Outpost Layanan Coworking & Coliving Space Berbasis di Bali Dapatkan Pendanaan 18,8 Miliar Rupiah

Pengembang layanan coworking dan coliving space Outpost baru saja mengumumkan perolehan pendanaan awal (seed funding) senilai $1,3 juta atau setara dengan 18,8 miliar Rupiah. Putaran pendanaan ini melibatkan tiga investor, yakni EverHaus, Strypes Holdings dan Clarenberg Ventures.

Saat ini Outpost telah memiliki dua unit properti di Bali dan satu unit properti di Phom Penh, Kamboja. Modal yang baru didapat rencananya akan dimanfaatkan untuk ekspansi ke berbagai wilayah lain di Asia Pasifik. Dalam waktu dekat, properti keempat mereka akan segera diluncurkan, dengan lokasi yang masih dirahasiakan.

Pada dasarnya Outpost berdiri karena melihat tren pekerja remote semakin meningkat. Mereka memfasilitasi kebutuhan ruang kerja untuk individu maupun kelompok (startup). Menurut Co-Founder Outpost David Abraham, generasi digital nomad telah banyak mempengaruhi bisnis di semua tingkatan.

“Pekerja dan pengusaha menginginkan alternatif dari gaya hidup perkotaan yang berintensitas tinggi. Mereka ingin terlibat dengan gaya hidup Asia yang beragam dan menarik sembari menyelesaikan pekerjaan,” ujar Abraham.

Peluang tersebut lalu dijadikan Abraham bersama rekannya Bryan Stewart landasan mendirikan Outpost di lokasi yang strategis. Di Bali, ada dua lokasi properti yang disediakan, yakni di kawasan Ubud dengan suasana pegunungan yang sejuk dan di Canggu dengan suasana pantai yang menawan.

Terkait akomodasi, baik untuk coworking dan coliving space disediakan paket harian, mingguan dan bulanan.

“Asia adalah pusat penemuan dan kewirausahaan. Outpost ingin memimpin dalam pengembangan gaya hidup kerja jarak jauh di Asia Pasifik. Kami adalah tim yang berbasis di Asia dengan pandangan global. Terhubung secara dengan komunitas lokal tempat kami beroperasi adalah penting agar bisa berkelanjutan dan menguntungkan di pasar,” tutup Abraham.

The SaaS Platform Developer for Supply Chain “Advotics” Receives Seed Funding of 39 Billion Rupiah Led by East Ventures

The SaaS platform developer for Offline-to-Online Analytics, today (5/14) announces seed funding led by East Ventures. Some investors are involved in this round, but there is no further detail. The amount has reached $2.7 million (around 39 billion Rupiah). It’s to be focused on developing technology and accelerating user growth.

The platform focuses on supply chain business players in making decision based on data. Most of them are still using offline method in managing and tracking sales and distribution. With loads of documents that must be managed manually, they only spend time for routines, not for something strategic.

“Clients can buy solutions that suits their issue, either comprehensive digitization or certain modules. Advotics also provides features on demand, such as productivity apps to monitor in-store employees with geographic tracking system, route and items distribution, offline-to-online marketing, B2B trading, and analytics and business intelligence dashboard for the management team,” Advotics’ Co-Founder & CTO, Hendi Chandi.

Advotics tries to digitize data related to labor, business networks, and the company’s physical asset and products. The main objective is to transform data from trading activities and offline work in field to be a useful data to help management team in making business decision, such as marketing penetration, productivity, and retail sales strategy.

One of Advotics breakthrough is to digitize products through unique identities, such as QR codes printed on product packaging. It’s to help the company track the product location from the first distributor to the consumer, and keep it against fraud.

“The Advotics team managed to solve the issue on supply chain monitoring in Indonesia. Their solution can help companies monitor the movement of labor and its items. The collected data point can be used to understand the heatmap of product distribution and make an efficient supply chain in Indonesia. We welcome the Advotics team to the B2B ecosystem in East Ventures,” East Ventures Managing Partner, Willson Cuaca said.

The Advotics management team consists of three engineers with various background, Boris Sanjaya is an industrial engineer with experience in consulting in Boston Consulting Group (BCG); Hendi Chandi as former software developer senior in Amazon, also a graduate from computer science in University of Washington Seattle; and Jeffry Tani which acquired Ph.D in engineer from MIT.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pengembang Platform SaaS Supply Chain “Advotics” Dapatkan Pendanaan Awal 39 Miliar Rupiah yang Dipimpin East Ventures

Advotics startup pengembang layanan SaaS Offline-to-Online Analytics hari ini (14/5) mengumumkan telah mendapatkan pendanaan awal (seed funding) yang dipimpin oleh East Ventures. Turut terlibat beberapa investor dalam putaran pendanaan ini, namun tidak disebutkan detailnya. Nilai pendanaan mencapai $2,7 juta (atau setara dengan 39 miliar Rupiah). Pendanaan tersebut akan difokuskan untuk pengembangan teknologi dan mempercepat pertumbuhan pengguna.

Platform Advotics fokus membantu pebisnis rantai pasokan barang (supply chain) dalam mengambil keputusan berdasarkan data. Sebagian besar pelaku bisnis masih mengandalkan metode offline dalam mengelola dan melacak operasional penjualan dan distribusi. Dengan banyaknya dokumen yang harus dikelola secara manual, para pebisnis menghabiskan waktu hanya untuk pekerjaan rutin, bukan untuk sesuatu yang bersifat strategis.

“Klien dapat membeli solusi yang sesuai dengan kebutuhan mereka, baik berupa solusi digitalisasi yang menyeluruh atau hanya modul tertentu saja. Advotics juga menyediakan fitur yang sangat diminati oleh pelaku industri, seperti aplikasi produktivitas untuk memantau pekerja di dalam toko dengan sistem pelacakan geografis, sistem pengaturan rute dan pengiriman barang, sistem pemasaran offline-to-online, platform perdagangan B2B, serta dasbor analitik dan business intelligence untuk tim manajemen,” ujar Co-Founder & CTO Advotics Hendi Chandi.

Advotics mencoba mendigitalkan data-data terkait tenaga kerja,  jaringan bisnis, serta aset dan produk fisik milik perusahaan. Tujuan utamanya adalah untuk mengubah data dari aktivitas perdagangan dan pekerjaan offline di lapangan menjadi data berguna yang bisa membantu tim manajemen dalam membuat keputusan bisnis penting seperti penetrasi penjualan, produktivitas, serta strategi penjualan ritel.

Salah satu terobosan yang dilakukan Advotics adalah dengan mendigitalkan produk melalui penggunaan identitas unik, seperti kode QR yang dicetak pada kemasan produk. Hak tersebut dinilai dapat membantu perusahaan melacak keberadaan produk mulai dari distributor pertama hingga ke tangan konsumen, serta melindungi dari adanya pemalsuan produk.

“Tim Advotics berhasil mengatasi inti masalah dalam pemantauan rantai pasokan di Indonesia. Solusi Advotics bisa membantu para perusahaan dalam memantau pergerakan tenaga kerja dan barang-barang mereka. Data point yang dikumpulkan bisa digunakan untuk memahami peta persebaran (heatmap) dari distribusi produk dan mengefisienkan rantai pasokan. Kami percaya ini hanyalah awal dari transformasi rantai pasokan di Indonesia. Kami menyambut baik masuknya tim Advotics ke dalam ekosistem B2B dari East Ventures,” sambut Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Tim manajemen Advotics terdiri atas tiga engineer dengan latar belakang yang beragam, yakni Boris Sanjaya adalah seorang industrial engineer dengan pengalaman konsultasi di Boston Consulting Group (BCG); Hendi Chandi mantan software developer senior di Amazon, serta lulusan dari program teknik komputer University of Washington Seattle; dan Jeffry Tani merupakan pemegang gelar Ph.D. teknik mesin dari MIT.

Startup Fintech Syariah Alami Dapatkan Pendanaan Awal dari tryb Group

PT Alami Teknologi Sharia Group (Alami) sebagai platform fintech agregator syariah yang kini juga memulai layanan peer-to-peer (p2p) lending baru saja mendapatkan pendanaan dalam pra-seed round yang dipimpin oleh tryb Group. Tidak disebutkan mengenai besaran pendanaan yang didapatkan. Modal yang didapat akan dialokasikan untuk pengembangan produk dan teknologi agar semakin mudah digunakan oleh masyarakat.

“Kami sangat senang mengumumkan kemitraan kami dengan tryb dan investasi mereka ke Alami. Keahlian fintech di pasar Asia Tenggara yang dimiliki tryb memberikan validasi yang kuat terhadap model bisnis, sekaligus menjadi dukungan bagi pertumbuhan kami,” ujar Founder & CEO Alami Dima Djani.

Sementara itu Principal tryb Group Herston Powers menyampaikan, “Pasar fintech syariah sangat besar dan belum dioptimalkan di Indonesia. Indonesia memiliki populasi muslim terbesar di dunia, namun sektor keuangan syariah secara historis tertinggal ketimbang yang lain.”.

Dalam operasionalnya sebagai pemain fintech, Alami sudah mendapatkan perizinan dan pengawasan dari OJK. Dima turut menceritakan mengenai alasan Alami hadir di lanskap p2p lending. Di kalangan UKM, akses permodalan menjadi permasalahan yang cukup pelik, terlebih yang menerapkan prinsip-prinsip syariah.

“Kami memiliki tujuan untuk menyediakan akses modal yang diatur oleh prinsip-prinsip syariah bersama dengan pendidikan yang diperlukan untuk meningkatkan literasi keuangan untuk semua pelaku pasar. Dengan meningkatnya adopsi teknologi bagi UKM dan individu,” lanjut Dima.

SelenaGo Lakukan Perombakan Menyeluruh, Didukung Pendanaan Awal dari UMG Idealab

Tahun 2019 menjadi tahapan yang penting bagi SelenaGo. Layanan yang menawarkan ragam aktivitas dan teman beperginan ini mengalami sejumlah perombakan, mulai dari nama domain, aplikasi hingga tim manajemen. Transformasi SelenaGo yang baru ini didukung dengan seed funding dari UMG Idealab.

Didirikan sejak 2017, SelenaGo resmi dihadirkan kembali pada April 2019. Kali ini startup yang bermarkas di Yogyakarta itu dinahkodai oleh Artin Wuriyani dan sudah menyiapkan beberapa strategi untuk bisa mendapatkan traksi pengguna.

Kepada DailySocial Artin menjelaskan, akan ada dua tahap penting dalam perjalanan SelenaGo yang baru. Tahap pertama sistem akan mampu menampilkan aktivitas yang ditawarkan dan bisa dipesan oleh pengguna, lengkap dengan transaksinya. Setiap aktivitas akan memiliki rating dari pengguna.

Artin juga menjelaskan bahwa secara teknis akan ada perubahan menyeluruh. Jika di awal kemunculannya  hanya berperan sebagai platform mencari teman untuk berpergian, kini SelenaGo menawarkan aktivitas yang lebih lengkap, mulai dari traveling, workshop, hingga pementasan budaya.

Pada tahap selanjutnya, Artin ingin membawa SelenaGo tidak hanya fokus pada bisnis, tetapi juga fokus pada isu-isu sosial, lingkungan, dan wisata lokal. Mencoba menawarkan pengalaman terbaik bagi setiap penggunanya.

“Seperti rekan-rekan startup yang lain saya diberikan challenge untuk membuat konsep yang berbeda dan membuat bisnis plan yang jelas dari SelenaGo. Sedangkan pada saat ini UMG Idealab memberikan seed funding pada kami,” jelas Artin.

Pendanaan dari UMG Idealab akan dimanfaatkan SelenaGo untuk berbenah. Salah satu yang tengah diupayakan adalah pengembangan fitur yang lebih lengkap, seperti untuk membantu merchant partner menawarkan keuntungan bagi setiap “teman Selena”, sebutan untuk para pengguna Selena.

Menawarkan aktivitas menarik

Untuk menambah daftar aktivitas yang ada di dalam sistem, mereka membuka kesempatan bagi siapa pun menjadi rekanan. SelenaGo akan menarik biaya hanya untuk aktivitas berbayar, biaya yang dikenakan sebesar 8% untuk desa wisata dan 10% untuk kegiatan umum dari total transaksi setiap aktivitas.

Untuk saat ini sudah ada beberapa paket kegiatan yang terdaftar, seperti Paket Belajar Kesenian, Paket Desa Wisata Krebet, Workshop Membatik, dan kegiatan lainnya yang akan terus ditambah sejalan dengan fokus SelenaGo tahun ini.

“[Untuk tahun ini] target meningkatkan kualtias aktivitas sehingga Selena lebih dikenal dan diminati sebagai platform untuk solusi aktivitas,” tutup Artin.

Doogether Announces Seed Funding Led by Gobi Agung

The platform for fitness center booking Doogether announces seed funding led by Gobi Agung, supported by Everhaus, Prasetia Dwidharma, and Cana Asia at undisclosed value. Previously, the company has received funding from some investors including Erick Thohir (Head of MAHAKA Group) and Alexander Rusli (Former CEO of Indosat Ooredoo and Founder of Digiasia Bios).

DOOgether will use the fresh funding to achieve three main objectives, expanding network of fitness classes, developing app, and recruiting talents.

In the official release, Gobi Agung’s Venture Partner, Arya Masagung said, “If we do reflect to the world trend, when a country is getting through modernization and economy growth, the healthy lifestyle will be one of the most developing sectors.”

In Indonesia, practically, there is no local competitor with the same market as Doogether. The closest one is ClassPass which has acquired the regional player, Guava Pass, last year.

Aside from Jabodetabek, Doogether is now available in Bandung and Bali with total user reaching 20 thousand.

“As a special app for Indonesia’s population, Doogether ensures to provide a platform that is perfectly match our consumer’s demand,” Doogether’s CEO, Fauzan Gani said.

Three year business operation

Entering the third year, Doogether claims a rapid growth with validated market. The company is said to have grown 200% in a year.

To DailySocial, Gani explained, “This product was made organic with 200% year-to-year growth. Imagine if we had investors and to spend in marketing, how much we’ll grow.”

In terms of product, Doogether has vision to get to know user by giving various options. The latest is Dooaccess, to allow basic user to enjoy the service with only Rp100 thousand per month.

Currently, the platform with a campaign “Olahraga Tanpa Batas” has partnered up with venues from all kinds of sports, such as football, basketball, athletic, wall climbing, and gym. There are more than 200 locations, offering 19 thousand classes for those who want to have long-term investment in their body.

Tightening position in the industry

In 2016, there are 25 fitness center in Jakarta, and now 100, only in the Southern. Starts from there, Doogether intends to change how the business work by providing SaaS (System as a Service) to facilitate them in getting user’s data.

“We’ll expand the network and gather at least 500 fitness center, and develop the platform to be the biggest healthy lifestyle community in Indonesia,” he added.

In an effort to acquire user, the company also formed up with some players in the ecosystem, such as F&B for additional value when booking through the app. It also impactful to boost up the fitness center popularity and create opportunity for collaboration with other parties.

Helmy Rianda, Doogether’s COO said, “We’re in a collaboration process for employee benefit for companies. Therefore, we’re available not only for those who want to workout,also for companies to concern more on the current health campaign.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Doogether Umumkan Perolehan Dana Awal, Dipimpin Gobi Agung

Platform pemesanan pusat kebugaran Doogether mengumumkan perolehan dana awal yang dipimpin Gobi Agung dan didukung Everhaus, Prasetia Dwidharma, dan Cana Asia dalam jumlah yang tidak disebutkan. Sebelumnya, perusahaan telah mendapatkan pendanaan dari sejumlah investor, seperti Erick Thohir (Pemimpin MAHAKA Group) dan Alexander Rusli (Mantan CEO Indosat Ooredoo dan Founder Digiasia Bios).

DOOgether akan memfokuskan dana segar ini untuk mencapai tiga tujuan utama, yakni memperluas jaringan kelas olahraga, mengembangkan aplikasi, dan merekrut talenta profesional.

Dalam keterangan resminya, Venture Partner Gobi Agung Arya Masagung menyatakan “Jika berkaca pada tren dunia, ketika sebuah negara melalui masa modernisasi dan kemajuan ekonomi, gaya hidup sehat dan bugar akan menjadi salah satu sektor terbesar yang ikut tumbuh.”

Di Indonesia praktis tidak ada pesaing lokal yang memiliki pangsa pasar serupa Doogether. Satu-satunya pesaing terdekat adalah ClassPass yang baru saja mengakuisisi pemain regional Guava Pass awal tahun ini.

Selain Jabodetabek, Doogether kini juga telah hadir di Bandung dan Bali, dengan total pengguna mencapai 20 ribu.

“Sebagai aplikasi yang secara khusus hadir untuk masyarakat Indonesia, Doogether yakin dapat menghadirkan platform yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan konsumen kami,” ujar CEO Doogether Fauzan Gani.

Pencapaian selama tiga tahun

Memasuki tahun ketiga, Doogether mengklaim perkembangan pesat dengan pangsa pasar yang sudah tervalidasi. Perusahaan menyatakan telah mencapai pertumbuhan 200% dalam setahun.

Kepada DailySocial, Fauzan mengatakan, “Produk ini kita buat semua organik dengan year-to-year growth 200%. Bayangkan kalau ada yang invest dan kita bisa spend di marketing, seberapa besar kita akan tumbuh.”

Secara produk, Doogether memiliki visi lebih memahami user dengan memberikan pilihan untuk berbagai varian level. Produk terbaru yang diluncurkan adalah Dooaccess, memudahkan pengguna pemula mencoba layanan ini dengan biaya Rp100 ribu tiap bulan.

Saat ini, platform yang mengangkat semangat “Olahraga Tanpa Batas” ini telah bekerja sama dengan banyak venue dari berbagai bidang olahraga, seperti sepak bola, bola basket, lari, wall climbing, dan tempat gym. Terdapat lebih dari 200 tempat olahraga yang menawarkan sekitar 19 ribu kelas bagi para pengguna yang ingin berinvestasi jangka panjang pada tubuh mereka.

Memperkuat posisi di industri

Di tahun 2016, tempat olahraga di Jakarta hanya ada 25, sekarang sudah berkembang menjadi 100 lokasi di Jakarta Selatan saja. Berangkat dari situ, Doogether ingin mengubah cara kerja bisnis di tempat-tempat olahraga tersebut dengan menawarkan layanan SaaS (System as a Service) agar mereka bisa mendapatkan data dari setiap pengguna yang datang.

“Kami akan memperluas jaringan dan menggandeng setidaknya 500 tempat olahraga serta melakukan pengembangan pada platform untuk menjadi biggest healthy lifestyle community di Indonesia,” ungkap Fauzan.

Dalam upaya menggaet user, perusahaan juga bekerja sama dengan sejumlah pemain di dalam ekosistem, contohnya industri F&B untuk memberikan nilai tambah pada saat pengguna memesan tempat melalui aplikasi. Hal ini juga berdampak dalam memaksimalkan profit tempat olahraga dan membuka peluang banyak pihak untuk ikut berkolaborasi.

Di tahun 2019 ini, DOOgether mengaku akan fokus untuk membangun pilar-pilar ekosistem mereka, tidak hanya di tempat olahraga. Selain itu, mereka mulai menyasar perusahaan-perusahaan yang kian peduli dengan gaya hidup karyawannya, salah satunya menganjurkan berolahraga dengan menginstalasi aplikasi pemesanan tempat olahraga.

COO Doogether Helmy Rianda menegaskan, “Kita sedang dalam proses kolaborasi untuk employee benefit di perusahaan. Jadi, kami hadir bukan hanya untuk orang-orang yang ingin berolahraga, juga untuk perusahaan bisa lebih peduli dengan kampanye kesehatan yang ada saat ini.”

Application Information Will Show Up Here

Tempo.co Berinvestasi Tahap Awal untuk Platform Edukasi Bisnis Kuliner “Foodizz”

Media daring Tempo.co berinvestasi tahap awal untuk startup edukasi bisnis kuliner Foodizz dengan nilai yang tidak disebutkan. Foodizz akan memanfaatkan infrastruktur Tempo.co dan melakukan cross border content untuk memperluas jaringan pengguna.

CEO Foodizz Andrew Ryan Sinaga mengatakan, Tempo.co adalah investor strategis yang memiliki jaringan pembaca yang selaras dengan target pengguna Foodizz yakni berusia 25 tahun ke atas, first jobber, dan sebagainya. Disebutkan juga sekitar 40% pembaca Tempo.co adalah wirausahawan.

“Kita mau leverage infrastruktur media punya Tempo karena mereka itu punya demografi yang sama seperti kita. Kemungkinan cross border content juga bakal dilakukan karena setahu saya kanal yang paling banyak di baca di Tempo itu kanal bisnis,” ucapnya, Kamis (14/3).

Dalam kesempatan yang sama, CEO Tempo.co Toriq Hadad menyebut bisnis kuliner adalah hal yang tidak dikuasai Tempo. Meski demikian, pihaknya melihat segmen ini memiliki prospek yang sangat menarik karena kuliner itu bisnis yang selalu memiliki demand.

“Tempo sangat eager utuk bantu semua orang yang mau usaha kuliner karena buying power-nya selalu ada di sini. Tapi jujur, kami ini tidak berpengalaman di dunia ini,” kata Toriq.

Secara potensi pasar, PDB yang disumbangkan dari industri kuliner tertinggi, sebesar 42% terhadap total PDB ekonomi kreatif pada 2016. Kemudian disusul oleh fesyen (18,15%), dan kriya (15,7%). Menurut BPS, jumlah tenaga kerja yang disumbangkan dari kuliner sebanyak 51% dari total pekerja ekraf 7,5 juta orang.

Hanya saja, ada tantangan yang cukup fundamental dihadapi oleh pebisnis kuliner, yakni isu pengetahuan, jaringan, dan sumber pendanaan. Menurut Kementerian Perindustrian, 90% pebisnis kuliner itu sering mengalami kebangkrutan dan 99% pebisnis gagal memiliki cabang lebih dari satu outlet.

“Berangkat dari fakta tersebut, Foodizz memberikan solusi untuk para pebisnis kuliner dengan menyediakan pembelajaran bisnis kuliner yang lengkap, dan dibawakan oleh para expert, dan disajikan dalam format online,” tambah Andrew.

Model bisnis Foodizz

Andrew menjelaskan Foodizz bekerja sama dengan para ahli kuliner, pemilik bisnis, dan profesional untuk berbagi konten soal bisnis kuliner dari berbagai aspek, baik itu teknikal maupun tips. Sekarang ada 15 ahli kuliner yang sudah mengisi konten di Foodizz dan dapat diakses lewat situs maupun aplikasi Foodizz.

Dia menargetkan setidaknya sampai akhir tahun ini Foodizz dapat bekerja sama dengan 50 ahli kuliner dan menghasilkan lebih dari 1000 konten. Untuk perdalam keahlian, Foodiz juga tengah membuat modul bisnis bersama SBM ITB sebagai standar pembelajaran dan menjadi basis awal pembuatan setiap konten.

“Dalam modul itu akan dibuat sangat detil, mulai dari persiapan awal, sampai tahap ideation, sehingga bisa menyasar semua skala bisnis usaha. Rencananya Mei 2019 akan dirilis.”

Ke depannya Foodizz berencana membuat sertifikat yang bisa disimpan para penggunanya. Sertifikat tersebut bisa digunakan sebagai persyaratan apabila mereka berniat untuk mengikuti pameran di luar negeri yang disponsori oleh pemerintah.

Sertifikat ini sekaligus memberikan solusi kepada pemerintah. Andrew bercerita, Kementerian Koperasi dan UKM mengaku kesulitan saat melakukan kurasi peserta kuliner yang akan diajak untuk pameran di luar negeri. Kualitas kurasi pun tidak memiliki standar yang pasti.

“Nanti sertifikat yang sudah dipelajari oleh pengguna dapat dihubungkan dengan para stakeholder untuk berbagai kebutuhan. Proposisi unik yang kami tawarkan ini mendapat dukungan dari pemerintah.”

Dia menyebut, sejak Foodizz dirilis pada awal tahun ini, telah menjaring lebih dari 20 ribu komunitas. Sebanyak 2.500 pengguna aktif mengakses aplikasi Foodizz setiap harinya, dari angka tersebut 200 orang di antaranya adalah pengguna berbayar. 90% dari pengguna ini adalah pengusaha kuliner yang memiliki 1-3 gerai.

Mereka membayar biaya keanggotaan sebesar Rp2,5 juta untuk mengakses konten sepuasnya selama enam bulan. Keanggotaan ini sekaligus jadi satu-satunya monetisasi dari Foodizz. Ditargetkan sampai akhir tahun ini Foodizz dapat menambah anggota berbayar jadi 100 ribu orang. Target ini akan dicapai dengan mengadakan workshop edukasi yang siap ditempuh lewat jalur offline di berbagai lokasi.

“Workshop edukasi offline itu juga penting karena kita juga bisa berhubungan dengan stakeholder lain seperti industri keuangan, Bekraf, dan pemerintah provinsi. Membangun komunitas kuliner ini penting sebab susah ditemukan, beda dengan startup pada umumnya.”

Jalur monetisasi berikutnya adalah investor relation. Foodizz akan membantu pengusaha yang membutuhkan kapital dan dihubungkan dengan investor yang tepat. Andrew bilang jalur tersebut sudah tersedia, namun belum jadi fokus utama tahun ini.

Platform Media Busana dan Gaya Hidup “The Shonet” Umumkan Pendanaan Awal dari Maloekoe Ventures

The Shonet (akronim dari “Shopping Network”) merupakan platform media sosial yang fokus pada konten busana, kecantikan, dan gaya hidup di Indonesia. Baru-baru ini startup tersebut mendapatkan pendanaan awal (seed funding) dari Maloekoe Ventures. Tidak disebutkan detail nilai pendanaan. Rencananya modal tambahan tersebut akan digunakan untuk meningkatkan teknologi, pemasaran, dan tim.

Melalui layanannya, The Shonet ingin menyatukan semua pihak yang terlibat dalam tren busana, mulai dari pakar, jurnalis, dan penikmat sehingga dapat saling berbagi dan menginspirasi. Merek atau pengusung busana pada akhirnya dapat turut menjual atau mengiklankan produknya melalui platform tersebut. Konten The Shonet saat ini juga sudah diintegrasikan dengan beberapa aplikasi, termasuk Grab Daily dan Line Today.

Startup ini didirikan oleh Elisabeth Kurniawan bersama dengan Erick Soedjasa dan beberapa pakar lain di dunia media. Elisabeth sendiri sebelumnya bekerja untuk beberapa merek busana internasional seperti Cartier, Van Cleef & Arpels, dan Saint Laurent. Ia juga menjadi salah satu sosok pendiri portal Popbela.com, media khusus perempuan di jaringan IDN Media.

Selain itu The Shonet juga diperkuat jajaran direksi, termasuk Bing Chen mantan Global Head of Creator Development & Management YouTube, yang akan membantu merancang dan memberi arahan berkaitan dengan pengembangan ekosistem influencer di platform.

“Bersama The Shonet kita akan mendefinisikan kembali kultur masa depan dan komersialisasi busana, kecantikan, dan gaya hidup di wilayah Asia Tenggara,” ujar Elisabeth yang juga menjabat sebagai CEO.

Mengenai pendanaan yang diberikan, Managing Partner Maloekoe Ventures Andrien Gheur mengatakan, The Shonet menghadirkan platform unik yang dapat memberdayakan influencer dan konsumen penggemar dunia busana, sembari memungkinkan merek dan pengiklan untuk mencapai target pasar secara spesifik. Platform ini juga didesain untuk mengakomodasi kebutuhan milenial dan gen Z dalam menemukan informasi berkaitan dengan tren busana.

Indonesia saat ini diperkirakan memiliki 43 pengguna internet aktif dari kalangan milenial dan gen Z. Demografi pengguna tersebut diprediksi akan menghasilkan pendapatan dari pembelian online hingga $16,5 miliar di tahun 2021 mendatang. Kategori utama yang paling diminati ialah terkait busana dan gaya hidup. Peluang tersebut yang ingin digali lebih dalam oleh The Shonet.

Talkabot Hadirkan Layanan Chatbot yang Terintegrasi dengan Sistem Inventaris Bisnis

Talkabot merupakan startup pengembang layanan chatbot yang didesain untuk diintegrasikan dengan sistem inventaris organisasi atau bisnis. Dilengkapi dengan kecerdasan buatan (AI – artificial intelligence), Talkabot juga disuguhkan agar bisa memberikan balasan otomatis melayani aktivitas komunikasi antara konsumen dengan pemilik merchant.

Startup yang sudah berdiri sejak pertengahan tahun 2017 ini memiliki dua orang founder, yakni Distra Vantari dan Eka Ginting. Talkabot bermarkas di Bandung, namun demikian saat ini layanannya sudah banyak digunakan oleh pemilik brand dari Bandung dan Jakarta. Baru-baru ini pihaknya mengumumkan telah mendapatkan bantuan dana hibah dari program PPBT Kemenristekdikti 2018. Talkabot juga baru mendapatkan pendanaan dari angel investor.

“Talkabot tidak hanya membuat chatbot, tapi kami juga menyediakan omni-channel chat sehingga pebisnis dapat menjawab pertanyaan dari semua chat platform seperti Line, Facebook Messenger, Live Chat Website dan Whatsapp; di mana jika pengelola sedang tidak dapat menjawab dapat di-takeover oleh bot,” ujar Distra selaku Founder & CEO Talkabot.

Diintegrasikan dengan sistem inventaris bisnis, layanan Talkabot dapat memfasilitasi berbagai jenis transaksi, misalnya memberikan daftar barang jualan kepada pembeli. Juga untuk fungsi sebagai mesin pencari barang dan melakukan komparasi harga, melakukan pemesanan, hingga meletakkannya pesanan pada shopping cart milik brand.

“Talkabot dapat membuatkan chatbot yang dapat membantu menangani transaksi dari pencarian produk sampai pembayaran,” imbuh Distra.

Talkabot
Founder & CEO Talkabot Distra Vantari / Talkabot

Hingga saat ini, setidaknya sudah ada 40 startup dan brand yang telah menggunakan layanan Talkabot untuk bisnisnya. Finansialku, brand busana milik Zaskia Adya Mecca, dan brand hijab milik Arina Prinsiska merupakan beberapa klien Talkabot saat ini.

Menurut Distra, banyak sekali bisnis yang kewalahan dalam menangani pertanyaan pelanggan, sehingga sering kali “slow response” dalam menjawab pertanyaan atau tidak menjawab sama sekali. Hal tersebut sangat tidak baik untuk perkembangan dan relasi bisnis dengan konsumen, dapat mengakibatkan kehilangan potensi penjualan. Solusi berbasis chatbot hadir mencoba menjembatani masalah tersebut.

“Target Talkabot tahun ini adalah membuat platform pembuat chatbot untuk kalangan non IT, sehingga semua orang dapat membuat chatbot dalam hitungan menit tanpa dasar coding sama sekali,” jelas Distra.

Talkabot bukan satu-satunya startup yang menghadirkan platform chatbot. Saat ini sudah ada beberapa layanan serupa di Indonesia. Sehingga selain kepintaran algoritma yang ditanamkan dalam chatbot, studi kasus yang ditawarkan akan turut menjadi faktor penting yang diperhatikan konsumen.