Resmi IPO, Blibli Andalkan Omnichannel untuk Kejar Profitabilitas

PT Global Digital Niaga Tbk (IDX: BELI) mengungkapkan strategi omnichannel bersama ketiga unit bisnis, e-commerce, online travel, dan e-grocery, akan membantu perlancar langkah perseroan menuju profitabilitas. Terlebih, ketiganya masih punya prospek yang positif ke depannya.

Dalam konferensi pers virtual yang diselenggarakan pada hari ini (8/11), CFO Blibli Hendry menyampaikan, meski ia tidak bisa merinci secara spesifik, tetapi ia bilang ambisi perseroan untuk masuk ke strategi omnichannel sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu, dan proses pembangunan ekosistemnya sudah kelar. Sejak itu, perseroan bisa melakukan efisiensi terhadap EBITDA yang terlihat dari kinerja di paruh pertama tahun ini.

“Indikasi tersebut kami optimistis, paving block untuk strategi omnichannel sudah selesai akhir tahun lalu. Tapi sudah terlihat impact-nya [dari EBITDA] di semester I ini,” ucap dia.

Mengenai efisiensi terhadap EBITDA, mengacu pada laporan kinerja perseroan, sejak 2019 hingga paruh pertama tahun ini, perseroan telah melakukan efektivitas pemasaran. Rasio biaya pemasaran terhadap TPV (Total Processing Value) turun dari 6% di 2019 menjadi 3,6% pada semester I 2022.

Efisiensi juga dilakukan pada potongan harga atau diskon promosi. Di 2019, rasio diskon Blibli terhadap TPV sebesar 7,1%, kemudian turun menjadi 2,3% di semester I 2022. “Maka margin EBITDA menunjukkan margin positif. Pada semester I 2022, margin EBITDA Blibli menunjukkan perbaikan sebesar 140 basis poin.”

Blibli punya empat segmen dalam pembagian TPV. Pertama, 1P retail, yakni Blibli menawarkan produk sendiri, sehingga Blibli punya kontrol penuh atas harga dan margin. Kedua, 3P retail, yakni Blibli menjalin kerja sama dengan brand prisipal dan menjual ke pihak ketiga dalam menawarkan produk.

Dalam segmen itu, sekitar 50% berasal dari perjalanan gaya hidup dan perjalanan, sumber bisnis utama Tiket.com. Lalu berikutnya, institusi dan gerai fisik. Segmen gerai fisik ini baru dimulai pada Maret 2021 dengan membuka toko fisik dan dilanjutkan dengan akuisisi Ranch Market.

Dari keempat segmen ini Blibli mencatatkan pertumbuhan TPV sebesar 45% sepanjang 2021 dengan total Rp32,4 triliun. Sementara itu, pada semester I 2022, TPV tercatat sebesar Rp24,13 triliun atau naik 89,29% (YoY) dari Rp12,75 triliun di semester I 2021.

Prospek dari keempat segmen tersebut, menurut Hendry, masih besar dan terus menunjukkan tren positif. Untuk bisnis perjalanan saja misalnya, tercatat mulai rebound dan diprediksi tren ini bakal terus terjaga ke depannya. Begitu pula untuk bisnis e-grocery, dengan kontribusi terhadap total belanja ritel nasional yang masih minim, masih besar ruang bertumbuhnya. Belum lagi, di bisnis ini punya take rate yang besar untuk menyokong pertumbuhan margin double digit.

“Dari sinergi dengan tiga perusahaan [Blibli, Tiket, Ranch Market] dengan menjalankan omnichannel, efisiensinya akan jauh lebih besar. Dari yang awalnya akuisisi konsumen dilakukan sendiri-sendiri sekarang bisa dilakukan bersama. Maka kami percaya dengan potensi profitablitas BELI ke depannya.”

Jadi perusahaan terbuka

Di saat yang bersamaan, pada pagi tadi Blibli resmi tercatat di papan utama perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham BELI. Harga perdana yang ditawarkan mendekati batas atas rentang harga penawaran pada Rp450 per saham.

Dana yang berhasil raup dari hajatan tersebut adalah sekitar Rp8 triliun dengan valuasi Rp53,3 triliun. Dipaparkan bahwa penawaran umum saham perdana inni mendapat dukungan dan minat dari berbagai investor domestik dan internasional, yang terdiri dari sovereign wealth funds, long-only funds, multi-strategy funds, private wealth management, dan lainnya.

Diklaim antusiasme investor mencatatkan tingkat kelebihan permintaan hingga 4,4 kali lipat pada penjatahan terpusat (pooling portion), sehingga menyebabkan peningkatan jumlah alokasi dari 2,5% menjadi 5% dari keseluruhan jumlah penawaran.

Co-founder dan CEO Blibli Kusumo Martanto menyampaikan Blibli merupakan satu-satunya internet-unicorn di kawasan Asia Pasifik yang melantai di pasar modal sejak Mei 2022 dan terbesar kedua di Asia Pasifik yang melakukan IPO sepanjang 2022.

“Ini juga merupakan IPO terbesar kedua sepanjang tahun 2022 dan IPO terbesar kelima sepanjang sejarah di Indonesia. Kami berhasil menyelesaikan IPO di tengah kondisi pasar saham yang bergejolak dan aksi jual yang luas di sektor teknologi,” kata Kusumo.

Dana bersih yang diperoleh perseroan akan digunakan untuk pelunasan utang serta untuk modal kerja. Dalam IPO Blibli, Credit Suisse (Singapore) Limited dan Morgan Stanley Asia (Singapore) Pte bertindak sebagai Joint Global Coordinators (JGC), sedangkan PT BCA Sekuritas dan PT BRI Danareksa Sekuritas bertindak sebagai Penjamin Pelaksana Emisi Efek (Joint Lead Underwriters/JLU).

PT Credit Suisse Sekuritas Indonesia, PT Morgan Stanley Sekuritas Indonesia, dan PT DBS Vickers Sekuritas Indonesia bersama dengan sindikasi lainnnya bertindak sebagai Penjamin Emisi Efek.

The Digital Service has Transformed Nation’s Behavior in SEA

Google-Temasek report titled “e-Conomy SEA 2019” placed e-commerce and online travel as the biggest participant in the regional digital economy. In 2019, each gives $38 billion and $34 billion, to increase at $153 billion and $78 billion by 2025.

Previously in 2018, the same report placed the online travel sector on top, e-commerce presents a new experience that creates rapid growth. The players’ effort to promote also have a significant impact – online shopping festival such as 9.9, Singles Day, 12.12  always welcomed to all businesses.

Google Trends data showed e-commerce promotion has constantly increased per year. With various strategy, starts from influencer and gamification feature to acquire users to connect with the platform. A machine learning technology has also affected the increase of product offerings to all consumers.

layanan digital1

The logistics expand also has an impact on the rising e-commerce. In order to pamper its users, some even provide fast delivery – less than 24hr after the finished order. All the attempts, from the promotion to logistics, has changed the basic behavior for online shopping. Prior to this, e-commerce mostly served those who want to make a “big” purchase, such as a smartphone or TV, but daily goods are now available.

Over 5 million orders are processed by e-commerce per day worth $15-$20 on average.

Food delivery becomes the hype

In 2015, the ride-hailing sector is worth $3 billion, by this year at $13 billion, projected to reach $40 billion by 2025. Four years ago, the industry is only about alternative transportation. To date, it has further expanded to provide more services. A significant example is food delivery, such as Go-Food or GrabFood – later might be financial services.

layanan digital2

The food delivery service has been highlighted since 2018 as it affected much on consumer’s behavior. People from all classes are fond of the service, using effectivity as justification amid traffic congestion and weather condition. In the metropolitan area, the service is in high demand.

There are lots of reasons, besides promotion and marketing effort from the decacorns, accessibility to the food industry is expanding. The delivery service offered various menus from restaurants to small stalls. In terms of business, the platform brings a lot of benefits. Some have been using it to build a better connection to the users through rewards and loyalty programs.

Entertainment channel is still on

Since 2015, there are at least 100 million new internet users in Southeast Asia. Applications from video, music, and game are channels with the highest demand – through smartphones. The value has reached $14.2 billion this year and to multiple a few times by 2025. Most users prefer free content, even if it means to watch some ads.

A new trend captured, that short-time video, such as Bigo Live and Tik Tok has fascinated the market. A supported app like lip-sync has produced viral content adored by groups of people. In addition, online gaming is boosting up. One of the popular games is Free Fire under Garena that acquires 450 million users with 50 million active users.

Budget hotel supporting the travel industry

This sector has been matured enough in Southeast Asia’s digital economy. Tourism becomes the main factor. As a market, the urge of the middle class to travel – have a significant effect on the online travel industry. Alternative services arose, budget hotel platforms for example, such as OYO and RedDoorz.

An aggregator platform like Tiket.com, Traveloka, and Booking.com is planning for a better maneuver. Partnership with other digital players is getting increased, with ride-hailing for example. Not only as a travel ticket provider, but the online travel agency is also getting ready with “experience” channel for users who want to take a full trip. Various features are now accessible in one platform, ticket to the amusement park and various shows.

Service integration

Another note to mind is service integration from the platform to improve user experience. Take the Hooq partnership with Grab to provide streaming video last year as an example. Another one is Gojek’s latest maneuver to present kumparan news on its platform. The integration has extended various services on each platform.

layanan digital4

Take a note on ride-hailing and e-commerce as the most ambitious ones. Various digital services are being integrated into apps. Acquisitions and investment become the solution for some startups to improve the entire capability on its platform.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Layanan Digital Berhasil Mengubah Kebiasaan Masyarakat di Asia Tenggara

Laporan Google-Temasek bertajuk “e-Conomy SEA 2019” menempatkan e-commerce dan online travel menjadi sektor digital yang paling besar partisipasinya terhadap ekonomi digital regional. Tahun 2019, masing-masing memberikan sumbangsih $38 miliar dan $34 miliar, akan meningkat hingga $153 miliar dan $78 miliar tahun 2025 nanti.

Sebelumnya di tahun 2018 riset yang sama menempatkan online travel di peringkat pertama, pengalaman yang diberikan e-commerce dalam memberikan pengalaman baru membuat pertumbuhannya menggeliat. Upaya pemain dalam melakukan promosi juga dinilai memberikan dampak yang signifikan – festival belanja online seperti 9.9, Singles Day, 12.12 selalu disambut meriah oleh seluruh komponen bisnis.

Data Google Trends mencatat, peningkatan promosi layanan e-commerce selalu konsisten setiap tahunnya. Strateginya pun mulai beragam, mulai dengan menggandeng influencer hingga membuat fitur gamifikasi untuk menarik minat pengguna terhubung dengan aplikasi. Teknologi seperti machine learning juga telah memberikan dampak yang signifikan dalam meningkatkan penawaran produk untuk para konsumen.

Gambar 1

Perluasan saluran logistik juga dinilai turut menyumbangkan peningkatan bisnis e-commerce. Bahkan untuk memanjakan penggunanya, beberapa pemain memberikan opsi pengiriman cepat – kurang dari 24 jam pasca pesanan diselesaikan. Dari semua upaya tersebut, mulai dari promosi sampai opsi logistik, berhasil mengubah kebiasaan mendasar ketika orang berbelanja online. Jika sebelumnya e-commerce banyak digunakan untuk membeli barang-barang “besar” seperti smartphone atau televisi, saat ini kebutuhan sehari-hari pun dapat diakomodasi.

Rata-rata per hari ada lebih dari 5 juta pesanan yang diproses e-commerce dengan nilai rata-rata $15-$20.

Pesan antar makanan jadi tren kekinian

Tahun 2015, sektor ride-hailing terhitung memiliki kapitalisasi pasar $3 miliar, tahun ini angkanya mencapai $13 miliar dan diproyeksikan mencapai $40 miliar di tahun 2025. Jika empat tahun lalu industri ini masih tentang penyediaan transportasi alternatif, sekarang sudah bertransformasi lebih luas mengakomodasi banyak kebutuhan lain. Yang mulai terlihat signifikan adalah layanan pesan antar makanan, seperti GoFood atau GrabFood –dan mungkin ke depan juga terkait layanan finansial.

Gambar 2

Riset menyoroti, sejak tahun 2018 layanan pesan antar makanan ini telah memberikan pengaruh besar pada pergeseran kebiasaan konsumen. Berbagai kalangan mulai gemar menikmati layanan tersebut, dengan dalih efektivitas di tengah kepadatan lalulintas dan cuaca. Di area metro, layanan ini memiliki tingkat pesanan yang sangat tinggi.

Banyak hal yang menjadi pendorong, terlepas dari promo dan pemasaran yang dilakukan terus-menerus para decacorn, aksesibilitas ke produk makanan menjadi lebih luas. Layanan pesan antar makanan menjembatani menu-menu dari restoran hingga pedagang kaki lima. Dari sisi bisnis, hadirnya platform tersebut juga menghadirkan banyak keuntungan. Beberapa telah memanfaatkan untuk meningkatkan hubungan dengan konsumen melalui program loyalty dan reward.

Kanal hiburan di internet tetap diminati

Sejak tahun 2015, setidaknya tercatat adanya 100 juta pengguna internet baru di kawasan Asia Tenggara. Aplikasi video, musik, hingga game menjadi kanal hiburan yang banyak diminati — melalui ponsel pintar. Tahun ini tercatat nilai pasarnya menyentuh $14,2 miliar dan akan tumbuh hingga lebih dari 2x lipat di tahun 2025. Kebanyakan pengguna masih memilih konten gratis, kendati memaksanya untuk melihat iklan di aplikasi.

Tren baru yang ditangkap ialah konten video singkat seperti Bigo Live dan Tik Tok yang berhasil memesona pasar. Dukungan kemampuan seperti lip-sync menghasilkan konten-konten viral yang disukai hampir semua kalangan masyarakat. Selain itu penikmat game online juga mendapatkan pertumbuhan yang sangat besar. Dicontohkan salah satu yang terpopuler, Fire Fire yang dikembangkan Garena, berhasil menggaet 450 juta pendaftar dengan 50 juta pengguna aktif.

Budget hotel menopang industri travel

Sektor ini dinilai sebagai yang paling matang dalam ekonomi digital Asia Tenggara. Potensi pariwisata menjadi salah satu pendorong utama. Di sisi pasar, peningkatan minat kelas menengah untuk bepergian –baik domestik maupun internasional—memberikan sumbangsih berarti untuk online travel. Alternatif layanan pun muncul, misalnya dengan lahirnya budget hotel seperti OYO dan RedDoorz.

Platform agregator seperti Tiket.com, Traveloka, hingga Booking.com juga mulai meningkatkan manuver. Kemitraan dengan pemain digital lain, misalnya ride-hailing, juga terus diupayakan. Tidak berhenti hanya sebagai penyedia tiket perjalanan, kini aplikasi online travel mulai menyediakan kanal “experience“, didorong kebutuhan pengguna yang ingin memaksimalkan pengalaman perjalanan mereka. Berbagai hal kini bisa diakses melalui satu platform, seperti tiket hiburan hingga karcis ke sebuah pertunjukan.

Integrasi layanan

Catatan lain yang menarik disimak adalah soal integrasi antar layanan yang dihadirkan platform untuk meningkatkan kenyamanan pengguna. Misalnya awal tahun lalu, Hooq menyepakati kerja sama untuk menghadirkan layanan streaming video di aplikasi Grab. Atau aplikasi Gojek yang kini menghadirkan kanal berita dari Kumparan. Soal integrasi ini, menghadirkan varian layanan yang lebih luas di tiap platform.

Gambar 3

Jika diamati, ride-hailing dan e-commerce menjadi yang paling gencar melakukannya. Di kedua aplikasi tersebut, hampir setiap layanan digital mulai ada. Aksi perusahaan seperti akuisisi dan investasi pada akhirnya dipilih beberapa startup untuk meningkatkan kapabilitas menyeluruh di platformnya.

Gambaran Persaingan Bisnis Digital di Empat Sektor Terpopuler di Indonesia

Dilihat dari geliat bisnis –meliputi nilai pangsa pasar dan putaran investasi—ada beberapa sektor digital yang tumbuh signifikan di Indonesia. Salah satunya merujuk pada hasil riset Google dan Temasek tahun ini, empat sektor utama yang mendominasi adalah e-commerce, online travel, online media, dan ride-hailing. Selain empat di atas sektor lain juga turut bertumbuh, salah satu yang menggeliat adalah fintech.

Pada tulisan ini, kami coba menghadirkan gambaran persaingan terkini industri digital yang sedang memanas dan menjadi sorotan di Indonesia. Terdiri dari bisnis ride-hailing, fintech, e-commerce, dan online travel. Masing-masing telah diisi oleh pemain besar dengan basis pengguna dan dukungan pendanaan yang sangat besar juga.

Ride-hailing masih tentang Go-Jek vs Grab

Berbicara tentang persaingan ride-hailing di Indonesia, maka masih mengerucut pada dua unicorn Go-Jek dan Grab. Keduanya terus mendominasi pangsa pasar dengan porsi yang berbeda. Sejauh ini dari sisi kelengkapan, aplikasi Go-Jek jauh lebih unggul karena menawarkan varian yang lebih banyak.

Namun dari total statistik unduhan di Play Store, angka Grab lebih banyak –karena hanya menggunakan satu aplikasi di seluruh wilayah operasional, sementara Go-Jek memisahkannya; seperti di Vietnam menggunakan Go-Viet atau bahkan layanan sekunder dengan Go-Life.

Go-Jek vs Grab
Go-Jek dan Grab masih terus bersaing menjadi yang terbaik

Di sisi lain, fitur e-wallet menjadi salah satu model bisnis layanan. Go-Jek bermanuver sendiri melalui Go-Pay, sementara Grab masih bergantung pada pihak lain, dalam hal ini Ovo dari Lippo Group. Untuk perluasan bisnis keduanya juga sama-sama memiliki unit investasi, merangkul pemain lain memperkuat ekosistem layanan –ada Go-Ventures dan Grab Ventures.

Mapan, Promogo, Findaya, Dana Cita dll adalah startup digital yang kini bermitra strategis dengan Go-Jek, dijalin melalui pendanaan dan/atau akuisisi. Kudo, HappyFresh, StickEarn, Karta dan beberapa pemain lainnya ada di sudut Grab. Dari sepak terjang yang ada, keduanya seakan-akan mengarah pada satu titik yang sama dalam kaitannya dengan tujuan bisnis.

Tahun ini nilai pangsa pasar ride-hailing di Indonesia diperkirakan mencapai $3,7 miliar. Angka tersebut diproyeksikan akan terus meningkat hingga menyentuh minimal $14 miliar di tahun 2025 mendatang. Sehingga babak demi babak persaingan masih akan sangat menarik disaksikan dari kedua startup besar tersebut.

Fintech tumbuh pesat, e-money miliki potensi terbesar

Di Indonesia ada dua sub-sektor fintech yang terlihat tumbuh subur, yakni lending dan e-money. Dari sisi jumlah pemain, fintech lending jauh lebih banyak, pun yang sudah berizin dari regulator. Sementara e-money cenderung lebih sedikit dan didominasi oleh pemain besar.

Ada alasan yang sangat mendasar mengapa e-money akan menjadi sub-sektor fintech yang paling berpotensi. Seperti layaknya uang di dompet, saldo e-money didesain untuk membantu pengguna bertransaksi kebutuhan sehari-hari.

Tak ayal kini pemain e-money makin gencar melakukan akuisisi pengguna dengan memperluas ekosistem layanan. Di Indonesia ada beberapa layanan populer untuk e-money, mulai dari Dana, Go-Pay, Paytren, Tcash dan lain-lain. Namun yang paling mendominasi pemberitaan akhir-akhir ini ada tiga layanan, yakni Dana, Go-Pay, dan OVO.

Dominasi pemberitaan tak lain terkait upaya perluasan integrasi layanan. Kini ketiga layanan populer tersebut sudah terintegrasi dengan platform berpopulasi pengguna besar. Dari survei yang dilakukan oleh DailySocial melibatkan 825 pengguna layanan, secara peringkat pengguna Go-Pay berada di urutan pertama, disusul oleh OVO, Tcash, dan Dana.

E-money di Indonesia
Layanan e-money terus perluas integrasi layanan untuk perkaya ekosistem

Pasca integrasi yang dilakukan besar-besaran tahun ini, artinya genderang persaingan baru saja dimulai. Beberapa pemain memang sudah terlihat meredup – misalnya PayPro yang akhirnya mencoba keberuntungan di ritel kecil tradisional.

Beberapa pemain baru juga bermunculan ditandai dengan rilis lisensi penyelenggara e-money oleh Bank Indonesia. Sebut saja BluePay, Duwit, hingga E2Pay yang segera memantapkan debutnya.

Sektor travel lengang namun menjanjikan

Menurut data Google dan Temasek, saat ini sektor online travel memiliki pangsa pasar yang paling besar di Asia Tenggara, yakni $30 miliar. Di Indonesia sendiri tahun ini diperkirakan akan menyumbang perputaran uang mencapai $8,6 miliar, dan diproyeksikan akan mencapai $25 miliar di tahun 2025 mendatang. Pemain di online travel sebenarnya juga banyak, sebut saja Airy, Pegipegi, Tiket.com, Traveloka, dan lain-lain.

Jika ditarik pemain dengan peringkat teratas, maka merujuk pada dua pemain besar – kebetulan keduanya didirikan pengembang lokal – yakni Tiket.com dan Traveloka. Pasca exit, Tiket.com saat ini berada dalam naungan Djarum Group melalui unit usaha Blibli. Sementara Traveloka masuk dalam jajaran unicorn di Indonesia dengan valuasi saat ini diperkirakan melebihi $2 miliar.

Traveloka vs Tiket
Traveloka pimpin bisnis OTA di Indonesia

Tampaknya modal besar membuat akuisisi pengguna oleh Traveloka cukup berhasil –diimbangi dengan inovasi layanan yang terus digencarkan. Secara statistik Traveloka saat ini masih mengungguli Tiket.com, kendati dari sisi varian layanan keduanya hampir memiliki kesamaan. Di sudut inovasi Traveloka juga banyak meluncurkan gebrakan, misalnya fitur PayLater melalui TravelokaPay bermitra dengan layanan pinjaman Danamas.

Secara khusus DailySocial juga pernah merilis laporan bertajuk “Online Travel Agencies Survey 2018”. Hasil survei menempatkan urutan layanan paling populer ada Traveloka, Tiket.com, Pegipegi, Airy, Blibli, Jd.id, Nusatrip dll. Besarnya pangsa pasar online travel membuat e-commerce juga berbondong-bondong menyajikan layanan penjualan tiket pesawat dan hotel. Beberapa e-commerce bekerja sama dengan pengembang OTA, sisanya mendesain sistem secara mandiri.

E-commerce di Indonesia bergerak dinamis

Sektor digital yang paling ramai sejak beberapa tahun terakhir, pun dengan pertumbuhannya terlihat paling mengesankan. Jika dikemas dalam anekdot, perjalanan digital society di Indonesia dimulai dari penggunaan media sosial, lalu e-commerce, baru ke layanan lainnya.

Saat ini lanskap e-commerce di Indonesia didominasi empat pemain besar, yakni Bukalapak, Lazada, Shopee dan Tokopedia. Pembeda antara e-commerce dan online marketplace pun semakin melebur.

Sementara itu di luar empat pemain tersebut masih banyak platform lain yang juga terus memperkuat keberadaannya, sebut saja Blibli, Bhinneka, Mataharimall dll. Pemain dengan segmen khusus seperti Sale Stock, Hijub, Berrybenka dll juga masih memiliki pangsa pasar. Belum lagi yang di segmen khusus B2B, ada Bizzy, Mbiz dll.

Beberapa penelitian menyebutkan, bahwa e-commerce akan menjadi bisnis digital paling berpengaruh dalam beberapa tahun mendatang. Per tahun 2018, nilai pangsa pasar e-commerce di Indonesia sudah mencapai $18 miliar, terbesar di regional.

Menjelang akhir tahun, di tengah hajatan akbar e-commerce beberapa lembaga survei merilis laporan terkait popularitas layanan e-commerce. Salah satunya MarkPlus, mereka mengatakan bahwa saat ini Shopee berada di urutan pertama, bersaing ketat dengan Tokopedia. Sebelumnya di kuartal kedua DailySocial juga pernah melakukan survei popularitas layanan e-commerce, menempatkan Shopee, Tokopedia, dan Bukalapak di urutan teratas.

E-commerce di Indonesia
Empat layanan e-commerce unggulan terus bersaing ketat

Persaingan belum usai sampai di sini. Masing-masing pengembang platform terus memaksimalkan berbagai strategi untuk memperkuat kehadirannya di pangsa pasar. Strateginya juga memiliki pendekatan berbeda antar pemain.

Misalnya Bukalapak memilih memaksimalkan biaya iklan – per kuartal ketiga tahun 2018, Bukalapak menjadi startup yang paling banyak beriklan. Beda lagi dengan Shopee yang mencoba memperkuat branding dengan menggaet tokoh terkenal Asia dan mengadakan pagelaran besar.

Riset Google-Temasek: Indonesia Kuasai Pangsa Pasar Ekonomi Internet di Asia Tenggara

Kawasan Asia Tenggara (SEA) digadang-gadang sebagai wilayah dengan pertumbuhan ekonomi internet paling pesat. Dalam satu dekade terakhir, dinamika bisnis digital di berbagai lanskap memang cukup terasa — berupa kemunculan bisnis baru atau penguatan bisnis yang sudah ada dalam investasi besar-besaran. Untuk melihat kondisi terkini, Google dan Temasek kembali merilis laporan riset bertajuk e-Conomy SEA 2018.

e-Conomy mencakup kegiatan ekonomi yang disokong oleh internet dan pendekatan digital. Beberapa sektor yang diteliti termasuk online travel, online media, ride hailing dan e-commerce; karena dinilai sudah mencapai tahap matang di kawasan SEA. Sementara periset beranggapan sektor lain seperti pendidikan, finansial, kesehatan dan sosial masih berada di tahap awal. Riset ini  menjangkau Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.

Di SEA, ekonomi internet diprediksikan akan mencapai $240 miliar pada tahun 2025 mendatang, tahun ini sudah mencapai $72 miliar. Untuk mendukung pertumbuhan, bisnis akan membutuhkan investasi sampai $50 miliar. Saat ini riset turut memperkirakan konsumen internet di kawasan SEA sudah mencapai lebih dari 350 juta orang. Rata-rata mereka terhubung dengan pendekatan mobile, melalui perangkat ponsel pintar yang dimiliki.

Indonesia negara dengan pertumbuhan tercepat dan terbesar

Pada sektor yang diteliti, pasar paling besar dikuasai oleh bisnis online travel. Namun di tahun 2025, e-commerce akan menjadi yang terbesar. Nilai bisnis online travel tahun 2018 mencapai $30 miliar, e-commerce di angka $23 miliar. Kendati Grab dan Go-Jek menunjukkan putaran investasi besar tahun ini, ukuran pasar mereka masih di angka $8 miliar, bahkan di bawah online media yang nilainya berada di angka $11 miliar.

Ekonomi Digital Asia Tenggara
Ekonomi digital di SEA saat ini dan proyeksinya di tahun mendatang / Google-Temasek

Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan paling cepat dan ukuran pasar paling besar di SEA. Tahun 2018 angkanya mencapai $27 miliar, akan menyumbangkan $100 miliar di tahun 2025 mendatang. Pertumbuhannya ekonomi digital di Indonesia sangat pesat, pasalnya pada tahun 2015 lalu angkanya baru mencapai $8 miliar, artinya tahun ini berhasil tumbuh lebih dari 4x lipat. Untuk tahun ini, Thailand menjadi terbesar kedua di angka $12 miliar.

Ekonomi Digital Asia Tenggara
Indonesia memimpin pangsa pasar dengan putaran nilai bisnis tertinggi / Google-Temasek

Melihat lebih dekat masing-masing sektor

Sektor e-commerce menjadi yang paling dinamis dalam tiga tahun ke belakang. Dinamika tersebut disebabkan karena proses adaptasi yang dilakukan masif di kalangan konsumen. Tahun ini sektor e-commerce berhasil menyumbangkan nilai putaran bisnis mencapai $23 miliar, diprediksikan tahun 2025 mencapai $100 miliar. Para unicorn di SEA seperti Lazada, Shopee, dan Tokopedia dinilai Google dan Temasek akan berperan kritis dalam menumbuhkan bisnis ini.

Di sektor e-commerce, Indonesia tetap menjadi pemimpin pasar dengan nilai bisnis mencapai $12 miliar di tahun 2018. Sementara negara lain seperti Thailand dan Vietnam baru mencapai kurang lebih $3 miliar tahun ini.

Online travel jadi yang terbesar tahun ini. Dalam riset disebutkan bahwa lanskap ini mencakup tiga sub-sektor utama, yakni online vacation rental, online hotel, dan online flight. Bisnis penjualan tiket pesawat masih mendominasi tahun ini dengan perolehan mencapai $18,4 miliar, disusul reservasi hotel $10,7 miliar, dan sewa kendaraan $0,6 miliar. Total nilai yang mencapai hampir $30 miliar tersebut akan mencapai $78 miliar tahun 2015 mendatang, dengan porsi penjualan tiket pesawat mendominasi $40 miliar.

Tidak berbeda dengan e-commerce, di sektor online travel Indonesia juga memegang nilai pangsa pasar terbesar. Tahun ini Indonesia menyumbang $8,6 miliar, akan mencapai $25 miliar pada tahun 2025 mendatang. Indonesia juga memimpin pangsa pasar di sektor ini. Tahun ini angkanya $2,7 miliar, diproyeksikan akan bertumbuh 3x lipat di tahun 2025 mencapai $8 miliar.

Ekonomi Digital Asia Tenggara
Online travel tahun ini memiliki pangsa pasar terbesar, segera disusul e-commerce / Google-Temasek

Selanjutnya ada sektor online media, yang dibagi dalam tiga jenis layanan, mencakup subscription music and video, online gaming, dan online advertising. Tahun ini angkanya mencapai $11,4 miliar didominasi sub-sektor periklanan online $7,2 miliar. Sementara online gaming menyumbang $3,8 miliar tahun ini, dan layanan musik/video on-demand $0,4 miliar. Tahun 2025 diprediksikan sektor ini akan menyumbangkan angka $32 miliar di SEA, dengan persentase sub-sektor yang tidak jauh berbeda dengan kondisi tahun ini.

Sektor terakhir yang diteliti oleh Google dan Temasek adalah ride hailing. Terdiri dari dua sub-sektor, yakni online food delivery dan online transport. Tahun 2018 angkanya mencapai $7,7 miliar, dengan pembagian $5,7 miliar didapat dari online transportation dan $2,0 miliar dari online food delivery. Tahun 2025 mendatang angkanya diprediksikan menjadi $28 miliar, dengan kepeimpinan sub-sektor online travel mencapai $20 miliar.

Indonesia tetap menjadi pangsa pasar terbesar dengan nilai tahun ini mencapai $3,7 miliar. Diproyeksikan tahun 2025 mendatang akan menyentuh angka $14 miliar. Turut disoroti juga pemain kunci di SEA untuk sektor ini, yakni Grab dan Go-Jek. Selain transportasi dan jasa antar makanan, keduanya terus mengembangkan solusi pembayaran digital dalam pengembangan bisnisnya.

Rayakan Hari Jadi Ketujuh, Tiket.com Pacu Bisnis Hotel

Merayakan hari jadi yang ketujuh, Tiket.com mulai memacu kontribusi dari bisnis pemesanan kamar hotel sebagai bisnis utama. Keputusan tersebut dipilih lantaran pertumbuhan revenue-nya diklaim mencapai 250% secara year-on-year dengan pertumbuhan inventory naik 2 kali lipat, lebih besar ketimbang keseluruhan bisnis Tiket.com yang hanya 150%.

“Yang bakal menarik ke depannya kita akan dorong penjualan kamar hotel karena itu paling besar pertumbuhannya dari bisnis kita yang lainnya. Akan ada banyak inisiasi yang siap kita lakukan untuk dorong bisnis utama ini,” ucap CMO dan Co-Founder Tiket.com Gaery Undarsa, Kamis (30/8).

Pengembangan produk kamar hotel sedang dipersiapkan terutama untuk perubahan tampilan yang bakal lebih simpel dan bersih. Ada penambahan detail informasi kamar dan fasilitas yang akan disediakan serta pengembangan waktu pencarian hotel yang menjadi lebih singkat. Seluruh pengembangan tersebut masih dilakukan tim Tiket.com.

Salah satu fitur unggulan produk hotel adalah ‘Tonight Deals’, konsumen bisa mendapatkan harga kamar jauh lebih murah dan ekstra diskon dengan check in pada pukul 18.00 – 04.00 WIB. Fitur ini sudah hadir sejak Juni 2018, dengan latar belakang kebiasaan orang Indonesia yang suka last minute saat booking kamar. Namun terkendala karena sistem booking hotel yang terbatas.

Dari sisi investory, perusahaan akan agresif perlebar produk maskapai dan hotel internasional. Disebutkan investory produk pesawat dan hotel di Tiket.com mencapai 58 partner maskapai dan lebih dari 350 ribu produk hotel.

Gaery menuturkan pihaknya juga membuka penambahan inventory untuk hotel budget. Sehingga konsumen bisa memiliki banyak pilihan kamar dari berbagai kelas. Dari total investory hotel, mayoritas adalah hotel bintang dua dan tiga.

Untuk jaring hubungan dengan berbagai pihak hotel di destinasi wisata populer, Tiket.com membuka kantor baru khusus marketing di Yogyakarta dan Bali.

“Tiket.com punya tim dedicated menangani hotel terbanyak dari tim lainnya. Untuk fokus ke hotel itu perlu treatment khusus karena kebutuhan mereka itu beda-beda. Makanya penting bangun hubungan yang spesial.”

Gaery mengklaim, perbulannya lini bisnis ini mampu menyumbang sekitar 20%-30% untuk total booking, ketimbang bisnis lainnya. Penjualan kamar hotel di Jakarta, menurut data Tiket.com dalam setahun terakhir, menjadi penjualan terbesar pertama disusul oleh Bali dan Surabaya.

Perkembangan setahun belakangan

Setelah diakuisisi GDP Venture melalui Blibli.com, Tiket.com mengalami perkembangan yang siginifikan di segala bidang. Salah satunya adalah mengeluarkan fitur andalan ‘Smart Feature’ yang terdiri dari Smart Round Trip, Smart Refund, Smart Reschedule, dan Smart Traveler untuk memudahkan konsumen saat bepergian.

Mulai awal tahun ini Tiket.com juga gencar melakukan strategi pemasaran yang masif di beberapa lini baik online maupun offline. Hal ini pada akhirnya berdampak pada total kenaikan kunjungan pada pertengahan tahun ini sebesar 80% secara year-on-year.

Kunjungan di aplikasi naik 208%, sedangkan tingkat unduhan naik lebih dari 280%. Total pengunduh aplikasi Tiket.com disebut-sebut sudah tembus 5 juta unduhan. Total booking dari aplikasi mencapai 80% dari total keseluruhan transaksi di Tiket.com.

Tiket.com turut berpartisipasi dalam memberikan inventorinya untuk Blibli Travel, dalam produk pesawat dan hotel. Menurut Gaery, justru dengan kehadiran Blibli, kedua perusahaan dapat melengkapi satu sama lain.

“Kita dan Blibli garap market-nya sama, itu tidak apa-apa. Justru kalau dua-duanya jalan pada akhirnya bisa jadi nilai tambah buat kedua perusahaan,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Memetik Pelajaran Enam Tahun Tiket Berdiri

Pemberitaan beberapa waktu lalu mengenai aksi korporasi yang dilakukan Grup Djarum lewat Blibli dengan mengakuisisi 100% layanan OTA Tiket menjadi suatu pelajaran berharga baik bagi Tiket maupun pengusaha startup lainnya, bahwa pada intinya perusahaan akan selalu membutuhkan kapital yang kuat untuk akselerasi bisnis.

Memilih Blibli, yang notabenenya adalah perusahaan terafiliasi dengan Grup Djarum, menjadi suatu nilai lebih bagi perusahaan. Pasalnya, Tiket hanya baru sekali mendapatkan pendanaan sepanjang enam tahun berdiri, dari angel investor senilai US$1 juta.

Diungkapkan sejak pendanaan tersebut, Tiket mengandalkan kemampuan sendiri untuk memutar uang dari kas perusahaan. Strategi tersebut memang bagus karena sehat bagi keuangan perusahaan. Namun hal ini dinilai jadi kurang relevan karena jarak ketertinggalan perusahaan agak jauh dengan kompetitor. Apalagi, Tiket bermimpi ingin kembali menjadi pemain OTA nomor 1 di Indonesia.

“Valuasi kita sudah triliunan, investasinya jadi susah karena kalibernya sudah sangat beda. Kita maunya [investor] dari lokal karena orang Tiket semuanya dari lokal, yang asing-asing dari Tiongkok itu malah sudah ngobrol-ngobrol. Makanya ini jadi susah. Tapi eventually, ada Grup Djarum yang interest, tapi mereka maunya full akuisisi,” terang Co-Founder dan CTO Tiket Natali Ardianto saat mengisi salah satu sesi di gelaran Ideafest 2017.

Natali melanjutkan, alasan Grup Djarum yang ingin akuisisi penuh Tiket cukup masuk akal. Karena bila dihitung-hitung, jika mereka hanya investasi sekian persen dengan nilai sekian rupiah, artinya Tiket hanya bisa memanfaatkan dana itu saja.

Konsekuensinya bagi founder, mereka akan terus dituntut investor dan harus menggalang pendanaan segar di tahun-tahun berikutnya. Sedangkan bagi perusahaan, ini merugikan karena tidak bisa berlari dengan kencang mengejar ketertinggalannya.

“Ide full akuisisi itu tercetus dan kita 100% setuju. Mereka juga berjanji bahwa semua perusahaan yang ada di bawah Grup Djarum, entah itu masih kecil maupun sudah besar, tidak ada yang dimatikan. Ini membuktikan mereka tidak pernah give up. Kita percaya itu. Lagi pula industri travel itu, menurut saya akan terus berjalan.”

Pelajaran enam tahun Tiket

Menurut Natali, Tiket cukup terlena dengan kondisi saat masih menjadi pemain OTA nomor 1 di Indonesia. Strategi awal yang dilakukan Tiket tidak sehat karena tersandung oleh euforia “Silicon Valley”.

Kondisi yang membuat perusahaan merekrut orang tanpa mempertimbangkan gaji, menyediakan makanan tanpa batas, dan banyak keleluasaan lainnya. Kemudian diperparah oleh keluarnya tiga dari tujuh co-founder Tiket.

“Jujur saja, 1,5 tahun setelah berdiri kami cukup terlena dengan euforia Silicon Valley. Memang produk yang dihasilkan bagus, tapi setelah itu kami kehabisan uang, dan mulai ketar ketir sampai akhirnya memutar dana yang sudah ada untuk operasional.”

Dari sana, Tiket belajar bahwa memberikan saham perusahaan dengan mudah kepada karyawan, itu tidak tepat. Kondisi perusahaan tidak sehat, lantaran pada saat itu harus masih ‘sakit’ di tahun pertama, namun harus tetap memberikan imbal hasil. Dengan kata lain, perusahaan harus membayar sesuatu dengan kondisi produk yang belum mantap.

“Ini jadi tips, jangan gampang kasih saham. Lebih baik bayar dengan gaji yang profesional.”

Berikutnya, mengingat anggaran belanja Tiket yang tidak besar, perusahaan sangat mengedepankan fungsi manajemen keuangan dengan merekrut lebih banyak tim finance daripada tim IT.

Natali mengungkapkan, tim finansial Tiket ada 35 orang, sementara tim IT hanya 30 orang. Akan tetapi, dengan jumlah tersebut mampu mendongkrak kinerja Tiket yang mampu menghasilkan 15 ribu transaksi dalam sehari.

Menurut pandangan Natali, perusahaan startup yang baik itu harus memiliki tim yang kuat di bidang IT, finance, dan marketing. Berbeda dengan pandangan orang pada umumnya yang menganggap startup itu harus memiliki tiga tipe orang yakni hacker, hipster, dan hustler.

Dia beralasan, tim marketing itu adalah sesuatu yang selalu terlewatkan oleh perusahaan teknologi. Padahal, alasan utama yang membuat startup mati adalah kehabisan uang.

“Bila ada co-founder yang tidak perform, ya tinggal pecat ganti yang baru. Kalau sudah tidak ada uang, mau apa pun ya tidak bisa jalan. Makanya kalau di Tiket selalu berbicara tentang revenue, net margin, dan conversion. Bukan dari traffic atau page view.”

Pelajaran terakhir lainnya yang disampaikan Natali adalah memanfaatkan sumber daya yang ada, sesuai dengan budget perusahaan. Pihaknya sadar tidak memiliki banyak biaya untuk mengakuisisi pelanggan baru dengan beriklan di media massa. Maka dari itu, strategi yang dilakukan adalah memanfaatkan basis data yang dimiliki perusahaan dan menjadikannya sebagai spesialisasi.

Tiket fokus pada pelayanan dengan menempatkan tim costumer service secara penuh dari internal. Setiap keluhan yang masuk, tim IT akan mengategorikan masalah untuk diselesaikan.

Terlebih, pelanggan utama Tiket bukanlah generasi anak muda, melainkan kalangan yang sudah berumur, misalnya ibu rumah tangga dan pelancong bisnis. Natali bilang, dari golongan tersebut ada sekitar 75 ribu pelanggan yang melakukan 50 kali transaksi dalam sebulannya. Mereka merupakan pelanggan loyal Tiket.

“Persona orang tua tidak perlu situs yang fancy dan vibrant. Kita memperhatikan hal-hal seperti itu,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Mengenal Lanskap Industri Travel dan Pergerakan Digitalnya

Salah satu industri yang cukup berkembang pesat di era digital ini adalah perjalanan atau travel. Cakupannya cukup luas dengan segmentasi yang dimiliki. Mungkin beberapa dari pembaca mengenal beberapa istilah seperti Online Travel Agency (OTA), Hospitality dan lain sebagainya. Bahkan penguraiannya pun sekarang makin spesifik. Contoh saja soal kehadiran budget hotel, sebagai evolusi layanan penginapan yang mengakomodasi travellers.

Untuk mengulas tentang bisnis travel, kami berdiskusi dengan Larry Chua, Co-Founder Caption Hospitality. Pengalamannya di industri travel tidak diragukan lagi. Bersama Caption Hospitality saat ini ia mengembangkan sebuah solusi terpadu yang diperuntukkan pemilik hotel atau penginapan untuk memiliki sistem teknologi, untuk mengakselerasi bisnisnya di era digital.

Larry Chua - Co-Founder dan CEO Caption Hospitality / Caption
Larry Chua – Co-Founder Caption Hospitality / Caption Hospitality

Awal mula industri travel dan perkembangannya

Di awal perbincangan, kami membahas tentang industri travel online yang ada saat ini. Istilah seperti OTA cukup membingungkan bagi orang awam. Larry pun sepakat akan hal tersebut, ia mengungkapkan lanskap ini memiliki cakupan sangat luas. Industri travel pada mulanya ada untuk melengkapi kebutuhan bisnis, sehingga di awal kemunculannya banyak bermunculan istilah bisnis yang disebut dengan “corporate travel”.

Apa yang dicakup dalam bisnis tersebut ada dua hal, pertama ialah moda transportasi (pesawat, kereta api, bus, hingga ojek) dan akomodasi (hotel, hostel, guest house, hingga kos). Ini adalah hal paling fundamental. Hingga pada akhirnya kini moda perjalanan makin terjangkau, pergeseran pun dimulai, banyak orang melakukan travelling untuk tujuan di luar perjalanan bisnis, yakni bersantai.

Di masa lalu pemasok akomodasi dan agen transportasi menggunakan sistem keagenan untuk menjual inventory mereka, merujuk pada proses distribusi. Proses itu berjalan bukan tanpa alasan, didominasi konsumen bisnis alur transaksinya didesain untuk mampu menyesuaikan kebutuhan perkantoran, misalnya ada cerdit term dengan jangka pembayaran tertentu dan lain sebagainya. Sistem ini juga untuk mencegah pemindahbukuan dan penanganan yang terlalu banyak oleh agen.

Jadi apa yang disebut OTA sebenarnya sebuah kanal distribusi baru untuk para pemasok. Nilai plus yang mereka berikan adalah saluran 24 jam untuk pemesanan moda transportasi dan akomodasi. Dengan keunggulan yang diberikan, mereka bertarung memasarkan dan mengarahkan lalu lintas pengguna ke situs web mereka. Dengan upaya ini, sebagian besar OTA mengenakan biaya dari 17% – 30% dari harga jual pemasok akomodasi. Contoh OTA populer saat ini seperti Traveloka, Pegipegi, Tiket, Rajakamar dan sebagainya.

Bagaimana OTA dan penyedia jasa bersinergi?

Larry memulai dengan sebuah pertanyaan, apakah hotel bisa bertahan tanpa OTA? Jawabannya iya. Sebaliknya, bisakah OTA bertahan tanpa hotel? Jawabannya tentu tidak. OTA hanya seperti sebuah marketplace, tanpa pemasok produk akomodasi atau travel maka bisnis mereka tidak akan jalan. Masalahnya mereka (hotel) sangat baik dalam menjalankan bisnisnya (akomodasi), namun banyak yang tidak mengerti tentang teknologi dan dunia digital.

Teknologi di sisi penyedia jasa hotel (hoteliers) tidak berkembang cukup pesat. Baru akhir-akhir ini saja penggunaan perangkat lunak berbasis komputasi awan atau sejenisnya mulai terlihat sebagai improvisasi layanan. Hal itu menurut Larry wajar, karena jika hoteliers memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ruang digital, mereka tidak memerlukan OTA untuk melakukan pemasaran.

Faktanya masih ada beberapa kelompok hotel yang tidak mencantumkan propertinya di OTA dan masih berjalan baik. Ini adalah contoh sisi lain dalam konteks ini. Namun gelombang ketiga evolusi online travel tampaknya juga akan segera hadir. Raksasa internet Google pun telah bereksperimen banyak dalam lini industri travel, perubahannya tentu akan banyak memberikan keuntungan untuk bisnis.

Persaingan industri travel yang ada saat ini

Menurut Larry, travel adalah salah satu vertikal bisnis yang paling menguntungkan untuk situs e-commmerce, deals atau semacamnya. Sebelum di Caption, Larry pernah memimpin sebuah travel department bisnis e-commerce, yakni Ensogo dan Deal.com. Ia lanjut menceritakan, pada satu titik pendapatan netto travel department menutupi seluruh biaya bulanan perusahaan.

Jadi apa yang terjadi saat ini dalam bisnis travel di Indonesia bukan “hal aneh” bagi Larry, misalnya akuisisi Tiket.com oleh Blibli. Perusahaan e-commerce seperti Bukalapak dan Tokopedia akan mulai bergerak penuh ke dalam ruang ini dan juga tidak akan mengejutkan jika nanti unicorn lain seperti Go-Jek akan mulai bermain di dalam ruang ini.

Turut ditekankan Larry bahwa ini adalah sebuah langkah bertahap ketika perusahaan mulai mengendalikan basis data pengguna dalam jumlah pesat. Mereka semua beroperasi sebagai pasar. Pertanyaan selanjutnya adalah model seperti apa yang bisa dijual kepada konsumen untuk menghasilkan keuntungan dan harga tiket tertinggi.

Gambaran umum lanskap industri travel / Caption Hospitality
Gambaran umum lanskap industri travel / Caption Hospitality

Hospitality untuk menggerakkan digitalisasi industri

Masih banyak masalah dan tantangan yang dihadapi pemilik properti. Pebisnis di Indonesia (secara umum) perlu belajar dari industri di daerah seperti Bali dan meniru tingkat layanan. Teknologi pasti sangat berperan dalam hal ini, membantu hoteliers menjadi lebih laku, serta membantu membuat biaya operasional menjadi lebih efisien. Namun demikian tetap ada masalah yang belum terselesaikan, misalnya untuk pengelolaan insentif ruang rapat, akomodasi perjalanan bisnis, hingga pengelolaan pemanfaatan fasilitas spesifik seperti kolam renang.

Untuk menguraikan kebutuhan digitalisasi, kebanyakan orang berpikir bahwa situs web adalah jawabannya. Namun dari pengamatan Larry, situs web hotel banyak yang perlu dipikirkan dan dirancang ulang sehingga dapat menginspirasi dan mengubah lalu lintas kunjungan menjadi pemesanan, bahkan traksi. Fakta penting lainnya adalah kebanyakan orang di Indonesia melihat informasi perjalanan dan bertransaksi di ponsel.

Kenyataannya lainnya adalah sebagian besar hotel masih melibatkan beberapa perusahaan pengembangan situs web atau perancang freelance untuk mengembangkan situs web mereka. Parahnya pengembang tersebut tak sedikit yang memiliki pengetahuan minim tentang perilaku travelers. Sayangnya kita tidak lagi tinggal di tahun 1998, situs web tidak lagi hanya ditujukan untuk kebutuhan informatif.

Edukasi berkelanjutan sangat dibutuhkan di Indonesia tentang ruang digital dan teknologi. Menurut Larry, banyak pengelola hotel masih memiliki pola pikir tahun 1990-an. Kita masih bisa melihat properti menggunakan pena dan kertas manual untuk check-in, kita masih bisa menemukan hotel yang tidak memiliki website yang tepat. Di sini Hospitality berperan. Larry mendefinisikan Hospitality sebagai pemasok dan salah satu aspek inti dari perjalanan. Tanpa Hospitality dan hoteliers, tidak ada “bisnis travel“.

Rengkuh Pendanaan 4,6 Triliun Rupiah dari Expedia, Traveloka Pastikan Status Unicorn

Di dunia industri travel online, ada dua raksasa yang menguasai pasar ini. Pertama adalah Priceline, kedua Expedia. Priceline sudah memiliki Agoda di Asia dan hari ini Expedia mengumumkan investasinya di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, dengan mengambil saham minoritas di Traveloka senilai $350 juta (lebih dari 4,6 triliun Rupiah) untuk menyainginya. Selain dari Expedia, dalam setahun terakhir Traveloka secara total sudah mendapatkan dana $500 juta (lebih dari 6,6 triliun Rupiah) dari East Ventures, Hillhouse Capital Group, JD.com, and Sequoia Capital.

Menurut The Information, yang pertama kali memberitakan informasi ini, Traveloka kini bervaluasi lebih dari $2 miliar dan menjadikannya startup unicorn pertama di industri travel online Indonesia. Nilai valuasinya di Indonesia hanya kalah dari Go-Jek yang disebutkan mencapai $3 miliar pasca perolehan pendanaan dari Tencent.

Dua tahun yang lalu kami memprediksi keduanya bakal menjadi unicorn bersama Tokopedia. Tokopedia sendiri kabarnya memang sudah menjadi unicorn, tapi belum mengumumkan valuasi terbaru pasca pendanaan terakhir dari Softbank dan Sequoia di tahun 2014.

Pasca perolehan pendanaan ini, SVP Expedia Greg Schulze akan masuk ke jajaran board of director Traveloka.

Agresif mengejar pertumbuhan

Sebagai startup yang agresif mencari pertumbuhan, Traveloka aktif mengeluarkan dana untuk periklanan, termasuk baru-baru ini menjadi sponsor utama liga sepakbola utama Indonesia (bersama Go-Jek) dan acara televisi Asia’s Got Talent 2017. Di tahun 2015, menurut data Adstensity, budget periklanan Traveloka mencapai lebih dari 550 miliar Rupiah.

Traveloka bisa dibilang termasuk startup yang cukup tertutup soal pendanaan. Perolehan pendanaan terakhir yang diumumkannya adalah pendanaan Seri A di bulan September 2013 dari perusahaan investasi Rocket Internet, Global Founders Capital. Setelah itu Traveloka tidak mau berkomentar soal rumor pendanaan.

Pendanaan kali ini adalah milestone bagi Traveloka karena menjadi bagian keluarga jaringan pemain travel besar global dan mendukung rencana Traveloka menguasai pasar regional. Traveloka, yang didirikan oleh 3 orang yang pernah berkarier di Silicon Valley, kini telah hadir di 6 negara Asia Tenggara.

Co-Founder dan CEO Traveloka Ferry Unardi dalam pernyataan resminya mengatakan, “Bermitra dengan perusahaan travel global terdepan akan membantu kami fokus ke pertumbuhan berkelanjutan di dunia travel online untuk memenuhi tujuan kami menyediakan opsi travel terbaik dan pengalaman reservasi yang berkualitas.”

“Traveloka adalah pemimpin di pasar travel Indonesia dan berekspansi secara agresif di Asia Tenggara. Kemitraan kami akan memberikan keuntungan dengan keunggulan dan pengetahuan lokal masing-masing untuk mengakselerasi perkembangan bersama,” ujar President dan CEO Expedia Inc Dara Khosrowshahi.

Persaingan industri travel yang makin memanas

Kemitraan Traveloka dan Expedia adalah jawaban dari akuisisi Blibli terhadap Tiket.com. Untuk menjadi pemimpin di industri ini mereka harus bergerak agresif. Data Google dan Temasek menyebutkan di tahun 2025 nilai pasar di industri travel Asia Tenggara akan mencapai $76 miliar, dengan konsumsi di sektor travel akan mencapai 38% dari total konsumsi masyarakat Asia Tenggara di tahun tersebut.

Selain Traveloka dan Tiket.com, dua pemain travel online di Indonesia yang cukup relevan adalah Pegipegi dan Nusatrip. Meskipun demikian, Traveloka tidak lagi sekedar ingin menguasai Indonesia dan Asia Tenggara. Tersirat bahwa Traveloka bakal menggunakan jaringan Expedia untuk ekspansi Traveloka yang lebih luas.

“Kami menantikan kolaborasi dengan Expedia untuk memperluas layanan kami ke Asia dan negara-negara selanjutnya,” ujar Ferry.

Application Information Will Show Up Here

Sewa Properti Pribadi Jadi Fokus Baru Travelio

Pada April 2016, Travelio mengumumkan akan melakukan diversifikasi layanan dengan menambah jenis akomodasi yang dikelola, yakni dengan menambah apartemen, villa, guest host, homestay, hingga kost. Secara bertahap, langkah tersebut pun mulai direalisasikan sejak tiga bulan silam. CEO Travelio Hendry Rusli pun menegaskan bahwa langkah pivot ini akan menjadi fokus bisnis Travelio ke depannya dan tidak lagi fokus pada hotel.

“Tahun lalu itu kami lebih fokus ke hotel, [dengan fitur unggulan] tawar-menawar. Kami punya traksi yang cukup bagus waktu itu, tetapi kalau dibilang besar banget ya belum,” kata Hendry ketika ditemui di kantor baru Travelio yang terletak di Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat.

Hendry melanjutkan, “[Kemudian] Kami melihat lagi apakah bisnis ini sustainable dengan kompetitor yang begitu banyak, menjual produk yang sama, dan hanya dibebankan pada promosi-promosi saja? Jadi [yang] kami lihat tidak ada suatu inovasi, hanya jual produk yang sama dengan harga yang berbeda.”

Dari latar belakang tersebut lah Hendry dan juga rekan lainnya mulai berpikir untuk merambah ke bisnis sewa properti pribadi layaknya AirBnb. Namun, tidak langsung dilakukan. Hendry bercerita bahwa mereka terlebih dahulu melakukan konsultasi kepada beberapa ahli properti dan investor.

Hendry mengatakan, “Mereka [investor dan ahli] bilang, kenapa kalian tidak pindah ke model bisnis ini [menyewakan properti pribadi]? Itu lebih bagus dan lebih menarik.”

Setelah bertemu dengan investor yang memiliki kesamaan visi dan misi, langkah untuk pivot ke sewa bisnis properti pribadi layaknya AirBnB ini pun mulai dijalankan secara bertahap. Setidaknya, menurut Hendry, sudah berjalan sejak tiga bulan lalu. Meski hotel masih ada dalam perpustakaan properti Travelio, Hendry juga menegaskan bahwa itu tidak lagi menjadi emphasize bisnis.

Tantangan yang harus dihadapi

[Tengah] CEO Travelio Hendry Rusli dan tim saat acara open house jantor baru Travelio / DailySocial
[Tengah] CEO Travelio Hendry Rusli dan tim saat acara open house kantor baru Travelio / DailySocial
Dari permukaan, proses pivot bisnis Travelio memang terlihat mulus. Namun, pada kenyataannya tidak seperti itu. Selain harus rela kehilangan trafik terlebih dahulu, rupanya mengubah kebiasaan orang di bidang properti untuk beralih ke online pun masih harus dilewati.

“Tantangannya itu, yang pasti semua nomernya itu turun karena kami pindah. Tadinya pengguna-pengguna layanan kami kan hotel. Kedua, masih banyak terjadi offline transaction. Jadi, bagaimana caranya kami membawa itu ke online,” ujar Hendry.

Pun begitu, Hendry optimis kendala-kendala yang dialami pihaknya saat ini akan mampu dilewati. Ia menganalogikan kendala ini tak ubahnya seperti metode cash on delivery yang dialami oleh pelaku e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, dan yang lainnya yang kini angka transaksinya mulai berkurang dan berganti ke arah digital.

“Google berhasil mengubah cara mencari, Facebook mengubah cara untuk terhubung dengan sesama, Tokopedia mengubah cara orang menjual sesuatu, dan Go-jek mengubah cara orang memesan ojek. Hal yang kami alami sekarang sebenarnya tidak jauh berbeda, dan jika kami bisa mengubah cara orang untuk menyewa properti secara online, artinya kami telah berhasil [melakukan hal yang sama dengan Google, Facebook, dan lainnya],” ujar Hendry.

Ketika disinggung mengenai rencana dan target di tahun depan, jawaban Hendry tidak jauh berbeda dengan saat Travelio terjun ke pasar, yaitu tetap fokus di industri travel dan mengembangkan layanan Travelio untuk menjadi yang nomor satu di Indonesia. Toh, pasarnya juga masih terbuka lebar dan belum ada pemenang pasti di area ini.

Application Information Will Show Up Here