Platform Pencarian Kerja “Atma” Segera Debut, Kantongi Pendanaan Awal 73 Miliar Rupiah

Platform pencarian kerja Atma mengantongi pendanaan tahap awal (pre-seed) sebesar $5 juta atau sekitar 73 miliar Rupiah. Pendanaan ini dipimpin oleh AC Ventures serta didukung oleh Global Founders Capital (GFC).

Selain itu, sejumlah pendiri turut berpartisipasi sebagai angel investor strategis, di antaranya dari GoTo Group, Advance Intelligence Group, Ula, Lummo, Kopi Kenangan, Sampoerna Strategic, MMS Group, dan Xiaomi.

Sebagai informasi, Atma didirikan di 2022 oleh sejumlah eks petinggi perusahaan teknologi, yaitu Edy Tan (eks Chief of Driver Gojek), Chris Gunawan (eks Co-founder RestoDepot dan Product Executive Vara), Susan Suhargo (eks Strategic Initiatives Tencent dan Regional Marketing Gojek), Tim Young (eks investor Atlas Asset Management dan Fixed Income Trader HSBC), dan Monica Oudang (Ketua YABB-GoTo Foundation dan eks CHRO Gojek yang menjabat sebagai penasihat).

Atma merupakan platform pencarian kerja berbasis komunitas yang membidik para pencari kerja berpenghasilan menengah ke bawah (kurang dari Rp10 juta per bulan), terutama segmen usia produktif di Indonesia. Atma berupaya membangun ekosistem secara end-to-end yang mencakup pasar kerja, lembaga peningkatan keterampilan, dan sistem dukungan berbasis komunitas.

Saat ini layanan Atma masih belum dirilis ke publik. Kendati di situs resminya mereka sudah menjaring calon pengguna tahap awalnya.

Terinspirasi pengalaman bekerja bersama driver

Co-founder & CEO Atma Edy Tan mengaku terinspirasi mendirikan startup baru ini dari pengalamannya bekerja sebagai eksekutif Gojek yang menangani komunitas driver. Ia melihat dampak sosial dari layanan Gojek yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan di sektor informal ke 2,5 juta driver di Indonesia.

Dengan misi serupa, Edy ingin menjangkau populasi yang lebih luas dan mencakup sektor formal. Untuk itu, pendanaan ini akan digunakan untuk mendukung pengembangan kualitas produk dan layanan, menjalankan strategi go-to-market, dan memperluas jumlah tim mereka hingga akhir tahun ini.

Sementara itu, Founder dan Managing Partner AC Ventures Michael Soerijadji mengungkap ada lebih dari 100 juta pekerja aktif yang berpenghasilan menengah ke bawah menghadapi inefisiensi signifikan dalam mencari pekerjaan yang tepat dan sesuai keahlian dan preferensi mereka.

“Atma dapat membantu pemberi kerja melakukan seleksi pelamar dengan kualifikasi lebih relevan serta memberi peluang pengembangan karier lewat sertifikasi atau pelatihan tambahan. Atma akan mendefinisikan kembali pengalaman mencari kerja,” tutur Michael.

Selain Atma, saat ini ada sejumlah platform job marketplace lain yang juga beroperasi. Salah satunya Lumina yang baru mendapatkan pendanaan awal dari Y Combinator dan Alpha JWC Ventures awal Januari 2022 lalu. Selain tu ada juga Sampingan, MyRobin, Glints, dan lain sebagainya.

Inefisiensi proses pencarian kerja

Lebih lanjut, Edy menilai ada sejumlah masalah yang kerap dialami oleh para pencari kerja di segmen berpenghasilan menengah ke bawah. Padahal, digitalisasi telah berkembang secara masif di Indonesia.

Pada kegiatan rekrutmen, misalnya, ada inefisiensi yang signifikan di mana prosesnya memakan waktu panjang, dimulai dari pembukaan lowongan pekerjaan, seleksi kandidat, wawancara, hingga penerimaan kandidat. Situasi ini tak jarang membuat calon pekerja merasa terabaikan dalam waktu yang lama.

Bahkan ia menilai kemunculan internet sekalipun belum mampu menghadirkan inovasi yang dapat menjadi solusi menyeluruh terhadap permasalahan ini. “Para pencari kerja di segmen ini menggambarkan pengalaman mencari kerja sebagai sesuatu yang membawa trauma emosional. Sementara perusahaan mendeskripsikan pengalaman mencari kandidat sebagai proses random walk,” ungkapnya.  

Dari pain point tersebut, Atma ingin menghadirkan solusi produk berskala besar untuk mendefinisikan kembali proses pencarian kerja. Atma membangun produk untuk mengubah pengalaman pencari dan pemberi kerja secara keseluruhan dengan menggunakan elemen inti berbasis kemudahan, interaktivitas, sociability, personalisasi, dan gamifikasi.

“Kita sedang memasuki era teknologi berbasis komunitas di mana segala sesuatu yang kita lakukan terpengaruh oleh individu ataupun sekelompok orang. Komunitas memberikan identitas, rasa memiliki, koneksi, dukungan dan pertumbuhan bagi para pencari kerja,” tutup Edy.

Alpha JWC Ventures Leads 24 Billion Rupiah Funding for Alt-Protein Startup “Off Foods”

The Off Foods food-tech startup has announced a $1.7 million seed funding (approximately 24.3 billion Rupiah) led by Alpha JWC Ventures. Global Founders Capital (GFC) and other strategic investors, including Creative Gorilla Capital, Lemonilo, and United Family Capital (UFC) are participated in this round.

The company will use the fresh funds to develop research related to the Off Meat variety, from alternative processed chicken meat products, such as nuggets. Also, entering other cities by implementing a direct-to-consumers strategy, in order to reach more consumers.

Off Foods is a local startup founded by Dominik Laurus and Jhameson Ko last year. This startup has ambitions to become a leading alternative protein (alt-protein) producer from Indonesia. It is said by providing an opportunity for more people to consume animal meat, without killing real animals for sustainability, and without sacrificing taste.

Off Foods Co-founder & CEO Dominik Laurus said, “We are doing more than just selling food, introducing new ideas for lifestyle changes in Indonesia that are expected to produce a healthier society and a more sustainable earth.

“Off Meat and the Indonesian [market] are just our starting points. We are excited to receive such enthusiasm from new and existing investors, including established experts in the F&B industry, and we are excited to move forward with our product innovations, imminent national expansion, and finally regional expansion in 2024,” Dominik said in an official statement, Tuesday (19/4).

The company launched Off Meat’s flagship product, a protein similar to chicken meat, in August 2021. Using the B2B model, Off Foods supplies its products to various restaurants, such as Gaaram, Wanfan, Mamma Rosy, and Fitco Eats disributed across seven cities (Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Medan, Yogyakarta, Makassar and Bali).

It is claimed, the company’s business growth has soared up to 10 times through this B2B concept. The partnerships number goes up, some of which are already in process, including Mangkokku, Zenbu, and Byurger which already have outlets throughout Indonesia.

“Off Meat is a solution for foodservice businesses in supplying plant-based meat fillets to the horeca market (hotels, restaurants, cafes). Our products are affordable and customizable for chefs to create meatless dishes on their menus with their own special recipes and techniques. Customers will be able to enjoy the familiar tastes of restaurants in the form of meatless dishes and be part of the future of sustainability,” Jhameson Ko, Co-founder & CPO of Off Foods said.

The company recently opened a new branch in Bali which is one of the most important plant-based food markets in Indonesia. Off Foods will see more adoption and partnerships in the near future as meats have high applicability in the kitchen, for example from fried ‘chicken’ menus to nuggets to traditional chicken sambal matah, offering horeca markets in emerging markets a more localized taste and texture than with alt-products available in the market today.

Non-meat food potential

According to a recent report from BIS Research, the plant-based food sector as a whole is expected to reach $480 billion globally by 2024. The plant protein industry is also expected to continue to grow in Indonesia with a CAGR of 27.5% from 2021 to 2027, representing an increase of about sixfold by 2027, as quoted by Research and Markets.

Historically, plant-based adoption has an obstacle through the premium price point it is often associated with. The challenge for competition in this industry is not only the right taste and texture, but also includes improving know-how and manufacturing efficiencies to approach price parity.

“Off Meat tries to solve this long-overdue issue by coming up with an affordable alternative, providing a plant-based protein substitute at at least half the price point of its competitors.”

Alpha JWC Ventures’ Partner Eko Kurniadi also agreed, he said that alt-proteins need time to be adopted in developing countries because of the premium costs. However, consumers have realized the health value and environmental benefits that alt-food products bring.

“Now the revolution is sweeping almost the whole emerging markets like Indonesia, and it is the right time for Off Foods. With the great products, strong go-to-market strategy and best-in-class cost structure suited to growing markets, we believe they are in a strong position to bring the alt-protein movement mainstream to Indonesian households,” Eko said.

Previously, a similar startup, Green Rebels has recently received funding to increase its penetration in serving alt protein-based foods.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Alpha JWC Ventures Pimpin Pendanaan 24 Miliar Rupiah Startup Alt-Protein “Off Foods”

Startup food-tech Off Foods mengumumkan perolehan pendanaan awal sebesar $1,7 juta (sekitar 24,3 miliar Rupiah) dipimpin Alpha JWC Ventures. Global Founders Capital (GFC) dan investor strategis lainnya, termasuk Creative Gorilla Capital, Lemonilo, dan United Family Capital (UFC) berpartisipasi dalam putaran tersebut.

Perusahaan akan memanfaatkan dana segar untuk  pengembangan penelitian terkait variasi Off Meat, dimulai dengan produk olahan alternatif daging ayam, seperti nugget. Juga masuk ke kota-kota lain dengan menerapkan strategi direct-to-consumers agar semakin banyak konsumen yang dapat dijangkau.

Off Foods merupakan startup lokal yang didirikan pada tahun lalu oleh Dominik Laurus dan Jhameson Ko. Startup ini berambisi menjadi produsen protein alternatif terkemuka (alt-protein) dari Indonesia. Caranya dengan menyediakan kesempatan bagi lebih banyak orang mengonsumsi daging hewan, tanpa mematikan daging dari hewan asli demi keberlanjutan, juga tanpa mengorbankan rasa.

Co-founder & CEO Off Foods Dominik Laurus menuturkan, pihaknya melakukan lebih dari sekadar menjual makanan, memperkenalkan ide baru perubahan gaya hidup di Indonesia yang diharapkan bisa menghasilkan masyarakat yang lebih sehat dan bumi yang lebih berkelanjutan.

“Off Meat dan [pasar] Indonesia hanyalah poin awal kami. Kami sangat senang menerima antusiasme seperti investor baru dan yang sudah ada, termasuk para ahli mapan di industri F&B, dan kami senang untuk bergerak maju dengan inovasi produk kami, ekspansi nasional segera, dan akhirnya ekspansi regional pada 2024,” kata Dominik dalam keterangan resmi, Selasa (19/4).

Perusahaan meluncurkan produk flagship Off Meat, protein serupa daging ayam, pada Agustus 2021. Dengan menggunakan model B2B, Off Foods menyuplai produknya ke berbagai restoran, seperti Gaaram, Wanfan, Mamma Rosy, dan Fitco Eats yang tersebar di tujuh kota (Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Medan, Yogyakarta, Makassar, dan Bali).

Diklaim, pertumbuhan bisnis perusahaan melonjak hingga 10 kali lipat lewat B2B ini. Jumlah kemitraan akan terus digenjot, beberapa yang sudah dalam proses, yakni Mangkokku, Zenbu, dan Byurger yang memiliki outlet tersebar di seluruh Indonesia.

“Off Meat menjadi solusi untuk bisnis jasa makanan dalam memasok fillet daging berbasis tanaman ke pasar horeca (hotel, restoran, cafe). Produk kami terjangkau dan dapat disesuaikan untuk koki untuk membuat hidangan tanpa daging pada menu mereka dengan resep dan teknik khusus mereka sendiri. Pelanggan akan dapat menikmati selera akrab dari restoran dalam bentuk hidangan tanpa daging dan menjadi bagian dari keberlanjutan masa depan,” tambah Co-founder & CPO Off Foods Jhameson Ko.

Perusahaan ini baru-baru ini membuka cabang baru di Bali yang merupakan salah satu pasar makanan berbasis nabati yang paling penting di Indonesia. Off Foods akan melihat lebih banyak adopsi dan kemitraan dalam waktu dekat karena daging memiliki penerapan tinggi di dapur, misalnya dari menu ‘ayam’ goreng ke nugget ke ayam sambal matah tradisional, menawarkan pasar horeca di pasar negara berkembang dengan rasa yang lebih terlokalisasi dan tekstur dibandingkan dengan alt-produk yang tersedia di pasaran saat ini.

Potensi makanan nondaging

Menurut laporan terbaru dari BIS Research, sektor makanan berbasis tanaman (plant-based) secara keseluruhan diperkirakan akan mencapai $480 miliar secara global pada 2024. Industri protein tanaman juga diperkirakan akan terus tumbuh di Indonesia dengan CAGR 27,5% dari 2021 hingga 2027, mewakili peningkatan sekitar enam kali lipat pada 2027, seperti dikutip dari Research and Markets.

Secara historis, adopsi nabati telah dihambat melalui titik harga premium yang sering dikaitkan dengan. Tantangan untuk kompetisi di industri ini tidak hanya soal rasa dan tekstur yang benar, tetapi juga mencakup penyempurnaan pengetahuan dan efisiensi manufaktur untuk mendekati paritas harga.

“Off Meat mencoba untuk menyelesaikan masalah lama ini, karena datang dengan alternatif yang terjangkau, menyediakan pengganti protein berbasis tanaman dengan setidaknya setengah dari titik harga para pesaingnya.”

Turut menambahkan pandangannya Partner Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi, menurutnya alt-protein membutuhkan waktu untuk diadopsi di negara berkembang karena biayanya yang premium. Namun, konsumen telah menyadari nilai kesehatan dan manfaat lingkungan yang dibawa produk alt-food.

“Sekarang revolusi hampir menyapu pasar berkembang, seperti Indonesia dan itu adalah waktu yang tepat untuk Off Foods. Dengan produk-produknya yang hebat, strategi go-to-market yang kuat, dan struktur biaya terbaik di kelasnya yang cocok untuk mengembangkan pasar, kami percaya mereka berada dalam posisi yang kuat untuk membawa gerakan alt-protein arus utama ke rumah tangga Indonesia, “kata Eko.

Sebelumnya, startup serupa Green Rebels juga baru mendapatkan pendanaan untuk meningkatkan penetrasinya dalam menyajikan makanan berbasis alt protein.

Bagaimana FisTx Selesaikan Masalah Inti Tambak Udang Lewat Teknologi

Bukan rahasia umum kalau industri akuakultur di Indonesia penuh dengan isu klasik, sehingga menjadikannya tidak seseksi industri riil dan nonriil lainnya. Kendala tersebut memengaruhi berjalannya kegiatan akuakultur di negara ini. Padahal, menurut Food and Agriculture Organization, Indonesia menempati peringkat ke-2 dari 10 negara peringkat teratas produksi akuakultur.

Meski masuk posisi atas, akan tetapi jumlah total produksi akuakultur negara ini sangat jauh berbeda dengan Tiongkok. Pada 2019, produksi ikan budidaya di Tiongkok sebesar 68,42 juta ton per tahun, sementara Indonesia 15,89 juta ton. Padahal, panjang garis pantai Tiongkok yang bisa dimanfaatkan untuk budidaya hanya 14.500 km, sementara Indonesia 99.083 km.

Kiwi Aliwarga dan Rico Wibisono, dengan latar belakang yang mendalam di dunia akuakultur mencoba untuk menyelesaikan isu klasik ini dengan mendirikan FisTx (dibaca Fistek) di Yogyakarta pada 2019. Kiwi sendiri merupakan pengusaha diaspora yang sukses membangun bisnis di Myanmar. Di kancah startup, Kiwi membangun UMG Idealab yang merupakan lengan investasi dari UMG Myanmar. Portofolionya tersebar di regional, tidak hanya di Indonesia saja, mulai dari Aruna, Crowde, Botika, Prosehat, Perawatku, Arutala, dan lainnya.

Sementara itu, Rico Wibisono punya ketertarikan di dunia perikanan sejak kecil hingga akhirnya melanjutkan di bangku kuliah. Kemudian, terjun ke industri ini dengan bekerja untuk berbagai perusahaan di CP Prima, Manggalindo, dan beberapa proyek di luar Indonesia, yakni di Vietnam, Brazil, Arab Saudi, dan Brunei Darussalam mengerjakan proyek tambak udang.

“Ketertarikan kami dalam dunia akuakultur, meneruskan kami untuk mengembangkan teknologi perikanan yang berkelanjutan berfokus pada 3P (profit, people, planet),” terang Co-founder dan COO FisTx Rico Wibisono kepada DailySocial.id.

Inovasi FisTx

FisTx menyoroti setidaknya ada empat tantangan dalam budidaya tambak udang, yakni manajemen tambak, operasional, tambak, dan alam, contohnya pemilihan lokasi tambak yang rawan bencana alam, seperti tsunami dan gempa. Oleh karenanya, FisTx berfokus pada pengembangan teknologi untuk budidaya udang pada proses perbaikan air yang lebih berkelanjutan.

Misalnya, mobile water sterilizer yang merupakan teknologi desinfeksi ramah lingkungan dengan sinar ultraviolet. Teknologi ini tidak menghasilkan residu bila dibandingkan dengan bahan kimia bahkan bisa mengefisiensikan biaya disinfektan sebesar 35%-53%. Alat ini juga dapat digunakan sebagai water treatment unit.

Kemudian, mengembangkan Recirculating Aquaculture System (RAS), yakni teknologi yang berkonsep kolam petak untuk sistem budidaya secara intensif dengan memanfaatkan air secara terus menerus, sehingga air pada kolam utama terjaga kualitasnya, menghemat penggunaan air dan biaya pergantian air. Produk ini serupa dengan akuarium, air kolam tidak dibuang tetapi disaring terus menerus. Air yang ada di kolam dapat dikonservasi dan dipakai berkesinambungan dengan sistem filtrasi yang perusahaan kembangkan.

Berikutnya, menghadirkan teknologi untuk imbuhan pakan guna meningkatkan penyerapan nutrisi, sehingga pertumbuhan lebih cepat dan limbah lebih sedikit. “Semua teknologi ini diarahkan pada keberlanjutan dan kesejahteraan petambak. Proses development-nya bergantung pada ketersediaan sumber daya dan kebutuhan pasar, ada yang tiga sampai delapan bulan.”

Disediakan pula aplikasi yang dinamai FisTx Aquagram yang dapat digunakan petambak untuk memantau kondisi tambak langsung dari ponsel mereka. Aplikasi merupakan teknologi pengukur kualitas air yang dapat mencatat kualitas air secara real time, tidak hanya untuk satu petak tambak tapi juga memantau empat petak sekaligus. Petambak akan memperoleh informasi terkait durasi pemberian pakan, jarak waktu pemberian pakan, kadar oksigen, hingga suhu dan tingkat keasamaan air.

Dalam satu alat sensor, mampu mengukur berbagai indikator. Beberapa di antaranya, suhu air kolam, EC, nilai pH, DO (Dissolved Oxygen atau kadar oksigen terlarut) dan ORP (Oxidation Reduction Potential). Semua data ini akan muncul pada aplikasi FisTx dalam sekali klik.

Dari seluruh rangkaian produk tersebut, FisTx menyesuaikan kembali dengan kebutuhan para petambak. Pihaknya menyediakan FisTx 360 yang merupakan sistem berlangganan untuk membantu semua kebutuhan budidaya, mendampingi petambak dengan konsultasi dan manajemen tambak selama satu siklus, mulai dari persiapan hingga panen. “Tapi kami juga menyediakan sistem beli putus, terutama untuk konsumen kami yang belum dijangkau oleh tim offline, tapi kami tetap terbuka dengan konsultasi online.”

Rico mengakui proses edukasi dalam memperkenalkan solusi Fistx tidak bisa dianggap sepele. Karena animo positif baru diterima perusahaan, apabila lokasi tambak dan persona petambaknya dilihat dari psikologi dan psikografinya. Maka dari itu, saat masuk ke lokasi baru perusahaan mengambil strategi dengan mencari early adopter dan dikawal hingga muncul hasil panen yang memuaskan.

“Dari situ terjadilah mouth to mouth branding, inilah yang kami lakukan dalam menjawab itu. Alhamdulillah, hingga saat ini kami memiliki 340 petambak yang tersebar di 21 provinsi.”

Salah satu perusahaan yang sudah menggunakan teknologi FisTx adalah PT Nayottama Kelola Laut Indonesia (NKLI). Awalnya, NKLI menggunakan teknologi existing Aqua Input sejak 2021 dan merasakan terjadinya peningkatan hasil tambak secara berkala dari 18 ton hingga 51 ton per hektare atau kenaikan hampir tiga kali lipat.

Kemudian, NKLI upgrade teknologi terbaru RAS FisTx untuk kolam budidaya yang terletak di Tasikmalaya, Jawa Barat, Januari 2021 lalu. Selain ramah lingkungan, manfaat lain yang didapat dari penggunaan teknologi RAS adalah meningkatkan produktivitas, meminimalisir permasalahan udang mati dini, dan hemat hingga 30% jika dibandingkan dengan pemakaian kimia seperti kaporit. Produksi per hari pun lebih cepat, tingkat pertumbuhan meningkat rata-rata sekitar 20%, dengan efisiensi pakan hingga 23,5%.

Harapan di akuakultur

Rico menilai solusi yang dibangun oleh FisTx ini sejatinya dapat diimplementasikan di luar tambak udang, seperti kepiting, belut, lobster, dan sidat. Hal tersebut sudah menjadi misi berikutnya perusahaan, kendati fokus utama saat ini masih pada budidaya udang.

“Potensi perikanan Indonesia luar biasa besar dan kami akan berikan hak yang sama untuk setiap spesies lain untuk dibudidayakan secara luas. [..] menjadi karunia besar bagi kami untuk bisa mengembangkan spesies lokal yang memiliki high demand, sehingga dapat memajukan pesisir seperti peradaban maritim yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita. Melalui budaya ini, kami ingin mengulang kembali kejayaan peradaban pesisir.”

Saat ini, FisTx didukung dengan 19 orang, terbagi jadi empat orang sales offline, tiga sales Aqua Input, dan satu sales project. Perusahaan akan terus menambah tim, terutama untuk bagian teknis dan expert agar solusi FisTx dapat lebih masif diadopsi banyak petambak di Indonesia. Meski tidak dijelaskan secara rinci, FisTx telah didukung dengan sokongan investasi dari UMG Idealab, perusahaan yang juga dipimpin oleh Kiwi.

“Tahun ini kami berfokus pada dua hal, yaitu sebagai base untuk target bisa profit di 2023 dan melakukan branding,” tutup Rico.

Trihill Capital Turut Berinvestasi ke Fit Hub, Ungkap Komitmennya Dukung Startup Indonesia

Salah satu platform wellness yang awalnya hanya fokus pada kegiatan offline menghadirkan kelas yang beragam, pilihan pelatih, hingga peralatan gym terkini, Fit Hub, telah mendapatkan pendanaan awal senilai $3 juta dari sejumlah investor.

Putaran pendanaan awal ini dipimpin oleh Global Founders Capital APAC, dengan partisipasi dari Goodwater Capital dan angel investor. Di antaranya adalah Abhinay Peddisetty, Steven Wongsoredjo, Robin Tan, Benedicto Haryono, dan Philip Tjipto.

Sementara itu venture capital yang sejak pertama kali memberikan dukungan investasi kepada Fit Hub yaitu Trihill Capital, juga turut terlibat dalam putaran pendanaan kali ini.

Kepada DailySocial.id, Alwyn Rusli dari Trihill Capital membagikan cerita alasan mereka berinvestasi kepada platform wellness yang diklaim telah profitable ini.

Pandemi dorong kegiatan olahraga

Jika awalnya kebanyakan masyarakat Indonesia enggan untuk melakukan kegiatan olahraga hingga gaya hidup sehat, saat pandemi semua mulai berubah dan mulai banyak dari mereka mencari kegiatan berkualitas yang berdampak pada peningkatan kesehatan. Pandemi telah mendorong pertumbuhan platform wellness dan olahraga di tanah air.

Layanan seperti Fit Hub kemudian tidak hanya berfungsi sebagai aplikasi untuk pemesanan kegiatan olahraga, namun juga sudah menjadi opsi bagi masyarakat umum untuk mengikuti kelas kebugaran khusus secara online.

Menawarkan Gym Premium dengan harga terjangkau sebelumnya Fit Hub sudah memiliki aplikasi yang terbatas digunakan untuk kegiatan pemesanan saja. Saat pandemi opsi tersebut kemudian mulai diperluas dengan menghadirkan pilihan kelas olahraga online dengan membangun gym yang berbasis digital. Saat ini Fit Hub telah memiliki sekitar 8 ribu lebih pengguna, 210 pelatih dan 16 cabang offline di 5 kota.

“Kita melihat space mana yang bisa kita incar untuk berinvestasi. Fit Hub menjadi ideal bagi kami dilihat dari latar belakang pendirinya yang memiliki pemahaman sangat baik dan melakukan riset hingga terjun langsung untuk melihat potensi pasar,” kata Alwyn.

Ditambahkan olehnya, Trihill capital memutuskan untuk berinvestasi sejak awal, setelah melihat pertumbuhan bisnis yang positif dari Fit Hub. Berawal dari tesis sudah mulai banyak masyarakat yang ingin memiliki gaya hidup sehat, mereka melihat apa yang ditawarkan oleh Fit Hub menjadi relevan dan memiliki potensi untuk terus berkembang.

Fokus Trihill Capital

Berbasis di Singapura, Trihill Capital adalah pemodal ventura yang memiliki visi untuk membangun kemitraan dalam jangka panjang dengan para pendiri startup. Secara khusus Trihill Capital memiliki 2 investment arms, yaitu investasi yang fokus kepada public equities secara global dan satu lagi berinvestasi kepada perusahaan di Asia Tenggara.

Untuk venture arms sendiri disebutkan adalah dalam beberapa tahapan. Mulai dari tahapan awal hingga ke growth stage. Meskipun bersifat agnostik (tidak terfokus pada vertikal bisnis tertentu), namun sebagian besar mereka mengincar kepada layanan fintech, logistik, commerce, dan pemberdayaan UMKM.

Untuk mendukung pertumbuhan bisnis startup, Trihill berupaya untuk mengawal bisnis mereka selama mungkin. Dalam hal ini bagi perusahaan yang ingin memiliki pertumbuhan yang baik dalam jangka panjang, akan terus dibantu oleh mereka. Secara khusus biasanya mereka membantu perusahaan di berbagai tujuan, tetapi terutama di sisi komersial dengan memanfaatkan jaringan perusahaan dan lembaga keuangan (bank dan nonbank).

Tahun ini Trihill Capital masih memiliki rencana untuk memberikan investasi kepada startup di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, meskipun enggan untuk menyebutkan berapa kuota penambahan portofolio. Selain Fit Hub Trihill Capital juga telah memberikan investasi kepada Wagely, Eden Farm, Sicepat, Hey Kafe, Ruang Guru, Woy Makaroni dan BukuWarung.

We are an evergreen fund, kami cukup fleksibel dalam hal penyebaran modal dan dapat bermitra dengan pendiri portofolio kami selama mungkin,” kata Alwyn.

Wifkain Bags Seed Funding Led by Insignia Ventures [UPDATED]

Textile supply chain platform, Wifkain, announced seed funding led by Insignia Ventures Partners with an undisclosed amount. A number of prominent angel investors participated in this round, including the Atome Financial Indonesia‘s CEO, Wawan Salum.

The company positioned itself as a pioneer, Wifkain aspires to be the first technology-based platform to meet the needs of the textile supply chain for fashion brands in Indonesia. Through this funding, Wifkain intends to expand its business reach to SMEs and fashion brand owners, increase the number of merchants, and build a team.

On the general note, Wifkain was founded by former banker and fashion entrepreneur Sara Sofyan (CEO), D2C brand entrepreneur Chindera Soewandy, and former Bukalapak’s executives Rudy Setyo Hartono (CTO) in 2020.

The Co-founder & CEO, Sara Sofyan said many brands had difficulty finding manufacturing partners due to several factors. In that case, Wifkain provides Manufacturing-as-a-Service (MaaS) services by cooperating with various manufacturers in various specialties, capacities, and locations in Indonesia.

“The platform we built connects sellers and buyers directly, simplify the long supply chain by cutting out intermediaries, the transaction process is cheaper, faster, and low risk,” Sara said in her official statement.

Meanwhile, Yinglan Tan, Founding Managing Partner of Insignia Ventures Partners, said that e-commerce and social media make fashion available quickly and easily accessible online. However, the upstream supply chain in Indonesia will remain disconnected and fragmented.

“Thus, Sara and the team at Wifkain are in a strong position to digitize the entire supply chain in the textile industry. They have made significant early-stage progress since launching the platform. We are delighted to be their partner on this journey,” he said.

Challenges and target

Sara views the Indonesian textile industry ecosystem from upstream to downstream has not been fully digitized. The process chain is very long, complex, and not transparent as it involves many intermediaries.

Manufacturing companies also have no integrated system for buyers, limiting their opportunities to increase sales. The ordering process can take up to several days. The level of non-fulfillment (unfulfillment rate) of sales can reach 30-50 percent. This situation forces fashion business people and brand owners through a multi-layered chain of processes.

In addition, traditional textile traders who sell offline have limitations in the choice of products which are relatively expensive, the ordering system is not integrated, and there is no product guarantee.

In fact, Indonesia is one of the largest textile markets and manufacturing centers in the world. Its market value is around 40% of the total global fashion industry market of $55 billion according to the Euromonitor report in 2018. The value is projected to grow at 5% CAGR in 2022.

Wifkain seeks to digitize the supply chain, especially for long-tail merchants in the MSME segment, aka merchants with search volumes and relatively low levels of competition. Through the solutions built, Wifkain wants to increase connectivity, transparency and efficiency for the textile industry supply chain

In order to meet supply chain needs in Indonesia, Wifkain will develop order management and inventory management that will allow order confirmation within a few hours, reduce order non-fulfillment rates to less than 5%, increase production process transparency, and provide analytical data such as demand predictions to suppliers.

Since its commercial service in 2020, Wifkain recorded an 11-fold growth in GMV (YoY) and pocketed 150 merchants (textile and factory traders) on the island of Java. The company claims to be able to complete the sourcing process in one day, faster than the standard which generally takes up to three weeks. It guarantees that there is an efficiency of purchasing costs of up to 50%.

On a separate session with DailySocial, Sara revealed that it is not easy to digitize merchants or textile suppliers with long history of conventional operation. One of the obstacles is shown from the development of technology on the platform to accommodate merchant needs.

“[The development of] technology [for the textile market] does not have many benchmarks in the market, therefore, we have to [do] testing properly according to the needs of merchants,” Sara added.

Although the textile marketplace is relatively new to the Indonesian market, Sara admitted that Wifkain’s business measurement metrics remain the same as the e-commerce model in general, such as Monthly Active User (MAU), Lifetime Value (LTV), and retention rate.

To date, Wifkain merchants are only available in the Java and Bali areas, however, the scope of buyers has reached various locations throughout Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Wifkain Peroleh Pendanaan Awal Dipimpin Insignia Ventures [UPDATED]

Platform supply chain tekstil Wifkain mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal (seed) yang dipimpin oleh Insignia Ventures Partners dengan nominal yang dirahasiakan. Sejumlah angel investor terkemuka ikut berpartisipasi pada putaran ini, termasuk CEO Atome Financial Indonesia Wawan Salum.

Memposisikan diri sebagai pionir, Wifkain berkeinginan untuk menjadi platform berbasis teknologi pertama untuk memenuhi kebutuhan rantai pasokan (supply chain) tekstil bagi fashion brand di Indonesia. Lewat pendanaan ini, Wifkain ingin memperluas jangkauan bisnisnya ke UKM dan pemilik fashion brand, meningkatkan jumlah merchant, dan membangun tim.

Sebagai informasi, Wifkain didirikan oleh mantan bankir dan pengusaha fashion Sara Sofyan (CEO), pengusaha brand D2C Chindera Soewandy, dan eks Bukalapak Rudy Setyo Hartono (CTO) di 2020.

Co-founder & CEO Sara Sofyan mengatakan banyak brand kesulitan mencari mitra manufaktur karena sejumlah faktor. Untuk itu, Wifkain menghadirkan layanan Manufacturing-as-a-Service (MaaS) dengan menggandeng berbagai macam pabrikan di berbagai spesialisasi, kapasitas, dan lokasi di Indonesia.

“Platform yang kami bangun menghubungkan penjual dan pembeli langsung, memotong supply chain yang panjang dengan memangkas perantara, proses transaksi lebih murah, cepat, dan rendah risiko,” ujar Sara dalam keterangan resminya.

Sementara itu, Founding Managing Partner Insignia Ventures Partners Yinglan Tan mengatakan e-commerce dan media sosial membuat fashion dapat tersedia dengan cepat dan mudah diakses secara online. Namun, supply chain hulu di Indonesia akan tetap terputus dan terfragmentasi.

“Maka itu, Sara dan tim di Wifkain memiliki posisi kuat untuk mendigitalkan seluruh rantai pasokan di industri tekstil. Mereka telah membuat kemajuan tahap awal yang signifikan sejak meluncurkan platformnya. Kami senang dapat menjadi partner mereka dalam perjalanan ini,” ujarnya.

Tantangan dan target

Sara melihat ekosistem industri tekstil Indonesia dari hulu ke hilir belum sepenuhnya terdigitalisasi. Rantai prosesnya sangat panjang, kompleks, dan tidak transparan karena melibatkan banyak perantara.

Perusahaan manufaktur juga tidak punya sistem terintegrasi kepada pembeli sehingga membatasi peluang mereka meningkatkan penjualan. Proses pemesanan memakan waktu hingga beberapa hari. Tercatat tingkat ketidakterpenuhan (unfulfillment rate) penjualan bisa mencapai 30-50 persen. Situasi ini memaksa pelaku bisnis fashion dan pemilik brand melalui rantai proses yang berlapis.

Selain itu, pedagang tekstil tradisional yang berjualan secara offline memiliki keterbatasan pada pilihan produk yang harganya relatif mahal, sistem pemesanannya tidak terintegrasi, dan tidak ada jaminan produk.

Padahal Indonesia merupakan salah satu pasar tekstil dan pusat manufaktur terbesar di dunia. Nilai pasarnya berkisar 40% dari total pasar industri fashion global $55 miliar mengacu laporan Euromonitor di 2018. Nilai tersebut diproyeksi tumbuh 5% CAGR di 2022.

Wifkain berupaya mendigitalkan rantai pasokan, terutama bagi long-tail merchant di segmen UMKM alias merchant dengan volume pencarian dan tingkat persaingan yang relatif rendah. Melalui solusi yang dibangun, Wifkain ingin meningkatkan keterhubungan, transparansi, dan efisiensi bagi rantai pasokan industri tekstil

Untuk memenuhi kebutuhan rantai pasok di Indonesia, Wifkain akan mengembangkan order management dan inventory management yang memungkinkan konfirmasi pesanan dalam waktu beberapa jam, menurunkan tingkat ketidakterpenuhan pesanan kurang dari 5%, meningkatkan transparansi proses produksi, dan menyediakan data analisis seperti prediksi permintaan ke pemasok.

Sejak layanannya komersial di 2020, Wifkain mencatat pertumbuhan GMV sebesar 11 kali lipat (YoY) dan mengantongi 150 merchant (pedagang tekstil dan pabrik) di pulau Jawa. Wifkain mengklaim dapat menyelesaikan memproses sourcing dalam satu hari, lebih cepat dibanding standar yang umumnya memakan waktu sampai tiga minggu. Pihaknya menjamin ada efisiensi biaya pembelian hingga 50%.

Dihubungi DailySocial secara terpisah, Sara mengungkap tidak mudah untuk mendigitalisasi merchant atau supplier tekstil yang selama ini beroperasi secara konvensional. Salah satu kendalanya terlihat dari pengembangan teknologi di platform untuk mengakomodasi kebutuhan merchant.

“[Pengembangan] teknologi [untuk pasar tekstil] tidak banyak benchmark-nya di pasar sehingga kami harus [melakukan] testing dengan benar sesuai dengan kebutuhan merchant,” tutur Sara.

Meski marketplace tekstil terbilang baru untuk pasar Indonesia, Sara mengaku metrik pengukuran bisnis Wifkain tetap sama dengan model e-commerce pada umumnya, seperti Monthly Active User (MAU), Lifetime Value (LTV), dan retention rate.

Adapun, saat ini merchant Wifkain baru ada di area Jawa dan Bali, tetapi cakupannya pembelinya sudah menjangkau berbagai lokasi di seluruh Indonesia.

**
Ikuti kuis dan challenge #NgabubureaDS di Instagram @dailysocial.id selama bulan Ramadan, yang akan bagi-bagi hadiah setiap minggunya berupa takjil, hampers hingga langganan konten premium DailySocial.id secara GRATIS. Simak info selengkapnya di sini dan pantau kuis mingguan kami di sini.

Selleri Ingin Berdayakan Peranan Reseller dan Dropshiper di Kota Tier 2 dan 3

Besarnya permintaan dari kota tier 2 dan 3 akan produk fashion lokal, menjadi alasan kuat platform Selleri di luncurkan. Didirikan pada bulan Juni tahun 2021 lalu, fokusnya pada pemberdayaan reseller dan dropshiper. Sellerri menawarkan pilihan untuk semua orang bisa berjualan secara online dan offline.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Selleri Jayant Kumar mengungkapkan, memanfaatkan kemitraan strategis dengan supplier, memudahkan mereka untuk menambah kanal  penjualan memanfaatkan reseller. Selain Jayant, co-founder lainnya yang mendukung pendirian startup ini di antaranya Najmuddin Husein (COO) dan Firman Hasan (CCO).

“Saat ini kami sudah memiliki sekitar 1000 supplier, 45 ribu reseller, dan kurang lebih 120 ribu SKU dalam platform. Dengan menggunakan aplikasi Selleri, mereka yang ingin berjualan tidak perlu khawatir akan modal usaha, risiko menjalankan usaha dan juga tidak perlu memikirkan gudang untuk menyimpan barang. Semua Selleri yang kelola mulai dari transaksi awal hingga proses akhir ke pembeli,” kata Jayant.

Menargetkan mompreneur atau ibu rumah tangga yang sudah memiliki komunitas dan pertemanan yang kuat di masing-masing wilayah, Selleri hadir untuk membantu supplier memasarkan produk lebih luas sekaligus memberikan penghasilan tambahan kepada reseller. Konsep reseller dan dropship sendiri sebenarnya sudah lama diterapkan oleh marketplace, namun Selleri mencatat beberapa tahun terakhir, potensinya semakin berkembang dilihat dari permintaan yang ada.

Semua akses yang ditawarkan oleh Selleri untuk calon reseller bisa dinikmati secara gratis. Dalam hal ini Selleri mendapatkan komisi langsung dari supplier. Kebanyakan supplier-nya saat ini adalah produk fesyen lokal, yang ternyata memang membutuhkan kanal penjualan tambahan.

“Untuk pembayaran meskipun telah menyediakan bank transfer hingga QRIS, namun Selleri mencatat sebanyak 95% pilihan Cash on Delivery (COD) lebih banyak digunakan oleh pembeli untuk opsi pembayaran,” kata Jayant.

Konsep bisnis semacam ini sebenarnya sudah dikenal dengan istilah “social commerce”. Mengandalkan jaringan reseller, beberapa startup juga menyasar segmen pasar yang sama di daerah-daerah. Beberapa aplikasi yang sudah ada sebelumnya seperti RateS, Evermos, CrediMart, Dagangan, Borzo, dan sebagainya.

Pemasaran melalui media sosial

Selain di Jabodetabek, saat ini layanan Selleri juga sudah menjangkau sampai kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebanyakan wilayah tersebut adalah kota tier 2 dan 3, yang tengah mengalami peningkatan minat untuk melakukan pembelian memanfaatkan reseller.

Meskipun saat ini aplikasi seperti marketpalce dan e-commerce sudah banyak dimanfaatkan, namun untuk Selleri pilihan terbanyak para penjual untuk memasarkan produk mereka adalah memanfaatkan Facebook Marketplace hingga Facebook Live.

Fenomena ini yang diklaim membedakan Selleri dengan platform lainnya. Selain itu Selleri juga memberikan opsi pembuatan situs, bagi penjual yang ingin menggunakan pilihan tersebut. Namun kegiatan pemasaran terbanyak yang mereka gunakan adalah melalui media sosial.

Memanfaatkan data yang mereka miliki dari reseller dan dropship, kemudian bisa ditentukan produk mana yang dibutuhkan dan dicari oleh pembeli. Sehingga membantu supplier yang menawarkan fesyen lokal seperti dengan brand kecil hingga menengah bisa memasarkan produk mereka secara akurat. Hal ini diklaim oleh mereka bisa menjadi opsi bagi supplier kecil yang kesulitan untuk bersaing dengan brand lebih besar di marketplace.

Saat ini sudah ada 500 kota di 24 kecamatan yang memanfaatkan reseller dan dropship dari Selleri. Masyarakat yang tinggal di kota seperti Semarang, Banyuwangi, Bukittinggi mulai memanfaatkan konsep ini, karena masih banyak dari mereka yang kurang percaya dengan layanan e-commercre dan marketplace.

“Kami juga melihat berdasarkan pembelian dari pelanggan yang dijual dari reseller, pembeli kebanyakan tidak loyal kepada brand, marketplace dan lainnya. Namun mereka loyal kepada komunitas atau orang yang terpercaya. Karena itu konsep yang kita tawarkan cocok untuk kota di tier 2 dan 3,” kata Jayant.

Tahun lalu Selleri telah berhasil mengantongi pendanaan tahap awal dari investor senilai $610 ribu atau setara 8,7 miliar Rupiah. Venture capital yang terlibat di antaranya adalah Kejora-SBI Orbit. Jika sebelumnya perusahaan memiliki target bisa memberikan penghasilan tambahan sekitar 5 juta rupiah kepada 100 reseller, maka usai mendapatkan dana segar targetnya bertambah hingga ke 1000 reseller.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Suntik Platform Kreator Konten “TipTip” Sebesar 143 Miliar Rupiah

TipTip, platform untuk kreator konten di Asia Tenggara, mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal sebesar $10 juta (sekitar 143 miliar Rupiah). Angka tersebut diklaim sebagai salah satu pendanaan tahap awal terbesar yang pernah ada. Putaran ini dipimpin oleh East Ventures, dengan partisipasi dari Vertex, EMTEK, SMDV, dan beberapa family offices terkemuka.

TipTip didirikan oleh Albert Lucius, eks pendiri di Kudo yang berhasil diakuisisi oleh Grab pada 2017. Saat ini, TipTip beroperasi di Indonesia dan Singapura, memiliki tim lebih dari 70 karyawan.

Mudahkan kreator lakukan monetitsasi

TipTip hadir sebagai platform pilihan bagi kreator konten untuk memonetisasi dari hobi mereka melalui sesi video yang personal, penjualan konten digital premium, dan peluang untuk berinteraksi langsung dengan pengikut (followers) mereka. TipTip turut hadir untuk mengisi kesenjangan akan beberapa fitur penting yang dihadapi oleh kreator konten di negara berkembang di Asia Tenggara, seperti kurangnya peluang monetisasi, pembayaran lokal dan integrasi KYC yang terbatas, serta tantangan terkait pembuatan dan distribusi konten melalui perangkat smartphone.

“Kami sangat menghargai dukungan dan kepercayaan yang kami terima di putaran pendanaan ini sebelum peluncuran TipTip ke publik. Keyakinan mereka semakin memperkuat visi kami akan potensi ekonomi kreator, dan bagaimana solusi yang ditawarkan TipTip dapat menjadi one-stop solution untuk semua content creator di kawasan Asia Tenggara,” ucap Founder TipTip Albert Lucius dalam keterangan resmi, Selasa (29/3).

Menurut Albert, dana segar akan dimanfaatkan perusahaan untuk mengakselerasi pertumbuhan TipTip dalam menjangkau dan memberdayakan ekonomi kreator di kawasan ini. Juga, memperluas tim dan mempercepat adopsi platform. Aplikasi TipTip sendiri belum diresmikan secara publik, peluncuran eksklusif (khusus undangan) rencananya akan dilaksanakan pada April mendatang. Lalu diikuti peluncuran publik untuk pasar Indonesia pada bulan berikutnya.

Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, “Kami percaya pada potensi ekonomi kreator di kawasan ini, terutama setelah melihat pertumbuhan pesat potensi pasar selama pandemi COVID-19. Jelas bagi kita bahwa beberapa perilaku konsumen yang terbentuk selama pandemi akan terus berlangsung setelah pandemi. TipTip berada di posisi yang tepat untuk menangkap hal tersebut. TipTip adalah produk untuk dunia pasca pandemi yang dirancang selama pandemi.”

Pertemukan brand dan influencer

Tercatat saat ini besarnya permintaan untuk kegiatan digital marketing terutama yang memanfaatkan influencer tumbuh secara signifikan jumlahnya. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Influencer Marketing Hub, pandemi telah mempercepat pertumbuhan influencer marketing pada tahun 2020, dan jumlah ini diperkirakan akan berlanjut pada tahun 2021.

Dari hanya $1,7 miliar pada tahun 2016, influencer marketing diperkirakan telah tumbuh menjadi ukuran pasar sebesar $9,7 miliar pada tahun 2020 dan diperkirakan akan melonjak lebih jauh ke $13,8 miliar pada tahun 2021.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa platform yang menyediakan wadah untuk content creator, influencer, dan brand untuk memanfaatkan kegiatan pemasaran dengan konsep tersebut. Mulai dari platform seperti Partipost, AnyMind Group, Hiip, Indonesia Creators Economy besutan IDN Media, hingga Lynk.id yang bertujuan memberikan tools terpadu kepada kreator.

Perusahaan teknologi Gojek pun mengumumkan kerja sama dengan platform marketing influencer Allstars untuk permudah mitra UMKM Gojek terhubung dengan influencer melakukan kegiatan pemasaran. Allstars hadir menyediakan platform untuk menghubungkan brand dengan influencer untuk keperluan promosi di media sosial. Tidak hanya menguntungkan brand, influencer pun sebetulnya juga perlu dijembatani, terlebih bagi mereka yang baru beralih profesi.

ARIA Agritech’s Strategy to Produce New Generation of Indonesian Farmers

One of the biggest obstacles in the agriculture industry is the lack of interest among young generation of becoming farmers. The large amount of land to be cultivated using conventional methods also makes it difficult for most farmers to optimize their performance.

In fact, when there is a pest attack, farmers should have anticipated quickly and it usually requires a large number of workers to carry out the process. As a result, many farmers experienced crop failures and large losses because it was too late to overcome the issue.

Through this problem, ARIA, as an agritech startup, comes with a solution to increase productivity using drones and IoT, while providing prevention and predictive agricultural solutions to large-scale farmers and plantations. In addition, the idea for developing this product is to help farmers and plantation owners get good agricultural products, while at the same time attracting more young farmers to enter the agricultural sector.

ARIA’s Co-Founder & CEO, William Sjaichudin revealed to DailySocial, starting with drone technology, they wanted to be an agritech platform that could help farmers get quality agricultural products with the right planting process, while minimizing labor work in the field.

“Most agritech platforms in Indonesia are currently focused on the supply chain. However, many of them are complaining about the low quality of farmers’ harvests. With the technology and services we have, we want to overcome these problems and focus on quality control,” William said.

Focus on B2B segment

ARIA’s drone spray technology

ARIAwas co-founded by Arden Lim (CPO) and Yosa Rosario (COO). Currently, they operate two business verticals, B2B companies such as plantations and forestry. Especially for B2B clients, ARIA provides SaaS technology that helps them to carry out the planting process using directly connected data, so they can carry out accurate spraying activities.

Meanwhile, for both individual and farmers who own plantations, they expect to apply the best practices that previously been applied to large companies such as Sampoerna, Sahabat Agro Group, Sinarmas, Triputra Group, and as ARIA’s current clients.

“Our target this year is to be able to serve 60 to 70 percent of B2B clients and 30 percent to farmers. We hope that ARIA can also help through programs owned by local governments and available vacant land,” William added.

Starting from technology, ARIA is quite confident to create jobs that attract the new potential farmers in Indonesia. Therefore, the regeneration of farmers can run well, replacing the farmers who are currently fewer in number and most of them have aged.

From the responses of farmers in various regions who welcome their mapping technology and drone spray, ARIA sees the potential to be able to produce new young farmers and drone pilots in the future.

“For the drone pilots, we currently have around 16 people and targeting to grow 40 more by the end of the month. Our drone pilots come from each region, adjusting the demand from the units ordered,” William said

ARIA adopts a business model as a service company. As buying and selling drones is difficult, their way of running a business is to provide drones at a low cost,  service per hectare. Thus, it can be more affordable for farmers. In order to integrated services, ARIA also collaborates with Bayer in the supply of chemicals for agriculture.

“In the future, we want to be able to make our own drones. What distinguishes us from other platforms is our direct approach by providing solutions. We are an end-to-end software and hardware platform for farmers,” William said.

Early stage fundraising plan

Currently, ARIA has secured pre-seed funding, which was organized and led by GK-Plug and Play Indonesia, East Ventures and market leaders in agriculture and logistics such as Triputra Group, Waresix, and Sahabat Group who participated in this series.

ARIA will use this funding to develop its infrastructure network and quickly establish distribution points in 17 branches spread across Indonesia to reach 40 billion hectares of ARIA’s potential market. This development was also accompanied by the purchase of a large drone fleet, as well as the development of a key IoT asset in the form of tracking technology to provide value and impact of change for ARIA customers.

“It is very important for ARIA to deal with the regeneration of young Indonesian farmers, who are constrained by limited land and suffer from working in low-income professions throughout Indonesia. Farmers in Indonesia are slowly dying. ARIA’s vision is to grow a new generation of young millennial farmers who are tech-savvy and able to compete and develop at a global level,” William said.

In order to get a strategic partner who can help ARIA open up more opportunities, in the near future ARIA will also complete an early stage fundraising. It’s in the finalizing stage, according to the plan, ARIA will get the fresh funds at the end of March.

“The biggest advantage in Indonesia as an agriculture country is being a farmer. However, as they are still using the conventional methods, the opportunities and benefits that can be obtained by farmers stay limited. Through ARIA, we want to make the farming profession more profitable,” William concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian