Qoala Memperoleh Pendanaan Seri B Sebesar 948 Miliar Rupiah

Platform insurtech Qoala memperoleh pendanaan seri B sebesar $65 juta atau sekitar 948 miliar Rupiah. Pendanaan tersebut akan digunakan untuk memperkuat posisi dan jangkauan pasar Qoala di Asia Tenggara.

Disampaikan dalam keterangan resminya, pendanaan ini disuntik oleh sejumlah investor terdahulu antara lain Flourish Ventures, KB Investment, MassMutual Ventures, MDI Ventures, SeedPlus, dan Sequoia Capital India.  Beberapa investor baru juga ikut bergabung di antaranya BRI Ventures, Daiwa PI Partners, Indogen Capital, Mandiri Capital Indonesia, dan Salt Ventures.

Menurut catatan DailySocial.id, jika ditotal dengan pendanaan seri sebelumnya, kisaran investasi yang berhasil dibukukan telah mencapai $87 juta. Berpotensi membawa valuasi perusahaan di angka $300 juta.

Co-founder & COO Qoala Tommy Martin mengaku optimistis untuk menjaga pertumbuhan bisnisnya di tahun ini. Terlebih, ia menyebut telah mengantongi pertumbuhan bisnis di Thailand sebesar tiga kali lipat pasca-bergabung dengan FairDee pada Februari 2021. “Hal ini memberi kami keyakinan akan kemampuan ekspansi Qoala di Asia Tenggara,” tambahnya.

Qoala mencatat pertumbuhan 30 kali lipat sejak menerima pendanaan seri A pada April 2020. Dengan pencapaian ini, Qoala mengklaim sebagai perusahaan insurtech dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara.

Pertumbuhan ini didorong oleh berbagai jenis asuransi ritel yang ditawarkan, mulai dari produk mobil, sepeda, rumah, dan kesehatan. Selain itu, Qoala juga berkolaborasi dengan sejumlah platform digital, seperti Traveloka, Shopee, Kredivo, dan Investree untuk produk asuransi mikro. Saat ini, Qoala beroperasi di Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Vietnam.

Sementara itu, CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro menambahkan bahwa Qoala punya peluang besar untuk berkembang secara B2B di berbagai sektor industri, mulai dari logistik, logistik, kesehatan, dan pariwisata. “Kami yakin pendanaan ini juga dapat memperkokoh posisi Qoala sebagai perusahaan insurtech terdepan di Asia Tenggara yang memiliki keselarasan inovasi dan sinergi dengan Mandiri Group,” tuturnya.

Ekspansi pasar

Lebih lanjut, Founder & CEO Qoala Harshet Lunani mengungkap akan memperluas jangkauan Qoala di seluruh Asia Tenggara. Ekspansi ini juga termasuk dengan pengembangan teknologi dan layanan untuk mengurangi kendala dalam mengakses produk asuransi.

Di samping itu, ia menilai ruang pertumbuhan asuransi masih sangat besar. Di Indonesia jauh dari penetrasi rata-rata global yang sebesar 6%. “Indonesia, Thailand, dan Malaysia termasuk dalam sepuluh besar pasar asuransi global dengan proyeksi pertumbuhan tercepat pada dekade berikutnya,” ucapnya.

Saat ini, total tenaga pemasar dan mitra bisnis yang terdaftar di Qoala mencapai 50.000 tenaga. Qoala juga telah bermitra dengan lebih dari 50 perusahaan asuransi. Tahun ini, mereka berencana menambah lebih dari 250 karyawan, serta berinvestasi pada pengembangan teknologi dan produk. Selain itu, perusahaan juga berencana memberikan kompensasi dalam bentuk saham untuk memperkuat kepemilikan karyawan di perusahaan.

Sebagai informasi, Qoala berdiri di 2018 dengan memosisikan diri sebagai platform insurtech untuk ritel. Qoala menawarkan dua produk, yakni Qoala Plus (keagenan) dan Qoala for Enterprise (B2B dan B2B2C).

Qoala meyakini dapat memecahkan masalah utama bagi pemasar asuransi dan konsumen melalui kecepatan penerbitan polis, penetapan harga instan, dan komisi instan kepada para tenaga pemasar asuransi. Inovasi ini juga dinilai dapat memungkinkan Qoala mengakuisisi konsumen dengan biaya lebih rendah dan mencapai unit ekonomi yang unggul.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penetrasi asuransi di Indonesia tercatat 3,18% yang mencakup asuransi jiwa (1,19%), asuransi umum (0,47%), asuransi sosial (1,45%), dan asuransi wajib (0,08%). Adapun angka densitas (biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk bayar premi) sebesar Rp1,82 juta.

Application Information Will Show Up Here

Metrik Startup Tahap Awal yang Dipertimbangkan Investor

Untuk mengakselerasi bisnis, founder startup tahap awal biasanya melakukan penggalangan dana ke investor, baik kalangan angel ataupun venture capital. Mempelajari pengalaman startup terdahulu, ada beberapa pendekatan yang biasa dilakukan agar sukses mengantongi dana investasi pre-seed atau seed funding. Pertama, mereka bisa “menjual” pengalaman atau visi founder disertai dengan potensi besaran pasar yang akan digarap lewat produk/layanan yang dikembangkan.

Kedua, ini pendekatan yang lebih terukur, yakni menyuguhkan capaian bisnis kepada investor. Tentu konteksnya adalah penerimaan pasar terhadap minimum viable product (MVP) yang telah diluncurkan; untuk menunjukkan bahwa apa yang dikerjakan sudah mencapai product-market fit. Di sini founder perlu menggunakan metrik yang tepat untuk menggambarkan situasi bisnis di fase early-adoption. Statistik tersebut bisa menjadi bekal bagi investor untuk melihat potensi startup di waktu mendatang saat disuntik modal untuk pertumbuhan.

DailySocial telah berbincang terhadap beberapa perwakilan venture capital untuk menanyakan metrik yang biasa mereka lihat ketika bertemu dengan startup tahap awal yang tengah mencari dana. Pertama, kami berbincang dengan Principal Indogen Capital Kevin Chandra. Ia mengatakan, bahwa metrik akan sangat bergantung pada model bisnis yang diadopsi oleh startup.

“Untuk B2B, di mana siklus penjualan cenderung bergerak jauh lebih lambat, kami cenderung melihat efisiensi penjualan berdasarkan channel di fase awal. Kemudian, untuk model bisnis yang memiliki elemen pendapatan berulang, salah satu metrik utama yang kami evaluasi adalah Net Monthly Recurring Revenue (Net MRR). Jadi tidak ada satu formula yang cocok untuk diterapkan ke semua,” ujarnya.

Net MRR adalah pendapat bersih bulanan yang didapatkan oleh startup. Perhitungannya didasarkan pada uang yang didapat kemudian dikurangi berbagai biaya-biaya yang menyertai. Misalnya di e-commerce, revenue ini baru dihitung dari total hasil penjualan barang dikurangi berbagai biaya seperti potongan untuk diskon atau pengembalian barang karena cacat.

Pincipal Indogen Capital Kevin Chandra / Dok. Pribadi Kevin
Pincipal Indogen Capital Kevin Chandra / Dok. Pribadi

Kevin melanjutkan, spesifik untuk startup tahap awal Indogen selalu melihat dua metrik utama, yakni Vanity dan KPI. Metrik Vanity digunakan untuk membantu memahami posisi startup dalam satu lanskap. Contohnya untuk startup berbasis e-commerce biasanya dengan melihat GMV (Gross Merchandise Value), yakni total nilai penjualan seluruh barang dalam periode tertentu.

“Metrik berbasis KPI dinilai dari pengguna akhir yang mendapatkan value dari produk/layanan yang dijajakan atau dikenal dengan ‘aha moment’. Contohnya, 7 teman dalam 10 hari adalah pengukuran yang dipilih perusahaan seperti Facebook untuk memahami bahwa mereka memiliki tanda awal dari product-market fit. KPI tentu akan berkembang seiring pertumbuhan bisnis. Dan ini menjadi indikator utama (yang jelas) untuk memahami bisnis yang dilakukan pada waktu tertentu,” imbuh Kevin.

Dalam hipotesis investasinya, Indogen Capital sendiri cukup sector agnostic. Mereka berinvestasi di berbagai lanskap bisnis. Beberapa portofolionya meliputi Travelio (proptech), Carsome (car marketplace), Hijup (e-commerce), GoWork (coworking space), Wahyoo (new retail), Ekrut (job marketplace), dll.

Kami juga berbincang dengan Head of OCBC NISP Ventura Darryl Ratulangi, CVC yang baru diresmikan awal tahun ini biasanya mengukur calon portofolio potensial menggunakan tiga penilaian utama. Yakni didasarkan pada customer acquisition cost, customer lifetime value, dan customer cohort.

Customer acquisition cost dipakai untuk mengukur seberapa banyak (biaya) yang mereka keluarkan untuk mendapatkan pelanggan baru, untuk mengukur (memastikan) tidak terlalu mahal dan diukur bersamaan dengan customer lifetime value,” ujarnya.

Customer lifetime value mengukur pendapatan yang diterima bisnis dari tiap pelanggannya. Jadi mengukur transaksi yang mereka lakukan secara berulang setelah pembelian pertamanya. Semakin tinggi nilainya, maka akan semakin baik bagi bisnis. Sementara customer cohort analysis merupakan metrik analisis yang digunakan untuk mempelajari perilaku pengguna dari waktu ke waktu dan memahami retensi pelanggan.

Kendati di bawah naungan perusahaan induk perbankan, OCBC NISP Ventura memiliki portofolio yang unik. Sejak debutnya, mereka telah berinvestasi di empat startup meliputi AwanTunai (fintech), Sirclo (e-commerce enabler), Dekoruma (e-commerce furnitur), dan Kiddo (marketplace aktivitas anak).

Proyeksi profitabilitas

Pada dasarnya statistik pertumbuhan awal juga menjadi variabel yang digunakan oleh investor untuk memperkirakan potensi ROI (Return of Investment), salah satunya dengan menerawang potensi profitabilitas dari model bisnis yang diaplikasikan. Hal tersebut juga diungkapkan Selina Koharjo selaku Investment Analyst Vertex Ventures. Karena setiap startup yang ia temui unik dan beroperasi di industri berbeda, mereka menggunakan dua metrik utama untuk melihat potensi pertumbuhan ke depan, yakni unit economy dan customer cohort analysis.

Unit economics digunakan untuk melihat pendapatan dan biaya yang terkait dengan satu unit produk atau layanan dan memproyeksikan profitabilitas sebuah startup,” kata Selina.

Kendati demikian, Selina juga mengatakan bahwa pihaknya memahami bahwa di fase awal sebagian besar bisnis akan mengeluarkan banyak biaya operasional — termasuk untuk akuisisi pengguna.

Namun menurutnya, unit economics adalah fondasi yang akan menopang sebuah startup saat mereka tumbuh dan berkembang. “Dengan menganalisis berbagai komponen biaya startup di industri serupa, kami dapat menilai efisiensi setiap startup dengan lebih baik,” imbuhnya.

Investment Analyst Vertex Ventures Selina Koharjo / Dok. Pribadi Selina
Investment Analyst Vertex Ventures Selina Koharjo / Dok. Pribadi

Lebih lanjut ia mencontohkan, analisis unit economics untuk startup direct-to-consumer dapat menyoroti area kekuatan atau peningkatan dalam direct costs, variable costs, outliers, dan fixed expenses. “Dalam industri startup, mungkin akan banyak tergoda mengandalkan asumsi pertumbuhan signifikan tanpa strategi monetisasi. Kenyataannya, terutama seperti yang disoroti selama pandemi ini, ketika unit ekonomi tidak diprioritaskan, kesuksesan startup akan diuji,” jelas Selina.

Sementara itu, untuk cohort analysis menurutnya diperlukan karena startup terus melakukan iterasi dan inovasi. Kelompok pelanggan terbaru idealnya akan meningkatkan retensi. Meskipun perusahaan mungkin tumbuh secara cepat, pertumbuhan ini mungkin tidak berkelanjutan jika bergantung pada pelanggan baru saja. Jadi, membandingkan cohort (kelompok pelanggan) dari setiap startup dapat menyoroti product-market fit.

“Selain itu, memahami unit economics dan cohort analysis akan memungkinkan kami memahami customer lifetime value […] Karena memperoleh pelanggan baru mungkin mahal, startup baru dapat tumbuh secara berkelanjutan jika customer lifetime value lebih besar daripada biaya akuisisi. ” ujarnya.

Vertex Ventures memiliki cakupan investasi di Asia Tenggara dan India, beberapa portofolionya di Indonesia meliputi HappyFresh (online grocery), RateS (social commerce), Aruna (aquatech), Gredu (edtech), Tanihub (agtech), Tjetak (printing marketplace), dan lain-lain.

Menemukan peluang kolaborasi

Di ekosistem startup Indonesia, juga terdapat kalangan investor yang berasal dari korporasi. Disebut Corporate Venture Capital, selain berinvestasi pada pertumbuhan startup mereka juga mencari peluang sinergi atau inovasi. Salah satu pemodal ventura korporasi yang cukup aktif di Indonesia adalah Central Capital Ventura (CCV) dari Bank Central Asia (BCA). Kami berkesempatan untuk berbincang dengan Investment Analyst CCV Anthony Adiputra Lauw untuk mendiskusikan tentang metrik yang biasa mereka gunakan ketika mempertimbangkan untuk berinvestasi ke calon portofolionya.

Di CCV, Anthony dan tim selalu memeriksa semua peluang investasi secara holistik. “Sebagai lengan inovasi dan investasi BCA, mereka selalu ingin memosisikan dirinya sebagai investor strategis pertama dan utama. Jadi satu-satunya metrik terpenting yang kami fokuskan untuk semua fintech, fintech-enabler, atau embdedded-fintech startup, adalah nilai tambah strategis yang mereka hadirkan [terkait sinergi dengan BCA],” ujarnya.

Investment Analyst Central Capital Ventura Anthony Adiputra Lauw / Dok. Pribadi Anthony
Investment Analyst Central Capital Ventura Anthony Adiputra Lauw / Dok. Pribadi

Sinergi adalah bentuk mutualisme, artinya harus memberikan keuntungan bagi pihak yang terlibat. Demikian pula prinsip di CCV, mereka tidak hanya ingin mendapatkan nilai strategis dari inovasi yang dilahirkan startup, namun juga berharap bisa memberikan nilai lebih untuk perkembangan startup itu sendiri; misalnya dengan menghubungkan mereka dengan jaringan lembaga keuangan di grup BCA di seluruh Indonesia.

“Untuk itu, cakupan investasi CCV telah berkembang di luar fintech, karena kami memiliki tujuan untuk bersinergi dengan rangkaian industri yang lebih luas yang dapat berkolaborasi dengan pertumbuhan perusahaan kami. Saat mencari founder dengan solusi inovatif untuk bermitra dengan BCA dan ekosistemnya, tidak pernah ada metrik tunggal yang cocok diterapkan ke semua [jenis startup],” jelas Anthony.

Lebih lanjut ia mencontohkan, ketika CCV berinvestasi pada startup p2p lending, mereka mengidentifikasi saluran sinergi yang kuat antara mereka dan BCA. “Akseleran dan KlikACC [portofolio CCV] sama-sama berhasil menaklukkan segmen pasar yang mungkin belum dimiliki oleh BCA. Dengan demikian, kami dapat membina kerja sama yang mulus dan saling menguntungkan; bank mendapatkan eksposur yang lebih luas, sementara startup mendapatkan likuiditas dari BCA.”

Selain dua startup yang sudah disebutkan, CCV yang sudah berdiri sejak tahun 2017 tersebut telah berinvestasi ke pemain lain meliputi Wallex (fintech), Element (biometrik), Qoala (insurtech), Pomona (loyalty), Julo (fintech), dll.

Berinvestasi pada pre/post-traction

Seperti yang diungkap pada paragraf pembuka, kadang investor juga berinvestasi pada startup yang sama sekali belum menghasilkan traction. Salah satunya Genesia Ventures, menurut penjelasan Elsha E. Kwee selaku Investment Manager, untuk startup yang masih sangat awal atau baru beberapa bulan diluncurkan tidak banyak data yang bisa didapat atau dianalisis. Sering kali yang dilakukan adalah melihat beberapa cakupan faktor seperti kondisi pasar (market size, competition, customer pipeline, dll), model bisnis, dan founder.

Sementara untuk startup yang sudah memiliki beberapa traction, biasanya Elsha menggunakan metrik berbeda untuk setiap model bisnis. Tapi sebagian besar akan bermuara pada dua hal, yakni recurring revenue dan user engagement.

“Saya percaya bahwa pendapatan adalah indikator yang baik tentang apakah perusahaan memberi solusi untuk masalah yang cukup signifikan bagi pengguna sehingga ia mau membayar. Sedangkan pengulangan dan keterlibatan menunjukkan utilitas yang berkelanjutan dan memiliki ketahanan,” ujarnya.

Untuk revenue atau pendapatan, ia mengatakan akan sangat bergantung pada apakah layanan/produk adalah sesuatu yang harus memberikan nilai sejak awal atau apakah model bisnis tersebut harus mengumpulkan jumlah pengguna yang besar terlebih dulu sebelum memberikan nilai kepada pengguna. Misalnya online marketplace, sangat bergantung pada efek jaringan dan nilainya meningkat seiring penambahan jumlah pengguna, sehingga pendapatan di awal mungkin belum terlalu penting diperhitungkan.

Investment Manager Genesia Ventures Elsha E. Kwee / Dok. Pribadi Elsha
Investment Manager Genesia Ventures Elsha E. Kwee / Dok. Pribadi

Elsha juga memberikan contoh lain. Untuk startup menyediakan SaaS seperti sistem manajemen pembelajaran untuk sekolah, penting untuk mulai menghasilkan pendapatan dari awal daripada membiarkan sekolah menggunakan platform secara gratis. Karena jika sudah diberikan secara gratis, bisanya sulit untuk mengonversinya menjadi pengguna berbayar. Untuk tipe layanan SaaS, memiliki banyak pengguna tanpa pendapatan bukan pertanda baik untuk keberlangsungan bisnis.

“Kemudian terkait keterlibatan pengguna, itu bergantung apakah perusahaan adalah marketplace, SaaS, B2C, B2B, atau lainnya. Contohnya, saya mengharapkan keterlibatan pengguna lebih tinggi (berdasar DAU dan/atau MAU) dari B2C seperti aplikasi sosial atau komunitas ketimbang SaaS untuk layanan perpajakan,” jelas Elsha.

Genesia Ventures berinvestasi pada startup tahap awal di Asia, kendati sector-agnostic mereka memiliki kecenderungan pada startup B2B dan SaaS. Beberapa portofolionya di Indonesia termasuk Bobobox (hospitality), Qoala (insurtech), Finantier (fintech), Logisly (logistic), dan lain-lain.

Partner SeedPlus Tiang Lim Foo turut memberikan pendapatnya. Memang sulit untuk mengeneralisasi metrik untuk semua startup. Namun ia selalu memiliki beberapa variabel dasar untuk analisis, meliputi jumlah pelanggan, tingkat keterlibatan pelanggan dengan produk, dan nilai pendapatan. Hal tersebut, sambungnya, dipengaruhi oleh pengalamannya berinvestasi sebagian besar di startup B2B untuk produk SaaS.

“Jumlah pelanggan memberikan saya indikasi tentang ukuran audiens yang mereka miliki saat ini dan seberapa cepat startup membangun ukuran audiens tersebut. Sementara tingkat keterlibatan memberikan saya gambaran tentang seberapa berguna produk yang dihasilkan, dan secara alami indikator nilai terbaik adalah berapa banyak pelanggan yang membayar layanan tersebut, dan seberapa besar nilainya,” ujar Tiang.

SeedPlus adalah perusahaan modal ventura bermarkas di Singapura. Mereka sudah memiliki tiga portofolio di Indonesia, meliputi Travelstop (SaaS), Qoala (insurtech), dan Logisly (logistic).

Logisly Announces Seed Funding from SeedPlus, Genesia Ventures and Convergence Ventures

A logistics transportation solution startup, Logisly, today (8/15) announced seed funding with undisclosed value. The round was led by SeedPlus, Genesia Ventures and Convergence Ventures.

“With the founder’s experience on logistics and construction, we’re glad to support Logisly that we believed to have a unique position in providing innovative solutions for all the industry problems,” Tiang Lim Foo of SeedPlus said in the official release.

Logisly is a platform that connects producers (shippers) with logistics truck (transporters). Approximately 5 thousand trucks and hundreds of transporters are available with some variants, such as van, trailer, tronton, and flatbed.

The startup aims for B2B logistics market in Indonesia. They estimated for 8 million unit trucks all over Indonesia with economic value reaching up to US$100 billion.

As predicted, the logistics industry in Indonesia worth as much as Rp797.3 trillion last year and predicted to grow 11.56 per cent to Rp889.4 trillion this year. Logisly aims for 1,000 transporters and 1,000 shippers.

“As a B2B platform, we guarantee the consistency of our service and product quality, consumers can rely on us to be part of their supply chain,” Logisly’s CEO, Roolin Njotosetiadi said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Logisly Umumkan Pendanaan Awal dari SeedPlus, Genesia Ventures dan Convergence Ventures

Startup solusi transportasi logistik Logisly hari ini (15/8) mengumumkan perolehan pendanaan awal. Putaran investasi tersebut dipimpin oleh SeedPlus, Genesia Ventures dan Convergence Ventures. Tidak disebutkan besaran nominal dana yang diperoleh.

“Dengan pengalaman para pendiri di sektor logistik dan bangunan, kami senang dapat mendukung Logisly yang kami percaya punya posisi unik untuk menghadirkan solusi yang inovatif untuk memecahkan tantangan di industri ini,” ucap Tiang Lim Foo dari SeedPlus dalam pernyataan tertulisnya.

Logisly merupakan platform yang menghubungkan produsen barang (shipper) dengan truk logistik (transportir). Saat ini ada sekitar 5 ribu truk dari ratusan mitra transportir yang tersedia dengan berbagai varian, mulai dari van, trailer, tronton, hingga flatbed.

Logisly menyasar pasar logistik B2B di Indonesia. Mereka memperkirakan ada 8 juta unit truk di seluruh Indonesia dengan potensi nilai ekonomi mencapai US$100 miliar.

Diperkirakan juga industri logistik di Indonesia bernilai hingga Rp797,3 triliun pada tahun lalu dan diprediksi tumbuh 11,56 persen menjadi Rp889,4 triliun tahun ini. Logisly sendiri menargetkan dapat menggaet 1.000 mitra transportir dan 1.000 shipper.

“Sebagai platform B2B, kami menjamin konsistensi kualitas produk dan layanan kami, konsumen mengandalkan kami sebagai bagian penting rantai suplai mereka,” tutur CEO Logisly Roolin Njotosetiadi.

Application Information Will Show Up Here

Qoala Secures Seed Round Investment Over 21.6 Billion Rupiah, Ready to Offer Insurtech Product in All Sectors

Qoala insurtech startup recently secured funding in seed round of $1.5 million (around 21.6 billion Rupiah) from Sequioa Capital India (Surge). In addition, it was supported by some investors, including SeedPlus, MassMutual Ventures SEA, Golden Gate, MDI Venture, Central Capital Ventura and Genesia. However, the value is still undisclosed.

Tommy Martin, Qoala‘s Co-Founder and COO said this round is to be focused on insurtech in all industries, either digital or conventional. This technology and experience are expected to improve education and coverage of micro insurance, particularly in small towns in Indonesia.

He further explained the three main technologies on development. First, there is fraud detection system using artificial intelligence, it’ll improve risk management for fasten verification process. Next, data analytic and insight platform to help insurance company (partners) in creating more relevant product for consumers. Those three integrated aspects are to facilitate customers for management policy and product information.

“Qoala is currently in partnership with ACA and Simasnet related to train and flight insurance product with digital based claim. The company also partnered up with some travel agents, such as PegiPegi, Padiciti, AeroTravel, Golden Nusa, MNC Travel, and others,” he said.

The next business target is Qoala to expand product coverage to other industry outside travel, among those are smartphones and automotive. Some supported technology are being developed, such as image/video recognition feature to detect screen crack on device or vehicle.

“our recognition technology we develop intends to reduce insurance company requirements of physical exam of the broken device to fasten the claim process,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Qoala Bukukan “Seed Round Investment” Lebih dari 21,6 Miliar Rupiah, Siap Hadirkan Produk Asuransi Digital di Berbagai Sektor

Startup insurtech Qoala belum lama ini mendapatkan pendanaan dalam seed round sebesar $1,5 juta (atau setara 21,6 miliar Rupiah) dari Sequioa Capital India (Surge). Tidak hanya itu, putaran pendanaan tersebut dilanjutkan dengan keterlibatan beberapa investor meliputi SeedPlus, MassMutual Ventures SEA, Golden Gate, MDI Venture, Central Capital Ventura dan Genesia. Hanya saya nominal pendanaan lanjutan tidak disebutkan.

Co-Founder & COO Qoala Tommy Martin mengatakan, pendanaan tersebut akan difokuskan untuk inovasi teknologi asuransi di berbagai industri, baik digital maupun konvensional. Harapannya dengan teknologi dan pengalaman klaim yang mudah tersebut dapat meningkatkan edukasi dan jangkauan produk asuransi mikro terutama pada kota kecil di Indonesia.

Lebih lanjut Tommy menjelaskan tiga teknologi utama yang dikembangkan. Pertama ada sistem fraud detection menggunakan kecerdasan buatan, memungkinkan peningkatan aspek manajemen risiko sehingga proses verifikasi klaim bisa lebih cepat. Kemudian platform data analytic and insight yang akan membantu perusahaan asuransi (mitra) dalam membuat produk yang lebih relevan untuk konsumen. Dan ketiga aplikasi terpadu yang memudahkan pelanggan mengelola berbagai polis dan mendapatkan informasi produk.

“Qoala saat ini sudah bekerja sama dengan ACA dan Simasnet terkait produk asuransi penerbangan dan kereta api dengan proses klaim berbasis digital. Perusahaan juga bekerja sama dengan berbagai agen perjalanan seperti PegiPegi, Padiciti, AeroTravel, Golden Nusa, MNC Travel, dan sebagainya,” terang Tommy.

Target bisnis selanjutnya, Qoala akan mengembangkan cakupan produk ke industri lain di luar travel, di antaranya untuk asuransi pada produk ponsel pintar dan otomotif. Beberapa teknologi penunjang tengah dikembangkan, salah satunya fitur image/video recognition untuk mendeteksi layar retak pada kerusakan perangkat ponsel dan kendaraan.

“Teknologi recognition yang kami kembangkan bertujuan untuk mengurangi kebutuhan perusahaan asuransi untuk pemeriksaan fisik atas kerusakan tersebut sehingga dapat mempercepat proses klaim,” ujar Tommy.

Qoala Digitalkan Proses Klaim Asuransi

Penetrasi asuransi di Indonesia baru menyentuh angka 1,7%, tergolong rendah dibandingkan negara tetangga. Melihat minimnya ketertarikan tersebut, startup insurtech Qoala mencoba hadir menyederhanakan proses klaim asuransi dengan pendekatan digital. Diharapkan memberikan citra positif layanan asuransi dan pengalaman pengguna yang lebih baik.

Founder dan CEO Qoala Harshet Lunani menjelaskan, perusahaan mengembangkan layanan secara end-to-end dengan teknologi; mulai dari tahap KYC, fraud management saat proses klaim, dan proses pembayaran. Dengan solusi tersebut, perusahaan asuransi dapat mengurangi biaya operasional dan menciptakan pengalaman klaim yang machine-driven.

Contoh pemrosesannya, Qoala dapat membantu menilai kerusakan layar ponsel dalam hitungan detik melalui embedded machine learning pada teknologi video assesment. Dengan teknologi ini, perusahaan asuransi dimungkinkan untuk dapat memproses dan membayar klaim asuransi lebih cepat.

“Kami bertujuan untuk terus mendukung pertumbuhan industri asuransi dan inklusi asuransi dengan menyediakan layanan mobile yang sepenuhnya automated dengan proses yang disederhanakan,” terang Harshet, Kamis (13/12).

Fokus bisnis Qoala lebih mengarah ke post-sales, berbeda dengan pemain agregator yang pre-sales. Secara regulasi, belum ada payung hukum yang selaras dengan model bisnis Qoala. Oleh karena itu, diungkapkan saat ini perusahaan masih dalam proses pendaftaran untuk masuk ke regulatory sandbox mengikuti aturan POJK Nomor 13/2018 tentang inovasi keuangan digital (IKD).

“Sejak 3-4 bulan lalu kami sudah mulai berkomunikasi dengan OJK. Mereka cukup terbuka dengan model bisnis seperti ini karena bisa mendukung industri asuransi,” tambah COO dan Co-Founder Qoala Tommy Martin.

Pada tahap awal ini, Qoala baru menyediakan produk yang khusus mengurangi risiko bagi para konsumen yang bepergian seperti produk 90 menit penundaan penerbangan tanpa klaim dan 100% pengembalian uang untuk pembatalan kereta. Dua produk ini dihadirkan berkat kolaborasi antara Asuransi ACA dan Simasnet.

Nasabah yang membeli asuransi dari perusahaan asuransi cukup mendaftarkan polisnya ke dalam sistem Qoala. Berikutnya mengunggah KTP, tiket penerbangan (apabila membeli asuransi perjalanan), dan memasukkan nomor rekening bank untuk permudah pembayaran klaim. Nanti sistem Qoala akan memberi notifikasi apabila ada pembayaran klaim.

Nasabah tidak perlu lagi melakukan dokumentasi ulang apabila ingin klaim atas risiko yang menimpa mereka. Pasalnya, dalam sistem Qoala juga terhubung dengan jadwal dari berbagai maskapai penerbangan.

Harshet mengatakan dengan teknologi Qoala nasabah dapat menerima klaim asuransi perjalanannya dalam kurun waktu 1,5 jam saja. Sementara kalau memakai proses manual, bisa memakan waktu hingga 4 jam.

“Perusahaan asuransi dapat menghemat biaya operasional hingga 25% dari 40% biaya yang mereka keluarkan setiap kali membayarkan klaim asuransi perjalanan kepada nasabahnya.”

Dalam model bisnisnya, Qoala menganut konsep B2B2C. Ada delapan mitra travel yang sudah bekerja sama dengan perusahaan; di antaranya Pegipegi, Panorama JTB, Padiciti, MNC Travel, Bravo Wisata, Travel Nusa, dan sebagainya.

Rencana bisnis

Tommy melanjutkan dalam waktu dekat, perusahaan akan merilis beragam teknologi untuk mendukung produk asuransi umum. Asuransi produk gadget ditargetkan bakal rilis dalam waktu dekat.

Berikutnya adalah asuransi kendaraan dengan teknologi. Bahkan dalam situs, Qoala tengah mempersiapkan produk asuransi untuk e-commerce, kesehatan, dan p2p lending.

“Tidak menutup kemungkinan kami akan mengembangkan ke asuransi jiwa, namun untuk tahap awal kami akan mengedukasi masyarakat dengan asuransi umum yang produknya bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.”

Untuk mengakses layanan Qoala, sementara ini bisa diakses melalui versi PWA (Progressive Web Apps). Harshet menjelaskan paling lambat aplikasi Qoala bakal meluncur pada kuartal I/2019.

Qoala beroperasi sejak Februari 2018 dan kini memiliki 30 karyawan, lebih dari separuh adalah tim engineering. Diklaim Qoala telah digunakan oleh puluhan ribu pemegang polis. Perusahaan telah menerima investasi awal dengan nilai yang tidak disebutkan dari Central Capital Ventura (CCV), Seedplus, dan Genesia Ventures.

SaaS Platform for Business Trip “Travelstop” Ready to Expand to Indonesia Post-Funding

SaaS platform developer for business trip Travelstop (8/27) receives seed funding worth of IDR 17 billion. A Singapore-based startup allows business to manage the whole accommodation using AI-based tools. The seed funding investment was led by SeedPlus, supported by several angel investors.

One focus of this funding is to finalize business expansion, including Indonesia. Observed from the research by Travelstop, Asia Pacific will be the largest B2B travel market. It’s projected to grow up to 10.4% CAGR during 2015-2023. The business trip solution is currently for large companies and traditional business travelers, while the trip with no management in Asia, dominated by millennials, requires more flexible and simple solutions.

“These travelers want to experience more than a trip, and the company is building a modern business trip platform for the next generation. Our goal is not only to provide a fun and flexible travel booking experience but also to make the post-trip cost management more efficient,” Prashant Kirtane, Travelstop’s CEO said.

Travelstop aims to solve this problem through a platform that makes a business trip easier to order and automates expense report for employees. They’re using machine learning and personalization supported by artificial intelligence to create flight and hotel recommendations, shorten the process for business travelers for researching and arranging a trip. Employees also have access to an intuitive expense reporting tool which simplifies the reimburse process.

“We aim to use machine learning and artificial intelligence to escalate experience for the current business travelers, we’ll be ready and flexible by investing in modern infrastructure to advance our business platform,” Vijay Aggarwal, Travelstop’s CTO, said.

This platform provides features to facilitate business with accommodation trip arrangements. Through the app, businesses can automate the reporting process. A data-based approach is applied to all decisions made was scaleable. Another thing is the simplification of the efficient travel accommodation research process, operational teams sometimes have to choose and sort out the accommodation based on certain criteria.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pasca Perolehan Pendanaan, Platform SaaS Travel untuk Bisnis “Travelstop” Siap Ekspansi ke Indonesia

Pengembang platform SaaS travel untuk bisnis Travelstop kemarin (27/8) mengumumkan perolehan pendanaan awal senilai 17 miliar Rupiah. Startup berbasis di Singapura tersebut memungkinkan bisnis mengelola akomodasi perjalanan secara menyeluruh dengan alat berbasis kecerdasan buatan. Investasi pendanaan awal dipimpin SeedPlus, didukung beberapa angel investor.

Salah satu fokus pendanaan ialah untuk mematangkan ekspansi bisnis, termasuk di Indonesia. Menurut riset yang ditampung Travelstop, kawasan Asia Pasifik akan menjadi pasar perjalanan B2B terbesar. Diproyeksikan akan tumbuh hingga 10,4% CAGR antara 2015-2023. Solusi perjalanan bisnis saat ini dirancang untuk perusahaan besar dan pelancong bisnis tradisional, sementara perjalanan yang tidak dikelola di Asia, yang semakin didominasi oleh generasi milenial, membutuhkan solusi yang lebih sederhana dan lebih fleksibel.

“Para pelancong ini menginginkan pengalaman perjalanan yang lebih berarti, dan kami sedang membangun platform perjalanan bisnis modern untuk para pelancong di generasi berikutnya. Tujuan kami adalah tidak hanya memberikan pengalaman pemesanan perjalanan yang menyenangkan dan fleksibel, tetapi juga membuat proses manajemen biaya pasca-perjalanan menjadi lebih efisien,” terang CEO Travelstop Prashant Kirtane.

Travelstop mencoba memecahkan permasalahan ini melalui platform yang memudahkan pemesanan perjalanan bisnis dan mengotomasi laporan pengeluaran bagi pegawai. Travelstop menggunakan pembelajaran mesin dan personalisasi yang didukung oleh kecerdasan buatan untuk membuat rekomendasi penerbangan dan hotel, menjadikan berkurangnya jam yang dibutuhkan oleh pelancong bisnis untuk melakukan riset dan memesan perjalanan mereka. Karyawan juga memiliki akses ke alat pelaporan pengeluaran intuitif yang menyederhanakan proses penggantian biaya.

“Tujuan kami adalah untuk memanfaatkan pembelajaran mesin dan kecerdasan buatan untuk menambahkan pengalaman bagi pelancong bisnis saat ini, sementara kami juga akan sigap dan fleksibel dengan berinvestasi di infrastruktur modern untuk memperkuat platform kami,” ujar CTO Travelstop Vijay Aggarwal.

Platform Travelstop menyediakan fitur yang memudahkan bisnis untuk mengelola pemesanan akomodasi perjalanan. Melalui aplikasi tersebut, bisnis dapat mengotomasi proses pelaporan. Pendekatan berbasis data juga diterapkan agar setiap keputusan yang diambil menjadi lebih terukur. Hal lain yang ingin disajikan ialah penyederhanaan proses riset pencarian akomodasi travel yang efisien, biasanya tim operasional harus memilih dan memilah akomodasi perjalanan didasarkan pada kriteria tertentu.

Sedang Merintis Startup di Tahap Awal? Ikuti Program “Project Alpha” dari SeedPlus dan AWS

Project Alpha adalah program pemberdayaan startup tahap awal di Asia Tenggara yang diinisiasi oleh SeedPlus dan Amazon Web Services (AWS). Melalui program tersebut, beberapa kegiatan penumbuhan startup dilakukan, mulai dari penyaluran pendanaan hingga bimbingan untuk pengembangan bisnis dan go-to-market.

Tahun 2018, Project Alpha mulai debutnya di Jakarta, memberikan kesempatan bagi startup tahap awal di Indonesia untuk bergabung dalam rangkaian program. Startup yang berminat diminta untuk mengirimkan pitch-deck, untuk seleksi pemilihan keikutsertaan program.

Sebagai informasi, SeedPlus sendiri merupakan pemodal ventura berbasis di Singapura yang fokus pada pendanaan startup tahap awal. Sementara AWS adalah pemimpin pasar komputasi awan global yang menyediakan berbagai alat untuk pengembangan produk digital. Sehingga ini adalah sebuah kesempatan bagi startup untuk memperkuat jaringan bisnis sembari belajar untuk bertumbuh.

Di Indonesia, Project Alpha menggandeng beberapa mitra dari kalangan startup sukses yang nantinya akan turut membimbing dan membagikan pengetahuannya tentang membangun bisnis di Indonesia. Beberapa startup yang terlibat meliputi GO-JEK, Bizzy, dan Modalku.

Jika tertarik, pendaftaran untuk startup masih dibuka hingga 23 Agustus 2018 mendatang. Pitch-deck dan informasi seputar startup yang tengah dijalani dapat disubmisikan melalui formulir yang terdapat pada tautan berikut ini: http://alpha.seedplus.com.

Selain itu pada 9 Agustus nanti akan diselenggarakan roadshow, menjelaskan tentang program ini dan beberapa kiat penting bagi startup di tahap awal. Acara akan diselenggarakan di GO-JEK HQ (Pasaraya Blok M, Building B, 6th Floor, Jakarta) dimulai pukul 13.00 WIB. Pemateri terdiri dari tim Project Alpha dan perwakilan startup mitra, yakni Dayu Dara Permata (SVP GO-JEK, Co-Founder of GO-LIFE), Ahmed Aljunied (GO-LIFE VP of Engineering and Product), dan Norman Sasono (Co-founder and CTO of Bizzy).