Bagaimana Layanan Startup Membantu UMKM

Jumlah UMKM di Indonesia saat ini lebih dari 60 juta. Kendati untuk ukuran bisnis mereka masih tergolong kecil, tetapi secara bersama mereka mendukung ekonomi Indonesia. Dalam lima tahun terakhir kita lihat bersama bagaimana startup teknologi mencoba membantu UMKM bertumbuh dan berkembang cepat. Potensi ini terus belanjut, bahkan memasuki babak selanjutnya.

Di awal meledaknya implementasi teknologi digital, banyak startup yang menawarkan serangkaian solusi untuk membantu bisnis UMKM berkembang. Bulakapak, Tokopedia, dan Gojek adalah tiga dari banyak startup dengan semangat tersebut.

Tokopedia dan Bukalapak saat ini telah berhasil mengubah kebiasaan banyak masyarakat Indonesia dalam hal belanja online. Di sisi lainnya, efek meledaknya volume transaksi di dua layanan e-commerce top Indonesia tersebut adalah banyaknya penjual, yang kebanyakan UMKM, menikmati hasilnya. Platform Bukalapak dan Tokopedia terbukti menjadi etalase bisnis digital yang mampu menjangkau jutaan orang sekaligus.

Selain etalase online, Tokopedia dan Bukalapak juga menawarkan pengelolaan bisnis, integerasi dengan layanan logistik, dan sistem pembayaran yang sekarang semakin banyak pilihannya. Jadi tidak berlebihan jika menyebut Tokopedia dan Bukalapak adalah salah satu alasan UMKM bertahan dan berkembang, bahkan memicu banyak munculnya pebisnis baru.

Di periode yang sama Gojek berinovasi dengan GoFood. Layanan ini kemudian meledak, memicu pesaingnya Grab, meluncurkan layanans serupa, GrabFood. Meledaknya penggunaan layanan pesan antar makanan ini adalah berkah bagi mereka yang berjualan makanan. Tak hanya melayani pelanggan yang mampir ke warung, kini mereka bisa melayani pelanggan dari mana saja, asalkan terjangkau cakupan layanan pengiriman makanan.

Modal dan digitalisasi yang lebih baik

Setelah banyak bukti startup bisa bersinergi dengan UMKM, kemudian ramai-ramai bermunculan layanan dengan niat baik serupa. Mereka menghadirkan berbagai macam layanan yang ditujukan untuk membantu UMKM untuk “naik kelas”. Salah satu yang paling krusial adalah akses permodalan yang lebih mudah.

Nama-nama seperti KoinWorks, Investree, Modalku, Akseleran, Amartha adalah beberapa di antaranya. Mereka menawarkan akses ke pinjaman produktif. Tren mengembangkan layanan permodalan pun juga masuk ke area peternakan dan pertanian. Semuanya melalui kanal digital.

Modal adalah salah satu bagian penting perjalanan bisnis. Tidak hanya untuk memulai bisnis, modal juga diperlukan untuk melakukan inovasi lanjutan–ekspansi misalnya. Lahirnya banyak startup yang membantu UMKM mengakses permodalan ini penting untuk menyelesaikan salah satu permasalahan klasik UMKM secara digital.

Di fase ini juga muncul banyak bentuk layanan yang ditujukan untuk membantu UMKM. Misalnya, munculnya penyedia dashboard yang mampu mengelola beragam toko online di media sosial, lahirnya berbagai macam bentuk chatbot, pengleola stok, dan semacamnya.

Menyasar UMKM lebih banyak lagi

Tak berhenti pada pemodalan, masih banyak startup yang muncul untuk bisa memberikan solusi bagi bisnis UMKM untuk berkembang. Tidak hanya UMKM Go Online, tetapi terkait dengan manajemen dan pengelolaan. WarungPintar, Wahyoo, Mitra Bukalapak, Mitra Tokopedia, dan GrabKios lahir di fase ini.

Fokusnya tidak hanya bagaimana bisnis bisa dipasarkan lebih luas, tapi lebih ke bagaimana pengelolaan bisnis UMKM itu sendiri. Selain “menyulap” bisnis dengan tampilan yang kekinian, Platform ini menyediakan aplikasi yang bisa membuat pengusaha offline, dalam hal ini warung makan atau retail perorangan, untuk bisa berdaya.

Mitra Bukalapak, Mitra Tokopedia, dan Grab Kios misalnya. Mereka membuat para pedagang retail tak hanya menjual barang dagangannya, tetapi juga menjual tiket, pulsa, paket data, dan pembayaran lainnya. Wahyoo dan Warung Pintar pun demikian, hanya fokus ke kategori UMKM yang berbeda.

Inovasi selanjutnya tampaknya akan mengarah pada perbaikan disribusi pasokan barangnya atau supply chain. Jadi semua barang yang dijual akan mampu dipesan melalui aplikasi-aplikasi yang ada. Akan menjadi rantai pasok distribusi yang efisien jika startup-startup ini mampu menyediakan gudang atau tempat pemasok yang terjangkau. Tentunya dengan rantai pasokan yang lebih efisien harga juga bisa menjadi lebih baik. Belum lagi penawaran-penawaran menarik lainnya, seperti pilihan pembayaran dan semacamnya.

Yang terbaru, Ula, startup yang mencoba memberikan disrupsi di sektor supply chain, berhasil mendapatkan pendanaan awal sebesar Rp148 miliar dari sejumlah investor.

Startup “Payment Gateway” Duitku Masih Jadikan UKM sebagai Pelanggan Utama

Co-founder & CEO Duitku Rheza Budiono menceritakan, sejak awal berdiri mereka menyasar UKM sebagai pangsa pasar utama dan konsisten hingga saat ini.

Dukungan Duitku terhadap UKM tercermin dari fokus mereka saat ini yang aktif menyediakan plugins untuk platform e-commerce yang memudahkan merchant dalam mengimplementasikan layanan Duitku dan mengintegrasikannya ke situs resmi mereka.

Untuk saat ini fokus Duitku dibedakan menjadi dua jenis. Pertama untuk payment gateway, dan yang kedua pengiriman dana atau disbursement. Duitku sendiri sudah mendapatkan izin dari Bank Indonesia sebagai Perusahaan Transfer Dana (PTD) sejak Agustus 2018 dan saat ini dalam tahap akhir menunggu terbitnya izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP).

“Dari sejak terbentuknya hingga saat ini, Duitku sudah memfasilitasi sistem pembayaran untuk lebih kurang 2000 merchant dari berbagai jenis dan skala usaha yang beragam. E-commerce, event, donasi, travel, hingga ke jenis usaha modern seperti platform iklan, layanan via aplikasi, maupun peer to  peer lending, dari UKM, hingga perusahaan multinasional,” terang Rheza.

Sebagai salah satu layanan payment gateway yang sudah lebih dari tiga tahun beroperasi di Indonesia, Duitku sejauh ini cukup percaya diri dengan posisinya di industri. Mereka cukup optimis dengan potensi yang ada di Indonesia. Rheza juga menyatakan tidak menutup peluang kerja sama dengan sistem pembayaran lain baik dari dalam maupun luar negeri.

“Kami menyadari dengan luasnya potensi pasar di Indonesia ini Duitku tetap dapat memberikan kontribusi terbaik sekaligus membesarkan industri sistem pembayaran online ini bersama-sama,”ujar Rheza.

Payment gateway di Indonesia

Saat ini UKM di Indonesia sudah memiliki banyak pilihan untuk menjalankan bisnisnya secara digital, termasuk pilihan pembayaran. E-commerce misalnya, memberikan sistem yang lebih utuh dalam proses jual beli barang. Belum lagi adanya aturan QRIS yang memungkinkan pedagang dari segala level bisa menerima pembayaran melalui e-money atau transfer bank dengan mudah.

Kondisi tersebut tidak menggoyahkan semangat Duitku untuk tetap menyasar UKM sebagai pelanggan potensial utamanya. Karena menurutnya industri payment gateway masih dalam tahap pertumbuhan dan mereka cukup yakin bisa berkontribusi dalam perkembangan ekonomi Indonesia secara makro di era digital.

Marketplace secara umum lebih dirancang untuk penjualan tangible goods, sementara masih banyak intangible goods atau produk digital lainnya yang membutuhkan tempat penjualan namun belum terfasilitasi secara memadai. Untuk jenis-jenis usaha tersebut, Duitku berharap dapat memberi dukungan agar mereka dapat berjualan di platform/situs mereka sendiri secara independen, karena sebuah produk yang berkualitas, pada akhirnya akan memiliki platformnya sendiri,” tutup Rheza.

Ekspansi ke Indonesia, Fairbanc Tawarkan “PayLater” Khusus Pedagang Mikro

Perekonomian Indonesia mayoritas disokong dari UKM. Pada 2014, UKM menyumbang 58,92% terhadap PDB. Ada 57,9 juta UKM pada tahun tersebut, angkanya melonjak jadi 62,9 juta dalam tiga tahun. Kunci terpenting dalam membesarkan sektor ini adalah memadukan teknologi digital dan akses modal yang tepat.

Startup fintech Fairbanc mengambil peluang tersebut untuk pemilik bisnis, khususnya pemilik usaha mikro pedesaan yang tidak memiliki rekening bank atau kesulitan mendapat pinjaman dari lembaga keuangan konvensional.

Dari markasnya di San Francisco, Fairbanc melebarkan sayapnya ke Indonesia pasca menerima pendanaan dengan nominal dirahasiakan dari 500 Startups dan miliarder Indonesia Michael Sampoerna pada awal tahun ini.

Konsep yang ditawarkan berbeda dengan startup fintech kebanyakan. Kepada DailySocial, CEO Fairbanc Indonesia Iman Pribadi menerangkan, platformnya menawarkan konsep closed loop financing, yakni sistem pembiayaan yang dilakukan di dalam supply chain. Di dalamnya tidak ada perubahan proses buat peminjam dan juga difasilitasi oleh distributor/prinsipal yang selama ini menyediakan barang untuk para peminjam.

Artinya adalah tidak ada pinjaman dalam bentuk uang, hanya ada tambahan fasilitas dari distributor berupa tambahan jangka waktu pembayaran untuk membeli barang lebih banyak dari distributor/principal.

“Kami menawarkan para pedagang mikro berupa pembiayaan dana bergulir (revolving credit line) yang dapat digunakan tiap minggu untuk membeli barang dagangan dari para distributor pilihan kami yang mana dapat menghasilkan peningkatan penjualan para distributor,” terangnya.

Model bisnis Fairbanc

Produk Fairbanc
Produk Fairbanc

Pedagang yang menerima fasilitas tersebut tidak menerima uang tunai, tetapi bisa membeli barang dagangan dengan cicilan tanpa bunga. Uang tunai diberikan ke distributor dan pedagang membayar cicilan tanpa bunga ke Fairbanc setelah menjual barang dagangan.

Fairbanc hanya mengirimkan kode verifikasi via SMS ke handphone milik pedagang saat bertransaksi. Solusi ini dianggap akurat untuk melayani orang-orang yang tidak punya rekening bank.

Setiap pedagang, sambungnya, memiliki batasan nilai pembiayaan yang sudah terotomatisasi dengan data science. Limit kredit akan bertambah ketika mereka membeli semakin banyak produk dagangan dari para distributor pilihan perusahaan.

Iman menerangkan, perusahaan beroperasi sebagai sebuah platform teknologi untuk perbankan dan dan industri jasa keuangan di Indonesia yang menawarkan pembiayaan dengan menggunakan teknologi dan data science dari Fairbanc.

Teknologi tersebut dimanfaatkan untuk melakukan otomatisasi penilaian kredit dan memantau risiko. Startup ini juga mengembangkan kemampuan pengenalan produk bertenaga AI untuk menawarkan insight kompetitif untuk mitra FMCG.

“Kita bukan lembaga fintech p2p dan tidak memberikan pinjaman jadi tidak ada proses restrukturisasi. Kita merupakan platform teknologi atau machine learning yang membantu meningkatkan pendapatan para pemilik warung/toko. Pinjaman hanya salah satu tools yang bisa difasilitasi oleh Fairbanc dengan lembaga keuangan.”

Lebih lanjut, konsep monetisasi Fairbanc sedikit berbeda. Karena tidak ada bunga yang dibebankan kepada pedagang mikro dan tidak ada tambahan biaya untuk perusahaan principal FMCG dan para distributornya, Fairbanc menghasilkan uang dengan mengoptimalkan pembayaran tunai langsung ke distributor dan penggunaan diskon atas volume penjualan.

Lewat kerja sama dengan perusahaan FMCG dan menawarkan pinjaman produktif untuk membeli produk-produk kebutuhan sehari-hari dengan margin tinggi seperti Unilever, Fairbanc berharap dapat mengurangi risiko gagal bayar pinjaman secara signifikan sambil scaling cepat dengan memanfaatkan jaringan pedagang besar merek konsumen.

Iman mencontohkan, bersama Unilever, perusahaan dapat meningkatkan penjualan pedagang mikro Unilever hingga 35% menggunakan data science. Sebanyak 100% outlet penjualannya meningkat antara 11% sampai 250%.

Tak hanya Unilever, kini Fairbanc telah melakukan kerja sama serupa dengan Sinar Mas untuk perlebar bisnisnya di Indonesia. Perusahaan juga telah terikat dengan organisasi Islam terbesar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk permodalan UKM berbasis syariah.

“Target kita bisa melayani 15000 warung/toko di tahun ini. Saat ini sedang jalan untuk 1000 warung atau toko dengan salah satu FMCG terbesar di Indonesia.”

Tim Fairbanc Indonesia

Iman sendiri sebelum bergabung di Fairbanc, ia pernah berkarier di Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) Kemenkop dan UKM, Reliance Capital, CIMB Niaga Auto Finance, dan Astra Financial Service.

Selain Iman, tim Fairbanc Indonesia dipimpin oleh para ahli yang berpengalaman di bidang keuangan, teknologi, dan ahli FMCG. Nama-nama tersebut di antaranya Siswanto sebagai FMCG Specialist. Ia berpengalaman selama lima tahun di Unilever dan 20 tahun di industri FMCG. Selain itu ada Ivan Manarung sebagai Business Intelligent Specialist. Ia juga pernah berkiprah di Unilever.

Di negara asalnya, Fairbanc dirintis oleh Mir Haque, Kevin O’Brien, Sayeem Ahmed, dan Thomas Schumacher. Pada dua tahun lalu, perusahaan melakukan pilot project di Bangladesh sebelum resmi bekerja sama dengan Unilever Indonesia, melalui Unilever Foundry Program.

Diklaim, program tersebut berhasil menghubungkan 80% pedagang mikro unbanked dan 70% di antaranya adalah perempuan. Mereka berhasil menaikkan 35% penjualannya melalui inisiatif tersebut.

Application Information Will Show Up Here

Kasvlo Hadir Tawarkan Solusi Manajemen Keuangan untuk UKM

Badai pandemi belum selesai menghantam sektor UKM di Indonesia. Di tengah situasi krisis ini, Unzyp Software sebuah pengembang SaaS mencoba menawarkan solusi untuk bantu para pebisnis. Bekerja sama dengan Tech Data, pengembang software asal Malaysia, Unzyp meluncurkan aplikasi Kasvlo, buat bantu manajemen keuangan UKM.

CEO Unzyp Software Untag Pranata mengatakan, banyaknya keluhan akan data para pelaku bisnis yang tidak tersimpan di cloud sehingga menyebabkan hilangnya data saat restorasi smartphone, menjadi salah satu yang mendorong timnya untuk merampungkan layanan ini.

Solusi bisnis untuk UKM

Kasvlo menawarkan tiga solusi bisnis, yaitu fitur pencatatan pengeluaran dan pemasukan keuangan, fitur hutang piutang, dan pembuatan laporan secara otomatis. Dengan biaya berlangganan per bulan/tahun, semua data pelanggan akan tersimpan di cloud dan bisa diakses kapan saja melalui aplikasi.

Ketika disinggung mengenai ketersediaan layanan mereka di area dengan koneksi terbatas, Untag menyebutkan bahwa pihaknya juga mengembangkan fitur “db sync”, memungkinkan data tetap tersimpan secara offline di perangkat dan online di server. Nantinya, apabila pengguna tidak memiliki akses internet, data akan tetap tersimpan, lalu ketika koneksi sudah tersambung akan secara otomatis tersinkronisasi.

Saat ini, aplikasi Kasvlo sudah tersedia di platform Android dan iOS.

Strategi dan model bisnis

Kasvlo sendiri saat ini masih mengandalkan self-funding dalam menjalankan bisnis mereka. Hal ini juga terkait bisnis mereka yang tidak hanya bergerak di bidang SaaS, namun juga sebagai software house yang menyediakan perangkat lunak untuk korporasi

“Dari situlah kami menemukan sebuah pola dari banyaknya permintaan yang sebetulnya sama, maka itu kami berani berinvestasi untuk membangun Unzyp Cloud yang kiranya dapat membantu UMKM,” jelas Untag.

Selain itu, Unzyp Cloud tidak hanya memiliki Kasvlo saja tetapi juga memiliki banyak solusi lainnya seperti Aksesa yaitu software password management, dan juga Billing On untuk sistem penagihan otomatis. Rencananya, akan ada sekitar 9 produk baru untuk selanjutnya diluncurkan.

“Kami harapkan dengan adanya solusi dari kami, dapat membantu UMKM di Indonesia menjadi lebih produktif dan efektif,” tambahnya.

Faktanya, UMKM menjadi penyumbang 60% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Hal ini diduga menjadi pemicu banyaknya layanan teknologi bermunculan untuk ikut menunjang bisnis UKM. Baik dari sisi penjualan, distribusi, manajemen keuangan, juga pencarian talenta.

Sementara, sebenarnya layanan SaaS serupa untuk UKM di Indonesia pilihannya sudah sangat banyak. DailySocial pernah memetakannya dalam “Daftar Layanan-Layanan Pendukung Pengembangan Bisnis UKM“.

Application Information Will Show Up Here

Ula Receives 148 Billion Rupiah Seed Funding, Offering Supply Chain Platform and Capital Support

Ula, a startup working on supply-chain solutions for small shops and SMEs, today (10/6) announced seed funding worth of US $10.5 million or equivalent to 148 billion Rupiah. The investment round was led by Sequoia India and Lightspeed India, with the participation of SMDV, Quona Capital, Saison Capital, and Alter Global. Several angel investors also participated, including Patrick Walujo, Willy Arifin, Sujeet Kumar, Vaibhav Gupta, Amod Malviya, Rohan Monga, and Rahul Mehta.

The new platform was launched in January 2020 and has a head office in Jakarta. The business concept relies on e-commerce-based applications consists of a wide selection of wholesale merchandise with high demand by stall owners or other SMEs, specifically related to daily needs (FMCG). A unique thing about this service unique is that it allows users to use the pay later feature in the application. This flexible payment is considered to solve capital problems that often blocked small stalls to grow.

Currently Ula is still testing the beta version of its product in the East Java region. Moreover, it is targeted to immediately cover all potential users in Java and expand the product categories to electronics and fashion. The founders were quite optimistic, especially during the Covid-19 pandemic, online fulfillment services continued to increase.

Despite its business focus in Indonesia, Ula’s development team is not only in Jakarta, but also in India and Singapore. Ula was founded by four founders with working experience in global companies including Derry Sakti, Riky Tenggara, Nipun Mehra, and Alan Wong.

Together support the SME industry

In Indonesia, there are some startups trying their luck in similar business verticals. One of which is Klikdaily, their services also make it easier for shop owners to get supply chain. In May 2020, they announced series A funding led by Global Founders Capital. In addition, there also TokoPandai, Limakilo, Kudo, and so on.

Some other technology platforms have started supply chain models in various forms. For example, what Moka’s point of sales developer did with Moka Fresh products. Integrating the fulfillment of small businesses’ basic commodities through one door. In addition, a partnership program initiated by e-commerce giants, such as Mitra Bukalapak, Tokopedia, to Shopee – which also targets fulfillment segment in traditional stalls.

The market potential is quite large, according to Ula’s data, traditional retailers contribute almost 80% of the overall market share value in developing countries like Indonesia. The business model also empowers millions of people in various parts of the region; in terms of business, they are considered to be the most understanding of consumers’ characteristics around them, thus ensuring its products always on target.

However, there are problems that usually blocked business people to grow big, mostly related to working capital and lack of human resources, therefore, business development becomes stagnant. Ula is trying to solve both issues through a one-stop-fulfillment platform, along with credit services based on data analysis with intelligent systems.

“For us, the scale of Ula’s success is measured by how much customers can improve their business and lives. Our vision is to revolutionize the SME trade with technology, help improve their efficiency, and provide tools (technology) to facilitate business,” Riky Tenggara said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Ula Dapatkan Dana Awal 148 Miliar Rupiah, Tawarkan Platform “Supply Chain” Dilengkapi Bantuan Modal

Ula, startup yang menggarap solusi supply-chain untuk warung dan UKM, hari ini (10/6) mengumumkan perolehan pendanaan awal senilai US$10,5 juta atau setara 148 miliar Rupiah. Putaran investasi dipimpin Sequoia India dan Lightspeed India, dengan keterlibatan SMDV, Quona Capital, Saison Capital, dan Alter Global. Beberapa angel investor juga turut berpartisipasi, meliputi Patrick Walujo, Willy Arifin, Sujeet Kumar, Vaibhav Gupta, Amod Malviya, Rohan Monga, dan Rahul Mehta.

Platform ini baru diluncurkan pada Januari 2020 dan memiliki kantor pusat di Jakarta. Konsep bisnisnya mengandalkan aplikasi berbasis e-commerce yang berisi berbagai pilihan barang dagangan grosir yang biasa diburu oleh pemilik warung atau pelaku UKM lainnya, khususnya terkait kebutuhan sehari-hari (FMCG). Satu hal yang membuat layanan ini unik, memungkinkan penggunanya untuk memanfaatkan fitur paylater yang tertanam di aplikasi. Pembayaran yang fleksibel ini dinilai dapat menyelesaikan masalah permodalan yang kerap dihadapi warung kecil untuk bertumbuh.

Saat ini Ula masih menguji versi awal produknya dalam private beta di wilayah Jawa Timur. Setelah itu ditargetkan segera merangkul seluruh calon pengguna di Jawa dan memperluas kategori produk ke elektronik dan fesyen. Para founder cukup optimis, terlebih dengan adanya pandemi Covid-19, layanan pemenuhan kebutuhan secara online terus meningkat.

Kendati fokus bisnisnya di Indonesia, tim pengembang Ula tidak hanya berbasis di sini, namun juga ada yang di India dan Singapura. Ula didirikan oleh empat orang founders yang memiliki pengalaman bekerja di perusahaan global meliputi Derry Sakti, Riky Tenggara, Nipun Mehra, dan Alan Wong.

Ramai-ramai sokong bisnis UKM

Di Indonesia sejatinya sudah ada beberapa startup yang coba peruntungan di vertikal bisnis serupa. Sebut saja Klikdaily, layanan mereka turut mudahkan pemilik warung dapatkan stok produk. Pada Mei 2020 lalu baru bukukan pendanaan seri A yang dipimpin Global Founders Capital. Selain itu masih ada TokoPandai, Limakilo, Kudo dan sebagainya.

Beberapa platform teknologi lain juga telah memulai model supply chain dengan berbagai bentuk. Misalnya yang dilakukan pengembang point of sales Moka dengan produk Moka Fresh. Mengintegrasikan sistem pemenuhan bahan pokok pengusaha kecil lewat satu pintu. Atau program kemitraan yang diinisiasi raksasa e-commerce, seperti Mitra Bukalapak, Tokopedia, hingga Shopee — yang juga menyasar pemenuhan kebutuhan di warung-warung tradisional.

Potensi pasarnya memang besar, menurut data yang disampaikan Ula, di negara berkembang seperti Indonesia ritel tradisional hampir berkontribusi 80% dari nilai pangsa pasar keseluruhan. Model bisnisnya turut memberdayakan jutaan orang di berbagai pelosok wilayah; dari sisi bisnis pun mereka dianggap yang paling mengerti tentang karakteristik konsumen di sekitarnya, sehingga memastikan produk yang selalu tepat sasaran.

Namun ada permasalahan yang mengganjal para pelaku bisnis tadi untuk bertumbuh besar, paling umum terkait modal kerja yang kurang optimal dan SDM yang kurang cakap, sehingga perkembangan bisnis jadi stagnan. Dua hal ini yang coba diselesaikan Ula melalui platform pemenuhan kebutuhan di satu pintu, dilengkapi layanan kredit yang didasarkan pada analisis data dengan sistem cerdas.

“Bagi kami, ukuran kesuksesan Ula diukur dengan seberapa besar para pelanggan dapat meningkatkan bisnis dan kehidupannya. Visi kami adalah merevolusi perdagangan UKM dengan teknologi, membantu meningkatkan efisiensi mereka, dan menghadirkan alat (teknologi) yang memperlancar bisnis,” ujar Riky Tenggara.

Application Information Will Show Up Here

Inisiatif Platform “Equity Crowdfunding” Bizhare Mendorong Minat Investasi Masyarakat Indonesia

Istilah equity crowdfunding atau urun dana mulai ramai dibicarakan sejak terbitnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 37/POJK.4/2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi lnformasi. Pada bulan November 2019, OJK pun telah mengeluarkan izin untuk tiga startup yang menjalankan bisnis menggunakan konsep ini. Salah satunya adalah Bizhare, sebuah platform investasi bisnis yang fokus membantu usaha kecil menengah untuk mendapat pendanaan melalui pembagian kepemilikan saham.

Sudah berjalan sejah tahun 2017, platform jebolan program inkubasi 1000 Startup Digital ini telah menjaring 36 ribu investor, serta mendistribusikan total 30 miliar untuk sekitar 27 bisnis.

Founder dan CEO Bizhare Heinrich Vincent menyampaikan bahwa target pasar utama mereka adalah karyawan usia produktif, pekerja usia lanjut juga mahasiswa yang sedang belajar bisnis.

“Kita bikin platform ini dengan tujuan untuk menyederhanakan konsep berinvestasi dalam masyarakat. Di sini kita mencoba menjadi bursa efek untuk franchise dan ukm di Indonesia,” tambahnya.

Mekanisme investasi dan skema pasar sekunder

Tim Bizhare saat resmikan kerja sama dengan Baba Rafi / Bizhare
Tim Bizhare saat resmikan kerja sama dengan Baba Rafi / Bizhare

Mekanisme pembagian dividen dalam platform ini cukup transparan mengacu pada data historis penerbit/outlet lain sebagai gambaran untuk investor mulai menanamkan uangnya, namun performa masa lalu tidak mencerminkan kinerja di masa depan.

Nilai pembagian keuntungan bisa bervariasi bergantung pada realisasi keuntungan per bulan dari bisnis tersebut dan jangka waktu menyesuaikan kesepakatan awal dengan penerbit dan franchisor saat pertama kali penawaran saham.

Bizhare juga menerapkan beberapa tahapan dalam memverifikasi bisnis yang masuk. Salah satunya adalah analisis mendalam dan credit scoring sebelum sebuah bisnis bisa melakukan penawaran. Semua informasi yang didapat akan tertera pada proposal untuk dipelajari investor. Setelah investasi terjadi, timnya pun tidak lepas tangan sembari terus mengawasi performa bisnis dan ikut berkontribusi untuk perkembangan bisnis yang ada.

Saat ini, Bizhare juga telah bekerja sama dengan KSEI (Kustodian Sentral Efek Indonesia) sebagai bentuk keseriusan untuk terus melayani masyarakat dan mencapai misi utama Bizhare, yakni membantu lebih banyak orang bebas secara finansial.

Sebagai investor di platform Bizhare, kepemilikan saham akan tercatat dan tersimpan secara kolektif di KSEI, selayaknya perusahaan publik, dalam rangka mempermudah penjualan saham di pasar sekunder ke investor lain. Saat ini Bizhare juga sedang mengembangkan fitur secondary market untuk para investor, untuk bisa menjual sahamnya. Bentuknya semacam bursa dengan konsep bid offer.

“Kita targetkan untuk launch tahun ini. Soalnya kita termasuk yang pertama yang mengusung konsep ini. Sudah ada beberapa penerbit yang kita siapkan untuk masuk ke secondary market juga,” lanjut Heinrich.

Monetisasi dan rencana pra seri A

Dari segi monetisasi, Bizhare mematok biaya layanan sebesar 5% dari total nominal yang diinvestasikan pada sebuah bisnis. Selain itu, ada management fee sebesar 5% dari setiap keuntungan bisnis yang menggunakan layanan lengkap distribusi laporan keuangan dan pembagian keuntungan bisnis secara otomatis di platform Bizhare.

Sebelumnya, Bizhare telah didukung dengan seed funding dari Plug and Play, GDILab, dan Digitaraya. Saat ini timnya sedang dalam masa penjajakan dengan beberapa VC juga korporasi untuk penggalangan dana pra seri A. Rencananya, dana yang didapat akan digunakan untuk expansi, pengembangan teknologi dan operasional, serta digitalisasi UKM.

“Kita punya rencana untuk mempersiapkan UKM untuk pendanaan melalui teknologi. Sekarang sedang dalam tahap diskusi juga dengan beberapa partner untuk bekerja sama dalam usaha digitalisasi bisnis UKM,” ujar Heinrich.

Saat ini kebanyakan bisnis yang ada di Bizhare adalah franchise dan UKM, namun timnya menyampaikan bahwa mereka tidak menutup kemungkinan untuk masuk ke ranah startup ke depannya.

“Kita lihat market Indonesia belum siap untuk ritel investor yang mau invest di startup. Jadi kita sedang menunggu momentum,” tutup Heinrich.

Titipku, Deliveree, and Ubiklan Provides New Innovation to Facilitate Online Shopping

The impact of the Covid-19 pandemic has affected mostly small-medium entrepreneurs, in various industries. Growing SMEs are overwhelmed by the news. It has inspired some startups to help them, along with their efforts to stay relevant in the current situation. We tried to register some of these startups.

First of all, Titipku. This Yogyakarta based startup has always been focused on empowering SMEs. Their service is trying to optimize technology to connect small merchants, food stalls, and other parties with buyers through applications.

The latest news, Titipku has launched location-based service features. This service is said to facilitate users finding traders around them for easy shopping.

“The store location becomes one of the problems when shopping online. Long-distance will affect shipping costs. Even shipping costs can be more expensive than the items ordered. That is very unfortunate. We expect this feature can minimize such problems,” Titipku’s CEO & Co-Founder, Henri Suhardja explained.

Titipku is said to have successfully embraced 150 thousand users and 100,000 registered business people in the application.

Mitra Titipku di Pasar

Next, there is Deliveree. In the midst of a pandemic, this startup, known for offering goods delivery services, is launching an online grocery shopping platform that is accessible through the application. From the official statement, the goods will be sent periodically using the city car fleet. This new feature also comes with a live chat or a call to get directly connected to the store.

“We expect this feature can make life a little easier for those who are worried about being exposed to the virus. With our latest technology, we are trying not only to reduce the virus spread, but also expect to help more than 5000 driver partners to return worked during this difficult time,” Deliveree Indonesia’s Country Director Tom Kim said.

Belanja semobako murah melalui Deliveree

Ubiklan comes with similar innovation. The startup, known as mobile advertising services using cars or motorbikes, is starting to explore a new business called UbiFresh. Offering grocery shopping online through their application.

UbIklan claims that their new business unit was formed after discussions with their partners and considering the current pandemic conditions which forced people to spend more time at home. UbiFresh is packaged in such ways to help users with their groceries as well as to market merchandise from traditional markets.

“We see a lot of people that we can help with UbiFresh. We can serve households in groceries shopping and at the same time we also help traditional markets which happen to be some of our business partners […] “The market results offered at UbiFresh are always maintained in terms of quality, freshness and completeness at the same economical price,” Ubiklan’s CEO, Glorio Yulianto said.

UbiFresh dari Ubiklan

Stay relevant

In the current situation, online shopping becomes an option. There are big risks out there, and innovations are to be explored. The three startups above might only small amount among those who are trying to be relevant. In fact, they refuse to give up while continuing to look for ways to keep growing.

Titipku is currently planning for fundraising. Their focus lies on increasing the number of transactions. As a startup that always been aiming to help SMEs, this feature is a continuation of their previous efforts.

As for Deliveree and Ubiklan, the birth of new business lines is a strategic step for them to remain relevant. It was due to circumstances, also the current business conditions. It is not impossible that in the future their new business line will become permanent and become an important part of a sustainable business journey. Because it is currently high demand, and online shopping for groceries can be one of the new normal.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Titipku, Deliveree, dan Ubiklan Hadirkan Inovasi untuk Memudahkan Belanja Online

Dampak pandemi Covid-19 cukup besar dirasakan para pengusaha mengenah ke bawah, di berbagai industri. UKM yang sedang berupaya tumbuh banyak yang kelimpungan. Beberapa startup tampaknya terilhami untuk membantu mereka, berbarengan dengan upaya mereka agar tetap relevan di situasi seperti sekarang ini. Kami mencoba mendaftar beberapa startup tersebut.

Yang pertama ada Titipku. Startup asal Yogyakarta ini memang dari awal fokus pada pemberdayaan UKM. Layanan mereka mencoba mengoptimalkan teknologi untuk menghubungkan pedagang kecil, warung, dan semacamnya dengan para pembeli melalui aplikasi.

Terbaru, Titipku memperkenalkan fitur layanan berbasis lokasi. Layanan ini diklaim dikembangkan untuk semakin memudahkan pengguna mencari pedagang di sekitar mereka sehingga lebih mudah dalam berbelanja.

“Lokasi toko yang jauh dari rumah sebetulnya menjadi salah satu permasalahan saat belanja online. Jarak yang jauh akan berpengaruh pada ongkos kirim barang yang dipesan. Bahkan ongkos kirim bisa lebih mahal daripada barang yang ingin dibeli. Hal itu tentu sangat disayangkan. Kami berharap dengan fitur terbaru Titipku ini dapat meminimalkan permasalahan yang demikian,” terang Co-Founder CEO Titipku Henri Suhardja.

Titipku sendiri saat ini mengklaim sudah berhasil merangkul 150 ribu pengguna dan 100 ribu pebisnis terdaftar di aplikasinya .

Mitra Titipku di Pasar

Selanjutnya ada Deliveree. Di tengah pandemi, startup yang dikenal menawarkan layanan pengiriman barang ini meluncurkan platform belanja sembako online yang langsung bisa diakses di aplikasi mereka. Dari keterangan resminya, barang akan dikirimkan secara masaal dengan menggunakan armada city car. Fitur baru ini juga dilengkapi dengan live chat atau panggilan untuk bisa langsung terhubung dengan toko.

“Kami berharap ini akan membuat hidup sedikit lebih mudah bagi mereka yang khawatir akan terekspos dan terpapar virus. Dengan adanya layanan ini harapan kami bukan hanya sekadar membantu mengurangi penyebaran virus, akan tetapi juga teknologi terbaru kami diharapkan dapat membantu lebih dari 5000 mitra pengemudi untuk kembali bekerja selama masa sulit ini,” ujar Country Director Deliveree Indonesia Tom Kim.

Belanja semobako murah melalui Deliveree

Langkah yang serupa juga ditempuh oleh Ubiklan. Startup yang dikenal dengan layanan iklan bergerak menggunakan mobil atau motor ini mulai menjajaki bisnis baru bernama UbiFresh. Menawarkan belanja grocery secara online melalui aplikasi mereka.

Pihak UbIklan mengklaim unit bisnis baru mereka ini dibentuk berkat diskusi dengan partner mereka dan juga melihat kondisi pandemi seperti sekarang ini yang memaksa orang harus lebih banyak di rumah. UbiFresh dikemas sedemikian rupa untuk membantu pengguna tetap bisa mendapatkan barang belanjaan sekaligus memasarkan dagangan dari pedangang di pasar tradisional.

“Kami melihat banyak sekali orang yang dapat kami bantu dengan UbiFresh. Kami dapat melayani rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan belanja bahan pangan mereka dan secara bersamaan kami juga membantu pasar tradisional yang kebetulan beberapa di antaranya adalah mitra bisnis kami […] Yang pasti produk hasil pasar yang ditawarkan di UbiFresh selalu terjaga kualitas, kesegaran dan kelengkapannya dengan harga yang sama hematnya,” terang CEO Ubiklan Glorio Yulianto.

UbiFresh dari Ubiklan

Usaha untuk tetap relevan

Di situasi seperti sekarang ini belanja online merupakan sebuah pilihan. Ada risiko besar yang dihindari, dan ada kemudahan yang coba dimanfaatkan. Tiga startup di atas mungkin menjadi di antara mereka yang berusaha untuk relevan. Atau setidaknya berusaha untuk menolak menyerah sambil terus mencari cara untuk tetap tumbuh.

Titipku saat ini masih merencanakan untuk fundraising. Fokus mereka sekarang ada pada menaikkan jumlah transaksi. Sebagai startup yang dari awal mengembang misi untuk membantu para UKM fitur ini adalah langkah lanjutan dari upaya-upaya sebelumnya yang mereka lakukan.

Sementara bagi Deliveree dan Ubiklan, lahirnya lini bisnis baru adalah langkah strategi bagi mereka untuk tetap menjadi relevan. Terhadap keadaan, juga terhadap kondisi bisnis. Bukan tidak mungkin dikemudian hari lini bisnis baru mereka ini akan menjadi permanen dan menjadi bagian penting dalam perjalanan bisnis yang berkelanjutan. Karena memang saat ini permintaan tinggi, dan belanja grocery online bisa jadi salah satu new normal.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Upaya Mendigitalkan UKM di Bidang Jasa dan Pariwisata ala Gomodo

Sektor jasa dan pariwisata adalah salah satu yang paling terpukul selama wabah Covid-19 berlangsung. Ketika banyak bisnis pariwisata berhadapan dengan paceklik tersebut, setidaknya ada satu startup anyar bernama Gomodo yang menghimpun tenaga sebagai platform teknologi di sektor jasa dan pariwisata.

Gomodo adalah satu dari 15 startup yang terpilih mengikuti final pitch program akselerasi GK-Plug and Play angkatan keenam. Gomodo merupakan platform software-as-a-service (SaaS) yang memungkinkan UKM di sektor jasa dan pariwisata memiliki situs web untuk menerima pesanan online, pembayaran nontunai, hingga solusi distribusi.

Menjamah yang belum tergapai

Founder & CEO Gomodo Lius Widjaja menjelaskan kepada DailySocial, ide startup ini bermula dari keresahannya yang berkecimpung di industri pariwisata. Selama berkarier di industri ini, Lius menilai biro perjalanan kerap kesulitan memperoleh inventaris produk atau paket wisata dalam bentuk digital.

Perkara itu tak lain karena kebanyakan operator penyedia jasa wisata dan supplier belum memanfaatkan layanan digital. Maklum, kata Lius, platform digital yang dipakai di sektor jasa dan pariwisata ini terbilang rumit dan sulit yang mana lebih ditujukan kepada entitas perusahaan besar alih-alih UKM.

“Sebenarnya ada banyak pengalaman unik yang dapat dinikmati wisatawan di Indonesia, contohnya jungle trekking, wisata observasi Orang Utan, exotic bird watching, bahkan sampai wisata berburu babi hutan? Tetapi pengalaman-pengalaman tersebut hampir tidak tersedia di katalog Online Travel Agent sekelas unicorn sekalipun,” tutur Lius.

Permasalahan ini berlanjut ketika pusat-pusat pariwisata Indonesia masih belum banyak memiliki perangkat yang mendukung pembayaran nontunai. Survei internal Gomodo menyebut 95% UKM di sektor pariwisata yang tak menerima pembayaran via kartu kredit.

Segmentasi dan monetisasi

Seperti diutarakan sebelumnya, Gomodo berfokus pada UKM yang bergerak di bidang jasa dan pariwisata. Operator tur, pemandu wisata, biro perjalanan, perusahaan rental kendaraan, penginapan, hingga konsultan pajak, dan penyedia jasa akuntan pun termasuk.

Fokus terhadap UKM ini yang membedakan Gomodo dengan penyedia sistem distribusi global (GDS) seperti Galileo atau Sabre yang produknya umum digunakan para pelaku industri jasa pariwisata. Jika Gomodo membidik jenis aktivitas wisata dan inventaris paket wisata, Galileo dan Sabre menyasar pasar enterprise yang umumnya adalah inventaris maskapai penerbangan, hotel, tiket taman hiburan, hingga transportasi.

“Dengan lain kata, dalam konteks distribusi, Gomodo dan GDS lainnya berfungsi serupa, hanya kami lebih fokus kepada digitalisasi dan pengumpulan inventaris paket dan aktivitas wisata UKM yang tidak dimiliki banyak pihak GDS dan agent,” imbuh Lius.

Gomodo memang tak memungut biaya bagi para UKM untuk menggunakan platform mereka. Sebagai gantinya, Gomodo memberlakukan sistem bagi untung. Artinya, setiap ada transaksi yang sukses di platformnya, Gomodo akan mendapat bayaran dari mitra mereka tersebut. Lius tak membuka berapa besaran fee yang mereka peroleh dari setiap transaksi.

Target setelah pandemi

Gomodo meluncur ke publik pada Februari 2019. Sejak itu mereka telah mengantongi 1000 klien UKM di seluruh Indonesia. Gomodo juga telah ditunjuk oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  sebagai mitra kerja program Perhutanan Sosial 4.0. Program ini memungkinkan mereka mendapatkan akses ke ribuan penyedia ekowisata kelas UKM se-Indonesia untuk diberdayakan secara digital.

Saat ini sejatinya Gomodo sudah menggandeng Koinworks untuk menyediakan fitur dana pinjaman kepada UKM yang membutuhkan. Namun fitur ini baru akan diluncurkan secara utuh setelah pandemi berakhir. Berbarengan dengan itu, Lius juga memperkirakan juga meluncurkan fitur investasi di mana para investor atau pemberi pinjaman leluasa menanamkan modalnya ke berbagai usaha di daerah-daerah tujuan wisata.

Terkait status pendanaan, Gomodo telah mengamankan dua babak pendanaan yakni angel round pada akhir 2018 dan pre-seed di akhir tahun lalu. Pada putaran pre-seed tercatat nama-nama investor yang berpartisipasi mulai dari Amand Ventures, Brama One Ventures, dan Plug and Play Indonesia.

Sementara ini Gomodo hanya aktif di Indonesia. Namun Lius tak menutup kemungkinan dalam dua tahun ke depan pihaknya akan ekspansi ke luar negeri seperti Vietnam yang dianggap memiliki karakter serupa Indonesia.

Lius membenarkan bahwa bisnis pariwisata sedang terpuruk. Namun ia optimis ini adalah momen yang tepat untuk mendorong solusi online booking dan pembayaran nontunai mereka ke pelaku bisnis jasa dan pariwisata. Menurutnya hal itu diperlukan untuk bersiap menyambut rebound sektor ini ketika pandemi berakhir.

“Dengan menggunakan platform Gomodo, sebuah UKM di sektor jasa dan wisata dapat Go Digital secepat 10-15 menit, dan set-up atau pengaturan semudah mengisi formulir atau survei,” pungkas Lius.

Saat ini layanan Gomodo masih hanya bisa diakses melalui situs web. Lius memastikan layanan mereka baru bisa diakses di Android dan iOS pada kuartal tiga nanti.