Rencana Bisnis Ngelesin Usai Kantongi Pendanaan Awal dari Astra Ventura

Berawal dari kecintaannya terhadap dunia pendidikan, Anthonius mendirikan platform digital bernama “Ngelesin”, untuk memudahkan orang mendapatkan les privat secara online dan offline. Bukan hanya untuk pelajaran akademik, tapi juga menyediakan opsi pembelajaran nonakademik seperti musik, olahraga, bahasa, dan berbagai konten khusus anak.

Kepada DailySocial, Founder & CEO Ngelesin Anthonius mengungkapkan, layanannya memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan platform edutech lainnya yang saat ini makin marak kehadirannya di Indonesia.

“Saya melihat kebanyakan platform serupa masih mengandalkan pembelajaran memanfaatkan video. Di Ngelesin kami mengedepankan pembelajaran langsung oleh guru yang bergabung. Meskipun awalnya kebanyakan dilakukan secara offline, namun saat pandemi kami mulai melakukan kegiatan belajar mengajar tersebut secara online.”

Didirikan di Bandung tahun 2018 lalu, Ngelesin tahun ini berencana untuk memperluas area layanan ke Jakarta dan Surabaya. Besarnya permintaan menjadi alasan rencana ekspansi tahun ini. Perusahaan juga berencana untuk meluncurkan aplikasi yang telah diperbarui teknologinya dalam tiga bulan ke depan.

Saat ini mereka telah memiliki sekitar 700 guru yang tersebar di Jabodetabek dengan jumlah pengguna sekitar 5 ribu orang. Setiap les privat yang diberikan Ngelesin membatasi 4 siswa untuk 1 guru di setiap sesi. Biaya yang dikenakan mulai dari Rp99 ribu. Komisi yang diberikan kepada guru adalah sekitar 60% dari biaya.

“Seluruh pengajar diseleksi ketat melalui fit & proper test sebelum bergabung di Ngelesin, sehingga terstandardisasi dan well training. Aplikasi booking les ini menjadi one-stop-shopping karena semua kebutuhan mulai dari kategori akademik, keterampilan, olahraga, musik, sampai program short course ada di dalam aplikasi . Pengguna juga bisa memilih sendiri waktu dan tempat pertemuan untuk les,” jelasnya.

Seiring perkembangan minat pembelajaran yang dilakukan secara online, beberapa platform edtech terus memperluas cakupan bisnisnya. Selain Ngelesin, ada beberapa startup yang juga tawarkan kursus dengan pembelajaran langsung lewat telekonferensi. Misalnya Cakap, belum lama ini mereka menghadirkan layanan kursus bahasa Mandarin untuk anak. Tutor juga dilengkapi dengan fitur berbasis augmented reality untuk menghadirkan animasi pembelajaran live yang menyenangkan.

Selain itu, Ruangguru baru-baru ini juga kenalkan layanan kursus bahasa Inggris bersama pengajar profesional dan tersertifikasi. Sementara di segmen B2B, ada beberapa penyelenggara pelatihan online yang melayani pasar lokal, seperti HarukaEdu, Codemi, Skilvul, dan lain sebagainya.

Pendanaan dari Astra Ventura

Selain menyasar segmen B2C, Ngelesin juga menjangkau segmen B2B. Dalam hal ini perusahaan yang ingin melakukan program CSR mereka dengan fokus kepada dunia pendidikan, mereka bisa menjembatani kebutuhan perusahaan dengan siswa di daerah terpencil yang membutuhkan bantuan hingga bimbingan dari guru-guru di kota-kota besar. Saat pandemi makin banyak perusahaan yang kemudian memanfaatkan platform Ngelesin untuk melancarkan kegiatan CSR mereka.

“Harapannya melalui platform kami bisa memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk menyalurkan dana bantuan. Di sisi lain semakin banyak murid-murid di daerah pelosok mendapatkan edukasi terbaik dari guru berpengalaman di kota-kota besar,” kata Anthonius.

Sejalan dengan visi dan misi perusahaan, Astra Ventura kemudian memberikan dana segar kepada Ngelesin awal tahun 2021 ini. Menurut CEO Astra Ventura Jefri R. Sirait, pendanaan akan membantu mereka untuk menjangkau target pasar yang lebih luas dikota-kota lainnya dan mulai masuk program Corporate Social Responsibility (CSR) pendidikan dari korporasi.

Dana segar yang diperoleh juga akan dimanfaatkan untuk menambah jumlah guru, mengembangkan teknologi, melakukan kegiatan promosi dan ekspansi ke kota-kota besar lainnya. Tidak disebutkan berapa jumlah pendanaan tahapan awal yang diterima. Sebelumnya Ngelesin merupakan pemenang Astra Start-Up Challenge Batch 4.

“Sejalan dengan tujuan Astra mencerdaskan Indonesia, Ngelesin menjadi jalan dan solusi untuk memperkuat ekosistem pendidikan di Indonesia melihat kebutuhan pendidikan masyarakat di tengah pandemi. Astra Ventura tentu akan menggenjot pertumbuhan bisnis Ngelesin terutama dalam value chain Astra,” tutur Jefri.

Application Information Will Show Up Here

Startup “SaaS Supply Chain” Advotics Kembali Terima Pendanaan dari East Ventures [UPDATED]

Advotics selaku startup SaaS supply chain untuk brand dan UKM, hari ini (02/3) mengumumkan perolehan pendanaan senilai $2,75 juta (hampir 40 miliar Rupiah) yang dipimpin East Ventures, investor sebelumnya yang memimpin saat putaran tahap awal pada Mei 2019. Dana segar akan dimanfaatkan untuk perluas cakupan solusi ke pasar UKM dan ekspansi tim sales.

Advotics menyediakan solusi SaaS yang membantu brand untuk memahami, memonitor, dan mengelola sistem rantai pasok mereka dengan menyediakan platform yang terintegrasi di seluruh titik distribusi.

Co-Founder & CEO Advotics Boris Sanjaya menuturkan, Indonesia adalah pasar yang besar bagi bisnis solusi teknologi untuk korporasi. Diestimasi nilai pasar peranti lunak di negara ini mencapai $3 miliar dan angka ini akan terus membesar seiring makin banyaknya perusahaan yang bergerak ke arah digitalisasi.

“Ada jutaan perusahaan manufaktur dan distribusi di Indonesia, dari perusahaan kecil hingga perusahaan raksasa. Kami percaya, pasar peranti lunak untuk korporasi di Indonesia akan terus tumbuh seiring dengan makin banyaknya perusahaan yang bergabung dalam tren transformasi digital,” ucapnya dalam keterangan resmi, Selasa (2/3).

Di satu sisi, saat ini  pembatasan mobilitas sebagai dampak dari pandemi menimbulkan beragam tantangan bagi perusahaan yang masih bergantung sepenuhnya kepada petugas di lapangan untuk memantau dan mengelola distribusi. Kendala tersebut membuat mereka menyadari kebutuhan yang mendesak atas sistem manajemen distribusi dan pengecer, solusi yang ditawarkan oleh Advotics.

Boris mengungkapkan, saat ini perusahaan telah bekerja sama dengan lebih dari 70 perusahaan yang bergerak di berbagai sektor industri, seperti FMCG, otomotif, dan material konstruksi. Mereka datang dari level UKM hingga korporasi multinasional, di antaranya Exxonmobil, Danone, Reckitt Benckiser, Sampoerna, Kalbe, dan Mulia Group.

Advotics memiliki sembilan produk SaaS yang menyediakan beragam solusi yang bisa diterapkan di tahapan produksi, pergudangan, dan distribusi. Dengan menggunakan kode QR yang dicetak dalam kemasan produk, mereka membantu brand dalam melacak pergerakan barang di tiap titik distribusi, termasuk informasi mengenai aktivitas tim sales dan kekosongan stok. Perusahaan juga telah mengembangkan sistemnya dengan menyertakan solusi untuk inventory, routing, dan collection.

“Advotics juga mampu memberikan solusi atas permasalahan rantai pasok yang telah lama menyulitkan perusahaan dalam hal operasi di gudang, efisiensi jalur pengiriman barang, dan pengiriman tim sales dengan memanfaatkan teknologi canggih,” tambah Co-Founder & CPO Advotics Jeffry Tani.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, dana segar akan digunakan untuk memperluas cakupan solusi ke pasar UKM, yakni dengan menyediakan sistem online-to-offline yang terintegrasi. Selain itu, sebagian porsi sisanya akan digunakan untuk ekspansi tim sales perusahaan.

Co-Founder & CTO Advotics Hendi Chandi menyampaikan, perusahaan saat ini sedang membangun platform yang menghubungkan brand dengan titik rantai pasok yang berada di luar ekosistem modern. “Berbekal pengalaman kami dalam menyediakan solusi praktis menggunakan teknologi mutakhir, kami percaya diri bahwa solusi Advotics siap guna, mudah digunakan, dan selalu terkoneksi membantu UKM lebih kompetitif.”

Dalam sambutannya, Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca turut memberikan tanggapannya. “Tim Advotics tidak hanya mampu bertahan di tengah pandemi, tetapi makin kuat. Kami percaya diri pendanaan ini akan mempercepat pencapaian misi Advotics, yakni digitalisasi ekosistem rantai pasok dan distribusi Indonesia.”

*Kami menambahkan informasi terkait nominal pendanaan.

Saturdays Boosts Omnichannel Network Expansion After Seed Funding

The direct-to-consumer startup, Saturdays, has just announced seed funding from three venture capitals, including Alpha JWC Ventures, Kinesys Group, and Alto Partners. In fact, this round was closed in 2020, the announcement is just arrived. The fresh funds will be focused on expanding offline stores and strengthening the omnichannel network.

In a general note, Saturdays offers lifestyle products with eyewear as its main business. With the DTC model, Saturdays produced its own lens and frame materials, from design, manufacturing, to direct delivery to consumers. Saturdays was founded by Rama Suparta and Andrew Kandolha in 2016.

In terms of sales, Saturdays has adopted the online-to-offline (O2O) model through websites and retail stores. Its first flagship store is located at Lotte Shopping Avenue, Jakarta, which is integrated with a coffee shop for a lifestyle effect.

Today, Saturdays also announced a new online sales channel, the Saturdays Lifestyle. This application allows users to shop for eyewear products on an O2O basis. Users can now download it via iOS and Android devices.

In his statement, Saturdays’ Co-founder Rama Suparta said that there are some integrated O2O shopping features available for users, such as online purchases, then picking them up at offline stores. Saturdays also present several payment options, including Buy Now Pay Later from Kredivo.

“One of the best features in this application is the Home Try-On reservation. This is Saturdays’ breakthrough by presenting an at-home eyeglass trial program. Customers only need to set a date, select ten frames, set an address, and get selected Arabica coffee, all for free,” Rama said.

Furthermore, Saturdays will continue to add offline store chains with a lifestyle to other big cities this year. Currently, the company has eight offline stores spread across the Jabodetabek area.

According to Rama, since the beginning, Saturdays was inspired by the unicorn startup Warby Parker who kicked off the conventional eyewear industry, by creating products that were authentic, affordable, and easy. Thus, by cutting significant brokerage fees, the company shares a vision of offering high-quality eyewear at affordable prices.

“We want to provide an extraordinary shopping experience for customers who are used to shopping with conventional and boring models. In the future, we will continue to innovate to become the dominant market leader in Indonesia,” Rama concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Saturdays Gencarkan Ekspansi Jaringan Omnichannel Setelah Bukukan Pendanaan Awal

Startup direct-to-consumer Saturdays baru saja mengumumkan pendanaan seed dari tiga pemodal ventura, antara lain Alpha JWC Ventures, Kinesys Group, dan Alto Partners. Sebenarnya putaran ini sudah ditutup sejak tahun 2020 lalu, hanya saja baru diumumkan sekarang. Investasi ini difokuskan untuk ekspansi toko offline dan memperkuat jaringan omnichannel.

Seperti diketahui, Saturdays menawarkan produk lifestyle dengan eyewear sebagai bisnis utamanya. Dengan model DTC, Saturdays memproduksi sendiri material lensa dan frame, mulai dari desain, manufaktur, hingga pengiriman langsung ke konsumen. Saturdays didirikan oleh Rama Suparta dan Andrew Kandolha di 2016.

Dari sisi penjualan, Saturdays mengadopsi model online-to-offline (O2O) melalui website dan toko retail. Toko flagship pertamanya berada di Lotte Shopping Avenue, Jakarta, yang terintegrasi dengan gerai kopi untuk memberi sentuhan lifestyle. 

Kali ini, Saturdays sekaligus mengumumkan channel penjualan online baru, yakni aplikasi Saturdays Lifestyle. Aplikasi ini memungkinkan pengguna untuk berbelanja produk eyewear secara O2O. Kini pengguna sudah bisa mengunduhnya melalui perangkat iOS dan Android.

Dalam keterangannya, Co-founder Saturdays Rama Suparta mengatakan bahwa pengguna dapat menikmati sejumlah fitur belanja O2O yang terintegrasi, seperti melakukan pembelian online, lalu mengambilnya di toko offline. Saturdays juga menghadirkan beberapa opsi pembayaran, seperti Buy Now Pay Later dari Kredivo.

“Salah satu fitur terbaik di aplikasi ini adalah reservasi Home Try-On. Ini merupakan terobosan Saturdays dengan menghadirkan program coba kacamata di rumah. Pelanggan tinggal menentukan tanggal, memilih sepuluh bingkai, menetapkan alamat, dan mendapatkan kopi Arabica pilihan, semua secara gratis,” ujar Rama.

Lebih lanjut, Saturdays akan terus menambah jaringan toko offline dengan sentuhan lifestyle ke kota-kota besar lain di tahun ini. Saat ini, perusahaan telah memiliki delapan toko offline yang tersebar di area Jabodetabek.

Menurut Rama, sejak awal Saturdays terinspirasi oleh startup unicorn Warby Parker yang menggebrak industri kacamata konvensional, dengan menciptakan produk yang otentik, terjangkau, dan mudah. Maka itu, dengan memotong biaya jasa perantara yang signifikan, perusahaan memiliki visi yang sama untuk menawarkan kacamata berkualitas tinggi dengan harga terjangkau.

“Kami ingin memberikan pengalaman berbelanja luar biasa bagi para pelanggan yang terbiasa belanja dengan model konvensional dan membosankan. Ke depannya, kami akan terus berinovasi untuk menjadi pemimpin pasar yang dominan di Indonesia,” tutup Rama.

Application Information Will Show Up Here

Fintech Startup GajiGesa Provides Early Access to Salary for Employees

The thing is, the monthly payroll system in Indonesia held an issue for most workers. According to BPS data, Indonesia has at least 129 million workers, many of whom face financial pressures and difficulties caused by irregular cash flow, monthly payment schedules, unexpected expenses, and limited financial access.

The World Bank FINDEX estimates that 70% of Indonesians borrow money from informal institutions, often with high-interest rates and super-tense collection systems. GajiGesa intends to solve this issue, which was initiated at the end of 2020 by Martyna Malinowska (previously Standard Chartered Bank’s Product Lead and LenddoEFL’s Product Director ) and Vidit Agrawal (formerly APAC Strap’s Head of Business Development, CARRO’s COO , and Uber’s first employee in Asia).

In an interview with DailySocial, Agrawal explained that the idea was first initiated by Martyna, she had to work extensively with blue-collar employees at LenddoEFL, most of whom were unbanked since 2016. Martyna saw firsthand that the challenges to factory workers in gaining financial access were very limited, especially when getting additional capital.

If possible, they choose to take short tenors because of liquidity problems. However, this is contrary to the principle of loans in financial institutions in general, they are required to take long-term loans with higher nominal loans or short-term loans with high-interest rates.

At the same time, Agrawal was working in Southeast Asia for Uber. The average driver earns $250 per month, excluding Singapore. The main issue also concerns harassment by lenders. “Observing the many challenges faced by blue-collar workers to complete short-term access to capital that is fair and reliable is an inspiration for GajiGesa,” Agrawal explained.

GajiGesa provides services for employers and employees in speed up cash flow with financial products, including flexible salary access or what is known as Flexible Earned Wage Access (FEWA), financial education, bill payments, real-time analysis, and more.

For employees, GajiGesa provides real-time access to early salaries for employees for the current month, which can be used to pay bills, buy credit and data packages, and access financial education.

Meanwhile, for employers, the GajiGesa analysis platform provides the HR team to measure the effectiveness of financial health strategies, get real-time visibility into engagement, maintain retention and productivity, and employee financial health.

Employers have the flexibility and control to offer FEWA to all employees, able to decide whether they want to take this service to employees for an additional fee or as part of a benefits package.

Agrawal emphasized that the GajiGesa concept is different from cash loans like those run by most lending companies in Indonesia. The company actually collaborates with various multi-industry companies, integrating with corporate partners HRIS and payroll systems, ensuring efficient and fast integration.

Regarding license, he said that the company currently has a good relationship with OJK and is eager to continue working with regulators to ensure that the technology can benefit as many Indonesians as possible.

Currently, the company has partnered with 30 companies with tens of thousands of employees served in Indonesia.

Seed funding

GajiGesa announced seed funding of $2.5 million led by defy.vc and Quest Ventures. GK Plug and Play, Next Billion Ventures, Alto Partners, Multifamily Office, Kanmo Group, and several strategic angel investors participated in the round.

In an official statement, devy.vc’s Partner Bob Rosin said, “Lack of safe and reliable access to consumer credit is a critical problem in emerging markets. The majority of Indonesia’s 129 million workers are in the unbanked category. It is an honor to work with GajiGesa to support their mission of helping millions of hard workers achieve prosperity and financial security at work.”

Quest Ventures partner, Yiping Goh added, “GajiGesa helps middle to lower-income workers who live from paycheck to paycheck, deal with often stressful cash flow problems by providing the financial stability that employers and their employees urgently need, during times of the current economic uncertainty.

With this fresh fund, Agrawal will use it to expand its range of services, including investment in sales and customer success, and expand its technology team in Jakarta. “GajiGesa wants to add more wellness features for employees to provide a better experience when using the platform,” he concluded.

Global trend

A study conducted by Gartner predicted there will be 20% of US companies with the majority of hourly-paid workers by 2023, implementing flexible salary access solutions as part of efforts to improve worker experience, engagement, and retention.

Various companies have responded to this initiative through partnerships with fintech. Among other things, Square launched salary on-demand products, Visa and PayPal in collaboration with flexible payroll access providers, and Wagestream which also took advantage of this opportunity in Europe.

A study conducted by GajiGesa showed that more than 85% of workers admitted the ease of financial stress after getting access to flexible wages whenever they needed it. Then, the most common reasons for workers to access immediate salaries, including for investment purposes, paying debts, home renovations, vehicle repairs, and medical expenses.

Unfortunately, not all companies can provide this because it is thought to threaten the sustainability of the company’s cash flow. With the same spirit, KoinWorks has also explore this solution, through KoinGaji.

In terms of stage, KoinWorks, which is now a Super Financial App, has been registered as an IKD organizer in the Aggregator cluster at OJK. For the p2p lending product alone, we already have a license.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Fintech GajiGesa Sediakan Akses Gaji Lebih Awal untuk Karyawan

Sistem penggajian bulanan di Indonesia di satu sisi memiliki isu buat sebagian besar pekerja. Menurut data BPS, Indonesia setidaknya memiliki sekitar 129 juta pekerja, banyak di antaranya menghadapi tekanan dan kesulitan finansial yang disebabkan oleh arus kas yang tidak teratur, jadwal pembayaran bulanan, pengeluaran tak terduga, dan akses finansial yang terbatas.

Bank Dunia FINDEX memperkirakan 70% masyarakat Indonesia meminjam uang dari lembaga tidak resmi, kerap kali dengan tingkat bunga tinggi dan sistem penagihan yang mencekam. Isu tersebut dicoba dijawab oleh GajiGesa yang dirintis pada akhir 2020 oleh Martyna Malinowska (sebelumnya Product Lead Bank Standart Chartered dan Product Director LenddoEFL) dan Vidit Agrawal (sebelumnya Head of Business Development APAC Strap, COO CARRO, dan karyawan pertama Uber di Asia).

Dalam wawancara bersama DailySocial, Agrawal menerangkan ide awal pertama kali dikemukakan oleh Martyna, saat di LenddoEFL ia harus bekerja ekstensif dengan karyawan kerah biru yang kebanyakan adalah unbanked sejak 2016. Martyna melihat langsung bahwa tantangan yang dihadapi pekerja pabrik untuk mendapat akses finansial sangat terbatas, terutama saat mendapatkan tambahan modal.

Bila dapat pun, mereka memilih untuk mengambil tenor pendek karena ada masalah likuiditas. Namun hal ini bertentangan dengan prinsip pinjaman di lembaga keuangan pada umumnya, mereka diharuskan untuk mengambil dalam jangka panjang dengan nominal pinjaman lebih tinggi atau jangka pendek dengan suku bunga yang tinggi.

Pada saat yang sama, saat Agrawal bekerja di Asia Tenggara untuk Uber. Rata-rata penghasilan para pengemudi adalah $250 per bulan, tidak termasuk Singapura. Isu utama yang mereka hadapi juga mengenai pelecehan oleh pemberi pinjaman. “Melihat banyak masalah tantangan bagi pekerja kerah biru untuk menyelesaikan akses modal jangka pendek yang adil dan andal menjadi inspirasi bagi GajiGesa,” terang Agrawal.

GajiGesa memberikan layanan untuk pemberi kerja dan karyawan dalam memperlancar arus kas dengan produk finansial, termasuk akses gaji yang fleksibel atau disebut dengan Flexible Earned Wage Access (FEWA), edukasi finansial, pembayaran tagihan, analisa real-time, dan lainnya.

Bagi karyawan, GajiGesa memberikan akses gaji lebih awal untuk karyawan bulan berjalannya secara real-time, yang dapat digunakan untuk membayar tagihan, membeli pulsa dan paket data, dan akses terhadap edukasi finansial.

Sementara bagi pemberi kerja, platform analisa GajiGesa memberikan tim HR untuk mengukur efektivitas strategi kesehatan finansial secara efektif, mendapatkan visibilitas real-time terhadap engagement, menjaga retensi dan produktivitas, dan kesehatan keuangan karyawan.

Pemberi kerja punya fleksibilitas dan kontrol untuk menawarkan FEWA kepada seluruh karyawan, dapat menentukan apakah mereka mau mengambil layanan ini untuk karyawan dengan biaya tambahan atau sebagai bagian dari paket manfaat.

Agrawal menegaskan, konsep GajiGesa berbeda dengan pinjaman cash loan seperti yang dijalankan perusahaan lending kebanyakan di Indonesia. Perusahaan justru bekerja sama dengan berbagai perusahaan multi industri, integrasi dengan mitra perusahaan sistem HRIS dan payroll, memastikan integrasi yang efisien dan cepat.

Terkait izin di OJK, dia hanya menuturkan saat ini perusahaan memiliki hubungan yang baik dengan OJK dan bersemangat untuk terus bekerja dengan regulator untuk memastikan teknologinya dapat bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang Indonesia.

Saat ini perusahaan telah bermitra dengan 30 perusahaan dengan total puluhan ribu karyawan terlayani di Indonesia.

Kantongi pendanaan tahap awal

GajiGesa mengumumkan pendanaan tahap awal sebesar $2,5 juta dipimpin oleh defy.vc dan Quest Ventures. GK Plug and Play, Next Billion Ventures, Alto Partners, Multifamily Office, Kanmo Group, dan beberapa angel investor strategis turut berpartisipasi dalam putaran tersebut.

Dalam keterangan resmi, Partner devy.vc Bob Rosin mengatakan, “Kurangnya akses kredit konsumen yang aman dan terpercaya merupakan permasalahan kritis di pasar negara berkembang. Mayoritas dari 129 juta pekerja di Indonesia termasuk kategori unbanked. Merupakan sebuah kehormatan untuk bekerja sama dengan GajiGesa untuk mendukung misi mereka membantu jutaan pekerja keras mencapai kesejahteraan dan keamanan finansial dalam pekerjaannya.”

Partner Quest Ventures Yiping Goh turut menambahkan, GajiGesa membantu para pekerja berpenghasilan menengah ke bawah yang hidup dari gaji ke gaji, menangani masalah arus kas yang sering kali membuat stres dengan menyediakan stabilitas keuangan yang sangat dibutuhkan oleh pemberi kerja dan karyawan mereka, selama masa ketidakpastian ekonomi seperti sekarang ini.

Dengan dana segar ini, Agrawal akan menggunakannya untuk perluas jangkauan layanan, termasuk investasi pada penjualan dan kesuksesan pelanggan, dan perbesar tim teknologinya di Jakarta. “GajiGesa ingin menambahkan lebih banyak fitur wellness untuk karyawan demi memberikan pengalaman yang lebih baik saat menggunakan platform,” tutupnya.

Tren global

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Gartner, diprediksi pada 2023 mendatang ada 20% perusahaan Amerika Serikat dengan mayoritas pekerja yang dibayar per jam akan menerapkan solusi akses gaji yang fleksibel sebagai bagian dari upaya meningkatkan pengalaman, keterlibatan, dan retensi pekerja.

Inisiatif tersebut dijawab oleh berbagai perusahaan di sana lewat kemitraan bersama fintech. Di antaranya, Square meluncurkan produk gaji on demand, Visa dan PayPal bekerja sama dengan penyedia akses gaji fleksibel, dan Wagestream yang juga memanfaatkan peluang ini di Eropa.

Dalam penelitian yang dilakukan GajiGesa ditemukan, bahwa lebih dari 85% pekerja mengaku stres finansialnya berkurang setelah mendapatkan akses gaji fleksibel kapan pun mereka butuhkan. Lalu alasan paling umum dari para pekerja untuk mengakses gaji lebih awal, di antaranya adalah untuk keperluan investasi, bayar utang, renovasi rumah, perbaikan kendaraan, dan biaya medis.

Namun, sayangnya tidak semua perusahaan bisa menyediakan hal ini karena diperkirakan dapat mengancam keberlangsungan arus kas perusahaan. Dengan semangat yang sama, solusi ini sebenarnya juga sudah dilirik oleh KoinWorks, melalui produk KoinGaji.

Secara status di OJK, KoinWorks yang kini menobatkan diri sebagai Super Financial App telah tercatat sebagai penyelenggara IKD dalam klaster Agregator di OJK. Untuk produk p2p lending itu sendiri, sudah mengantongi izin.

Kantongi Pendanaan Awal, Titik Pintar Fokus Kembangkan Konten Pembelajaran Anak Berkualitas

Startup edtech Titik Pintar mengumumkan telah mengantongi pendanaan tahapan pre-seed dengan nilai yang tidak disebutkan awal tahun ini. Pendanaan ini merupakan salah satu investasi pertama dari Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF), dana yang bertujuan untuk menciptakan dampak sosial dan dikelola bersama oleh Moonshot Ventures serta YCAB Ventures.

Sebelumnya, Titik Pintar juga mendapatkan hibah dari Pemerintah Belanda dan juga investasi dari sejumlah angel investor. Titik Pintar juga merupakan salah satu lulusan DSLaunchpad, program akselerasi startup virtual yang diinisiasi oleh DailySocial.

Kepada DailySocial, Founder & CEO Titik Pintar Robbert Deusing mengungkapkan, untuk jangka pendek pendanaan akan digunakan untuk meningkatkan kualitas produk. Mereka juga ingin menghadirkan lebih banyak konten berkualitas, yaitu dengan meluncurkan Sahabat Pintar, di mana guru-guru, desainer, dan para animator bisa berkolaborasi membuat konten berkualitas.

“Kami bertujuan mengumpulkan kreator konten terbaik, untuk terus memproduksi konten sekaligus menjaga kualitasnya. Saat ini kami sedang membangun fitur multiplayer, yang akan memberikan tantangan untuk para pengguna sehingga mereka semakin tertarik. Kami juga mendapat banyak masukan yang baik soal fitur baru ini,” kata Robbert.

Selain multiplayer, produk lain yang akan dikembangkan adalah sesi konsultasi secara online bersama guru. Para guru nantinya akan membantu anak-anak yang kesulitan melanjutkan permainan dengan memberi penjelasan lebih. Titik Pintar akan memberikan info soal proses pembelajaran anak, sehingga para guru bisa melihat apa yang perlu diperbaiki. Mereka juga bisa mendapatkan pemasukan tambahan dengan sesi konsultasi ini.

“Untuk Sahabat Pintar, kami membatasi jumlah guru hingga 25 orang, sehingga kami bisa fokus ke kualitas kontennya dan memastikan kalau kami menjalankan hal yang tepat. Kami akan berupaya menambah hingga 1000 guru secara perlahan untuk permulaan,” kata Robbert.

Misi jangka panjang Titik Pintar selanjutnya adalah, membuat belajar menjadi menyenangkan bagi semua anak di Indonesia. Dengan menghadirkan konten yang dapat diakses dari mana saja untuk semua orang dan bisa meningkatkan hasil pembelajaran untuk semua pengguna Titik Pintar.

Gamifikasi untuk pengguna

Tim Titik Pintar
Tim Titik Pintar

Saat ini Titik Pintar telah memiliki 10 ribu pengguna aktif setiap bulannya. Selama pandemi, perusahaan mengalami pertumbuhan positif. Dengan makin meningkatnya kegiatan secara online, banyak orang tua yang kemudian mempercayai platform membuat belajar lebih menyenangkan untuk anak-anak sekolah dasar di saat pandemi maupun setelahnya.

Disinggung fitur apa yang menjadi pilihan pengguna, disebutkan mata pelajaran sains yang terfavorit. Secara demografi, platform lebih banyak digunakan oleh pengguna perempuan dibandingkan laki-laki. Sementara beberapa pengguna menyukai Pintar Pod, sebuah minigame yang bisa dimainkan setelah menyelesaikan soal-soal utama. Selain itu, anak-anak juga suka mendapatkan Koin Pintar (yang akan diberikan setiap menyelesaikan soal), untuk mengubah tampilan avatar.

“Pemain terkenal yang sudah ada di luar sana menargetkan pelajar di tingkat yang lebih tinggi. Kami fokus ke pelajar sekolah dasar. Gamifikasi juga menjadi DNA kami, dan merupakan metode pembelajaran yang tepat untuk anak-anak, yaitu belajar sambil bermain,” kata Robbert.

Application Information Will Show Up Here

Esensi Solusi Buana Tawarkan Aplikasi ERP Menyeluruh untuk Bisnis F&B

Sudah jadi cerita lama kalau restoran kesulitan dalam menyelesaikan berbagai masalah demi mencapai efisiensi operasional dan meningkatkan profit, apalagi ketika bisnis mereka terus tumbuh. Gunawan Woen yang memiliki ketertarikan kepada dunia F&B menyadari masalah tersebut untuk terjun sebagai wirausaha sebagai konsultan di firma konsultasi keuangan dan perpajakan dari pekerjaan sebelumnya sebagai auditor di PwC.

Ketertarikan Gunawan di bidang ini bermuara hingga Esensi Solusi Buana (ESB) dirintis, setelah ia bertemu dengan Eka Prasetya, yang kini menjadi salah satu co-founder ESB.

“Kemudian saya diperkenalkan dengan partner-nya Prawiryo dan Dwi Prawira. Mereka bertiga programmer andal banyak handle programming untuk big companies, banks, insurance, tapi kebanyakan jadi subcon (subkontraktor) dari main programmer. So I askem them to build ESB in 2015,” ujar Gunawan sebagai Co-Founder dan CEO ESB kepada DailySocial.

Para co-founder ESB / ESB
Para co-founder ESB / ESB

ESB pertama kali memulai kiprahnya dengan membuat solusi ERP (Enterprise Resource Planning) yang terkustomisasi sesuai kebutuhan brand restoran. Gunawan bahkan mengklaim, solusi yang mereka buat berhasil menggeser brand ERP besar pada waktu itu. Namun, pada pertengahan 2018 memutuskan untuk membuat produk sendiri yang sesuai dengan passion dan keahlian masing-masing.

“Lalu terpikirlah teknologi restoran karena waktu itu bahkan sampai saat ini, belum ada integrated solution yang betul-betul bisa kasih jawaban ke masalah yang dihadapi restoran. Berbekal pengalaman sebagai problem solver untuk banyak klien F&B, kita develop teknologi restoran ESB di tengah 2018, kita start komersial November 2018.”

Dari pengalamannya, restoran akan kehilangan pendapatan mulai dari 10% (bahkan lebih) akibat dari inefisiensi. Oleh karenanya, ada tiga aspek yang perlu ditingkatkan, yakni manajemen order & outlet, manajemen HQ & operasional, dan manajemen purchase & vendor. Solusi tersebut dapat terselesaikan apabila memanfaatkan teknologi.

Model bisnis ESB

Sebagai startup yang bergerak di SaaS, ESB menyediakan beragam solusi menyeluruh untuk restoran, mulai dari bagian ordering, POS (Point of Sales), KDS (Kitchen Display System), CDS (Customer Display System), kios, loyalitas, dan ERP. Gunawan mengklaim dari seluruh solusi tersebut, yang membedakan ESB dengan pemain sejenisnya adalah integrasi dan fokus.

Menurutnya, terkait integrasi, pemain restoran yang mampu beli software fully integrated seperti ini tidak banyak karena harganya sangat mahal. Namun, dengan model bisnis ESB, software tersebut bisa disediakan kepada restoran melalui berlangganan.

“Karena ESB fokus hanya ke industri F&B, membawa kita ke satu konsep yang dinamakan community-based software artinya ESB solve masalah satu brand, kemudian solusi tersebut ditanamkan dalam bentuk enhancement, mengakibatkan brand lain ikut menikmati pengembangannya.”

Hal tersebut menjadi lingkaran pengembangan yang membuat detail dari software ESB, menjadi sangat tajam mengatasi permasalahan dunia F&B. “Tidak mungkin satu perusahaan bisa mengatasi semua permasalahan di suatu industri, tapi kalau dibantu secara urunan oleh banyak brand, hal itu jadi memungkinkan. Solusi yang dipergunakan oleh merchant ESB besok, adalah solusi yang dipergunakan oleh brand-brand besar. Kita membawa best practice dari sisi teknologi ke industri ini.”

Pengembangan solusi ESB kini sudah menyentuh ke aspek integrasi dengan marketplace B2B untuk menghubungkan penyuplai dengan restoran, Business Intelligence (BI), dan Artificial Intelligence (AI). Menurut Gunawan, sebagian besar prosesnya sudah rampung dan akan dirilis resmi pada kuartal pertama tahun ini.

Masuk ke ranah marketplace B2B, ESB ingin permudah proses pengadaan bahan bagi restoran, termasuk membuka kesempatan bagi penyuplai untuk menjual lebih mudah dan aman tanpa harus berinvestasi lebih di armada logistik atau investasi gudang.

“Untuk B2B marketplace, model bisnisnya agak beda. Di sini kita sediakan berbagai kemudahan untuk supplier bisa melakukan proses penjualan ke restoran, membantu restoran memitigasi fraud dan kesalahan-kesalahan dalam proses procurement. Jadi supplier akan membayar untuk kemudahan-kemudahan ini per transaksi dengan harga yang pastinya sama sekali tidak memberatkan.”

Sementara, untuk BI nantinya menggunakan model bisnis berlangganan bulanan dan AI akan dikenakan biayanya berdasarkan kemampuan ESB membawa up sell untuk restoran. Pengembangan fungsi AI diharapkan mampu merekomendasikan menu yang tepat untuk konsumen, menyenangkan untuk mereka, dan membawa keuntungan lebih untuk restoran.

Perusahaan bekerja sama dengan industri jasa keuangan, untuk menyediakan kredit usaha apabila pengguna ESB ingin mengembangkan bisnis ke level berikutnya. “Karena transaksi B2C dan B2B seluruhnya menggunakan platform ESB, maka di sini dapat dipasangkan dengan jasa keuangan. ESB mendapatkan revenue sharing dari bunga tersebut.”

Telah kantongi pendanaan tahap awal

Platform ESB memungkinkan dipakai oleh restoran yang masih skala kecil. Kendati, mayoritas pengguna ESB datang dari brand besar, seperti Boga Group, Ismaya Group, MAP Group, dan Sour Sally Group, dan masih banyak lagi. Gunawan mengklaim software ESB sudah dioptimasi sedemikian rupa, sampai mampu bekerja di hardware spesifikasi rendah.

“Pasalnya, dua cost paling tinggi di restoran itu adalah biaya produksi makanan dan karyawan. ESB fokus bantu penghematan di dua tipe beban ini. Less cost = increased profit.”

Malah, dia mengungkapkan ESB telah memiliki pengguna di Malaysia dan Swiss. Serta, beberapa pengguna di sejumlah negara di Eropa sempat menghubungi ESB karena tertarik dengan solusi yang ditawarkan. “Mereka mengaku tidak menemukan perbandingan yang apple to apple dengan ESB. Which is a good news to me, sayangnya kami belum siap ekspansi ke luar Indonesia. Jadi saya masih batasi pengguna-pengguna di luar Indonesia.”

Terkait pendanaan baru, Gunawan masih menutup rapat-rapat. Akan tetapi ia menginformasikan akan ada pengumuman pada bulan ini. Sebelumnya, ESB dikabarkan telah mengantongi pendanaan tahap awal dari AC Ventures dengan nominal dirahasiakan pada Mei 2020.

Gunawan menuturkan pendanaan yang sudah diterima perusahaan sejauh ini hampir $5 juta (sekitar Rp69,5 miliar). “Pendanaan kami pergunakan untuk perkuat fungsi-fungsi produk, sembari meningkatkan penjualan,” tutupnya.

Lolos ke Y Combinator, Finantier Mulai Gaet Investor Baru untuk Pendanaan Awalnya

Finantier, startup pengembang platform open finance, hari ini (23/12) mengumumkan telah terpilih untuk mengikuti program akselerasi Y Combinator untuk batch Winter 2021 di tahun depan. Bersamaan dengan itu, mereka juga menambah jajaran investor yang turut andil dalam pendanaan awal mereka, yakni Y Combinator dan Two Culture Capital.

Sebelumnya di akhir November 2020 lalu, startup yang digawangi oleh Diego Rojas, Keng Low, dan Edwin Kusuma tersebut mengumumkan pendanaan pra-tahap awal (pre-seed) yang dipimpin oleh East Ventures dengan partisipasi dari AC Ventures dan Genesia Ventures.

Para founder mengharapkan, bergabungnya Finantier ke YC diharapkan dapat menyerap berbagai keahlian ala Silicon Valley untuk memperkuat bisnis dan produk yang dimiliki di pasar Asia Tenggara. Di sisi lain, mereka juga menjadi makin yakin karena isu-isu yang coba diselesaikan melalui teknologinya secara tidak langsung turut tervalidasi.

“Y Combinator adalah kesempatan unik bagi kami untuk mempercepat pertumbuhan dengan bantuan mentor kelas dunia, terhubung dengan beberapa investor tahap awal teratas, dan membangun kemitraan strategis untuk rencana ekspansi masa depan kami,” ujar CEO Finantier Diego Rojas.

Sejak menerima pendanaan pre-seed, Finantier telah menerima sekitar 20 klien di fase beta. Mereka menyuguhkan tiga kapabilitas utama, yakni verifikasi identitas (eKYC); membantu bisnis mengelola data mentah dengan machine learning (big data); dan menghadirkan fitur untuk mengakomodasi pembayaran yang dilakukan rutin atau langganan. Layanan disuguhkan kepada pemain fintech, diintegrasikan melalui mekanisme API.

Turut ditambahkan, dana dari investor baru akan difokuskan untuk meningkatkan tim, teknologi, dan pemasaran. Hadirnya Y Combinator dan Two Culture Capital ke dalam jajaran bisnisnya juga dipandang sebagai kesempatan untuk memperluas cakupan layanan, termasuk di luar Asia Tenggara.

Startup Indonesia di Y Combinator

Per awal tahun ini kami mencatat, setidaknya ada tujuh startup lokal yang sudah bergabung di Y Combinator – di paruh kedua 2020, BukuWarung turut andil dalam program ini. Tidak dimungkiri, program akselerasi berbasis di Mountain View menjadi salah satu katalisator lahirnya startup digital terkemuka. Dropbox, Stripe, Coinbase, Twitch, Reddit, Airbnb adalah beberapa nama-nama alumni program tersebut yang saat ini bisnisnya mendunia.

Y Combinator Startup Indonesia

Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari program ini. Sebelumnya kami pernah merangkum dalam tulisan bertajuk “Studi Banding ke Program Akselerator Y Combinator“.

Salah satu testimoni diberikan oleh Co-Founder Shipper Budi Handoko yang tergabung dalam YC W19. Ia mengatakan, “Orang-orang di YC itu semuanya entrepreneur. Dengan bergabung di program itu kita makin banyak dikenal mitra, investor. Ini kesempatan bagi kami untuk memvalidasi bisnis kepada top entrepreneur. Di sana kami belajar cara presentasi bisnis dengan sangat efisien dan efektif.”

Co-Founder Nustantara Tech & SuperApp.id Steven Wongsoredjo juga mengaku mendapat pengalaman menyenangkan dari keikutsertaannya di program tersebut. Ia bercerita, “Pengalaman YC benar-benar mengubah pola pikir saya. Mereka mengajarkan untuk membuat versi paling sederhana dari produk dan meluncurkan secepat mungkin. Tujuannya untuk menguji apakah tesis kami memiliki kecocokan di pasar. Waktu adalah komoditas paling berharga, jadi kita harus secepat mungkin memastikan itu semua, bukan sekadar berasumsi.”

Hadirkan Teknologi dalam “Urban Farming”, Tunas Farm Dapat Pendanaan Awal dari Gayo Capital

Kesadaran masyarakat akan hidup sehat terus meningkat. Terlebih di kondisi pandemi, tubuh memerlukan nutrisi terbaik agar tercipta daya tahan yang prima. Melihat hal tersebut, Widya Surya Prayoga, Rudwiky Okta Putra, dan Topaz Kumoro menginisiasi Tunas Farm dengan visi mengintegrasikan solusi urban farming dengan teknologi.

Tunas Farm sudah memulainya dengan membangun ruang produksi tanaman indoor farming di kawasan Gading Serpong. Salah satu metode tanam yang diaplikasikan adalah hidroponik. Konsep bisnis yang disajikan berupa B2C, yakni menawarkan farm to table untuk memungkinkan konsumen dapat menikmati sayuran yang baru saja dipetik. Didukung dengan same day delivery oleh tim logistik Tunas Farm sendiri.

Baru-baru ini, untuk mengakselerasi bisnisnya, Tunas Farm menerima pendanaan pre-seed funding dari Gayo Capital. Tidak disebutkan detail nominal yang diterima. Hanya saya dikatakan, dana yang diperoleh akan difokuskan untuk peningkatan sistem hidroponik berbasis teknologi memanfaatkan IoT.

Saat ini Surya dan tim Tunas Farm sedang menyelesaikan persiapan fasilitas di Gading Serpong sebagai tempat produksi sekaligus display indoor vertical farming yang akan selesai dalam waktu dekat. Mereka juga berencana membangun fasilitas serupa di area lain dan akan memberikan pelatihan langsung tentang bagaimana cara bertani di rumah sendiri menggunakan sistem hidroponik.

Ia juga mengatakan, bahwa ke depannya Tunas Farm akan mengeluarkan produk hidroponik kit dengan sistem IoT yang bisa dimiliki oleh masyarakat untuk bertani di rumah sendiri dengan mudah.

Startup teknologi pertanian

Kendati bisnis agritech banyak dikatakan memiliki potensi besar di Indonesia, sejauh ini belum banyak solusi teknologi yang hadir mendemonstrasi proses bercocok tanam secara signifikan. Sementara banyak sekali potensi teknologi yang bisa dimanfaatkan, mulai dari IoT, big data, machine learning, computer vision, dan lain-lain. Tidak dimungkiri, isu di sektor pertanian masih sangat banyak, dari hulu ke hilir.

Salah satu yang mulai banyak diselesaikan terkait rantai pasokan (supply chain); memungkinkan konsumen –baik bisnis maupun konsumer—mengakses produk pertanian langsung dari para petani atau melalui medium yang lebih sederhana. Dampaknya, petani mendapatkan harga jual yang lebih baik kendati dari sisi konsumen pun juga lebih hemat. Selain itu, solusi lain yang mulai banyak adalah seputar pembiayaan produktif untuk mitra petani.

Beberapa startup mulai menghadirkan produk teknologi untuk menunjang pertanian – sebagian masih proses riset (banyak ditemui dalam kegiatan inkubator, kompetisi, maupun hackthon), lainnya sudah mulai diproduksi. Selain Tunas Farm, ada juga Mertani, Tanibox, dan Neurafarm. Mertani hadirkan solusi IoT dan big data untuk memantau petani memantau kondisi lahan perkebunannya dengan skala yang besar.

Adapun Neurafarm menghadirkan aplikasi berbasis kecerdasan buatan bernama “Dr. Tania”, berfungsi membantu petani mengidentifikasi penyakit tanaman melalui analisis dari foto yang diunggah. Di skala yang lebih kecil, Tanibox menghadirkan perangkat berbasis sensor untuk membantu masyarakat bercocok tanam di dalam rumah.