkauan 40 meter persegi (terluas di kategorinya). Pengguna dapat mengatur waktu kapan Pure40 akan dinyalakan serta dimatikan, atur hari dan juga kecepatan yang diinginkan untuk mendapatkan AQI melalui aplikasi nafas.

Kompetisi di pasar

Dalam menciptakan skala ekonomi, terjadi dilema bagi skala startup untuk bersaing dengan korporasi besar, agar dapat bersaing dari segi harga yang lebih terjangkau untuk konsumen. Oleh karenanya, meski saat ini harga aria terhitung lebih di atas harga pasaran, namun ada proposisi lainnya yang ditawarkan ke konsumen.

Nathan menjelaskan, nafas mengedepankan pengalaman akses data kualitas udara kepada lebih banyak pengguna. Ke depannya, perusahaan akan perbanyak lokasi sensor nafas ke kota-kota besar, seperti Bandung, Semarang, dan Medan dari posisi saat ini lebih dari 100 sensor tersebar di Jabodetabek dan Yogyakarta.

Peletakan sensor tersebut ke depannya juga tidak hanya di lokasi privat saja, juga akan masuk ke lokasi publik yang lebih terbuka. Dengan demikian, semakin banyak sensor yang tersebar, maka akan akurat data kualitas udara yang didapat. Lebih banyak pula inisiatif berikutnya yang dapat dilakukan berbekal data tersebut.

Salah satunya adalah lebih intensifnya interaksi antara kualitas udara di indoor dan outdoor dalam membaca kualitas udara. Pasalnya, buruknya kualitas udara terbesar datang dari luar ruangan. “Dengan nafas kita bisa coverage interaksi tersebut dengan analisa-analisa yang bisa lebih berguna untuk pengguna.”

Produksi aria juga ditargetkan lebih masif agar perusahaan dapat menciptakan skala ekonomis, sehingga lebih banyak orang yang mendapat akses dan awareness terhadap kualitas udara kian meningkat. “Tentunya kami ada rencana mengembangkan aria menjadi lebih mass karena dalam skala ekonomi pricing yang lebih ekonomis itu bisa didapat dari produksi skala besar. Itu salah satu dilema dari startup di bidang consumer electronic di awalnya bersaing dari segi harga.”

Meski enggan merinci, Nathan menerangkan saat ini nafas telah mengantongi investasi untuk pengembangan berikutnya dari sejumlah investor yang fokus pada ekonomi berkelanjutan.

Application Information Will Show Up Here

Qlue Klaim Bisnis Naik 70% Setahun Terakhir, Solusi Dipakai di Berbagai Negara

Startup penyedia solusi ekosistem smart city Qlue mengungkapkan bisnis secara keseluruhan tumbuh 70% dibandingkan tahun sebelumnya, melebihi target awal sebesar 50%. Pandemi menjadi faktor dibalik meningkatnya implementasi digitalisasi dan pemanfaatan solusi smart city yang semakin krusial dalam keberlangsungan usaha.

Co-Founder dan CEO Qlue Rama Raditya mengatakan, integrasi solusi smart city dengan kebutuhan di masa pandemi bisa membantu berputarnya roda perekonomian agar tetap berjalan, dengan mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Hal itu juga sejalan dengan tren usaha saat ini juga berkembang ke arah operasional minim sentuhan dan tatap muka langsung.

“Kemampuan Qlue dalam membaca kecenderungan pasar itu juga menjadi pondasi utama dalam inovasi dan pengembangan solusi berkelanjutan oleh Qlue,” kata dia, Rabu (31/3).

Pada awal tahun lalu, sebenarnya perusahaan memiliki sejumlah rencana pengembangan teknologi. Akan tetapi pandemi berlangsung, yang akhirnya mengubah rencana perusahaan dan berinisiatif mengembangkan solusi baru yang berkaitan dengannya. Salah satunya adalah aplikasi pelaporan warga QlueApp, menambah enam kategori laporan baru terkait Covid-19 dan menjadi mitra strategis Pilkada Watch.

Selain itu, lini produk IoT mengembangkan QlueThermal untuk mendeteksi suhu tubuh, penggunaan masker, dan dilengkapi fitur absensi. “Pengembangan berikutnya juga dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasar sehingga dapat digunakan untuk sistem absensi, akses kontrol, dan integrasi dengan RFID,” tambah Co-Founder dan CTO Qlue Andre Hutagalung.

QlueThermal kini sudah memasuki pengembangan versi kedua dan sedang persiapan menuju versi ketiga yang bakal dirilis pada Mei 2021. Salah satu penggunanya adalah PT Pertamina (Persero).

Sejauh ini Qlue memiliki enam produk smart city. Selain QlueThermal, ada QlueApp, QlueWork, QlueVision, QlueSense, dan QlueDashboard. Masing-masing produk ini punya fungsi, misalnya QlueWork dipakai oleh tenaga lapangan untuk menindaklanjuti laporan yang dikirimkan oleh QlueDashboard.

Rama menuturkan solusi Qlue berhasil menarik pihaknya untuk memboyong ke luar negeri dan diimplementasikan di sana. Disebutkan, perolehan penghargaan dari luar negeri dan mengikuti berbagai program akselerator dan jaringan global, termasuk salah satu faktor pendukung dibalik masifnya pergerakan solusi Qlue secara global.

Menurut salah satu riset yang ia kutip, potensi smart city secara global pada 2025 mendatang diprediksi tembus $820 miliar dengan pertumbuhan 14,8% per tahun. “Pasar utama kami masih Indonesia karena peluang di sini masih sangat besar, tapi mampu ekspansi global juga salah satu target kami. Harapannya bisa semakin mendunia, meski kebanyakan proyek masih di Asia.”

Beberapa lokasi yang sudah memanfaatkan solusi Qlue adalah Singapura, Filipina, Tiongkok, Jepang, India, Rusia, Australia, dua negara di benua Eropa, dan empat negara di benua Amerika. Di Indonesia saja, kota-kota yang sudah memanfaatkan solusinya ada lebih dari 75 kota, dengan penambahan 43 kota pada 2020 saja.

Jumlah klien Qlue pada tahun lalu naik 32% menjadi 133 perusahaan dari sebelumnya 101 perusahaan. Sementara, pertumbuhan mitra dan channel untuk mendistribusikan solusinya naik 20% menjadi 126 mitra dari sebelumnya 105 mitra.

Klien Qlue datang dari sektor pemerintah dengan komposisi 70% dan sisanya swasta 30%. Pada tahun lalu, sektor pemerintah juga mendominasi tapi komposisinya 55% terhadap sektor swasta 45%. Bila melihat dari komposisi sumber pendapatan Qlue, sektor pemerintah berkontribusi terhadap 80% total keseluruhan dan sisanya dari sektor swasta 20%.

Presiden Qlue Maya Arvini menuturkan, sektor usaha yang memanfaatkan solusi Qlue di masa pandemi cukup bervariasi, ada yang datang dari, properti, rumah sakit, retail perbankan, perhotelan, industri hiburan sampai ke instansi pemerintah level pusat dan daerah.

Solusi smart city teranyar

Andre melanjutkan pada tahun ini perusahaan akan melanjutkan pengembangan solusi pendukung smart city lainnya yang sudah direncanakan dalam rancangan kerja. Ada dua solusi yang telah disiapkan, yakni Smart Environment yang difokuskan untuk memperbaiki kualitas udara dan Smart Traffic Management untuk meningkatkan mobilitas di perkotaan.

Terkait solusi yang kedua, sambungnya, nantinya lampu lalu lintas akan ditenagai dengan teknologi AI untuk membaca situasi lalu lintas terkini. Durasi lampu akan lebih fleksibel tergantung jumlah kendaraan, bukan lagi ditentukan berdasarkan jadwal.

Solusi tersebut telah diujicobakan di dua lokasi, salah satunya di Alam Sutera. Diklaim, Qlue mampu mengurangi tingkat kemacetan di persimpangan jalan hingga 25%. “Lampu lalu lintas ini juga buat mengatur para penyeberang sehingga mengurangi risiko kecelakaan. Kami akan lebih banyak bekerja sama dengan DISHUB untuk memakai solusi ini.”

Selain itu, Qlue sedang mengembangkan sebuah platform untuk permudah penggunaan solusi AI agar dapat dijangkau pelaku bisnis UKM hingga skala besar sesuai kebutuhan masing-masing. Rencananya solusi tersebut akan dirilis dalam kurun tahun ini.

Industri Logistik Terus Bertumbuh, Lacak.io Gencarkan Fitur Baru dan Rencanakan Penggalangan Dana

Salah satu sektor yang mengalami pertumbuhan positif selama pandemi adalah logistik. Tidak hanya di sisi traksi proses pengiriman, peningkatan terjadi hampir di seluruh ekosistem bisnis logistik, termasuk di sisi pemanfaatan teknologinya. Pengembang platform logistik berbasis internet of things Lacak.io menjadi salah satu yang turut terdampak.

“Saat pandemi, semakin banyak perusahaan yang membutuhkan teknologi, khususnya IoT untuk bisa memonitor aset, armada, dan tenaga kerja. Sehingga meskipun dilakukan secara remote, setiap pekerjaan masih bisa dilakukan dengan baik,” kata Founder & CEO Lacak.io Fariz Iskandar kepada DailySocial.

Saat ini mereka telah memiliki sekitar 100 klien dan 10 lebih mitra. Targetnya tahun ini bisa membawa layanannya ke seluruh ibu kota provinsi di Indonesia.

Turut disampaikan Fariz, selain layanan e-commerce yang paling banyak memanfaatkan teknologi dari Lacak.io adalah instansi pelayanan publik, penegakan hukum, perusahaan penambangan, multifinance, penyedia cold storage, perkebunan, angkutan umum, sampai operator pelabuhan.

“Di tengah pandemi, layanan e-commerce di Indonesia menjadi salah satu sektor yang justru mengalami pertumbuhan pesat, yang mengakibatkan meningkatnya kebutuhan pengiriman jarak-jauh. Menjawab kebutuhan ini, perusahaan pun semakin membutuhkan sistem logistik dengan manajemen armada yang lebih baik. Di sinilah Lacak.io berkembang sebagai platform IoT untuk perusahaan, menawarkan manajemen armada dan solusi pelacakan yang komprehensif sebagai dua fitur utamanya,” ujar Fariz.

Di sini, startup teknologi logistik sendiri cukup berkembang, baik yang fokus ke first-mile sampai dengan last-mile. Isu logistik di Indonesia memang cukup unik, salah satunya disebabkan karena kondisi geografis yang bentuknya kepulauan — sementara bisnis banyak terfokus di kota besar seperti Jabodetabek.

Selain Lacak.io, startup lain yang bermain di lanskap ini ada Waresix, Logisly, Paxel, Webtrace, hingga Andalin. Waresix menjadi yang paling signifikan, setelah menutup putaran seri B pada September 2020 lalu, perusahaan berhasil membukukan dana investasi hingga 1,5 triliun Rupiah.

Fitur baru dan rencana penggalangan dana

Salah satu tantangan utama yang dihadapi perusahaan di sektor logistik adalah memastikan keamanan pengiriman dari penjual ke konsumen, dengan memverifikasi identitas pengemudi secara akurat. Di sinilah solusi unik Lacak.io seperti iButton dan DSM hadir untuk membantu mengidentifikasi, memverifikasi pengemudi, sekaligus mengaktifkan proses pemantauan jarak jauh selama perjalanan untuk mengetahui perilaku mereka selama mengemudi. Platformnya juga menawarkan pelacakan akurat dengan GPS yang menghadirkan pembaruan secara real-time.

Dengan fitur ADAS, Lacak.io dapat memberikan peringatan dini atas kemungkinan potensi tabrakan yang dapat terjadi untuk mencegah terjadinya kecelakaan. Lacak.io juga dilengkapi dengan fitur axle load solution untuk membantu pengemudi dan pemberi kerja memantau kapasitas beban.

Memasuki tahun 2021 masih banyak rencana yang ingin dilancarkan oleh Lacak.io. Selain menghadirkan fitur baru yang relevan untuk klien, perusahaan juga memiliki rencana untuk mencari investasi.

“Rencananya penggalangan dana akan kami lakukan di semester kedua tahun ini. Nantinya dana segar tersebut akan digunakan untuk merambah ke seluruh daerah di Indonesia, dan menghadirkan solusi-solusi yang memberikan benefit untuk berbagai vertikal bisnis yang melibatkan armada dan pekerja lapangan,” tutup Fariz.