Mendalami Peran Tanda Tangan Digital untuk Inklusi Keuangan

Tanda tangan digital kini mulai dikenal berkat matangnya ekosistem ekonomi digital. Pemerintah pun akhirnya mulai terbuka dengan inovasi-inovasi baru seperti ini dengan merilis peraturan untuk melindungi kepentingan konsumen. Dalam perjalanannya hingga aturan tiba, PrivyID sebagai startup pertama yang bermain di segmen ini harus tertatih-tatih membuka ekosistem tanda tangan digital sejak 2014.

Perjuangan tersebut terbayar hingga akhirnya PrivyID menjadi startup pertama yang mengantongi izin sebagai penyelenggara sertifikat elektronik tersertifikasi oleh Kemenkominfo pada menjelang akhir tahun lalu. Dari situ pintu semakin terbuka lebar dan banyak pengguna, terutama datang dari industri jasa keuangan telah memanfaatkan PrivyID untuk sarana tanda tangan digital untuk permudah para nasabahnya.

Dalam sesi #SelasaStartup kali ini mengundang Founder dan CEO PrivyID Marshall Pribadi untuk berbagi pandangannya terhadap masa depan tanda tangan digital dan perannya membantu percepat inklusi keuangan. Berikut rangkumannya:

Perlu edukasi karena bisnisnya unik

Meski kini PrivyID bisa dikatakan sebagai startup dengan jaringan pengguna terbanyak di Indonesia, namun sebenarnya khitah bisnis ini masih punya jalan terjal yakni mengubah kebiasaan untuk pindah dari tanda tangan basah ke tanda tangan digital. Proses edukasi makanya masih terus dilakukan.

Marshall bercerita, bisnis ini unik karena di satu sisi juga menyasar kalangan institusi pemerintah untuk menjadi pengguna. Kebanyakan institusi ini ada di aliran konservatif yang masih belum percaya bahwa perjanjian, tanda terima, pembayaran tagihan, dan lainnya bisa dilakukan dalam bentuk digital.

Di sisi lainnya, PrivyID juga menyasar pengguna yang datang dari perusahaan yang sangat berpikir maju dan mementingkan semua prosesnya harus dilakukan secara digital. Sayangnya, mereka ini cenderung masih belum sadar dengan pentingnya kehadiran tanda tangan digital.

Mereka ini biasanya hanya meminta user diminta untuk klik centang I Agree, pakai OTP untuk membuktikan bahwa konsumer terikat dengan aturan utang piutang di fintech, atau parahnya konsumer hanya diminta untuk menggambar tanda tangannya dari layar smartphone.

“Ini [digital image] bisa jadi masalah bahwa ini jadi digital image yang dengan mudah bisa di-crop atau copy paste ke banyak dokumen, sehingga jadi mudah disangkal bila ada tindakan yang merugikan. Risiko seperti banyak yang masih menyangkalnya, makanya market kami ini terbatasi oleh yang ekstrem kiri atau kanan,” terang Marshall.

Oleh karena itu, dalam proses edukasi, tim PrivyID mengadvokasikan ke semua pihak bahwa bisnisnya ini berbeda dengan SaaS yang menyediakan software akuntansi atau HR yang paling mudah pembedanya adalah dari segi fitur. Sementara itu, PrivyID sendiri harus selalu mengutamakan legalitas, sistem keamanan, dan aspek operasionalnya.

“Harus comply dengan aturan karena kalau aturan tidak ada siapa yang bakal percaya mau pakai, lalu keamanannya pasti banyak yang menanyakan, dan aspek operasional pasti ditanyakan apakah mudah digunakan, apa saja fiturnya, dan customer service-nya, kalau jelek pasti ada banyak drop rate.”

Fungsi penting untuk inklusi keuangan

Marshall menerangkan, tanda tangan digital punya fungsi penting dalam menurunkan bunga kredit untuk pengusaha mikro yang berlokasi di daerah terpencil. Bahwasanya, penyebab mengapa bank menetapkan bunga yang tinggi untuk sektor ini karena mereka butuh membangun infrastruktur untuk menjangkau mereka.

Bank perlu membangun kantor cabang dan merekrut orang-orang untuk mendatangi calon debitur tersebut. Belum lagi petugas harus bolak-balik memverifikasi dengan mengunjungi rumah, mengisi dokumen fisik dan tanda tangan basah untuk memberikan keabsahan dokumen.

“Tanda tangan digital memang harus didukung oleh peningkatan penetrasi internet dan smartphone, selama itu belum bisa dijangkau maka tanda tangan digital tidak bisa berdiri sendiri. Makanya butuh dukungan dari perusahaan telekomunikasi untuk membuat jalan masuknya.”

Sejak PrivyID mengantongi sertifikasi, Marshall mengaku tingkat kepercayaan pengguna semakin meningkat karena sudah terbukti legalitasnya. Pada akhir tahun lalu hingga kini dikatakan pertumbuhan pengguna mencapai 300% dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mentok di angka 100%.

Secara angka, penggunanya mencapai di angka hampir menuju 500, didominasi oleh korporasi sekitar 80%. Dibandingkan tahun lalu saja, pengguna PrivyID baru mencapai di angka kisaran 200. Mayoritas pengguna ini datang dari industri jasa keuangan, baik itu asuransi, perbankan, pembiayaan, startup lending, dan sekuritas.

Menariknya, dikatakan sejak pandemi ini pengguna PrivyID tumbuh melesat dari non-finansial, seperti konsultan, tambang, dan minimarket. Kebanyakan pengguna tersebut menggunakan jasanya untuk kebutuhan internal, misalnya untuk tanda terima barang, pembuatan tagihan. “Sejak WFH semakin nyata use case-nya ke arah sana. Target kami terus menjaga pengguna ini dengan terus menyempurnakan fitur agar pengalaman semakin baik.”

Midtrans and Supportive Moves for SME Players to Adopt Digital Business

As the pioneer of payment gateway services in Indonesia, Midtrans’ business journey is quite captivating. Especially now that they have become part of Gojek, sharpening the vision to help SMEs in improving digital services in their business.

In the #SelasaStartup session, Midtrans CEO Erwin Tanudjaja revealed Midtrans’ future business plans and focus. Here is the summary:

Positive growth with Gojek

It has been almost two years since Midtrans joined Gojek. This collaboration is acknowledged by the company as enough to increase Midtrans (formerly Veritrans) popularity. As a payment gateway platform, Midtrans has been in charge of supporting businesses in developing payment features on its platform. However, when a strategic collaboration occurs with Gojek, it will open up more opportunities for Midtrans to contribute to SMEs in Indonesia.

“In terms of Midtrans, we are proud to be part of the huge Gojek ecosystem. Not only increasing the number of SME partners but enabling us to accelerate the growth of SMEs in terms of digital payments,” Erwin said.

Midtrans, who have been working behind the scenes, adjusted Gojek’s plans and business, which is dominated by SMEs. One of those is to speed up and facilitate transactions for Gojek users as well as Gojek merchants themselves.

“In the past, SMEs only provided bank transfer and COD (cash on delivery) payment options, now with the technology we have implemented payments via credit card to virtual accounts can also be done,” said Erwin.

Not only for partners who are members of the Gojek ecosystem, but other SMEs who run businesses independently can also take advantage of the technology developed by Midtrans. Even though its position is still part of Gojek, Midtrans has the freedom to create innovations and can be used by everyone.

Pandemic and supportive moves for SME

The pandemic situation automatically changes consumer behavior in general. Previously, people are accustomed to making transactions in cash, now the non-cash payment is increasingly rising in Indonesia. As a payment gateway platform, this situation allows their business to grow faster to be used by all SMEs.

“Obviously, we keep our main target, as an enabler for all SMEs included in the Gojek ecosystem. By creating innovations to technology to accelerate and facilitate their transactions,” said Erwin.

Currently, there are around 20 services or products offered by Midtrans. This solution can of course be more comprehensive if it is integrated with Gojek and all the ecosystems that are included in it.

“One of which is launching the #MelajuBersamaGojek campaign which is a campaign launched during the pandemic. With the tools we offer to SMEs, one of which is the Selly application, it can be useful for around 120 thousand SME partners who join the Gojek ecosystem,” Erwin said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Midtrans dan Dukungannya Bantu Pelaku UKM Adopsi Bisnis Digital

Sebagai pionir layanan payment gateway di Indonesia, perjalanan bisnis Midtrans sangat menarik untuk disimak. Terlebih saat ini mereka telah menjadi bagian dari Gojek, sehingga menajamkan visi untuk membantu UKM dalam meningkatkan layanan digital dalam bisnisnya.

Dalam sesi #SelasaStartup CEO Midtrans Erwin Tanudjaja mengungkapkan rencana serta fokus bisnis Midtrans ke depan. Berikut ini rangkumannya:

Pertumbuhan positif bersama Gojek

 

Sudah hampir dua tahun lebih Midtrans bergabung bersama dengan Gojek. Kolaborasi ini diakui oleh perusahaan cukup mempopulerkan nama Midtrans (sebelumnya Veritrans) lebih mainstream lagi. Sebagai platform payment gateway, selama ini Midtrans memang bertugas menjadi pendukung untuk pebisnis dalam mengembangkan fitur pembayaran di platformnya. Namun ketika kolaborasi strategis terjadi dengan Gojek, semakin membuka peluang Midtrans untuk berkontribusi kepada UKM di Indonesia.

“Dari sisi Midtrans tentunya kami bangga bisa menjadi bagian dari ekosistem Gojek yang sangat besar jumlahnya. Bukan hanya menambah jumlah mitra UKM namun memungkinkan kami untuk mempercepat akselerasi UKM dalam hal pembayaran digital,” kata Erwin.

Midtrans yang selama ini bekerja di belakang layar, menyesuaikan rencana serta bisnis dari Gojek yang didominasi oleh para pelaku UKM. Salah satunya adalah mempercepat serta memudahkan transaksi kepada pengguna Gojek juga merchant Gojek sendiri.

“Jika dulunya pelaku UKM hanya memberikan pilihan pembayaran bank transfer dan COD (cash on delivery) saja, kini dengan teknologi yang kami implementasikan pembayaran melalui kartu kredit hingga virtual account juga bisa dilakukan,” kata Erwin.

Bukan hanya untuk mitra yang tergabung dalam ekosistem Gojek saja, namun pelaku UKM lainnya yang menjalankan bisnis secara independen juga bisa memanfaatkan teknologi yang dikembangkan oleh Midtrans. Meskipun posisinya masih menjadi bagian dari Gojek, namun Midtrans memiliki kebebasan untuk menciptakan inovasi dan dapat digunakan untuk semua.

Pandemi dan dukungan untuk UKM

Saat pandemi secara otomatis mengubah semua kebiasaan hingga perilaku konsumen secara umum. Yang sebelumnya hanya terbiasa melakukan transaksi secara tunai, kini penggunaan atau pembayaran non-tunai makin meluas digunakan oleh masyarakat Indonesia. Sebagai platform payment gateway, tentunya saat seperti ini memungkinkan bisnis mereka untuk bisa lebih cepat berkembang dan digunakan untuk semua pelaku UKM.

“Tentunya kembali lagi kepada target utama kami yaitu sebagai enablement bagi semua UKM yang masuk dalam ekosistem Gojek. Dengan menciptakan inovasi hingga teknologi yang bisa mempercepat dan memudahkan mereka melakukan transaksi,” kata Erwin.

Saat ini terdapat sekitar 20 layanan atau produk yang telah ditawarkan oleh Midtrans. Solusi tersebut tentunya bisa lebih menyeluruh jika terintegrasi dengan Gojek dan semua ekosistem yang masuk di dalamnya.

“Salah satunya adalah melancarkan kampanye #MelajuBersamaGojek yang merupakan kampanye yang diluncurkan saat pandemi. Degan tools yang kami tawarkan kepada UKM salah satunya adalah aplikasi Selly, tentunya bisa bermanfaat untuk sekitar 120 ribu mitra UKM yang bergabung dalam ekosistem Gojek,” kata Erwin.

Application Information Will Show Up Here

6 Hal Seputar Membangun Inovasi Regional Melalui Program Akselerasi

Dalam satu dekade terakhir, industri startup telah berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi digital Indonesia. Lebih lagi, keberadaan startup ini telah mendorong daya saing inovasinya di Asia Tenggara. Tercatat, Indonesia termasuk salah satu negara dengan unicorn terbanyak di kawasan ini.

Beberapa unicorn tersebut kini bahkan membentuk program inkubasi dan akselerasi untuk mendorong pertumbuhan inovasi, tak hanya untuk negara sendiri, tetapi juga untuk kawasan regional.

Salah satunya Grab Ventures melalui program Grab Ventures Velocity (GVV) yang hadir untuk pasar Indonesia. Bagaimana pengalaman dan tantangan Grab Ventures dalam membangun inovasi di regional? Simak selengkapnya sesi #SelasaStartup kali ini bersama Director of Grab Ventures Aditi Sharma.

Lokalisasi sebagai strategi pendekatan setiap negara

Aditi menilai, lokalisasi menjadi strategi penting bagi program semacam GVV untuk memulai pengembangan inovasi di suatu negara. Hal ini patut digarisbawahi mengingat kebutuhan dan gap di kalangan masyarakat di setiap negara berbeda-beda. Di GVV, setiap pasar tujuan memiliki program yang sangat targeted dan spesifik.

“Sebagai contoh, GVV fokus terhadap [startup] di fase growth, dan kami lihat ini untuk pasar Indonesia. Ada beberapa partner potensial di sini, di mana kami bisa lakukan semacam test partnership selama program berjalan. Mereka berpeluang jadi commercial partner ke depan. Bagi kami, program ini well-suited untuk ekosistem Indonesia,” paparnya.

Kondisinya tentu berbeda jika dibandingkan negara lain. Ambil contoh Vietnam. Menurut pengalaman Aditi, Grab Ventures perlu melakukan ground work yang lebih besar di negara ini, seperti membangun ekosistem dan kapabilitas founder yang kuat.

“Kebutuhannya berbeda. Makanya, nama program di sana adalah Grab Ventures Ignite yang membidik startup early stage. Modelnya lebih ke capability-centric. Kami membuat program lebih kontekstual sesuai kebutuhan di negara tersebut,” tambah Aditi.

Bukan target pasar, tetapi tujuan

Selain lokalisasi, penting bagi Aditi untuk menentukan tujuan program. Artinya, selama punya dampak berarti terhadap ekosistem, bukan soal bahwa program tersebut harus dijalankan di setiap target negara tujuan.

“Kami terus mengeksplorasi peluang kerja sama di industri startup. Tapi, kami bukan sekadar buat program di setiap negara. Kami lihat apakah ada kebutuhan untuk meluncurkan program ini, negara mana yang dapat memberikan dampak positif terhadap ekosistem,” jelasnya.

Mencari target pasar yang menciptakan tren

Ada alasan mengapa Indonesia sering menjadi target utama investasi. Selain pasarnya besar, Indonesia dinilai memiliki tren pasar tersendiri. Bahkan menurut Aditi, hal ini menjadi alasan kuat mengapa program GVV dibuka pertama kali untuk pasar Indonesia.

Ia menyebutkan sebanyak 60 persen investasi digital di Asia Tenggara ‘lari’ ke Indonesia. Menurutnya, data tersebut menunjukkan bahwa perkembangan inovasi di Indonesia menjadi sebuah tren menarik.

Tren lainnya adalah perkembangan adopsi digital di Indonesia turut disumbang oleh segmen UKM. Selama ini, segmen UKM menjadi salah satu penopang pereknomian Indonesia. Tercatat, ada lebih dari 50 juta UKM di sini.

“UKM ini menjadi peluang besar bagi pertumbuhan inovasi. Apalagi di situasi pandemi, mereka dituntut untuk mengadopsi digital. Ini adalah sebuah tren yang membuat pasar Indonesia menarik,” kata Aditi.

Adaptasi baru menjadi tantangan

Dalam perjalanannya, Aditi telah bertemu dan bekerja sama dengan banyak founder lewat program yang diinisiasi Grab tersebut. Ada sejumlah tantangan yang ia anggap sebagai sebuah proses pembelajaran.

Salah satunya adalah beradaptasi dengan founder agar dapat saling bekerja sama. “Kami melihat saat itu founder belum meyakini what it means bekerja dengan venture capital dan tim-tim yang mengeksplorasi model bisnis baru, seperti kami,” ungkap Aditi.

Ia menilai bahwa hal ini dapat menjadi pembelajaran untuk saling memahami apa yang diinginkan satu sama lain dan menemukan partner startup yang potensial. “Feedback yang kami dapatkan saat bekerja bareng founder adalah mengalokasikan banyak waktu untuk mengetahui sama lain,” ujarnya.

Pivot di situasi pandemi

Selama masa pandemi Covid-19, terjadi perubahan yang sangat signifikan pada perilaku dan kebutuhan konsumen. Situasi ini juga menuntut pelaku bisnis untuk mengakselerasi digitalisasi.

Di sisi lain, sejumlah sektor bisnis terdampak positif dari krisis kesehatan ini, seperti kesehatan dan kebutuhan pokok. Bagi Aditi, hal ini menandakan bahwa Indonesia terus berupaya untuk mendorong pertumbuhan sektor bisnis, baik B2B maupun B2C.

“Makanya, penting untuk melihat kebutuhan customer di tengah situasi yang berubah saat ini. Pada kasus GVV batch ke-3, kami akhirnya melakukan pivot dengan fokus pada peluang digitalisasi di sektor UKM. Kini semua tentang solusi digital untuk membuat layanan Grab menjadi fleksibel di era pandemi. Di sini kami dapat membantu mereka mengadopsi teknologi digital,” katanya.

Perihal kriteria startup dan KPI

Kriteria menjadi standar umum dalam mencari partner yang potensial. Pada program akselerasi semacam GVV, Aditi menekankan strategic feed yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Terutama, apabila startup tersebut dapat men-deliver tujuan ini pada waktu yang tepat.

“Kami melihat kriteria semacam ini, seperti seberapa kuat komitmen founder, chesmistry dengan founder, atau apakah mereka mau mendukung ekosistem UKM. Ini yang kami sebut bahwa kami berbagi tujuan yang sama,” tutur Aditi.

Selain itu, program inkubasi juga tetap memiliki KPI untuk memastikan bahwa startup yang diajak kerja sama menjalankan misi yang sama dengan misi perusahaan. “Bagi kami, metrik utamanya adalah apakah tim dapat menciptakan model bisnis dan membawa tech leader. Tentu program ini selalu dievaluasi.”

Disclosure: DailySocial merupakan strategic partner Grab Ventures Velocity

The Role of Insurtech to Democratize Insurance Services

In the long run, insurance services are often associated with negative feedback. Complicated and expensive are probably the two things that most often attach to the stigma of insurance services in Indonesia. It’s no wonder that insurance penetration in Indonesia is still around 2%.

This reality also hits PasarPolis when starting its business as an insurtech. PasarPolis’ Founder & CEO Cleosent Randing said that this challenge was the company’s foothold in the process of democratizing insurance services.

How can insurance be free from the bad stigma that has stuck for so many years? How can insurtech have great prospects in facilitating access to insurance products to the wider community? Cleo shared his knowledge and experience as the founder of PasarPolis in this #SelasaStartup session.

Insurance service democratization

Cleo explained that democratizing insurance services means that more people can access insurance products to ensure safety feeling. The key is in access. The high price of insurance products and the purchase claim process are examples of barriers to this access.

In fact, according to Cleo, the safety offered by insurance products is very important. The most common example is when the head of the family or a family member who acts as a provider falls ill and has to be hospitalized.

The costs incurred for treatment and medicine will certainly not just a penny. One incident is enough to shake a family’s economy. That’s where the role of insurance is so important. However, as we all know, these obstacles put insurance as a necessity in Indonesia.

“In an outline, it is how we use technology to reduce prices or costs for someone to get a sense of security,” Cleo explained.

Insurtech has this ability. Technology allows insurtech players to open as wide access as possible to more people and reduce the price of insurance products to a level that can reach all levels of society.

PasarPolis way to create access

It is true that insurance penetration in this country is quite low. However, at the same time, the potential to develop in the industry is wide open. Cleo claims that PasarPolis is currently able to sell policies 60 times more than in their early years of operation.

“We are currently selling about 50 million policies a month,” he added.

One of the main strategies for PasarPolis is to collaborate with large partners to sell insurance products. Call it Gojek, Tokopedia, to Traveloka.

The third one is investors and business partners of PasarPolis. They have a few millions of users. This strategic partnership is a shortcut in boosting insurance product sales.

However, Cleo admits that numbers such as users are not their only factor in determining collaboration. The similar vision and mission, the added value provided to consumers, and the use of technology are also considered. Cleo admitted that his team was quite selective before deciding to partner with others.

Technology is indeed playing quite a role in the effort to popularize insurance products to the wider community. PasarPolis practices this by creating insurance products at low prices and accessible on other platforms. An example is Go-Sure, as their collaboration with Gojek. Also, it is more often seen on Tokopedia. Every time you make checkout at Tokopedia, a small box will appear that allows prospective buyers to choose whether the items spent are insuranced or not.

Looking for more opportunities

PasarPolis also operates in Vietnam and Thailand. With more or less the same market conditions in Indonesia, PasarPolis draws a similar strategy: cooperating with the main digital platforms and offering affordable insurance products.

However, the pandemic is likely to encourage PasarPolis to find more maneuvers. With the current condition that demand for health products in all lines continues to increase, public awareness of the importance of having insurance has also increased.

“For example, people are going across region such as Surabaya or other provinces, there must be protection from Covid-19, and as we see it is still rare in Indonesia. We can see how we can provide a value proposition to the community,” Cleo concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Peran Insurtech untuk Demokratisasi Layanan Asuransi

Dalam jangka waktu yang panjang, layanan asuransi kerap diasosiasikan dengan hal-hal yang kurang enak di telinga. Rumit dan mahal mungkin dua hal yang paling sering menempel dengan stigma layanan asuransi di Indonesia. Maka tak heran penetrasi asuransi di Indonesia masih sekitar 2% saja.

Kenyataan tersebut harus dihadapi oleh PasarPolis saat memulai usahanya sebagai insurtech. Founder & CEO PasarPolis Cleosent Randing menyebut tantangan tersebut menjadi pijakan perusahaannya dalam proses demokratisasi layanan asuransi.

Bagaimana caranya asuransi lepas dari stigma buruk yang kadung melekat sekian tahun? Bagaimana bisa insurtech punya prospek besar dalam mempermudah akses produk asuransi ke masyarakat yang lebih luas? Cleo berbagi pengetahuan dan pengalamannya sebagai pendiri PasarPolis dalam #SelasaStartup kali ini.

Arti demokratisasi layanan asuransi

Cleo menerangkan, secara lugas bahwa demokratisasi layanan asuransi berarti ada lebih banyak orang yang dapat mengakses produk-produk asuransi untuk memperoleh rasa aman. Kata kuncinya ada di akses. Harga produk asuransi yang mahal dan proses klaim yang berbeli merupakan contoh penghambat akses tersebut.

Padahal menurut Cleo rasa aman yang ditawarkan produk asuransi itu begitu penting. Contoh paling sering terjadi adalah jika kepala keluarga atau anggota keluarga yang berperan sebagai penafkah jatuh sakit hingga harus dirawat di rumah sakit.

Biaya yang dikeluarkan untuk mendapat perawatan dan obat-obatan sudah pasti tidak akan sedikit. Satu kejadian cukup untuk mengguncang perekenomian suatu keluarga. Di sanalah peran asuransi begitu penting. Namun seperti diketahui bersama, hambatan-hambatan tadi menempatkan asuransi belum sebagai kebutuhan di Indonesia.

“Mungkin secara garis besar bagaimana kita menggunakan teknologi untuk menurunkan harga atau biaya seseorang untuk mendapatkan rasa aman,” terang Cleo.

Insurtech punya kemampuan tersebut. Teknologi memungkinkan pelaku insurtech membuka akses selebar mungkin ke lebih banyak orang dan menekan harga produk asuransi hingga ke level yang bisa menyentuh semua lapisan masyarakat.

Cara PasarPolis membuka akses

Memang benar bahwa penetrasi asuransi di negeri ini masih sangat rendah. Namun secara bersamaan potensi untuk berkembang di industri terbuka begitu lebar. Cleo mengklaim PasarPolis saat ini mampu menjual polis 60 kali lipat lebih banyak ketimbang di tahun-tahun awal mereka beroperasi.

“Kita saat ini menjual sekitar 50 juta polis dalam sebulan,” imbuh Cleo.

Salah satu strategi yang menjadi andalan PasarPolis adalah menggandeng mitra-mitra besar untuk menjual produk asuransi. Sebut saja Gojek, Tokopedia, hingga Traveloka.

Ketiganya adalah investor sekaligus rekan bisnis PasarPolis. Ketiganya juga memiliki jumlah berjuta-juta pengguna. Kemitraan strategis tersebut adalah jalan pintas dalam mendongkrak penjualan produk asuransi.

Namun Cleo mengaku angka-angka seperti jumlah pengguna bukan satu-satunya faktor mereka dalam menentukan kerja sama. Kesesuaian visi dan misi, nilai tambah yang dapat diberikan ke konsumen, dan penggunaan teknologi juga jadi pertimbangan PasarPolis. Cleo mengaku pihaknya cukup selektif sebelum memutuskan bermitra dengan pihak mana pun.

Teknologi tentu juga memainkan perannya dalam upaya mempopulerkan produk asuransi ke masyarakat luas. PasarPolis mempraktikan hal itu dengan menciptakan produk-produk asuransi dengan harga murah dan dapat dijangkau di platform lain. Contohnya adalah Go-Sure, buah kerja sama mereka dengan Gojek. Atau yang lebih sering terlihat di Tokopedia. Setiap akan checkout belanja di Tokopedia, akan muncul kotak kecil yang memungkinkan calon pembeli memilih barang yang dibelanjakan akan dilindungi asuransi atau tidak.

Terus mencari kesempatan lebih

PasarPolis saat ini juga beroperasi di Vietnam dan Thailand. Dengan kondisi pasar yang kurang lebih sama di Indonesia, PasarPolis menarik strategi yang juga serupa di sini: menggandeng platform digital utama di sana dan menawarkan produk asuransi yang terjangkau.

Namun kondisi pandemi yang sepertinya mendorong PasarPolis bermanuver lebih banyak. Dengan kondisi kebutuhan produk kesehatan di segala lini yang terus meningkat, kesadaran masyarakat akan pentingnya memiliki asuransi pun meningkat.

“Misal ada orang yang harus pergi ke Surabaya atau ke tempat lain, kan harus ada proteksi dari Covid-19 dan di Indonesia ini kita lihat masih jarang. Di sana kita bisa lihat bagaimana kita bisa memberikan value proposition ke masyarakat,” pungkas Cleo.

Lewat Asuransi Mikro, Jalan Panjang Insurtech Bersinar di Indonesia

Penetrasi asuransi di Indonesia masih rendah dibandingkan negara tetangga. Selama ini pendekatan yang diambil perusahaan asuransi dalam menjual produknya bisa dikatakan belum tepat. Dalam artian, produk yang dijual preminya terlalu mahal, pun masyarakat masih belum teredukasi dengan manfaat asuransi.

Alhasil, cara tidak berhasil dalam menarik calon pembeli, apalagi jika kondisi ekonomi mereka kurang mampu untuk membelinya. Kesenjangan tersebut akhirnya memicu munculnya insurtech.

Insurtech bukan sebagai perusahaan asuransi, melainkan mitra teknologi dari perusahaan asuransi untuk meracik produk asuransi dan memasarkannya lewat kanal digital. Pada tahap awal ini, insurtech memperkenalkan produk asuransi mikro dengan harga terjangkau untuk menangkap traksi dari masyarakat.

Menurut tren di negara maju, insurtech menjadi generasi dari fintech berikutnya yang akan bersinar, setelah pembayaran dan pembiayaan. Apakah tren ini akan terjadi di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, DailySocial mengangkat pembahasan tersebut ke dalam sesi #SelasaStartup dengan mengundang Co-Founder & COO Qoala Tommy Martin.

Model bisnis ideal insurtech

Menurut Tommy, model bisnis yang ideal buat perusahaan insurtech tergantung di mana negara operasional mereka. Buat Indonesia, salah satu keunggulannya adalah memiliki jumlah pemain startup digital yang melimpah. Itu bisa menjadi model bisnis yang bisa diterapkan.

“Keberadaan startup ini otomatis menjadi potensi yang bisa Qoala lakukan untuk kerja sama dengan mereka. Umumnya mereka sudah melayani konsumen masing-masing, seperti OTA, e-commerce, fintech lending, yang bisa dimasuki oleh produk asuransi sebagai pelengkap,” terangnya.

Cara jemput bola ini cukup tepat untuk diterapkan di Indonesia karena sebelumnya pemain insurtech yang hadir masih berbentuk marketplace menjual beragam produk asuransi. Hal ini kontradiktif dengan kenyataan bahwa kesadaran orang Indonesia untuk membeli asuransi masih sangat rendah.

“Di Malaysia mungkin model marketplace sudah efektif karena kesadaran masyarakat di sana sudah tinggi. Di sana pemerintah mewajibkan untuk memiliki asuransi kendaraan. Jadi cukup buat portal untuk membeli asuransi sudah cukup.”

Mulai dari produk mikro

Tommy melanjutkan, posisi insurtech sebagai mitra teknologi dari perusahaan asuransi sebenarnya dapat mengakselerasi penetrasi asuransi dengan meracik produk yang dikostumisasi sesuai target konsumen. Ini bisa dimulai dengan menjual produk asuransi mikro yang menjadi produk komplementer mereka saat bertransaksi di platform digital favorit dengan harga murah, perlindungan simpel, dan proses klaim yang mudah.

Semakin relevan dengan kebutuhan mereka, maka kemungkinan besar produk asuransi tersebut pasti mereka beli. Misalnya seperti asuransi perjalanan, asuransi handphone, asuransi saat pembelian paket, dan sebagainya.

Dengan premi Rp15 ribu sampai Rp20 ribu menjadi harga permulaan yang sekiranya tidak akan membebankan konsumen saat membelinya. Tidak hanya menekankan harga yang murah, yang terpenting adalah proses yang simpel baik saat pembelian maupun klaim.

Klaim adalah moment of truth yang membuktikan bahwa produk asuransi yang dibeli konsumen benar-benar memberikan mereka manfaat. Produk asuransi itu sendiri adalah produk virtual yang bentuk polisnya hanya secarik kertas, bahkan tanpa kertas karena dikirim secara digital.

“Klaim adalah fokus utama Qoala, dari dulunya proses manual butuh mingguan sekarang jadi hanya hitungan detik. Dengan permudah klaim, suatu hari ketika konsumen beli produk asuransi mahal mereka sudah paham manfaatnya.”

Mengembangkan produk seperti ini tentunya akan menjadi tantangan bagi Qoala kepada perusahaan asuransi konvensional untuk meyakinkan mereka. Di satu sisi perusahaan harus tetap prudent bagaimana meminimalisir risiko penipuan dari setiap nasabah yang klaim.

Tommy menceritakan pada pertama kali menggandeng perusahaan asuransi, mereka butuh waktu enam bulan untuk memastikan mereka untuk percaya dengan teknologi dari Qoala. Menariknya, setelah berhasil diluncurkan, Qoala berhasil menggaet lebih dari 25 perusahaan dalam waktu setahun setelahnya.

Kini perusahaan telah melindungi kurang lebih 2 juta sampai 5 juta nasabah asuransi setiap bulannya. Mayoritas nasabah ini berada di kota-kota besar.

Perjalanan masih panjang

Produk mikro diyakini akan menjadi pintu awal dalam meningkatkan penetrasi asuransi di Indonesia. Di luar sana, solusi asuransi jauh lebih kompleks dan butuh bantuan insurtech untuk mengatasinya.

“Kalau kita bisa beri layanan asuransi dengan mudah, kita yakin masyarakat dapat memahami lebih cepat karena proses beli dan klaimnya sudah terbukti cepat. Ketika momen itu ada, kita baru bisa masuk ke tahapan berikutnya bagaimana menjadikan asuransi jadi top of mind dalam hidup mereka. Naik tahap belum akan terjadi cepat ketika kesadaran terbentuk.”

Dalam menyiapkan masa itu tiba, pekerjaan rumah yang dilakukan oleh perusahaan insurtech dengan asuransi adalah meracik produk-produk yang lebih kompleks dan menyederhanakannya dengan pendekatan teknologi. Salah satu yang sudah dilakukan Qoala adalah untuk asuransi kendaraan.

Qoala menggunakan teknologi machine learning untuk permudah klaim, sehingga petugas asuransi tidak perlu langsung mendatangi lokasi. Nasabah cukup mengambil foto dari masing-masing sisi kendaraan yang sudah ditentukan dan mengambil vdeo. Dari sistem akan mendeteksi dan memilah apakah badan kendaraan masih utuh atau tidak, lalu akan melaporkan analisa tersebut kepada asuransi.

“Bagusnya dengan teknologi adalah machine learning akan semakin pintar dalam menganalisis bagian mana yang rusak dan menurut kita suatu hari saat fraud menurun, mungkin harga premi akan turun karena risikonya semakin minim. Sebab yang membuat asuransi itu mahal karena proses analisa risikonya,” tutup dia.

Pandemic and The Increasing Awareness of Financial Planning

Life pressures and current economic conditions have influenced people to start planning their financial decisions. Starting from using emergency funds to cutting expenses.

As a digital financial planning platform, Halofina decided it is the right time to educate the public, aiming to increase financial literacy in the country. DailySocial invited Halofina’s Founder & CEO, Adjie Wicaksana in the #SelasaStartup session the first week of August 2020.

Efforts to increase awareness

OJK recorded the percentage of Indonesian people’s financial literacy in 2019 experienced a significant increase of 38%. This number is certainly an achievement compared to the previous 3 years at only 29%. Even though it has increased, Adjie said this number is quite far behind other neighboring countries with a fairly good amount of financial literacy among the community, around 70% and above.

What is quite a challenge, is not only the large size of Indonesia’s population compared to other neighboring countries, but also a trust issues among the public, related to digital financial products.

“Therefore, the productive age is shown as an ideal target market for a digital financial planning platform. Halofina offers products and services, in this case financial planning,” Adjie said.

Even though it’s mainly focused on millennials, adjusting the phase that is ultimately faced by this productive age can increase the number of users who are most familiar with technology or better known as tech-savvy.

“We see that productive age is the largest segment that has been frequently exposed and accustomed to digital products and technological innovations. This has become the focus of Halofina,” Adjie said.

Reducing barrier entry

The main obstacle for most fintech services to offer their products lies in the barrier entry. From lack of trust to product safety and risk factors, which ultimately makes it difficult for fintech platforms in general to acquire users.

“Therefore, it is important for the platform to provide important and legitimate evidence from regulators. As our platform becomes the first listed in the Financial Services Authority’s (OJK Sandbox) Digital Financial Innovation, Digital Financial Planner category,” said Adjie.

Apart from regulatory and legality issues, the platform must also have relevant and on-demand products by the community. In this case, creating a ‘relatable’ product becomes important. In Halofina, financial planning products are what we’ve tried to offer.

“In early July we launched the consulting feature. The main feature is similar to the ones offered by the healthtech platforms, which is consulting with doctors online. However, in Halofina we provide certified financial planners for users to conduct consultations related to investment and financial planning,” said Adjie .

Pandemic and financial planning

In the time of a pandemic, there was a lot of negative news that circulating the daily routine, it was enough to influence most people’s views and decisions. Previously, most millennials don’t really care about their financial management and financial planning, today, Adjie said there has been a significant increase in the community to pay attention to their financial management.

Starting from using the right emergency fund to managing their financial flow. Adjie also mentioned that this opportunity was what Halofina tried to utilize as a relevant platform. Not only on social media accounts and platforms, Halofina tries to provide the right and required education, aiming to increase awareness of the importance of financial management and planning in everyday life.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Pandemi dan Peningkatan Kesadaran Perencanaan Keuangan

Tekanan hidup serta kondisi ekonomi saat ini ternyata mempengaruhi kebanyakan orang mengambil keputusan finansial mereka. Mulai dari menggunakan dana darurat hingga memangkas pengeluaran.

Sebagai platform perencana keuangan digital, Halofina merasa ini saat yang tepat untuk memperluas edukasi kepada masyarakat, dengan tujuan untuk meningkatkan literasi keuangan di tanah air. Dalam sesi #SelasaStartup minggu pertama Agustus 2020, DailySocial menghadirkan Founder & CEO Halofina Adjie Wicaksana.

Upaya meningkatkan awareness

OJK mencatat tahun 2019 persentase literasi keuangan masyarakat Indonesia mengalami kenaikan yang cukup signifikan sekitar 38%. Jumlah ini tentunya merupakan prestasi tersendiri jika dibandingkan 3 tahun sebelumnya yang hanya 29% saja. Meskipun mengalami kenaikan, namun menurut Adjie, jumlah ini masih kalah jauh dengan negara tetangga lainnya yang telah memiliki jumlah literasi keuangan cukup baik di kalangan masyarakat sekitar 70% ke atas.

Apa yang menjadi tantangan tentunya bukan hanya jumlah populasi Indonesia yang cukup besar dibandingkan negara tetangga lainnya, namun juga rasa kepercayaan atau trust issue yang masih rendah dikalangan masyarakat, terkait dengan produk keuangan digital.

“Dari situ akhirnya terlihat usia produktif merupakan target pasar yang ideal untuk platform perencana keuangan digital, Halofina menawarkan produk dan layanan, dalam hal ini adalah perencanaan keuangan,” kata Adjie.

Meskipun hanya fokus kepada kalangan milenial, namun menyesuaikan fase yang pada akhirnya dihadapi oleh usia produktif tersebut, dapat menambah jumlah pengguna yang kebanyakan sudah terbiasa dengan teknologi atau lebih dikenal dengan tech savvy.

“Kami melihat usia produktif merupakan segmen paling besar yang sudah sering terekspos dan terbiasa dengan produk digital dan inovasi teknologi. Hal tersebut yang kemudian menjadi fokus dari Halofina,” kata Adjie.

Mengikis barrier entry

Persoalan utama yang masih menjadi kendala kebanyakan layanan fintech untuk menawarkan produknya adalah, barrier entry dari kebanyakan masyarakat untuk mulai mencoba. Mulai dari kurang percaya hingga faktor keamanan dan risiko produk, yang pada akhirnya menyulitkan platform fintech pada umumnya untuk mengakuisisi pengguna.

“Untuk itu penting bagi platform memberikan bukti yang penting dan sah dari regulator. Sebagai platform kami yang pertama telah tercatat di Inovasi Keuangan Digital Otoritas Jasa Keuangan (OJK Sandbox) kategori Digital Financial Planner,” kata Adjie.

Selain persoalan regulator dan legalitas, platform juga harus memiliki produk yang relevan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam hal ini menciptakan produk yang ‘relatable‘ menjadi penting. Di Halofina sendiri produk perencana keuangan yang kemudian dicoba untuk ditawarkan kepada target pengguna.

“Awal bulan Juli lalu kami meluncurkan fitur consultation. Fungsinya serupa dengan yang ditawarkan oleh platform healthtech yaitu konsultasi dengan dokter secara online. Namun di Halofina kami menyediakan perencana keuangan yang telah telah tersertifikasi untuk pengguna melakukan konsultasi terkait dengan investasi dan perencanaan keuangan,” kata Adjie.

Pandemi dan perencanaan keuangan

Saat pandemi ketika banyak berita negatif yang mewarnai rutinitas sehari-hari, ternyata cukup mempengaruhi pandangan dan keputusan dari sebagian besar orang. Jika sebelumnya tidak banyak di antara kalangan milenial yang peduli dengan manajemen keuangan dan perencanaan finansial mereka, kini menurut Adjie terjadi peningkatan yang cukup besar dari kalangan masyarakat untuk memperhatikan manajemen keuangan mereka.

Mulai dari menggunakan dana darurat yang tepat hingga mengatur keuangan mereka. Menurut Adjie, peluang ini yang kemudian dicoba untuk dimanfaatkan oleh Halofina sebagai platform yang relevan. Bukan hanya di akun media sosial dan platform, Halofina mencoba untuk memberikan edukasi yang tepat dan dibutuhkan, dengan tujuan meningkatkan awareness pentingnya manajemen dan perencanaan keuangan dalam kehidupan sehari-hari.

Application Information Will Show Up Here

Beautytech dan Perannya Membentuk Industri Kecantikan

Industri kecantikan tak dimungkiri menjadi salah satu yang paling naik daun dalam setengah dekade terakhir. Female Daily adalah bagian dari saksi melambungnya industri ini. Sebagai platform komunitas online di bidang kecantikan.

Co-Founder & CEO Female Daily Hanifa Ambadar mengatakan, ada sejumlah faktor pasar kecantikan kian membesar. Tren global, kemunculan merek-merek lokal, hingga serbuan kultur K-Drama dan K-Pop yang berakibat banyaknya produk kosmetik asal Korea yang mencoba peruntungan di sini. Platform review seperti Female Daily mengamplifikasi semua hal tersebut sehingga menghasilkan ekosistem yang lengkap.

“Sampai sekarang apa yang kita bangun di Female Daily itu berdasarkan feedback user,” ujar Hanifa.

Dalam #SelasaStartup minggu keempat bulan Juli, Hanifa menjelaskan bagaimana beautytech seperti Female Daily membentuk industri kecantikan, mulai dari aspek kemunculan pelaku industri, makin beragamnya produk yang ditawarkan, hingga perubahan perilaku konsumen produk kecantikan.

Komunitas sebagai kunci

Kiprah Female Daily sebagai beautytech sejak 2005 tak bisa lepas dari peran basis komunitas mereka yang kuat. Hanifa menilai, kuatnya komunitas tak lepas dari kualitas anggotanya di masa awal mereka berdiri. Model bisnis di masa lampau membuat mereka tumbuh secara organik meski di satu sisi butuh waktu yang lebih lama untuk bisnisnya tumbuh.

Berawal dari blog, kini Female Daily adalah platform yang memiliki 50 juta anggota dengan 4 juta unique users per bulan. Besarnya komunitas berbanding lurus dengan pengaruh mereka ke industri. Hanifa memberi contoh ketika ada rencana peluncuran produk dari suatu merek, maka si pemilik produk akan menggandeng Female Daily untuk mendengar masukan dari anggota komunitas.

Tidak perlu heran jika platform review seperti Female Daily bisa punya pengaruh sekuat itu. Pasalnya pengetahuan para anggotanya tentang kosmetik dan kecantikan tak bisa diremehkan. Ada yang bekas majalah fesyen, ada yang pernah bekerja di industri fesyen. Menjadi yang paling cepat mewadahi pengetahuan orang-orang itu adalah sebuah keuntungan.

Namun besarnya komunitas Female Daily tak tercapai dalam semalam. Sebagai salah satu platform pertama yang membahas serba-serbi kecantikan, Female Daily membuka diri dan merawat anggotanya agar tempatnya jadi pilihan utama para beauty enthusiast. Salah satu bentuknya adalah mempererat hubungan antara anggota dengan perusahaan.

“Kita juga di awal nutruring lewat offline events. Walaupun kita online community tapi kedekatan itu juga lebih erat karena adanya offline event,” imbuh Hanifa.

Pengaruh ke pelaku industri 

Berkembangnya beautytech seperti Female Daily mempercepat penyebaran informasi produk kecantikan. Menurut Hanifa perusahaan kosmetik terbantu kehadiran beautytech karena produk mereka punya kesempatan disorot ke audiens yang lebih luas serta mendapat masukan yang lebih dalam tentang produknya.

“Sekarang hampir semua perusahaan kecantikan punya satu orang khusus untuk mempelajari semua percakapan yang ada di Female Daily.”

Suara-suara konsumen itu tak hanya dijadikan bekal membuat produk berikutnya, tapi juga membaca selera dan manuver kompetitor, serta merancang kampanye pemasaran. Menurut Hanifa hal itu terutama dilakukan oleh merek lokal. Ia juga menambahkan saat ini tren yang berkembang di industri kecantikan memang melibatkan konsumen dalam menentukan produk berikutnya.

Mengubah perilaku konsumen

Selain ke produsen kecantikan, kehadiran beautytech tentu turut mengubah perilaku konsumen produk kecantikan. Satu hal yang paling disadari oleh Hanifa adalah review sudah jadi kebiasaan tak terpisahkan dari konsumen saat ini. Konsumen juga jauh lebih lapar akan informasi produk kecantikan yang hendak dibeli.

Makin mudanya penikmat produk kecantikan juga ditengarai berpengaruh terhadap perilaku konsumen. Contohnya adalah selektifnya mereka karena menyesuaikan bujet yang terbatas. Maka rekomendasi dan hasil review menjadi pegangan utama mereka.

“Yang kedua menurutku adalah kecintaan terhadap merek lokal. Jadi sekarang banyak orang yang dukung merek lokal bukan karena lokalnya saja, tapi juga karena produknya yang keren-keren,” ucap Hanifa.

Tantangan yang masih dihadapi

Hanifa menekankan tantangan mereka sebagai platform online adalah sebaran informasi tentang kecantikan yang lebih luas. Jika dahulu sumber distraksi masih cukup terbatas, kini jauh berbeda. Tanpa faktor pembeda, orang tidak bisa lagi berlama-lama di dalam satu situs saja karena sumber distraksi makin banyak. Female Daily berkeinginan menjadi satu ekosistem terpadu tentang produk kecantikan.

Salah satu masalah itu terjadi ketika seseorang hendak mencari informasi tentang suatu produk yang ingin ia beli, namun ia harus mengunjungi situs/aplikasi/tempat lain untuk membeli barang yang dicari. Maka dari itu Female Daily mendirikan Beauty Studio, e-commerce produk kecantikan yang melengkapi ekosistem mereka.

“Jadi kita mikir bagaimana caranya agar user kita enggak ke mana-mana lagi. Terekspos, diskusi, beli di situ, memberi review, jadi satu ekosistem untuk memfasilitasi journey customer di Female Daily,” lengkap Hanifa.

Menurut Hanifa sebenarnya masih ada satu hal yang ingin mereka lengkapi dalam ekosistem Female Daily yakni toko ritel fisik. Produk kecantikan memang bergantung penginderaan manusia. Namun pandemi memundurkan rencana tersebut yang tadinya ingin dieksekusi akhir tahun ini.

Di samping itu, Hanifa juga berharap mereka dapat menggunakan kecerdasan buatan (AI) yang lebih jauh di platform mereka. Ia menyebut teknologi itu dapat memudahkan pengguna memperoleh rekomendasi produk kecantikan yang sesuai dengan preferensi dan kebutuhannya.

“Yang menarik beauty itu banyak banget datanya. Jadi kalau misal aku review product, ketahuan aku sukanya produk apa saja, komposisi apa saja, dan formulasi apa saja. itu bisa ditebak dan dipelajari,”