Mengenal SehatQ, Platform Pengelola Kesehatan yang Menyasar Keluarga Muda

Indonesia merupakan salah satu pasar strategis untuk industri kesehatan. Mengutip dari data Bappenas, jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia pada 2021 diproyeksi mencapai 45 juta penduduk. Angka ini diperkirakan naik dua kali lipat jadi 85 juta di 2022 dan meningkat jadi 145 juta pada 2030.

Artinya, sekarang adalah momentum yang tepat untuk menyeriusinya karena makin tinggi kemampuan ekonomi seseorang, semakin tinggi pula kesadaran untuk memperbaiki gaya hidupnya. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh SehatQ. Startup ini ikut meramaikan di ranah startup kesehatan di Indonesia sejak November 2018.

Head of Communications SehatQ Aniela Maria menjelaskan, perusahaan datang dari pengalaman pribadi founder-nya itu sendiri, yakni Linda Wijaya. Ketika Linda sudah berkeluarga, dia menyadari kesehatan itu penting dalam keseharian. Selalu ada bagian dari unsur kesehatan yang bisa terus dimaksimalkan. Kesempatan tersebut direalisasikan dengan mendirikan SehatQ.

“Secara bertahap kami akan mengembangkan fitur dengan tujuan akhirnya menjadikan SehatQ sebagai asisten untuk bantu orang mengelola kesehatan pribadi dan keluarga muda. Golongan tersebut adalah target pengguna kita,” terang Aniela kepada DailySocial.

Selaras dengan misinya tersebut, menarik minat Latitude Venture Partners (LVP) untuk gaet SehatQ sebagai proyek binaan pertama. Di luar investasi eksternal yang dilakukan LVP untuk startup yang sudah beroperasi. Linda sendiri merupakan Managing Partner LVP.

Di bawah binaan LVP, SehatQ secara langsung dipantau perkembangannya dan mendapat jaringan yang bisa dimanfaatkan baik dari LVP maupun Grup Sinar Mas. LVP adalah VC yang disiapkan Sinar Mas dengan struktur pendanaan yang berbeda dengan SMDV. LVP bertindak sebagai venture builder dan venture capital.

Penambahan fitur kesehatan secara bertahap

Tim SehatQ / SehatQ
Tim SehatQ / SehatQ

Untuk tahap awal, lanjutnya, SehatQ fokus perbanyak konten kesehatan. Mulai dari artikel kesehatan berbagai topik, ensiklopedia penyakit dan obat-obatan. Secara total ada 1514 direktori artikel, 1115 ensiklopedia penyakit dan obat yang telah diterbitkan.

“Tim konten kami tergolong cukup kuat. Setiap minggunya kami produksi konten hingga 200 artikel lengkap dengan infografis dan data pendukungnya. Ada tim dokter yang bantu kami melihat akurasi konten apakah sudah sesuai atau belum sebelum dipublikasi.”

Berikutnya, perusahaan menambah fitur direktori fasilitas kesehatan berdasarkan lokasi terdekat pengguna. Serta, booking dokter demi permudah pasien membuat janji temu. Untuk masuk ke dalam direktori, perusahaan melakukan sejumlah pengecekan agar dokter yang hadir di SehatQ benar-benar sesuai dengan ketentuan.

Terhitung, SehatQ sudah menampilkan direktori lebih dari 2 ribu dokter dari berbagai spesialisasi di seluruh Indonesia. Diklaim sejak pertama kali situs SehatQ dirilis, telah dikunjungi hingga 1 juta kali per bulannya.

Untuk menuju platform kesehatan yang menyeluruh, rencananya sebelum akhir tahun ini SehatQ akan merilis aplikasi yang sudah dilengkapi dengan fitur telekonsultasi dengan live chat. Menariknya, kata Aniela, fitur ini dapat dimanfaatkan untuk membantu pengguna yang lebih tertarik mengobati diri sendiri dengan obat-obatan yang tersedia di pasaran.

Menurutnya, pangsa pasar orang-orang di kalangan tersebut cukup besar dan ini bisa dimanfaatkan dengan baik oleh SehatQ. Alhasil, dokter tidak dianjurkan untuk membuat resep setiap kali pengguna melakukan live chat. Dia memastikan pangsa pasar ini tidak akan menggantikan lahan dokter yang bertugas di rumah sakit.

“Ada orang yang cenderung berobat dengan herbal, generik, sebelum harus di bawa ke dokter. Namun mereka itu ingin dapat bimbingan dari profesional sebelum mengonsumsinya, agar lebih mendapat kepastian. Itu yang akan kami sasar lewat fitur live chat.”

Seluruh data hasil live chat akan secara otomatis terekam dalam sistem SehatQ dan menjadi catatan medis berbentuk digital. Apabila nantinya dibutuhkan oleh pengguna, mereka dapat langsung memeriksa langsung dari aplikasi.

“Kami akan latih para dokter untuk standarisasi layanannya saat fitur live chat sudah resmi hadir.”

Tak hanya itu perusahaan juga berencana untuk mengintegrasikan sistemnya dengan fasilitas kesehatan dan penyedia jasa kesehatan agar seluruh pengalamannya bisa jauh lebih seamless.

Dia mencontohkan, dari fitur booking dokter yang sudah tersedia sekarang, nantinya ketika sistem terintegrasi antara SehatQ dengan rumah sakit. Pasien bisa mendapat jadwal janji temu yang lebih pasti karena sudah terhubung langsung dengan rumah sakit tempat dokter tersebut praktek. Begitupun dengan penyedia jasa kesehatan, semisal asuransi, proses klaimnya akan lebih seamless.

“Di saat yang bersamaan kami akan mengadakan grand launching, setelah itu kami mulai agresif memasarkan SehatQ untuk menarik banyak pengguna baru,” pungkasnya.

Di Indonesia, selain SehatQ, pemain startup kesehatan lainnya yang sudah lebih dahulu hadir seperti Halodoc, Alodokter, Klikdokter, DokterSehat, Konsula, dan sebagainya.

Platform KaryaKarsa dan Upaya Memberdayakan Pekerja Kreatif

Menjadi tempat bagi para penggemar untuk mengapresiasi karya para kreator, demikian platform KaryaKarsa diperkenalkan. Diprakarsai oleh Ario Tamat, orang yang juga berada di balik Ohdio dan Wooz.in, platform tersebut mengusung semangat “berdaya untuk berkarya”. Cita-citanya, membantu para pengembang konten kreatif untuk tetap berkarya dari apresiasi penggemar dalam bentuk tip atau berlangganan.

KaryaKarsa memiliki konsep yang serupa dengan Patreon, yang sudah berhasil membantu 70 ribu kreator terhubung dengan para penggemarnya. Esensi mereka adalah memudahkan penikmat karya berkontribusi dalam bentuk uang sehingga bisa membantu penghasilan kreator yang mereka gemari.

“Ide mengenai KaryaKarsa sendiri sudah berputar-putar dalam kepala sejak 2 tahun lalu, salah satu ide yang menurut saya perlu dicoba untuk industri musik. Titik awalnya memang mencari cara supaya musisi indie bisa mendapatkan pemasukan tambahan yang bukan sponsor endorsement, manggung atau jual merchandise,” jelas Ario.

KaryaKarsa akan memfasilitasi kreativitas di bidang musik, video, audio, ilustrasi, animasi, hingga pakar di bidang tertentu. Ke depannya Ario berharap bisa mendukung sebanyak mungkin karya, yang terpenting konsisten berproduksi dan memiliki basis penggemar.

“Target penggunanya tentunya adalah kreator dengan basis fans, walaupun tidak menutup kemungkinan untuk kreator yang baru akan membangun basis fans. Kami ingin memberikan cara alternatif untuk kreator untuk menghasilkan uang. Pain points yang ingin kami sasar: kemudahan transaksi yang tidak bergantung pada ‘produksi’ sebuah karya, tapi lebih kepada mendukung hidup yang berkarya. Membentuk sebuah aliran penghasilan yang lebih mudah diprediksi untuk kreator,” jelas Ario.

Kontribusi pendanaan via e-money

KaryaKarsa paham betul teknologi mampu menjadi solusi untuk fondasi inisiatif ini. Platform tersebut memungkinkan kreator untuk membuat akun yang nantinya menjadi jembatan penghubung dengan para penggemarnya. Beberapa fitur yang ditawarkan antara lain keleluasaan mengatur tingkatan pendanaan yang bisa diberikan.

Untuk menjaga interaksi, kreator juga bisa menawarkan konten eksklusif yang hanya bisa diakses melalui KaryaKarsa pada tingkat pendanaan tertentu. Atau bisa menawarkan kegiatan lain seperti jumpa penggemar, mini konser dan interaksi lainnya. Untuk memudahkan proses pendanaan KaryaKarsa memanfaatkan kemudahan yang ditawarkan oleh e-money, seperti Go-Pay dan Ovo.

“Dengan kontribusi melalui tingkatan-tingkatan pendanaan yang diatur oleh kreator, fans dapat menikmati apa pun yang sudah diatur oleh kreator untuk tiap tingkatan tersebut. Menimbang bahwa interaksi antara fans dan kreator itu rentang, jenis dan dinamikanya luas sekali, kami memilih untuk memfokuskan untuk memudahkan transaksi antara fans dan kreator dulu.”

Masih dalam tahap pengembangan

Untuk membangun KaryaKarsa, Ario dibantu oleh Pandji Pragiwaksono dan Aria Rajasa sebagai advisor. Platformnya sendiri saat ini masih dalam tahap riset dan pengembangan dan terus menanti masukan dan usulan dari banyak pihak.

“Untuk saat ini kami ingin fokus riset data dan membangun sistemnya, untuk dapat meluncur di tahun 2019 dengan beberapa kreator. Kami ingin memastikan dengan benar bahwa konsep ini akan sehat, berkembang dan berkesinambungan,” tutup Ario.

Hepicar Sasar Layanan “On Demand” Perawatan Kendaraan

Hepicar merupakan layanan yang dikembangkan untuk memudahkan pengguna memesan jasa perawatan kendaraan, baik motor maupun mobil. Mengawali kiprahnya di Yogyakarta, tahun ini mereka mencoba untuk berkolaborasi dengan startup lain di Yogyakarta dan merencanakan ekspansi.

Ide awal Hepicar dirintis Nurhidayanto dan Yenni Octarina. Keduanya melakukan riset dan mengamati kecenderungan perubahan perilaku konsumen otomotif. Berikutya bergabung Arif Akbarul Huda dan Darmawan sebagai co-founder dengan mengisi posisi CTO dan CMO. Di awal 2019 ini, Hepicar berhasil mengamankan investasi dari investor privat yang rencananya akan digunakan untuk menggenjot penetrasi pasar dan mengakselerasi pertumbuhan.

“Sebagai aplikasi digital on demand service, Hepicar menyediakan beragam varian layanan yang dibutuhkan. Baik saat kondisi darurat maupun sebagai bagian gaya hidup berkendara yang praktis dan simple,” jelas Nurhadiyanto.

Saat ini Hepicar menawarkan beberapa fitur yang didesain untuk memudahkan para penggunanya, termasuk mendatangkan spesialis dari bengkel ke lokasi pengguna untuk melakukan perawatan. Secara total ada 44 varian layanan yang bisa dikerjakan mitra operator yang terlatih dan bersertifikat. Pihak Hepicar juga mengklaim layanan mereka sudah merata di seluruh Yogyakarta dengan harga yang transparan dengan layanan bergaransi.

Pihak Hepicar cukup optimis layanannya bisa diterima di masyarakat dan terus berkembang sebagai salah satu rujukan layanan untuk perawatan kendaran.

Nurhadiyanto menjelaskan, dalam dua bulan ke depan Hepicar akan fokus pada layanan untuk area Yogyakarta. Manajemen juga disebut telah menjalin komitmen kemitraan dengan beberapa tenant untuk saling memberikan nilai tambah layanan, termasuk menjalin kolaborasi dengan startup lainnya di Yogyakarta.

Perusahaan juga berencana mengembangkan layanan di beberapa kota baru, yang saat ini dalam fase pematangan riset.

“Pola layanan seperti ini bukan hal yang baru. Masyarakat sudah cukup teredukasi dengan model on-demand service. Beberapa kompetitor di field ini juga bisa mengindikasikan pasar yang terbentuk. Hepicar hadir menyempurnakan dengan menghadirkan value proposition yang signifikan. Pengalaman para founder Hepicar di field otomotif menjadi keunggulan untuk membentuk produk yang fit bagi pasar. Hasil riset pra-produksi yang dimiliki Hepicar menunjukan pola dan detail demand yang bagus,” imbuh Nurhadiyanto.

Application Information Will Show Up Here

Kedai Sayur Terima Pendanaan Senilai 18,7 Miliar Rupiah, Dipimpin oleh East Ventures

Kedai Sayur pengembang platform teknologi untuk memberdayakan tukang sayur keliling hari ini (27/5) mengumumkan telah mendapatkan pendanaan awal sebesar $1,3 juta atau setara 18,7 miliar Rupiah. Pendanaan ini dipimpin oleh East Ventures. Modal tambahan ini akan difokuskan untuk mempercepat perekrutan pedagang sayur sebagai mitra, sehingga layanan dapat mencakup wilayah yang lebih luas.

“Pedagang sayur keliling kemungkinan sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Menariknya mereka masih bertahan hingga sekarang di lingkungan modern ini, bersanding dengan supermarket dan toko kelontong lainnya yang bertumbuh cepat. Meski demikian pedagang keliling merupakan cara ternyaman bagi konsumennya untuk mendapatkan kebutuhan harian,” ujar Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Willson juga menambahkan bahwa keputusannya untuk berinvestasi di Kedai Sayur didasarkan pada dua hipotesis. Pertama adalah inklusi teknologi untuk pedagang. Dan yang kedua untuk meningkatkan rantai pasokan di Indonesia. Melalui pendekatan teknologi, East Ventures yakin dapat mengakselerasi dua tujuan besar tersebut.

Kedai Sayur didirikan pada tahun 2018 oleh Adrian Hernanto, Ahmad Supriyadi dan Rizki Novian. Misinya adalah untuk memberikan pedagang sayur produk dagangan berkualitas dengan harga terbaik di pasaran. Salah satunya dengan mengefisiensikan proses distribusi bahan sayuran tersebut dari petani ke pedagang.

Caranya Kedai Sayur bekerja sama dengan petani untuk pemilihan produk segar dan distribusi. Tukang sayur yang bergabung sebagai mitra dapat mengakses produk tersebut melalui aplikasi. Selanjutnya produk yang dipesan dapat diambil di Mitra Sayur pada titik drop-off terdekat. Mitra Sayur juga menawarkan kendaraan distribusi baru yang disebut “Si Komo”, pembiayaan dapat dibantu dengan pengajuan ke Kedai Sayur.

“Melalui jaringan kami yang luas dan penggunaan teknologi, kami percaya dapat memberdayakan pasar produk segar dan membuktikan bahwa penduduk ekonomi tingkat mana pun, termasuk tukang sayur, dapat merasakan manfaat dari inklusi teknologi. Kami percaya bahwa misi kami mampu meningkatkan kehidupan para tukang sayur dan membebaskan mereka dari jam kerja yang tidak teratur dan berbagai kesempatan mendapatkan penghasilan tambahan,” ujar Co-Founder & CEO Kedai Sayur Adrian Hernanto.

Saat ini Kedai Sayur sudah memiliki sekitar 2 ribu mitra yang bergabung di area Jakarta. Perusahaan mengklaim pertumbuhan mitra tiap bulan mencapai 60 persen. Adapun produk yang diakomodasi Kedai Sayur meliputi sayuran, lauk-pauk, bumbu, hingga buah-buahan.

Application Information Will Show Up Here

AI Data Labeling Startup Datasaur Announces Seed Round from GDP Ventures

Datasaur, a startup for data labeling, has announced their seed round from GDP Venture. The development of this new service was due to the rise of AI. Behind every AI algorithm are thousands of human-labeled training examples. Organizing and labeling such data today is tedious, time-consuming and expensive.

Datasaur develops smart tools to make labeling more productive and efficient. It emphasizes a policy of privacy and data safety – previously, labeling was often outsourced and data could end up in the wrong hands. Based on the announcement by Datasaur’s Founder & CEO, Ivan Lee, the system will use AI-based models and Natural Language Processing (NLP) to proactively suggest labels and save time.

Project management tools are included for organizing data and assuring accuracy. Labels that do not match previous labels or do not make sense contextually will be submitted to another labeler for verification. In the first phase, Datasaur is focused on text-based data. It has plans to expand to audio in the near future.

“We have secured a seed round of funding. Since announcing last week, several investors have reached out and we are keeping the round open for a select few we think would make for good strategic partners,” the Datasaur team said to DailySocial.

Ivan Lee is the CEO and Founder of Datasaur.ai. He graduated with a Computer Science B.S. from Stanford University in 2009. He took a leave of absence from pursuing his Computer Science Master’s degree to co-found Loki Studios with three other Stanford students. After raising institutional funding and building a profitable game, Loki was acquired by Yahoo in 2013.

Ivan went on to participate in Yahoo’s inaugural Associate Product Manager program. He spent two years as a Product Manager defining and re-building mobile search using artificial intelligence. Ivan went on to serve as VP of Product at GoButler, working to define a new genre of virtual personal assistant. He most recently spent two years working on AI Products at Apple.

He currently lives in Silicon Valley. Aside from thinking about technology and its application to products, he enjoys playing Ultimately Frisbee on warm California days.

“Datasaur is co-located in California and Indonesia. We believe Indonesia’s rich tech ecosystem and abundance of data provide excellent opportunities for us to help out growing startups and established companies working on AI. We are very grateful to be partnering with GDP, a well-connected and respected firm. We see ourselves as a global company from the very start, and are happy to democratize access to AI worldwide,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Pengembang Platform Pelabelan Data AI “Datasaur” Dapatkan Pendanaan Awal dari GDP Venture

Startup pengembang platform data labeling Datasaur menerima pendanaan awal (seed round) dari GDP Venture. Pengembangan layanan ini dilatarbelakangi tren kecerdasan buatan (AI) yang terus meningkat. Di balik setiap algoritma AI ada ribuan pelatihan (mesin) yang umumnya berbasis “human-labeled training”. Mengelola dan memberi label data seperti itu adalah pekerjaan yang sangat membosankan, memakan waktu, dan mahal.

Datasaur mengembangkan alat cerdas untuk membantu pemberi label data bekerja secara lebih produktif dan efisien. Termasuk meningkatkan privasi dan keamanan data – sering kali pekerjaan pelabelan data dilakukan secara outsource. Berdasarkan ulasan yang ditulis Founder & CEO Datasaur Ivan Lee, sistem kerjanya menggunakan pemodelan berbasis AI dan didukung Natural Language Processing (NLP), yang secara proaktif menyarankan label.

Label data yang tidak selaras dengan perilaku pemberian tag sebelumnya atau secara kontekstual tidak pada tempatnya akan disorot untuk diverifikasi. Pengelola proyek dapat mengatur setiap data akan diberi label berapa kali, untuk menjamin tingkat akurasi. Di fase awalnya, layanan Datasaur masih berfokus pada masukan data berbasis teks. Ke depan akan memperluas cakupan pada masukan audio juga.

“Kami telah mendapatkan seed round dari GDP Venture. Sejak diumumkan minggu lalu, beberapa investor telah menghubungi kami, dan kami juga masih membuka partisipasi untuk babak pendanaan ini bagi beberapa orang terpilih, yang kami anggap akan menjadi mitra strategis,” ujar tim Datasaur saat dihubungi DailySocial.

Ivan merupakan lulusan ilmu komputer (B.S.) dari Stanford University. Ia memutuskan untuk mengambil cuti studi masternya untuk mendirikan Loki Studio bersama tiga rekan lulusan Standford lainnya. Di tahun 2013, Loki diakuisisi oleh Yahoo. Pasca akuisisi tersebut, Ivan ditunjuk sebagai Associate Product Manager perdana Yahoo.

Di Yahoo salah satu tanggung jawabnya ialah menyempurnakan platform mobile search dengan AI. Selanjutnya Ivan bekerja sebagai VP of Product di GoButler mengembangkan layanan virtual personal asistant. Sempat bekerja juga dua tahun sebagai AI Product di Apple. Saat ini Ivan tinggal di Silicon Valley untuk mengeksplorasi banyak hal mengenai produk aplikasi dan teknologi.

“Bisnis Datasaur berlokasi di California dan Indonesia. Kami percaya ekosistem teknologi di Indonesia dan berlimpahnya data memberikan peluang bagi kami untuk menumbuhkan startup dan perusahaan yang mengembangkan AI. Kami sangat bersyukur bisa bermitra dengan GDP. Kami memandang diri kami sebagai perusahaan global sejak awal muncul dan dengan senang hati akan mendemokratisasikan akses ke AI di seluruh dunia,” lanjutnya.

Sugar Technology Kembangkan Perangkat Pintar untuk Kebutuhan Gaya Hidup Digital

Sugar Technology merupakan startup lokal yang mengembangkan “everyday lifestyle smart products”, yakni perangkat penunjang kebutuhan sehari-hari yang ditunjang teknologi digital. Saat ini bisnis yang berada di bawah naungan PT Avalon Global Technology tersebut sudah memiliki tiga produk, yakni Smart Padlock, Smart Tumblr dan Mate Fit.

Smart Padlock adalah sebuah gembok dengan pembuka kunci berbasis sidik jari. Bentuknya masih dibuat seperti layaknya gembok biasa, namun memungkinkan pengguna tidak perlu ke mana-mana membawa pintu saat ingin mengunci dan membukanya. Produk ini sudah mulai diperjual-belikan melalui Blibli dan JD.id.

Satu gembok dapat menyimpan 20 record sidik jari untuk orang yang berbeda. Baterai rata-rata dapat bertahan hingga 180 hari, dilengkapi material yang tahan terhadap cuaca panas dan hujan.

“Visi dari kami adalah menciptakan produk yang dapat mempermudah kehidupan semua orang dengan menyediakan everyday lifestyle smart product yang dapat mereka gunakan dengan mudah tetapi juga bermanfaat bagi mereka,” ujar tim Sugar kepada DailySocial.

Produk kedua Sugar adalah Smart Tumblr, yakni tempat minuman yang dilengkapi dengan detektor suhu dan fitur pengingat untuk minum. Sementara produk ketiga mereka adalah Smart Band, jam tangan pintar yang memiliki desain material elegan yang dilengkapi fitur pembayaran, termasuk untuk pembayaran TransJakarta atau MRT. Namun dua produk ini belum mulai dipasarkan.

Tim Sugar Technology
Tim Sugar Technology

Startup ini didirikan oleh Andy G., saat ini untuk operasional mereka masih mengandalkan dana sendiri atau bootstrapping. Tahun 2019 target Sugar mengomersialkan setidaknya 10 produk dengan berbagai varian. Ke depan ada beberapa produk yang akan diluncurkan, misalnya Smart Electric Motor dan Smart Luggage. Diperkirakan akan dikenalkan ke publik di akhir tahun.

Selain Jasa Nebeng, Aplikasi Noompang Fasilitasi Pengiriman Makanan Antarkota

Berawal dari layanan nebeng untuk mahasiswa yang melakukan perjalanan Jakarta-Bandung, Noompang berusaha lebih mendalami potensi bisnisnya. Saat ini mereka menjalankan layanan car-pooling dan food delivery antarkota yang memungkinkan pengguna mengoptimalkan kursi dan bagasi kosong.

“Kami resmi beroperasi bulan Juni 2018. Saat ini kami melayani area Jabodetabek, Bandung, dan Jatinagor dengan lebih dari 10 ribu pengguna terdaftar. Untuk food delivery kami juga sudah aktif di daerah tersebut,” jelas CMO Noompang Afra Sausan.

Konsep tumpangan yang diusung Noompang serupa dengan Ompreng, Tebengan, bahkan GrabHitch.

Noompang didirikan Mirsa Sadikin, Dafi Adinegoro, dan Valdi Rachman. Ketiganya bersama tim didukung oleh pendanaan tahap awal dari salah satu akselerator startup di Indonesia. Ide awalnya mereka berusaha menawarkan layanan yang berpeluang mengubah kursi dan bagasi kosong menjadi sesuatu yang menguntungkan.

“Selama Noompang beroperasi, kami menerima feedback positif dari pengguna. Banyak permintaan dari pengguna untuk memperluas pasar kami agar mereka mendapatkan teman yang searah lebih besar lagi. Mereka juga memiliki kebutuhan untuk mengurangi biaya transportasi sehari-hari mereka. Layanan Noompang Intercity Food Delivery juga diharapkan dapat membantu pengemudi kami dalam mengurangi biaya transportasi melalui bagasi kosong mereka yang diisi dengan makanan dari luar kota,” imbuh Afra.

Menjaga kepercayaan pengguna

Untuk saat ini Noompang memiliki beberapa fitur yang bisa dimanfaatkan pengguna, seperti “Group Chat” untuk berkomunikasi antara pengemudi dan penumpang, fitur “Rutin” untuk mengetahui jadwal rutin perjalanan, fitur “Verifikasi Indentitas” untuk menjaga dan meningkatkan keamanan (verifikasi menggunakan identitas diri seperti SIM dan KTP) dan fitur “Rate and Review” untuk memberikan komentar dan penilaian untuk perjalanan yang mereka tempuh.

Noompang paham betul layanannya bisa tumbuh dan berkembang berkat kepercayaan dari pengguna yang harus dijaga. Usaha yang ditempuh antara lain, setiap pengemudi dan penumpang diwajibkan untuk mengunggah data diri masing-masing untuk diverifikasi oleh tim Noompang.

Untuk memastikan pengemudi dan penumpang aman sampai tujuan, mereka dimungkinkan untuk melakukan background checking masing-masing hingga ulasan profil dari pengguna lain.

“Membangun kepercayaan pengguna saat ini adalah prioritas kami. Kami banyak melakukan inisiatif, berupa fitur yang ada di dalam aplikasi sampai di luar aplikasi, seperti memberikan edukasi megnenai penggunaan Noompang yang baik dan benar kepada pengemudi dan penumpang,” jelas Afra.

Untuk tahun ini Noompang akan fokus pada area yang sudah dilayani sambil terus berusaha untuk menyediakan rute baru dan produk baru. Salah satunya adalah menyempurnakan produk food delivery dengan harapan menghilangkan batasan untuk mencicipi kuliner nusantara.

Application Information Will Show Up Here

Outpost Layanan Coworking & Coliving Space Berbasis di Bali Dapatkan Pendanaan 18,8 Miliar Rupiah

Pengembang layanan coworking dan coliving space Outpost baru saja mengumumkan perolehan pendanaan awal (seed funding) senilai $1,3 juta atau setara dengan 18,8 miliar Rupiah. Putaran pendanaan ini melibatkan tiga investor, yakni EverHaus, Strypes Holdings dan Clarenberg Ventures.

Saat ini Outpost telah memiliki dua unit properti di Bali dan satu unit properti di Phom Penh, Kamboja. Modal yang baru didapat rencananya akan dimanfaatkan untuk ekspansi ke berbagai wilayah lain di Asia Pasifik. Dalam waktu dekat, properti keempat mereka akan segera diluncurkan, dengan lokasi yang masih dirahasiakan.

Pada dasarnya Outpost berdiri karena melihat tren pekerja remote semakin meningkat. Mereka memfasilitasi kebutuhan ruang kerja untuk individu maupun kelompok (startup). Menurut Co-Founder Outpost David Abraham, generasi digital nomad telah banyak mempengaruhi bisnis di semua tingkatan.

“Pekerja dan pengusaha menginginkan alternatif dari gaya hidup perkotaan yang berintensitas tinggi. Mereka ingin terlibat dengan gaya hidup Asia yang beragam dan menarik sembari menyelesaikan pekerjaan,” ujar Abraham.

Peluang tersebut lalu dijadikan Abraham bersama rekannya Bryan Stewart landasan mendirikan Outpost di lokasi yang strategis. Di Bali, ada dua lokasi properti yang disediakan, yakni di kawasan Ubud dengan suasana pegunungan yang sejuk dan di Canggu dengan suasana pantai yang menawan.

Terkait akomodasi, baik untuk coworking dan coliving space disediakan paket harian, mingguan dan bulanan.

“Asia adalah pusat penemuan dan kewirausahaan. Outpost ingin memimpin dalam pengembangan gaya hidup kerja jarak jauh di Asia Pasifik. Kami adalah tim yang berbasis di Asia dengan pandangan global. Terhubung secara dengan komunitas lokal tempat kami beroperasi adalah penting agar bisa berkelanjutan dan menguntungkan di pasar,” tutup Abraham.

The SaaS Platform Developer for Supply Chain “Advotics” Receives Seed Funding of 39 Billion Rupiah Led by East Ventures

The SaaS platform developer for Offline-to-Online Analytics, today (5/14) announces seed funding led by East Ventures. Some investors are involved in this round, but there is no further detail. The amount has reached $2.7 million (around 39 billion Rupiah). It’s to be focused on developing technology and accelerating user growth.

The platform focuses on supply chain business players in making decision based on data. Most of them are still using offline method in managing and tracking sales and distribution. With loads of documents that must be managed manually, they only spend time for routines, not for something strategic.

“Clients can buy solutions that suits their issue, either comprehensive digitization or certain modules. Advotics also provides features on demand, such as productivity apps to monitor in-store employees with geographic tracking system, route and items distribution, offline-to-online marketing, B2B trading, and analytics and business intelligence dashboard for the management team,” Advotics’ Co-Founder & CTO, Hendi Chandi.

Advotics tries to digitize data related to labor, business networks, and the company’s physical asset and products. The main objective is to transform data from trading activities and offline work in field to be a useful data to help management team in making business decision, such as marketing penetration, productivity, and retail sales strategy.

One of Advotics breakthrough is to digitize products through unique identities, such as QR codes printed on product packaging. It’s to help the company track the product location from the first distributor to the consumer, and keep it against fraud.

“The Advotics team managed to solve the issue on supply chain monitoring in Indonesia. Their solution can help companies monitor the movement of labor and its items. The collected data point can be used to understand the heatmap of product distribution and make an efficient supply chain in Indonesia. We welcome the Advotics team to the B2B ecosystem in East Ventures,” East Ventures Managing Partner, Willson Cuaca said.

The Advotics management team consists of three engineers with various background, Boris Sanjaya is an industrial engineer with experience in consulting in Boston Consulting Group (BCG); Hendi Chandi as former software developer senior in Amazon, also a graduate from computer science in University of Washington Seattle; and Jeffry Tani which acquired Ph.D in engineer from MIT.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian