In-depth: On the Potential Integration of Gojek and Tokopedia Merger into “Goto”

The latest news arrived from the potential merger of Gojek and Tokopedia worth $18 billion. Based on a source quoted by The Information, the merger of the two brands will be named “Goto”. He also said that the agreement would be completed at the earliest this month.

The source also said that Kevin Aluwi, Andre Soelistyo, William Tanuwijaya, and Patrick Cao would occupy the top ranks of the joint company’s management.

In early April 2021, Bloomberg reported the company’s executives and commissioners had decided the merger agreement details and were seeking approval from other shareholders. In a general note, the two startups have some related investors, including Google, Temasek, Seqoia Capital India, and Alibaba Group.

The next plan,rumor has it, that the joint company will continue to NASDAQ – using SPAC and seeking a valuation of up to $40 billion.

Gojek’s ecosystem

Debuting as an on-demand transportation service, Gojek currently has a fairly complete service to empower its partnership ecosystem. Some of the sub-features are an integration with third parties, especially startups from acquisitions or those included in the portfolio of venture units.

In terms of business structure, Gojek consists of four main lines, which cover Gojek, GoPay, GoPlay, and Go-Ventures services. Meanwhile, in terms of consumer, it is divided into two separate units, between Gojek and GoPlay. From our in-depth observation into the application and public information, following is a map of Gojek’s ecosystem services:

Ekosistem Layanan Gojek

Tokopedia’s ecosystem

Meanwhile, Tokopedia’s core service is an online marketplace, which is a bridge between goods/service owners and end users. Its role in the midst of making innovation is focused on aspects that can provide transaction effectiveness. This is align with the mission of becoming IaaS to facilitate MSMEs to go digital.

Apart from its core services as a marketplace, there are some strong support services, including financial lines, empowerment of SMEs, entertainment, and on-demand services. Some of the services are supported by strategic partners, some of which are by subsidiaries and their investment portfolios. Based on observations on the applications and public information, the following is a map of Tokopedia’s ecosystem services:

Ekosistem Layanan Tokopedia

Potential synergy

Based on the map, if it’s going to happen eventually, Gojek-Tokopedia merger, and become a joint company, there are some potential synergy that could happen.

  1. SME Empowerment

Both services have a significant concentration of MSMEs, gathering business partners. Gojek with restaurant owners, while Tokopedia with merchants. It is different segments, therefore, it is likely to remain a separate entity with a more integrated service model. For example, for the fulfillment of raw materials, GoFood partners can have direct access to shops on Tokopedia.

The unity allows the creation of hyperlocal services – nearby MSMEs serving the closest market share. For example, when Tokopedia Partners (grocery shop owners) can be integrated with Gojek delivery services, they can speed up the fulfillment process for each customer. In other way, to optimize the Gojek driver partners to be more connected with the TokoCabang fulfillment center to speed up the process of delivering goods.

  1. Financial

For the past few years, the two unicorns have a clear mission to become “fintech” as one of their main business models, it’s no doubt each application has a quite rich financial-based service. The thing is that the merger of the two companies will certainly allow Tokopedia users to have a more comprehensive Gopay payment option. On the other hand, they can work on many areas by combining each capability.

For example, integrating Moka-Gopay [Findaya]-Tokopedia, enabling F&B merchants to get fulfillment of basic ingredients on credit to help them improve their cash flow. As it is deeply examined, this scheme will require a lot of support systems such as credit scoring and disbursement infrastructure – which both companies can complement each other.

The big data is quite a treasure that will be very valuable for various business scenarios, including to help financial inclusion. Especially now that Gojek is starting to enter the digital banking – transaction data is a strong fuel for various decisions related to consumers.

  1. Logistics

The logistics challenges are in the first-mile, mid-mile and last-mile areas. The merger of the logistics infrastructure owned by the two companies allows Tokopedia’s IaaS mission to be realized faster. As the company continues to expand its fulfillment center, delivery service has become an essential. With the strategic affiliation of Gojek Logistic, JX, and SiCepat, deeper integration is possible to bring new breakthroughs in the logistics industry.

  1. Core business

Mobility and trade services are the main capabilities of Gojek and Tokopedia. It is indeed projected to keep going, considering the many users involved. The work lies in how to balance each service – especially if it really becomes one brand – therefore it makes consumers feel comfortable, not the other way around, to get more confused due to fragmented service ecosystem.

Conflict possibility

The fact is, the strategic partnerships has an objective to form mutualism. The merger of the two companies also brings the potential for “conflict” between Gojek and Tokopedia’s important partners. Let’s assume  with independently developed service will be easily merged. However, when other players are involved, this consolidation will become a more complicated discourse.

For example, how the investment service will work at Goto – while there are three other startups affiliated in each platform through share ownership. From the service ecosystem mapping, listed some services as the result of partnerships that can create conflict possibility whether the business merger happen:

  Gojek Tokopedia
Pembayaran GoPay Ovo
Pinjaman Findaya Dhanapala
Investasi Pluang Pegadaian, Bareksa
E-commerce JD.id
Online Grocery AlfaMart, LotteMart SayurBox
Logistik JX SiCepat
Kesehatan Halodoc GoApotik

Gojek and Tokopedia are the two Indonesian startups with the largest valuation and user base with the biggest MSME partners. The unity of two companies should help Indonesia achieve its dream of becoming a leader in the digital economy.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Mendalami Potensi Integrasi “Goto”, Hasil Merger Gojek dan Tokopedia

Kabar terbaru hadir dari rencana merger Gojek dan Tokopedia bernilai $18 miliar. Menurut sumber yang dikutip The Information, hasil penggabungan kedua merek akan diberi nama “Goto”. Dikatakan juga kesepakatan tersebut akan selesai paling cepat bulan ini.

Sumber tersebut juga mengutarakan, Kevin Aluwi, Andre Soelistyo, William Tanuwijaya, dan Patrick Cao akan menempati jajaran puncak manajemen perusahaan gabungan.

Sebelumnya, di awal April 2021 lalu, Bloomberg memberitakan, rincian kesepakatan merger sudah diputuskan eksekutif dan komisaris perusahaan dan tengah meminta persetujuan para pemegang saham lainnya. Sebagai informasi, kedua startup memiliki beberapa investor yang sama, yakni Google, Temasek, Seqoia Capital India, dan Alibaba Group.

Rencana berikutnya, dari rumor yang beredar, perusahaan gabungan akan melanjut ke NASDAQ – digadang-gadang menggunakan SPAC dan mencari valuasi hingga $40 miliar.

Ekosistem layanan Gojek

Bermula dari layanan transportasi on-demand, Gojek saat ini memiliki layanan yang cukup komplit memberdayakan ekosistem kemitraan yang dimiliki. Tidak sedikit dari sub-fitur yang disuguhkan merupakan integrasi dengan pihak ketiga, terutama startup hasil akuisisi atau yang masuk dalam jajaran portofolio unit venturanya.

Secara struktur bisnis, Gojek terdiri dari empat lini utama, yang menaungi layanan Gojek, GoPay, GoPlay, dan Go-Ventures. Sementara dari sisi aplikasi [konsumer] baru terbagi menjadi dua unit terpisah, antara Gojek dan GoPlay. Dari hasil pengamatan kami melalui pendalaman aplikasi dan informasi publik yang dihimpun, berikut peta layanan ekosistem Gojek:

Ekosistem Layanan Gojek

Ekosistem layanan Tokopedia

Sementara dasar layanan Tokopedia adalah online marketplace, yakni menjadi jembatan antara pemilik barang/layanan dengan pengguna akhir. Perannya yang berada di tengah membuat inovasi difokuskan pada aspek-aspek yang bisa memberikan efektivitas transaksi. Hal ini senada dengan misi menjadi IaaS memfasilitasi UMKM untuk berdagang secara digital.

Di luar layanan intinya sebagai marketplace, ada beberapa aspek layanan pendukung yang cukup kuat, meliputi lini finansial, pemberdayaan UKM, hiburan, dan layanan on-demand. Beberapa layanan hadir didukung mitra strategis, beberapa di antaranya oleh anak usaha dan portofolio investasinya. Berdasarkan pengamatan terhadap aplikasi dan informasi publik yang dihimpun, berikut peta layanan ekosistem Tokopedia:

Ekosistem Layanan Tokopedia

Potensi kolaborasi

Dari peta layanan tersebut, jika apa yang telah menjadi buah-bibir terkait merger Gojek-Tokopedia selama ini akan terealisasi dan benar-benar menjadi satu unit perusahaan gabungan, ada beberapa aspek yang bisa disinergikan.

  1. Pemberdayaan UMKM

Kedua layanan memiliki konsentrasi yang cukup signifikan terhadap UMKM, menjadikannya sebagai mitra bisnis. Gojek dengan pemilik restoran, sementara Tokopedia dengan penjual dagangan. Segmennya berbeda, sehingga kemungkinan besar akan tetap menjadi entitas terpisah dengan model pelayanan yang lebih terintegrasi. Misalnya, untuk pemenuhan bahan baku mitra GoFood bisa mengakses langsung ke toko-toko yang ada di layanan Tokopedia.

Gabungan tersebut juga memungkinkan terciptanya layanan hyperlocal – UMKM di sekitar melayani pangsa pasar terdekat. Misalnya saat Mitra Tokopedia (pemilik warung kelontong) dapat terintegrasi dengan layanan pengantaran Gojek, sehingga dapat mempercepat proses pemenuhan kepada masing-masing pelanggan. Atau optimasi armada mitra Gojek untuk lebih terhubung dengan pusat pemenuhan TokoCabang untuk mempercepat proses pengiriman barang.

  1. Finansial

Sejak beberapa tahun ke belakang, kedua unicorn memang memiliki misi yang jelas untuk menjadi “fintech” sebagai salah satu model bisnis utamanya, tak ayal layanan berbasis finansial yang ada di masing-masing aplikasi cukup kaya. Yang jelas, penggabungan kedua perusahaan tentu akan memungkinkan pengguna Tokopedia memiliki opsi pembayaran Gopay yang lebih komprehensif. Di sisi lain, ada banyak area yang bisa dikaryakan dengan menggabungkan kekuatan masing-masing.

Misalnya melakukan integrasi antara Moka-Gopay [Findaya]-Tokopedia, memungkinkan merchant F&B mendapatkan pemenuhan bahan dasar secara kredit untuk membantu mereka menyehatkan arus kas. Skema ini jika dikulik lebih dalam akan membutuhkan banyak sistem pendukung seperti skoring kredit dan infrastruktur pencairan – yang mana sudah dapat saling dilengkapi.

Big data yang dihimpun juga menjadi sebuah harta yang akan sangat berharga untuk berbagai skenario bisnis, termasuk untuk membantu inklusi keuangan. Terlebih saat ini Gojek mulai bermain di ranah perbankan digital – data transaksi menjadi bahan bakar penting untuk berbagai keputusan terkait dengan konsumer.

  1. Logistik

Tantangan logistik ada di area first-mile, mid-mile, dan last-mile. Penggabungan infrastruktur logistik yang dimiliki kedua perusahaan memungkinkan misi IaaS yang telah dicetuskan Tokopedia dapat lebih terealisasi dengan cepat. Di saat perusahaan terus memperluas pusat pemenuhan, jasa pengiriman juga menjadi komponen yang wajib dipikirkan. Dengan adanya Gojek Logistic, JX, dan SiCepat yang terafiliasi secara strategis, dimungkinkan terjadinya integrasi yang lebih mendalam untuk menghadirkan terobosan baru dalam dunia logistik.

  1. Bisnis inti masing-masing

Layanan mobilitas dan perdagangan adalah kapabilitas utama yang dimiliki Gojek dan Tokopedia. Tentu ini diproyeksikan besar tidak akan luntur dari masing-masing, mengingat penggunanya sudah sangat banyak. Yang menjadi PR adalah bagaimana menyeimbangkan masing-masing layanan –terlebih jika benar-benar menjadi satu brand—sehingga membuat konsumen tetap nyaman, bukan sebaliknya malah semakin bingung karena ekosistem layanan yang terlalu terfragmentasi.

Potensi “bentrok”

Tidak dimungkiri adanya kemitraan strategis ditujukan untuk membentuk sebuah mutualisme. Penggabungan kedua perusahaan juga membawa potensi “bentrok” antara mitra-mitra penting dari Gojek maupun Tokopedia. Asumsinya, untuk layanan yang dikembangkan sepenuhnya mandiri dapat lebih mudah dilebur. Namun saat melibatkan pemain lain, maka konsolidasi ini akan menjadi diskusi yang lebih alot.

Ambil contoh, bagaimana nantinya layanan investasi di Goto – sementara saat ini ada tiga startup lain yang terafiliasi di masing-masing platform melalui kepemilikan saham. Dari pemetaan ekosistem layanan di atas, dapat didaftar beberapa layanan dari kemitraan yang berpotensi bentrok jika penggabungan bisnis dieksekusi:

  Gojek Tokopedia
Pembayaran GoPay Ovo
Pinjaman Findaya Dhanapala
Investasi Pluang Pegadaian, Bareksa
E-commerce JD.id
Online Grocery AlfaMart, LotteMart SayurBox
Logistik JX SiCepat
Kesehatan Halodoc GoApotik

Gojek dan Tokopedia adalah dua startup Indonesia dengan valuasi terbesar dan basis pengguna dan mitra UMKM paling banyak. Bergabungnya kedua perusahaan seharusnya membantu Indonesia mencapai mimpi menjadi pemimpin ekonomi digital.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Grab Resmi Umumkan Rencana “Go Public” Melalui SPAC

Kemarin Grab mengumumkan kepastian go public di bursa saham Amerika Serikat menggunakan Special Purpose Acquisition Company (SPAC) bermitra dengan perusahaan cek kosong (blank check company) Altimeter Growth Corp ($AGC). Tidak disebutkan kapan pastinya proses ini selesai, tapi diperkirakan perusahaan resmi menggunakan ticker $GRAB di pertengahan tahun ini.

Grab menjadi perusahaan Asia Tenggara kedua yang memastikan melantai menggunakan SPAC. Sebelumnya Vision+, anak perusahaan MNC, telah menggandeng Malacca Straits Acquisition Company ($MLAC) untuk go public di kuartal ketiga tahun ini.

Grab membidik valuasi $39,6 miliar (sekitar Rp580 triliun) dan perolehan dana segar $500 juta dari $AGC dan melalui PIPE (Private Investment in Public Equity) senilai $4 miliar. $750 juta di antaranya merupakan komitmen Altimeter.

“Altimeter berkomitmen untuk memegang saham yang dimiliki oleh sponsornya selama tiga tahun dan juga akan melakukan kontribusi yang besar dari sahamnya untuk dana abadi GrabForGood. Altimeter bersama dengan para investor dan lembaga pengelola investasi ternama lainnya akan bersama kami dalam jangka panjang,” ujar Group CEO dan Co-Founder Grab Anthony Tan.

Angka valuasi Grab ini setara dengan valuasi yang diharapkan hasil merger Gojek dan Tokopedia. Sepanjang tahun 2020, Grab mencatatkan penjualan (Gross Merchandise Value / GMV) $12,5 miliar, dengan pilar bisnis terdiri atas Delivery (pengantaran), Mobility (pergerakan orang), dan Finance (kegiatan finansial). Indonesia adalah pasar terbesar Grab.

Anthony mengatakan, “Merupakan suatu kebanggaan bagi kami untuk dapat mewakili Asia Tenggara di pasar terbuka global. Langkah ini merupakan pencapaian dari perjalanan kami dalam memberikan akses kepada setiap orang untuk dapat menikmati kemajuan ekonomi digital. [..] Ketika Asia Tenggara sukses, maka Grab juga sukses.”

Brad Gerstner, Founder & CEO, Altimeter menambahkan, “Sebagai salah satu perusahaan internet terbesar di dunia dengan pertumbuhan terpesat, Grab membuka jalan digital bagi 670 juta masyarakat Asia Tenggara. Kami sangat senang bahwa Grab memilih Altimeter Capital Markets sebagai mitra IPO mereka dan sangat bersemangat untuk bergabung menjadi pemilik-pemilik jangka panjang dari perusahaan yang inovatif dan bermisi besar ini.”

Hati-hati dengan SPAC

Makin menjamurnya perusahaan yang go public menggunakan SPAC menjadi perhatian tersendiri dari regulator. Regulator Amerika Serikat, SEC, menghimbau agar keputusan berinvestasi di suatu SPAC tidak semata-mata karena didukung selebritas industri dan mewajibkan investor tetap melakukan pengecekan dan riset sendiri.

Data pertumbuhan dana yang diperoleh dari publik melalui SPAC dalam 8 tahun terakhir / Dealogic dan Goldman Sachs Global Investment Research
Data pertumbuhan dana yang diperoleh dari publik melalui SPAC dalam 8 tahun terakhir / Dealogic dan Goldman Sachs Global Investment Research

Menurut data yang dikompilasi Dealogic dan Goldman Sachs, pertumbuhan perolehan dana publik melalui SPAC melonjak pesat di tahun 2020 dan mencapai puncaknya di kuartal pertama 2021. ZeroHedge melaporkan angka ini turun drastis di permulaan kuartal kedua. SEC disinyalir memperketat proses pendaftaran dan go public SPAC ini demi melindungi dana publik.

Secara umum, SPAC mempermudah dan mempercepat proses go public perusahaan karena tidak banyak paperwork dan persyaratan yang harus dipenuhi perusahaan. Meskipun demikian, kasus Nikola, yang menyebabkan pendirinya harus mengundurkan diri, merupakan contoh bahwa perusahaan yang go public melalui SPAC ternyata belum pasti bebas dari masalah.

Menyusuri Tanah Berbatu: Perjalanan Gojek Menuju Bursa Saham

Gojek lahir dari rasa frustrasi co-founder dan mantan CEO Nadiem Makarim. Pada tahun 2008 dan 2009, Nadiem adalah seorang konsultan manajemen muda bercita-cita tinggi yang bekerja untuk McKinsey. Untuk beranjak dari rumahnya ke kantor setiap hari, dia membutuhkan transportasi cepat untuk bisa melalui kepadatan lalu lintas Jakarta. Mobil pribadi bukanlah pilihan yang tepat, karena jalanan ibu kota sering macet. Nadiem, 25 tahun, menjadi pelanggan setia ojek. Dia bahkan menyimpan nomor beberapa pengemudi ojek di ponselnya sehingga dia bisa menjadwalkan tumpangan.

Namun, dia frustasi karena kualitas layanan yang tidak konsisten. “Terkadang ojek langganan saya [ojek reguler] ada di tempat lain dan tidak bersedia,” sebutnya dalam wawancara tahun 2019 dengan mantan menteri Gita Wirjawan. “Hanya teknologi yang bisa meningkatkan skala itu.”

Itulah benih-benih Gojek, sebuah perusahaan yang berawal dari call center ojek yang sederhana. Tapi Nadiem membuat beberapa manuver sebelum perusahaan itu akhirnya menjadi decacorn pertama di Indonesia.

Nadiem meninggalkan McKinsey untuk mengampu ilmu di Harvard Business School selama dua tahun. Setelah lulus, ia bergabung dengan Zalora pada tahun 2011. Gojek telah berdiri dan berjalan, dengan 450 pengemudi pada saat itu. Setelah Nadiem merasa telah mendapat cukup pengetahuan dan pengalaman untuk menjalankan startupnya sendiri, dia mengundurkan diri dari Zalora pada tahun 2012, dan menuangkan seluruh kemampuannya untuk Gojek. Penduduk urban Indonesia sudah memahami aplikasi pemesanan kendaraan, berkat Uber dan Grab (yang saat itu disebut GrabTaxi). Variasi Gojek yang berfokus pada sepeda motor diterima dengan baik karena lebih praktis bagi kebanyakan orang untuk melintasi Jakarta dengan roda dua daripada empat.

Nadiem menggaet rekannya di Zalora, Kevin Aluwi, untuk mengelola perusahaan bersamanya. Andre Soelistyo, yang sebelumnya menjadi bagian dari investor Gojek, Northstar Group, juga bergabung dengan perusahaan secara penuh sebagai presiden. Dengan dana awal sebesar USD2 juta dari Openspace Ventures dan Capikris Foundation, aplikasi Gojek online pada Januari 2015. Itu merupakan kejayaan dalam semalam.

Sekarang, Gojek memiliki pengaruh yang tak tergoyahkan di Asia Tenggara. Perusahaan ini kian membentuk laju bepergian penduduk, dan bagaimana orang menggunakan ponsel mereka untuk serangkaian fungsi — pembayaran, pesanan makanan, pembelian bahan makanan, dan banyak lagi — hanya dengan membuat lebih dari 20 jenis layanan dalam satu aplikasi. Merger dengan perusahaan e-commerce Tokopedia sedang dikerjakan untuk M&A terbesar dalam sejarah sektor teknologi Indonesia, dan kemungkinan akan go public akhir tahun ini.

Para pendiri awal Gojek, Andre Soelistyo (kiri), Nadiem Makarim (tengah), dan Kevin Aluwi (Kanan). Dokumentasi oleh Go Figure di channel Youtube Gojek

Bukan sekedar ride-hailing

Lintasan Uber menawarkan gambaran sekilas kepada anggota pendiri Gojek tentang masa depan. Mereka tahu bahwa layanan tumpangan mereka akan populer, tetapi ada sisi negatifnya: model bisnis tersebut melibatkan pembakaran modal awal yang gila-gilaan untuk diskon dan subsidi demi membangun basis pengguna yang cukup besar. Pada 2019, Uber dan Lyft melakukan IPO yang sulit, dengan valuasi di bawah kisaran yang diharapkan. Jika Gojek ingin memutus siklus, perusahaan akan membutuhkan banyak kaki untuk berdiri.

Nadiem memahami hal tersebut dan meletakkan dasar bagi diversifikasi Gojek sejak dini. Saat pertama kali diluncurkan, Gojek menawarkan empat layanan — fitur ride-hailing GoRide, yang menjadi tulang punggung perusahaan; layanan pengiriman GoSend; layanan grosir GoMart; dan layanan pengiriman makanan GoFood. Inisiatif ini membuat Gojek menjadi sosok yang sangat berbeda, karena GrabTaxi dan Uber berfokus penuh pada transportasi pada saat itu. Kemudian, pada 2016, Gojek meluncurkan cabang pembayaran elektroniknya, GoPay. Saat itu, Nadiem mengatakan hal itu karena banyak pengguna yang mengeluhkan pengemudi sering tidak memiliki cukup uang kembalian. Temannya dari Harvard, Aldi Haryopratomo, menjadi nahkoda GoPay hingga Januari 2021.

Tahun itu, Gojek menjadi unicorn pertama di Indonesia, perusahaan bernilai lebih dari USD1 miliar.

Bagi beberapa orang, memiliki andil dalam banyak lini mungkin merupakan proposisi yang berisiko, tetapi langkah pertama terbayar untuk Gojek. Perusahaan menjadi pemain terkemuka di sektor tersebut, bahkan mengalahkan saingan pengiriman makanan FoodPanda. Ride-hailing tidak lagi menjadi penghasil pendapatan utama perusahaan. Sebaliknya, biaya dari pengiriman makanan dan pembayaran adalah penghasil uang. Pada 2018, Gojek meraup USD9 miliar dalam nilai transaksi bruto (GTV) dari semua pasar, menurut siaran pers yang diterbitkan pada Februari 2019. GoPay berkontribusi USD6,3 miliar dalam total tersebut, sementara GoFood menyalurkan USD2 miliar. Pada 2020, GTV Gojek mencapai USD12 miliar, diperkuat dengan volume transaksi tiga kali lipat untuk GoPay dan layanan paylater perusahaan.

Perkembangan ini menarik perhatian investor asing. Google, Tencent, dan JD.com masuk untuk putaran Seri E Gojek pada tahun 2018, mendorong ekspansinya ke Vietnam, Singapura, dan Thailand.

Gojek memiliki satu keunggulan signifikan di Indonesia — timnya selaras dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat di tanah air. Populasi kelas menengah yang sedang tumbuh ingin melipatgandakan kekayaannya sebanyak mereka menghabiskan uangnya dengan cara baru, untuk hal-hal baru. Banyak yang berinvestasi di saham, reksa dana, bahkan emas. Perusahaan teknologi yang bergerak cepat dapat menyediakan sarana bagi banyak orang untuk menjelajahi jalur investasi ini, dan Gojek tidak mau ketinggalan.

Pada 2019, GoPay menambahkan opsi investasi reksa dana melalui kerja sama dengan Bibit. Dan pada Mei tahun itu, Gojek meluncurkan layanan investasi emas syariah GoInvestasi dengan aplikasi investasi Pluang.

Ketika Gojek membuat kemajuan ke banyak milieux, perusahaan kehilangan Nadiem, yang ditunjuk sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan di kabinet Presiden Joko Widodo. Kevin dan Andre pun menjadi co-CEO.

Kevin Aluwi (kiri) dan Andre Soelistyo, Gojek co-CEO. Dokumentasi oleh Gojek

Prioritas baru

Lebih jauh lagi, Gojek berinvestasi di perusahaan asuransi PasarPolis, yang kemudian mengikat keduanya, memungkinkan pengguna GoPay untuk membeli asuransi perjalanan, kesehatan, kendaraan, dan properti yang ditawarkan oleh PasarPolis. Pada April 2020, Gojek mengakuisisi layanan POS Moka untuk memperluas jaringan B2B-nya. Moka digunakan oleh lebih dari 35.000 restoran, gerai ritel, dan kedai kopi di lebih dari 100 kota di Indonesia.

Pengembangan Gojek sejalan dengan perubahan pasar. Banyak orang Indonesia sekarang merasa sangat nyaman menggunakan ponsel mereka untuk pembayaran, makanan dan pemesanan bahan makanan, melakukan investasi dan mengambil polis asuransi, menurut laporan e-Conomy SEA 2020 yang diterbitkan oleh Google, Temasek, dan Bain & Company. Mereka dapat melakukan semua ini di satu tempat — aplikasi Gojek.

Untuk pedagang, GoPay dan akuisisi Moka membuat kurva pembelajaran penerapan pembayaran digital lebih halus. Mengintegrasikan sistem POS dan e-wallet membuat kegiatan bertransaksi menjadi lebih mudah.

Ketika skala Gojek meluas, pandemi menghantamnya dari berbagai sisi. Industri transportasi pada dasarnya menguap selama semi-lockdowns. Gaya hidup vertikal di mana pengguna dapat memesan layanan seperti pembersihan rumah dan pijat, GoLife, dipotong seluruhnya, dan perusahaan memangkas 9% dari total tenaga kerjanya. Kevin mengatakan transportasi, pengiriman makanan, dan pembayaran akan menjadi fokus utama perusahaan sejak saat itu. Fokus baru tersebut memicu perombakan manajemen.

Facebook dan PayPal berinvestasi di Gojek pada Juni 2020, memanfaatkan jejak Gojek yang luas di Indonesia untuk menghidupkan bisnis baru dengan UMKM negara. Hal ini menghasilkan peluncuran GoToko pada September 2020, yang menghubungkan warung yang kurang terlayani, atau toko lingkungan, dengan perusahaan barang konsumen. Sektor ini dipadati oleh pemain lain seperti Kudo, Mitra Bukalapak, dan mitra merger Gojek yang dikabarkan Tokopedia dengan program Mitra Tokopedia.

Untuk benar-benar memantapkan kehadiran Gojek sebagai broker keuangan mapan, perusahaan melakukan investasi di bank digital Bank Jago pada Desember 2020. Idenya adalah untuk memperluas layanan perbankan ke basis pelanggannya, yang beberapa anggotanya bukan klien lembaga keuangan konvensional.

Expedisi pinggiran

Klien inti Gojek pernah menjadi komuter di kota-kota besar di Indonesia. Tapi sekarang, bisnisnya didukung oleh pedagang kecil, biasanya pemilik toko yang menjual bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari melalui GoToko dan GoMart, atau operator F&B yang menggunakan GoFood. Indonesia adalah rumah bagi hampir 60 juta bisnis kecil, dan kegiatan Gojek sehari-hari menjadi langkah yang menguntungkan.

Sementara bagi sekian banyak pengemudi yang membangun reputasi Gojek? Dalam beberapa kasus, pandemi merusak mata pencaharian mereka, dan upaya bantuan perusahaan tampaknya tidak konsisten. Yang lain bekerja untuk berbagai platform agar tetap bertahan. Namun banyak yang masih menggunakan sepeda dan memakai helm hijau berlogo Gojek, bekerja sebagai pembeli dan kurir.

Diversifikasi awal perusahaan memberinya sarana untuk menangkis serangan dari saingan dengan amunisi yang jauh lebih besar. Gojek memiliki langkah awal dalam membangun basis pengguna dan memperoleh mitra pedagang di Indonesia. GoFood telah ada sejak 2015, sementara GrabFood mulai beroperasi tiga tahun kemudian. (GrabFood akhirnya maju pada 2019.) Selain itu, Gojek memiliki layanan yang tidak ditawarkan Grab, seperti vertikal streaming, GoPlay.

Gojek GoPay juga menjadi saluran pembayaran elektronik kedua yang paling banyak digunakan pada Q1 2021, dengan sedikit unggul dari Ovo yang didukung Grab, menurut survei yang dilakukan oleh firma riset pasar Snapcart. Namun, di beberapa bidang, layanan cepat Gojek masih kalah dengan operasional Grab, seperti pengiriman makanan dan tumpangan pada tahun 2020.

Langkah selanjutnya dalam peta Gojek adalah meningkatkan bisnis kecil yang menggunakan platformnya. Gojek mengadakan kegiatan edukasi untuk komunitas mitra GoFood, yang menerima lebih dari 67.000 pendatang baru dalam satu tahun terakhir. Serangkaian modul pembelajaran dan diskusi virtual memberikan petunjuk tentang cara mengembangkan bisnis kecil. Tapi Gojek juga harus menghadapi Grab di sini. Saingannya dari Singapura telah berkomitmen untuk membangun basis pengguna ini juga.

Gojek mengincar wilayah di luar kota metropolitan Indonesia. Pada Maret 2021, perusahaan berinvestasi di e-wallet LinkAja, yang memiliki kekuatan di kota-kota kecil di Indonesia. Hal ini dapat membantu memperkuat kehadiran Gojek di area tersebut, di gawai individu maupun terminal transaksi bisnis lokal.

Fokus pada UMKM ini menjadikan merger Gojek dengan Tokopedia sebuah perspektif bagus, karena Tokopedia juga berupaya untuk meningkatkan jangkauannya di luar kota-kota besar di Indonesia. Perpaduan antara keduanya dapat memberi Gojek pintu masuk yang alami ke e-commerce, sementara Tokopedia dapat memperkuat kemampuan logistiknya. Kesatuan ini akan menjadi lebih besar dari total bagiannya, dan mungkin menarik lebih banyak perhatian dari investor asing saat perusahaan mengejar simbol ticker mereka pada tahun 2021.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

In 2021, Gojek Singapore’s Focus Remains on Driver Acquisition

After officially launched in Singapore in late 2018, Gojek is said to experience significant growth in terms of drivers and users – although they avoid revealing the precise number. This year, the local decacorn  has some plans to be launched soon, with the same goal, to continue increasing the number of its driver-partners.

Gojek representatives revealed to DailySoial that Singapore has been a strategic market for Gojek. Of all the plans, one is to launch new transportation products to provide more benefits for users and drivers, including a convenient transportation platform for companies, as well as special features for ordering taxis and large vehicles.

In the future, Gojek intends to explore new potentials to launch relevant products and services to the Singapore market, both independently developed services and in partnerships with other startups.

Previously quoted from ChannelNewsAsia, Gojek’s Co-Founder & Co-CEO, Kevin Aluwi said Gojek has a goal of making a lasting impact in Singapore for the years to come and making “strategic investments” in developing the business this year.

Since its arrival in Singapore, Gojek has focused on ride-hailing services to provide new options to users. “We are also the first vehicle booking operator in the country to offer multi-purpose features for up to three destinations,” said a Gojek representative.

In Singapore, there are existing legacy players. The latest data from DBS Group Research, as of 2019 there are three key players in the Asia Pacific, including Grab (estimated number of active drivers: 2.8 million partners and trips: 2.4 billion times), Gojek (1 million partners/1,2 billion times), and Ola Cabs (1 million partners/1 billion times).

According to data from Google, Temasek Holdings, and Bain & Company, in 2020 there was a decline in GMV for ride-hailing services in Southeast Asia, from $13 billion in 2019 to $11 billion in 2020 due to social restrictions amid the pandemic. However, it is projected to grow beyond $42 billion by 2025. Indonesia was the highest contributor in 2020 valued at $5 billion, followed by Singapore at $2 billion.

By comparison, the global ride-hailing market value according to MarketsandMarkets reached $75.39 billion in 2020 and is expected to grow to $117.34 billion by 2021.

Gojek and digital talents

Before its operational launch, Gojek had already explored Singapore for its office base, especially to accommodate the data team. The office has been official since 2017.

Although based in Singapore, Gojek’s data science office supports all targeted markets in Southeast Asia. Its function is quite important to improve the efficiency and user experience on the Gojek platform, from improvements across automatic customer service, pricing algorithms, routing tools, and allocations.

To date, Gojek has made the office a data science hub because of the talent and existing technology infrastructure. Within three years, Gojek claimed the team had increased by over three times. Currently, the team has been developing some innovations, from data analytics, data science, machine learning, and others.

“We are expanding our Singapore-based technology talent, particularly in cybersecurity and data analytics, to support the growth of our business across the region. We will continue to promote Gojek’s dynamic values ​​and culture through various channels, including social media, as well as ecosystem players such as a university – to reach, train and recruit the best talent.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

Tahun 2021, Gojek Singapura Masih Fokus Memperbanyak Mitra Pengemudi

Setelah resmi hadir di Singapura akhir tahun 2018 lalu, Gojek mengklaim telah mengalami pertumbuhan signifikan dari segi jumlah mitra dan pengguna — kendati tidak mau menyebutkan kisaran angka secara eksplisit. Tahun ini ada beberapa rencana yang akan dilancarkan decacorn lokal tersebut, dengan tujuan yang sama, yakni untuk terus menambah lebih banyak lagi jumlah mitra pengemudi mereka.

Kepada DailySocial, perwakilan Gojek mengungkapkan, Singapura selama ini telah menjadi pasar yang strategis bagi Gojek. Salah satu rencana yang akan dilakukan, mereka akan meluncurkan produk transportasi baru guna memberikan lebih banyak manfaat bagi pengguna dan pengemudi, termasuk platform transportasi yang nyaman untuk perusahaan, serta fitur khusus untuk memesan taksi dan kendaraan besar.

Ke depannya Gojek juga ingin menjelajahi lebih jauh potensi baru untuk meluncurkan produk dan layanan yang relevan untuk pasar Singapura, baik layanan yang dikembangkan secara mandiri maupun dalam bentuk kemitraan dengan startup lain.

Sebelumnya dikutip dari ChannelNewsAsia, Co-Founder & Co-CEO Gojek Kevin Aluwi mengungkapkan, Gojek memiliki tujuan untuk membuat dampak yang bertahan lama di Singapura untuk tahun-tahun mendatang, dan membuat “investasi strategis” dalam mengembangkan bisnis tahun ini.

Sejak awal peluncurannya di Singapura, Gojek fokus kepada layanan ride-hailing untuk memberikan opsi baru kepada pengguna. “Kami juga operator pemesanan kendaraan pertama di negara ini yang menawarkan fitur multi-tujuan hingga tiga tujuan,” imbuh perwakilan Gojek.

Di Singapura sendiri sudah ada beberapa pemain legasi. Data terbaru yang kami dapatkan dari DBS Group Research, per tahun 2019 ada tiga pemain kunci di Asia Pasifik yakni Grab (estimasi jumlah pengemudi aktif: 2,8 juta mitra dan perjalanan: 2,4 miliar kali), Gojek (1 juta mitra/1,2 miliar kali), dan Ola Cabs (1 juta mitra/1 miliar kali).

Kemudian menurut data dari Google, Temasek Holdings, dan Bain & Company, tahun 2020 sempat terjadi penurunan GMV untuk layanan ride-hailing di Asia Tenggara, dari $13 miliar di tahun 2019 menjadi $11 miliar di 2020 akibat adanya pembatasan sosial di tengah pandemi. Namun diproyeksikan tahun 2025 akan bertumbuh melampaui $42 miliar. Indonesia menjadi penyumbang nilai tertinggi di tahun 2020 dengan $5 miliar, disusul Singapura $2 miliar.

Sebagai perbandingan, nilai pasar ride-hailing secara worldwide menurut MarketsandMarkets mencapai $75,39 miliar di tahun 2020, dan diperkirakan akan tumbuh jadi $117,34 miliar di tahun 2021.

Gojek dan talenta digital

Sebelum resmi dijadikan sebagai pangsa pasar baru, Gojek sudah terlebih dulu menjajaki Singapura untuk basis kantor mereka, khususnya untuk mengakomodasi tim data. Kantor tersebut sudah diresmikan sejak tahun 2017.

Meskipun berbasis di Singapura, namun kantor data science Gojek mendukung semua pasar yang disasar di Asia Tenggara. Fungsinya pun menjadi penting dalam meningkatkan efisiensi dan pengalaman pengguna di platform Gojek, mulai dari mendorong peningkatan di seluruh layanan otomatis pelanggan, algoritma harga, alat perutean, dan alokasi.

Hingga saat ini kantor tersebut telah dimanfaatkan oleh Gojek sebagai data science hub karena talenta dan infrastruktur teknologi yang ada. Dalam waktu tiga tahun, Gojek mengklaim tim telah berkembang lebih dari tiga kali lipat jumlahnya. Saat ini terdapat beberapa bidang yang kemudian dikembangkan, mulai dari data analytics, data science, machine learning dan lainnya.

“Kami memperluas talenta teknologi kami yang berbasis di Singapura, terutama di bidang keamanan siber dan analitik data, untuk mendukung pertumbuhan bisnis kami di seluruh wilayah. Kami akan terus mengedepankan nilai dan budaya dinamis Gojek melalui berbagai kanal, termasuk media sosial, serta pemain ekosistem seperti universitas – untuk menjangkau, melatih, dan merekrut talenta terbaik.”

Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

Bisnis Merchant Sokong Pertumbuhan Gojek Tahun 2020

Gojek mengungkapkan kenaikan total nilai transaksi di dalam platform grup Gojek, diukur dengan matriks Gross Transaction Value (GTV) bukukan peningkatan sebesar 10% atau senilai $12 miliar (hampir Rp170 triliun) pada tahun ini. Disebutkan juga, pengguna aktif bulanan Gojek mencapai 38 juta orang di seluruh Asia Tenggara dan memiliki 900 ribu merchant.

Memasuki satu dekade, Gojek juga sesumbar dengan pencapaian lainnya. GTV yang dihasilkan dari GoPay diklaim telah melampaui sebelum pandemi, meski tidak disertai dengan angka pendukung.

Dikatakan juga transaksi GoPay di ranah online naik 2,7 kali lipat pada Oktober 2020 dibandingkan bulan yang sama di tahun sebelumnya. Lalu, untuk transaksi PayLater naik 2,7 kali lipat, dan donasi yang disalurkan naik 2 kali lipat sejak awal tahun.

Adapun untuk GTV layanan grocery (GoMart dan GoShop) disebutkan tumbuh 500% pada 2020. Kenaikan ini selaras dengan perpindahan kebiasaan konsumen yang tadinya biasa berbelanja kebutuhan secara offline, beralih ke online akibat pandemi.

Gojek melakukan banyak pengembangan di produk strategis ini demi memenuhi kebutuhan pengguna dan membuka peluang lebih banyak pengusaha mikro mulai berjualan online. Salah satu inovasinya adalah otomatisasi yang berhasil meningkatkan efisiensi dan kualitas performa aplikasi, contohnya GoBiz self-serve onboarding dan CareTech ticket automation.

“Dalam tahun-tahun sebelumnya, GoMart dan GoShop pertumbuhannya enggak sebaik industri online lainnya. Tapi sekarang jadi banyak orang yang pilih opsi online sejak terjadi pandemi,” ujar Co-CEO Gojek Kevin Aluwi saat konferensi pers secara virtual, Kamis (12/11).

Layanan inti kemungkinan tidak tumbuh signifikan

Hal lainnya yang dipaparkan oleh Gojek adalah klaim empat layanan utamanya, yakni GoCar, GoRide, GoSend, dan GoFood, telah meraup laba operasional di luar biaya headquarter (HQ) atau dikenal dengan istilah contribution margin positive pada tahun ini.

Dalam penjelasan sederhana, contribution margin adalah saat Anda membuat produk atau memberikan layanan, lalu mengurangi biaya variabel pengiriman produk itu, dan pendapatan yang tersisa disebut margin kontribusi.

Yang menarik dari klaim Gojek ini adalah kalimat “di luar biaya HQ”, artinya Gojek tidak memasukkan rincian pengeluaran operasional rutin, seperti gaji karyawan, listrik, internet, dan sebagainya ke dalam komponen perhitungan untuk memperkuat klaimnya tersebut.

Diibaratkan, Gojek hanya menghitung laba yang didapat dari setiap transaksi yang terjadi di empat layanan tersebut. Lalu diputar kembali untuk pengembangan inovasi lainnya. Klaim seperti ini sah-sah saja.

Namun jika melihat data yang ada, bisnis ride-hailing memang belum bisa dikatakan pulih akibat Covid-19. Data terbaru dari e-Conomy SEA 2020 menunjukkan tren yang masih minus hingga Oktober 2020. Di Indonesia, dari survei yang dilakukan, sepanjang pandemi 48% responden mengurangi penggunaan layanan tersebut.

Data ride-hailing e-Conomy SEA 2020 / Google, Temasek, Bain & Company
Data ride-hailing e-Conomy SEA 2020 / Google, Temasek, Bain & Company

Co-CEO Gojek Andre Soelistyo menerangkan, contribution margin positive ini penting buat kinerja perusahaan karena setiap profit yang dihasilkan dari transaksi di dalam aplikasi Gojek dapat diputar untuk pengembangan inovasi berikutnya. Perusahaan pun tidak lagi harus bergantung pada investasi dari eksternal.

“Mulai tahun ini, inovasi yang kami lakukan bisa dibiayai dari internal cashflow, tidak lagi bergantung dari investasi eksternal. Dengan kondisi pandemi seperti ini begitu penting karena ini adalah kunci dari sustainability, ada keseimbangan bisnis,” terangnya.

Menurut dia, pencapaian ini sangat baik terlebih di tengah pandemi, sebab sejalan dengan fokusnya yang ingin memperkuat fundamentalnya sebagai perusahaan berkelanjutan.

Andre melanjutkan, pada tahun ini pihaknya juga berinvestasi pada infrastruktur dan integrasi platform Gojek secara global. Bentuk realisasinya adalah mengintegrasikan aplikasi Gojek secara global di Indonesia, Singapura, Vietnam, dan Thailand.

Ini adalah langkah strategis untuk memperkuat brand di pasar internasional, sekaligus memberikan keleluasaan untuk mempercepat pengembangan layanan di negara-negara Gojek beroperasi.

“Dengan adanya satu app, semua teknologi yang kami buat di Indonesia bisa diotomatisasi ke negara-negara lain secara lebih cepat. Konsumen di ASEAN bisa merasakan layanan yang kami kembangkan,” tutup Andre.

Application Information Will Show Up Here

Menimbang Kembali Rencana Investasi Telkom Group ke Gojek

Kabar masuknya Telkom Group ke jajaran investor Gojek makin kencang. Menurut penelusuran Majalah Tempo, Telkomsel yang akan maju memberikan investasi senilai $150 juta atau setara 2,25 triliun Rupiah. Konon prosesnya nyaris rampung. DailySocial sudah mencoba menghubungi Telkomsel untuk mengonfirmasi kabar tersebut, namun hingga tulisan ini diterbitkan belum mendapatkan respons. Di keterbukaan informasi di BEI, Telkom belum memberikan komentar atas pemberitaan media tentang rencana tersebut.

Rumor mengenai minat perusahaan telco pelat merah itu sebenarnya sudah mulai beredar sejak 2018 lalu. Kala itu kisaran nilai yang beredar mencapai dua kali lipat lebih, $400 juta, namun terhalang restu Menteri BUMN yang menjabat saat itu. Konon Menteri BUMN yang sekarang memberikan “lampu hijau”, karena memang sedari awal mendorong perseroan untuk melakukan transformasi memperkuat lini digitalnya.

Aksi korporasi ini layak diperhatikan, karena ada pertaruhan dana publik yang digunakan. Saham Telkomsel sendiri dimiliki oleh dua perusahaan, Telkom (65%) dan Singtel Mobile (35%).

Risiko tinggi

Di Indonesia, konglomerasi yang masuk di jajaran shareholder Gojek adalah Astra dan Djarum (lewat Blibli). Dengan status decacorn, nama Gojek memang terus menjadi buah bibir pebisnis di dunia. Namun layaknya startup yang lebih menekankan growth, strategi yang digencarkan perusahaan adalah dengan terus meningkatkan valuasi, hingga memiliki kekuatan lebih untuk mendominasi pasar.

Di beberapa kesempatan, sebelum pandemi, perwakilan Gojek sempat sesumbar mengenai strategi profit perusahaan melalui GoFood dan GoPay. Tahun 2019 disebutkan GoFood mencetak revenue $2 miliar, 50 juta transaksi per bulan, dan pertumbuhan naik 2,5 kali lipat. Sementara GoPay berkontribusi $6,3 miliar, meski pertumbuhannya tidak disebutkan.

Meskipun begitu, Bukan berarti dengan berinvestasi ke Gojek menjamin keuntungan. Dinamika pasar yang masih tinggi memiliki berbagai faktor yang bisa menggoyang bisnis.

Pertama, soal kompetisi pasar. Hingga saat ini lawan terberat Gojek adalah Grab. Keduanya berstatus decacorn dan menggarap ragam fitur dan pangsa pasar yang relatif sama.

Gojek juga memiliki banyak unit bisnis yang mulai bergerak secara mandiri, yaitu GoPay dan GoPlay. Di lanskap pembayaran digital, dari beberapa riset, Gopay bersaing ketat dengan aplikasi Ovo, Dana, hingga yang teranyar ShopeePay. Sementara GoPlay harus berhadapan dengan Netflix, iflix, Viu, dan masih banyak lainnya.

Faktor kedua, tentang validasi yang tak pernah berhenti. Kendati Gojek telah digunakan jutaan pengguna, tapi penyesuaian bisnis masih terus dilakukan.

Gojek bahkan berani menutup layanan yang dipayungi GoLife dan merumahkan 430 karyawan. Pandemi kali ini cenderung mengubah kebiasaan pengguna hingga tatanan pangsa pasar di ekosistem. Hal ini menyebabkan setiap pebisnis digital harus menata ulang strateginya.

Melihat dua isu ini, pendanaan Telkom Group untuk Gojek tampaknya akan fokus ke potensi kerja sama. Gojek akan mendapatkan benefit dari 172 juta pelanggan Telkomsel, termasuk di kalangan merchant, begitu pula sebaliknya.

Tidak mudah diterka sinergi seperti apa yang mungkin terjadi, karena core business kedua perusahaan sangat berbeda – juga secara kultur bisnis. Bahkan ada yang berkompetisi secara langsung, misalnya LinkAja dan GoPay.

Per Juni 2020, taksiran valuasi Gojek mencapai $12,5 miliar atau setara 184 triliun Rupiah. Jika Telkomsel jadi masuk dengan investasi $150 juta, besar kemungkinan perolehan sahamnya sekitar atau kurang dari 1%. Dengan persentase itu, jelas mengejar untung dari exit tidak bisa dijadikan target jangka pendek. Terlebih rencana Gojek untuk go public juga masih abu-abu. Kolaborasi menjadi pertimbangan yang diprioritaskan.

 

Telkom di ekosistem startup

Telkom sendiri belum memiliki sejarah yang bagus saat mengelola bisnis digital. Beberapa inovasinya sempat kandas. Yang terbaru platform hasil kolaborasinya dengan raksasa e-commerce eBay, Blanja, akhirnya ditutup karena sulit untuk bersaing di pasar.

Meskipun demikian, mereka bersemangat berbenah, termasuk merekrut Co-Founder Bukalapak Fajrin Rasyid untuk menempati posisi Direktur Bisnis Digital.

UU No. 19 2003 mengatur tentang Badan Usaha Milik Negara, disebutkan bahwa tujuan BUMN adalah untuk memberikan sumbangan bagi perekonomian nasional dengan mengejar keuntungan. Berbekal dari tujuan utama tersebut, timbang-menimbang untung-rugi aksi korporasi menjadi krusial.

Telkom dan Telkomsel lebih beruntung di sektor investasi, melalui MDI Ventures dan TMI. Prestasinya cukup apik, terbukti tahun lalu kami mencatat MDI berhasil melakukan 5 exit melalui M&A dan IPO. Paling banyak di antara pemodal ventura lokal lainnya di rentang waktu tersebut.

Telkom pun makin bersemangat suntikkan dananya, termasuk menggelontorkan dana $500 juta di tahun ini untuk diinvestasikan ke startup. MDI secara total mengelola dana $760 juta atau setara 11,6 triliun Rupiah, sementara TMI, unit ventura milik Telkomsel, mengelola $40 juta.

Kita tunggu bagaimana sinergi dengan Gojek, jika terwujud, bisa memberikan dampak positif bagi ekosistem digital Telkom Group.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Hubungan Baik Gojek dan Transportasi Publik

Saat ini Gojek menjadi salah satu aplikasi yang cukup lengkap menyediakan beberapa layanan. Mulai dari transportasi, makanan, hingga layanan keuangan. Selain berusaha menjadi aplikasi super, Gojek tak melupakan awal berjalannya sebagai aplikasi transportasi. Di bidang transportasi Gojek tengah berusaha menjadi pelengkap transportasi publik.

Head of Product for Transport Gojek Vikrama Dhiman menegaskan, pihaknya selalu berusaha menghadirkan solusi komprehensif yang mewujudkan integrasi transportasi berbagai moda yang memudahkan sekaligus menjadi bagian dari transportasi publik.

“Data kami menyatakan bahwa jumlah perjalanan dengan Gojek (first-mile-last-mile) ke pusat transportasi publik juga menghemat waktu perjalanan hingga 40% pada jam-jam sibuk. Data internal kami juga menyatakan 1 dari 2 pelanggan Gojek pernah menggunakan layanan Gojek dari atau menuju hub transportasi,” terang Vikrama.

Vikrama juga menjelaskan bahwa pengguna GoRide dan GoCar untuk mencapai stasiun MRT pada Desember 2019 meningkat hampir 7 kali lipat sejak layanan kereta cepat tersebut pertama kali diluncurkan. Sebelas lokasi stasiun KRL Commuter Line dan Kereta Jarak Jauh juga disebut menjadi titik berangkat dan tujuan paling sering pengguna GoRide di wilayah Jabodetabek.

“Fitur dan layanan GoRide Instan mampu memangkas waktu tunggu pengguna hingga 40% di berbagai titik hubung transportasi publik seperti Stasiun MRT, KRL, dan Transjakarta,” imbuh Vikrama.

Untuk meningkatkan integrasi dengan transportasi berbagai moda Gojek juga sudah menghadirkan GoTransit. Sebuah layanan yang ditujukan untuk membantu pengguna untuk merencanakan dan memantau perjalanan dari/ke berbagai titik hub transportasi publik, lengkap dengan rekomendasi rute transportasi publik.

“Nantinya, layanan GoTransit ini akan memungkinkan pemesanan maupun pembelian tiket transportasi multimoda. Perjalanan yang lebih terhubung kami percayai bisa membuat masyarakat lebih banyak menggunakan transportasi publik,” lanjut Vikrama.

Prediksi masa depan transportasi di Indonesia

Vikrama lebih jauh memprediksi bahwa masa depan transportasi di Indonesia akan banyak mengadopsi teknologi kendaraan elektrik, autonomous vehicles, stasiun pengisian baterai, dan pembenahan infrastruktur umum di seluruh kota. Sambil menunggu ke arah sana, Gojek berharap bisa terus berkolaborasi dengan pemerintah dengan membantu masyarakat terhubung dengan transportasi publik seperti yang sudah mereka lakukan di 4 stasiun terpadu: Juanda, Tanah Abang, Pasar Senen, dan Sudirman.

Pihak Gojek juga menjelaskan bahwa mereka sangat peduli terhadap lingkungan dengan mempromosikan penggunaan transportasi umum dan kendaraan listrik. Salah satu bentuk kepedulian tersebut adalah inovasi berupa fitur (GoGreener) dalam aplikasi yang memungkinkan konsumen Gojek menyerap jejak karbon yang dihasilkan dari aktivitas sehari-hari dan mengonversinya dengan penanaman pohon.

“Inovasi ini menjadikan Gojek sebagai penyedia layanan ride-hailing pertama di Indonesia dan dunia yang mengembangkan inovasi carbon offset secara B2C. Upaya gotong royong ini diharapkan dapat memudahkan masyarakat untuk berperan aktif dalam melestarikan lingkungan hidup,” tutup Vikrama.

Application Information Will Show Up Here

Supper App News: Still on Gojek vs Grab

Super app has become a hype terminology. Both leading players, Gojek and Grab, are still on the campaign to be the most complete super app. It is a quite tight (direct) competition in all lines. Not only in Indonesia but also in regional area. With a same-level valuation as “decacorn”, the target market set is full of ambition.

This is the latest business scope of both services:

Cakupan Layanan Grab dan Gojek di Asia Tenggara

Grab tends to be superior in terms of coverage area. They started to expand since 2014 – including to Indonesia. Meanwhile, Gojek only started its regional expansion in mid-2018. In terms of the type of service, Indonesian market has the most comprehensive one. The complete service has delivered the term super app as a title.

According to App Annie’s data, the Grab application has been downloaded by 187 million users as of June 2020, while Gojek with 170 million users. The largest user base lies in Indonesia. In terms of Grab, it is around 66%, while Gojek is 90%.

Previously, Gojek has launched a separate application for expansion outside Indonesia. From this month on, they started to unify apps and brands into Gojek – from Vietnam service Go-Viet into Gojek. GET in Thailand will also get changed soon.

The latest report released by China Renaissance investment bank summarizes a number of Gojek and Grab business achievements and strategies. One of them is related to the monthly active user’s data. Gojek’s MAU data currently has reached 36 million users in four countries, while Grab is yet to disclose any data. The research calculates the total addressable market for ride-hailing services this year is to reach $25 billion.

Perbandingan Bisnis Gojek dan Grab

Strategy towards profitability

The Covid-19 pandemic has clearly had a significant impact on the rid hailing business. In an exclusive interview with DailySocial, the international team confirmed the news. Grab is no different. Regarding business operations efficiency, the two companies had a layoff last June. Grab lay off 5% of its employees, equivalent to 360 people. Meanwhile, Gojek laid off 9% of its total employees, equivalent to 430 people.

Therefore, the super app platform survives, for other business areas still got potential growth despite pandemic. Referring to existing business data, China Renaissance is optimistic that food delivery and e-wallet services are likely to support the super app’s sustainability strategy. A large amount of monetization is possible for these two features.

The first is about food delivery. According to market measurements, this business has the potential to bring in up to $20 billion annually. Assuming each super app is capable to gain 5% of the market, at least they can book $1 billion in revenue each year. Grab once disclosed revenue for the food delivery service. In 2017 they already raised $2 billion and grew to $5 billion in 2019.

TAM Food Delivery in SEA

Earlier this year, Gojek announced the strategy to make GoFood profitable. Gojek Group’s Chief Food Officer Catherine Hindra Sutjahyo revealed that all investors’ encouragement resulted in GoFood’s business model in a direction towards profitability. As time pass by, the GoFood’s achievement benchmarks have grown, from basic transaction numbers to gross transaction values, and now revenue.

As the food business has the potential to generate big cash, various initiatives were launched. One of those is by developing a cloud kitchen to help partners efficiently produce and serve products. Both Grab and Gojek continue to expand cloud kitchens as “shared kitchens” that is accessible by SME partners. There are shops that only serve purchases via GrabFood or GoFood orders.

Digital wallet to be the next source of profit

The super app journey goes through several phases: user acquisition, partner acquisition, and product expansion. The first phase has successfully passed. Millions of driver-partners spread across various cities turned into assets to convince users regarding the reliability and availability of services. The second phase indicates the same results. The pandemic has contributed significantly to the adoption of food and grocery delivery services.

Next, the third phase is being optimized by each player. In Indonesia, GoPay is the payment platform most used by the public, competing with Ovo, which is now being applied by Grab (as well as Tokopedia and several other services). Obviously, its existence has a big impact on the business of each company. The payment system acts as a link between actors in the application ecosystem: consumers, driver-partners, and merchants.

Superapp development phase

This situation creates opportunities for partners and merchants to gain more feasible financial access. Fintech platforms such as digital wallets are considered to be able to bridge the existing gap, including connecting them with various financial products (transfers, loans, investments).

Some intentions are going toward this, including the seriousness of Grab through the GrabFinancial unit. GoPay itself is said to have reached a unicorn valuation.

Next phase: integration

Super app principles such as “must be the most complete” turn Gojek and Grab compete harder to provide various relevant services. Adding a service doesn’t mean you have to develop everything independently. In terms of telemedicine services, Gojek collaborates with Halodoc, while Grab is with Ping An Good Doctor. Also for other services, such as insurtech, lending, and OTA which are integrated with third-party platforms.

It takes some business units to allow the company to connect with related players. The strategy is similar, starting from developing venture units, acceleration programs, to acquisitions.

Such intense competition has so far been considered good for the market formation and often benefits consumers. It was previously rumored that the two super apps would merge, however, it seems just ended up as a rumor.

Daftar Integrasi Gojek dan Grab


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here