Hiruk Pikuk KTA Online, Produk Kartu Kredit Virtual Masa Kini

Dhimas sudah dua kali mencicil smartphone lewat aplikasi Akulaku, yang satu untuk ibunya dan satunya lagi untuk dirinya sendiri. Setelah dihitung-hitung besaran bunga yang ditetapkan, baginya justru lebih murah ketimbang mengambil cicilan di perusahaan multifinance.

Ia membeli smartphone seharga Rp2,1 juta dengan tenor enam bulan. Saat ia hitung, total bunga yang dibayarkan hanya sekitar Rp200 ribu.

“Waktu itu sebenarnya coba dua aplikasi, Akulaku sama Kredivo. Tapi akhirnya ambil yang paling cepat aja verifikasinya, yaitu Akulaku karena cuma dua jam saja tapi limit-nya Rp2,5 juta. Ada plus minus-nya sih. Tapi kalau ambil cicilan handphone di multifinance lebih mahal,” ujar Dhimas kepada DailySocial.

Berkat rekam jejaknya yang baik selama jadi nasabah Akulaku, setelah cicilan pertama lunas tanpa tunggakan ia mendapat kenaikan limit menjadi Rp7 juta saat memutuskan mengambil cicilan kedua.

Dhimas pun juga mulai tertarik untuk membeli pulsa prabayar secara mencicil, artinya dia baru bayar tagihan pulsa sebulan setelahnya. Fitur cicil pulsa itu ada di dalam aplikasi Akulaku. Biasanya dia beli pulsa sekitar Rp100 ribu-Rp200 ribu.

“Lebih enak beli pulsanya di sini [Akulaku] biar nanti pas akhir bulan pengeluarannya cukup sekali saja. Biar kelihatan uang [gajian] ke mana saja.”

Lukman tak jauh berbeda dengan Dhimas. Membeli barang secara mencicil jadi suatu kebiasaan yang ia lakoni saat ini. Lukman terdaftar sebagai nasabah di aplikasi Kredivo, mirip seperti Akulaku, sejak akhir tahun lalu. Limit yang ia dapat Rp14,5 juta. Dengan limit sebesar itu, ia beli kamera mirrorless seharga Rp5 juta, bunga 2,95% flat dan tenor 1 tahun. Beli mainan untuk anak, sampai pulsa pun juga dibeli lewat aplikasi tersebut.

Sama seperti Dhimas, Lukman beralasan belanja kebutuhan justru lebih simpel karena dia hanya sekali membayar semua tagihannya satu kali saja. Tidak harus keluar “uang printilan” setiap harinya.

“Pas gajian semuanya dibayar, jadi lebih simpel. Bunganya juga jauh lebih ringan. Kalau bayar sebelum jatuh tempo bisa enggak kena bunga.”

Potensi KTA online

Pengalaman Dhimas dan Lukman bisa memberi gambaran tentang kondisi produk Kredit Tanpa Agunan (KTA) yang makin merambah ke berbagai segmen masyarakat berkat perusahaan penyedia teknologi, meski bukan dari perusahaan jasa keuangan. Akulaku dan Kredivo adalah dua dari sekian banyak pemain startup fintech di Indonesia yang menggeluti potensi dari produk KTA berbasis smartphone.

Bila diibaratkan, produk KTA yang mereka kembangkan itu seperti kartu kredit virtual, bisa belanja apapun di toko online kapan saja sesuai dengan limit masing-masing. Bayar tagihannya cukup lewat rekening bank. Tak jauh berbeda dengan pengalaman bagi pemegang kartu kredit.

Pengalaman seperti inilah yang ingin diberikan para pemain tersebut kepada seluruh masyarakat Indonesia. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menuturkan, pasar KTA online masih sangat luas terutama di kelas menengah perkotaan.

Budaya konsumtif seperti pembelian barang-barang elektronik dan fesyen jadi pemicu meningkatnya permintaan KTA. Jenis debitur KTA pun kini beragam, bagi segmen yang punya rekam kredit kurang bagus biasanya menghindari bank dan memilih startup fintech.

Mereka yang malas berurusan dengan administrasi bank juga preferensinya lebih condong ke startup fintech, terlebih prosedurnya yang lebih mudah dan cepat. Meski kini bank memiliki fasilitas pengajuan secara online, mengingat bank adalah industri yang diatur dengan ketat, tetap saja banyak aturan yang harus dipenuhi.

“Berarti ada konsekuensi kemudahan dan kecepatan proses pengajuan KTA dari pemain fintech yang memang harus dibayar dengan bunga lebih mahal atau denda keterlambatan yang tinggi. Sehingga dengan kata lain, bank yang masuk ke KTA online tidak bersaing secara langsung dengan fintech. Pasarnya masih berbeda,” terang Bhima.

Tokopedia, sebagai salah satu layanan marketplace terbesar, ingin mendukung penguatan daya beli masyarakat Indonesia. Salah satunya dengan pengembangan produk dan layanan keuangan digital seperti KTA yang sudah meluncur sejak tahun lalu.

Menempatkan diri sebagai platform, Tokopedia menyediakan berbagai pilihan KTA dari mitra-mitra penyedia layanan tersebut dan memilih program sesuai para pengguna Tokopedia. Seluruh proses approval serta penagihan dilakukan sepenuhnya oleh mitra penyedia produk yang bersangkutan. Tokopedia hanya menjadi jalur distribusi pemasarannya.

“Kami melihat potensi besar dalam perluasan pemanfaatan produk dan layanan keuangan. Spesifik untuk KTA online, potensi pengembangannya masih sangat besar. Apalagi saat ini KTA merupakan salah satu jenis pinjaman favorit di antara pengguna Tokopedia,” terang Head of Fintech Tokopedia Samuel Sentana.

Kondisi masyarakat

Pemain KTA online juga unjuk bicara ketika membahas potensi bisnisnya. Co-Founder dan CEO Kredivo Akshay Garg mengatakan Indonesia masih menghadapi kesenjangan dalam hal penetrasi kartu kredit. Hanya 3,2% orang Indonesia yang memiliki kartu kredit dari hampir 260 juta populasi.

Ada 70 -80 juta segmen kelas menengah yang layak mendapatkan pinjaman tapi ditolak oleh bank karena profil pekerjaannya. Ini adalah celah besar untuk diisi pemain KTA berbasis online.

Mendukung pernyataan Akshay, COO TunaiKita Andry Huzain menambahkan berdasarkan data OJK, kebutuhan pinjaman nasional mencapai Rp1.600 triliun, namun baru sekitar Rp600 triliun yang sudah terlayani lewat bank.

TunaiKita merupakan perusahaan patungan antara WeCash Southeast Asia, JAS Kapital, dan Kresna Usaha Kreatif (KUK). Dalam memperoleh pinjaman, TunaiKita bekerja sama lewat skema p2p lending dengan investor dari bank dan lembaga keuangan konvensional yang selama ini tidak terlayani oleh lembaga-lembaga tersebut.

“Pendanaan berbasis fintech hadir sebagai alternatif untuk menjangkau masyarakat yang tidak terlayani oleh instrumen pendanaan konvensional, sehingga menjadi komponen penting dalam upaya meningkatkan inklusi keuangan secara nasional,” ucap Andry.

Masih timpangnya antara potensi dan realisasi pembiayaan, juga tercermin dari kontribusi transaksi e-commerce pada tahun lalu sekitar $10 miliar. Jauh dibandingkan total transaksi ritel offline di Indonesia sebesar $500 miliar.

Pangsa e-commerce masih 2% dari ritel offline. Ini dari pasar sesungguhnya dan masalah inklusi keuangan yang jauh lebih besar untuk dipecahkan,” tambah CEO Awan Tunai Dino Setiawan.

Sama seperti TunaiKita, Awan Tunai juga merupakan salah satu pemain KTA online. Dalam pendekatan bisnisnya, Awan Tunai lebih mengarah ke fasilitas pemberian cicilan untuk nasabah saat berbelanja di toko/agen offline yang sudah bermitra, seperti bengkel, toko susu, apotik, toko HP, dan toko bangunan.

Baik Kredivo, TunaiKita, Awan Tunai, dan Akulaku adalah sebagian dari sekian banyak startup fintech lending yang bergerak di produk KTA berbasis aplikasi.

Coba saja tengok Play Store dan App Store dengan kata kunci pencarian “pinjaman”, “uang”, “kilat”, “cepat”, “tunai”, dan sebagainya. Niscaya, Anda pasti menemukan berbagai aplikasi yang menyediakan jasa KTA online.

Masing-masing perusahaan mengeluarkan berbagai jurus sakti untuk menarik nasabah dengan berbagai penawaran. Entah itu proses verifikasi yang singkat, hanya cukup menggunggah KTP, bisa mendapat fasilitas bunga rendah, limit tinggi, dan sebagainya.

Istilah KTA ini sebenarnya juga ada di perbankan dan multifinance, biasanya di sering lebih dikenal dengan kredit multiguna. Produk ini bisa digunakan untuk kebutuhan konsumsi, renovasi rumah, naik haji, bayar sekolah, dan lainnya.

Dari data OJK, kinerja pembiayaan multiguna di multifinance mencapai Rp252,83 triliun per Mei 2018 atau naik 8,36% secara year-on-year (yoy). Pembiayaan ini mendominasi dibandingkan jenis lainnya seperti pembiayaan investasi Rp126,26 triliun dan pembiayaan modal kerja Rp23,36 triliun.

Sayangnya OJK, tidak merilis secara detail data soal kredit macet di multiguna. Secara keseluruhan NPL di mulfinance sebesar 3,12% di periode yang sama.

Untuk industri perbankan, mengutip data BI, kinerja kredit multiguna sebesar Rp491,49 triliun naik 13,88% secara yoy per April 2018. Di sektor ini saja, kredit macetnya sebesar 1,09%, naik tipis dibandingkan bulan sebelumnya 0,99%.

Survei penetrasi produk KTA

Bekerja sama dengan JakPat, DailySocial melalukan survei singkat terkait penetrasi produk KTA terhadap 1938 responden di Indonesia, mayoritas didominasi oleh kalangan usia 20-25 tahun (37,77%) dan 26-29 (23,43%).

Hasilnya cukup menarik, 55,37% responden mengatakan bahwa mereka pernah belanja online dengan fitur cicilan tanpa agunan. Yang tidak pernah, mereka beralasan memberatkan (38,5%), riba (26,01%), besaran bunga (22,31%), dan lainnya (13,18%).

Responden yang menyatakan pernah memakai, mengaku menggunakan fitur tersebut sekitar 1-3 kali (83,13%). Ada juga yang pernah pakai antara 3-10 kali (13,23%) dan di atas 10 kali (3,63%). Mereka memakainya untuk beli handphone (52,56%), barang elektronik (26,37%), properti (12,4%), barang mewah (2,24%), dan lainnya (6,43%).

Untuk opsi jawaban lainnya, ada yang menjawab untuk beli tiket pesawat, baju, modal usaha, bayar hutang, biaya medis, kendaraan, pulsa PLN, dan sebagainya. Responden menyatakan alasan mengambil produk cicilan ini, lebih ringan (50,89%), sama saja (33,83%), memberatkan (14,54%), dan lainnya (0,75%).

Secara umum responden menyebut proses pengajuan KTA yang ada sejauh ini lebih simpel (83,69%), sisanya menjawab rumit (16,31%). Ketika ditanya pertimbangan saat memilih perusahaan tempat mengambil cicilan, mayoritas dikarenakan penawaran bunga lebih ringan (31,13%), promosi yang ditawarkan menarik (27,59%), referensi orang lain (23,95%), reputasi perusahaan (15,94%), dan lainnya (1,4%).

Terkait perusahaan yang responden pilih untuk mengambil produk, responden mayoritas memilih bank (62,63%), fleksibel tergantung penawaran (21,81%), startup lending (8,48%), lembaga non bank (7,08%).

Terakhir, responden merasa paling familiar atau pernah gunakan pinjaman dari Akulaku (57,5%), Kredivo (44,55%), Home Credit (44,45%), UangTeman (34,4%), TunaiKita (31,8%), Kredit Pintar (29,54%), dan sisanya dari perusahaan seperti Dana Rupiah, Awan Tunai, Go Rupiah, Pinjaman Go, We Cash, dan sebagainya.

Dari hasil survei ini bisa disimpulkan bahwa responden sudah cukup familiar dengan produk KTA. Terlihat dari respons mereka yang mengatakan prosedur pengajuannya yang simpel. Hanya, responden masih mempercayakan bank sebagai institusi pemberi pinjaman, meski mereka masih mempertimbangkan opsi memilih perusahaan di luar bank karena mereka akan kembali melihat penawaran yang ditawarkan.

Mitigasi risiko

Profil beberapa penyedia layanan KTA online
Profil beberapa penyedia layanan KTA online

Produk KTA online dengan segala kemudahannya, juga menyimpan rasa was-was bagi perusahaan penyelenggaranya apabila nasabahnya gagal bayar hutang di kemudian hari. Wajib hukumnya untuk para penyelenggara memitigasi bisnis dengan mengembangan sistem credit scoring sendiri menggunakan teknologi termutakhir demi memastikan nasabah yang mereka pinjami adalah orang yang tepat.

Terlebih mereka bukan lembaga jasa keuangan yang diwajibkan OJK untuk terdaftar sebagai pelapor Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) atau dikenal OJK Checking (dulu BI Checking). SLIK adalah infrastruktur penting dalam industri keuangan untuk mitigasi risiko, terutama risiko kredit sehingga dapat menurunkan tingkat kredit macet.

SLIK menyimpan berbagai data akurat, antara lain data cicilan seperti Telkom, PLN, PDAM, termasuk BPJS. Kemudian nama ibu kandung, nama istri (dulu tidak ada), NPWP, fasilitas pinjaman, agunan, jaminan, informasi keuangan. Informasi penghasilan, data pasangan, informasi keuangan badan usaha yang lebih rinci dan informasi lain-lain.

Mitigasi risiko ini merupakan salah satu upaya para perusahaan penyelenggara untuk menekan kredit macet yang kemungkinan bakal terjadi ke depannya. Dalam ketentuan BI, bank diwajibkan untuk menjaga rasio kredit macet bersih (NPL nett) di bawah 5%. Rasio ini juga menjadi acuan bagi para penyelenggara dalam menunjukkan kualitas penyaluran, terlebih ada beberapa penyelenggara yang mendapat sumber dana pinjaman dari bank atau multifinance.

Andry Huzain menerangkan TunaiKita memanfaatkan lending robot yang mengombinasikan prinsip-prinsip finansial, teknologi mobile, big data, dan machine learning untuk mengevaluasi kredit dan menyetujui pinjaman dengan lebih cepat, berkualitas, dan bekerja 24/7.

Lending robot ini mampu mengelola risiko dalam penyaluran pinjaman secara transparan dan efisien. Proses pengajuan kredit pun bisa dituntaskan dalam hitungan detik jika nasabah tersebut memang punya kelayakan kredit yang tinggi. Nilai pinjaman yang ditawarkan mulai Rp500 ribu sampai Rp20 juta dengan tenor 10 hari hingga 6 bulan. Untuk pinjaman harian, bunganya dimulai 0,95% per hari.

Sejak berdiri tahun lalu hingga Q1 2018, TunaiKita telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp700 miliar dan menargetkan pertumbuhan bulanan 25%-30% setiap bulannya.

Sedangkan dari sisi Kredivo, perusahaan mengusung pelayanan cepat, mulai dari pengunduhan aplikasi sampai proses persetujuan kurang dari 5 menit. Proses checkout belanja hanya memakan dua kali klik saja, sehingga memudahkan konsumen dan mengurangi tingkat pengabaian keranjang bagi pedagang.

Akshay Garg mengatakan perusahaan mengembangkan sistem penilaian kredit dan verifikasi identitas digital yang memenuhi syarat sebagai pengguna potensial berdasarkan ribuan variabel yang berbeda. Ada kombinasi metodologi pembelajaran mesin dan statistik untuk menambang data di berbagai sumber, antara lain ponsel, grafik sosial, akun e-commerce, rekening bank, lokasi, dan sebagainya.

“Cara ini bertujuan untuk menghilangkan sebagian besar data palsu, serta peminjam buruk. Ada pemberitahuan berkala untuk membantu pengguna tetap mengetahui tanggal jatuh tempo mereka.”

Kredivo bekerja sama dengan lebih dari 200 perusahaan e-commerce yang bergerak di bidang marketplace, gadget & elektronik, pulsa, fesyen, perlengkapan rumah, jasa, travel & hotel, lifestyle, dan masih banyak lagi. Akshay mengklaim setiap bulannya dia mengklaim pertumbuhan bisnis secara keseluruhan tumbuh 20%.

Dalam kesempatan sebelumnya, Akshay menargetkan penyaluran pinjaman Kredivo sebesar US$150 juta (lebih dari Rp2 triliun) sepanjang tahun ini atau naik empat kali lipat dibandingkan sebelumnya US$40 juta (sekitar Rp500 miliar). Nasabah Kredivo diungkapkan telah menyentuh angka sekitar 500 ribu orang dan ditargetkan dapat tembus 1 juta.

Tahun lalu Kredivo mencatatkan sebanyak 20-25 ribu transaksi di e-commerce setiap harinya. Diharapkan tahun ini bisa tembus 150 ribu-200 ribu transaksi, seiring makin bertambahnya jumlah mitra e-commerce Kredivo.

Awan Tunai tak mau kalah. Mengingat pendekatan bisnis perusahaan yang berbeda, pihaknya memilih tidak masuk ke pasar e-commerce karena Dino Setiawan menilai pasar ritel offline jauh lebih besar karena juga mencakup pelaku UKM. Dalam mitigasi risiko, perusahaan bekerja sama dengan bank untuk menilai kredit, sementara AwanTunai menyediakan datanya.

“Kami menggunakan teknologi kami untuk membantu bank mengakses 85% orang Indonesia yang saat ini tidak dapat mereka layani. Bank itu sangat pandai dalam mengelola risiko, sedangkan fintech memiliki kekuatan yang dapat memproses pinjaman dengan biaya sangat rendah.”

Nominal pinjaman yang dapat diajukan antara Rp1,5 juta sampai Rp3 juta, tenor 9 bulan dan bunga mulai dari 3%. Hingga kini Awan Tunai menyalurkan ke lebih dari 10 ribu nasabah dari sekitar 150 ribu aplikasi yang mengajukan. Nilai pembiayaan yang telah disalurkan lebih dari Rp20 miliar dengan NPL yang selalu di jaga di bawah 5% sesuai industri.

Saat ini total mitra pengecer Awan Tunai ada lebih dari dua ribu toko yang tersebar di Jabodetabek. Perusahaan memperolah sumber dana pembiayaan dari lembaga keuangan, salah satunya KreditPlus sebesar $30 juta.

Secara industri, OJK mencatat hingga tengah tahun ini, NPL perusahaan fintech berada di kisaran 0,58%. Angka tersebut turun dibandingkan Januari 2018 di level 1%. Penurunan ini diklaim berkat teknologi kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) yang ketat menyeleksi calon peminjam karena banyak data yang diterima dan dikelola.

Buntut cerita Rupiah Plus

Cerita Rupiah Plus yang menjadi sorotan selama beberapa pekan belakangan karena cara penagihan hutang yang “tidak biasa” terhadap nasabahnya yang menunggak, menggerakkan asosiasi dan regulator untuk menenangkan masyarakat.

Rupiah Plus termasuk perusahaan yang menyediakan produk KTA online, mulai dari Rp800 ribu sampai Rp 1,5 juta dengan jangka waktu jatuh tempo 14 hari. Bila terlambat membayar akan dikenakan denda 2% per hari.

Kabar terbaru (13/7), OJK telah mengeluarkan sanksi berupa penangguhan proses izin usaha selama tiga bulan kepada pihak Rupiah Plus, mulai berlaku sejak awal Juli ini. Adapun status perusahaan tersebut baru mengantongi surat tanda terdaftar sebagai perusahaan p2p lending.

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menuturkan dampak dari sanksi tersebut rencana-rencana perusahaan yang akan dilakukan ketika sudah mendapat izin harus ditunda. Mereka harus memperbaiki internal perusahaan dan persyaratan lainnya yang diminta OJK.

“Kami sudah evaluasi, penyelenggara sudah punya SOP yang spirit-nya mirip dengan SE OJK. Tapi karyawannya dan pihak ketiga tidak bertindak sesuai SOP. Artinya ada kesalahan pengendalian internal yang lemah, sanksi tetap ada untuk mereka,” kata Hendrikus, Jumat (13/7).

Di pihak lain, OJK juga menemukan kesalahan debitur Rupiah Plus. Debitur itu menunjukkkan kesengajaannya menghindar dari kewajiban membayar tagihan dengan menonaktifkan nomor ponselnya, sehingga sulit dihubungi. Menurut Hendrikus, solusi yang baiknya dilakukan penyelenggara adalah melaporkannya ke OJK karena sudah ada itikad tidak baik di sini, bukan dengan memakai data pribadi di luar persetujuan.

“Kami coba lihat dari dua sisi, jadilah penyelenggara yang adil dan transparan, kerahasiaan data konsumen harus dijaga. Jadi jalan tengahnya bisa laporkan ke OJK atau ke asosiasi, kumpulkan data debitur bermasalah dalam satu pusat data biar direkam.”

Entah sanksi dari OJK ini bisa dikatakan membuat timbulnya efek jera atau tidak. Terpampang jelas di laman situs Rupiah Plus di Pusat Bantuan, pihak Rupiah Plus berjanji tidak akan mengungkapkan informasi pribadi nasabah pada pihak ketiga tanpa persetujuan Anda. Namun janji tersebut akan diingkari bila nasabah menunggak dan kebutuhan layanan. Apakah pernyataan ini sejalan dengan aturan OJK?

Tak hanya OJK yang bisa memberi sanksi, asosiasi pun demikian. Menurut Legal Coordinator Fintech Lending Division Aftech Chandra Kusuma, asosiasi bisa memberikan surat teguran kepada Rupiah Plus bahkan sampai dikeluarkan dari keanggotaan asosiasi.

“Kepercayaan masyarakat perlu dijaga. Selama ini industri fintech lending sangat dipercaya masyarakat dan terbukti telah berkontribusi bagi perekonomian negara. Kami sangat yakin konsumen akan tetap percaya pada bidang usaha fintech, pelaku usaha lain masih banyak yang bersikap baik, patuh hukum, dan beretika,” kata Chandra.

Bhima Yudhistira ikut menambahkan, fintech dapat dengan mudah bagi-bagi kredit ke debitur lewat teknologi. Namun untuk penagihan biasanya berat dan mahal, akhirnya melakukan outsource ke pihak ketiga, mirip dengan yang terjadi di mulfinance. Akhirnya menimbulkan konflik antara debitur dan debt collector.

“Di sini OJK tidak bisa tinggal diam. Jangan karena fintech lalu pengawasan yang berkaitan dengan nasabah lalu diperlonggar. Atau kalau sudah ada aduan baru diproses, itu kurang bijak,” katanya.

Bila kembali ke cerita Dhimas dan Lukman, mereka mengaku proses pembayaran tagihan sangat mudah. Dhimas misalnya, dia bisa bayar tagihan lewat virtual account yang bisa dibayarkan di bank manapun. Lukman pun selalu berusaha bayar tepat waktu agar tidak dikenakan bunga sama sekali bila membayar di bawah 30 hari.

Sebenarnya seperti apa prosedur penagihan yang dilakukan oleh startup fintech? Tunai Kita misalnya, hanya menagih ke nomor kontak yang diberikan nasabah. Keseluruhan proses dilakukan tim Tunai Kita dan tidak melibatkan pihak ketiga.

“Tata cara kami mengikuti regulasi OJK tentang penagihan utang yang diterapkan di perbankan dan lembaga keuangan,” kata Andry Huzain.

Kredivo pun sependapat. Akshay Garg menginginkan Kredivo berjalan sebagai perusahaan untuk jangka panjang. Untuk itu perusahaan sangat menjunjung standar profesionalisme yang ketat.

“Rating aplikasi kami yang mewakili indeks kepuasan kepuasan adalah salah satu yang tertinggi di industri ini [4,5 bintang di Play Store dan 4,7 di App Store],” terang Akshay.

Founder dan CEO Uang Teman Aidil Zulkifli menambahkan, apabila ada nasabah yang kredit macetnya di atas 60 hari dari tanggal jatuh tempo, pihaknya baru akan menggunakan jasa pihak ketiga yang bersertifikasi dari APPI (Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia). Di bawah kurun waktu tersebut, perusahaan tetap menggunakan SOP sesuai standar berlaku di OJK.

“Jatuh tempo di Uang Teman dimulai dari 10-30 hari setelah tanggal tagihan, hitungannya bunga harian. Kalau di atas 60 hari baru kita pakai jasa pihak ketiga yang bersertifikasi. Ada track record bermitra dengan bank BUKU IV. Bila gagal baru di-write off, jadi kami tetap jaga image nasabah,” terang Aidil.

Aidil mengklaim dengan metode penagihan ini, perusahaan berhasil menjaga rasio NPL di bawah kisaran 3%. Saat ini perusahaan telah menyalurkan pinjaman lebih dari Rp500 miliar untuk sekitar 50 ribu nasabah. Uang Teman berharap tahun ini dapat tembus Rp1 triliun untuk penyaluran pinjamannya.

Apa yang dilakukan Awan Tunai juga tak jauh berbeda. Hanya saja Dino Setiawan menekankan bahwa industri fintech lending masih menjadi industri yang baru. Untuk beroperasi di skala besar, jelas bahwa perusahaan harus menyesuaikan diri dengan peraturan collections yang sudah ada.

“Industri baru, apalagi yang mencari inovasi baru pasti akan coba macam-macam. Jelas jika ada yang melanggar, itu perlu diperbaiki, atau ada hal jelek yang belum dilarang oleh peraturan, ya mekanisme seperti media atau lapor ke asosiasi atau regulator perlu dilakukan. Konsekuensi tidak bayar pinjaman pasti ada, mau di mana pun itu,” terang Dino.

Tindakan preventif Aftech

Peresmian acara Fintech Fair 2018 di Jakarta
Peresmian acara Fintech Fair 2018 di Jakarta

Pasca kejadian Rupiah Plus, Aftech makin gencar memformalkan dokumen “Pedomen Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Daring yang Bertanggung Jawab” yang sempat molor dari jadwal pengesahan yang semestinya April 2018.

Direktur Kebijakan Publik Aftech Ajisatria Suleiman menuturkan, dokumen tersebut sebenarnya sudah disahkan secara informal untuk antar anggota asosiasi. OJK pun sudah memberikan restu. Namun pihaknya ingin diformalkan dengan membentuk komite etik yang terdiri atas tiga advokat idependen.

“Minggu depan [pekan ketiga Juli] kita akan angkat dewan komite etik, sudah ada nama-nama advokatnya. Kemudian kita juga sudah buat coworking grup khusus pinjaman harian. Mereka akan buat standarisasi SOP penagihan, semuanya sudah kita rapatkan dengan 18 anggota,” kata Aji, Jumat (13/7).

Berikutnya asosiasi juga telah menetapkan pilot project untuk sharing data yang dimulai dengan delapan perusahaan fintech. Sharing data ini dimaksudkan untuk memeriksa daftar blacklist dan fraud debitur. Ini mirip seperti SLIK yang sudah berlaku di industri jasa keuangan.

“Kita inginnya semua perusahaan ikut, tapi kan ini isunya lagi sensitif jadi dimulai dulu dari yang mau dulu. Sekarang sistemnya masih dibentuk, tapi sudah ada PIC-nya, Pak Izak Jenie.”

Lebih cerdas beri akses data

Pada dasarnya apapun aplikasi yang sudah diunduh di smartphone, ada data digital yang telah diambil oleh perusahaan pengembang aplikasi tersebut. Data digital tersebut bisa digunakan untuk credit scoring, membaca kebiasaan pengguna, verifikasi data, dan lainnya.

Seluruh data baru bisa diambil pemilik aplikasi ketika pengguna mendapat pertanyaan, meminta pengguna untuk memberi akses daftar kontak, SMS, lokasi, foto/dokumen, kamera, koneksi internet, nomor IMEI smartphone, dan riwayat panggilan. Lalu menjawab “ya” dari pop up tersebut.

“Ketika pakai smartphone dan pakai aplikasi apapun pasti ada pertanyaan yang meminta izin dibuka aksesnya terhadap smartphone Anda. Ketika pilih Yes, data Anda akan pindah ke pemilik aplikasi. Harus sadar sesadar-sadarnya bahwa data digital Anda sudah berpindah, terserah mau diapakan. Jadi jangan dikira hanya fintech online saja yang ambil data,” ungkap Hendrikus Passagi.

Dengan kata lain, sambung Hendrikus, apa yang dilakukan Rupiah Plus juga dilakukan perusahaan fintech lainnya dan seluruh aplikasi pada umumnya. Hanya saja ada kesalahan internal Rupiah Plus yang menyalahgunakan daftar kontak pengguna untuk kebutuhan penagihan.

DailySocial mencoba membandingkan dan menjabarkan akses data apa saja yang diminta berbagai aplikasi fintech kepada penggunanya. Agar adil, kami hanya membandingkan antar aplikasi yang bergerak di produk KTA online. Ada Kredivo, Akulaku, Awan Tunai, TunaiKita, Rupiah Plus, dan Uang Teman.

Data pribadi pengguna yang diminta penyedia layanan KTA online
Data pribadi pengguna yang diminta penyedia layanan KTA online

Kesimpulannya keenam aplikasi secara detail meminta informasi data digital pengguna, mulai dari informasi perangkat dan aktivitas aplikasi, riwayat panggilan, membaca kontak pengguna, mengirim dan melihat pesan SMS, kamara, foto dan dokumen baik di perangkat maupun eksternal, hingga koneksi Wi-Fi yang dipakai.

Namun yang sedikit berbeda, Akulaku dan Rupiah Plus juga mensyaratkan akses untuk mikrofon di perangkat. Kredivo, Awan Tunai, dan TunaiKita tidak meminta akses tersebut. Kemudian, hanya Kredivo yang mensyaratkan akses untuk kalender. Aplikasi lainnya tidak meminta akses itu.

Pada akhirnya, kemudahan yang ditawarkan produk KTA online jangan membuat Anda lengah. Tetap kritis saat memilih pinjaman, jangan sampai lengah untuk terperangkap ke layanan yang “abal-abal”. Harus bertanggung jawab atas segala risiko yang sudah dipilih dan tertib membayar angsurannya.

Saat mengunduh aplikasi baru, perhatikan apa saja data yang diminta oleh pemilik aplikasi. Pencurian data saat ini semakin mudah, bahkan bisa tidak disadari sama sekali. Pemilik layanan pun harus lebih berhati-hati dalam menyimpan data digital pengguna, jangan sampai jatuh ke pihak yang tidak bertanggung jawab.

OJK Setups “Fintech Center” to Support Digital Business

OJK, Indonesia’s Financial Services Authority, is soon to launch “Fintech Center” to support the innovation and development of fintech ecosystem in Indonesia. The grand opening will be held next month.

Triyono, OJK’s Head of Micro Financial Development and Digital Financial Innovation Group, said that Indonesia’s fintech development is growing fast, therefore, the Fintech Center should be the place for all digital business developments.

“It’s a part of fintech introduction in Indonesia. In addition, we’ll also build a fintech study program in university,” he said, quoted from Kompas.com.

OJK, he added, pays enough attention in fintech sector for the service has been entering the micro level. One of the well-developed sectors is p2p lending.

Until May 2018, the total distributed fund has reached Rp6.16 trillion from 64 p2p companies operating in Indonesia. The number has increased 140.26% since early this year.

Moreover, the p2p lending business has reached 1.8 million total customers, with 199,439 entity lenders.

P2p lending registration status

In the different occasion, until the mid-year of 2018, there are 63 fintech companies registered and acquired the license from OJK.

According to OJK, the total registered company is increasing. Until the first quarter of this year, there are 27 fintech companies waiting for approval from the regulator. On the other hand, OJK has returned 44 applications from companies which haven’t met the standard, of stock ownership, required data profile of commissioners and directors.

“We’re very careful in returning applications. We need to know precisely who’s the stock owner/s, the commissioners, and the directors. It is because they are running a business involving public’s personal data,” Hendrikus Passagi, OJK’s Fintech Supervising and Licensing Control Director, quoted from Kontan.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

OJK Siapkan Fintech Center untuk Dukung Bisnis Digital

OJK segera meluncurkan Fintech Center untuk mendukung inovasi dan pengembangan ekosistem fintech di Indonesia. Rencananya Fintech Center akan diresmikan bulan depan.

Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital dan Pengembangan Keuangan Mikro OJK Triyono mengatakan perkembangan fintech di Indonesia cukup pesat, sehingga diharapkan Fintech Center dapat menjadi pusat pengembangan bisnis digital.

“Ini juga bagian dari pengenalan fintech di Indonesia. Selain itu, kami juga akan mendirikan program studi mengenai fintech di perguruan tinggi,” kata Triyono, dikutip dari Kompas.com.

OJK, sambungnya, memberi perhatian yang cukup besar untuk sektor fintech karena layanan ini telah bergerak masuk ke level mikro. Salah satu sektor fintech yang cukup berkembang adalah p2p lending.

Hingga Mei 2018, total dana yang telah disalurkan mencapai Rp6,16 triliun dari 64 perusahaan p2p yang beroperasi di Indonesia. Jumlah penyaluran tersebut naik 140,26 dari awal tahun ini.

Adapun total nasabah p2p lending saat ini mencapai 1,8 juta orang, dengan jumlah pemberi pinjaman 199.439 entitas.

Status pendaftaran p2p lending

Dalam kesempatan terpisah, sampai pertengahan tahun ini, terdapat 63 perusahaan fintech yang terdaftar dan memperoleh izin dari OJK.

Menurut OJK, jumlah perusahaan yang mendaftar terus bertambah. Hingga pertengahan tahun ada 27 perusahaan fintech yang mengantre restu dari regulator. Sementara itu, OJK juga telah mengembalikan berkas ke 44 perusahaan fintech karena dinilai belum memenuhi syarat, dari sisi kepemilikan saham, kelengkapan data identitas komisaris dan direksi.

“Kami sangat berhati-hati dalam mengembalikan berkas tersebut. Pertimbangannya untuk mengetahui secara benar siapa pemilik saham, siapa komisaris, siapa direksi. Sebab mereka yang menjalankan bisnis ini dan melibatkan data pribadi masyarakat,” ucap Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi dikutip dari Kontan.

OJK Prepares “Equity Crowdfunding” Policy Draft

The Financial Services Authority (OJK) is preparing a policy draft regarding public fundraising through equity crowdfunding. OJK calls it “Layanan Urun Dana”. The regulator is said to wait for responses from related industry and community regarding the draft.

“The target is to finish it soon,” Sekar Putih Djarot, OJK’s spokesperson explained, quoted from Kontan.

She mentioned that the Layanan Urun Dana is different from the initial public offering (IPO) in IDX. As seen from the scale of the stock offering, the value is lower. The offering process will be all electronic as determined by the operator.

“This could be an alternate funding for SMEs and startups. It also helps the development of startups in Indonesia.”

Inarno Djayadi, IDX’s President Director, gave a positive response regarding OJK’s plan. “It’s good for SMEs,” he said.

Kiswoyo Adi Joe, Narada Asset Management’s Head of Research added, this step brings out the positive impact on the domestic capital market, in fact, it’ll increase product diversity in the local market.

He assumed the online stock sale will not stand in the way with BEI step in making opportunities for the small-asset value companies to conduct initial public offering through a stock exchange.

“The implementation is awaited, whether it’s supporting each other or only add a different variant of products,” Joe explained.

Equity crowdfunding regulation draft

In the equity crowdfunding regulation draft, OJK determines the operator may be a PT in the form of securities firm with OJK approval to be an operator; coop; and having a minimum capital of Rp2.5 billion.

In terms of publishers, OJK confirms it has to be a PT; not having a complex structure in finance or commercial; not a public company; and not a company with a value over Rp10 billion, excluding land and buildings.

In terms of investors, OJK set the income rate under Rp500 million per year to be able to purchase stock up to 5% of its income per year; investors with an income over Rp500 million per year can purchase stock up to 10% of its income per year.

It was mentioned in the draft that the maximum limit of stock offering is Rp6 billion per year; offering can be made more than once in a year; publishers can set a minimum target for fundraising; if it doesn’t meet the amount, stock offering is cancelled and investor’s fund must be returned within two days.

Thus, the offering period must be no longer than 30 days; the operator may hold the secondary market but the trade will only available between registered investors; if there’s any secondary market, the operator shall provide a reasonable price as the reference.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

OJK Siapkan Beleid “Equity Crowdfunding”

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyiapkan beleid mengenai pengumpulan dana masyarakat melalui penawaran saham berbasis teknologi (equity crowdfunding). OJK menyebut istilah tersebut dengan “Layanan Urun Dana.” Diungkapkan regulator sedang meminta tanggapan kepada pelaku industri dan masyarakat terkait beleid tersebut.

“Targetnya aturan selesai segera,” terang Jurubicara OJK Sekar Putih Djarot dikutip dari Kontan.

Menurut Sekar, Layanan Urun Dana ini berbeda dengan initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Bila dilihat dari skala penawaran saham, nilainya lebih kecil. Proses penawaran sahamnya pun akan dilakukan secara elektronik yang ditentukan penyelenggara.

“Ini dapat jadi alternatif sumber dana bagi pelaku usaha kecil menengah dan startup. Sekaligus membantu perkembangan perusahaan rintisan di Indonesia.”

Direktur Utama BEI Inarno Djayadi memberikan respons positif terkait rencana OJK tersebut. “Ini bagus untuk UMKM,” katanya.

Kepala Riset Narada Aset Manajemen Kiswoyo Adi Joe menambahkan, langkah OJK ini memberikan dampak positif untuk pasar modal dalam negeri, Pasalnya akan menambah keberagaman produk di pasar modal lokal.

Menurutnya, penjualan saham perusahaan secara online diyakini tidak akan berbenturan dengan langkah BEI dalam membuka peluang bagi perusahaan dengan nilai aset kecil melakukan penawaran saham perdana melalui bursa efek.

“Perlu ditunggu implementasi aturan tersebut, apakah saling dukung atau justru menambah variasi produk yang berbeda,” terang Kiswoyo.

Rancangan aturan equity crowdfunding

Dalam draft rancangan aturan equity crowdfunding, OJK menentukan penyelenggara dapat berupa PT berbentuk perusahaan efek yang telah memperoleh persetujuan OJK menjadi penyelenggara; koperasi; dan memiliki modal minimal Rp2,5 miliar.

Untuk ketentuan penerbit, OJK menentukan mereka harus berbentuk PT; tidak memiliki struktur kompleks secara keuangan atau komersial; bukan perusahaan terbuka atau anak usaha perusahaan terbuka; dan bukan perusahaan dengan kekayaan lebih dari Rp10 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan.

Ketentuan investornya, OJK tetapkan mereka memiliki penghasilan sampai Rp500 juta per tahun boleh membeli saham paling banyak 5% dari penghasilan per tahun; investor dengan penghasilan lebih dari Rp500 juta per tahun boleh membeli saham paling banyak 10% dari penghasilan per tahun.

Aturan mengenai penawaran saham, dalam rancangan disebutkan batas maksimal nilai penawaran saham Rp6 miliar per tahun; penawaran bisa dilakukan lebih dari satu kali dalam setahun; penerbit bisa mematok target minimal penjaringan dana; jika jumlah tidak terpenuhi, penawaran saham batal demi hukum dan dana investor wajib dikembalikan dalam waktu dua hari.

Kemudian, lama masa penawaran paling lama 30 hari; penyelenggara dapat menyelenggarakan pasar sekunder, tapi perdagangan cuma bisa dilakukan antar investor yang telah tercatat; bila ada pasar sekunder, penyelenggara wajib menyediakan harga wajar sebagai referensi.

Bareksa Partners with Tokopedia to Launch the Same-Day Disbursement Mutual Fund

Today (4/23), in order to acquire more customers and to increase public’s financial literation, Bareksa, a mutual fund marketplace partners with Tokopedia and Syailendra Capital in introducing an online liquid mutual fund, to be disbursed and sent to their accounts on the same day (T+0) through Tokopedia.

William Tanuwijaya, CEO of Tokopedia, also presents in the grand launching. He said to the media that the company has around 40 million unique users and this strategic partnership is expected to add more services in Tokopedia.

“We, in Tokopedia, want to invite public to buy the fast and affordable mutual funds. Furthermore, Indonesia’s population can all be the investors start from Tokopedia,” he added.

The only online mutual fund initiated by Bareksa and e-commerce are targeted to acquire a million customers with billion rupiahs of managed funds during the first year.

Bareksa alone has paired with Tokopedia selling mutual funds since the late February 2018.

Regarding some investment of Bareksa and Tokopedia, Ady F Pangerang, the CEO of Bareksa, confirmed it as the joint venture, but the value is still undisclosed.

“Later, the existing investment will be used for marketing, operational, legal, and educational activities to all Tokopedia users,” he said.

Simple process

On the occasion, there’s an information of how Bareksa mutual funds work in Tokopedia app. By using the Tokopedia app, users can register as mutual fund’s customer with the minimum purchase of Rp10 thousand.

“Moreover, using E-Wallet in Tokopedia, users can top-up balance via bank transfer, to be saved in E-Wallet. The nominal purchasing of mutual funds can be directly transferred from Tokopedia E-Wallet,” he said.

Benefits for those purchasing mutual funds in Tokopedia are inclusive, safety, convenient within 5 minutes process, investors can directly sell investment and get a return up to 7%.

“Another privilege is the instant redemption, it’s a saving in the mutual fund to be used for shopping in Tokopedia or auto sweep, where the users will automatically enter the mutual fund account,” he added.

Currently, Bareksa has around 110 thousand investors, the number is increasing by 60% compared to Desember 2017. They also scored the increase of customer’s funding to Rp850 billion per 9 April 2018.

Supported by OJK

Sujanto, Managing Director of OJK, also presents to support the partnership of Bareksa and Tokopedia in launching the online mutual fund. Eyeing the current trend, he revealed the most purchased mutual funds are online-based.

“It’s probably because the fast and easy process that makes Indonesia’s population prefer the online mutual fund.”

However, seen from the number of population that really understand the mutual fund’s product, it is only 23% according to OJK. Therefore, it’s rather important for Bareksa and Tokopedia to improve education for the public regarding the mutual fund.

As the regulator, OJK fully supports the online mutual fund initiated by Tokopedia and Bareksa.

“If Tokopedia has claimed 40 million unique visitors, it’s obviously easier to educate people about the mutual fund. I also expected not only a million new customers but all Tokopedia users.” Sujanto explained.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Bareksa dan Tokopedia Luncurkan Reksa Dana yang Bisa Cair di Hari yang Sama

Bertujuan menambah jumlah nasabah sekaligus meningkatkan literasi keuangan masyarakat, hari ini (23/4), marketplace reksa dana BareksaTokopedia, dan Syailendra Capital meluncurkan layanan reksa dana online yang likuid, bisa dicairkan dan diterima di rekening nasabah di hari yang sama (T+0) melalui aplikasi Tokopedia.

Turut hadir dalam acara peluncuran tersebut CEO Tokopedia William Tanuwijaya. Kepada media William mengungkapkan saat ini Tokopedia memliki sekitar 40 juta pengguna unik, melalui kerja sama strategis ini diharapkan bisa menambah layanan yang ada di Tokopedia kepada pengguna.

“Kami di Tokopedia ingin mengajak lebih banyak masyarakat umum untuk membeli reksa dana secara cepat dan terjangkau. Agar selanjutnya masyarakat Indonesia bisa menjadi investor di mulai dengan Tokopedia,” kata William.

Layanan reksa dana online yang diklaim satu-satunya yang diinisiasi Bareksa dan layanan e-commerce menargetkan satu tahun pertama bisa mendapatkan satu juta nasabah dengan dana yang dikelola hingga miliaran rupiah.

Bareksa sendiri telah menggandeng Tokopedia berjualan reksa dana sejak akhir Februari 2018.

Disinggung berapa investasi yang digelontorkan Bareksa dan Tokopedia, CEO Bareksa Ady F Pangerang menegaskan, investasi yang diberikan merupakan patungan antara Tokopedia dan Bareksa, namun enggan menyebutkan nilai investasi tersebut.

“Nantinya investasi yang ada akan kami gunakan untuk kegiatan pemasaran, oprasional, legal dan edukasi kepada pengguna Tokopedia,” kata Ady.

Dipilihnya Syailendra Capital sebagai mitra Bareksa karena kemampuan Syailendra Capital untuk melakukan redemption dalam jumlah kecil hingga besar dan kapabilitas Syailendra mengelola ribuan transaksi per hari.

Proses mudah

Dalam kesempatan tersebut turut diinformasikan bagaimana cara kerja layanan reksa dana Bareksa di aplikasi Tokopedia. Hanya dengan memanfaatkan akun Tokopedia, pengguna kemudian bisa mendaftarkan diri menjadi nasabah reksa dana. Produk reksa dana Tokopedia menawarkan minimum pembelian Rp10 ribu.

“Nantinya memanfaatkan E-Wallet di Tokopedia, pengguna bisa melakukan Top Up via bank transfer, untuk kemudian disimpan di E-Wallet. Sesuai dengan jumlah yang ingin dibeli untuk reksa dana, semua bisa dipotong langsung dari dana yang tersimpan di E-Wallet Tokopedia,” kata Ady.

Keuntungan lain yang bakal didapatkan oleh nasabah jika membeli reksa dana di Tokopedia adalah, inklusif, keamanan, kenyamanan dengan proses yang hanya 5 menit saja, investor bisa menjual investasi secara langsung, dan bisa mendapatkan return hingga 7%.

“Keunggulan lainnya adalah instant redemption yaitu dana yang tersimpan di reksa dana bisa digunakan untuk belanja di Tokopedia dan auto sweep, di mana dana pengguna Tokopedia akan secara otomatis masuk ke akun reksa dana,” kata Ady.

Bareksa saat ini telah memiliki sekitar 110 ribu investor reksa dana, angka yang diklaim melonjak lebih dari 60% dibandingkan Desember 2017. Bareksa juga telah membukukan kenaikan jumlah dana yang diinvestasikan nasabah menjadi Rp850 miliar per 9 April 2018.

Didukung OJK

Dalam kesempatan tersebut turut hadir Direktur Pengelolaan Investasi Otoritas Jasa Keuangan Sujanto yang mendukung kerja sama antara Bareksa dengan Tokopedia meluncurkan layanan reksa dana online. Dilihat dari tren saat ini, Sujanto menyebutkan pembelian terbanyak reksa dana mulai didominasi secara online.

“Mungkin karena kemudahan dan kecepatan tersebut yang pada akhirnya banyak dipilih oleh kebanyakan masyarakat Indonesia.”

Namun demikian dilihat dari jumlah masyarakat yang memahami benar produk reksa dana, menurut OJK saat ini jumlahnya hanya mencapai 23%. Untuk itu penting bagi Bareksa dan Tokopedia meningkatkan kegiatan edukasi kepada masyarakat umum terkait reksa dana.

Sebagai regulator, OJK mendukung sepenuhnya reksa dana online yang di inisiasi oleh Tokopedia dan Bareksa.

“Jika Tokopedia saja saat ini mengklaim sudah memiliki 40 juta pengunjung unik artinya akan lebih mudah edukasi yang dilakukan Tokopedia terkait dengan reksa dana. Saya harap juga bukan satu juta nasabah baru target dari produk ini, tapi semua pengguna yang ada di Tokopedia,” kata Sujanto.

Application Information Will Show Up Here

Asosiasi Fintech Merasa “Diasingkan” OJK

Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) merasa “diasingkan” oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) jika dibandingkan perlakuannya terhadap lembaga jasa keuangan lainnya. Hal itu dipicu pernyataan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, pekan lalu (3/3), yang menuturkan penggunaan logo OJK tidak diperkenankan sebagai bentuk validasi kegiatan p2p lending.

Aftech menilai pernyataan Wimboh tersebut kontradiktif dengan POJK Nomor 77 Tahun 2016. Di dalam aturan tersebut, tepatnya pasal 35 ayat B, disebutkan bahwa perusahaan yang terdaftar harus mencantumkan logo OJK dalam kegiatan bisnisnya.

“Logo itu sejalan dengan POJK 77. Semua pemain yang terdaftar harus menampilkan logo. Bila melarang pencantuman logo, berarti bertolak belakang dengan landasan hukum yang diterbitkan oleh OJK sendiri,” ucap Wakil Ketua Aftech Adrian A. Gunadi, Selasa (6/3).

OJK berpendapat pelarangan pencantuman logo ini karena perusahaan fintech tidak dikategorikan sebagai lembaga keuangan. OJK tidak akan tanggung jawab jika nantinya ada perusahaan fintech yang bangkrut atau terjadi fraud.

Terkait hal tersebut, Adrian sepakat bahwa perusahaan p2p lending lebih tepat disebut sebagai penyedia layanan keuangan. OJK memang tidak menanggung risiko yang ditimbulkan kegiatan usahanya, namun pemain tetap memenuhi syarat dan ketentuan yang sama seperti lembaga keuangan formal yang telah beroperasi.

Contohnya perusahaan p2p lending diminta memenuhi standar setara ISO 27001 yang menjadi acuan perbankan.

“Saat susun POJK, perusahaan p2p lending jadi bagian yang tidak terpisahkan dengan lembaga keuangan formal, sebab dalam praktik bisnisnya kami tetap menstandarkan diri dengan lembaga keuangan yang sudah ada.”

Adrian melanjutkan, OJK sebaiknya memperketat pengawasannya daripada lepas tangan. Caranya dengan menguatkan aturan apa saja yang bisa didetailkan lewat aturan turunan untuk menentukan kesungguhan operasi dan kinerja sebuah usaha p2p lending.

Aturan turunan yang bisa ditelaah OJK adalah yang terkait dengan pembuatan tata kelola yang baik, transparansi transaksi, dan pelaporan yang melibatkan auditor independen.

Ada pula aturan tentang manajemen risiko yang tertata rapi untuk melindungi konsumen dan pelaku usaha, juga untuk menekan angka NPL. Kontrol yang baik dari regulator, sambungnya, akan otomatis menyeleksi pelaku usaha yang tidak sungguh-sungguh.

“Kegiatan usaha yang diatur dan dilindungi oleh regulasi OJK justru menjaga pelaku tekfin dari kemungkinan menyalahgunakan dana masyarakat. Mengingat penyaluran dananya dipantau melalui mekanisme perbankan. Potensi kolaborasi fintech dan institusi keuangan lainnya bahkan terus meningkat dalam waktu dekat.”

Sentil bunga tinggi

Selain menyinggung soal pencabutan logo OJK, Wimboh juga menyentil pemberian bunga yang relatif lebih tinggi daripada perbankan, sehingga menjulukinya dengan sebutan rentenir. Sebutan inu ditolak mentah-mentah oleh Aftech.

Adrian bilang p2p lending tidak beroperasi seperti rentenir yang memberikan pay day loan (bunga harian) kepada nasabahnya. P2p lending hadir karena didasari semangat inklusi keuangan dan besarnya kebutuhan masyarakat terhadap akses pinjaman dana.

Menurut Adrian, OJK perlu memahami lebih baik bahwa terdapat berbagai model bisnis fintech lending dengan segmentasi nasabah yang berbeda-beda. Dalam pemberian bunga, biasanya pemain merujuk pada tingkat bunga pinjaman bank atau lembaga keuangan lainnya.

Untuk fintech lending yang bergerak di usaha mikro seperti Amartha, benchmark-nya menggunakan BPR dengan standar bunga di kisaran 27%-28%. Sedangkan untuk lending di usaha menengah, seperti Investree, menggunakan benchmark di bank BUKU I dan II dengan kisaran bunga di kisaran 14%-15%.

“Sayang banget kalau OJK menggeneralisir. Bunga di p2p lending memang susah untuk ditentukan langsung oleh OJK karena segmen bisnis kami itu beda-beda.”

Bunga yang diberikan kepada penerima pinjaman, tidak masuk ke kantong perusahaan, melainkan langsung diterima pemberi pinjaman. Perusahaan lending itu sendiri hanya menerima pemasukan dari komisi yang berasal dari proyek yang berhasil didanai. Umumnya kisaran komisi yang diterima perusahaan sebesar 3%-5%.

“Kita dapat fee dari borrower untuk setiap proyek yang berhasil didanai, itu hak kita sebagai platform. Bunga kredit itu masuk langsung ke pemberi pinjaman.”

Aturan pembatasan bunga

Pasca disinggung OJK, Ketua Kelompok Kerja P2P Lending Aftech Reynold Wijaya menuturkan saat ini asosiasi sedang menyusun “Pedoman Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Daring yang Bertanggung Jawab”. Rencananya pedoman ini akan dikeluarkan paling lambat April 2018 mendatang.

Dalam pedoman ini nantinya asosiasi akan menyepakati batas bunga pinjaman maksimal. Ada beberapa acuan yang dipakai untuk menentukan batas atas suku bunga kredit p2p lending, seperti bunga KTA di bank, multifinance, BPR, hingga bunga di bank BUKU I dan II.

“Kami akan buat cap pricing (batas bunga) berdasarkan subsektor. Misalnya batas (bunga) untuk kredit UMKM itu berapa persen dan untuk ke individu atau konsumen berapa persen,” ucap Reynold.

Dia melanjutkan, “Aftech terus berkomitmen dan bekerja secara intensif untuk mendukung terbentuknya regulasi yang bijak, baik dari sisi advokasi penyusunannya maupun dari sisi implementasi operasional, serta melakukan edukasi kepada publik agar mereka dapat bertransaksi dengan aman dan nyaman.”

OJK Siapkan Beleid Baru untuk Industri Fintech

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bakal kembali merilis beleid baru terkait industri fintech, rencananya aturan ini akan diumumkan pada 18 Januari 2018. Bersamaan dengan itu, OJK juga akan menerbitkan aturan untuk sektor keuangan lainnya seperti pasar modal untuk pendanaannya dan persoalan produk lindung nilai mata uang (hedging currency).

Terkait aturan baru soal fintech, sayangnya OJK masih tutup mulut hal apa yang akan diatur. Hal ini disampaikan oleh Ketua Komisioner OJK Wimboh Santoso.

[Baca juga: Rangkuman Perkembangan Lanskap Fintech Indonesia Sepanjang Tahun 2017]

“Kami concern masalah fintech, bagaimana pendalaman pasar keuangan dan pasar modal supaya lebih aktif lagi. Detailnya nanti [saat diumumkan],” kata Wimboh seperti dikutip dari Tempo.

Sejauh ini, OJK baru merilis satu aturan terkait fintech pada akhir 2016 untuk pemain p2p lending dengan model bisnis on balance sheet lending. Aturan turunan dari beleid tersebut baru membuahkan tiga surat edaran OJK. Satu di antaranya sudah disahkan mengenai Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi pada LPMUBTI.

Sementara, ada dua aturan lainnya masih berstatus rancangan mengenai Pendaftaran, Perizinan, dan Kelembagaan Penyelenggaraan LPMUBTI dan Penyelenggaraan LPMUBTI. Padahal, sebelumnya pihak OJK menuturkan bakal ada sekitar 14 aturan turunan dari POJK No 77/2016.

Kinerja industri p2p lending

Di samping itu, semenjak diberlakukannya POJK Fintech, OJK masih merampungkan proses pendaftaran pemain p2p lending untuk mendapatkan surat tanda terdaftar. Tercatat ada 27 perusahaan yang sudah mengantongi surat tanda terdaftar.

Mengutip dari Kompas, satu perusahaan berkantor pusat di Surabaya dan sisanya di Jakarta. Dilihat dari status badan hukumnya, sebanyak 19 perusahaan adalah perusahaan lokal dan 8 perusahaan asing.

OJK juga mencatat ada 87 perusahaan p2p lending yang sudah berkomunikasi dengan regulator terkait perolehan surat tanda terdaftar ini. Namun, dari yang sudah mengantongi surat tersebut, sekitar 32 perusahaan masih dalam proses mendaftar dan 8 perusahaan baru menunjukkan minat.

Secara industri industri, OJK mencatat jumlah pembiayaan yang telah disalurkan mencapai Rp2,26 triliun hingga November 2017. Dari angka tersebut disalurkan kepada 290.335 debitur.

Untuk mendorong pengembangan, pengaturan, dan pengawasan fintech di Indonesia, OJK sedang menyusun roadmap fintech untuk lima tahun ke depan. Tak hanya itu, OJK juga telah berkoordinasi dengan otoritas terkait untuk membentuk Fintech Center di level nasional.

Fintech Center bertugas melakukan koordinasi agar penyelenggaraan kegiatan fintech tetap dapat tumbuh dan berkembang, namun dengan tidak melupakan aspek keamanan dan perlindungan konsumen.

Fintech’s POJK Derivative Regulation: “Escrow Account” Is an Issue

In OJK’s Hearing Meeting (RDP) held on (11/22), to get viewpoint from industry related to derivative regulation draft (SE) of POJK No 77/2016 regarding the Implementation of IT-based Money Lending Service (LPMUBTI), one of the interesting point for industry player is the limit of escrow account and virtual account usage for organizers. Industry players propose the extension of p2p lending for escrow account users to 60 days, or a removal.

In POJK’s circular letter, mentioned the user’s maximal fund placement period which can not be used for money lending transaction to escrow account is seven working days.

Escrow account is a bank checking account on organizer’s name which is a deposit for specific purposes of debit and credit transaction from and to the IT-based money lending service users.

The organizer has no right to collect money from users in the form of deposit to escrow account as banking regulation.

Reynold Wijaya, Modalku’s CEO and Co-Founder, said regarding escrow account regulation, it is not beneficial for the p2p lending industry player. Changing it into 60 days will certainly give space for industry players.

For him, if the time extended, regulators are worried about money laundry. However, with that purpose, he’s afraid it is not possible. As no one wants to deposit money on escrow account without any interest.

“For seven days, is not an ideal period. This industry might not be growing,” he said.

As for banking also against the regulation. In seven days, they must divert funds to other banks. It will surely affect bank liquidity.

He added, the p2p lending business is 100% under the banking system. Therefore, he finds the regulator doesn’t need to add industry-burdening rules.

“p2p lending is alive by regulation but we can also drown by regulation. Please notice whether there is any objection”

Dickie Widjaja, Investree’s CIO said similar thing. For him, if there is any concern of inactive lender, a time-limit is necessary. However, whether regulator wants to set a limit, 60 days is enough.

Collecting Opinions

Related to industry player about escrow account, Hendrikus Passagi, OJK’s Organizing, Licensing and Controlling Director said the regulator will accommodate and consider some provisions which potentially burden the industry players.

“We always put transparent regulation of OJK. Every chapter we made always asks for player opinions. The existing draft has gone through a long process” he said.

From POJK fintech, at least six regulation will be included in the circular letter(SE). Regulator expects to complete all regulations no later than the end of this year.

“If the spirit is one [between regulator and industry players], OJK’s circular letter can be finished. If you asking how fast, as soon as possible, yes”

At least two new drafts is being asked for public opinion. First, on LPMUBTI’s implementation. Second, on LPMUBTI’s Registration, Licensing and Institutions.

A few discussed points in the LPMUBTI’s circular letter, among others are borrowing procedures and IT-based money lending service’s contract, risk mitigation, consumer protection and resolution mechanism.

Meanwhile, discussed points in LPMUBTI Registration, Licensing and Institution’s circular letter includes the requirements and procedures for organizer’s permission of registration, licensing as well as revocation of business license and ownership changes.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian