Total Pendanaan Startup Asia Tenggara Anjlok 51% di 2023, Indonesia dan Singapura Sumbang 90%

Total pendanaan yang diraup startup (ekuitas dan debt) di kawasan Asia Tenggara anjlok hingga 51% (yoy) sepanjang 2023. Penurunan ini dilatarbelakangi oleh faktor makro ekonomi yang membebani sentimen investor.

Menurut laporan Southeast Asia Deal Review 2023 yang disusun DealStreetAsia dan Rigel Capital, terdapat 30% penurunan kesepakatan jadi 718 kesepakatan dengan total nilai $7,96 miliar (Rp 126,2 triliun).

Kesepakatan terbesar berasal dari Lazada yang disuntik oleh induknya, Alibaba, sebesar $1,89 miliar. Angka ini menyumbang sekitar 24% dari total pendanaan ekuitas di kawasan ini. “Besarnya peran yang dimainkan Lazada dalam menopang nilai transaksi secara keseluruhan membuat penurunan pendanaan startup menjadi lebih nyata,” kata laporan tersebut.

Urutan berikutnya disumbangkan oleh Kredivo yang menutup putaran seri D senilai $270 juta, startup insurtech Bolttech mengumpulkan pendanaan seri B senilai $246 juta, Investree mengumpulkan $231 juta dalam pendanaan seri D (kendati menurut kabar yang DailySocial.id terima pendanaan tersebut tidak jadi terealisasi), dan startup aquatech eFishery menyelesaikan putaran seri D senilai $200 juta.

“Kesepakatan ini merupakan salah satu kesepakatan langka yang bernilai lebih dari $100 juta, karena investor yang skeptis enggan menulis cek dalam jumlah besar di tengah ketidakpastian geopolitik, suku bunga tinggi, dan inflasi yang terus-menerus.”

Lebih jauh dipaparkan, tahun lalu adalah tahun tersulit dalam mencetak unicorn baru bervaluasi di atas $1 miliar. Hanya dua startup, yakni eFishery dan Silicon Box (berbasis di Singapura) yang merengkuh status tersebut

Tren ini terus menunjukkan penurunan. Di tahun sebelumnya, ada delapan startup yang mendapat status unicorn. Lalu pada 2021, tercatat ada 23 startup di wilayah ini yang valuasinya melampaui $1 miliar.

Singapura dan Indonesia raup 90% kesepakatan

Data menarik lainnya yang diungkap, tercatat Singapura dan Indonesia meraup hampir 90% dari total pendanaan ekuitas. Singapura memperoleh $5,5 miliar dari 415 transaksi, sementara Indonesia memperoleh $1,51 miliar dari 131 transaksi.

Baik Thailand dan Malaysia mengalami koreksi paling besar dalam total perolehan modal swasta, secara berurutan turun sebesar 86% dan 83%. Thailand memperoleh total $0,13 miliar dari 28 kesepakatan. Malaysia mencatat 52 transaksi yang menghasilkan total $0,11 miliar.

Vietnam terlihat relatif tangguh dengan penurunan nilai transaksi sebesar 9,55%, mengantongi $0,51 miliar dari 54 kesepakatan. Filipina memperoleh $0,19 miliar dari 34 kesepakatan.

Healthtech paling banyak didanai

Bila melihat dari vertikal startup, fintech tetap menjadi paling banyak disuntik oleh investor, kendati secara jumlah dan nilai transaksi tercatat menurun. Total kesepakatan di sektor ini turun 39% menjadi 142 transaksi dan nilai transaksi turun 67% menjadi $1,82 miliar.

Dikerucutkan lebih rinci, startup lending paling banyak raih pendanaan dengan nilai $734 juta dengan 35 kesepakatan. Disusul secara berurutan, insurtech ($361 juta dengan 15 kesepakatan), pembayaran digital ($287 juta dengan 37 kesepakatan), wealthtech ($148 juta dengan 37 kesepakatan), dan solusi fintech ($73 juta dengan 10 kesepakatan).

Berdasarkan nilai transaksi, posisi pertama diduduki oleh sektor e-commerce yang mengumpulkan dana paling banyak, yaitu $2,32 miliar, berkat Lazada. Lalu disusul fintech dan healthtech dengan 60 kesepakatan investasi, naik 20% dibandingkan tahun lalu. Namun, nilainya turun 34% menjadi $582 juta karena nominal kesepakatannya yang lebih kecil.

Startup healthtech yang berasal dari Singapura menyumbang kue terbesar di sektor ini dengan porsi 72,1%. Lalu disusul Indonesia dengan 21,7%. Layanan telemedis jadi turunan bisnis yang paling banyak didanai dengan nilai $191 juta dengan 17 kesepakatan. Lebih dari separuh nominal pendanaan ini datang dari putaran seri D yang direngkuh Halodoc.

Masa-masa sulit bagi startup tahap awal

Hal lain yang disoroti dari laporan ini, mengutip dari pengumuman perusahaan, pengajuan peraturan, laporan media, dan penelitian DealStreetAsia, mengungkapkan bahwa kesulitan penggalangan pendanaan pada 2023 melampaui startup late-stage karena kesepakatan tahap awal turun 29% menjadi 659 kesepakatan sementara total modal yang dikumpulkan turun 49% menjadi $3,42 miliar.

“Pendanaan tahap awal, yang dianggap sebagai penentu tren investasi tahap awal, telah menunjukkan tren penurunan sejak kuartal kedua tahun 2022, menandakan kemunduran dari puncak kegembiraan yang menjadi ciri pasar pada tahun 2021,” kata laporan itu.

Prospek untuk tahun 2024

Untuk tahun ini, beberapa sektor siap untuk tumbuh meskipun terdapat tantangan pendanaan saat ini dan tema-tema baru kemungkinan akan menarik investasi modal ventura. Sektor-sektor berkelanjutan, termasuk teknologi ramah lingkungan, kendaraan listrik, teknologi iklim, dan teknologi kesehatan semakin mendapat daya tarik. Ekosistem mobilitas bersih, kecerdasan buatan, dan sektor terkait keberlanjutan juga diperkirakan akan tumbuh.

Laporan tersebut mengungkapkan ada hikmah pada akhir tahun kemarin, bahwa tren kespakatan per kuartal memperlihatkan tanda-tanda stabilitas yang muncul dalam lanskap investasi startup.

Pada kuartal keempat tahun 2023 terdapat 167 transaksi, naik dari 151 transaksi pada kuartal sebelumnya ketika volume transaksi berada pada titik terendah dalam tiga tahun.

Kuartal keempat juga lebih kuat dalam hal perolehan investasi karena startup regional mengumpulkan $2,28 miliar, naik 9% dari kuartal sebelumnya.

“Namun, menjelang akhir tahun, kondisi sektor swasta di kawasan ini mulai menunjukkan tanda-tanda stabilitas, dengan kuartal keempat mencatat peningkatan volume kesepakatan sebesar 12% setelah mencapai titik terendah dalam tiga tahun terakhir pada kuartal ketiga,” tutup laporan tersebut.

Ada lima catatan lainnya yang patut diperhatikan untuk industri startup di kawasan ini. Berikut rangkumannya:

Momentum Works: GrabFood Pimpin Pasar “Food Delivery” di Asia Tenggara 3 Tahun Berturut-Turut

GrabFood, platform food delivery milik Grab, disebutkan memimpin pasar pesan-antar makanan di Asia Tenggara selama tiga tahun berturut-turut sejak 2020 hingga 2022, menurut laporan Momentum Works bertajuk “Food delivery platforms ind Southeast Asia (SEA) Jan 2023”.

“Dari pemain regional utama, Grab adalah satu-satunya yang mempertahankan pertumbuhan GMV berturut-turut untuk yang terakhir tiga tahun. Grab juga memiliki posisi kas bersih terbaik dibandingkan dengan rekan-rekannya untuk mempertahankan investasi,” tulis laporan tersebut.

“Pasca lonjakan investasi makanan pada 2021, Shopee telah diskalakan kembali untuk fokus membuat bisnis intinya e-commerce menguntungkan. Sedangkan, Gojek sudah stagnan selama tiga tahun, cerminan dari dinamika dan persaingan di pasar Indonesia,” sambungnya.

Diestimasi GMV dari GrabFood sebesar $8.8 miliar dari total GMV se-Asia Tenggara sebesar $16,3 miliar. Kemudian, disusul DeliveryHero ($3,1 miliar), GoFood ($2 miliar), dan ShopeeFood ($0,9 miliar). Sedangkan, untuk pangsa pasar GrabFood di Indonesia saja sebesar 49%. Kemudian disusul GoFood (44%) dan ShopeeFood (7%).

Sumber: Momentum Works

Adapun GMV di Indonesia mencapai $4,5 miliar, masih menempati posisi tertinggi setelah Thailand ($3,6 miliar) dan Singapura ($2.5 miliar). “Grab telah mengambil kepemimpinan pangsa pasar di Malaysia dan Vietnam dari Foodpanda dan ShopeeFood, dan sekarang GMV-nya menyumbang 54% dari total di kawasan.”

Dalam laporan dipaparkan bahwa pada 2022, semua platform pesan-antar makanan mengalami hambatan yang kuat dalam menciptakan pertumbuhan. Ini ada kaitannya dengan permintaan pasar modal untuk profitabilitas, mengingat sebagian besar pemain telah menjadi perusahaan terbuka, dan kembalinya mobilitas masyarakat selepas pandemi.

Akibatnya, secara GMV untuk year-on-year tercatat hanya tumbuh 5% mencapai $16,3 miliar. Pertumbuhan didorong oleh pasar Filipina, Malaysia, dan Vietnam yang secara ukuran relatif lebih kecil, sedangkan pasar yang lebih besar – Indonesia, Thailand dan Singapura – mencatatkan penurunan karena berbagai faktor yang signifikan dan bervariasi.

Misalnya, pembukaan kembali di Singapura telah mengubah permintaan layanan makanan menjadi offline, sementara di Thailand penarikan subsidi pemerintah setelah Oktober serta banjir pada paruh kedua tahun tersebut memainkan peran yang signifikan.

Sumber: Momentum Works

“Pertumbuhan pengiriman makanan menjadi normal ke tingkat pra-pandemi setelah dua tahun mengalami pertumbuhan yang signifikan. Pembukaan kembali pasca-covid (kembalinya makan di luar rumah, pengurangan subsidi untuk ongkos pengiriman), dan lanjutan dari rasionalisasi pasar, mengakibatkan pertumbuhan rendah.”

Tren makro pesan-antar makanan

Laporan ini juga menyoroti tantangan berikutnya di industri pesan-antar makanan berdasarkan tren makro, yakni fragmentasi digitalisasi F&B (serta upaya platform untuk mengontrol POS), dan perluasan platform ke pengiriman makanan secara keseluruhan. Upaya tersebut dimaksudkan karena platform ingin lebih memanfaatkan penawaran dan meningkatkan permintaan layanan makanan.

Bagi merchant kuliner, pandemi percepatan adopsi tidak hanya dalam hal pengiriman, tetapi juga solusi yang berfokus pada rantai ekosistemnya. Namun, terjadi digitalisasi yang terfragmentasi dan data, yang pada akhirnya membuat merchant frustrasi.

Oleh karenanya, sangat umum untuk melihat outlet F&B menggunakan terpisah sistem untuk Point-of-Sale (POS), menu pemesanan, pembayaran, shift/tenaga kerja manajemen, CRM / loyalitas, pemasaran, persediaan manajemen, dan interfacing platform pengiriman.

“Pertanyaannya adalah – apakah kita akan melihat konsolidasi lanskap POS di Asia Tenggara, seperti apa Meituan lakukan di Cina? Platform pengiriman makanan terkemuka Grab, Foodpanda, dan LINEMAN Wongnai adalah sudah bergerak ke arah ini, oleh mengakuisisi/bermitra dengan restoran perusahaan teknologi.”

Selanjutnya, Momentum Works juga melihat penajaman strategi platform yang lebih strategis untuk mencapai profitabilitas lebih cepat, termasuk penskalaan kembali, penutupan cloud kitchen, perluasan pendapatan (solusi iklan, berlangganan), serta optimalisasi biaya berkelanjutan (pengurangan insentif, peningkatan efisiensi operasional dan fokus pembayaran).

“Kami mengulangi argumen dalam laporan Food Delivery Platforms in Southeast Asia sebelumnya di Asia Tenggara: bahwa profitabilitas dapat dicapai dengan volume, kepadatan dan efisiensi operasional. Sebagian besar platform utama terdaftar secara publik sekarang, selain dari metrik operasi saat ini yang diperhatikan investor dengan cermat, Kepemimpinan, Orang, Organisasi, dan Produk merupakan faktor penting untuk kesuksesan (atau kegagalan),” tutup laporan.

Bagaimana Startup Open Finance Membentuk Masa Depan Pembayaran di Asia Tenggara

Banking the unbanked” telah lama menjadi slogan di sektor tekfin (terjemahan fintech) Asia Tenggara, wilayah yang menampung 290 juta penduduk yang belum jadi bagian dari sistem perbankan konvensional. Alhasil, unicorn teknologi seperti Grab dan GoTo, bersama dengan pengembang tekfin, lembaga keuangan, dan pemerintah daerah mulai mengubah pendekatan dalam menawarkan layanan keuangan.

Produk fintech mulai banyak digunakan dalam dua tahun terakhir. Penggunaan e-wallet melonjak 45% dibandingkan masa pra-pandemi. Menurut laporan dari Google, Temasek, dan Bain & Company, volume transaksi e-wallet diperkirakan akan meningkat lebih dari 200% pada tahun 2025.

Sementara penggunaan uang tunai tidak akan punah dalam waktu dekat, pertumbuhan pesat pembayaran digital kian mendukung perubahan mendasar di kawasan ini. Solusi open finance membawa inklusi keuangan di kawasan ini ke tahap selanjutnya.

Open finance mengacu pada produk dan kebijakan teknologi yang memungkinkan pelanggan mengakses layanan keuangan dari penyedia pihak ketiga yang memenuhi syarat. Infrastruktur, teknologi, dan standar data memungkinkan konsumen menautkan rekening bank mereka ke dompet GrabPay-nya,” ujar Todd Schweitzer, pendiri dan CEO pengembang keuangan terbuka Brankas yang berbasis di Indonesia.

Persetujuan berbagi data mendukung open finance, sehingga perusahaan rintisan seperti Brankas dapat mengembangkan API untuk perusahaan teknologi atau lembaga keuangan dalam mengakses data pengguna, dan yang terpenting, membangun berbagai produk terkait tekfin yang dapat melayani siapa saja, termasuk konsumen unbanked dan underbanked.

Todd Schweitzer, pendiri dan CEO Brankas, pengembang open finance yang berbasis di Indonesia. Dokumentasi oleh Brankas.

Brankas, yang berhasil meraih $20 juta dalam putaran Seri B yang dipimpin oleh Insignia Ventures Partners pada 5 Januari lalu adalah salah satu fintech tahap awal yang memungkinkan kemudahan berbagi data keuangan. Didirikan pada tahun 2016, salah satu proposisi nilai unik dari perusahaan adalah kemitraannya dengan bank di seluruh wilayah.

Menggunakan modal segar yang didapat, perusahaan akan memperluas jangkauan pasarnya dengan menghubungkan bank digital dan perusahaan fintech di Vietnam dan Bangladesh. Sejauh ini, perusahaan telah bekerja sama dengan lebih dari 40 lembaga keuangan dan 100 perusahaan teknologi yang beroperasi di Indonesia, Filipina, dan Thailand.

Perkembangan pesat startup Fintech

Pengembang open finance tahap awal lainnya termasuk Finverse yang berbasis di Hong Kong, Finantier yang berbasis di Singapura, dan Brick yang berbasis di Indonesia. Semuanya didirikan pada tahun 2020, ketika muncul banyak hambatan dalam perekonomian daerah.

“Saat pandemi, saya berdiskusi dengan beberapa driver Gojek di Jakarta. Mereka menceritakan betapa sulitnya mendapatkan pinjaman untuk membeli sepeda motor agar bisa nge-Gojek. Pertanyaan saya adalah mengapa mereka tidak pergi ke bank atau perusahaan tekfin [untuk pinjaman], dan mereka mengatakan bank dan perusahaan tekfin tidak akan membantu mereka, karena mereka tidak memiliki riwayat kredit,” salah satu pendiri Finantier Keng Low mengatakan kepada KrASIA.

Finantier mendapatkan investasi awal tujuh digit yang dipimpin oleh East Ventures dan Global Founders Capital pada Juni 2021. Dokumentasi oleh Finantier.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Finantier menawarkan penilaian kredit, agregasi akun yang memungkinkan bisnis untuk membangun profil pelanggan dari sumber keuangan dan non-keuangan, serta solusi inisiasi pembayaran yang memungkinkan transfer uang melalui gateway pembayaran berlisensi.

Proposisi nilai unik yang digunakan perusahaan untuk membedakan dari pesaing adalah dengan berfokus di luar bank. Pada Desember 2021, Finantier secara resmi diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan Indonesia, OJK, sebagai penyedia inovasi keuangan digital dalam kategori credit scoring.

“Kompetisi adalah sesuatu yang kami pikirkan sejak awal. Dompet elektronik dan bank tidak ingin menjadi penyedia open finance dengan berbagai kerumitannya. Dengan terkoneksi ke telekomunikasi, perusahaan e-commerce, dan dompet digital, kami membedakan diri dari pemain lain,” sebut Low.

Tidak seperti Brankas dan Brick, yang beroperasi di bawah model pembayaran per pakai, Finantier menawarkan konsep product-as-a-service (PaaS), yang menurut salah satu pendiri Finantier Keng Low sebagai keunggulan dibandingkan startup lain di bidangnya. Tidak seperti perusahaan lain di arena yang sama, perusahaan tidak membebankan biaya setup atau menarik pendapatan dari transaksi.

Namun, bagi Gavin Tan, CEO dan Co-Founder Brick, persaingan tidak terlalu menjadi perhatian. “Kita harus menganggap API sebagai infrastruktur modern yang memungkinkan platform tekfin diluncurkan dengan cara yang jauh lebih mudah, lebih cepat, dan lebih murah. Laju startup fintech telah mencapai 5x lipat dibandingkan tiga tahun lalu, dengan API yang menyediakan infrastruktur,” katanya.

Apakah regulasi berjalan seiring inovasi?

Meski industri tekfin tumbuh subur, regulator belum bisa memproses secara penuh perkembangan baru tersebut. Sejauh ini, hanya Indonesia, Filipina, Singapura, dan Thailand yang telah menerbitkan kerangka kerja open finance yang mendefinisikan inisiatif utama seperti regulasi data dan infrastruktur, menurut laporan Brankas dan Integra Partners.

Brick menerima sejumlah dana seed dengan jumlah yang dirahasiakan pada Maret 2021 dari 1982 Ventures dan Antler. Dokumentasi milik Brick.

“Tantangan paling utama adalah minimnya literasi pasar. Regulator masih mempelajari dan merancang regulasi open finance di negaranya. Namun belum ada regulasi detailnya,” kata Schweitzer.

Di Indonesia, misalnya, Kementerian TI dan DPR sedang dalam diskusi untuk meninjau RUU Perlindungan Data Pribadi, yang diharapkan dapat menentukan hak kepemilikan data di negara tersebut. Namun, belum jelas kapan RUU itu akan disahkan, menurut publikasi lokal Voice of Indonesia.

Meskipun hal ini dimaksudkan untuk pengguna memiliki kendali penuh atas data mereka sendiri di bawah kerangka kerja open finance, lembaga keuangan akan terus mengontrol data keuangan pelanggan, seperti saldo akun, hipotek, dan riwayat kredit. “Secara umum di Asia Tenggara, kita akan melihat bahwa data tidak benar-benar dibagikan dengan cara yang bermanfaat. Data keuangan tidak dibagikan dengan cara yang andal, itu sebabnya orang tidak bisa mendapatkan akses ke layanan keuangan,” tambah Gavin.

Meskipun begitu, pendiri Brankas, Bricks, dan Finantier tetap optimis dengan open finance, dan tengah memperkuat kehadiran di regional. Pasarnya sangat besar—pembayaran digital, termasuk e-wallet dan pembayaran akun-ke-akun, hanya menyumbang 24% dari total volume pembayaran pada tahun 2021, sementara uang tunai digunakan untuk 59% dari total volume tersebut, menurut laporan Google, Temasek, dan Bain & Company.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Niko Partners: The Growing Esports Viewership in Southeast Asia

The gaming industry in the Greater Southeast Asia region — including Southeast Asia and Taiwan — is estimated to be worth$8.3 billion USD by 2023. One of the primary driving factors behind the growth of the gaming industry at GSEA is esports. This is not a surprise considering that most gamers in Asia are also esports enthusiasts. According to data from Niko Partners, around 95% of PC gamers and 90% of mobile players in Asia are, to a certain extent, active or interested in the esports world. In a previous article, we already discussed the state of the gaming industry at GSEA in 2020. This time, we will dive deeper into the esports world in Asia, especially SEA.

The Esports Audience in Southeast Asia

According to Niko Partners’ data, the number of esports viewers in East Asia and Southeast Asia reaches 510 million people. Furthermore, around 350 million of these esports fans came from China, and the remaining 160 million are from Southeast Asia, Japan, and South Korea.

“There are approximately 100 million esports viewers throughout Southeast Asia. The number of viewers and players in each specific country, more or less, is directly proportional to the population size and internet quality in the country,” said Darang S. Candra, Director of Asia’s Gaming Market Research Company, Niko Partners. “In SEA, Indonesia has the largest number of viewers and esports players, followed by the Philippines, Vietnam, Thailand, Malaysia, and Singapore.” If you want more details regarding the statistics of the esports audience in SEA, you can refer to Niko Partner’s premium report.

The population size and internet speeds in Southeast Asian Countries.

The five countries in Southeast Asia with the largest population are Indonesia, the Philippines, Vietnam, Thailand, and Myanmar. In terms of internet speed, Singapore comes on top not only in the SEA region but also throughout the world. According to data from Speedtest, the average speed of a fixed broadband network in Singapore reaches 245.5 Mbps. As you can see in the table above, although Indonesia has the largest population, the country’s internet quality is relatively subpar when compared to the other countries in Southeast Asia.

The Philippines, by far, is the country in SEA that has racked up the most top-tier esports achievements. For instance, the Philippines managed to bring home the most medals (3 gold, 1 silver, 1 bronze medal) from the esports section at the 2019 SEA Games. As a comparison, Indonesia’s esports team only managed to win two silver medals.

The Philippines won three gold medals in three different games: Dota 2, StarCraft II, and Mobile Legends: Bang Bang. Last January, Bren Esports, a Filipino team, also won the M2 World Championship. The StarCraft II player who won the gold medal for the Philippines was Caviar “EnDerr” Acampado, a pro StarCraft II player since 2011. EnDerr is still active in the StarCraft II esports scene until this very day. In 2021, he has even won two minor tournaments called PSISTORM StarCraft League – Season 1 and Season 2. Last 2020, he also won a major Starcraft II tournament, DH SC2 Masters 2020 Winter: Oceania / Rest of Asia.

The Philippines also houses many talented Dota 2 players and teams. In addition to successfully bringing home a gold medal at the 2019 SEA Games, the Philippines also has a formidable Dota 2 team called TNC Predator. Not long ago, TNC won the Asia Pacific Predator League 2020/21 – APAC. In 2020, they also placed first in both the BTS Pro Series Season 4: Southeast Asia and ESL One Thailand 2020: Asia. Furthermore, they also won the MDL Chengdu Major and ESL One Hamburg in 2019. TNC is also one of the few SEA teams that consistently made it into The International, qualifying for four consecutive years from 2016 to 2019.

TNC Predator is regarded by many to be the best Dota 2 team in SEA. | Source: IGN

Another member of the Philippines’ esports arsenal is Alexandre “AK” Laverez. He is a professional Filipino Tekken player who brought home the silver medal at the 2019 SEA Games. AK is incredibly well-known in the global Tekken esports scene since 2013. At that time, he managed to place third in the Tekken Tag Tournament 2 Global Championship despite being only 13 years old. In addition, he also won the runner-up position at the WEGL Super Fight Invitational and EVO Japan 2019.

However, Indonesian esports teams also do have their own set of accomplishments. When compared to most esports organizations in other Southeast Asian countries, the Indonesian esports team is incredibly popular. In fact, the three most popular esports teams in Southeast Asia (EVOS Esports, Aura Esports, and RRQ) are all based in Indonesia.

Esports Tournament Ecosystem in Southeast Asia

The number of esports players and viewers in a region can only grow if its ecosystem is healthy and thriving. Fortunately, the esports industry in Southeast Asia has a lot of potential. Lisa Cosmas Hanson, President of Niko Partners, even said that it is incredibly likely that SEA will become a global esports center in the future. To test this prediction, we can take a look at the number of esports tournaments held in the region.

“In 2020, there were over 350 major tournaments held in the Southeast Asian region. This figure does not even include amateur or small-scale tournaments,” said Darang.

Phoenix Force from Thailand won FFWS 2021. | Source: The Strait Times

The esports tournament prize pools in SEA are also quite large. Free Fire World Series (FFWS) 2021 is, by far, the esports tournament with the largest total prize pool in the region, reaching $2 million USD. Furthermore, this tournament broke the record for the largest viewing numbers in all of esports. During its peak, FFWS 2021 managed to accumulate viewership numbers of 5.4 million people. In comparison, the 2019 League of Legends World Championship — the previous title holder of the largest audience in an esports tournament — only had a peak of 3.9 million viewers.

Besides FFWS 2021, another esports tournament that offers a massive prize pool is the ONE Esports Singapore Major, which has a hefty $1 million USD prize pool. In 2018, another Dota 2 tournament held in SEA, the Dota 2 Kuala Lumpur Major, also had a $1 million USD prize pool.

Currently, many esports leagues in Southeast Asia implement the franchise model, which is predicted to be the trend in the future. An example of these leagues is Mobile Legends Professional League Indonesia (MPL ID). There is also a rumor that MPL Philippines will be adopting the franchise model in Season 8. The Free Fire Master League has also used a league system similar to the franchise system. Each team is required to pay a certain amount of money if they wish to participate in the FFML. Esports organizations also have the choice to include more than one team to participate in the league. This contract between esports teams and the tournament organizers usually only lasts for the duration of one season.

Featured Image: Freepik. Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Why the Gaming Market in Southeast Asia Will Be Significantly Important In the Future

The gaming industry used to be monopolized by several large firms from the United States, Europe, and Japan in the 20th century. However, since the 2000s, this trend began to change. Today, even small indie developers can target the global market thanks to the development of the internet and mobile devices. The internet has allowed small developers to share their products and creativeness with gamers around the world without any boundaries. Some examples of these games that have, out of nowhere, exploded in popularity are Flappy Bird and Among Us.

However, not much research or studies have been conducted that discuss the development of the gaming industry and gaming culture in Asia. To fill the void, Phan Quang Anh conducted a research titled Shifting the Focus to East and Southeast Asia: A Critical Review of Regional Game Research. The study discusses the gaming industry and culture in the Asian region, particularly East Asia and Southeast Asia.

East Asia’s Gaming Industry and Culture

There are several reasons why Asia is becoming increasingly important for the gaming industry. One of these reasons is the size of the gaming market in the region. Both in terms of revenue or player numbers, Asia is a very profitable region for many gaming companies. Furthermore, several Asian countries also house many of the big gaming companies we know today, such as Nintendo and Sony in Japan, Nexon in South Korea, and Tencent in China. A majority of governments in Asian countries also put a substantial amount of investment towards the development of the game industry in their respective countries.

Walkman became one of the primary culprits behind the individualistic culture iin Japan. | Source: SCMP

However,  each country in the Asian region has different gaming cultures. For instance, gamers in Japan tend to be more individualistic. The culture of individualism in Japan itself began to emerge in the 1970s when Sony launched the Walkman. The growth of the game ecosystem in Japan is also heavily correlated with its local culture. As a result, most Japanese gamers prefer to play single-player games.

On the other hand, gamers in South Korea and China actually consider gaming as a social activity. They like to play games with their friends, hence why co-op games or competitive games are more popular. In fact, the social or competitive culture of gaming cultivated in South Korea and China is one of the reasons why the two of them produce so many successful pro esports players.

The online gaming culture in South Korea emerged around 1998 when Blizzard launched StarCraft. Playing online games quickly became a favorite hobby for the younger generation at that time. Through the widespread PC bangs — or internet cafes — across the country, playing games is also a relatively inexpensive activity. South Korea’s competitive culture has also made its esports ecosystem flourish. Local TVs began broadcasting esports, and being a pro player became a legitimate career path. This esports phenomenon in South Korea will later spread to other countries in East Asia and Southeast Asia.

Despite the similar gaming culture between South Korea and China, the two countries still have quite a contrasting gaming market. For example, China’s government is far more involved with its local gaming industry than South Korea’s. They frequently create regulations and promote local game companies to compete with foreign brands. Chinese game companies with innovative ideas will often receive government support for their growth. As a result, in 2020, 19 of the 100 games with the largest revenue generated in the United States were all produced by Chinese companies.

Southeast Asia’s Gaming Industry and Culture

Apart from East Asia, Southeast Asia is also a region to be reckoned with by game companies. According to Newzoo and Niko Partners, the growth rate of mobile games in Southeast Asia in 2014-2017 reached more than 180%. This figure is also predicted to continue to grow for the next five years. Shibuya Data Count also forecasted that the Compound Annual Growth Rate (CAGR) of the gaming industry in Southeast Asia will reach 8.5% in the 2020-2025 period. The six countries in Southeast Asia with the largest gaming markets, with no particular order, are Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Singapore, and the Philippines.

One of the factors driving the growth of the game industry in Southeast Asia is the development of internet infrastructure or, more specifically, the emergence of 5G technology in 2020. Another factor that comes to play is the rising popularity of esports. As esports content in YouTube and Twitch continues to amass thousands of viewers, game companies invested in the region will also thrive . Free fire, for example, benefitted a lot from content creation and managed to become the most downloaded mobile game in 2019.

Free Fire is the most downloaded game in 2019.

Furthermore, free-to-play games also play a huge role in the success of the game industry in Southeast Asia. Combine this with the vast implementation of cloud gaming, the possibilities for the gaming industry in SEA will be limitless. Interestingly, more than 55% of mobile gamers in Southeast Asia are over 55 years old, while only 8% are teenagers. These stats can be explained by the fact that mobile games are usually catered to more casual users. 

However, these casual mobile games usually don’t last long, and their popularity can be vulnerable at most times. Thus, most developers of these types of games need to continuously promote their games through advertising. If constant advertising is not conducted, the relevance of casual games can fade in a matter of weeks or even days.

Game Industry in Indonesia

Just like China, the governments of Southeast Asian countries are also involved in the local gaming industry. However, the regulations set by Southeast Asian governments are usually not as strict as those in China. Therefore, foreign gaming companies might have a better chance to expand their market in the SEA countries like Indonesia.

Indonesia is a country with the 4th largest population in the world. Its population is also mostly dominated by the younger generation, who loves building online communities. According to Newzoo, this is a massive advantage that the Indonesian gaming market has over other countries in SEA. The popularity of mobile games in Indonesia is, undoubtedly, a golden opportunity that local developers need to seize

Mobile games have dominated the Indonesian gaming market for the past few years, and fortunately, 49% of mobile gamers do not hesitate to spend money to buy in-game items. Newzoo’s data showed that Indonesian mobile gamers spend an average of $9 USD every year. The strategy game genre is also a favorite among Indonesian gamers and is also populated by gamers with large spendings. 41% of gamers, in fact, are willing to buy in-game items in the strategy genre.

The cost of making mobile games is much cheaper than online PC games.

Mobile games are also generally cheaper to produce than PC games. As a comparison, creating mobile games usually cost around $1 thousand USD, while the expenses of making PC games can cost 10 times more than that. Therefore, it is not surprising that most game developers in Indonesia opt to create and develop mobile games.

The potential of the gaming industry is also recognized by the Indonesian government. The government often supports local gaming companies by holding various gaming-related events, such as Game Prime. Additionally, a lot of ministers, such as the Minister of Communication and Information and the Minister of Tourism and Creative Economy, have expressed their support towards the local gaming and esports industry. Prior to this, Indonesia was also successful in lobbying ASEAN countries to include esports as an exhibition sport at the 2018 Asian Games and declaring esports as a legitimate sport (winners will get medals) at the 2019 SEA Games.

Game Industry in Singapore

According to Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners, the spendings of gamers in Southeast Asian countries is directly proportional to the Gross Domestic Product (GDP) per capita in each country. Countries with relatively low GDP per capita, such as Indonesia and the Philippines, have an Average Revenue per User (ARPU) of around $4-6 USD for PC games and $5-8 USD for mobile games. On the other hand, countries with higher GDP per capita, such as Malaysia and Singapore, have higher ARPU, reaching $15-20 USD for PC games and $25-60 USD for mobile games.

Singapore, for many years, has been considered the economic center or powerhouse in Southeast Asia. Although Singapore’s population is far smaller than Indonesia’s, its internet penetration rate is exponentially superior, reaching 80% of the total population. Furthermore, 60% of Singaporean internet users are classified as gamers who spend over $189 USD on games every year. English is also one of the primary languages used in Singapore, which is why Western games also have a relatively high penetration rate in the country.

The Singapore government itself has been interested in developing its gaming industry since 1995. The government has supported startups in the gaming sector while also opening and financing various research labs dedicated to gaming. They also set strict regulations, especially those related to piracy. Heavy penalties and charges were imposed to discourage people from using pirated products. As a result, foreign established gaming companies became highly interested in investing and opening offices there. Ubisoft and Electronic Arts, for instance, have opened branches in Singapore.

Translated by: Ananto Joyoadikusumo. Featured image via: Unsplash.com.

Turochas “T” Fuad Tentang Strategi “Exit”: Kecepatan dan Eksekusi adalah Segalanya

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Memulai petualangan baru sepertinya tidak pernah membuat saya bosan. Kesibukan, kelelahan, kecemasan, kegembiraan, semuanya bercampur. Tidak pernah sama, namun terasa sangat familiar.

Tulis Turochas “T” Fuad dalam paragraf pembuka mengenai bisnis teranyar, Pace.

Sebuah penjelasan yang singkat namun menyeluruh tentang kehidupan seorang serial entrepreneur, setidaknya untuk Turochas Fuad, atau lebih akrab dipanggil T. Lahir di Indonesia dan sempat belajar bahasa Inggris di Singapura, ia memutuskan untuk mengejar gelar Sistem Informasi Manajemen jauh-jauh ke Amerika di The University of Texas, Austin. Namun hal ini menjadi awal dari ketertarikannya yang besar pada teknologi.

Mulai dari berdirinya usaha pertama yang akhirnya diakuisisi oleh raksasa teknologi asal Amerika, Yahoo!; lalu mendirikan usaha ikonik travelmob, yang kemudian diakuisisi oleh Homeaway pada tahun 2013 seharga $11,5 juta; kemudian kisah raksasa coworking WeWork yang mengakuisisi Spacemob buatannya untuk meningkatkan ekspansi dan pertumbuhan di Asia Tenggara.

Tim DailySocial berkesempatan mendapat sesi wawancara tentang perjalanan bisnisnya sebagai pengusaha veteran dan visi menuju masa depan yang lebih baik di industri teknologi.

Mulai dari bisnis teranyar. Sebelum Pace, bukankah Anda belum pernah benar-benar terjun ke dunia fintech? Apa yang membuat Anda tertarik untuk memulai hal ini?

Hal yang paling menggairahkan bagi saya perkara memulai bisnis baru adalah kemungkinan untuk menciptakan dampak positif pada individu dalam skala besar. Dari perusahaan pertama saya hingga startup terakhir saya, Spacemob, ini selalu menjadi kekuatan pendorong di balik apa yang saya lakukan dan terus berlanjut, bahkan sekarang dengan sektor Fintech.

Terkhusus Pace, peluang untuk menciptakan inklusi keuangan di seluruh Asia adalah peluang yang terlalu sulit untuk ditolak. Lanskap keuangan tetap terfragmentasi, dengan ruang para pemegang jabatan untuk disrupsi dalam semua segmen, terlepas dari pembayaran. Misi kami adalah menyediakan inklusi keuangan dengan membangun mesin perbankan yang dapat beroperasi di banyak negara dengan mudah – yang membantu pedagang menciptakan efisiensi penjualan, dan memberi konsumen pilihan untuk berbelanja secara berkelanjutan.

pace 2

Menyelesaikan sarjana di Amerika dan sempat bekerja sebentar di sana, mengapa Anda memutuskan untuk berkarya di Singapura? [Mengingat Anda lahir di Indonesia]

Singapura, sebagai pusat bisnis utama di Asia, merupakan cara saya untuk membangun karier yang dapat memberi eksposur internasional juga jaringan kontak global dapat dibangun seiring waktu. Berada di sekitar orang yang tepat membantu Anda berpikir secara makro, dan saya cukup beruntung mendapatkan perspektif dari banyak orang berbakat di sini. Sejujurnya, selama di Singapura, saya juga mengembangkan bisnis di seluruh Asia Utara dan Asia Tenggara.

Meski begitu, hati saya masih tertaut dengan Indonesia, dan dengan kecepatan pertumbuhan serta populasi yang besar ini, setiap startup yang tidak menempatkan Indonesia dalam rencana ekspansinya kehilangan potensi untuk menciptakan dampak positif yang besar. Lagipula, sulit untuk mengabaikan negara terbesar keempat di dunia ini, bukan?

Anda pernah menikmati masa bekerja di perusahaan teknologi raksasa seperti Yahoo! dan Skype. Bagaimana pengalaman itu membentuk pribadi serta apa yang akhirnya mendorong Anda untuk memulai sebuah bisnis?

Jika ditanya, pengalaman ini menunjukkan kepada saya betapa pentingnya budaya bagi kesuksesan perusahaan mana pun. Saya merasa senang bekerja dengan orang-orang dari seluruh dunia, dan saya telah melihat bagaimana yang paling sukses dari mereka yang telah lebih dulu sukses, belajar untuk selalu menjadi orang yang pertama bahkan dalam situasi yang paling sulit. Bagi saya, itu adalah budaya yang hebat.

Hal lain yang sangat lazim di perusahaan-perusahaan ini adalah kecepatan eksekusi mereka. Anda dapat memiliki rencana paling brilian di dunia, tetapi jika menyangkut sebuah masalah, bagian tersulit adalah bagaimana caranya bisa mengiterasi dan mengeksekusi secepat mungkin, sembari mempertahankan kualitas produk atau layanan Anda. Terutama ketika beroperasi di ruang yang penuh disrupsi, Anda akan menghadapi rentetan tantangan; tetap fokus pada eksekusi dalam masa-masa sulit, menjadi sangat penting untuk bisa sukses.

Dalam perjalanan menuju “exit”, apakah Anda punya pertimbangan atau target spesifik sebelum memutuskan untuk menjual perusahaan?

Pengusaha hebat tidak pernah memulai sebuah perusahaan untuk dijual, karena tanpa memiliki keyakinan misi yang berfokus pada terciptanya perubahan, perusahaan sering kali goyah di bawah tekanan, dan akhirnya hancur.

Ketika harus mengevaluasi perjalanan exit sebelumnya, pertanyaan yang selalu saya tanyakan pada diri saya adalah, “Apakah akuisisi ini akan meningkatkan visi perusahaan kita?”. Jika ada keraguan barang sedikit pun, maka akan sangat mudah untuk menolak keputusan tersebut dengan besar hati.

Contoh yang baik adalah akuisisi Spacemob lima tahun lalu. Kami mulai membangun ruang kerja kolaboratif di seluruh Asia Tenggara dan membantu orang-orang mewujudkan visi mereka, lalu dengan akuisisi oleh WeWork kami semakin yakin bisa melakukannya. Tim inti Spacemob tetap bersama, memperluas bisnis ke sepersekian banyak ruang di enam negara di Asia Tenggara, dan menyampaikan misi yang ingin kami capai.

Anda sendiri telah mendirikan dan menjual tiga startup sejauh ini, apa saja pelajaran berharga yang bisa Anda petik dari masing-masing pengalaman?

Banyak yang berucap bahwa kecepatan & eksekusi adalah segalanya, dan melalui berbagai pengalaman di situasi sebelumnya, saya belajar bahwa hal itu sangat nyata. Itu, lalu memastikan Anda memiliki tim hebat yang terdiri dari orang-orang yang bersedia berkomitmen untuk mengerjakan sesuatu. Jika Anda melakukan beberapa hal ini dengan cukup baik, tidak ada alasan mengapa Anda tidak berhasil.

Apakah Anda memiliki sosok atau figur spesial yang menjadi inspirasi hingga bisa menjadi seperti saat ini?

Meski terdengar klise, ayah adalah sosok yang jadi inspirasi saya. Tumbuh di Medan, saya melihat dia bekerja keras di bisnis kecilnya sendiri, yang masih dia jalankan sampai sekarang. Meskipun saya dan saudara laki-laki saya cukup beruntung dapat bersekolah di AS, itu tidak mudah baginya. Keseharian hingga larut malam dan akhir pekan yang tidak terasa, ia membuat pengorbanan pribadi untuk memastikan kami mendapatkan yang terbaik yang dia bisa berikan. Kekuatan dan komitmen untuk bekerja keras dan tetap fokus pada kesibukan sehari-hari adalah sesuatu yang membuat saya terus maju setiap hari.

Ketika pandemi Covid-19 belum akan berakhir, bagaimana Anda melihat perkembangan industri teknologi di Asia Tenggara?

Singkatnya, cerah dan sangat menjanjikan! Asia Tenggara telah menghasilkan talenta teknologi hebat dalam beberapa tahun terakhir dan perusahaan sekarang memiliki lebih banyak pilihan daripada sebelumnya, dalam usaha membentuk tim. Kami juga melihat ekspansi besar ke wilayah ini baik dari perusahaan Amerika seperti Amazon dan perusahaan China seperti Bytedance, yang memvalidasi kualitas orang di industri dan skala peluang bisnis di Asia Tenggara.

Lebih spesifik untuk negara yang berbeda, saya pikir Singapura akan terus menjadi pusat bisnis untuk kawasan ini dan tempat pendaratan pertama bagi perusahaan yang ingin berekspansi ke Asia Tenggara secara keseluruhan. Namun, begitu operasi telah ditetapkan, perusahaan segera melihat ke arah Indonesia sebagai sumber utama pertumbuhan jangka panjang, dan yang terbaik adalah mereka bergerak cepat untuk mendapatkan pangsa pasar di sana.

Fintech juga dengan cepat menjadi andalan di wilayah ini, dengan perusahaan-perusahaan mendapatkan putaran pendanaan baru bahkan selama masa ekonomi yang tidak menentu. Ditambah dengan healthtech, kedua kategori ini adalah yang harus diperhatikan dalam hal pertumbuhan dan inovasi.

Dengan beragam pengalaman di dunia bisnis, adakah hal lain yang masih menjadi mimpi Anda? Mungkin cita-cita yang belum tercapai?

Bersama setiap startup, saya terus berkata pada diri sendiri bahwa ini akan menjadi yang terakhir bagi saya. Lalu, segera setelah itu, saya menemukan diri saya memulai perusahaan lain. Dalam beberapa hal, saya merasa ini adalah sebuah panggilan hidup dan saya bersyukur dapat terus membangun bisnis karena ini adalah hak istimewa yang tidak didapat semua orang.

Dalam hal tujuan, saya harus mengatakan bahwa dengan melihat putri saya tumbuh dan bisa bersama mereka di setiap langkah, akan menjadi pencapaian paling berharga yang akan saya dapatkan dalam hidup. Keluarga memberi saya kebahagiaan terbesar, dan melihat mereka masing-masing berhasil dengan caranya sendiri adalah tujuan yang patut diperjuangkan.

Apa yang ingin Anda sampaikan kepada para penggiat teknologi di luar sana yang ingin menciptakan sebuah solusi namun harus terhalang oleh pandemi?

Menurut saya tidak pernah ada waktu yang tepat untuk memulai bisnis. Selalu ada alasan untuk tidak melakukannya, dan Anda hanya perlu terus mencari solusi untuk setiap rintangan yang mungkin Anda hadapi. Entah itu sesederhana tidak punya cukup waktu, atau sesulit mencoba mencari pendanaan untuk memulai bisnis Anda, akan selalu ada solusi jika Anda bekerja dengan cukup keras. Tetapi dengan kemauan yang cukup untuk melakukannya, ditambah dengan kemauan untuk meluangkan waktu dan usaha, tidak ada alasan untuk Anda tidak bisa sukses. Dan ketika Anda sudah berhasil, ingatlah untuk menemukan jalan untuk bisa membayarnya.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Turochas “T” Fuad on The “Exit” Stories: Speed and Execution is Everything

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

“Starting a new venture never seems to get old for me. The rush, the pain, the anxiety, the joy, all mix together. It is never the same yet, it is also so familiar.”

Turochas “T” Fuad wrote in the opening paragraph about his latest venture, Pace.

It’s a compact yet thorough explanation about the life of a serial entrepreneur, at least for Turochas Fuad, or sometimes called T. Was born in Indonesia and had a chance to study English in Singapore, he decided to pursue his Management Information System degree all the way to the US at The University of Texas, Austin. That is quite the beginning of his big passion for technology.

From the story of the founding of his first venture which finally acquired by an American-based tech giant, Yahoo!; next to the founding of the iconic travelmob, which then acquired by Homeaway in 2013 for $11.5 million; then the story of Coworking-space giant WeWork acquired Spacemob to ramp up its expansion and growth in Southeast Asia.

DailySocial team had a chance to interview him on his business journey as a veteran entrepreneur and the vision towards a better future in the tech industry.

Let’s start with your latest venture. Before Pace, I don’t recall you have been involved in the fintech industry? What makes you interested and started this one?

What excites me most about starting a new business is the possibility to create a positive impact on individuals on a large scale. From my very first company till my last startup, Spacemob, this has always been the driving force behind what I do and continues to be the case, even now with Fintech.

With Pace specifically, the chance to create financial inclusion across Asia is an opportunity that is too difficult to turn down. The financial landscape remains fragmented, with room for incumbents to be disrupted across all segments, payments notwithstanding. Our mission is to provide financial inclusion by building a banking engine that can operate across multiple countries easily – one that helps merchants create sales efficiencies, and provides consumers with an option to spend sustainably.

pace 2

Completing a bachelor’s degree in the US and manage to work there for a while, why did you finally decide to build a career in Singapore? [Since you were born in Indonesia]

Singapore, being a major business hub in Asia, represented a way for me to build a career that could give me international exposure and provided me a global network of contacts that I could build over time. Being around the right people helps you think big, and I’ve been lucky enough to gain perspective from the many talented people I’ve gotten to know here. Truth be told, given my time here in Singapore, I’ve also developed businesses across North Asia and Southeast Asia.

That said, my heart is still very much with Indonesia, and with its current speed of growth and large population, any startup that does not have Indonesia as a part of its expansion plans is missing out on the potential to create a large positive impact. After all, it is hard to ignore the fourth largest country in the world, ya?

You’ve had your history with some tech giants like Yahoo! and Skype. How did those past experiences shape you and what finally encouraged you to build your own company?

If anything, these experiences showed me how important culture is to the success of any company. I’ve had the pleasure of working with people from all over the world, and I’ve seen how the most successful of them, learn to always be people-first even in the most difficult situations. That, to me, is a great culture.

The other thing that was very prevalent in these companies was their speed of execution. You can have the greatest plan in the world, but when it comes down to it, the most difficult part of it is figuring out how to iterate and execute as fast as you can, while maintaining the quality of your product or service. Especially when you’re operating in a disruptive space, you’re going to face a barrage of challenges; staying focused on executing through tough times, is imperative for success.

On the journey to “exit”, did you have certain considerations or specific targets before deciding to sell the company?

Great entrepreneurs never start a company to sell it, because without having a convicted mission that is focused on creating change, a company often wavers under pressure, and eventually crumbles.

When it came to evaluating the previous exits I’ve had, the question I’ve always asked myself was, ‘will this acquisition furthers our company’s vision?’ If there was any doubt at all, then a decision against it would be easily made with a clear heart.

A great example of this was the acquisition of Spacemob five years ago. We set out to build collaborative workspaces across Southeast Asia that helped people to bring their visions to life, and with the acquisition by WeWork we were able to do just that. The core Spacemob team stayed together, expanded the business to dozens of spaces across six countries in Southeast Asia, and delivered on the mission we set out to achieve.

You’ve launched and sold three startups so far, what is the biggest lesson you’ve learned among all those experiences?

It’s often said that speed & execution is everything, and through the different situations I’ve been in, I’ve learned that to be very true. That, and making sure you have a great team of people who are willing to commit themselves to the grind. If you do these few things well enough, there’s no reason why you can’t succeed.

Do you have a particular individual or figure that inspired you to become your today self?

As cliche as it sounds, I’ve always been inspired by my father. Growing up in Medan, I saw him work hard at his own small business, which he still runs today. Although my brothers and I were fortunate enough to be put through school in the US, it didn’t come easy for him. Through permanent late nights and non-existent weekends, he’s made personal sacrifices to ensure we got the best he could provide. That strength and commitment towards putting in the hard work and staying focused on the daily grind is something that keeps me going every single day.

Especially when the Covid-19 still around, how do you see the development of the tech industry in Southeast Asia?

In short, it’s bright and full of promise! Southeast Asia has been churning out great tech talent in recent years and companies now have more options than before, in how they want to set up their teams. We’ve also seen large expansions into the region both from American companies like Amazon and Chinese companies like Bytedance, which validates the quality of people in the industry and the scale of the business opportunity in Southeast Asia.

More specific to different countries, I think Singapore will continue to be a business hub for the region and the first landing spot for companies looking to expand into Southeast Asia as a whole. But once operations have been set up, companies immediately look towards Indonesia as a key source of long-term growth, and the best of them move quickly to gain market share there.

Fintech is also fast becoming a mainstay in this region, with companies getting fresh rounds of funding even during economically uncertain times. Coupled with healthtech, these two categories are the ones to look out for in terms of growth and innovation.

With tons of experience in the business, do you still aim for something more in this industry? Maybe you have other goals yet to be achieved?

With each startup, I keep telling myself that it will be my last one. And then, soon enough, I find myself starting yet another company. In some way, I guess this is my calling in life and I’m thankful to be able to continue building businesses because it’s a privilege that not everyone gets.

In terms of goals, I would have to say that seeing my daughters growing up and being with them each step of the way, will be the most rewarding achievement that I will have in life. The family gives me the greatest joy, and seeing each of them succeed in their own way is a goal worth striving hard for.

What would you say to all the tech enthusiasts out there trying to make something but hindered with pandemic stuff?

I’d say that there never is a right time to start a business. There’ll always be a reason not to, and you just have to keep finding solutions to any hurdles you might face. Whether that’s as simple as not having enough time, or as difficult as trying to look for funding to get your business off the ground, there will always be a solution if you search hard enough. But with enough will to do so, coupled with a willingness to put in the time and work, there is no reason for success to evade you. And when you do make it, remember to find your own ways to pay it forward.

SPAC Melejit: Unicorn Asia Tenggara Enggan Melirik IPO Tradisional

Ketika ekonomi digital China semakin matang, perusahaan teknologi telah memiliki sumber penawaran umum perdana (IPO) yang stabil di bursa AS dan bursa domestik di Hong Kong, Shanghai, dan Shenzhen.

Di Asia Tenggara, IPO Sea Group 2017 di Bursa Efek New York menjadi contoh bagi perusahaan teknologi di kawasan sekitarnya yang bercita-cita menjadi perusahaan publik, termasuk unicorn bernilai tinggi seperti aplikasi perjalanan Indonesia Traveloka, platform e-commerce Bukalapak, dan Tokopedia, bersama dengan raksasa layanan digital yang berbasis di Singapura, Grab.

Namun, sampai perusahaan-perusahaan ini beranjak dewasa dan mempertimbangkan untuk melakukan penawaran umum, IPO konvensional telah kehilangan pamornya. Sekarang, akuisisi perusahaan dengan tujuan khusus, atau SPAC, menjadi solusi. Juga dikenal sebagai perusahaan cek kosong, SPAC adalah perusahaan cangkang yang mengumpulkan dana melalui penawaran umum untuk mengakuisisi perusahaan yang tidak ditentukan. Jenis perusahaan ini tidak memiliki model bisnis independen selain transaksi keuangan ini.

Dengan karakter tersebut, ketua Komisi Sekuritas dan Bursa AS, Jay Clayton, menyarankan investor untuk mengukur motivasi sponsor SPAC. Sering kali merupakan perusahaan ekuitas swasta (PE) terkemuka yang menggunakan SPAC untuk melewati bank investasi dan biaya emisi mereka untuk membawa perusahaan swasta ke pasar publik.

Proses IPO konvensional itu rumit, mahal, dan memakan waktu. Untuk startup teknologi di Asia, SPAC adalah opsi penggalangan dana yang lebih murah dan lebih efisien.

SPAC telah mendapatkan momentum besar di AS pada tahun 2020. Lebih dari 200 SPAC mengumpulkan sekitar USD 70 miliar, memberikan referensi pada pasar Asia untuk tahun 2021.

Unicorn di Asia Tenggara

Tokopedia menjadi salah satu target Bridgetown Holdings, yang didukung oleh Peter Thiel dan Richard Li, untuk penggabungan cek kosong pada Desember 2020. Jika kesepakatan berlanjut, hal ini bisa menjadi trendsetter di regional.

Grab, yang menjadikan SoftBank, Uber, dan Didi Chuxing sebagai investornya bernilai sekitar USD 14 miliar.
Grab, dimana SoftBank, Uber, dan Didi Chuxing berperan sebagai investornya bernilai sekitar USD 14 miliar.

“Sebagai gambaran, SPAC telah hadir selama beberapa dekade. Mereka sangat populer di pertengahan hingga akhir tahun sembilan puluhan, tetapi menjadi ketinggalan zaman ketika investor kehilangan uang,” ungkap Joel Shen, pengacara perusahaan di firma hukum global Withers kepada KrASIA. Dia percaya bahwa kebangkitan popularitas SPAC dapat dikaitkan dengan suku bunga rendah, likuiditas yang melimpah di pasar karena stimulus dari sistem bank sentral AS, dan peningkatan jumlah target akuisisi, terutama di bidang teknologi.

SoftBank, salah satu investor Tokopedia, mengajukan IPO SPAC pada bulan Desember dengan tujuan untuk mengumpulkan USD 525 juta. SoftBank telah berinvestasi di lebih dari 100 perusahaan tahap pertumbuhan di seluruh dunia, dan beberapa di antaranya mungkin menjadi target yang menarik untuk SPAC-nya, SVF Investment Corp.

Dengan SoftBank — raksasa dalam investasi teknologi — memasuki ruang SPAC, perusahaan portofolionya seperti Grab dapat menemukan rute cepat ke simbol saham New York. “SPAC memungkinkan target mereka untuk mendaftar tanpa terlebih dahulu melalui proses IPO yang mahal dan memakan waktu, dan berpotensi menawarkan pemegang saham target, termasuk investor institusional seperti VC, jalan keluar yang lebih cepat daripada IPO tradisional,” kata Shen .

Jika unicorn Indonesia bisa melalui model ini, maka hal ini akan menjadi barometer yang baik untuk menjawab pertanyaan apakah perusahaan Asia Tenggara dengan fokus pasar lokal akan diterima di bursa asing.

Namun demikian, SPAC memiliki kelemahan. Karena mereka adalah perusahaan cek kosong, investor bertaruh pada sponsor SPAC daripada kualitas bisnis, kata Shen.

Selain itu, merger SPAC harus dilakukan dalam jangka waktu tertentu — biasanya antara 18 dan 24 bulan. Jika tidak ada akuisisi yang dilakukan sebelum akhir jangka waktu, sponsor dapat mempertimbangkan kualitas aset dan daya tawar.

Sementara pasar modal China di Shanghai dan Shenzhen menawarkan rute alternatif ke perusahaan teknologi dalam negeri untuk penggalangan dana yang signifikan, perusahaan rintisan teknologi Asia Tenggara tidak memiliki opsi yang sama di dalam negeri, hal ini mendorong mereka ke arah merger SPAC di valuta asing.

Menurut seorang analis yang akrab dengan subjek tersebut, ledakan SPAC pada tahun 2020 menandai awal dari era baru di mana investor institusional teratas, biasanya perusahaan PE swasta terkemuka, menjadi kekuatan pasar yang lebih berperan dalam penetapan harga IPO. “Secara tradisional, harga IPO ditentukan oleh bankir investasi yang membangun pembukuan melalui serangkaian pembicaraan tertutup dan berturut-turut dengan perusahaan PE. Namun, dengan SPAC di tangan, manajer PE bisa menanggalkan peran bankir ini dan mencapai kesepakatan langsung dengan pemilik aset,” ujar analis.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Grab dan Gojek Berpotensi Menjadi Merger Terpelik di Asia Tenggara

Sepanjang tahun 2020, rumor tentang merger antara Grab dan Gojek yang ditengahi oleh Masayoshi Son dari SoftBank telah menggema dan menjadi bahan perbincangan.

Jika kedua perusahaan menjadi satu entitas, ini akan menjadi konsolidasi perusahaan teknologi dengan nilai tertinggi di Asia Tenggara — sebuah langkah regional dengan potensi implikasi global. Ini juga akan menjadi plot twist terbesar bagi ekonomi internet regional, mengingat kedua perusahaan tersebut telah bersaing ketat selama bertahun-tahun. Sementara investor tampak bersemangat untuk menyatukan kedua perusahaan ini, kemungkinan merger menimbulkan pertanyaan tentang konsentrasi pasar dan dampaknya pada konsumen dan mitra pengemudi.

Baik Grab dan Gojek sangat diminati oleh para pemodal. Pada bulan Februari, Grab mengumpulkan USD 856 juta dari investor Jepang. Sebulan kemudian, Gojek meraup USD 1,2 miliar dalam putaran Seri F dari investor yang tidak disebutkan. Kemudian, di bulan Juni, Facebook dan PayPal juga menggelontorkan uang ke super-app Indonesia ini. Detail perjanjian tidak disebutkan, namun menurut Crunchbase, Gojek berhasil mengumpulkan USD 375 juta dari investor Amerika. Dan pada bulan Agustus, Grab mengantongi USD 200 juta dari perusahaan ekuitas swasta Korea Selatan Stic Investments, kemudian Gojek mengumpulkan USD 150 juta lagi dari perusahaan telko Indonesia, Telkom pada bulan November.

Dalam beberapa bulan terakhir, Son dilaporkan berperan sebagai kingmaker dan memberi tekanan lebih pada dua raksasa Asia Tenggara itu untuk bergabung dan beroperasi di bawah satu payung. Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa Grab dan Gojek telah menyelesaikan sebagian besar perselisihan mereka dan memetakan struktur di mana salah satu pendiri Grab Anthony Tan akan menjadi CEO dari entitas gabungan tersebut, sementara eksekutif Gojek akan terus menjalankan bisnis di Indonesia dengan merek Gojek, menurut laporan Bloomberg.

Meski begitu, baik Grab maupun Gojek membantah kabar soal potensi merger tersebut.

Berawal dari startup transportasi, Grab dan Gojek telah mengembangkan bisnisnya masing-masing hingga memasuki banyak vertikal. Pertumbuhan itu membutuhkan guyuran dana dan perusahaan tetap tidak menguntungkan sampai sekarang.

Tahun lalu, Grab dan Gojek menunjukkan niat mereka untuk meraih profitabilitas dan go public — semua bagian dari rencana untuk menghasilkan keuntungan bagi investor seperti SoftBank. Tekanan meningkat tahun ini karena pandemi COVID-19, ketika transaksi untuk beberapa vertikal operasi Grab dan Gojek anjlok.

Berawal dari startup transportasi, kedua decacorn ini telah mengembangkan bisnisnya masing-masing hingga memasuki vertikal lainnya. Ilustrasi oleh KrASIA.
Berawal dari startup transportasi, kedua decacorn ini telah mengembangkan bisnisnya masing-masing hingga memasuki vertikal lainnya. Ilustrasi oleh KrASIA.

Tantangan pada layanan pembayaran

Langkah paling sulit dalam merger kemungkinan akan menggabungkan layanan pembayaran Grab dan Gojek. Di Indonesia, Grab bekerja sama dengan Ovo sebagai mitra pembayaran resminya, sementara Gojek mengoperasikan platform e-wallet miliknya sendiri, GoPay. Grab baru-baru ini memimpin investasi USD 100 juta di LinkAja, menjadikannya pemegang saham minoritas di platform milik negara. Ovo dan Dana telah lama dikabarkan berada dalam diskusi tentang kemungkinan merger untuk mencegah GoPay memperluas kepemimpinannya pada platform pembayaran.

Tidak seperti vertikal Grab dan Gojek lainnya, layanan pembayaran tunduk pada pembatasan ketat dari bank sentral, Bank Indonesia (BI).

“Jika Anda mempertimbangkan potensi ikatan antara Ovo dan Dana, dan konsolidasi lebih lanjut antara Grab dan Gojek, tiga platform teratas Indonesia — GoPay, Ovo, dan Dana — akan secara efektif dimiliki oleh kelompok yang sama, yang saat ini dilarang oleh Bank Indonesia,” kata Joel Shen, pengacara perusahaan dengan Withersworldwide yang mengkhususkan diri dalam merger dan akuisisi (M&A) dan teknologi di Asia Tenggara.

Regulasi BI bersifat wajib dan suspensori, yang berarti Grab dan Gojek membutuhkan izin dari bank sentral sebelum layanan pembayaran mereka dapat saling terkait, tambah Shen.

Baik Grab dan Gojek adalah perusahaan yang sangat berpengaruh di Indonesia. Co-founder Grab Anthony Tan dan Masayoshi Son dari Softbank diketahui memiliki hubungan baik, serta akses ke Presiden Joko Widodo dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Sementara itu, salah satu pendiri Gojek Nadiem Makarim menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di kabinet Jokowi.

“Saya bisa melihat ini bisa berhasil dengan salah satu dari dua cara ini,” kata Shen. “Pertama, mereka menggunakan pengaruh politik dalam pemerintahan Indonesia untuk mendapatkan persetujuan BI, dan lalu bergabung. Kedua, mereka memisahkan bisnis pembayaran dari vertikal lain, jadi mereka akan menggabungkan bisnis transportasi, pengiriman makanan, dan logistik, tetapi platform pembayaran akan tetap terpisah dan tidak digabungkan.”

Masih terlalu dini untuk menyimpulkan bagaimana hasil akhirnya, karena Grab dan Gojek belum menyelesaikan bagian komersial dari transaksi tersebut. Meskipun demikian, Shen yakin platform pembayaran akan menghadirkan satu-satunya rintangan regulasi yang paling sulit dalam merger untuk membentuk satu entitas bisnis.

Para investor berkumpul menjadi satu

Grab dan Gojek didukung oleh investor raksasa, dan persatuan mereka dapat menciptakan konvergensi yang tak terduga di antara baynaknya investor. Entitas yang telah memberi cek untuk Gojek termasuk Google, Tencent, Facebook, PayPal, Visa, dan JD.com. Sedangkan Grab didukung oleh Softbank, Uber, dan Didi Chuxing. Alibaba baru-baru ini dilaporkan sedang dalam pembicaraan untuk menggelontorkan USD 3 miliar di Grab; Meskipun hal ini tidak dikonfirmasi oleh salah satu perusahaan, Grab menandatangani kemitraan dengan Alibaba Lazada di Vietnam bulan lalu, menandakan kemungkinan kemajuan dalam diskusi.

“Jika Anda melihat tabel perbandingan antara Grab dan Gojek, kita akan melihat pesaing yang sangat tidak terduga seperti Alibaba dan Tencent, dimana merupakan situasi yang tidak biasa. Ini akan menjadi tabel yang sangat besar dan sesak jika merger benar terjadi,” kata Shen.

Seorang investor yang mengetahui situasi tersebut mengatakan kepada KrASIA bahwa merger akan menguntungkan dari sudut pandang pemangku kepentingan. Grab dan Gojek perlu segera fokus pada keberlanjutan untuk merasionalisasi penilaian mereka, sebutnya. Dan kedua perusahaan memiliki musuh bersama baru: Sea Group telah bangkit dari pandemi dengan angka yang semakin melejit.

Regulasi bisa melindungi merchant dan konsumen

Investor yang berbicara kepada KrASIA ini juga mengatakan merger akan merugikan pengguna, pengemudi, dan mitra merchant Grab dan Gojek. “Mereka [Grab dan Gojek] pasti akan mengurangi insentif dan daya tawar karena akan dimonopoli oleh entitas merger,” kata orang tersebut.

Jika merger terjadi, maka pengguna Grab dan Gojek dapat mengucapkan selamat tinggal pada promosi diskon perusahaan, karena tidak akan ada persaingan yang signifikan atau langsung di arena. Entitas baru juga bisa “menentukan harga secara sewenang-wenang”, ungkap Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI, kepada KrASIA.

Untuk saat ini, mitra pengemudi kedua perusahaan menentang merger antara Grab dan Gojek. Asosiasi pengemudi sepeda motor online Indonesia, atau Garda, mengatakan mereka akan melakukan protes jika perusahaan tersebut melanjutkan merger.

“Kami khawatir mega-merger ini akan berujung pada penghentian mitra pengemudi dengan alasan efisiensi perusahaan,” kata ketua dan juru bicara Garda Igun Wicaksono kepada KrASIA. Asosiasi berharap pemerintah turun tangan dan menghentikan konsolidasi.

Regulator dapat memainkan peran yang lebih kuat dengan memperketat aturan tentang penetapan harga dan hubungan platform pedagang. Komisi Persaingan dan Konsumen Singapura (CCCS), misalnya, membatasi pergerakan Grab setelah akuisisi perusahaan atas operasi Uber di Asia Tenggara pada Maret 2018, sehingga Grab tidak dapat mengubah rencana harga secara bebas atau memegang monopoli atas pengemudi.

Menurut investor yang tidak disebutkan namanya yang berbicara dengan KrASIA, perusahaan dapat menghindari monopoli pasar dengan melepaskan bagian-bagian bisnis mereka, seperti operasi angkutan atau pengiriman makanan. “Sebuah ‘perpisahan’ di antara kelompok mungkin diperlukan untuk mempertahankan persaingan,” tuturnya.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Mengungkap Kesalahan Anggapan Tentang  Potensi E-Commerce Sebenarnya di Asia Tenggara

Dengan populasi sebesar 600 juta orang, kelas menengah yang terus bertumbuh dan meningkatnya penetrasi internet, Asia Tenggara sering dianggap sebagai tambang emas selanjutnya bagi ecommerce. Akuisisi Lazada oleh Alibaba sebesar $1 miliar — akuisisi terbesar Jack Ma diluar negeri hingga saat ini — terjadi di awal tahun ini. Namun di balik headline dan hiperbola yang ada, seberapa besar sebenarnya potensi ecommerce di Asia Tenggara sesungguhnya.

Peluang $88 Miliar

Hanya ada sedikit data yang ada mengenai ukuran pasar ecommerce Asia Tenggara saat ini ataupun proyeksi di masa depan. Sebagian dari alasan ini adalah karena industri ini masih sangat baru dan sebagai hasilnya, institusi warisan seperti pemerintahan dan firma penelitian masih mencoba tetap update. Sebagian lainnya karena C2C ecommerce, yang diestimasi merupakan sepertiga atau setengah dari total GMV ecommerce, tidak teregulasi dan dikenai pajak. Kenyataan bahwa transaksi C2C di Asia Tenggara terjadi di platform sosial seperti Facebook dan Instagram, difasilitasi dengan percakapan di aplikasi seperti LINE dan Facebook Messenger.

Namun demikian, beberapa organisasi bereputasi telah mencoba menilai ukuran ecommerce di wilayah ini. Salah satu usaha yang dilakukan di awal datang dari AT Kearney yang berkolaborasi dengan CIMB. Dirilis pada awal 2015 dan berjudul ‘Lifting the Barriers to E-Commerce in ASEAN’, laporan ini mengestimasi ukuran pasar terkini sebesar $7 miliar (tahun 2013) dan memprediksikan potensi di masa depan sebesar $86 miliar.

Yang terbaru, Google bekerja sama dengan Temasek, merilis laporan berjudul ‘e-conomy SEA: Unlocking the $200 billion digital opportunity in Southeast Asia’ yang mengukur nilai pasar ecommerce saat ini di $5.5 miliar (pada tahun 2015) dan memprediksi pertumbuhannya hingga akan mencapai sebesar $88 miliar pada 2025. Namun demikian, perlu diingat bahwa Google dan Temasek hanya memberikan setengah gambaran karena mereka tidak memasukan pasar C2C dan P2P seperti OLX, Carousell dan Instagram karena sulitnya mendapatkan data.

Pertumbuhan Model Ecommerce Barat vs. Tiongkok: Mengapa Estimasi Mengenai Potensi Ecommerce di Asia Tenggara Tidak Tepat

$88 miliar tampak besar namun jika kita menaruhnya di dalam konteks, orang akan berpikir jika ini adalah tafsiran yang tepat. Pasar ecommerce AS saat ini sebesar $394 miliar. Namun demikian, sangat jelas bahwa pasar ecommerce AS lebih dewasa dan baik Amazon maupun eBay berumur lebih tua dari beberapa staff junior di tim kami. Bagaimana dengan Tiongkok? Tiongkok telah jauh melewati AS pada 2013 untuk menjadi pasar ecommerce terbesar di dunia dalam hal GMV.

Dan saat ini, pasar ecommerce di Tiongkok bernilai $700 miliar, menyusun 13% dari total retail di seluruh negara. Dengan populasi sebesar setengah populasi Tiongkok, bukankah seharusnya potensi ecommerce di Asia Tenggara lebih besar dari ‘sekedar’ $88 miliar?

GMV e-commerce (aktual dan proyeksi)
GMV e-commerce (aktual dan proyeksi)

Hal ini kemudian semakin menarik jika kita melihat angka yang diproyeksikan untuk 2025 dan menyesuaikannya dengan ukuran populasi. Metriks ini memberi gambaran seberapa besar rata-rata orang menghabiskan uang untuk ecommerce dalam setahun. Kami menggunakan kalkulasi di bawah ini untuk beberapa pasar utama di Asia Tenggara serta negara benchmark seperti AS dan Tiongkok:

eIQ-Southeast-Asia-Ecommerce-Potential_3

Beberapa hal mencuat di sini. Tentu saja, Cina masih menjadi pasar ecommerce terbesar di dunia dengan $3 triliun GMV dan penetrasi sebesar 25%. Pada 2025, rata-rata pembelanja Tiongkok diperkirakan akan menghabiskan sebesar $2,000 per tahun online, hampir tiga kali lipat jumlah orang Singapore dan akan melebihi orang Amerika yang, 10 tahun dari sekarang, akan menghabiskan $3,000 untuk ecommerce per tahunnya.

Hal menarik lainnya, negara Asia Tenggara yang bertumbuh di sini diwakilkan oleh Thailand dan Indonesia. Laporan dari Google dan Temasek memproyeksikan dua pasar ini akan mencapai masing-masing $11.1 dan $46 miliar. Angka ini sudah sangat impresif namun jika disesuaikan dengan ukuran populasi, GMV ecommerce per angka kapita sangatlah rendah — $155 dan $157, masing-masing untuk Thailand dan Indonesia. Mungkin ada alasannya untuk hal ini.

GDP per kapita AS dan Singapura tentunya lebih tinggi dari negara berkembang seperti Thailand dan Indonesia, masyarakatnya secara umum memiliki lebih banyak uang untuk dihabiskan, dan Tiongkok bukan lagi negara berkembang dengan GDP per kapita nya yang diprediksi mencapai $14,000 pada tahun 2025.

Tetapi jika kita bandingkan Cina dan Thailand di tabel di bawah ini, kita bisa lihat bahwa GDP per kapita Thailand diestimasikan mencapai $11,000 pada 2025, yang merupakan lebih besar daripada GDP per kapita Cina pada saat ini dan tidak jauh dari proyeksi GDP Cina pada 2025. Namun berdasarkan proyeksi ecommerce saat ini, pembelanjaan online per kapita Thailand hanya sebesar $155 atau 1% dari kemampuan belanja rumah tangga.

Hal ini tidak masuk akal jika mengingat bahwa konsumen Thailand mempunyai daya beli tinggi dan ritel merupakan bagian besar dari ekonomi Thailand seperti dibuktikan pada penetrasi retail dan angka GDP per kapita. Bahkan jika bagian C2C dan P2P yang menghilang disertakan — katakan jika 50%, menjadikan $155 menjadi $300 — angka ini masih rendah jika dibandingkan Cina saat ini.

southeast-asia-ecomemrce-potential_graph-2

Sejak 2006 hingga 2016, GMV ecommerce per kapita Cina tumbuh 127x. Sulit dipercaya jika GMV per kapita Thailand hanya akan bertumbuh 9x dalam sepuluh tahun mendatang, terlebih jika orang Thailand telah berbelanja online lebih banyak dari yang orang Cina lakukan pada awal trend ecommerce mereka di tahun 2006. Hal ini hanya masuk akal jika kita asumsikan bahwa pertumbuhan pasar ecommerce di wilayah Asia Tenggara seperti Thailand dan Indonesia akan tumbuh lebih lambat seperti wilayah Barat sebesar 18% (AS 2000-2015) dan tidak akan bertumbuh seperti CAGR 10 tahun terakhir di Cina sebesar 68%.

Seperti yang akan kita temukan jawabannya, penyebab dari perbedaan alasan ini adalah kesalahan aplikasi dari model pertumbuhan ecommerce bergaya Barat, dimana model yang tepat untuk mengukur ecommerce di Asia Tenggara adalah model hyper-growth milik Cina.

Saudara Lain Ibu? E-commerce Asia Tenggara yang Berkembang Memiliki Persamaan dengan Cina Dibanding Lainnya

Kekeliruan dari proyeksi yang ada adalah seringnya mereka menjadikan model Barat sebagai dasarnya, yang dalam hal ini Barat dilihat sebagai jalur yang telah terpercaya menuju ecommerce. Namun demikian, untuk beberapa alasan yang akan dijelaskan di bawah ini, ecommerce Asia Tenggara lebih mirip Cina daripada pasar lainnya yang telah berkembang lebih dahulu seperti AS, Eropa dan Jepang. Sebagai hasilnya, kita harus mengharapkan pertumbuhan dua digit tinggi seperti yang dialami oleh Cina selama sepuluh tahun terakhir dan bukannya progress gradual tahun-per-tahun seperti pasar ecommerce legasi lainnya.

1.     Kurangnya infrastruktur retail offline

“Mengapa ecommerce berkembang sangat cepat di Cina dibanding di AS? Karena infrastruktur dari commerce di Cina sangat buruk. Tidak seperti di sini dimana Anda memiliki semua toko (fisik): Wal-Mart, K-Mart, apa pun, dimana pun. Namun di Cina, kami tidak memiliki apa-apa, tidak dimana pun. Jadi ecommerce di AS hanyalah makanan penutup; sebagai pelengkap bisnis utama. Namun di Cina, ecommerce adalah makanan utama.” — Jack Ma, Pendiri dan Chairman Alibaba.

Bangkok dan Jakarta adalah rumah bagi mall-mall papan atas dan department stores mewah di Asia Tenggara seperti Central Word, Paragon dan Grand Indonesia. Namun demikian, begitu Anda berada di luar kota besar, tidak banyak yang bisa ditemui. Cina pun demikian, dengan sebagian besar offline ritel berada di kota-kota tier 1 seperti Beijing, Shanghai dan Guangzhou.

Retail GFA (Gross Floor Asia) per kapita mencapai 2,200 sqm di AS versus 500, 500 dan 100 sqm masing-masing di Cina, Thailand dan Indonesia menurut data dari CLSA. Sebagai hasilnya, mayoritas konsumen di Thailand dan Indonesia tidak memiliki pilihan selain untuk berbelanja online, khususnya mereka yang berada di luar kota besar. Menurut data yang diagregat aCommerce, 70% order di Thailand datang dari luar Bangkok.

Seperti di Cina, semua ini diharapkan akan mengakselerasi pertumbuhan ecommerce pada kecepatan yang lebih cepat dibanding pasar legasi.

2.     Cash-on-delivery sebagai metode pembayaran yang dominan

Kurangnya kartu kredit tidak menghalangi ecommerce di Cina tumbuh 68% per tahun selama satu dekade terakhir. Dengan sistem keuangan yang kurang dari ideal, perusahaan logistik dan jasa pengiriman akhirnya mengisi kesenjangan ini dengan menawarkan solusi cash-on-delivery (COD). Pada masanya di tahun 2008, COD mengisi 70% dari total transaksi B2C di Cina. Namun, pada tahun 2014, Alipay milik Alibaba telah melampaui COD sebagai metode pembayaran yang dominan, dengan lebih dari 85% dari pembelanja untuk 11/11 mengungkapkan preferensi mereka menggunakan Alipay vs. hanya 21% untuk COD.

Asia Tenggara saat ini sangat mirip dengan China 10 tahun lalu. Dengan penetrasi kartu kredit di satu digit, COD telah menjadi metode pembayaran yang dominan, dengan 74% jumlah transaksi di negara berkembang di Asia Tenggara dibayar tunai berdasarkan data dari aCommerce. Seperti Cina, ecommerce di Asia Tenggara tidak selamanya akan bergantung kepada COD. Dengan akuisisi Lazada ini, Alibaba sekarang tengah mengeksekusi rencana utama mereka untuk membawa Alipay dan Ant Financial ke wilayah ini.

3.     Kurangnya cross-border ecommerce karena tingginya bea masuk dan pajak

Cross-border ecommerce Cina tidak pernah jadi hal yang besar hingga baru-baru ini, dengan pembentukan kawasan gudang berikat yang disetujui pemerintah yang memungkinkan pengiriman internasional yangl lebih cepat dan biaya yang lebih rendah. Merek global dan pengecer sekarang dapat memasuki pasar Cina yang menguntungkan dengan mendirikan toko pada platform seperti Tmall Global dan JD Worldwide tanpa kehadiran toko fisik yang mahal di negara ini.

Sebelum ini, memesan barang dari luar negeri terbatas bagi banyak konsumen di Cina karena bea masuk yang tinggi (30%). (Bea masuk ini masih berlaku untuk pedagang yang tidak berlisensi untuk menjual dalam jaringan cross-border ecommerce Cina, misalnya memesan langsung dari Amazon.com).

Serupa dengan Cina, pasar bertumbuh di Asia Tenggara seperti Thailand dan Indonesia saat ini memiliki bea masuk yang mahal dan pajak. Kurangnya lapangan bermain tingkat global ini memberikan tekanan pada perkembangan ekosistem ecommerce lokal yang sehingga apa yang terjadi adalah pertumpahan darah ecommerce di Indonesia seperti bisa kita lihat saat ini.

southeast-asia-ecommerce-potential-3-1024x512

4.     Ekosistem “no-tail”

Adopsi internet di Cina dan negara-negara berkembang Asia Tenggara tidak mencapai massa kritis sampai pertengahan tahun 2000 ini. Pasar ini melewatkan sebagian besar Web 1.0 dan “Web 1.5” booming dan melompat langsung ke Web 2.0, yang mengarah kepada pembentukan apa yang kita sebut sekarang ekosistem “No-Tail”. Akibatnya, iklan digital di negara-negara ini tertinggal dari pasar yang lebih matang seperti Amerika Serikat dan Jepang di mana perusahaan seperti Facebook dan Pinterest sering melihat penjualan iklan sebagai cara yang paling jelas – dan kadang, satu-satunya – untuk menghasilkan uang.

Kurangnya lingkungan periklanan yang matang, perusahaan internet di Cina tidak punya banyak pilihan selain untuk melihat commerce untuk dimonetisasi sehingga mengangkat industri ecommerce di Cina menjadi status raksasa-nya yang sekarang.

“Sementara perusahaan-perusahaan AS fokus pada pendapatan iklan, perusahaan Cina telah menjadi penentu kecepatan dalam ecommerce,” laporan The Washington Post.

“Anda mengunjungi Facebook dan tidak bahkan bisa membeli apa-apa, tapi dengan WeChat dan Weibo Anda dapat membeli apa pun yang Anda lihat,” ucap William Bao Bean, partner di SOS Ventures yang berbasis di Shanghai direktur Chinaccelerator, di artikel Washington Post yang sama.

Uber mengalami kegagalan di Cina bukan karena kurang dalamnya kantong mereka; raksasa ride-sharing ini hilang karena berjuang melawan pesaing yang berfokus pada monetisasi ecommerce dalam jangka panjang, bukan pada penghasilan transportasi jangka pendek.

Mirip dengan Cina satu dekade yang lalu, Asia Tenggara memiliki pasar periklanan yang sama-sama baru lahir. “Tidak ada cukup penerbit lokal, karena itu tidak ada pembelian yang cukup dari pengiklan,” ujar Lichi Wu, seorang ahli teknologi iklan Asia Tenggara yang sebelumnya bekerja di Google dan AdMob.

Dengan “kebun bertembok” seperti Facebook dan Instagram mendominasi semua pembuatan konten, tidak ada kekuatan yang cukup kuat untuk memutus siklus ayam-dan-telur ini. Menghadapi realitas suram RPM rendah (pendapatan per 1.000 tayangan atau tampilan halaman) banyak bisnis online kemudian memeluk ecommerce sebagai model bisnis.

Tidaklah mengherankan kemudian bahwa salah satu sumber yang paling populer dari pendapatan “pasif” di Thailand dan Indonesia adalah membeli barang dari Taobao dan AliExpress dan menjualnya kembali demi margin di Facebook dan Instagram, sedangkan di AS, pengusaha rumahan seringnya melakukan blogging, SEO dan afiliasi pemasaran untuk menghasilkan pendapatan iklan.

Mengukur Ecommerce Asia Tenggara Berdasarkan Pertumbuhan Model E-commerce Cina

Melihat semua metriks sebelumnya, kita dapat mengamati kesamaan antara ecommerce di negara berkembang Asia Tenggara saat ini dan Cina pada tahun 2006. Sebagai contoh, ecommerce GMV per kapita dan penetrasi ecommerce Thailand pada tahun 2016 sudah sebanding dengan Cina pada tahun 2006. (Untuk lebih tepatnya, berdasarkan angka-angka ini Thailand ecommerce pada tahun 2016 sudah di depan Cina pada tahun 2006.).

Sebagai patokan dimana ecommerce Asia Tenggara berada 10 tahun dari sekarang, mari kita lihat ecommerce GMV per kapita sebagai persentase dari PDB nasional per kapita. Metriks ini harusnya bisa memberikan kita gambaran tentang daya beli ecommerce individu relatif terhadap standar hidup. Kita tidak bisa benar-benar menggunakan GMV per kapita ecommerce Cina di 2016 karena PDB per kapita Thailand akan lebih tinggi dari Cina pada tahun 2016, sehingga hasilnya kita bisa meremehkan potensi yang ada.

GMV per kapita ecommerce Cina sebagai persentase dari PDB nasional per kapita adalah 6% pada 2016. Jika kita kalikan ini dengan PDB per kapita Thailand dan Indonesia diproyeksikan untuk 2016, kita akan mendapatkan ecommerce GMV per kapita masing-masing sebesar $711 dan $533. Kemudian menerapkan ini untuk menghitung populasi yang diproyeksikan, kita akan mendapatkan pasar ecommerce berukuran masing-masing $51 dan $157 miliar untuk Thailand dan Indonesia. Kontras dengan proyeksi Google dan Temasek sebanyak $11 dan $46 miliar dan kita bisa melihat berapa banyaknya potensial yang sebenernya tersisa.

Mengambil angka Thailand dan Indonesia dari laporan Google dan Temasek dan memasukan estimasi untun C2C, katakan sebesar 30%, memberi kita permulaan untuk proyeksi tahunan kami. Kemudian merata-rata pertumbuhan tahunan untuk mencapai angka mencapai $51 dan $157 miliar, kita akan mendapatkan proyeksi tahunan seperti di bawah. Dalam skenario ini, CAGRs yang  baru adalah 43% dan 50% untuk Thailand dan Indonesia, dibandingkan yang sebelumnya hanya 29% dan 39%.

Proyeksi e-commerce Thailand dan Indonesia berdasarkan model Tiongkok
Proyeksi e-commerce Thailand dan Indonesia berdasarkan model Tiongkok

Tanpa menyesuaikan untuk Singapura, Malaysia, Filipina, dan Vietnam (di mana dua nama terakhir tidak mengikuti model Cina), kita akan mendapatkan total diproyeksikan ukuran minimal $238 miliar. Proyeksi ecommerce ulang yang telah disesuaikan Indonesia saja mencapai  $157 miliar, jauh lebih besar $88 miliar yang diperkirakan untuk semua enam pasar Asia Tenggara yang digabungkan.

Revisi proyeksi ini memberikan gambaran potensi sesungguhnya dari ecommerce di Asia Tenggara dan menjelaskan mengapa semua orang di sini adalah tumbuh dua kali lipat, dengan akusisi Alibaba terhadap Lazada sebesar $1 miliar, Tokopedia mendapatkan pendanaan hingga $248 juta sampai saat ini, dan MatahariMall baru saja mendapatkan $100 juta. Seperti di Cina sepuluh tahun yang lalu, orang-orang yang berinvestasi dalam ecommerce lebih dulu dan mengambil prospek strategi jangka panjang akan berakhir memiliki potongan terbesar ini $238 miliar – bukan $88 miliar – dari  tambang emas ecommerce di Asia Tenggara.

 


Disclosure: Tulisan ini ditulis oleh Sheji Ho dan diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.