Mengukur Kinerja CVC yang Didanai Korporasi

Pertumbuhan corporate venture capital (CVC) menggambarkan adanya fenomena inovasi terbuka (open innovation) yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. CVC menjadi salah satu opsi strategis korporasi dalam menghadapi era digitalisasi dan disrupsi, dengan harapan startup yang didanai dapat me-leverage teknologinya ke dalam bisnis perusahaan.

CVC punya peran spesifik di luar bisnis utama perusahaan. Ia menjalankan fungsi investasi ke startup sehingga entitasnya harus terpisah. Selain itu, CVC juga memiliki tim untuk melakukan analisis terhadap calon startup yang dapat memenuhi visi strategis perusahaan.

Saat ini, lebih dari tujuh perusahaan di Indonesia dari berbagai vertikal bisnis telah membentuk CVC. Mereka adalah perusahaan telekomunikasi, perbankan, media, hingga grup konglomerasi. Bahkan ada beberapa portofolio startup perusahaan yang sudah exit.

Sebetulnya, dengan pesatnya perkembangan teknologi, siapapun dapat mengembangkan inovasi. Namun, dalam konteks korporasi, pengembangan inovasi baru tidak bisa langsung direalisasikan begitu saja.

Ada beberapa kemungkinan, yaitu korporasi tidak memiliki kapabilitas di bidang teknologi dan digital, SDM terbatas, atau terhalang regulasi sehingga tidak bisa begitu saja mengembangkan inovasi. Di sinilah CVC berperan untuk menjadi kendaraan eksplorasi ide bisnis perusahaan yang bersifat disruptif.

Pada kasus Bank BRI, kehadiran BRI Ventures menjadi kendaraan inovasi eksternal perusahaan. Selama ini, bank lambat dalam men-deliver produk ke pasar karena pergerakannya sangat diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI).

Menurut VP of Investor Relation and Strategy BRI Ventures Markus Liman, sektor perbankan harus mengajukan laporan satu tahun sebelumnya untuk mengembangkan produk atau ide bisnis baru. Untuk mengatasi isu tersebut, BRI Ventures hadir untuk membantu mengakselerasi pengembangan inovasi tanpa keluar dari jalur corporate strategy perusahaan.

At some point, pengembangan di internal pasti terbatas karena ada inovasi yang tidak bisa dilakukan oleh bank. Mentoknya pada proses compliance karena harus lapor ke OJK dan BI, risk management, dan mengikuti SoP. Kalau produk gagal, kami akan kehilangan trust, dan ini yang kita ingin hindari,” papar Markus kepada DailySocial beberapa waktu lalu.

Profitabilitas bukanlah satu-satunya metrik

Lalu, bagaimana CVC dapat menjadi opsi strategis terhadap pengembangan inovasi dan bisnis perusahaan?

Menurut Senior Partner & Managing Director The Boston Consulting Group Middle East Markus Massi, motivasi pembentukan CVC dapat bervariasi. Tetapi, sebagian besar perusahaan memang berfokus pada inovasi yang memberikan Return on Investment (ROI). Jadi, ketimbang membangun perusahaan R&D dari nol, mendanai startup atau mengakuisisinya jauh lebih masuk akal.

Beberapa alasan tersebut juga diamini beberapa CVC yang telah kami wawancarai. Dari informasi yang dihimpun, semua sepakat bahwa aksi korporasi ini memiliki dua objektif utama, yakni me-leverage teknologi yang dimiliki startup untuk memperkuat lini bisnis atau operasional bisnis serta meraup keuntungan modal dari investasi (capital gain).

Untuk mencapai hasil yang diinginkan perusahaan, ada beberapa metrik yang dapat digunakan. Principal and Head of Investor Relations MDI Ventures Kenneth Li menyebutkan bahwa metrik ini berbeda-beda, tergantung dari tahap pendanaan, model bisnis, hingga vertikal bisnis.

Misalnya, pengukuran berdasarkan tahap pendanaan. Metrik kinerja portofolio startup di tahapan early stage dan seri A ke atas, tentu akan berbeda. Startup di tahap awal mungkin masih berkisar tentang bagaimana mencari traction, sedangkan seri A harus bicara tentang bagaimana cara untuk scale up bisnisnya.

Kemudian, metrik profitabilitas. Mengingat bisnis MDI Ventures sudah tumbuh signifikan dan tak lagi bermain di early stage, Kenneth menyebut bahwa objektif utamanya saat ini adalah bottom line atau keuntungan. Ia mengungkap portofolio yang sudah exit kini sudah untung. Portofolio yang tersisa juga sudah mengarah ke profitabilitas.

“Contoh lainnya Wavecell. Dengan me-leverage ekosistem Telkom, mereka sekarang sudah mengantongi pertumbuhan signifikan. Wavecell sekaligus membawa bisnis baru ke Telkom,” kata Kenneth kepada DailySocial.

Namun, keuntungan dinilai bukan menjadi satu-satunya metrik yang mutlak. CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro mengatakan bahwa kinerja startup juga dapat terlihat dari bagaimana teknologinya dapat me-leverage perusahaan, baik dari sisi bisnis maupun operasional.

Contoh lainnya adalah PrivyID. Startup yang mengembangkan platform tanda tangan digital ini sama-sama mengantongi pendanaan dari Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) dan Mandiri Capital Indonesia.

Menurut Eddi, solusi yang dikembangkan PrivyID sangat efektif dalam mempercepat proses bisnis layanan di Bank Mandiri. Solusi PrivyID diterapkan pada proses pembukaan rekening kartu kredit baru. Karena sudah bisa dilakukan secara online, perusahaan tak lagi memerlukan tanda tangan basah.

“Nah, metrik ini dapat diukur dari berapa nasabah yang mendapatkan approval Bank Mandiri pada proses pengajuan kartu kredit,” ujar Eddi dalam wawancaranya dengan DailySocial.

Eddi menilai bahwa kinerja startup jangan langsung dilihat dari profitabilitasnya saja. Untuk mencapai profitabilitas, startup tidak harus langsung mengejar keuntungan. Sebaliknya, profitabilitasnya ini dapat terlihat dari sejauh mana startup melakukan strategi “bakar uang” secara terus-menerus.

Pada kasus Amartha, metrik yang digunakan tentu berbeda dengan PrivyID mengingat keduanya memiliki model bisnis yang berbeda juga. Sebagai penyalur pinjaman untuk segmen mikro, kinerja Amartha dapat dinilai dari jumlah dana yang telah disalurkan (loan disbursement).

“Di 2019, penyaluran dana mereka telah mencapai Rp1,5 triliun dengan jumlah peminjam mencapai 250.000. Kami mengukur kinerja Amartha berdasarkan penyaluran pinjaman di sejumlah titik per kuartal dan per tahun dan dampaknya terhadap penambahan jumlah peminjam kami,” tutur Eddi.

Menyelaraskan mindset startup dan korporasi

Berbeda dengan VC, CVC dituntut untuk dapat mencapai target perusahaan, baik secara bisnis maupun keuangan. Dalam perjalanannya tentu tidak mudah mengingat startup dan korporasi memiliki kultur kerja dan perspektif yang bertolak belakang terhadap pengembangan sebuah produk.

Ada yang menyebut bahwa sangat penting bagi perusahaan untuk tidak menghalangi kelincahan kerja startup agar tidak menghancurkan semangat kreatifnya. Poin ini dinilai patut dipahami perusahaan sejak awal ketika memutuskan untuk mendanai startup.

Secara umum, Kenneth menilai bahwa perbedaan mindset menjadi tantangan terbesar perusahaan dan startupuntuk mencapai target yang diinginkan. Korporasi memiliki kultur kerja dan pola kerja yang berbanding terbalik dengan startup.

“Di awal MDI Ventures berdiri, masih banyak organisasi di Telkom yang belum memahami startup atau venturing. Di sini, kami bisa berkontribusi untuk me-leverage mindset startup supaya korporasi besar bisa beradaptasi,” paparnya.

Menurutnya, baik korporasi dan startup perlu saling menyeimbangkan antara pengembangan inovasi dan pengelolaan bisnis existing. Hal ini untuk menyelaraskan cara kerja mereka agar tidak terjadi benturan.

Ia mengungkap bahwa saat ini adaptasi mindset dan kultur kerja antara Telkom dan portofolio sudah mulai terlihat perubahannya. Malahan, ungkap Kenneth, Telkom telah berkolaborasi dengan banyak startup di mana nilai sinergi keduanya sudah jauh dari nilai yang kita investasikan di awal.

AC Ventures Jadi Entitas Baru Agaeti Ventures dan Convergence Ventures

Dua perusahaan modal ventura (venture capital) lokal, Agaeti Ventures dan Convergence Ventures, hari ini resmi mengumumkan merger dan kini bernama AC Ventures (ACV). Para Partner kedua perusahaan menjadi Partner perusahaan baru ini, yaitu Adrian Li, Michael Soerijadji, Donald Wihardja, dan Pandu Sjahrir.

Empat partner ini akan memimpin tim gabungan yang terdiri 6 profesional di bidang investasi dan tim operasional. Perusahaan memastikan tidak ada pegawai yang di-lay off terkait penggabungan bisnis ini.

Fokus AC Ventures adalah berinvestasi ke 35 startup tahap awal dalam 3 tahun mendatang. Prioritas pendanaan adalah startup di sektor e-commerce, layanan berbasis konten digital, fintech, dan teknologi untuk UKM.

“Dari pembangunan bisnis kunci ke perekrutan C-level dan pendanaan lanjutan, kami memiliki pengetahuan, pengalaman, dan jaringan untuk mendukung para pendiri secara dekat,” ujar Donald.

AC Ventures

ACV disebut telah diformalisasi sejak Q3 2019. Mereka mengklaim telah mulai berinvestasi dengan entitas baru, melalui dana Partner, selama 6 bulan terakhir, tetapi belum bersedia mengumumkan siapa portofolio barunya dan berapa dana kelolaannya sekarang.

Kepada DailySocial, Michael dan Donald mengungkap dana  saat ini–dana kelolaan ketiga bagi Agaeti, Convergence, dan ACV–masih belum fully close. Mereka menyebut persentase terbesar LP-nya adalah pihak asing. Termasuk dalam jajaran LP untuk dana kali ini adalah korporasi digital regional, konglomerat lokal, dan para pendiri dana ventura di Amerika Serikat dan Tiongkok.

Michael dan Donald menyebutkan ticket size per startup dari dana kelolaan baru akan lebih besar dibanding ticket size mereka terdahulu, yang berkisar antara ratusan ribu dollar hingga jutaan dollar.

Jajaran Partner AC Ventures
Jajaran Partner AC Ventures

Michael mengatakan, “Gelombang pertama investasi [di Indonesia] telah mengakselerasi adopsi teknologi di belanja online, transportasi, travel, dan fintech. Meskipun demikian, Indonesia masih cukup muda di kurva adopsi [teknologi] dan gelombang berikutnya akan melihat disrupsi di lebih banyak ruang tradisional dan [menciptakan] peluang baru.”

Dari dana terdahulu, ACV secara total telah berinvestasi ke 70 startup, dengan Convergence telah memiliki 5 exit dan Agaeti memiliki 1 exit. Dana kelolaan yang dimiliki masing-masing disebut telah sepenuhnya dialokasikan.

Pasca merger ini, masing-masing portofolio akan tetap dikelola secara terpisah. Meskipun demikian, startup portofolio akan mendapatkan akses ke kemitraan baru ini untuk mendukung pertumbuhan startup mereka.

Salah satu kemitraan yang tercipta adalah potensi pendanaan tahap lanjut melalui Indies Capital, karena Pandu Sjahrir juga merupakan Managing Partner di Indies Capital.

“Tujuan kami adalah mengonsolidasi sumberdaya kami untuk menciptakan platform dengan nilai eksponensial yang dapat memberikan dukungan signifikan bagi para Pendiri startup portofolio kami untuk membangun dan meningkatkan bisnisnya di seluruh Indonesia–pasar terbesar di Asia Tenggara,” ujar Adrian.

Tren konsolidasi

Pendirian ACV merupakan konsolidasi perusahaan VC pertama yang resmi diumumkan di Indonesia. Setelah gelombang investasi tahap pertama dalam 10 tahun terakhir, beberapa perusahaan modal ventura disebut-sebut mulai melakukan konsolidasi agar bisa mengumpulkan dana kelolaan tahap berikutnya.

Pasca bergabungnya Arya Setiadharma ke jajaran Partner MDI Ventures, Prasetia Dwidharma disebut memiliki manajemen bersama dengan Everhaus dengan entitas Prasetia Everhaus Ventures. Rumor lain menyebut Koru Ventures Singapura kini ikut mengelola portofolio Venturra Capital.

Tren ini diperkirakan akan terus berlanjut, mengingat kondisi global yang tidak menentu akibat pandemi Covid-19. Meskipun demikian, para investor tetap sepakat bahwa Indonesia memiliki potensi yang luar biasa dan mereka berkomitmen mendukung pertumbuhan startup lokal.

“Indonesia telah memiliki track record yang jelas untuk menciptakan valuasi miliaran dollar bagi bisnis berbasis teknologi. Dengan Indonesia diperkirakan menjadi salah satu ekonomi terbesar dunia, berdasarkan GDP di tahun 2030, kita masih berada di fase awal dalam menciptakan nilai-nilai masa depan melalui teknologi,” ujar Pandu.

Jungle Ventures to Invest in Two Indonesian Based Startups by the End of This Year

Closing the third round at $240 million (more than 3.3 trillion Rupiah), venture capital for seed funding in Southeast Asia, Jungle Ventures, plans to invest in two Indonesian based startups by the end of this year. Jungle Ventures’ Managing Partners, David Gowdey said, both are platforms targeting retail consumers in Series A.

“We’ve always been focusing on startups focused on social commerce, consumer, and software. Currently, only two startups from Indonesia are to receive funding from Jungle Ventures [the third round]. It’s possible to have another startup to invest from Southeast Asia by 2020.”

The ticket size for series A is between $3 million up to $7.5 million, while seed funding is usually at $500 thousand up to $1 million.

Jungle Ventures has doubled the funds from the previous round, Jungle Ventures II (2016), with nearly 60% comes from outside Asia. More than 90% of the capital comes from institutional investors from North America, Europe, the Middle East, and Asia. The new investors dominate this round about 70%, while the rest have previously participated, including the $40 million which comes separately in the managed account.

The fresh money is to be invested in various tech-companies and digital businesses in Southeast Asia. Previously, Jungle Ventures has invested in Kredivo, RedDoorz, Sociolla, and SweetEscape.

Focus on margin, not GMV

In addition to funding, the company aims to support startups by providing consultation and mentorship. He said that the company is to assist startups to focus more on margin, not GMV. The step was made to avoid potential issues in the future.

“We’ve always been encouraging startups to focus on margin instead of GMV, therefore, the long-term plans and target can be measured, not only the prediction. We use a different approach in searching for potential startups, we’re looking for those who aren’t fundraising,” he said.

It was supported by Amit Anand who has expertise in the software development sector and David Gowdey who is responsible for Koprol acquisition by Yahoo a few years ago, Jungle Ventures expects to create an Indonesian startup with the best software to compete in the global market.

“I think Indonesian talents are improving, especially those who have experience in the unicorns like Gojek, Tokopedia, Bukalapak and Traveloka. When they’re no longer at the company and building their own, they’re expected to be mature enough to create products and services in demand,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Jungle Ventures Siapkan Dana untuk Dua Startup Indonesia Jelang Akhir Tahun

Berhasil mengumpulkan dana tahap ketiga dengan nilai total kelolaan $240 juta (lebih dari 3,3 triliun Rupiah), perusahaan modal ventura tahap awal Asia Tenggara Jungle Ventures berencana berinvestasi ke dua startup Indonesia akhir tahun ini. Menurut Managing Partners Jungle Ventures David Gowdey, kedua startup tersebut merupakan platform yang menyasar konsumer ritel di tahap Seri A.

“Sejak awal kita fokus kepada startup yang menyasar kepada social commerce, consumer, dan software. Untuk saat ini baru dua startup asal Indonesia yang akan menerima pendanaan dari Jungle Ventures [untuk dana tahap ketiga]. Tidak menutup kemungkinan tahun 2020 mendatang akan ada lagi startup di Asia Tenggara yang mendapatkan investasi dari kami.”

Ticket size yang disiapkan Jungle Ventures untuk tahap seri A adalah antara $3 juta hingga $7,5 juta, sedangkan untuk startup tahap awal antara $500 ribu sampai $1 juta.

Jungle Ventures telah mengumpulkan pendanaan dengan jumlah dua kali lipat lebih besar dari pendanaan sebelumnya, Jungle Ventures II (2016), dengan hampir 60 persen pendanaan berasal dari luar Asia. Lebih dari 90% modal berasal dari investor institusional Amerika Utara, Eropa, Timur Tengah, dan Asia. Jumlah investor baru mengambil porsi hampir 70 persen dari penggalangan dana investasi ini, sedangkan sisanya merupakan investor lama, termasuk $40 juta yang diperoleh secara terpisah dalam komitmen akun kelolaan (managed account).

Dana tersebut akan diinvestasikan pada berbagai perusahaan berteknologi inovatif dan bisnis digital di Asia Tenggara. Sebelumnya Jungle Ventures telah berinvestasi ke Kredivo, RedDoorz, Sociolla dan Sweet Escape.

Fokus ke margin, bukan GMV

Selain memberikan pendanaan, perusahaan berupaya memberikan dukungan bagi startup berupa konsultasi dan arahan. Menurut David, perusahaan akan mengarahkan startup untuk fokus ke margin dan bukan kepada GMV. Langkah tersebut diambil untuk menghindari potensi permasalahan di masa mendatang.

“Sejak awal kita selalu mengajak pendiri startup untuk memikirkan margin dibandingkan GMV, sehingga rencana dan target dalam jangka panjang sudah bisa ditentukan, bukan hanya prediksi atau target saja. Kita juga melakukan pendekatan yang unik saat mencari startup yang memiliki potensi, yaitu startup yang sedang tidak melakukan penggalangan dana, mereka yang kami cari,” kata David.

Didukung Amit Anand yang memiliki pengalaman di bidang pengembangan piranti lunak dan David Gowdey yang bertanggung jawab terhadap akuisisi Koprol ke Yahoo beberapa tahun yang lalu, Jungle Ventures berharap bisa menciptakan startup Indonesia yang memiliki produk piranti lunak terbaik dan mampu untuk bersaing dengan pasar global.

“Menurut saya saat ini talenta di Indonesia sudah semakin baik, terutama mereka yang sebelumnya pernah bekerja di startup unicorn seperti Gojek, Tokopedia, Bukalapak hingga Traveloka. Ketika mereka keluar dan membangun startup sendiri, diharapkan bisa menjadi sumber daya yang sudah siap untuk menghasilkan produk atau layanan yang dibutuhkan,” kata David.

East Ventures Masih Akan Terus Menambah Portofolio Startup Baru di Tahun 2019

Sebagai salah satu modal ventura yang cukup aktif memberikan pendanaan, East Ventures konsisten dengan misi mereka membantu startup early stage. Mengklaim bersifat agnostik, pihaknya mengatakan tidak memiliki kriteria khusus mengenai startup kategori apa yang bakal diinvestasi.

Saat ini East Ventures telah berinvestasi di ratusan perusahaan di Indonesia, Singapura, Jepang, Malaysia, dan Thailand. Mayoritas portofolio East Ventures mampu mendapatkan pendanaan lanjutan, mendominasi pasar dan bahkan menjadi pemimpin di bidangnya.

Di antara startup yang saat ini sudah sukses dan masih mendapatkan pendanaan tahapan lanjutan adalah Tokopedia, Traveloka, Ruangguru, Warung Pintar, Disdus (diakuisisi oleh Groupon), Kudo (diakuisisi oleh Grab), Loket (diakuisisi oleh Gojek), Shopback, Techinasia, IDN Media, Moka, CoHive, dan Omise.

Menurut Partner East Ventures Melisa Irene, memasuki usia yang ke 10 tahun bulan Oktober mendatang, East Ventures masih memiliki rencana untuk terus memberikan pendanaan tahap awal kepada startup Indonesia. Sedikitnya sudah 30 startup yang mendapatkan pendanaan tahun 2018 lalu. Dan tahun 2019 ini, East Ventures memiliki target untuk menambah jumlah tersebut.

“Selama 6 bulan terakhir kami sudah closed 12 deal, saat ini 6 startup sedang dalam tahap persiapan dan target closed East Ventures adalah 24 startup sampai kuartal tiga mendatang,” kata Melisa.

Selain mendukung berbagai startup, East Ventures juga mengembangkan tiga proyek internal di Indonesia yaitu CoHive, Warung Pintar dan Fore Coffee. Ketiga proyek tersebut berhasil menemukan produk yang tepat untuk pasar (product market fit) dan kemudian berdiri menjadi startup mandiri.

Menurut Melisa, keputusan East Ventures untuk menjalankan proyek dengan menempatkan tim East Ventures adalah melihat peluang dan ekosistem yang mendukung untuk meluncurkan proyek tersebut.

“Saya juga melihat belum ada entrepreneur yang bisa menawarkan kepada kami solusi yang kemudian kami jalankan sebagai proyek internal,” kata Melisa.

Awal tahun ini, East Ventures memperkenalkan hipotesis investasi baru, yaitu New Consumption. Beberapa portofolio East Ventures yang sejalan dengan hipotesis tersebut adalah Fore Coffee dan juga The FIT Company, startup yang memanfaatkan teknologi dalam membangun wellness ecosystem dengan misi membantu individu mencapai tujuan hidup sehat.

Pentingnya Product Market Fit

Bagi East Ventures, semua model bisnis jika memiliki inovasi yang menarik, tim yang solid dan potensi yang menjanjikan, pastinya akan menjadi perhatian untuk diberi pendanaan. Di East Ventures sendiri terdapat tiga poin penting yang diterapkan saat proses kurasi startup dilakukan. Di antaranya adalah people, potensial market dan product.

“Kita juga menyarankan startup tersebut sudah mengerti dengan baik product market fit. Jika startup sudah melakukan proses tersebut, kami sebagai investor akan melirik produk yang ditawarkan,” kata melisa.

Disinggung apakah dalam waktu ke depan East Ventures tertarik untuk berinvestasi kepada e-sports, Melisa menegaskan untuk saat ini belum tertarik. Sebagai modal ventura, East Ventures tidak tertarik memberikan pendanaan kepada industri yang hanya bersifat trending dan hype saja, namun belum bisa menjanjikan masa depannya secara long term.

“Kita melihat e-sports, meskipun sangat populer saat ini hanya bersifat hype sesaat saja, sementara secara long term prospeknya belum terlihat menjanjikan,” kata Melisa.

Startup Funding Starts Taking Significant Part in Local Venture Capital Industry

The performance of Indonesian venture capital has reached Rp8.13 trillion per October or increased by 18.12% year-on-year. Investment in the conventional sector is still the primadonna, despite the increasing trend which comes from the business support and other sectors in which there’s funding for startups and the creative industry.

Based on economic sector review, investment for restaurant and hotel trading is dominating with Rp3.61 trillion. Followed by other sectors of Rp1.07 trillion, and business support for Rp827 million (around 20 percent of total funding).

Business support has increased rapidly compared to the other services by 50% year-on-year. In fact, in October 2017, this sector contributes only Rp551 billion.

Quoted from Kontan, Eddi Danusaputro, Mandiri Capital’s CEO explained that business support services and other sectors include technology companies, such as fintech, health, education, agriculture, and e-commerce. In addition, there are creative consulting, design, and digital companies. He also predicts the investment in this sector will keep increasing by next year.

“We’re still bullish for next year. We [Mandiri Capital] are still focused on fintech and agritech. In terms of fintech, the one that currently in demand is insurtech, wealth management, and big data,” he said.

Jefri R. Sirait, the Chairman of Indonesian Venture and Startup Capital Association (Amvesiondo) mentioned the investment increase was indeed followed by the tourism sector, such as restaurant and hotel. In addition, infrastructure and lifestyle also affect the growth of other tourism business, such as the creative industry engaged in food, fashion, and handicrafts.

“This condition makes the investment and capital demand of entrepreneurs increasing”, he explained.

Based on OJK’s data, as seen from venture capital performance of business activity types, revenue sharing is dominating with a value of R6.25 trillion and year-on-year growth reaching 26.06%. Followed by share investment of Rp1.38 trillion and convertible bond of Rp484 billion.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pendanaan untuk Startup Mulai Ambil Porsi Signifikan Industri Modal Ventura Lokal

Kinerja industri modal ventura Indonesia kini tembus Rp8,13 triliun hingga Oktober 2018 atau tumbuh 18,12% secara year on year. Penyertaan modal sektor konvensional masih menjadi primadona, meski terjadi tren peningkatan dari sektor jasa pendukung bisnis dan sektor lain-lain yang di dalamnya terdapat pendanaan untuk startup dan industri kreatif.

Bila dilihat berdasarkan sektor ekonomi, penyertaan modal untuk sektor perdagangan restoran, dan hotel mendominasi secara keseluruhan sebesar Rp3,61 triliun. Kemudian diikuti sektor lain-lain Rp1,07 triliun dan jasa pendukung bisnis Rp827 miliar (sekitar 20-an persen dari total kucuran dana).

Jasa pendukung bisnis mengalami kenaikan paling drastis dibandingkan lainnya yakni 50% secara year on year. Padahal pada Oktober 2017, sektor ini baru menyumbang Rp551 miliar.

Dikutip dari Kontan, CEO Mandiri Capital Eddi Danusaputro menjelaskan, sektor jasa pendukung bisnis dan sektor lain-lain meliputi perusahaan teknologi seperti fintech, kesehatan, pendidikan, agrikultur, dan e-commerce. Selain itu, ada perusahaan konsultan, desain, dan digital kreatif. Dia pun memprediksi, penyertaan modal di sektor ini akan terus tumbuh pada tahun depan.

“Kami tetap bullish untuk tahun depan. Kami [Mandiri Capital] masih fokus di fintech dan juga agritech. Untuk fintech, sektor yang diminati sekarang itu adalah insurtech, wealth management, dan big data,” ujarnya.

Ketua Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Jefri R. Sirait menambahkan, kenaikan penyertaan modal memang diikuti pertumbuhan di sektor pendukung wisata, seperti restoran dan hotel. Di samping itu, kondisi infrastruktur dan perubahan gaya hidup juga memengaruhi tumbuhnya usaha pendukung wisata lainnya, misalnya industri kreatif yang bergerak di bidang makanan, fesyen, dan kerajinan tangna.

“Kondisi ini membuat kebutuhan investasi dan modal kerja para pengusaha jadi lebih besar,” terang Jefri.

Berdasarkan data OJK, bila melihat kinerja modal ventura berdasarkan jenis kegiatan usaha, pembiayaan bagi hasil mendominasi dengan nilai sebesar Rp6,25 triliun dan pertumbuhan secara year on year mencapai 26,06%. Lalu diikuti penyertaan saham sebesar Rp1,38 triliun dan obligasi konversi Rp484 miliar.

GO-JEK Konfirmasi Kehadiran GO-Ventures

Setelah sebelumnya beredar kabar tentang GO-Ventures, sebuah unit permodalan dari GO-JEK, beberapa waktu lalu CEO GO-JEK, Nadiem Makarim, memberikan konfirmasi terkait rencana tersebut. Menurut sumber yang kami peroleh, Head of Go-Ventures adalah mantan eksekutif Redmart yang lama berkecimpung di industri investment banking, khususnya di Singapura.

Disebutkan oleh Nadiem, saat ini GO-Ventures tengah dipersiapkan dan akan segera diresmikan. GO-Ventures menargetkan pendanaan untuk startup di Asia Tenggara, mengedepankan kerja sama strategis dengan bisnis GO-JEK.

Hingga saat ini GO-JEK setidaknya telah berinvestasi di startup teknologi kesehatan HaloDoc dan startup teknologi kesehatan PasarPolis. Selain itu mereka juga telah mengakuisisi sejumlah layanan fintech.

Kehadiran GO-Ventures turut menabuh kembali genderang persaingan bersama rivalnya, Grab. Beberapa waktu lalu Grab sudah lebih dulu mengumumkan Grab Ventures. Vertikal industri yang disasar Grab Ventures meliputi online payments, finance, shopping, logistic dan food delivery.

Application Information Will Show Up Here

Mendorong Startup Melantai di Bursa Saham

Indonesia saat ini memiliki empat startup teknologi yang memiliki valuasi di atas satu miliar dollar (lebih dari 14 triliun Rupiah menurut kurs hari ini). Mereka adalah Go-Jek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak. Meskipun demikian, keempatnya belum ada yang go public di bursa saham, khususnya Bursa Efek Indonesia.

Jagartha Advisors, sebuah layanan independent wealth management melihat hal ini didorong beberapa faktor.

Peraturan masih ketat

Saat ini tercatat baru tiga startup yang didominasi dari kalangan fintech yang sudah melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia. Mereka adalah Kios, MCash dan NFC Indonesia. Meskipun sudah banyak startup di Indonesia yang memiliki potensi untuk melakukan IPO, namun masih ketatnya peraturan dari BEI dan OJK, menyulitkan mereka untuk melakukan IPO di bursa efek.

“Saya melihat salah satu alasan rendahnya minat startup untuk melantai adalah karena saat ini Indonesia masih mengacu kepada dua papan, yaitu papan utama (mainboard) dan papan pengembangan (development). Untuk papan utama persyaratannya cukup sulit untuk bisa dipenuhi oleh startup yang terbilang masih kecil skala perusahaannya,” kata Co-Founder dan Managing Partner Jagartha Advisors Ari Adil.

Ketiga startup yang sudah masuk dalam bursa tersebut saat ini juga masih tergolong dalam papan pengembangan dan belum bisa terdaftar di papan utama. Untuk itu Ari melihat, rencana bursa untuk melihat kembali peraturan yang ada dan rencana untuk menerbitkan papan akselerasi menjadi solusi yang tepat untuk startup dan UKM.

Sebagai informasi, performa saham Kioson dan M Cash cukup memuaskan sejak mereka melakukan IPO akhir tahun lalu. Kapitalisasi pasar kedua perusahaan kini sudah di atas 2 triliun Rupiah.

Co-Founder dan Managing Partner Jagartha Advisors Ari Adil
Co-Founder dan Managing Partner Jagartha Advisors Ari Adil

“Manajemen Bursa Efek Indonesia (BEI) mengatakan akan membuka satu papan akselerasi bagi emiten mungkin sekitar akhir tahun 2018. Jika nantinya diluncurkan, startup bisa mendapatkan tambahan modal alternatif dari IPO tersebut,” kata Ari.

Saat ini fenomena sharing economy yang ditawarkan oleh startup “Unicorn” di Indonesia disinyalir menjadi faktor pemicu utama masuknya dana investasi asing yang fantastis. Baik GO-JEK, Tokopedia, Bukalapak, maupun Traveloka memaksimalkan konsep one stop solution dalam satu aplikasi. Menurut Ari, mereka (startup unicorn) tidak memiliki aset seperti perusahaan konvensional pada umumnya.

“Startup tersebut menyediakan aplikasi yang bermanfaat bukan hanya bagi pengguna tetapi bagi mereka yang memiliki aset seperti motor, mobil, produk, dan kehadiran startup ini mampu menjembatani gap di antara ini,” kata Ari.

Investor lokal harus jadi “raja”

Maraknya investor asing yang mendanai banyak startup di Indonesia merupakan hal yang positif untuk mempercepat pertumbuhan startup. Namun demikian, fenomena tersebut belum diimbangi dengan jumlah investor lokal dari venture capital hingga kalangan individu untuk berinvestasi. Hal tersebut yang menurut Ari, kurang untuk dikembangkan potensinya untuk investor lokal.

“Saya melihatnya sebenarnya orang Indonesia ingin berinvestasi di GO-JEK atau Traveloka, namun selama ini belum ada pasar atau peluang untuk melakukan kegiatan tersebut. Dengan adanya papan akselerasi untuk startup, merupakan akses untuk masyarakat Indonesia berinvestasi di startup indonesia melalui IPO,” kata Ari.

Masalah akses tersebut yang masih menjadi penghambat kegiatan melakukan investasi. Peluang bagi para investor lokal untuk berinvestasi pada startup unicorn Indonesia masih tersedia. Terlebih jika startup tersebut memutuskan untuk melantai di bursa saham Indonesia. Peran, dukungan, dan kolaborasi dari banyak pihak termasuk swasta dan pemerintah sangat dibutuhkan guna mencetak investor lokal yang menjadi “raja” sepenuhnya bagi startup-startup unicorn asal Indonesia.

Pembiayaan Modal Ventura Tembus Rp8,22 Triliun

Menjelang pertengahan tahun, OJK mencatat industri modal ventura telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp8,22 triliun hingga Mei 2018. Angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 14,95% bila dibandingkan dalam periode yang sama di tahun sebelumnya dengan angka Rp7,15 triliun.

Portofolio kegiatan usaha masih didominasi pembiayaan bagi hasil dengan persentase 78%, kemudian disusul penyertaan saham 16,3%, dan sisanya obligasi konversi 5,7%.

Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Rimawan Yasin mengatakan kinerja positif ini merupakan hasil dari perbaikan bisnis para pelaku usaha. Pengembangan bisnis juga turut andil dalam memberikan kinerja yang moncer, salah satunya gencar berekspansi.

Saat ini pembiayaan bagi hasil masih dominan. Untuk itu ke depannya, asosiasi bakal terus mendorong anggotanya untuk mulai secara bertahap mengalihkan kegiatan usaha menjadi penyertaan saham, sesuai khitah bisnisnya.

“Untuk mengubah mindset-nya kan tidak mudah, butuh waktu. Sehingga pemahaman kepada pelaku memang menjadi penting saat ini,” terang Rimawan dikutip dari Kontan.

Sampai akhir tahun ini, dia memproyeksikan bisnis modal ventura masih bisa tumbuh dobel digit. Adanya insentif pajak dari pemerintah, sambungnya, bakal sedikit banyak turut mendongkrak kinerja bisnis ini.

Merujuk kembali ke data OJK, kinerja bisnis modal ventura sepanjang tahun lalu mencapai Rp6,78 miliar. Dari jumlah ini, pembagian hasil jadi kontributor utama sebesar 73,16% atau Rp4,96 triliun. Disusul penyertaan saham 17,7% atau Rp1,2 triliun, dan sisanya pembiayaan obligasi konversi Rp607 miliar.