RateS Umumkan Pendanaan Seri A, Dipimpin Vertex Ventures dan Genesis Alternative Ventures

Platform social commerce RateS hari ini (22/2) mengumumkan perolehan pendanaan seri A dengan nominal yang tidak disebutkan. Vertex Ventures dan Genesis Alternative Ventures memimpin pendanaan ini. Sebelumnya startup asal Singapura tersebut telah membukukan pendanaan awal dari Alpha JWC Ventures dan Insignia Ventures Partners sejak tahun 2018 lalu.

Dana segar akan difokuskan untuk memperkuat bisnis RateS di Indonesia, termasuk melakukan penetrasi pasar ke kota-kota tier-2 dan 3. Pendekatannya dengan memperbanyak reseller yang saat ini jumlahnya sudah sekitar 500 ribu orang.

“Tolok ukur kesuksesan RateS terletak pada seberapa banyak kami dapat membantu meningkatkan pendapatan dan bisnis dari reseller [..] Visi bersama kami adalah untuk merevolusi social commerce melalui teknologi, menciptakan wirausahawan digital, dan meningkatkan literasi digital bagi masyarakat untuk menjalankan bisnis dengan lancar dan lebih menguntungkan,” ujar Co-Founder & CEO RateS Jake Goh.

Sederhananya dengan aplikasi RateS, masyarakat bisa mulai berjualan (menjadi reseller) tanpa harus membeli barang terlebih dulu. Pengguna bisa mengatur lapaknya sendiri dan memilih item jualan dari daftar yang tersedia di aplikasi. Mereka akan mendapatkan harga khusus, untuk selanjutnya dijual ke konsumen dengan harga pasaran. Pengguna fokus pada promosi dan berjualan, sementara pengemasan, pengiriman, hingga infrastruktur pembayaran semua dikelola oleh RateS.

“Kami melihat pasar e-commerce di Asia Tenggara telah berkembang menjadi persaingan untuk mendapatkan keuntungan. Di sisi lain, RateS telah menemukan cara penetrasi yang efektif untuk memasuki kota-kota tier-2 dan 3 di Indonesia, yang tidak hanya dapat menghemat biaya, akan tetapi yang lebih penting memiliki potensi pasar yang besar dan belum dimanfaatkan. Dengan pandemi yang telah membuat mata pencaharian banyak orang menjadi rentan, kami senang RateS telah dan akan terus bermanfaat sebagai platform yang hadir untuk memberdayakan mereka yang membutuhkan,” sambut Managing Partner Vertex Ventures SEA Chua Joo Hock.

Perbandingan Social Commerce dan E-commerce
Perbandingan Social Commerce dan E-commerce

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa layanan social commerce yang coba memenangkan pasar dengan unique value-nya masing-masing. Misalnya ada Halosis, di awal debutnya mereka memfokuskan pada kanal penjualan di aplikasi pesan, untuk itu dihadirkan chatbot ke dalam aplikasi guna memudahkan proses konversi transaksi.

Woobiz juga mengusung model bisnis serupa, dengan menekankan pada aspek pemberdayaan perempuan di daerah. Selain itu ada beberapa aplikasi lainnya seperti Jamanow, BorongBareng, Taptalk.io, sampai Super yang juga mudahkan para reseller dapatkan barang dagangan.

Laporan McKinsey menyebutkan, social commerce diperkirakan akan tumbuh menjadi sektor usaha bernilai hingga $25 miliar di tahun 2022 mendatang. Potensi ini coba dimaksimalkan betul oleh RateS, dari data internal yang disampaikan, per tahun 2020 jangkauan layanan mereka sudah mencapai ke 400 kota/kabupaten.

Application Information Will Show Up Here

Desty Secures Seed Funding from East Ventures, Developing Services to Support Social Commerce

Social commerce infrastructure provider startup Desty announced an undisclosed seed funding from East Ventures. The fund will be used for product development and boost user acquisition.

Desty was founded in October 2020. It is a digital platform that helps content creators, influencers, and merchants on social media create online destinations to market, sell their products and content.

Desty’s CEO and Founder, Bill Wang explained, Desty was designed in a challenging condition, but he believes that digital acceleration provides opportunities for growth. “Desty is here as a local, simple, and free solution for online businesses to create landing pages and build their own online brand in just minutes,” he said in an official statement, Tuesday (12/1).

East Ventures’ Co-Founder and Managing Partner Willson Cuaca added, the number of online businessmen in Indonesia has grown rapidly since last year because they are shifting to open online stores. He sees that Desty’s team, which combines global and local expertise, is able to create a product that can draw the attention of thousands of users, just a few weeks after being launched.

“We are very pleased to work with Desty in helping millions of online merchants and content creators in Indonesia integrate their businesses across various e-commerce and social media platforms,” ​​Willson added.

Desty has two products, Desty Page and Desty Store. Desty Page is a landing page provider service that is optimized for links on social media accounts, especially Instagram – the concept is similar to Linktree or Oneblink developed by MTARGET. Meanwhile, Desty Store provides a platform to easily open an online store, as a complement to the marketplace.

Despite the early stage, Desty is said to have succeeded in attracting thousands of users, including online brands (Alowalo, Babycare, Notbad), content creators (Mindblowon Studio/Tahilalat), and influencers from the culinary, travel, lifestyle and fashion industries. The company has integrated with several important partners to add payment and logistics features to the Desty Store platform.

“In addition to online merchants, Desty also used by various users to increase engagement with their followers. We also provide our users with the best features, from customizable templates to comprehensive analysis tools.”

Bill said that his team will use this seed funding to accelerate product development and boost user acquisition. He targets Desty to be able to attract 100 thousand users by the first half of next year.

Bill Wang founded Desty with Eric Nathanael. Both have enough experience in local and global companies, from the e-commerce industry to B2B to telecommunications. Bill previously worked for 17 years at Alibaba, he was involved in the journey of the technology giant to evolve into AliExpress.

Social commerce momentum

According to the Econsultancy report with Magento and Hootsuite in October 2019 entitled “The State of Social Commerce in Southeast Asia”, the social commerce industry is projected to grow significantly. Southeast Asia has more than 350 million internet users and 90% of them are connected to smartphones, as a result this opportunity is very promising to work on.

The pie has grown significantly during the pandemic and has been previously covered by DailySocial.

In Indonesia, these players offer a variety of simple technology solutions that make it easier for sellers to enter the digital realm. These players are Woobiz, TapTalk.io, Storie, Super, Chilibeli, Halosis.

In fact, Moka released the GoStore which makes it easy for merchants to create online shop sites. Before investing in Desty, East Ventures also invested in a social commerce startup called KitaBeli last August.

Another player, Kata.ai, a conversational technology platform powered by AI and NLP, released a dedicated social commerce platform and manages a business called QIOS. Through this platform, MSME players can create virtual assistants via WhatsApp to serve inquiries, payments, and deliveries.

This platform is integrated with e-wallets (OVO, DANA, LinkAja), and logistics services (GoSend and GrabExpress). “Kata.ai is an enabler to help players in this industry be more thriving with intelligent technology,” Kata.ai’s CEO Irzan Raditya said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Desty Kantongi Pendanaan Awal dari East Ventures, Kembangkan Layanan Pendukung “Social Commerce”

Startup penyedia infrastruktur social commerce Desty mengumumkan pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasiakan dari East Ventures. Dana akan digunakan untuk pengembangan produk dan menggenjot akuisisi pengguna.

Desty baru didirikan pada Oktober 2020. Mereka adalah platform digital yang membantu kreator konten, influencers, dan pedagang di media sosial membuat destinasi online untuk memasarkan, menjual produk, dan konten mereka.

CEO dan Founder Desty Bill Wang menerangkan, Desty dirintis dalam kondisi pandemi yang menantang, namun ia percaya bahwa akselerasi digital memberikan kesempatan untuk berkembang. “Desty hadir sebagai solusi lokal, sederhana, dan gratis bagi bisnis online untuk membuat landing pages serta membangun online brand sendiri hanya dalam hitungan menit,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (1/12).

Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menambahkan, dalam setahun terakhir jumlah pebisnis online di Indonesia tumbuh pesat karena berbondong-bondong membuka toko online. Ia melihat, tim Desty, yang menggabungkan keahlian global dan lokal, mampu membuat sebuah produk yang mampu menarik perhatian ribuan pengguna, hanya dalam beberapa minggu setelah diluncurkan.

“Kami sangat senang untuk bekerja sama dengan Desty dalam membantu jutaan pedagang online dan kreator konten di Indonesia mengintegrasikan bisnis mereka lintas berbagai platform e-commerce dan media sosial,” imbuh Willson.

Desty memiliki dua produk, yaitu Desty Page dan Desty Store. Desty Page adalah layanan penyedia landing page yang dioptimasi untuk tautan di akun media sosial, khususnya Instagram — konsepnya mirip Linktree atau Oneblink yang dikembangkan MTARGET. Sementara Desty Store menyediakan platform untuk buka toko online dengan mudah, sebagai pelengkap marketplace.

Meski baru seumur jagung, diklaim Desty berhasil menggaet ribuan pengguna, termasuk online brands (Alowalo, Babycare, Notbad), kreator konten (Mindblowon Studio/Tahilalat), dan influencer dari industri kuliner, travel, gaya hidup, dan fesyen. Perusahaan telah terintegrasi dengan beberapa rekanan penting untuk menambahkan fitur pembayaran dan logistik di dalam platform Desty Store.

“Tidak hanya pedagang online, Desty digunakan oleh beragam pengguna untuk meningkatkan engagement dengan followers mereka. Kami juga menyediakan fitur terbaik untuk pengguna, mulai dari customizable templates hingga alat analisis yang lengkap.”

Bill menuturkan, pihaknya akan menggunakan dana tahap awal ini untuk mempercepat pengembangan produk dan menggenjot akuisisi pengguna. Ia menargetkan Desty mampu menarik 100 ribu pengguna hingga semester pertama tahun depan.

Bill Wang merintis Desty bersama Eric Natanael. Keduanya memiliki pengalaman panjang di perusahaan lokal dan global, mulai dari industri e-commerce, B2B, hingga telekomunikasi. Bill sebelumnya bekerja selama 17 tahun di Alibaba, ia terlibat dalam perjalanan raksasa teknologi tersebut berevolusi menjadi AliExpress.

Momentum social commerce

Menurut laporan Econsultancy bersama Magento dan Hootsuite pada bulan Oktober 2019 berjudul “The State of Social Commerce in Southeast Asia”, industri social commerce diproyeksikan akan bertumbuh signifikan. Asia Tenggara memiliki lebih dari 350 juta pengguna internet dan 90% dari mereka sudah terhubung dengan smartphone, alhasil kesempatan ini begitu menjanjikan untuk digarap.

Kue tersebut semakin signifikan pertumbuhannya selama pandemi dan sudah dibahas sebelumnya oleh DailySocial.

Di Indonesia, para pemain ini menawarkan berbagai solusi teknologi simpel yang memudahkan penjual masuk ke ranah digital. Pemain-pemain tersebut adalah Woobiz, TapTalk.io, Storie, Super, Chilibeli, Halosis.

Bahkan, Moka merilis GoStore yang memudahkan merchant membuat situs toko online. Sebelum berinvestasi ke Desty, East Ventures juga berinvestasi ke startup social commerce bernama KitaBeli pada Agustus kemarin.

Pemain lainnya, Kata.ai, platform teknologi percakapan bertenaga AI dan NLP, merilis platform khusus social commerce dan mengelola bisnis bernama QIOS. Melalui platform ini, pelaku UMKM bisa membuat asisten virtual via WhatsApp untuk melayani pertanyaan, pembayaran, hingga pengiriman.

Platform ini terintegrasi dengan e-wallet (OVO, DANA, LinkAja), dan layanan logistik (GoSend dan GrabExpress). “Kata.ai sebagai enabler untuk membantu para pemain di industri ini bisa lebih thriving dengan adanya teknologi kecerdasan,” kata CEO Kata.ai Irzan Raditya.

Kata.ai Announces Series B Funding, to Launch a Social Commerce Platform

Wednesday (25/11), the AI ​​and NLP powered conversational technology platform Kata.ai announced a series B funding led by the Trans-Pacific Technology Fund with the participation of MDI Ventures and Buana Investama. The nominal is still undisclosed. Funds will be focused on expanding and accelerating AI services in a broader industry, such as commerce, healthcare, and insurtech.

“The focus is on expanding services towards SMEs, particularly social commerce, as well as accelerating AI services in other industries such as healthcare and engineering. Kata.ai is here as an enabler to help players in this industry be more thriving with artificial intelligence technology,” Kata.ai’s CEO, Irzan Raditya said in the media pers conference for INTERACT 2020.

Irzan also said that Indonesia’s digital economy is projected to reach $125 billion in 2025. It is estimated that by 2030, the impact of artificial intelligence on Indonesia’s GDP could reach $ 366 billion. This number is quite massive considering the positive impact that AI can have on Indonesia.

In addition, with the challenges posed by the pandemic, businesses must find new ways to survive and sustain sales. As many as 125 million Indonesians have used WhatsApp and 70 million of them already have Instagram. This should be used by business people to create new experiences in shopping.

Launching Qios

The social commerce platform is predicted to have quite a big role in online commerce sales in Indonesia. McKinsey predicts that by 2022 the total Gross Merchandise Value (GMV) of social commerce in Indonesia will reach $ 25 billion. Looking at the problems and opportunities that exist, 2021 is predicted to be a momentum for conversational commerce, this solution is not only used for customer service but can also be a scalable sales service.

QIOS is a service for SMEs, especially social sellers who sell through social media to manage their business. Through this platform, SME players can create a virtual system via WhatsApp to serve inquiries, as well as payments to delivery.

This platform is integrated with e-wallets such as OVO, DANA Linkaja, and also logistics services such as Go-Send and Grab Express. Through this platform, SMEs are expected to be more focused on managing their business with the help of AI and chatbots.

“We see a lot of opportunities in this sector, apart from chatbot technology, we are also developing voice technology, and looking for ways to transform business actors in Indonesia at the micro, small and medium scale,” Irzan said.

Currently, Qios is still available in beta. The current business model is freemium, however, there will be a fee for each transaction made on the platform. There is no further information regarding the calculations. One of the merchants that have used Qios’s services is the Tuku Coffee Shop.

Business plan 2021

Since founded in 2016, Kata.ai has collaborated with various institutions on its mission to provide conversational AI services that are scalable and have a broad impact on the people of Indonesia. Some of these include launching a virtual assistant to accommodate the needs of BPJS users, also working with Prixa to provide an AI-based symptom check system.

Kata.ai has experienced very rapid growth. The growth rate in 2020 will increase by 5x from the previous year. To date, Kata.ai has processed more than 750 million conversations. In addition, there are 3 million Monthly Active Users who interact with chatbots created using Kata Platform.

The pandemic is said to be one of the supporting factors for business fertility that allows triple growth, which usually takes 18 months to become in just 6 months.

Regarding the business plan, Irzan said, “Our business plan remains to accelerate digital transformation in Indonesia for business people.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kata.ai Umumkan Pendanaan Seri B, Luncurkan Platform untuk Social Commerce

Rabu (25/11),platform teknologi percakapan bertenaga AI dan NLP Kata.ai mengumumkan pendanaan seri B yang dipimpin oleh Trans-Pacific Technology Fund dengan partisipasi MDI Ventures dan Buana Investama. Tidak disebutkan berapa nominal yang diterima. Dana akan difokuskan untuk ekspansi dan akselerasi layanan AI pada industri yang lebih luas, seperti commerce, healthcare, dan insurtech.

“Fokusnya untuk ekspansi layanan ke arah UKM, khususnya social commerce, juga akselerasi layanan AI di industri lainnya seperti healthcare dan insurtech. Kata.ai di sini sebagai enabler untuk membantu para pemain di industri ini bisa lebih thriving dengan adanya teknologi kecerdasan buatan,” ujar CEO Kata.ai Irzan Raditya dalam konferensi pers media INTERACT 2020.

Irzan turut menyampaikan bahwa ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai $125 miliar di tahun 2025. Diperkirakan pada tahun 2030, dampak dari kecerdasan buatan untuk GDP Indonesia bisa mencapai $366 miliar. Angka tersebut sangat masif melihat dampak positif yang AI bisa berikan pada Indonesia.

Selain itu, dengan berbagai tantangan yang ditimbulkan oleh pandemi, para pelaku bisnis harus mencari cara baru untuk bertahan dan menyambung penjualan. Sebanyak 125 juta masyarakat Indonesia telah menggunakan WhatsApp dan 70 juta dari mereka telah memiliki Instagram. Hal ini harusnya bisa dimanfaatkan para pelaku bisnis untuk menciptakan pengalaman baru dalam berbelanja.

Luncurkan platform Qios

Platform social commerce memang diprediksi memiliki peran yang cukup besar dalam penjualan online commerce di Indonesia. McKinsey memprediksi pada tahun 2022 total Gross Merchandise Value (GMV) social commerce di Indonesia akan mencapai $25 miliar. Melihat masalah dan kesempatan yang ada, tahun 2021 diprediksi menjadi momentum untuk conversational commerce, solusi ini tidak hanya digunakan untuk layanan pelanggan namun juga bisa menjadi layanan penjualan yang scalable.

QIOS merupakan layanan untuk para pelaku UKM terkhusus social seller yang berjualan melalui media sosial untuk mengelola bisnis. Melalui platform ini, para pelaku UMKM bisa membuat asistem virtual via WhatsApp untuk melayani pertanyaan, juga pembayaran hingga pengiriman.

Platform ini terintegrasi dengan e-wallet seperti OVO, DANA Linkaja dan juga layanan logistik seperti Go-Send dan Grab Express. Melalui platform ini, pelaku UMKM diharapkan bisa lebih fokus untuk mengelola bisnis dengan bantuan AI dan chatbot.

“Kami melihat banyak sekali peluang dalam sektor ini, selain teknologi chatbot, kami juga tengah mengembangkan teknologi voice, dan mencari cara bagaimana bisa mentransformasi para pelaku bisnis di Indonesia pada skala mikro, kecil dan menengah,” ungkap Irzan

Saat ini, Qios tersedia masih dalam versi beta. Model bisnisnya saat ini adalah freemium, namun akan ada biaya yang ditarik dari setiap transaksi yang dilakukan dalam platform. Belum ada informasi lebih lanjut terkait perhitungan yang digunakan. Salah satu dari puluhan merchant yang sudah menggunakan layanan Qios ini adalah Toko Kopi Tuku.

Rencana 2021

Sejak diluncurkan tahun 2016, Kata.ai sudah berkolaborasi dengan berbagai institusi dalam misinya untuk memberikan layanan conversational AI yang scalable dan berdampak luas bagi masyarakat Indonesia. Beberapa di antaranya adalah dengan meluncurkan asisten virtual untuk mengakomodasi kebutuhan pengguna BPJS, juga bekerja sama dengan Prixa untuk menyediakan sistem periksa gejala berbasis AI.

Kata.ai telah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Angka pertumbuhan di tahun 2020 meningkat sebanyak 5x lipat dari tahun sebelumnya. Hingga saat ini, Kata.ai telah memproses lebih dari 750 juta percakapan. Selain itu, terdapat 3 juta Monthly Active Users yang berinteraksi dengan chatbot yang diciptakan dengan menggunakan Kata Platform.

Pandemi disebut menjadi salah satu faktor pendukung kesuburan bisnis yang memungkinkan pertumbuhan 3 kali lipat yang biasanya memakan waktu 18 bulan jadi hanya dalam kurun waktu 6 bulan.

Terkait rencana bisnis, Irzan menyampaikan, “Rencana bisnis kami tetap untuk mengakselerasi digital transformasi di Indonesia bagi para pelaku bisnis.”

Catatan AMVESINDO Terkait Ekosistem Startup Digital Selama Pandemi

Lanskap startup Indonesia diwarnai sejumlah investasi dari perusahaan modal ventura lokal hingga asing. Asosiasi Modal Ventura Untuk Startup Indonesia (AMVESINDO) mencatat, pandemi memberikan dampak yang beragam kepada perusahaan rintisan dan UKM. Sejumlah pelaku usaha mengalami dampak negatif, seperti menurunnya transaksi hingga tutupnya layanan; tapi sebagian lainnya mengalami dampak positif, seperti melonjaknya permintaan/transaksi dan jangkauan konsumen yang semakin meluas.

Dalam sesi webinar yang diinisiasi oleh AMVESINDO terungkap, beberapa tren hingga potensi yang cukup menarik di beberapa sektor yang bisa dijadikan acuan kegiatan investasi para perusahaan modal ventura lokal hingga asing.

Pemetaan perubahan kebiasaan konsumen

Pemetaan perubahan kebiasaan pengguna
Pemetaan perubahan kebiasaan pengguna

Pandemi yang datang sejak awal tahun, secara khusus telah mengubah kebiasaan kebanyakan konsumen. Mereka sebelumnya masih melakukan kegiatan online dan juga offline, ketika aturan PSBB diberlakukan, kegiatan mulai shifting kepada online. Menurut Ketua I AMVESINDO William Gozali, hal ini mendorong perusahaan rintisan untuk mampu beradaptasi dengan situasi seiring perubahan perilaku masyarakat.

“Jika kita lihat perusahaan rintisan atau perusahaan teknologi yang mampu bertahan saat pandemi adalah ride-hailing. Ketika demand untuk ride-hailing menurun, mereka kemudian mulai shifting kepada produk atau layanan lainnya sepeti makanan dan logistik,” kata William.

Sektor lain yang juga mengalami peningkatan cukup drastis adalah sektor edutech, e-commerce, dan healthtech. Meskipun produk yang mereka hadirkan belum maksimal, namun adopsi digital menjadi lebih terakselerasi saat pandemi. Amvesindo juga mencatat, peranan layanan fintech dan logistik sangat penting untuk memperkenalkan dan membiasakan masyarakat Indonesia untuk melakukan transaksi secara nontunai. Kebiasaan tersebut menurut William semakin meningkat jumlah adopsinya saat pandemi.

“Yang perlu diperhatikan adalah, apa yang dibutuhkan dan tentunya bisa berjalan dengan baik saat ini dan mulai lakukan perubahan. Karena ke depannya atau yang dikenal dengan istilah new normal, memiliki potensi untuk berjalan seterusnya,” kata William

Potensi social commerce, supply chain, dan UKM

Selama pandemi juga semakin banyak perusahaan rintisan yang secara khusus menargetkan UKM sebagai target pasar. Meskipun dalam 3 tahun terakhir sudah banyak startup yang menyasar sektor tersebut, namun tahun ini tercatat semakin banyak jumlah startup yang menghadirkan layanan, khususnya layanan warung digital yang ingin memudahkan pelaku UKM menjalankan bisnis.

Sektor kecantikan juga menjadi potensi bagi startup hingga investor yang ingin memberikan pendanaan. Makin banyaknya pemain lokal hingga asing yang menghadirkan produk kecantikan untuk masyarakat Indonesia, terlihat makin banyak pemainnya dan tentunya menjadi peluang tersendiri.

“Sebagai negara yang sarat dengan pengguna media sosial, konsep social commerce menjadi relevan, untuk memetakan seperti apa kebutuhan dan biaya logistik yang perlu dikeluarkan oleh pemain saat menawarkan produk kepada pelanggan,” kata William.

Di sisi lain perlahan tapi pasti, food tech atau platform kuliner yang berbasis teknologi juga mulai banyak menunjukkan pertumbuhan yang positif saat ini. Diinisiasi oleh platform ride hailing, kini makin banyak platform food tech yang mengalami pertumbuhan yang positif. Salah satu kekuatan mereka adalah, dengan dukungan big data yang sebelumnya telah diimplementasikan oleh platform ride hailing di Indonesia.

“Sejak awal terdapat 3 sektor yang memiliki peranan penting dalam ekosistem startup, yaitu finansial, e-commerce, dan logistik. Ketiga sektor tersebut saling membutuhkan dan masing-masing memiliki peranan terkait. Kini sektor turunan e-commerce mulai muncul dan memiliki potensi yang menarik untuk dijajaki,” kata William.

Masih besarnya jumlah pendanaan

Dinamika investasi perusahaan rintisan Indonesia
Dinamika investasi perusahaan modal ventura

Industri modal ventura secara umum juga mengalami peningkatan kinerja pada tahun 2019. Mulai dari kenaikan aset, sumber pendanaan, dan modal yang merupakan tanda bahwa industri modal ventura masih bisa tumbuh. Adapun tantangan yang masih menjadi pekerjaan rumah adalah masih besarnya porsi instrumen Pembiayaan Bagi Hasil dari portofolio perusahaan modal ventura yang ada.

AMVESINDO mencatat hingga 31 Desember 2019, pertumbuhan aset PMV termasuk PMVD (Perusahaan Modal Ventura Daerah) mencapai Rp 19.65 Triliun, mengalami peningkatan sebesar 58.72% dibandingkan periode 2018.

Meskipun kondisi sedang mengalami krisis secara global, namun jumlah pendanaan sejak awal tahun hingga bulan November ini masih cukup besar jumlahnya. Tercatat Q3 tahun 2020, ada 52 transaksi pendanaan yang dilakukan oleh perusahaan modal ventura untuk startup, dengan jumlah pendanaan mencapai $1.920.900.000.

Pendanaan ini disalurkan kepada startup dari berbagai sektor, dengan tiga sektor terbanyak yaitu fintech (6 transaksi pendanaan), edutech (6 transaksi pendanaan), dan SaaS (6 Transaksi Pendanaan).

 

Dalam memberikan pendanaan kepada startup, setidaknya ada empat poin yang menjadi pertimbangan PMV, yaitu: potensi pertumbuhan pasar, kemampuan beradaptasi, kualitas founders, serta model bisnis yang jelas, dan penggunaan dana yang efisien.

“Ke depannya diprediksi sektor yang terakselerasi dengan baik adalah e-health, e-groceries, edutech dan e-logistic yang memiliki potensi besar untuk berkembang dan saat ini masih belum terjawab di Indonesia. Diversifikasi juga menjadi sangat baik untuk diterapkan oleh perusahaan rintisan, agar bisa bertahan saat pandemi dan ketika kondisi memasuki new normal,” kata William.

Super Berambisi Jadi “Social Commerce” untuk Pengguna di Pedesaan

Konsep social commerce yang menggabungkan aktivitas sosial dan niaga dalam suatu platform terbukti memiliki traksi yang kuat karena sangat berkorelasi dengan budaya di Indonesia, terlebih di masa pandemi seperti ini. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh berbagai pemain teknologi, Gojek sekalipun.

Pemain lainnya juga turut terjun, salah satunya adalah Super. Aplikasi ini berdiri di bawah holding Nusantara Technology, yang memiliki unit bisnis digital lainnya yakni media online Yukepo dan Keepo.

Kepada DailySocial, CEO Super Steven Wongsoredjo menerangkan, pasca mengikuti program Y Combinator Winter 2018 atau delapan bulan setelah perusahaan mengoperasikan kedua media online, Nusantara Technology menjadikan Super sebagai bisnis utamanya.

Dia bilang, pihaknya tertarik masuk ke bisnis teknologi konsumer karena ingin mendapatkan model bisnis dengan skalabilitas yang lebih baik. Social commerce ditaksir punya kue bisnis $200 miliar (total addressable market/TAM), jauh lebih besar daripada bisnis media online.

“Merintis Super adalah salah satu keputusan terbaik kami, sejak saat itu bisnis kami tumbuh sangat pesat. Kami sudah melakukan raise funding pada Desember 2019 untuk pendanaan seri A senilai jutaan dolar dari sejumlah investor Amerika Serikat. Semua waktu dan investasi para co-founder didedikasikan hanya untuk Super,” terangnya.

Baik Yukepo dan Keepo disebutkan telah tumbuh signifikan dan cetak untung sejak hari pertamanya. Salah satu parameternya adalah kanal YouTube diklaim terbesar daripada startup media milenial lainnya di Indonesia. Pencapaian tersebut, membuat bisnis media online di Nusantara Technology pada akhir tahun lalu memperoleh laba yang signifikan dan arus kas positif, sehingga tidak membebani konsentrasi para founder.

“Selain itu, kami memutuskan untuk merekrut pemimpin yang kuat. Oleh karena itu, [unit] bisnis memiliki otonomi yang layak untuk dijalankan dengan sendirinya.”

Dia membandingkan Super kurang lebih seperti Gojek yang juga terintegrasi dengan media online Kumparan. Super dengan komponen utama social commerce, akan segera punya fitur Super Kabar di dalam aplikasinya. “Ini akan segera berada dalam satu ekosistem. Semua investor kami mendukung ini karena bisnis kami, secara umum, tumbuh dengan cepat dan berkelanjutan.”

Sumber: Super
Sumber: Super

Fokus di pedesaan

Steven menuturkan, Super mendeklarasikan dirinya sebagai pemain social commerce terdepan untuk pedesaan di Indonesia. Super memiliki konsep hybrid seperti pemain asal Tiongkok yakni Pinduoduo dan Shihuituan. Oleh karenanya, Super berbeda dengan pemain kebanyakan.

Super membangun rantai pasokan social commerce untuk pedesaan yang memiliki ekonomi unit positif. Misalnya, bagian dari pengembangan rantai pasokan adalah membangun hub-hub kecil di desa-desa yang dekat dengan rumah Agen. Nantinya Agen Super akan mengambil produk dari hub untuk diteruskan ke komunitasnya.

Prosesnya, Agen Super mengumpulkan pesanan di sekitar lingkungan mereka; bisa melalui WhatsApp dengan membagikan tautan Super dari aplikasi Super (termasuk produk yang ingin mereka jual) atau bertemu langsung dengan calon pelanggan.

Jika pesanan minimal $70, Super akan mengirimkan pesanan ke rumah Agen Super, tetapi jika pesanannya $20- $70, Agen harus mengambil pesanan dari Super Center terdekat di desa. Pembayaran dapat dilakukan melalui transfer bank atau COD. Setelah itu, Agen Super akan mengatur pengiriman mil terakhir ke pelanggan mereka.

Kemudian, Super juga menetapkan konsep group buying dengan minimal pesanan untuk memastikan mereka memiliki nilai pemesanan rata-rata. Dengan cara ini, Super dapat cetak untung dalam setiap transaksi yang terjadi.

Dalam proses distribusinya, Super memiliki gudang sendiri dan bekerja sama dengan penyedia logistik untuk pengirimannya. Super membangun sistem manajemen gudang untuk membantu perusahaan memutuskan rute terbaik dalam membangun efisiensi terbaik.

Sumber: Super
Sumber: Super

Yang cukup menarik adalah saat proses pengiriman ke pembeli, Steven menuturkan jika mereka bersedia membayar lebih, mereka akan mendapatkan produk lebih cepat dari platform mana pun. Namun, Super mencoba mengoptimalkan rantai pasokan, sehingga biayanya murah.

Strategi ini dianggap tepat karena mengingat wilayah operasional Super di kota tingkat dua dan tiga, pembeli lebih mementingkan harga daripada waktu pengiriman. Jika pengguna memesan sebelum jam 3 sore, mereka akan mendapatkan produknya besok, tetapi jika memesan setelah jam 3 sore, barang akan dikirimkan lusa.

“Dengan kebijakan logistik pendekatan tunggal, kami dapat memprediksi dengan lebih baik dan memiliki ekonomi unit yang lebih baik dalam mengirimkan barang ke agen kami agar menguntungkan.”

Ambisi besar Super

CEO Super Steven Wongsoredjo / Super
CEO Super Steven Wongsoredjo / Super

Dengan model bisnis ini, Super sudah memiliki cara monetisasi yang jelas. Untuk jangka pendek, perusahaan mengambil margin dengan harga terbaik dari para manufaktur rekanan dan mengambil untung saat menjual produk tersebut ke Agen. Lalu, mengambil margin keuntungan dari produk FMCG label pribadi yang dijual ke Agen.

“Untuk jangka panjang, kami ingin menjadi platform untuk bisnis apa pun di Indonesia yang ingin memasuki daerah pedesaan. Kami akan menerima komisi per transaksi dengan bekerja sama dengan produsen di luar FMCG atau perusahaan yang membutuhkan jaringan agen kami untuk mendistribusikan produk mereka.”

Saat ini Super telah memiliki lebih dari 650 SKU bekerja sama dengan lebih dari 50 merek nasional. Cakupan areanya baru di lebih dari 20 kota lapis dua dan tiga di Pulau Jawa. Steven mengatakan medan perang di kota non-Jakarta itu unik dan kompleks, makanya menjadi penghalang bagi semua orang karena memecahkan masalah ini tidak semudah yang terlihat.

Menurutnya, social commerce adalah tahap awal dari ambisi besar Super yang ingin membangun solusi rantai pasokan menyeluruh. Ia ingin menjadi Indofood, namun sarat dengan sentuhan teknologi dan strategi bisnis yang relevan untuk pedesaan Indonesia.

Bila Indofood dari hulu ke hilir ada Indogrosir (hub) dan Indomaret (ritel). Maka, rencananya Super dapat memiliki white label (Supercare dan Supereats), hubs (Superwarehouse dan Supercenter), dan ritel (Superagent).

“Dengan memiliki seluruh infrastruktur ini, kami akan menjadi perusahaan yang kuat yang dapat bertahan lebih dari seratus tahun.”

Application Information Will Show Up Here

Moka to Release GoStore, Helping Merchant to Create Site for Online Store

Moka, a point of sales app startup developer for SMEs, is preparing a new product named GoStore. The platform is designed to help users create and manage their online stores. GoStore is likely to complement the Gojek merchant solution ecosystem as it is known that Moka has been fully acquired by the decacorn.

GoStore is planned to launch in November 2020. In order to use this brand-new platform, users must first be registered with Moka. As the GoStore service will be in the “Online Channel” menu option in the Moka app.

DailySocial tried to contact Moka to confirm its vision to develop this latest platform. However, they avoid providing any information. However, information about GoStore itself can be seen on Moka’s help page. It provides information about the application and how to use it.

It is said on the page that users will only need to create a centralized catalog in Backoffice Moka. Then, using GoStore, users can create online shop channels to help with the sales process in various places. The selling site can also be automatically integrated with the marketplace on social media.

Regarding payments, GoStore is automatically integrated with GoPay and the credit/debit card payment system. The logistics section is quite unique as it is integrated with the GoSend feature. Despite the many distribution channels and features implemented, users can centrally manage all their needs on the GoStore dashboard, including sales reporting.

Regarding usage fees, GoStore only charges a merchant discount rate (MDR) of 1.7% for GoPay and 2.5% + Rp1,650 for debit/credit

Social commerce momentum

In April 2020, it was announced that Moka’s service had reached users in 100 cities in Indonesia. More than 35 thousand restaurants, cafes, and other retail outlets have used its POS mobile application. Using GoStore, Moka strives to encourage these business people to enter the online selling concept.

Although it has not been officially announced, it is possible that merchants (especially in the culinary sector) will be encouraged to enter GoFood ecosystem as well.

The concept of GoStore is basically social commerce, which is to empower online networks (social media, marketplaces, e-commerce, etc.) for product distribution. This service can be relevant to Moka users because not all businesses are suitable to go online using Tokopedia or Shopee-style marketplaces. For example, the outlet for Nasi Padang (Indonesia’s signature food), is more suitable to have its own online sales site or on social media, so it is easy to limit the reach of publication/distribution.

The pandemic is also said to be a momentum for social commerce penetration, the existence of various social restrictions resulting in digital solution to maintain and promote business.

Some players have actually provided similar services – making it easy for small businesses to optimize online sales channels – namely Woobiz, TapTalk.io, PowerCommerce, Jualo, Halosis, and so on. Indeed, each business has a different value proposition, and for GoStore, the integration with the Moka and Gojek platforms might be an advantage.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Moka Segera Rilis GoStore, Mudahkan Merchant Buat Situs Toko Online

Moka, startup pengembang aplikasi point of sales untuk UKM, tengah menyiapkan produk terbarunya bernama GoStore. Platform tersebut didesain untuk membantu pengguna membuat dan mengelola toko online-nya. GoStore kemungkinan juga akan melengkapi ekosistem solusi merchant Gojek, karena seperti diketahui Moka telah sepenuhnya diakuisisi oleh decacorn tersebut.

Rencananya GoStore akan diluncurkan pada bulan November 2020. Untuk menggunakan platform anyar tersebut, pengguna harus terlebih dulu terdaftar di Moka. Karena layanan GoStore akan ada di opsi menu “Online Channel” di aplikasi Moka.

DailySocial sudah coba menghubungi pihak Moka untuk meminta keterangan, terkait visinya mengembangkan platform teranyar tersebut. Mereka masih enggan memberikan keterangan. Namun informasi mengenai GoStore sendiri sudah bisa disimak di laman bantuan Moka. Di sana dijelaskan mengenai definisi aplikasi hingga cara penggunaannya.

Laman tersebut menyebutkan, nantinya pengguna cukup membuat katalog terpusat di Backoffice Moka. Kemudian dengan GoStore, pengguna bisa membuat kanal toko online untuk membantu proses penjualan di berbagai tempat. Situs jualan tersebut juga secara otomatis dapat diintegrasikan dengan lokapasar di media sosial.

Terkait pembayaran, GoStore sudah otomatis terintegrasi dengan GoPay dan sistem pembayaran kartu kredit/debit. Bagian logistik juga unik, karena turut terintegrasi dengan fitur GoSend. Kendati banyak kanal distribusi dan fitur yang diterapkan, pengguna dapat mengelola semua keperluan secara terpusat di dasbor GoStore, termasuk pelaporan penjualan.

Terkait biaya penggunaan, GoStore hanya mengenakan merchant discount rate (MDR) 1,7% untuk GoPay dan 2,5% + Rp1.650 untuk kartu debit/kredit setelah pelanggan melakukan transaksi.

Momentum social commerce

April 2020 lalu disampaikan, bahwa layanan Moka telah menjangkau pengguna di 100 kota di Indonesia. Lebih dari 35 ribu restoran, cafe, dan gerai ritel lainnya manfaatkan aplikasi mobile POS yang dimilikinya. Dengan GoStore, Moka terlihat mengupayakan dan mendorong para pebisnis tersebut untuk masuk ke ranah jualan online.

Kendati belum diinfokan resmi, tidak menutup kemungkinan merchant (khususnya di bidang kuliner) akan didorong masuk ke GoFood juga.

Konsep GoStore pada dasarnya social commerce, yakni memberdayakan jejaring online (media sosial, marketplace, e-commerce dll) untuk distribusi produk. Layanan ini bisa relevan dengan pengguna Moka, karena tidak semua bisnis cocok berjualan online di marketplace ala Tokopedia atau Shopee. Misalnya gerai Nasi Padang, lebih cocok memiliki situs jualan online sendiri atau di media sosial, sehingga mudah dalam membatasi jangkauan publikasi/distribusi.

Pandemi juga dikatakan menjadi momentum bagi penetrasi social commerce, adanya berbagai pembatasan sosial menjadikan go-online pilihan untuk mempertahankan dan memajukan bisnis.

Beberapa pemain sebenarnya juga sudah sajikan layanan serupa –memudahkan pebisnis kecil untuk optimalkan kanal jualan online—sebut saja Woobiz, TapTalk.io, PowerCommerce, Jualio, Halosis, dan sebagainya. Tentu masing-masing punya value proposition, dan bagi GoStore integrasinya dengan platform Moka dan Gojek mungkin bisa jadi nilai plus.

Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Lengkapi Fitur BukaSend, Mudahkan Penjual Media Sosial Terhubung Solusi Logistik

Bukalapak mengembangkan fitur terbaru untuk BukaSend, layanan agregator logistik satu platform, untuk memudahkan penjual di media sosial terhubung dengan solusi logistik yang sudah tersedia di Bukalapak. Selama ini solusi logistik di sana masih terpecah belah, tidak selayaknya ketika mereka sudah menjadi merchant di platform marketplace seperti Bukalapak.

Director of Payment, Fintech, and Virtual Products Bukalapak Victor Lesmana menjelaskan, sejatinya fitur ini sudah dirilis sejak Agustus tahun lalu, namun ada banyak pengembangan agar tetap relevan dengan target penggunanya. Pada saat itu skalanya masih dalam tahap uji coba. Sekarang ada perbaikan dari sisi tampilan, tracking yang jauh lebih baik, dan mitra logistik yang jauh lebih banyak.

Sementara fitur yang terdahulu adalah memudahkan pelapak untuk pengiriman barang secara sekaligus dalam satu pintu. Mitra kurir yang dipilih akan mendatangi lokasi untuk mengambil paket tersebut dan memantau secara berkala posisi barang tersebut dalam fitur live tracking.

“Bedanya social commerce dengan e-commerce adalah logistik yang masih menjadi kendala. Saat ini berjualan di social media belum terlayani dengan baik, beda dengan di platform Bukalapak semuanya sudah dilayani dari pembayaran hingga logistik,” terangnya dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (29/9).

BukaSend tidak hanya menyasar penjual di media sosial, tapi juga kantor yang memiliki keperluan pengiriman barang, dan pengguna yang ingin membuka jasa agen pengiriman.

Selain kemudahan memilih jasa kurir, BukaSend menawarkan kemudahan lainnya, seperti penjemputan barang, pembayaran cashless, resi otomatis, dan penggunaan kapan saja dan di mana saja melalui multi platform (aplikasi, desktop, dan API), live tracking, dan coverage luas karena bermitra dengan Si Cepat, J&T Express, JNE, Lion Parcel, dan Ninja Express.

“Jika ada rekan bisnis yang tertarik dengan BukaSend, tanpa harus integrasi dengan Bukalapak, bisa pakai API di toko online-nya agar proses pengiriman pesanan jadi lebih mudah.”

Menurut Victor, solusi BukaSend ini sejalan dengan semangat perusahaan yang ingin membantu menciptakan perekonomian yang adil untuk semua orang di Indonesia. Bahwa semua masyarakat dapat meraih kesempatan yang sama demi hidup yang lebih baik.

“Karena itu, kami selalu berusaha agar semua layanan dan produk yang kami hadirkan bisa menciptakan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan untuk mewujudkan misi tersebut.”

Ditanya pula mengenai kemungkinan Bukalapak tertarik untuk masuk ke layanan pergudangan seperti yang sudah dilakukan oleh Shopee dan Tokopedia. Victor mengatakan kalau memang itu menjadi kebutuhan para pelapak, maka tidak menutup kemungkinan Bukalapak akan terjun ke sana.

“Kami terus mencari feedback dari UKM dan pelapak tentang kebutuhan yang belum terjawab sebab selama ini logistik masih menjadi masalah utama. Lalu kita ingin tetap gotong royong, tidak mengembangkannya sendiri.”

Solusi BukaSend ini tidak jauh berbeda dengan dengan solusi yang ditawarkan oleh Shipper. Sementara, Shipper sendiri baru bekerja sama dengan DANA untuk DANA Delivery buat kemudahan pengguna mengirim paket dengan jasa kurir last mile.

Application Information Will Show Up Here