Dari “Co-Investing” sampai “Instan Sell”, Model Bisnis yang Tengah Divalidasi Startup Proptech Ekuitas Home

Tahun lalu, pasar properti di Indonesia anjlok akibat pandemi Covid-19. Namun, proses pendistribusian vaksin yang tengah berjalan saat ini dinilai sejumlah pemangku kepentingan dapat mendongkrak kembali pasar properti di 2021.

Mengutip KontanCEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda memprediksi pemulihan di sektor ini dapat terjadi di semester kedua 2021. Ia memperkirakan rumah tipe landed house bakal diminati tahun ini, sedangkan rumah di kisaran harga Rp500 juta-Rp1 miliar diestimasi bakal menjadi motor penggerak pemulihan sektor properti.

Sementara itu, seperti dilaporkan Bisnis, Chairman Indonesia Proptech Association Rusmin Lawin mengatakan bahwa industri dituntut untuk mengimplementasi teknologi dalam pengembangan properti (proptech). Dengan begitu, industri ini dapat bertahan dan terbiasa dengan efektivitas dan efisiensi proptech usai pandemi nanti.

Di tengah situasi saat ini, pasar proptech Indonesia kini kembali melahirkan pemain baru, yakni Ekuitas Home. Platform ini dikembangkan oleh Jume Analyes bersama Dede Kiswanto. Sekadar informasi, Jume sebelumnya juga sempat membangun dua platform gaya hidup dan rekreasi, yakni web marketplace SelenaID dan aplikasi sosial SelenaGo di 2015.

DailySocial berkesempatan mengetahui perjalanan Jume dan Dede dalam mengembangkan platform Ekuitas Home sejak 2020. Simak wawancaranya berikut ini:

Bereksperimen produk untuk temukan market-fit

Ekuitas Home menawarkan fitur jual-beli properti lewat skema co-investingrent-to-own (Quick Buy), dan jual instan (Instant Sell). Selain itu, platform ini juga menawarkan fitur Dataruma yang menawarkan informasi seputar harga appraisal dan lokasi rumah yang ingin dibeli atau jual secara instan dan digital.

Untuk menjual instan, prosesnya memakan waktu paling cepat 20 hari kerja, sedangkan rent-to-own membutuhkan waktu 2 tahun. Ekuitas tidak mengambil komisi untuk penjualan instan, tetapi melalui skema rent-to-own dengan komisi 2% dari harga jual yang disepakati.

Dalam wawancaranya, Jume menyebut bahwa ide pengembangan Ekuitas telah tercetus sejak akhir 2019, saat ini terpikirkan untuk mengeksplorasi skema crowdfunding pembelian tanah. Namun, ide ini tidak dilanjutkan mengingat proses verifikasi dokumen pembelian tanah terbilang kompleks.

“Makanya, itu kenapa kami tidak pakai crowdfunding, tetapi co-investing untuk pembelian rumah. Dari situ, kami mulai kembangkan co-investing mulai awal Maret sampai Oktober 2020. Tapi dalam perjalanannya skema ini tidak work, mungkin karena jaringan investor kami yang ingin kontribusi ke pembelian aset rumah terbatas,” ungkapnya.

Kemudian, perusahaan menjajal skema lain, yakni rent-to-own (Quick Buy) yang dirilis pada November 2020. Lewat skema ini, konsumen dapat membeli rumah dengan perjanjian sewa per tahun di awal, lalu rumah dapat dibeli secara tunai atau KPR. Uang sewa ini menjadi uang muka untuk pembelian rumah.

Namun, ia terkendala kembali dengan permodalan mengingat Ekuitas Home harus mengakuisisi properti di awal. “Biar efisien, kami beli di awal, sewa, lalu jual. Sayangnya, kami lagi-lagi tidak punya kapabilitas untuk mengakuisisi rumah,” tambahnya.

Selanjutnya, Ekuitas Home kembali bereksperimen lewat skema Instant Sell atau membantu penjual rumah dalam 7 hari. Artinya, dalam 7 hari, perusahaan bisa mendapatkan pembeli atau investor yang ingin mengakuisisi rumah ini. Akan tetapi, perusahaan juga terganjal dengan kapabilitas permodalan.

“Instant Sell itu berarti instantly terhubung dengan buyer, bukan terjual. Itu value-nya. Untuk Quick Buy, kami cut prosesnya, dari negosiasi, informasi harga, data lokasi, hingga verified listing. Kami masih coba propose rent-to own secara paralel.”

Produk Dataruma mengantongi traction

“Dari eksperimen tersebut, kami lalu berpikir apa basic problem dari penjual atau pembeli, yaitu harga. Penjual kadang bingung menentukan harga. Demikian juga pembeli, apakah worth it harganya, strategis kah lokasinya? Dan data [pencarian rumah] itu masih fragmented yang mana kita harus cari di internet dan sebagainya,” lanjut Jume.

Berangkat dari hal tersebut, Jume kemudian mengembangkan produk baru yang dirilis pada Februari 2021, yaitu Dataruma. Menurutnya, pertumbuhan layanan Dataruma terbilang positif, di mana realisasi pertumbuhan Dataruma tercapai dalam tiga minggu sejak diluncurkan dibandingkan pertumbuhan keseluruhan Ekuitas Home yang baru tercapai selama tiga bulan (Oktober 2020-Januari 2021).

Dataruma disebut telah mencapai product market-fit dengan lebih dari 500 permintaan datang dari segmen consumer. “Kami cukup happy dengan pencapaian ini, kami nanti tinggal scale up dan upgrade fiturnya,” ucap Jume.

Sejak awal, pihaknya memiliki misi untuk membantu konsumen jual-beli atau investasi properti secara instan dan digital lewat platform ini. Namun, ia melihat bahwa ada entry point terhadap permintaan penilaian rumah secara online. Biasanya, penilaian rumah dilakukan langsung secara offline. Penilaian ini berdasarkan sejumlah aspek, antara lain lokasi, luas bangunan, tahun pembangunan, hingga NJOP.

Untuk tahap awal, Dataruma masih menyasar segmen B2C atau perorangan, baik itu pembeli rumah atau agen, dengan model pay per request. Selanjutnya, ia akan memperkenalkan model berlangganan bulanan (subscription) untuk segmen B2B sembari memperkuat data-data rumah agar lebih komprehensif.

Goal kami di 2021 adalah terus mengembangkan digitalisasi transaksi properti, di mana kami akan fokus lewat entry point yang paling mudah untuk dieksekusi, yakni Dataruma. Tetapi, ini berjalan paralel dengan pengembangan produk lain. Kami akan coba memberikan journey kepada pengguna sehingga nanti dari situ bisa diarahkan ke produk Quick Buy atau Instant Sell,” paparnya.

Mencari mitra strategis dan optimistis pasar

Jume mengaku bahwa pihaknya sempat melakukan pitching ke beberapa investor strategis untuk mengatasi tantangan permodalan di atas. Namun, mengingat sejumlah produk belum mendapat traksi yang diinginkan, pihaknya belum dapat memastikan product value yang ditawarkan.

“Kami beberapa kali ngobrol [dengan investor], tapi belum confirm ya. Kami lakukan realistic approach dulu untuk cari strategic partner yang mau kasih modal buat akuisisi rumah-rumah. Saat ini, kami masih pakai pendanaan dari internal. Intinya, saat ini kami masih wait and see karena kami sedang coba improve supaya valuasi kami lebih baik lagi,” jelas Jume.

Lebih lanjut, Jume melihat pasar properti akan kembali bangkit di tahun ini meski sempat turun drastis akibat Covid-19 tahun lalu. Jume menyebut ada pertumbuhan positif pada segmen rumah tapak (landed house). Menurutnya, hal ini dipicu oleh tren Working From Home (WFH). Artinya, ada tren permintaan rumah, terutama di area terdesentralisasi.

“Kami melihat ada potensi besar di properti. Saat ini masyarakat masih menahan diri, tetapi sektor properti diprediksi mencapai puncak pertumbuhan di 2021, khususnya landed house yang sudah mulai sejak Desember 2020. Kami dapat info dari agen properti bahwa penjualan [rumah] sudah mulai banyak.”

Sepanjang 2020 Unicorn Indonesia Dominasi Perolehan Pendanaan di Asia Tenggara

Cento Ventures baru saja merilis laporan terbaru terkait lanskap investasi sektor teknologi di kawasan Asia Tenggara pada 2020. Dalam laporan bertajuk Southeast Asia Tech Investment 2020, total pendanaan startup di Asia Tenggara tercatat mencapai $8,2 miliar atau sebesar Rp118,8 triliun.

Nilai investasi startup di Asia tenggara dilaporkan turun 3% dibandingkan 2019. Demikian juga jumlah kesepakatan (deal) investasi merosot 8% di periode yang sama. Dari total investasi tersebut, hampir 50% dari total pendanaan di Asia tenggara masuk ke kantong startup raksasa, antara lain Grab, Gojek, Gopay, Bukalapak, dan Traveloka.

Laporan ini juga menyoroti tren pendanaan startup dengan ticket size $50-100 juta dengan total akumulasi hingga $1,1 miliar (Rp15 triliun) atau naik 26% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara, pendanaan startup dengan ticket size $10-50 juta turun 17% menjadi $1,5 miliar atau Rp21 triliun di 2020.

Menurut pemaparan Investment Associate Cento Ventures Laphat Tantiphipop, kesepakatan investasi yang diterima startup raksasa (mega deals) biasanya mendominasi total akumulasi pendanaan. “Namun, perlu dicatat bahwa smaller deals dapat menjadi satu indikator terhadap ekosistem startup yang lebih baik,” ucapnya.

Lebih lanjut, Indonesia tercatat sebagai penerima investasi paling besar dengan porsi dua pertiga terhadap total pendanaan di Asia Tenggara. Utamanya ini dipicu oleh investasi ke Gojek dan sejumlah deal besar lain, seperti Bukalapak, Kopi Kenangan, Waresix, dan LinkAja.

Tren kenaikan investasi juga terjadi di sejumlah negara, yaitu Malaysia, Thailand, dan Filipina. Sementara, Vietnam justru mengalami penurunan signifikan di 2020 karena sejumlah startup later stage di sana sudah menutup putaran pendanaan dengan nilai besar di 2019.

Sebagai catatan, data ini mengecualikan pendanaan yang diterima grup besar di kawasan tersebut, yaitu Grab, Sea Group, dan Lazada, untuk menghindari bias tren investasi di negara tertentu.

Dari sisi vertikal bisnis, laporan ini juga menemukan bahwa fintech menjadi sektor yang paling banyak memperoleh kesepakatan investasi di Indonesia atau sekitar 51% dibandingkan negara lainnya.

Asia Tenggara paling resilient

Jika dibanding negara-negara besar lain, pasar di Asia Tenggara mengalami dampak fluktuatif paling rendah dalam hal investasi. Partner di Cento Ventures Mark Suckling mengatakan volume investasi di kawasan ini memang menurun, tetapi tidak terlalu signifikan.

Berbeda dengan sejumlah negara lain di luar kawasan ini yang mengalami penurunan tajam, baik dari volume maupun jumlah deal investasi. Asia Tenggara mencatat penurunan volume investasi dan jumlah deal masing-masing 3% dan 8%.

Penurunan ini masih lebih baik daripada Tiongkok yang volume investasinya naik 6%, tetapi deal-nya turun 20%. Sebaliknya, deal investasi di India naik 3%, tetapi volumenya terjun ke 31%.

Tren “exit

Dalam laporannya, Cento mencatat jumlah aksi exit di 2020 tidak jauh berbeda dengan pencapaian di 2018, yaitu dengan nilai di bawah $1 miliar. Menurut Cento, tren ini dinilai wajar mengingat sejumlah rencana exit potensial bernilai besar terpaksa ditunda akibat pandemi. Kebijakan travel restriction menyulitkan proses due dilligence sejumlah rencana exit.

Hal ini salah satunya tercermin dari upaya liquidity dan proceeds untuk nilai $50-100 juta yang turun dari 6 aksi ($404 juta) di 2019 menjadi 3 ($221 juta) di 2020. Yang cukup signifikan adalah upaya liquidity dan proceeds untuk nilai di atas $100 juta merosot dari 5 aksi ($2,09 miliar) di 2019 menjadi 1 aksi ($176 juta) di 2020.

Di Indonesia, strategi exit di sepanjang 2020 cukup banyak terjadi. Mengacu Startup Report 2020 oleh DailySocial, terdapat 13 aksi korporasi melalui skema merger and acquisitions (M&A). Salah satunya adalah akuisisi startup SaaS Moka oleh Gojek pada April 2020. Selain itu, laporan ini juga mencatat dua IPO yang dilakukan oleh startup Indonesia, yakni Pigijo dan Cashlez masing-masing dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp17,57 miliar dan Rp400,71 miliar.

Beberapa startup unicorn telah memberikan sinyal untuk melakukan IPO, seperti Gojek, Tokopedia, dan Bukalapak. Demikian juga kabar aksi merger yang akan dilakukan Gojek dan Tokopedia di mana keduanya dikabarkan telah melakukan perjanjian jual beli saham bersyarat (conditional sales purchase agreement/CSPA).

Gambar Header: Depositphotos.com

Laporan DSInnovate: Startup Report 2020

Beberapa temuan riset memvalidasi besarnya kekuatan dan potensi ekonomi digital Indonesia. Demokratisasi teknologi di sektor perniagaan, perjalanan, media & hiburan, pendidikan, dan kesehatan memberikan sumbangsih terbesar diukur dari perputaran nilai ekonomi yang dihasilkan. Sementara ekosistem startup menjadi penggerak utamanya — di dalamnya termasuk pelaku startup, investor, regulator, dan stakeholder lain yang terlibat secara spesifik.

Startup Report disusun untuk melihat bagaimana perkembangan ekosistem startup di Indonesia setiap tahunnya. Tahun ini DSInnovate mengusung tema “Business Resiliency during the Pandemic”, mengingat satu tahun terakhir pandemi Covid-19 tengah menguji ketahanan tatanan masyarakat dan melahirkan tren-tren baru di kalangan konsumen. Sembari mendalami apakah digitalisasi yang dihasilkan oleh startup mampu menjadi salah satu penopang kebertahanan tersebut.

Ada empat bahasan utama yang diusung dalam Startup Report 2020, meliputi:

  1. Ekosistem digital selama pandemi. Di sini peneliti menyoroti bagaimana kondisi konsumen dan pebisnis digital selama tahun 2020; serta langkah-langkah antisipatif yang dilakukan setiap sektor bisnis dalam menghadapi pandemi.
  2. Tren startup di Indonesia. Bab ini membahas tentang perkembangan startup digital selama tahun 2020, termasuk tentang model bisnis baru yang tumbuh subur sepanjang tahun, aplikasi dengan traksi terbaik, dan tren pendanaan startup.
  3. Strategi “exit”. Melihat daftar aksi korporasi dalam merger dan/atau acquisition yang melibatkan startup digital. Juga inisiatif IPO yang terjadi sepanjang 2020.
  4. Tren ke depan. Merangkum beberapa tren yang mungkin terjadi di tahun berikutnya didasarkan pada rencana-rencana strategis yang sudah mulai diumumkan oleh stakeholder ekosistem sepanjang tahun ini.

Dari empat pembahasan tersebut, ada banyak tren menarik yang terungkap. Salah satunya, tahun 2020 Indonesia telah memiliki 43 startup di tingkat centaur, mereka adalah perusahaan dengan valuasi di atas $100 juta dan berpotensi menjadi unicorn selanjutnya. Persebarannya meluas di berbagai vertikal bisnis mulai dari fintech, e-commerce, logistik, new retail, SaaS, OTA, agritech, healthtech, coworking, edtech, insurtech, dan online media.

Selain itu juga disorot beberapa isu-isu yang diharapkan dapat terselesaikan di waktu mendatang, seperti persebaran bisnis dan layanan digital di luar kota besar. Untuk data  dan ulasan selengkapnya, unduh laporannya melalui tautan berikut ini: Startup Report 2020.

Disclosure: DSInnovate bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Republik Indonesia dalam penyusunan laporan ini. Turut didukung oleh East Ventures.

East Ventures Paparkan Pemetaan Daya Saing Digital Indonesia di 2021

East Ventures (EV) kembali merilis edisi kedua laporan Digital Competitiveness Index (DCI) yang memetakan daya saing digital pada 34 provinsi dan 25 kota di Indonesia. Laporan ini banyak menyoroti bagaimana pandemi Covid-19 mengakselerasi digitalisasi di Indonesia secara signifikan.

Salah satunya adalah kenaikan penetrasi internet yang luar biasa. Dalam laporannya, EV-DCI menyebutkan bahwa pengguna internet Indonesia bertambah 25 juta hanya dalam kurun waktu delapan bulan (Mei-Desember 2020). Sementara, Indonesia membutuhkan 10 tahun sejak 2009 hingga 2019 untuk mendapatkan 30 juta pengguna internet menjadi 167 juta.

Menurut Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca, pertumbuhan ekonomi digital Indonesia akan sulit dikebut apabila infrastrukturnya tidak merata. Jika infrastruktur dan layanan digital tersebar di setiap provinsi, Indonesia dapat ‘menyetir’ ekonomi digital dengan baik.

“Ibarat dalam ketapel, ekonomi digital kita adalah bola. Gara-gara Covid-19, bola ketapel kita tertahan ke belakang. Di sini terjadi akumulasi power di mana pelaku startup disiplin dan merespons situasi dengan baik. Dengan infrastruktur yang dibangun bertahun-tahun dan populasi internet bertumbuh, potensi ekonomi digital kita terkumpul dalam peregangan ketapel. Artinya, bola ini akan melesat begitu situasi Covid-19 mereda,” ujarnya dalam paparan virtual EV-DCI.

Gambaran analogi ketapel yang disampaikan Willson dalam pemaparannya / East Ventures

Untuk memetakan daya saing digital tersebut, EV-DCI menggunakan pengukuran yang mengacu pada sembilan metode pada tiga pilar, antara lain input (sumber daya manusia, penggunaan TIK, pengeluaran TIK), output (perekonomian, kewirausahaan & produktivitas, ketenagakerjaan), dan penunjang (infrastruktur, keuangan, regulasi & kapasitas pemerintah daerah).

Skor daya saing digital Indonesia

Secara keseluruhan, indeks daya saing digital Indonesia di 2021 berada di angka tengah 32,05 atau meningkat dari skor sebelumnya 27,92 di 2020. Ada beberapa temuan yang disoroti dari capaian indeks ini.

Pertama, skor pada pilar SDM semakin melandai dari 77,3 poin di 2020 menjadi 58,4 poin di 2021. Artinya, daya saing ke-34 provinsi dalam menyiapkan SDM semakin merata. Pada pilar infrastruktur digital, laporan ini mencatat kenaikan signifikan hingga 7,5 poin dari semula 46,8 poin di 2020 menjadi 54,3 di 2021.

Secara keseluruhan, DKI Jakarta masih mengungguli provinsi dengan daya saing digital terbesar. Namun, kali ini Bali dan Riau sama-sama naik tiga peringkat dengan masing-masing ke posisi empat dan tujuh di tahun ini. Kenaikan ini dipicu oleh peningkatan infrastruktur internet yang semakin menjangkau pedesaan sehingga mendorong pertumbuhan usaha.

“Alasan kenaikan skor di Riau adalah karena konsentrasi di SDM semakin membaik. Kerja sama Indonesia dan Singapura untuk membangun Nongsa Digital Park di Batam otomatis memberikan spillover effect sehingga mendorong pertumbuhan talenta digital. Demikian juga di Bali yang kini menjadi destinasi digital nomad yang bekerja remote, baik di Thailand, Malaysia, atau negara lain. Makanya ada pergerakan ekonomi yang signifikan di sana,” jelasnya.

Kendati demikian, ketimpangan digital masih sangat terasa di luar Jawa. EV-DCI melaporkan bahwa hampir semua wilayah Indonesia, kecuali Jawa, terwakili dalam sepuluh provinsi dengan daya saing terendah. Ada tujuh provinsi non-Jawa di posisi ini antara lain Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Aceh, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Kalimantan Barat, Maluku Utara, Sulawesi Barat, dan Papua

Pentingnya akses dan SDM

Dari sejumlah laporan yang disoroti di atas, Willson menekankan bahwa akses dan SDM menjadi salah satu elemen penting dalam meningkatkan daya saing digital. Misalnya, daerah membuka akses investasi dari luar.

Di luar itu, ada juga variabel lain yang dapat mendorong daya saing digital per daerah, seperti pengembangan edukasi dan kapabilitas. Willson menilai bahwa penyerapan digital terhadap UMKM bisa lebih cepat apabila setiap wilayah di Indonesia memiliki SDM yang baik. Artinya, ada akselerasi yang membuat output menjadi lebih besar.

“Pemerataan digital itu tidak berkaitan dengan keharusan memiliki startup di setiap wilayah. Startup itu pasti terkonsentrasi di kota besar seperti Jakarta, tetapi mereka bisa membuka cabang tanpa harus menunggu di daerah itu ada startup baru. Apa yang dibangun di Jakarta dapat dipakai tempat lain, makanya jalannya harus dibangun supaya bisa kencang dan dinikmati,” jelas Willson.

Dampak pandemi

Transportasi dan travel online menjadi dua sektor yang terdampak signifikan akibat Covid-19. Dampak ini terlihat dari jumlah kunjungan per Januari 2020 yang mencapai 1,29 juta kunjungan, anjlok 89% menjadi 141.269 per Januari 2021.

Kendati demikian, perubahan pola masyarakat Indonesia ke perjalanan domestik diprediksi mendongkrak bisnis OTA hingga lima kali lipat di 2025. Terutama dengan distribusi vaksin lebih luas, confidence level terhadap bisnis OTA akan perlahan-lahan pulih.

Di sisi lain, dampak positif juga dialami pada sektor lain, seperti infrastruktur digital, e-commerce, dan edtech. Pada kasus Tokopedia, unicorn ini mengantongi sebanyak 2,5 juta merchant di sepanjang 2020. Padahal, Tokopedia membutuhkan waktu 10 tahun untuk mendapatkan 7 juta merchant.

“Semua bisnis dipaksa online karena tidak bisa jualan offline saat pandemi. Makanya pengeluaran pulsa juga turut naik. Di Indonesia, ada 30 juta pengguna internet baru yang pertama kali bertransaksi di e-commerce selama masa pandemi. Tetapi, apakah setelah go online, ekonomi digital bisa langsung melesat? Di sini mengapa O2O penting. Behavior akan tetap stay, begitu vaksin didistribusikan, offline dan online jalan, akselerasi akan lebih cepat,” katanya.

Tren digital selanjutnya

Willson juga mengungkap beberapa tren digital selanjutnya yang bakal semakin terakselerasi karena Covid-19. Pertama, sektor yang berkaitan dengan media (game, media sosial, video, etc) akan semakin meningkat dan mendorong terciptanya kategori baru, yakni creator economy.

“Semua orang bisa menciptakan konten sendiri ke depannya sejalan dengan tren perilaku konsumen yang beralih dari [konsumsi] TV. Eyeball semua tadinya di TV, kini konsumen bisa [menciptakan] konten mengikuti tren pasar,” tutur Willson.

Selanjutnya adalah tren investasi di dompet digital. Menurutnya, bisnis dompet digital sudah mendominasi pasar Indonesia. Jika bicara investasi ke dompet digital, tren ini dinilai tak lagi menarik. “Justru yang menarik adalah bagaimana isi dompetnya. Makanya, semua [pelaku startup] masuk ke bank digital,” ucapnya.

Terakhir, konsep remote working dan Work From Home (WFH) yang sudah mulai terbiasa diadaptasi perusahaan selama masa pandemi, akan semakin meningkatkan adopsi Software-as-a-Service (SaaS), misalnya cloud based computing.

Fintech Talks: Behind The Notion of “Fintech is Boring”

Talking of fintech (financial technology) industry in Indonesia, one thing that comes to mind will be its booming popularity. If you visit our website as of March 8th, 2021, the industry’s latest news is dominating the front page, including but not limited to (another) fresh funding, business update announcement from the government-owned e-money, the milestone of a P2P lending player, and editorial signature opinion on the fintech business for payment transactions.

The existence of the fintech industry in Indonesia is said to be crucial in supporting the digital startup ecosystem acceleration. The role is considered to support startup players, from facilitating payment services, converting cash to non-cash transactions, and unlocking financial access for unbanked societies in Indonesia. The significant role has created a chunk of potential for the fintech industry.

Behind every theory, there must be an anti-theory. It also applies in the fintech industry. Behind its notion of disruptive power and meteoric growth, there is an assumption that “fintech is boring”.

DailySocial.id, through DSResearch, released the annual report about the fintech industry in Indonesia at the end of last year. Stated in the report, facts of extraordinary positive achievements by fintech companies amid economic uncertainty during the pandemic. However, how come people still thought fintech is boring? What kind of factors are in play behind this assumption?

In a casual discussion at the currently-popular app, Clubhouse, we invited well-known startup founders and investors, including Ryu Suliawan (Gojek’s Head of Merchants & Midtrans’ Founder), Antonny Liem (GDP Venture‘s Investment Partner ), Alfatih Timur (Kitabisa’s Co-Founder & CEO), Pamitra Wineka (TaniHub’s Co-Founder & President), and Aria Rajasa Masna (KaryaKarsa’s CTO) to explain the answer to these questions.

fintech-is-boring-clubhouse

“If we look at the system, regulations, and so on, it is only natural that fintech is considered boring because that is fintech. There are processes that tend to be tedious behind their roles which make it easier for startups and the market,” Liem said as he began the discussion.

From the fintech player’s perspective with experience in the payment gateways, instead of boring, Suiawan predicted that the current fintech industry will encounter a bubble moment as the finance industry is considered as a sexy business.

“In any era, when the finance industry is considered sexy, the bubble phenomenon [in the financial industry] will definitely occur and eventually explode. It has happened in the 80s, 90s, 2000s, and maybe it will also happen in this era, it [a bubble in the fintech industry] could happen soon,” he said.

The assumption does not necessarily mean that fintech is a fragile industry. The tedious process actually forms a reliable fintech industry to accelerate the digital startup ecosystem in Indonesia.

Aria said that the availability of fintech services is very much needed, even though the current business does not directly intersect with the fintech business.

“In my opinion, fintech is like infrastructure for an ecosystem. Its existence should first be built to move the industry. This is proven through KaryaKarsa. The fintech existence really helps us accelerate. For example, with the e-wallet service. Five years ago we still struggle with the manual transfer method,” Masna explained.

The above response is one of the reasons why fintech is flourishing in Indonesia. According to data compiled by the Fintech Report 2020, fintech services that serve the field of lending, both for productive and consumptive, currently have 152 players with a total loan distribution reaching 128.7 trillion Rupiah. No wonder the fintech industry is quite booming with the arrival of new players. However, what actually makes Indonesia an attractive market?

fintech-dominates-startup-fundings-indonesia

“We can start from the fact that Indonesia is one of the countries with the largest net interest margin (NIM) in the world. It is said that Indonesia’s NIM is phenomenal. I myself am not sure there isanother country with the same size that can achieve the very large NIM,” Suliawan said.

Agreed with Ryu, Pamitra Wineka, familiarly called Eka, has his own view on why fintech still holds enormous potential, even though its existence is getting saturated. As the founder of one of the leading agritech platforms, he thought the real potential area of the fintech market is far away from the downtown. As long as the infrastructure is well developed.

“We have large market potential for the fintech business, but infrastructure is the key. Currently, big players in e-wallets, such as GoPay, Ovo, LinkAja, seem to be busy competing in a small market, the big cities. Even though we know that the large market potential is in rural areas. We’ve found the fact that the area holds very large potential, but many transactions are still using cash. Therefore, it becomes potential if we can convert them to e-wallet services or similar,” he said.

Timur agreed. An important figure behind Kitabisa social platform, who is familiarly called Timmy revealed that the existence of fintech could provide a solution for the platform he founded.

“For me, fintech is important. Looking at the habit of donating which is quite driven by emotional factors than a necessity, we see that the payment issue is quite crucial. If the process is inefficient, untrusted, it can hold the benefactors. Initially, we only had a bank transfer facility with a unique code which was quite a hassle. As we implemented the e-money service, it was very helpful and the benefactors like it,” Timmy said.

Indonesia is one of the country with the largest net interest margin (NIM)  in the world. It is considered phenomenal. i myself am not sure there is other country with the same size can achieve the very large nim.

Ryu Suliawan
Gojek’s Head of Merchants & Midtrans’ Founder

By implementing fintech services, he admitted to found two interesting things. First, fintech opens up the possibility for micro-donations that drives transactions number to increase significantly. The second interesting thing, he said, is that the implementation of fintech is able to deliver a new segment of the Kitabisa platform. Electronic money services are able to invite young people to become philanthropic as the more efficient donation process.

Observing the development of fintech innovation in such a way, is it still relevant if we think fintech is boring?

“I think fintech will become boring if we only focus on building infrastructure in big cities, without focusing on developing services in villages, rural areas, and so on,” Eka explained.

Eka’s opinion serves as a warning to the fintech industry about a potential market that should be a new innovation focus.

Moreover, how should the fintech industry move forward? Both Ryu, Antonny, Aria, Timmy, and Eka agree that the future of the fintech industry depends on the support of various parties.

“In my opinion, in order to not be boring, fintech also needs support. For instance, the e-commerce industry also needed prior support from fintech, therefore, the ecosystem is getting mature. Meanwhile, in fintech, the necessary support comes from infrastructure, government regulations, and so on,” Eka concluded.

After a long discussion, I came to the conclusion that maybe fintech should be stable and be mistaken for “boring”. Fintech is infrastructure, the foundation on which many creative services of various types can focus on delivering value to their users, without busy taking care of things such as payments, consolidation, provision of capital. Also, as an infrastructure, fintech must be stable. It may seem boring at first, but to me, fintech future potential is actually wide open, very broad, and very inspiring.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bincang Fintech: Alasan Di Balik Anggapan Industri Ini “Membosankan”

Bicara soal industri financial technology (fintech) di Indonesia, rasanya salah satu hal yang bakal muncul di benak pertama kali adalah industri ini tengah booming. Jika Anda mengunjungi situs kami per tanggal 8 Maret 2021 kemarin, kabar teranyar yang datang dari para pemain fintech mendominasi halaman depan, seperti kabar tentang (lagi-lagi) pendanaan terbaru, pengumuman pembaruan layanan dari platform uang elektronik “plat merah”, berita milestone dari salah satu pemain P2P lending, hingga sajian opini khas editorial mengenai potensi bisnis fintech di ranah pembayaran tagihan.

Kehadiran industri fintech di tanah air bisa dikatakan krusial dalam mendukung akselerasi pertumbuhan ekosistem startup digital. Perannya diyakini bisa menggenjot bisnis para pelaku startup, mulai dari memfasilitasi layanan pembayaran, mengonversi transaksi tunai ke non-tunai, hingga membuka akses keuangan bagi unbanked society yang masih umum dijumpai di Indonesia. Perannya yang sedemikian rupa membuat industri fintech sarat potensi.

Di balik sebuah teori pastilah ada anti-teori. Begitu juga di industri fintech. Di balik kedigdayaannya mendisrupsi industri finansial konvensional, terselip anggapan bahwa “fintech itu membosankan”.

DailySocial.id, melalui DSResearch, akhir tahun lalu merilis laporan tahunan industri fintech di Indonesia. Di dalam laporan itu ada fakta pencapaian yang luar biasa positif di tengah ketidakpastian ekonomi di tengah pandemi. Lalu bagaimana fintech itu bisa dianggap membosankan? Faktor apa saja yang bisa membuat hal itu terjadi?

Di sesi bincang santai di Clubhouse tanggal 5 Maret 2021 lalu, kami mengajak para founder startup dan investor ternama seperti Ryu Kawano Suliawan (Head of Merchants Gojek & Midtrans Founder), Antonny Liem (Investment Partner GDP Venture), Alfatih Timur (Co-Founder & CEO Kitabisa), Pamitra Wineka (Co-Founder & President TaniHub), dan Aria Rajasa Masna (CTO KaryaKarsa) untuk mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi.

fintech-is-boring-clubhouse

“Kalau kita lihat dari sistem, regulasi, dan sebagainya, wajar saja jika fintech dianggap membosankan, karena memang fintech seperti itu. Ada proses-proses yang cenderung membosankan dibalik perannya yang memudahkan bagi para pelaku startup dan pasar,” ujar Antonny membuka diskusi.

Dari sudut pandang pelaku fintech yang berpengalaman di bidang payment gateway, alih-alih membosankan, Ryu justru mewanti-wanti jika industri fintech saat ini bakal menemui momen bubble tatkala industri finance dipandang sebagai lahan bisnis yang seksi.

“Kapan pun eranya, ketika industri finance dianggap seksi, fenomena bubble [di industri finansial] mungkin saja bisa terjadi seperti di era 80-an, 90-an, sampai 2000,” ungkapnya.

Anggapan di atas tidak serta merta mengartikan fintech merupakan industri yang rapuh. Proses yang membosankan justru membentuk industri fintech yang diandalkan untuk secara bersama mengakselerasi ekosistem startup digital di Indonesia.

Aria mengatakan, ketersediaan layanan fintech sangat dibutuhkan, meski bisnis yang dijalani tidak bersinggungan langsung dengan bisnis fintech.

“Menurut saya fintech bisa dikatakan seperti infrastruktur buat ekosistem. Eksistensinya harus dibangun dulu buat menggerakkan industri. Ini terbukti di KaryaKarsa. Keberadaan fintech sangat membantu mengakselerasi kami. Sebagai contoh dengan adanya layanan e-wallet sekarang. Lima tahun lalu kita masih struggle dengan metode transfer manual,” jelas Aria.

Tanggapan di atas menjadi salah satu alasan mengapa fintech bertumbuh subur di Indonesia. Menurut data yang dikompilasi Fintech Report 2020, layanan fintech yang melayani bidang peminjaman, baik untuk kebutuhan produktif maupun konsumtif, hingga saat ini memiliki 152 pemain dengan total distribusi pinjaman yang mencapai 128,7 triliun rupiah. Tak heran jika industri fintech kini tengah booming dengan terus kedatangan pemain baru. Namun, sesungguhnya apa yang membuat Indonesia dipandang sebagai pasar yang atraktif?

fintech-dominates-startup-fundings-indonesia

“Mungkin kita bisa mulai dari fakta yang mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki net interest margin (NIM) terbesar di dunia. Bisa dikatakan NIM di Indonesia sangat fenomenal. Saya sendiri tidak yakin ada negara dengan ukuran yang sama seperti Indonesia bisa memiliki NIM yang besar,” papar Ryu.

Senada dengan Ryu, Pamitra Wineka, yang akrab disapa dengan panggilan Eka, punya pandangan tersendiri mengapa fintech masih punya potensi raksasa, meski kini keberadaannya dirasa jenuh. Sebagai founder salah satu platform agritech terkemuka, dirinya menilai potensi pasar fintech yang sesungguhnya berada di area yang jauh dari pusat kota. Asal infrastrukturnya terbangun dengan baik.

“Kita punya potensi pasar yang besar buat bisnis fintech, tapi tetap infrastruktur adalah kuncinya. Karena kalau kita lihat saat ini, pemain besar di e-wallet, seperti GoPay, Ovo, LinkAja, seakan hanya sibuk berkompetisi di market yang sebetulnya kecil, yakni hanya di kota-kota besar. Padahal yang kita tahu potensi pasar yang besar itu ada di rural area. Fakta yang kita temukan, potensi di area itu sangat besar, tapi sebagian besar dari mereka masih bertransaksi lewat cash. Nah itu jadi potensial jika kita bisa convert mereka ke layanan e-wallet dan sejenisnya,” katanya.

Anggapan tadi diamini Alfatih, yang akrab disapa Timmy tersebut. Sosok penting di balik kehadiran platform sosial Kitabisa mengungkapkan, keberadaan fintech bisa memberikan solusi untuk platform yang didirikannya.

“Buat saya fintech itu penting ya. Melihat habit donating yang lebih didorong faktor emosional ketimbang kebutuhan, kita melihat payment issue ternyata cukup krusial. Kalau prosesnya kurang bagus, untrusted, membuat donatur jadi enggan. Awalnya kita cuma punya fasilitas transfer antar bank dengan kode unik yang cukup menyulitkan. Ketika kita implement layanan e-money, itu sangat membantu dan donatur suka,” ujar Timmy.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki net interest margin (NIM) terbesar di dunia. Bisa dikatakan NIM di Indonesia sangat fenomenal. Saya sendiri tidak yakin ada negara dengan ukuran yang sama seperti Indonesia bisa memiliki NIM yang besar

Ryu Suliawan
Head of Merchants Gojek & Midtrans Founder

Dengan mengimplementasi layanan fintech, ia mengaku menemukan dua hal menarik. Pertama, fintech membuka kemungkinan untuk micro-donation yang mendorong jumlah transaksi meningkat secara signifikan. Hal menarik kedua, menurutnya,  adalah implementasi fintech mampu melahirkan segmen baru terhadap platform Kitabisa. Layanan uang elektronik mampu mengajak generasi muda untuk menjadi filantropi karena kemudahan proses melakukan donasi.

Melihat inovasi fintech yang berkembang sedemikian rupa, lalu apakah masih relevan jika kita menganggap fintech itu membosankan?

“Menurut saya fintech akan jadi boring jika kita cuma fokus membangun infrastruktur di kota-kota besar saja, tanpa fokus mengembangkan layanan di desa-desa, rural area, dan sebagainya,” terang Eka.

Pendapat Eka menjadi peringatan bagi industri fintech tentang pasar potensial baru yang harus menjadi fokus inovasi.

Lalu bagaimana sebaiknya industri fintech melangkah ke depannya? Baik Ryu, Antonny, Aria, Timmy, maupun Eka sepakat bahwa nasib industri fintech di masa depan tergantung pada dukungan berbagai pihak.

“Menurut saya agar tidak membosankan, fintech juga butuh support. Seperti industri e-commerce misalnya, mereka juga di awal butuh support dari fintech agar ekosistemnya semakin matang. Begitu pun di fintech, support yang dibutuhkan bisa datang dari dukungan infrastruktur, regulasi pemerintah, dan lain sebagainya,” tutup Eka.

Setelah berdiskusi panjang lebar, saya mengambil kesimpulan bahwa mungkin fintech memang harus stabil dan disalahartikan sebagai “membosankan”. Fintech merupakan infrastruktur, pondasi dimana banyak layanan-layanan kreatif berbagai jenis bisa fokus mengantar value ke penggunanya, tanpa harus pusing mengurus hal-hal seperti pembayaran, konsolidasi, penyediaan modal / capital. Dan layaknya infrastruktur, fintech-pun harus stabil. Mungkin sekilas terlihat membosankan, tapi untuk saya, potensi fintech kedepannya sangat terbuka, sangat luas, dan sangat menggugah semangat.

Kaleidoskop Ekosistem Startup Indonesia 2020

Perkembangan ekosistem startup Indonesia di tahun 2020 menjadi menarik untuk disimak. Meski kondisi pandemi, dinamika pendanaan justru makin kencang hampir sepanjang tahun. DailySocial mencoba merangkum berbagai aksi strategis yang dilakukan startup lokal yang dapat membantu kita  menyimpulkan apakah Covid-19 berdampak mengganggu pada pertumbuhan startup atau justru sebaliknya.

Pendanaan

Sepanjang tahun 2020, DailySocial mencatat ada 112 transaksi pendanaan oleh investor ke startup Indonesia, membukukan total dana mencapai lebih dari $3,3 miliar. Nominal tersebut didapat dari 50 transaksi pendanaan yang nominalnya diumumkan ke publik. $2,43 miliar di antaranya ditujukan untuk startup unicorn.

Ditinjau dari tahapannya, pendanaan tahap awal masih mendominasi dengan jumlah transaksi mencapai 47 kali. Untuk pendanaan awal, 11 transaksi dilakukan untuk startup dengan produk SaaS, kemudian masing-masing 5 transaksi untuk startup e-commerce dan edtech, serta masing-masing 4 transaksi untuk startup new retail dan online media.

Gambar 1

Untuk keseluruhan transaksi, tahun ini fintech dan SaaS jadi yang paling diminati. Di lanskap fintech, ada 5 pendanaan tahap awal (seed s/d Seri A), masing-masing 2 pendanaan di Seri B, Seri C, dan corporate round, serta 6 debt funding. Total dana yang dikumpulkan adalah $413,5 juta dari 12 transaksi yang disebutkan nominalnya. LinkAja menjadi salah satu pemain yang mendapatkan pendanaan terbesar tahun lalu dengan nilai $100 juta dari Grab, Telkomsel, BRI Ventures, Mandiri Capital Indonesia.

Gambar 2

Untuk SaaS, tahapan transaksi didominasi 11 seed funding, kemudian masing-masing 2 transaksi untuk Pra-Seri A, Seri A, dan Seri B. Dari 4 nilai transaksi yang dipublikasikan, lanskap ini berhasil mengumpulkan dana $18,8 juta.

Aksi korporasi

Selain menggalang dana, strategi lain yang dilakukan startup untuk meningkatkan bisnis adalah lewat konsolidasi. Tahun 2020 ada beberapa aksi korporasi yang direalisasikan dalam proses akuisisi. DailySocial mencatat ada 13 akuisisi startup yang terjadi, yaitu:

Startup Startup yang Diakuisisi
Farmaku DokterSehat
Waresix Trukita
Shipper Porter, Pakde
Afterpay EmpatKali
Fundastic Invisee
Dataxet Sonar
EMPG Lamudi Indonesia
IDN Media Demi Istri Production
Gojek Moka
Carro Jualo
Wahyoo Alamat.com
Oto.com Carvaganza
IATA (MNC Group) Anterin

Aksi korporasi yang juga menarik untuk disimak ialah IPO. Kendati beberapa startup gencar mengungkapkan rencananya untuk melantai di bursa, sepanjang 2020 ada dua IPO yang berhasil terealisasi, yakni oleh Pigijo (PGJO) dan Cashlez (CASH) melalui papan akselerasi. Per akhir tahun, Pigijo memiliki kapitalisasi pasar senilai 18,9 miliar Rupiah, sementara Cashlez 581 miliar Rupiah.

Startup kolaps

Terlepas dari banyak startup yang mendapatkan pendanaan baru tahun ini, tak sedikit juga yang harus menghentikan operasionalnya. Setidaknya ada 12 startup beroperasi di Indonesia yang harus mengakhiri bisnisnya tahun ini dengan berbagai latar belakang. Berikut ini daftarnya:

Startup Lanskap Bisnis
Eatsy Indonesia Online Reservation
QRIM Express Logistic
Hooq Online Media
Stoqo B2B Commerce
Airy Hospitality
Wowbid E-commerce
Freenternet Telecommunication
Sorabel E-commerce
Ciayo Online Media
Blanja E-commerce
Infokost Hospitality
Zomato Indonesia Online Reservation

Bagi beberapa startup, pembatasan sosial dan fisik yang dilakukan di masa pandemi berdampak sangat signifikan dalam menunjang unit ekonominya. Alih-alih menyerah, beberapa bangkit dengan melakukan penyesuaian model bisnis (pivot). Pertama ada Kedai Sayur yang memilih melakukan perubahan bisnis menjadi layanan pesan antar bahan makanan. Ada juga layanan marketplace penyedia jasa umrah PergiUmroh yang melakukan penyesuaian produk, tahun ini mereka merilis PergiBelanja.

Beberapa pemain besar juga lakukan penyesuaian strategi. Traveloka, ketika lockdown berjalan, mengoptimalkan layanan Xperience untuk memberikan opsi hiburan interaktif kepada pelanggannya secara daring. Begitu juga Loket. Anak perusahaan Gojek tersebut justru kini mantapkan diri jadi platform yang membantu masyarakat atau bisnis menghelat acara secara daring, seperti webinar atau konser online.

Masih dalam laju pertumbuhan

Membandingkan dengan apa yang terjadi di tahun 2019, sejauh ini kami menyimpulkan bahwa ekosistem startup di Indonesia masih on-track dalam laju pertumbuhan. Dinamika yang terjadi tentu menjadi bekal penting untuk ketahanan para pemain di dalamnya. Di sisi lain membuka kesempatan untuk lanskap bisnis tertentu berkembang, seperti healthtech, edtech, sampai dengan biotech.

Meningkatnya konsolidasi bisnis yang dilakukan pemain, dari skala kecil sampai besar juga menunjukkan tingkat kematangan di tengah fragmentasi pasar. Menjelang akhir tahun bahkan santer terdengar kabar merger antar-unicorn. Tentu ada dampak baik-buruknya. Yang jelas, setelah satu dekade berjalan, potensi tersebut semakin terlihat jelas. Potensi akan besarnya pangsa pasar digital di Indonesia.

Tahun 2021 tentu akan menjadi lebih menarik. Kita akan disuguhkan dengan upaya para startup merealisasikan misi-misinya – ada yang bertekad melantai ke bursa, memperluas ekspansi regional, hingga berambisi jadi unicorn. Tren baru di tengah masyarakat juga terbentuk, seperti minat berinvestasi, kesadaran hidup sehat, hingga makin terbiasa menggunakan layanan online untuk memenuhi berbagai kebutuhan hariannya.


DailySocial segera merilis Startup Report 2020, laporan komprehensif tentang perkembangan ekosistem digital dalam satu tahun terakhir dari berbagai perspektif, melibatkan stakeholder di berbagai lanskap bisnis. Daftarkan email Anda ke newsletter DailySocial untuk mendapatkan pembaruan informasi ini: https://dailysocial.id/subscribe.

Indonesian Startup Funding in Q2 2020, 32 Reported Transactions , Dominated by Early-Stages

In a general note, the Covid-19 pandemic has had a serious impact on the world’s economy, both on a micro and macro scale. Various business sectors have also been affected, including those involved in the digital startup ecosystem.

The current condition has formed a lot of hypothesis. Some observers said that this year it is projected to be quite difficult for startup founders, especially those who are currently fundraising. It turns out that the statistics are still in the favor of the founders, at least based on the data for the first and second quarters of this year.

During the first quarter of 2020 (Q1 2020) we noted, at least 20 startups were announced and/or confirmed to the public. We conclude this number as relatively normal compared to similar periods in 2019. Based on the 2019 Startup Report, there were 27 transactions announced to the public in Q1 2019. The sequence trend is still the same, dominated by the early stage and Series A.

The early hypothesis said that this agreement is a result that was developed from the previous year, therefore, it has yet become a benchmark for a complete picture of the investment climate in 2020.

Tight investment scene

During the second quarter of 2020 (Q2 2020 in April-June) this year, we recorded that there were 32 startup funding transactions announced or confirmed to the public. This acquisition is higher than in the same period last year, which was 24 transactions.

Some funding is the follow-on/closing of a round that has started from a previous time period (marked *). There is also a new round with more involvement in the future (marked **).

The following is a complete list of funding, sorted by time of announcement:

Startup Landscape Stage Investors
InfraDigital Edtech Series A AppWorks
Cinepoint Others Seed Funding Ideosource Entertainment
Jendela360 Proptech Seed Funding Beenext, Prasetia Dwidharma, Everhaus
Shipper Logistic Series A Prosus Ventures, Lightspeed, Floodgate, Y Combinator, Insignia Ventures, AC Ventures
Fabelio** E-commerce Series C AppWorks, Endeavor Catalyst, MDI Ventures, Aavishkaar Capital
Ula New Retail Seed Funding Sequoia India, Lightspeed India, SMDV, Quona Capital, Saison Capital, Alter Global, angel investor
Wallex Technologies Fintech Series A BAce Capital, SMDV, Skystar Capital
GoPlay Online Media Seed Funding ZWC Partners, Golden Gate Ventures, Openspace Ventures, Ideosource Entertainment, Redbage Pacific
Gojek Ride-Hailing Series F Facebook, PayPal
Job2GO Job Marketplace Seed Funding BANSEA
Bonza Big Data Seed Funding East Ventures
Delman Big Data Seed Funding Intudo Ventures, Prasetia Dwidharma, Qlue
Bobobox OTA Series A Horizons Ventures, Alpha JWC Ventures, Kakao Investments, Sequoia Surge, Mallorca Investment
KoinWorks Fintech Debt Funding Lendable
Pintek* Fintech Pre-Series A Accion Venture Lab,  Global Founders Capital
Dekoruma E-commerce Pre-Series C InterVest Star SEA Growth Fund 1, Foundamental, OCBC NISP Ventura, Skystar Ventures
Tokocrypto Others Seed Funding Binance
Kopi Kenangan New Retail Series B Sequoia India, B Capital, Horizons Ventures, Verlinvest, Kunlun, Sofina, Alpha JWC Ventures
KlikDaily New Retail Series A Global Founders Capital
GudangAda Logistic Series A Sequoia India, Alpha JWC Ventures, Wavemaker Partners
BukuKas SaaS Seed Funding Sequoia Surge, 500 Startups, Credit Saison, angel investor
Bahasa.ai* SaaS Pre-Series A East Ventures, DIVA, SMDV, Plug and Play Indonesia
Modalku Fintech Series C BRI Ventures dan sejumlah undisclosed investors
Eduka Edtech Seed Funding Init-6
Qoala Fintech Series A Centauri Fund,  Sequoia India, Flourish Ventures, Kookmin Bank Investments, Mirae Asset Venture Investment, Mirae Asset Sekuritas
KoinWorks Fintech Debt Funding Quona Capital, EV Growth, Saison Capital
Kargo Technologies Logistic Series A Tenaya Capital, Sequoia India, Intudo Ventures, Amatil X, Agaeti Convergence Ventures, Alter Global, Mirae Asset Venture Investment
Investree** Fintech Series C Mitsubishi UFJ Financial Group, BRI Ventures, SBI Holdings, 9F Fintech Holdings Group
Webtrace SaaS Seed Funding Prasetia Dwidharma, Astra Ventures
BukuWarung SaaS Seed Funding East Ventures
ProSpark Edtech Pre-Seed Agaeti Ventures, Prasetia Dwidharma, angel investor
TaniHub* Agritech Series A Openspace Ventures, Intudo Ventures, UOB Venture Management, Vertex Ventures, BRI Ventures, Tenaya Capital, Golden Gate Ventures

Based on the table, in terms of the investment stage, most of the secured funds are in the early-stages (12) and the Series A stage (9). While in terms of the business landscape, the scope is quite diverse, mostly for fintech startups.

Pendanaan Startup Indonesia Q2-2020 / DSResearch
Indonesian startup funding Q2-2020 / DSResearch

Startup ecosystem development

According to the Global Startup Ecosystem Report (GSER) published by Startup Genome, Jakarta ranks second out of 100 cities worldwide on the list of emerging startup ecosystems. The data used for the assessment is based on four main factors, such as performance, funding, market reach, and talents of each city.

Mumbai, which is ranked the first place, scored 10 in each of these factors. Jakarta scored almost the same number, only the talent metric got a score of 9.

Startup Genome also divides the ranking of each city based on the total value of the ecosystem and early-stage funding. Jakarta placed in the top position with an ecosystem value of $ 26.3 billion, followed by Guangzhou ($19.2 billion), and Kuala Lumpur ($15.3 billion).

Unfortunately, startup development is still centered in metropolitan cities like Jakarta. When the assessment is conducted nationally and averaging the performance of all cities, the ranking drops dramatically. For example, validated by StartupBlink in a report entitled The StartupBlink 2020 Global Ecosystem Report.

In 2020, Indonesia ranked 54th, down 13 levels compared to the previous year. In Southeast Asia, this position is only superior to Vietnam. Singapore is in the top position, which is ranked 16th.

This report highlights the contribution of several cities towards ecosystem development. In sequence, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Medan, and Semarang are cities wih the most significant growth in the startup ecosystem.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mutualism Between SMEs and Digital Startups to Drive Transformation On Track

Last Wednesday, (12/8), was celebrated as the 2020 National UMKM Day. Several virtual events entitled empowering small businesses were held by various organizers, both public and private. Apart from these symbolic aspects, Indonesian SMEs deserve the attention of various parties. This sector offers agile solutions in driving the national economy. Involving various components of society at large.

The number of SME players has consistently increased by the year. According to BPS data, there have been 64.2 million business units since 2018. They provide around 60.3% contribution to gross domestic product (GDP) and absorb 97% of the national workforce. Kemenkop data shows, the government is targeting at least 2 million SMEs to go digital this year. As of August 2020, the number is still around 1.4 million, around 2% of the total.

Embracing SME digitization

There are many programs held by various parties for SMEs to finalize digital strategies, including the government and the private sector. Digitization is clearly not just jargon, it allows SMEs to strengthen the foundations of business. The goal is very clear, expand business prospects and open new market share.

Digitization alone isn’t just about selling products online. More than that, there are many aspects to be optimized through a digital approach, including those related to the supply chain, logistics, marketing, to business operations.

In 2015, Deloitte surveyed 437 SME entrepreneurs in Indonesia. They have recorder the level of digitization in SME players. Mostly are in the primary and intermediate stages. In general, the use of new technology is limited to one or two processing, such as using online marketplaces to sell products, using electronic money to accept transactions, or using social media to market services.

Tingkatan digitalisasi UKM di Indonesia / Deloitte
Embracing SME digitization in Indonesia / Deloitte

The question is, is it enough? Indeed, the answer varies, whether by digitizing at that level they have achieved the expected goals. On the other hand, digital tools are also increasingly developed, enabling SMEs to do many things. Including making business processes more efficient.

Local startups support

The nature of startup founders is to try to solve problems with technological innovation, including for SMEs. According to the SME Empowerment 2020 research, DSResearch maps various local startup services that have been released and are targeting the resolution of financial/capital, operational, and expansion problems.

There are many forms. Most of them are packaged in the form of SaaS (Software as a Services), online marketplace, and other membership models. There are quite a lot of them with unique and specific platform types.

Platform digital untuk UKM dari startup Indonesia / DSResearch
Digital platform for SMEs by Indonesian startups / DSResearch

As an example, problem-solving in terms of finances. Some business operators in the regions have difficulty getting access to loans from banks. In fact, there are still many who do not have bank accounts. According to a McKinsey & Company report, this issue is experienced by around 50% of the total SME entrepreneurs in Indonesia.

Fintech services come with an easier mechanism. Some are even very unique. For example, what Amartha doing as a fintech lending platform. Loans are channeled through small business groups in each region. The concept is mutual assistance. Help and remind each other. This scheme facilitates the credit scoring process and reduces the number of defaults because the funds are guaranteed to be right on target and effective with an appropriate amount.

Moreover, what Wahyoo did is quite similar. They enable warteg (small restaurant) owners to get ingredients at the most efficient prices, help bring in new customers with digital promotions, and provide additional income using sticky ads in the display store.

Meanwhile, Titipku empowers millennials who are familiar with smartphones to help promote traditional SMEs in the neighborhood.

Optimizing empowerment

In the current state, digitization at the basic level has reached many SMEs. Almost every business takes advantage of social media, marketplaces, and others. The next challenge is coming. When everyone sells on social media and marketplaces, how can players survive and increase business amid the existing competition?

The answer is by continuing digitization to the next stage. On the operational side, for example, SMEs could begin to take advantage of record-keeping tools that would allow them to easily obtain business analysis and projections.

By utilizing a note-taking application, SMEs can see how their business trends over time. Business owners can make the right decisions. For a children’s clothing seller, transaction data helps them find out when is the right time to make additional capital. By analyzing the data, they can also capture the user’s interest in their products, for example, the consumption preferences of certain segments.

Many other operational aspects have also been transformed, such as logistics. More and more variants of SaaS are making it easier for SMEs to find the right delivery solution. Crewdible, for example, allows SMEs to have a temporary warehouse to streamline product distribution.

Armed with existing transaction data, SMEs can put their products in rented warehouses at certain points. For example, SME X has many customers in East Java, moreover, by placing product stock in Surabaya the delivery process can be faster and cheaper.

Continuous synergy

One of the economic sectors that is quite resistant to Covid-19 pandemic is agriculture. Meanwhile, a report entitled “Micro and Small Business in Indonesia’s Digital Economy” released by the Asia Pacific Foundation of Canada explained that the largest percentage of SMEs in Indonesia are in the agribusiness sector.

Sektor-sektor yang digeluti UKM Indonesia / APAC Foundation of Canada Report
SME sectors in Indonesia / APAC Foundation of Canada Report

This could be the basic foundation for supporting SMEs in order to maintain economic stability. The mutualism synergy between digital startups and players in the agro sector seems to be getting stronger during the pandemic. Various digital platforms pivot or strengthen their online grocery business. Some of them are collaborating with farmers in various regions to supply fresh ingredients.

However, in a general view, the pandemic has shattered business arrangements on various scales from micro to large. SMEs also hit with the bitter impact of the crisis. According to the latest survey conducted by Telkomsel, there are several issues that have become increasingly caused by pandemic. The three things that complained the most were a decrease in buyers, a decrease in spending, and logistics.

Ragam isu yang dikeluhkan pelaku UKM sebelum dan sesudah krisis / Telkomsel
Issues circulating Indonesian SMEs before and after the crisis / Telkomsel

The latest issues arise can be the next breakthrough for innovators. The synergy between innovators and UKM players must continue to be fostered through the formation of a healthy ecosystem. These ideals can only be formed if every stakeholder involved has the vision to form a healthy business climate harmony. It is hoped that digital startups and SMEs will continue to be the engine towards a better national economy.

Happy MSME Day, let’s support domestic MSMEs together by continuing to innovate and be good consumers.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mutualisme UKM dan Startup Digital, Bawa Laju Transformasi Tepat Arah

Hari Rabu lalu, (12/8), diperingati sebagai Hari Nasional UMKM 2020. Beberapa acara virtual bertajuk pemberdayaan usaha kecil dilakukan berbagai instansi, baik publik maupun privat. Di luar aspek-aspek simbolis tersebut, UKM di Indonesia memang layak menjadi perhatian berbagai pihak. Sektor ini menawarkan solusi tangkas dalam menggerakkan ekonomi nasional. Melibatkan berbagai komponen masyarakat secara luas.

Jumlah penggiat UKM konsisten naik dari tahun ke tahun. Sejak tahun 2018, menurut data BPS, sudah ada 64,2 juta unit usaha di skala tersebut. Mereka memberikan 60,3% kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) dan menyerap 97% tenaga kerja nasional. Data Kemenkop menyebutkan, tahun ini pemerintah menargetkan minimal 2 juta UKM berhasil go digital. Hingga Agustus 2020, jumlahnya masih sekitar 1,4 juta, baru sekitar 2% dari jumlah total.

Tingkatan digitalisasi UKM

Program yang membawa UKM mematangkan strategi digital banyak digalakkan berbagai pihak, termasuk pemerintah dan sektor swasta. Digitalisasi jelas bukan sekadar jargon, karena memungkinkan UKM memperkuat fondasi bisnis. Tujuannya sangat jelas, memperluas prospek bisnis dan membuka pangsa pasar baru.

Digitalisasi sendiri tidak hanya tentang menjual produk secara online. Lebih dari itu, banyak aspek yang bisa dioptimalkan melalui pendekatan digital, termasuk terkait rantai pasokan, logistik, pemasaran, sampai operasional bisnis.

Di tahun 2015, Deloitte menyurvei 437 pelaku UKM di Indonesia. Mereka berhasil merekam tingkatan digitalisasi yang telah dilakukan pemain UKM. Sebagian besar berada di tahap dasar dan menengah. Umumnya di sini pemanfaatan teknologi baru terbatas pada satu-dua pemrosesan, seperti memanfaatkan online marketplace untuk menjual produk, menggunakan uang elektronik untuk menerima transaksi, atau memanfaatkan media sosial untuk memasarkan layanan.

Tingkatan digitalisasi UKM di Indonesia / Deloitte
Tingkatan digitalisasi UKM di Indonesia / Deloitte

Lantas pertanyaannya, apakah cukup? Jawabannya tentu beragam, nenjurus pada apakah dengan digitalisasi di tingkatan tersebut mereka sudah mencapai tujuan yang diharapkan. Di sisi lain, alat-alat digital yang berkembang juga semakin canggih, memungkinkan UKM melakukan banyak hal. Termasuk membuat proses bisnis menjadi lebih efisien.

Dukungan startup lokal

Tabiat founder startup adalah mencoba menyelesaikan permasalahan dengan inovasi teknologi, termasuk bagi para pelaku UKM. Menurut riset SME Empowerment 2020, DSResearch memetakan berbagai layanan startup lokal yang telah dirilis dan menyasar penyelesaian permasalahan finansial / permodalan, operasional, dan ekspansi.

Bentuknya bermacam-macam. Sebagian besar dibungkus berbentuk SaaS (Software as a Services), online marketplace, dan model keanggotaan lainnya. Jumlahnya cukup banyak dengan tipe platform yang unik dan spesifik.

Platform digital untuk UKM dari startup Indonesia / DSResearch
Platform digital untuk UKM dari startup Indonesia / DSResearch

Ambil contoh untuk penyelesaian masalah finansial. Tidak sedikit pelaku usaha di daerah yang kesulitan mendapatkan akses pinjaman ke perbankan. Bahkan masih banyak juga yang belum memiliki rekening bank. Menurut laporan McKinsey & Company, isu tersebut dialami sekitar 50% dari total pelaku UKM di Indonesia.

Layanan fintech hadir dengan mekanisme yang lebih mudah. Beberapa bahkan sangat unik. Misalnya yang dilakukan platform fintech lending Amartha. Pinjaman disalurkan melalui kelompok-kelompok usaha kecil di tiap daerah. Konsepnya gotong-royong. Saling membantu dan mengingatkan. Skema ini mempermudah proses skoring kredit maupun menekan angka gagal bayar, karena dana dipastikan tepat sasaran dan tepat guna dengan plafon yang sesuai takaran.

Pun demikian yang dilakukan Wahyoo. Mereka memungkinkan pemilik warteg mendapatkan stok bahan dengan harga yang paling efisien, membantu mendatangkan konsumen baru dengan promosi digital, dan memberikan penghasilan tambahan dengan kerja sama iklan tempel di kedai.

Sedangkan Titipku memberdayakan milenial yang akrab dengan smartphone untuk membantu mempromosikan UKM trandisional di sekitarnya.

Pemberdayaan yang lebih optimal

Sejauh ini, digitalisasi di tingkat dasar sudah bisa dikatakan menjangkau banyak kalangan UKM. Hampir setiap bisnis memanfaatkan media sosial, marketplace, dan lain-lain. Tantangan berikutnya hadir. Saat semua berjualan di media sosial dan marketplace, bagaimana pelaku bisa bertahan dan meningkatkan bisnis di tengah persaingan yang ada?

Jawabannya dengan melanjutkan digitalisasi ke tahap berikutnya. Di sisi operasional, misalnya, UKM bisa mulai memanfaatkan alat-alat pencatatan yang memungkinkan mereka mudah mendapatkan analisis dan proyeksi bisnis.

Dengan memanfaatkan aplikasi pencatatan, UKM dapat melihat bagaimana tren bisnisnya dari waktu ke waktu. Pemilik bisnis pun bisa menghasilkan keputusan yang tepat. Untuk seorang penjual pakaian anak, data-data transaksi membantu mereka mengetahu kapan waktu yang tepat untuk melakukan penambahan modal. Dengan analisis data itu pula, mereka bisa menangkap ketertarikan pengguna terhadap produknya, misalnya menjadi preferensi konsumsi segmen tertentu.

Aspek operasional lain juga banyak yang ditransformasi, seperti untuk urusan logistik. Makin banyak varian SaaS yang memudahkan UKM menemukan solusi pengiriman yang tepat. Crewdible, misalnya, memungkinkan UKM memiliki warehouse atau gudang sementara untuk mengefisienkan distribusi produk.

Berbekal data transaksi yang ada, UKM bisa menaruh produk-produknya pada gudang yang disewa di titik tertentu. Misal UKM X memiliki banyak pelanggan di Jawa Timur, maka dengan meletakkan stok produk di Surabaya proses pengiriman bisa menjadi lebih cepat dan murah.

Sinergi yang berkelanjutan

Salah satu sektor ekonomi yang cukup tahan terhadap pandemi Covid-19 adalah pertanian. Sementara laporan bertajuk “Micro and Small Business in Indonesia’s Digital Economy” yang dirilis Asia Pacific Foundation of Canada memaparkan bahwa persentase terbesar UKM di Indonesia adalah di bidang agribisnis.

Sektor-sektor yang digeluti UKM Indonesia / APAC Foundation of Canada Report
Sektor-sektor yang digeluti UKM Indonesia / APAC Foundation of Canada Report

Hal ini bisa jadi fondasi awal untuk mendukung UKM demi menjaga stabilitas perekonomian. Sinergi mutualisme antara startup digital dan pemain di sektor agro terlihat makin kencang di saat pandemi. Berbagai platform digital pivot atau memperkuat bisnis online grocerynya. Beberapa di antaranya menggandeng pengusaha tani di berbagai daerah untuk memasok bahan-bahan segar.

Namun, melihat kondisi umum, pandemi telah memorakporandakan tatanan bisnis di berbagai skala. Dari mikro sampai besar. UKM pun merasakan dampak getir dari krisis akibat virus ini. Menurut survei teranyar yang dilakukan Telkomsel, ada beberapa isu yang makin menjadi gara-gara pandemi. Tiga hal yang paling banyak dikeluhkan adalah penurunan pembeli, penurunan pembelanjaan, dan logistik.

Ragam isu yang dikeluhkan pelaku UKM sebelum dan sesudah krisis / Telkomsel
Ragam isu yang dikeluhkan pelaku UKM sebelum dan sesudah krisis / Telkomsel

Isu-isu baru yang mengemuka bisa menjadi terobosan selanjutnya bagi para inovator. Sinergi antara inovator dan pelaku UKM harus terus dibina melalui pembentukan ekosistem yang sehat. Cita-cita tersebut baru bisa terbentuk jika setiap stakeholder yang terlibat memiliki satu visi membentuk harmoni iklim bisnis yang sehat. Startup digital dan UKM diharapkan untuk tetap menjadi motor penggerak perekonomian menuju perekonomian bangsa yang lebih baik.

Selamat Hari UMKM, mari bersama-sama mendukung UMKM dalam negeri dengan terus berinovasi dan menjadi konsumen yang baik.