Pendanaan Startup Asia Tenggara Catat Rekor, Per Agustus 2018 Capai 46 Triliun Rupiah

Investasi yang diberikan venture capital (VC) di Asia Tenggara dilaporkan meningkat tahun ini, menuju rekor nilai investasi tertinggi. Hingga Agustus 2018, peningkatannya sudah mencapai 16% jika dibandingkan dari keseluruhan nilai yang dikucurkan pada tahun 2017. Per Agustus, nilainya mencapai $3,16 miliar (setara hampir 46 triliun Rupiah), sementara tahun 2017 membukukan $2,72 miliar.

Laporan tersebut disampaikan Singapore Venture Capital and Private Equity Association. Menurut Chairman Thomas Lanyi, lingkungan bisnis (khususnya digital) di Asia Tenggara menjadi lebih hidup berkat para pemain yang mulai meningkatkan gairah bisnis. Asia Tenggara menjadi basis pasar potensial dengan total penduduk mencapai 640 juta.

Angka tersebut diprediksikan masih akan terus meningkat hingga akhir tahun 2018, seiring dengan target pencarian dana baru yang dilakukan startup besar untuk kebutuhan ekspansi. Beberapa startup yang beroperasi di Indonesia yang turut meramaikan dominasi nilai pendanaan, seperti Grab, GO-JEK, dan Traveloka.

Selain itu, perekonomian digital di wilayah regional ini memang diproyeksikan terus meningkat. Hasil riset Google-Temasek memaparkan bahwa di tahun 2025 mendatang ekonomi digital di Asia Tenggara diprediksi akan melebihi angka $200 miliar. Sementara di tahun 2017 nilainya tercatat sekitar $50 miliar.

Asosiasi juga turut menyoroti soal batasan kabur antara venture capital dan ekuitas swasta (perusahaan yang memberikan pendanaan melalui unit investasinya). Pasalnya di wilayah ini, pendanaan tidak selalu dipimpin perusahaan modal ventura (VC). Beberapa perusahaan teknologi global mulai memainkan peran, sebut saja Alibaba, Tencent, Google, hingga Microsoft.

Kondisi di Indonesia

Sebelumnya pada pertengahan tahun lalu, OJK menyampaikan catatannya terkait penyaluran investasi oleh VC untuk startup di Indonesia. Per bulan Mei 2018, angkanya sudah mencapai 8,22 triliun Rupiah, meningkat 14,95% dibandingkan periode yang sama di tahun 2017. Menurut otoritas kinerja positif didorong hasil perbaikan bisnis para pelaku usaha lokal.

Menimbang data yang dimiliki, OJK optimis hingga akhir tahun nanti pertumbuhannya akan mencapai dua digit. Hal tersebut didorong beberapa hal, salah satunya insentif pajak dari pemerintah.

Waresix Raih Pendanaan 24 Miliar Rupiah dari East Ventures dan Monk’s Hill Ventures

Startup penyedia jasa gudang on-demand (SaaS) Waresix mengumumkan telah meraih pendanaan Pra-Seri A sebesar $1,6 juta atau senilai 24 miliar rupiah. Pendanaan kali ini dipimpin East Ventures dna Monk’s Hill Ventures. Terlibat juga di dalamnya SMDV dan Triputra Group. Sebelumnya Waresix memperoleh dana tahap awal Februari 2018 silam. Dengan pendanaan kali ini, Waresix berusaha untuk meningkatkan efisiensi gudang melalui teknologi dan solusi data, memperluas penawaran bisnis, dan merekrut talenta baru.

Waresix didirikan pada September 2017 dengan menggarap pasar penyediaan layanan gudang dan mengubungkan bisnis dan individu yang membutuhkan ruang dan operator gudang Waresix berkembang cukup signifikan.

Startup yang dipimpin Andree Susanto (CEO), Filbert (CTO), dan Edwin (CFO) ini menyediakan layanan pergudangan lintas batas untuk pelanggan luar negeri yang ingin mendistribusikan produk mereka di Indonesia dan juga mengelola kebutuhan mendesak pelanggan mereka. Platform Waresix dikembangkan untuk mengelola distribusi gudang, inventaris, pesanan pelanggan dan siklus penagihan.

“Kami sangat senang dapat bekerja sama dengan para investor baru. Kami percaya mereka akan mendorong kami untuk terus berkembang dan mampu memberikan bantuan besar dalam perluasan bisnis kami,” ujar Andree.

Hal senada disampaikan Edwin. Ia mengungkapkan bahwa Waresix sangat senang dengan dukungan penuh yang diberikan oleh investor dan menyambut investor baru dengan tangan terbuka.

“Seluruh tim Waresix sangat senang atas dukungan penuh yang selalu diberikan oleh para investor awal dan menyambut para investor baru dengan tangan terbuka,” imbuh Edwin.

Layanan Waresix saat ini sudah mencakup 26 kota, termasuk di dalamnya, Jabodetabek, Semarang, Surabaya, Balikpapan, Samarinda, Banjarmasin, Makassar, Pekanbaru dan beberapa kota lainnya. Waresix juga tercatat memiliki 75 operator gudang profesional yang menangani kargo umum, pemenuhan ritel dan gudang makanan dingin.

Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menyebutkan bahwa Waresix mampu memecahkan masalah industri pegudangan dengan membantu operator bisnis untuk menemukan gudang yang cocok di berbagai kota di Indonesia dan juga membantu pemiliki gudang untuk memaksimalkan aset mereka.

“Tujuh bulan terakhir telah meyakinkan kami bahwa tim ini memiliki kemampuan untuk memenangkan pasar dan kami tidak sabar melihat banyak terobosan nasional yang didorong oleh Waresix,” terang Willson.

Hal serupa disampaikan pihak Monk’s Hill Ventures. Tak hanya terkesan dengan apa yang dilakukan Waresix, mereka juga terkesan dengan pendiri dan visi yang diusung selama ini.

“Kami sangat terkesan dengan para pendiri Waresiz dan visi mereka. Logistik adalah sektor yang sedang berkembang pesar dan terus didorong oleh perubahan teknologi, baik dari sisi permintaan maupun penaaran. Kombinasi antara keahlian dalam negeri dan pengetahuan teknologi Waresix menempatkan mereka dalam posisi yang kuat. Kami senang dapat bekerja dengan para pendiri dan rekan investor dalam perjalanan ini,” terang Managing Partner Monk’s Hill Ventures Kuo-Yi Lim.

Induk Perusahaan CekAja Kembali Peroleh Pendanaan, Kali Ini dari Korea Investment Partners

C88, induk perusahaan layanan e-commerce finansial CekAja, kembali mendapatkan pendanaan. Kali ini dari Korea Investment Partners (KIP), meskipun besar pendanaan tidak diungkapkan. Ini merupakan lanjutan pendanaan Seri C yang disebutkan mengalami oversubscribed. Pasca perolehan dana ini, C88 akan tetap fokus pada pelanggan mereka ada di Indonesia, terutama bank dan perusahaan multifinance.

“Pada waktu kami sedang fundraising buat pendanaan Series C, ketertarikan dari para investor melebihi ekspektasi kami sehingga Series C kami adalah oversubscribed. Salah satu dari beberapa investor yang kami sangat ingin bekerja sama ada Korea Investment Partners. Jadi, sebenarnya dari kami tak ada urgensi tetapi ada ketertarikan yang luar biasa dari para investor,” terang CEO C88 J.P. Ellis kepada DailySocial.

Di putaran pendanaan Seri C yang diumumkan awal Agustus 2018, C88 berhasil mengamankan pendanaan senilai $28 juta atau lebih dari 404 miliar dari konsorsium investor yang dipimpin Experian. Dana tersebut salah satunya untuk membantu ekspansi perusahaan ke Thailand. C88 saat ini sudah memiliki layanan di Indonesia dan Filipina.

Setalah pendanaan ini, Ellis menyebutkan bahwa mereka akan fokus ke pelanggan mereka, yakni masyarakat Indonesia dan mayoritas bank dan multifinance di Indonesia. Tujuannya untuk memberikan akses finansial yang lebih lancar dan kecerdasan finansial bagi masyarakat.

“Tentunya kami ada fokus secara obsessive sama customer kami, yaitu jutaan masyarakat Indonesia dan mayoritas dari bank dan multifinance di Indonesia. Kami terus fokus untuk memberikan solusi buat mereka, sehingga akses finansial jadi lebih lancar, masyarakat jadi lebih cerdas keuangan, dan sektor finansial Indonesia terutama bank dan multifinance yang dapat bekerja sama dengan kam ibisa menerima lebih banyak customer dengan tingkat teknologi, data dan analitik lebih tinggi,” jelas Ellis.

Venturra Discovery Bidik Pendanaan Startup Tahap Awal hingga Pra-Seri A

Pemodal ventura (VC) naungan Lippo Group, Venturra Capital, resmi meluncurkan anak usaha Venturra Discovery yang akan fokus pada pendanaan startup tahap awal (seed funding) hingga pra-seri A di Asia Tenggara.

Ditemui saat peluncurannya, Direktur Lippo Group John Riady mengungkapkan bahwa peluncuran Venturra Discovery membuka lebih banyak kesempatan bagi perusahaan untuk lebih aktif pada pendanaan startup tahap awal di Indonesia.

“Kami sangat beruntung bisa berkontribusi terhadap perkembangan Indonesia karena kami lihat potensi untuk lebih aktif tak hanya pada pendanaan Seri A dan B saja, tetapi di tahap awal. Kami tak sabar melihat hasilnya dalam beberapa tahun ke depan,” ungkap John.

Alasan lain Venturra Discovery diluncurkan adalah adanya gap pendanaan yang jauh antara VC di tahap awal dan tahap seri A ke atas. Berdasarkan data yang dikutip Venturra Capital, kondisi VC yang fokus pada pendanaan tahap awal di 2014, mampu menyuntik $50 ribu-500 ribu per satu perusahaan. Namun, gap besar lebih terasa pada VC di tahap seri A dan seterusnya.

Kondisi ini berbalik di 2018 di mana saat ini VC yang fokus di seri A bisa mengucurkan $1-3 juta per investasi. Gap besar justru dialami oleh VC yang aktif pada pendanaan tahap awal hingga pra-seri A.

Tech ecosystem dulu belum siap, tetapi industri teknologi dalam tahun terakhir ini bertumbuh pesat. Tentu akan ada banyak masalah yang ingin diatas, makanya kami bekerja sama dengan lebih banyak founder,“ jelas Managing Partner Venturra Capital, Rudy Ramawy.

Untuk itu Venturra Discovery fokus terhadap pendanaan startup tahap awal hingga pra-seri A di Asia Tenggara. Perusahaan membidik target sebanyak 30-40 portfolio dengan besaran per investasi berkisar $200 ribu-500 ribu. Total investasi yang disiapkan adalah sebesar $15 juta (sekitar 223 miliar Rupiah), murni dari kantong Lippo Group.

“Kami ingin investasi ke sektor agnostik. Saat ini sudah lima (deal), yakni 1 perusahaan healthcare, 2 consumer, 1 enterprise solution, dan 1 inkubator. Ini momen tepat untuk akselerasi, dan kami ingin fill the gap dengan peluncuran VC ini,” tambah Partner Venturra Discovery Raditya Pramana.

Venturra Capital pertama kali berdiri pada 2015 dengan investasi awal $150 juta. Hingga saat ini tercatat, Venturra telah menyalurkan investasi untuk pendanaan sebesar $600 juta dengan pertumbuhan sejak investasi pertamanya sebesar 3,1 kali.

VC independen ini telah menyuntik investasi ke berbagai perusahaan di Asia Tenggara, antara lain Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Vietnam. Tercatat sudah ada 22 perusahaan yang telah menerima pendanaan Venturra, termasuk Ruang Guru, Fabelio, dan Medigo.

Monk’s Hill: Sektor Logistik dan E-commerce Mendominasi Investasi Startup Asia Tenggara

Bisnis e-commerce dan logistik dapat dikatakan tumbuh subur di Asia Tenggara. Dalam survei terbaru The State of Southeast Asia Tech Report 2018 yang dirilis Monk’s Hill Ventures, e-commerce dan logistik menjadi dua sektor emas yang menopang ekonomi digital di Asia Tenggara.

Bukti bahwa bisnis e-commerce dan logistik merajai industri startup di kawasan ini terlihat dari kencangnya kucuran pendanaan dari pemodal ventura (VC). Laporan mengungkap pendanaan selama tiga kuartal di sepanjang 2017 mengalir ke startup eCommerce dan logistik.

Menariknya, dominasi pendanaan  disumbang mega investasi yang diterima layanan Grab dan Tokopedia. Kedua startup asal Singapura dan Indonesia ini memecahkan rekor peraihan dana terbesar dari VC yang pernah ada di sektor logistik dan e-commerce.

“Secara kolektif, Grab dan Tokopedia mengantongi $3,1 miliar atau dua pertiga dari total pendanaan dalam dolar AS yang pernah disuntik ke sejumlah startup e-commerce dan logistik di Asia Tenggara,” demikian menurut laporan ini.

Di sepanjang 2017, logistik (dan transportasi) menjadi sektor yang meraih pendanaan tertinggi di Asia Tenggara dengan mengantongi sebesar $2,7 miliar, sedangkan e-commerce sebesar $2,1 miliar.

Pendanaan lainnya diperoleh dari sektor gaming ($557 juta), business and industry ($340 juta), recreation ($233 juta), information and technology/IT ($188 juta), tours ($153 juta), shopping ($122), financial services ($107 juta), dan mobile platform ($105 juta).

Namun bagi VC, cryptocurrency atau mata uang virtual paling menarik perhatian dalam beberapa tahun terakhir. Popularitas produk blockchain ini belakangan tampaknya cukup menghipnotis banyak VC untuk mendanai Initial Coin Offerings (ICO).

“Yang menjadi primadona di kalangan VC belakangan ini justru cryptocurrency sehingga memicu banyaknya aksi ICO di Asia Tenggara,” ungkap survei ini.

Investasi ICO di 2017 didominasi Singapura oleh Quoine, TenX, dan Kyber Network dengan pendanaan masing-masing sebesar $105 juta, $80 juta, dan $60 juta. Banyaknya ICO di Singapura juga turut dipicu oleh pelaku ICO lain yang tak bisa melakukannya di Tiongkok dan Korea Selatan karena kebijakan ketat.

Secara keseluruhan, pendanaan startup di Asia Tenggara sepanjang 2017 telah mencapai $415,2 miliar (sekitar Rp 6,1 triliun). Sementara pendanaan yang mengalir di 2018 (per Juni) baru mencapai $53,8 juta (Rp 797,1 miliar).

The State of Southeast Asia Tech Report 2018 mengulas tentang overview ekosistem teknologi enam negara di Asia Tenggara, antara lain Singapura, Indonesia, Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Thailand. Sebanyak 100 koresponden berpartisipasi dalam survei ini, mulai dari pelaku startup, investor, VC, hingga enterpreneur.

Sorotan utama industri startup Asia Tenggara

Laporan ini juga merangkum sejumlah kesepakatan strategis yang mendorong pertumbuhan luar biasa industri startup di Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir. Sepanjang 2017 menyoroti sejumlah aktivitas strategis dari para investor, VC, dan pelaku startup, baik dari sisi pendanaan, ekspansi, maupun akuisisi.

Misalnya, Tokopedia meraup pendanaan sebesar $1,1 miliar di 2017. Kemudian Bukalapak menjadi unicorn ketujuh di Asia Tenggara dengan valuasi $1 miliar menyusul rekanan startup Indonesia yang sudah lebih dulu, yakni Go-Jek ($5 miliar), Tokopedia (undisclosed, pendanaan $1,3 miliar di Agustus 2018 melampaui valuasi sebelumnya $1 miliar), dan Traveloka ($2 miliar).

Sorotan lainnya adalah investasi $1,5 miliar yang diterima Go-Jek untuk mendanai ekspansinya ke Vietnam, Thailand, Singapura, dan Filipina. Di luar Indonesia, Uber angkat kaki dari Asia dan diakuisisi oleh Grab, dan investasi terbesar sepanjang sejarah pendanaan di Asia Tenggara, yakni $2 miliar dari Didi Chuxing dan Softbank kepada Grab.

Mengacu pada pertumbuhannya, para koresponden mengaku optimistis dengan pertumbuhan ekosistem startup di Asia Tenggara dalam 1-2 tahun terakhir meskipun ada perbedaan persepektif terhadap tren pertumbuhan industri startup di keenam negara tersebut.

“Indonesia, Vietnam, Singapura, dan Malaysia adalah negara di kawasan Asia Tenggara di mana pertumbuhan di industri teknologi terjadi. Sementara sektor yang berpotensi tumbuh itu perbankan, finance services, fintech, eCommerce, dan IoT,” ungkap Head of Funding Ecosystem MDEC Balasubramaniam dalam laporannya.

Bagi VC dan investor, mereka meyakini akan ada peluang pertumbuhan signifikan di Indonesia, sedangkan para founder startup optimistis dengan pasar Vietnam. Demikian juga di negara lainnya, termasuk Thailand, yang dinilai punya peluang besar bagi community builder.

East Ventures dan Vertex Ventures Pimpin Pendanaan Seri A untuk Cicil

Platform fintech yang fokus ke pinjaman segmen mahasiswa Cicil meraih pendanaan Seri A dari sejumlah investor. Beberapa investor yang terlibat antara lain East Ventures, Vertex Ventures, K3 Ventures, Ethos Partners dan Accord Ventures. Dengan pendanaan kali ini secara total Cicil sudah mendapatkan lebih dari $5 juta (lebih dari 70 miliar Rupiah).

Pihak East Ventures yang juga terlibat dalam pendanaan seri sebelumnya melihat Cicil tidak hanya sebagai perusahaan pinjaman, tapi juga layanan yang berhasil memecahkan masalah paling critical di Indonesia yaitu pengembangan kapasitas manusia dengan menjembatani kesenjangan pembiayaan pendidikan.

“Cicil bukan hanya sekadar perusahaan pinjaman lainnya. [Co-Founder Cicil] Leslie dan Edward  memecahkan masalah paling kritikal di Indonesia, yakni pengembangan kapasitas manusia. Akses ke pendidikan sesungguhnya mampu meningkatkan standar hidup masyarakat, namun sistem pendidikan di Indonesia masih sangat mahal. Cicil mengisi kesenjangan ini dengan memberikan pembiayaan bagi para mahasiswa untuk membiayai pendidikan serta membeli kebutuhan belajar seperti laptop dan komputer. Hal ini tentunya dapat membantu mahasiswa untuk dapat maju berkembang dan selaras degan gerakan nasional untuk menjadi Energi Asia,” terang Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Hal senada disampaikan Managing Partner Vertex Ventures Joo Hock Chua. Ia menyampaikan bahwa pihaknya cukup senang bisa bersama-sama memimpin pendanaan untuk Cicil dan bisa membantu mereka untuk melakukan ekspansi pada segmen pasar mahasiswa di Indonesia.

“Cicil telah memenuhi misi yang penting dan berkelanjutan dalam perjalanan pendidikan para mahasiswa dengan membantu pembiayaan kebutuhan mereka, dari laptop, perjalanan, tempat tinggal hingga uang sekolah. Mereka memiliki alat dan peluang yang tepat untuk fokus menghasilkan pengalaman belajar yang lebih baik. Kami juga melihat peluang besar di Indonesia, yaitu membantu para pelajar di kawasan ASEAN juga,” jelas Joo.

Cicil sejauh ini memang fokus pada solusi untuk permasalahan keuangan mahasiswa di Indonesia. Baik untuk membayar uang sekolah maupun pembelian secara online dengan cicilan bulanan tanpa kartu kredit.

Sejak didirikan akhir tahun 2016, Cicil telah berkembang dan berhasil menjangkau 10 provinsi dan 29 kota di Indonesia dan berhasil melayani mahasiswa di lebih dari 100 universitas. Dengan dana baru ini, Cicil sudah merencanakan untuk bisa membantu lebih banyak lagi mahasiswa.

“Kami melihat bahwa akses keuangan merupakan masalah yang nyata bagi mahasiswa Indonesia dan kami berharap Cicil dapat membantu menyelesaikan masalah tersebut. Kami juga berharap dapat mengatasi masalah serupa bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh Asia Tenggara. Dana baru ini akan memungkinkan kami untuk mempercepat ekspansi dan melayani lebih banyak lagi mahasiswa,” ungkap Co-Founder Cicil Leslie Lim.

Nodeflux Bergabung dengan Portofolio Investasi East Ventures

Bertujuan untuk mempercepat misi meningkatkan bisnis melalui penelitian serta pengembangan produk berbasis computer vision dan deep learning, hari ini (06/5) Nodeflux mengumumkan telah resmi bergabung dalam portofolio investasi East Ventures​. Tidak ada informasi spesifik yang disampaikan mengenai pendanaan yang diberikan. Sebelumnya Nodeflux juga telah mendapatkan pendanaan awal dari pengembang platform smart city Qlue.

East Ventures yang fokus kepada pendanaan tahap awal startup menyambut baik masuknya Nodeflux dalam portofolio mereka. Intelligent video analytics yang dapat diimplementasikan ke berbagai sumber, baik itu CCTV, webcam, telepon, kamera, dan lain sebagainya, ke depannya dinilai memiliki potensi yang besar.

“Populasi Internet Indonesia menghasilkan data yang sangat besar dan membutuhkan otak untuk mengelola informasi dan mengekstrak nilai mereka. Nodeflux berhasil melakukannya. Mereka mengatur dan mengekstrak informasi dari gambar dan video, kemudian melatih mesin untuk dapat menyelesaikan masalah lintas sektor. Kami sangat senang dapat mendukung Meidy dan timnya untuk menjadikan teknologi AI di Indonesia dapat berkembang dan diaplikasikan,” ujar Managing Partner East Ventures, Willson Cuaca.

Menambah kemitraan dengan pemerintahan dan bisnis

Selanjutnya Nodeflux akan memperdalam teknologi sekaligus menambah kemitraan dengan bisnis hingga pemerintahan. Di antaranya adalah dengan pemerintah dari beberapa kota besar, yang menekankan konsep smart city, seperti Jakarta dan Bandung, untuk membuktikan teknologi mereka pada CCTV di seluruh kota. Selain itu, Nodeflux juga bekerja sama dengan Badan Kepolisian Indonesia untuk meningkatkan sistem operasional kepolisian.

“Sejak awal ketika kami membangun Nodeflux, kami melihat bahwa intelligent video analytics dapat menyelesaikan berbagai masalah di masyarakat. Kami yakin pendekatan ini akan banyak mengubah cara klien dalam memantau, mengukur, dan memahami lingkungan sekitar mereka,” kata CEO Nodeflux Meidy Fitranto..

Nodeflux juga merupakan perusahaan Indonesia pertama yang bergabung dengan program Nvidia Inception Program dari Nvidia, produsen GPU terkemuka di dunia. Nodeflux memiliki keunggulan dengan mempelajari teknologi ini lebih awal, masuk ke pasar terlebih dahulu dan mendapat dukungan besar dari Nvidia dalam mengembangkan teknologi yang mampu memenuhi permintaan terbaru dari klien.

Saat ini Nvidia dan Nodeflux tengah dalam proses untuk meningkatkan kemitraan mereka lebih lanjut agar dapat memberikan fleksibilitas yang lebih banyak dan membantu Nodeflux dalam menjangkau pasar global.

“Kami bukan hanya merupakan pemain pertama dan satu-satunya yang menyediakan solusi intelligent video analytics di Indonesia. Lebih dari pada itu, kami dapat dengan bangga mengatakan bahwa Nodeflux, produk yang kami kembangkan sendiri, mampu bersaing secara hebat dengan perusahaan teknologi asing dari Jepang, Israel, Singapura, Tiongkok, dan lainnya di pasar Indonesia dari segi kemajuan teknologi,” kata Meidy.

 

Studio “Indoor Cycling” dan “Boutique Fitness” Ride Jakarta Memperoleh Pendanaan Awal 6,7 Miliar Rupiah dari Tiga “Venture Capital”

Studio indoor cycling dan boutique fitness Ride Jakarta mengumumkan perolehan pendanaan awal (seed) senilai $500 ribu (sekitar 6,7 miliar Rupiah) dari tiga venture capital yang dipimpin oleh Intudo Ventures. Juga turut berpartisipasi dalam pendanaan kali ini East Ventures dan Prasetia Dwidharma. Ini adalah putaran pendanaan kedua yang diperoleh Ride Jakarta, setelah sebelumnya memperoleh pendanaan pre-seed $250 ribu (3,3 miliar Rupiah). Pendanaan ini bakal mendukung upaya Ride Jakarta bertransformasi menjadi perusahaan teknologi dalam waktu dekat, termasuk mengembangkan sejumlah konten digital.

Didirikan tahun 2015 oleh Gita Sjahrir dan Adhit Lesmana, Ride Jakarta memang diawali sebagai suatu tempat yang memudahkan penggemar indoor cycling untuk berolahraga. Secara fisik mereka kini memiliki tiga studio di Jakarta yang masing-masing mengelola 25-30 sepeda. Tentu saja pertanyaannya lalu kenapa mencari pendanaan dari investor startup teknologi.

Kepada DailySocial, Founder dan CEO Ride Jakarta Gita Sjahrir mengatakan bahwa mereka ingin menjadi perusahaan teknologi dalam waktu dekat. Ia menyebutkan, “Tentang pendanaan ini, penggunaan utamanya adalah untuk pengembangan aplikasi digital, tim SDM dan pemasaran; bukan untuk studio fisik kami. Untuk studio, kami menggunakan model franchise, sehingga di setiap lokasi bisa memiliki investornya sendiri-sendiri dan kami mengimplementasi model pembagian keuntungan.”

Dengan menjadi suatu perusahaan teknologi, Ride Jakarta disebut ingin “keluar” dari sekedar berada di dalam studio. “Studio fisik kami adalah cara kami untuk mengedukasi pasar tentang produk kami dan sektor ’boutique fitness’, serta menciptakan brand awareness di saat yang sama. Hal ini akan membantu posisi kami untuk bertumbuh ketika kami memiliki kehadiran online untuk penggemar fitness dan gaya hidup tahun ini.”

Nantinya aplikasi yang dikembangkan diharapkan membantu penggemar fitness menikmati kelas di mana saja dan kapan saja. Bersifat freemium, aplikasi ini nantinya juga akan melayani kelas fitness yang lain, termasuk boot camp.

Belum banyak startup yang menyasar segmen ini. Selain Ride Jakarta, ada satu startup lagi yang fokus ke segmen penggemar fitness, yaitu Doogether yang telah mendapatkan pendanaan dari Angel eQ, tapi dia tidak memiliki kehadiran fisik.

Di tahun 2018 ini Ride Jakarta telah menyiapkan sejumlah lokasi baru di Jakarta dan di tahun 2020 berencana memperluas jangkauan di Bali, Surabaya, Medan, dan sejumlah kota besar lainnya. Ride Jakarta juga bermitra dengan EV Hive untuk menyediakan kelas fitness bagi para pengguna co-working space tersebut. Secara bisnis, Ride Jakarta sendiri mengklaim telah mencapai tahap perolehan keuntungan.

Dulu fitness gaya hidup dipandang sebelah mata karena banyak persepsi yang tidak tepat. Model bisnis kami menunjukkan bahwa dengan berinvestasi di pengalaman konsumen dan instruksi yang berkualitas tinggi, fitness dapat menjadi bisnis yang scalable dan menghasilkan keuntungan,” ungkap Gita.

Bagaimana Baiknya Startup Indonesia Bergerak Tumbuh Menuju Seri A?

Sejak 2012, saya telah bekerja di dalam yang sering disebut “industri startup” — yang dalam konteks ini pada dasarnya berarti startup teknologi — dengan bekerja di Wooz.in sambil membangun Ohdio.FM. Lima tahun terakhir saya lewati dengan sedikit penyesalan, sepertinya ketidakmampuan diri saya adalah faktor utama yang menyebabkan kedua startup yang saya jalani belum menjadi sukses besar. Tapi ini bukan tulisan introspektif.

Berbagai versi inkubator, akselerator dan VC pendanaan awal (seed) telah datang dan pergi dalam beberapa tahun ini, begitu pula VC untuk tahap-tahap pendanaan lain. Setelah berupaya mendapatkan kontak berbagai VC dan bertemu dengan mereka dalam rentang bulanan sampai tahunan, baru saya pahami gambaran besar soal tahapan-tahapan pendanaan.

Meskipun ada beberapa program seed/alpha baru-baru ini, kebanyakan dari jaringan atau VC dari luar negeri, terhitung akhir tahun lalu, hanya ada 2-3 program inkubasi startup yang besar. Ini bukan masalah karena mengelola inkubator tidak mudah, terutama karena banyak startup yang masih polos berpikir bahwa inkubator adalah jalan pasti menuju sukses (sori, nggak). Lalu medannya kosong, sampai VC-VC Seri A dan seterusnya yang akan memberikan uangnya pada startup yang cerdas dan mampu.

Semenjak hari-hari awal memasuki industri startup, saya sudah sering mendengar bahwa masalah besar startup Indonesia adalah scaling up, bergerak tumbuh. Sejauh pengalaman saya sampai hari ini, hal ini masih menjadi masalah. Ada banyak faktor yang memberi efek negatif terhadap pergerakan tumbuh, sehingga saya asumsikan ini adalah masalah tingkat industri, dan bukan hanya persoalan dengan para founder (tapi saya akui, untuk saya sendiri, ini menjadi persoalan).

Jadi, ada jalur yang putus antara tingkat seed/incubator sampai kantong-kantong uang di Seri A (yang tidak seseksi kedengarannya, karena biasanya investasi hanya akan berkesinambungan apabila kinerja startup tersebut dianggap baik pada KPI yang berdasarkan data). Program-program seperti Gerakan 1000 Startup, Telkomsel NextDev dan yang lainnya, membantu orang untuk membentuk kerangka berpikir yang sesuai untuk membangun dari ide sampai proses bisnis (dan ya, penekanannya pada eksekusi secara bisnis, bukan programming). Setelah itu, semuanya terserah Anda, punya uang maupun tidak dan siap atau tidak untuk menghasilkan uang, sampai Anda dapat berbicara lagi pada VC tingkat Seri A.

Supaya jelas: VC itu cari uang. Mereka menghasilkan uang (di atas kertas) dari peningkatan nilai pemegang saham dengan berinvestasi pada bisnis risiko tinggi, dengan harapan saham tersebut suatu hari dapat dijual dengan nilai berkali-kali lipat, atau bahkan pada harga-harga bursa saham. Ini sebabnya seed VC akan lebih melihat pada foundernya ketimbang bisnisnya, karena pada akhirnya ini sebuah pertaruhan terhitung.

VC Seri A biasanya hanya akan investasi ke startup yang sudah memenuhi hal berikut:

  • Ada pasar cukup luas yang siap menerima produk/jasa, dengan data angka yang jelas
  • Siklus bisnis yang sudah matang: proses dari akuisisi pelanggan sampai penjualan perlu sampai pada tingkat sudah ada biaya akuisisi pelanggan, dan tinggal masalah “nambahin bensin ke mesin”.
  • Diutamakan pasar dengan kompetitor lain atau bisnis yang mirip di pasar lain, yang memberikan validasi tambahan pada model bisnisnya
  • Tren startup saat ini. Ini bukan sekedar mengikuti “selera zaman”, tapi terkait dengan tahap investasi selanjutnya dan potensi exit (penjualan saham secara keseluruhan). Makin banyak pihak yang tertarik pada sebuah industri, makin tinggi kemungkinan exit.

Pasti banyak contoh yang tidak mengikuti prinsip-prinsip di atas, tapi ini merupakan kesimpulan dari berbagai pertemuan dan diskusi saya dengan berbagai VC dalam upaya menggalang dana investasi.

Nah bagaimana caranya untuk bergerak dari teknologi yang terbukti, ke siklus bisnis yang dapat berulang, dan bergerak tumbuh sampai layak mendapatkan Seri A?

Sepertinya ini masalah dengan beberapa startup di Indonesia. Mungkin tidak cukup mentor atau jaringan untuk membantu ribuan startup yang ada di Indonesia, dan tidak banyak VC mau investasi di tahap pra-Seri A, yang pada akhirnya sama dengan bertaruh pada investasi seed, tapi dengan uang lebih banyak (sehingga risiko untuk tidak balik modal lebih tinggi). Banyak startup-startup yang sudah bertahan dari tahun-tahun awalnya, beralih menekankan pemasukan ketimbang pertumbuhan. Tidak ada masalah dengan itu, hanya saja, perusahaan-perusahaan ini tidak akan tumbuh dengan cepat.

Di sisi lain, beberapa VC telah menemukan cara untuk memanfaatkan dana VC untuk investasi ke real estate — melalui jaringan co-working space. Ini baik untuk para VC, tapi dana yang bisa diakses untuk perusahaan lain yang membutuhkan pertumbuhan jadi berkurang.

Jadi, bagaimana alternatif jalan keluarnya? Mari kita diskusi ide.


Disclosure: Artikel ini pertama kali terbit di Medium dalam bahasa Inggris dan dipublikasi ulang atas izin penulis, Ario Tamat.

Ario adalah co-founder Ohdio, layanan streaming musik Indonesia. Ia bisa dikontak melalui Twitter di @barijoe atau di blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.

Mendapatkan Terlalu Banyak Modal di Awal Tak Menjamin Kesuksesan Startup

Sebagai perusahaan rintisan, sangat wajar startup menginginkan penambahan dana dari investor. Beberapa menginginkannya untuk mengakselerasi bisnis dengan menambah talenta profesional, atau menaruh lebih banyak aset untuk kebutuhan pemasaran. Tapi terlalu banyak mendapatkan uang untuk early stage juga bisa membahayakan sebuah startup jika tidak disiasati dengan baik.

General Partner Upfront Ventures Mark Suster dalam sebuah laman menjelaskan bahwa terlalu banyak kemungkinan risiko yang menghadang sebuah startup jika terlalu banyak berfokus mendapatkan pendanaan di awal. Alih-alih bisa mengakselerasi bisnis, hal tersebut justru bisa membawa hal buruk bagi startup.

Ada beberapa hal yang disoroti Mark dalam permasalahan ini. Yang pertama adalah mengenai seberapa pun besar pendanaan didapat, umumnya akan habis dalam tempo 12 sampai 18 bulan. Namun tak jarang yang mampu bertahan lebih lama. Dalam hal ini yang berperan adalah pengelolaan.

Sebagai startup, yang tentu memiliki ambisi besar, mendapatkan modal besar di awal tentu menimbulkan keinginan untuk segera melakukan akselerasi bisnis. Misalnya dengan merekrut profesional, membayar biaya pemasaran, bahkan mengadakan event besar. Jika ini dilakukan secara terburu-buru tanpa mengabaikan perhitungan pasar dan validasi ide, akan menjadi sia-sia alias buang-buang uang.

Isu selanjutnya adalah mengenai beban dan tanggung jawab yang diperoleh. Semakin besar yang didapatkan akan semakin besar tuntutan untuk mengembangkan bisnis ke depan. Investor tentu memiliki ekspektasi, semakin tinggi ia menanam modal tentu semakin tinggi ekspektasi yang diinginkan dari sebuah bisnis. Jika startup mendapatkan cukup banyak dana di awal tentu akan menjadi beban tersendiri dalam mengembangkannya. Ini akan membawa masalah, kecuali bagi yang menyukai bentuk tekanan seperti ini.

Ada argumen bahwa keterbatasan bisa memacu kreativitas. Dalam startup, di tahap awal yang minim modal misalnya, founder tentu akan memutar otak untuk menekan pengeluaran dengan memperhatikan biaya-biaya dengan detil. Misalnya untuk merekrut talenta profesional dengan gaji yang masuk akal atau memilik saluran pemasaran yang benar-benar tepat sasaran bukan asal buang-buang uang. Founder harus kreatif mencari jalan keluar dan tentu bukan uang.

Mark menilai beberapa orang perlu “melewatkan” pendanaan pertama yang terlalu besar untuk beberapa hal. Di dalam startup, memenangkan pasar atau setidaknya mempunyai posisi di pasar tanpa bolak-balik melakukan pitch dengan perusahaan pemodalan akan lebih baik untuk nilai sebuah startup. Jadi pikiran baik-baik berapa besar uang yang akan Anda terima. Karena yang menentukan bisnis Anda adalah pasar dan konsumen, bukan seberapa besar modal Anda.