Kiat Menghadapi Perubahan Pola Masyarakat di Tengah Perkembangan Fintech

Salah satu transformasi yang cukup terasa di era digital adalah berubahnya cara orang menggunakan uang. Di kawasan kota, masyarakat Indonesia mulai terbiasa bertransaksi, baik itu berbelanja, makan, atau membayar tagihan, melalui ponsel mereka.

Tanpa mengecilkan fungsinya, uang tunai mulai tergantikan oleh dompet digital. Bahkan kini sebagian besar masyarakat urban tak lagi membayar transportasi online dengan uang tunai. Segala aktivitas dapat dilakukan secara seamless asal terhubung dengan internet.

Di balik kemudahan di atas, tentu ada sebuah proses terjadi. Ada tantangan sulit yang dihadapi sejumlah pelaku bisnis dalam mengubah kebiasaan pengguna memakai layanan keuangan digital. Hal ini karena Indonesia memiliki karakter konsumen yang sudah terbiasa bertransaksi dengan uang fisik.

Di sesi #SelasaStartup kali ini, DailySocial kedatangan CEO Sprint Asia Technology, Setyo Harsono, yang mengulas tentang bagaimana upaya untuk tetap inovatif di tengah persaingan industri fintech, termasuk mengedukasi pasar.

Tetap inovatif dengan tiga hal utama

Tak dapat dimungkiri, industri fintech Indonesia kini semakin bertumbuh dengan semakin bertambahnya pemain. Persaingan semakin kuat, pelaku bisnis berlomba-lomba menawarkan layanan terbaiknya.

Agar dapat bersaing, Setyo mengungkapkan tiga hal utama yang sekiranya dapat menjadi guidance untuk masuk ke industri fintech. Pertama, pastikan bahwa kita memiliki expertise di bidang yang ingin dimasuki. Jangan sampai masuk ke bisnis ini apabila tidak berpengalaman di bidangnya.

Kedua, jangan sampai pelaku bisnis terlalu habis-habisan dalam memanfaatkan teknologi sehingga melampaui batas. “Teknologi itu menjadi guardian, kita bisa (kembangkan layanan) dari ujung ke ujung, tetapi kita masih punya etika untuk tidak melakukannya,” ungkap Setyo.

Terakhir, pelaku bisnis perlu menghargai nilai dari sebuah joint-effort karena dalam industri ini pesaing bisnis bisa saja menjadi mitra kolaborasi di masa depan.

Mengubah kebiasaan adalah tantangan, perlu edukasi bersama

Bagi Setyo, tantangan terbesar dalam mengembangkan layanan keuangan digital adalah mengubah kebiasaan konsumen. Transisi dari penggunaan uang tunai ke digital akan terasa sulit bagi pasar di Indonesia, mengingat pasar kita terbiasa dilayani.

“Mengubah kebiasaan adalah sesuatu yang sulit di Indonesia karena kita tidak terbiasa dengan budaya self-service. Konsumen Indonesia terbiasa dilayani. Artinya, sesuatu yang baru pasti tantangannya terletak pada habit,” tuturnya.

Dalam kasus ini, ia menilai perlunya edukasi berkelanjutan secara bersama-sama oleh para pemangku kepentingan (stakeholder) agar adopsinya menjadi lebih cepat.

Ia mencontohkan saat ATM pertama kali keluar, tak banyak penggunanya karena satu pemain saja yang menyediakan. Apabila semua bank termasuk pemerintah ikut mengedukasi bersama-sama, adopsinya akan lebih mudah.

“Mengubah kebiasaan menggunakan uang tunai berarti menghadirkan kebiasaan baru. Para pemangku kepentingan harus mengadopsi bisnis model baru, selain terlalu memanjakan konsumen.”

Sprint Asia merupakan perusahaan yang menawarkan solusi perbankan berbasis TIK. Hingga tahun 2012, barulah perusahaan masuk ke bisnis payment gateway, salah satunya lewat produk Bayarind. Sejak dua tahun lalu, Bayarind masih menanti lisensi e-wallet dari Bank Indonesia.

Monk’s Hill: Sektor Logistik dan E-commerce Mendominasi Investasi Startup Asia Tenggara

Bisnis e-commerce dan logistik dapat dikatakan tumbuh subur di Asia Tenggara. Dalam survei terbaru The State of Southeast Asia Tech Report 2018 yang dirilis Monk’s Hill Ventures, e-commerce dan logistik menjadi dua sektor emas yang menopang ekonomi digital di Asia Tenggara.

Bukti bahwa bisnis e-commerce dan logistik merajai industri startup di kawasan ini terlihat dari kencangnya kucuran pendanaan dari pemodal ventura (VC). Laporan mengungkap pendanaan selama tiga kuartal di sepanjang 2017 mengalir ke startup eCommerce dan logistik.

Menariknya, dominasi pendanaan  disumbang mega investasi yang diterima layanan Grab dan Tokopedia. Kedua startup asal Singapura dan Indonesia ini memecahkan rekor peraihan dana terbesar dari VC yang pernah ada di sektor logistik dan e-commerce.

“Secara kolektif, Grab dan Tokopedia mengantongi $3,1 miliar atau dua pertiga dari total pendanaan dalam dolar AS yang pernah disuntik ke sejumlah startup e-commerce dan logistik di Asia Tenggara,” demikian menurut laporan ini.

Di sepanjang 2017, logistik (dan transportasi) menjadi sektor yang meraih pendanaan tertinggi di Asia Tenggara dengan mengantongi sebesar $2,7 miliar, sedangkan e-commerce sebesar $2,1 miliar.

Pendanaan lainnya diperoleh dari sektor gaming ($557 juta), business and industry ($340 juta), recreation ($233 juta), information and technology/IT ($188 juta), tours ($153 juta), shopping ($122), financial services ($107 juta), dan mobile platform ($105 juta).

Namun bagi VC, cryptocurrency atau mata uang virtual paling menarik perhatian dalam beberapa tahun terakhir. Popularitas produk blockchain ini belakangan tampaknya cukup menghipnotis banyak VC untuk mendanai Initial Coin Offerings (ICO).

“Yang menjadi primadona di kalangan VC belakangan ini justru cryptocurrency sehingga memicu banyaknya aksi ICO di Asia Tenggara,” ungkap survei ini.

Investasi ICO di 2017 didominasi Singapura oleh Quoine, TenX, dan Kyber Network dengan pendanaan masing-masing sebesar $105 juta, $80 juta, dan $60 juta. Banyaknya ICO di Singapura juga turut dipicu oleh pelaku ICO lain yang tak bisa melakukannya di Tiongkok dan Korea Selatan karena kebijakan ketat.

Secara keseluruhan, pendanaan startup di Asia Tenggara sepanjang 2017 telah mencapai $415,2 miliar (sekitar Rp 6,1 triliun). Sementara pendanaan yang mengalir di 2018 (per Juni) baru mencapai $53,8 juta (Rp 797,1 miliar).

The State of Southeast Asia Tech Report 2018 mengulas tentang overview ekosistem teknologi enam negara di Asia Tenggara, antara lain Singapura, Indonesia, Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Thailand. Sebanyak 100 koresponden berpartisipasi dalam survei ini, mulai dari pelaku startup, investor, VC, hingga enterpreneur.

Sorotan utama industri startup Asia Tenggara

Laporan ini juga merangkum sejumlah kesepakatan strategis yang mendorong pertumbuhan luar biasa industri startup di Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir. Sepanjang 2017 menyoroti sejumlah aktivitas strategis dari para investor, VC, dan pelaku startup, baik dari sisi pendanaan, ekspansi, maupun akuisisi.

Misalnya, Tokopedia meraup pendanaan sebesar $1,1 miliar di 2017. Kemudian Bukalapak menjadi unicorn ketujuh di Asia Tenggara dengan valuasi $1 miliar menyusul rekanan startup Indonesia yang sudah lebih dulu, yakni Go-Jek ($5 miliar), Tokopedia (undisclosed, pendanaan $1,3 miliar di Agustus 2018 melampaui valuasi sebelumnya $1 miliar), dan Traveloka ($2 miliar).

Sorotan lainnya adalah investasi $1,5 miliar yang diterima Go-Jek untuk mendanai ekspansinya ke Vietnam, Thailand, Singapura, dan Filipina. Di luar Indonesia, Uber angkat kaki dari Asia dan diakuisisi oleh Grab, dan investasi terbesar sepanjang sejarah pendanaan di Asia Tenggara, yakni $2 miliar dari Didi Chuxing dan Softbank kepada Grab.

Mengacu pada pertumbuhannya, para koresponden mengaku optimistis dengan pertumbuhan ekosistem startup di Asia Tenggara dalam 1-2 tahun terakhir meskipun ada perbedaan persepektif terhadap tren pertumbuhan industri startup di keenam negara tersebut.

“Indonesia, Vietnam, Singapura, dan Malaysia adalah negara di kawasan Asia Tenggara di mana pertumbuhan di industri teknologi terjadi. Sementara sektor yang berpotensi tumbuh itu perbankan, finance services, fintech, eCommerce, dan IoT,” ungkap Head of Funding Ecosystem MDEC Balasubramaniam dalam laporannya.

Bagi VC dan investor, mereka meyakini akan ada peluang pertumbuhan signifikan di Indonesia, sedangkan para founder startup optimistis dengan pasar Vietnam. Demikian juga di negara lainnya, termasuk Thailand, yang dinilai punya peluang besar bagi community builder.

Mendorong Startup Melantai di Bursa Saham

Indonesia saat ini memiliki empat startup teknologi yang memiliki valuasi di atas satu miliar dollar (lebih dari 14 triliun Rupiah menurut kurs hari ini). Mereka adalah Go-Jek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak. Meskipun demikian, keempatnya belum ada yang go public di bursa saham, khususnya Bursa Efek Indonesia.

Jagartha Advisors, sebuah layanan independent wealth management melihat hal ini didorong beberapa faktor.

Peraturan masih ketat

Saat ini tercatat baru tiga startup yang didominasi dari kalangan fintech yang sudah melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia. Mereka adalah Kios, MCash dan NFC Indonesia. Meskipun sudah banyak startup di Indonesia yang memiliki potensi untuk melakukan IPO, namun masih ketatnya peraturan dari BEI dan OJK, menyulitkan mereka untuk melakukan IPO di bursa efek.

“Saya melihat salah satu alasan rendahnya minat startup untuk melantai adalah karena saat ini Indonesia masih mengacu kepada dua papan, yaitu papan utama (mainboard) dan papan pengembangan (development). Untuk papan utama persyaratannya cukup sulit untuk bisa dipenuhi oleh startup yang terbilang masih kecil skala perusahaannya,” kata Co-Founder dan Managing Partner Jagartha Advisors Ari Adil.

Ketiga startup yang sudah masuk dalam bursa tersebut saat ini juga masih tergolong dalam papan pengembangan dan belum bisa terdaftar di papan utama. Untuk itu Ari melihat, rencana bursa untuk melihat kembali peraturan yang ada dan rencana untuk menerbitkan papan akselerasi menjadi solusi yang tepat untuk startup dan UKM.

Sebagai informasi, performa saham Kioson dan M Cash cukup memuaskan sejak mereka melakukan IPO akhir tahun lalu. Kapitalisasi pasar kedua perusahaan kini sudah di atas 2 triliun Rupiah.

Co-Founder dan Managing Partner Jagartha Advisors Ari Adil
Co-Founder dan Managing Partner Jagartha Advisors Ari Adil

“Manajemen Bursa Efek Indonesia (BEI) mengatakan akan membuka satu papan akselerasi bagi emiten mungkin sekitar akhir tahun 2018. Jika nantinya diluncurkan, startup bisa mendapatkan tambahan modal alternatif dari IPO tersebut,” kata Ari.

Saat ini fenomena sharing economy yang ditawarkan oleh startup “Unicorn” di Indonesia disinyalir menjadi faktor pemicu utama masuknya dana investasi asing yang fantastis. Baik GO-JEK, Tokopedia, Bukalapak, maupun Traveloka memaksimalkan konsep one stop solution dalam satu aplikasi. Menurut Ari, mereka (startup unicorn) tidak memiliki aset seperti perusahaan konvensional pada umumnya.

“Startup tersebut menyediakan aplikasi yang bermanfaat bukan hanya bagi pengguna tetapi bagi mereka yang memiliki aset seperti motor, mobil, produk, dan kehadiran startup ini mampu menjembatani gap di antara ini,” kata Ari.

Investor lokal harus jadi “raja”

Maraknya investor asing yang mendanai banyak startup di Indonesia merupakan hal yang positif untuk mempercepat pertumbuhan startup. Namun demikian, fenomena tersebut belum diimbangi dengan jumlah investor lokal dari venture capital hingga kalangan individu untuk berinvestasi. Hal tersebut yang menurut Ari, kurang untuk dikembangkan potensinya untuk investor lokal.

“Saya melihatnya sebenarnya orang Indonesia ingin berinvestasi di GO-JEK atau Traveloka, namun selama ini belum ada pasar atau peluang untuk melakukan kegiatan tersebut. Dengan adanya papan akselerasi untuk startup, merupakan akses untuk masyarakat Indonesia berinvestasi di startup indonesia melalui IPO,” kata Ari.

Masalah akses tersebut yang masih menjadi penghambat kegiatan melakukan investasi. Peluang bagi para investor lokal untuk berinvestasi pada startup unicorn Indonesia masih tersedia. Terlebih jika startup tersebut memutuskan untuk melantai di bursa saham Indonesia. Peran, dukungan, dan kolaborasi dari banyak pihak termasuk swasta dan pemerintah sangat dibutuhkan guna mencetak investor lokal yang menjadi “raja” sepenuhnya bagi startup-startup unicorn asal Indonesia.

Automo Kantongi Pendanaan Tahap Awal, Kuatkan Bisnis Sewa Kendaraan Mewah di Indonesia

Setelah meluncurkan layanan di Jakarta, platform penyewaan kendaraan mewah Automo baru saja mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal (seed funding) senilai 1 miliar Rupiah dari Startup SG. Startup berbasis di Singapura yang didirikan Charles Lin tersebut juga berhasil mendapatkan grant dari Enterprise Singapore senilai 300 juta Rupiah.

Selain pendanaan, Automo juga mengumumkan ekspansi di tiga kota baru meliputi Yogyakarta, Bandung, dan Bali.

“Saat ini selain Jakarta, Automo telah hadir di tiga kota wisata populer di Indonesia. Berawal dari Jakarta, kami masih fokus mengembangkan tim, dan berencana untuk menambah kota-kota baru lainnya,” kata Charles.

Automo juga berencana menambah varian layanan transportasi wisata untuk kelas menengah ke atas, di antaranya adalah jet pribadi, helikopter, dan yacht.

“Kami juga telah menjalin kemitraan dengan Transwisata dan CeoJetset untuk menambah pilihan penyewaan transportasi premium wisatawan. Sementara itu untuk mobil kami juga menambah pilihan merek internasional seperti Mercedes S Class, Rolls Royce, hingga Limousine,” kata Charles.

Khusus untuk kota wisata paling favorit di Indonesia yaitu Bali, Automo juga menyediakan penyewaan transportasi sepeda motor. Menyesuaikan kebiasaan dan kebutuhan dari wisatawan asing hingga lokal yang berkunjung ke pulau Bali.

Rencana dan target Automo

Untuk pembayaran Automo masih menyediakan pilihan kartu kredit saja. Namun demikian untuk menambah pilihan pembayaran kepada pengguna, Automo saat ini tengah membangun perusahaan lokal (PT), agar nantinya bisa terintegrasi dengan penyedia pembayaran lokal di Indonesia. Rencananya akan final akhir tahun 2018.

“Selain bank transfer kami juga berencana untuk menyediakan pilihan pembayaran cicilan kepada pelanggan,” kata Charles.

Selain menambah lokasi baru di kota-kota wisata populer, Automo juga masih terus mengembangkan teknologi di Singapura. Automo juga masih terus melakukan negosiasi dan perbincangan dengan hotel dan agen travel untuk bisa menghubungkan layanan Automo kepada wisatawan asing dan lokal.

“Kita masih terus menambah kemitraan dengan vendor di Singapura dan Indonesia. Salah satu contoh adalah pelanggan CeoJetset yang menyewa pesawat dari Jakarta ke Bali, mereka juga bisa menyewa mobil Mercedes S Class di Bali melalui Automo dengan CeoJetset sebagai vendor mitra. Nantinya mitra akan menerima referral fee,” kata Charles.

Dengan demikian secara langsung Automo ingin mengajak lebih banyak mitra untuk menyediakan pilihan penyewaan dan bisa dimonetisasi langsung oleh mitra terkait. Hal tersebut juga berlaku untuk semua agen travel di Bali.

“Saat ini secara keseluruhan kami telah memiliki sekitar 50 mitra vendor di Indonesia demikian juga di Singapura,” tutup Charles.

Kolaborasi Startup dan Korporasi Bisa Buka Peluang Baru

Tren bekerja di startup kini memang tengah naik daun di Indonesia. Startup bahkan menjadi salah satu pilihan utama untuk berkarier bagi anak muda masa kini. Sebut saja Go-Jek dan Tokopedia yang kini telah menjadi salah satu tujuan utama.

Ada banyak privilege yang dapat dinikmati saat bekerja di startup dibandingkan di korporasi. Selain fleksibel, startup juga membuka banyak peluang dan kreativitas untuk bisa menciptakan solusi atas berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Kendati demikian, baik startup dan korporasi juga memiliki tantangannya masing-masing. Bagi startup, tantangan untuk masuk ke pasar dirasa sulit karena berbagai keterbatasan. Sedangkan korporasi juga dituntut untuk selalu berinovasi dan mengikuti tren bisnis yang terus berubah.

Lalu, apa yang menjadi benang merah bagi keduanya?

Pada diskusi bertajuk “The Possibility of Collaboration Between Established Company and Startup”, CEO Bizcom Indonesia, Sendra Wong, mengungkapkan bahwa kolaborasi antara startup dan korporasi sangat diperlukan saat ini. Para pelaku bisnis perlu melihat kolaborasi sebagai perspektif baru dalam mendorong perusahaannya.

“Bekerja di startup dan korporasi sama-sama punya tantangan. Kalau berkolaborasi, keduanya bisa saling melengkapi dan memperoleh keuntungan,” ujar Sendra ditemui saat diskusi di Investor Gathering ke-17 yang dihelat Bizcom Indonesia di Jakarta, Kamis (26/7/).

Bentuk kolaborasi ini dapat mengacu pada keuntungan bersama atau mutual benefit. Ia mencontohkan bagaimana akhirnya transportasi konvensional berkolaborasi dengan penyedia layanan ride-sharing setelah sebelumnya sempat berkonflik panjang.

Lewat kolaborasi, startup penyedia ride-sharing dapat memperoleh keuntungan dari sisi reputasi hingga data milik perusahaan transportasi konvensional. Sebaliknya, perusahaan konvensional dapat memanfaatkan teknologi startup untuk mengoptimalkan bisnis mereka.

Lebih lanjut, sebetulnya ada banyak opsi bagi perusahaan korporasi untuk meningkatkan bisnisnya, misalnya merger atau akuisisi perusahaan lain sebagai strategi tepat ketimbang harus membentuk perusahaan baru dari nol.

Namun, Direksi Holding Jababeka Group, Sutedja Sidarta Darmono justru menilai berkolaborasi dengan startup membuka potensi lebih besar ketimbang memilih strategi merger atau akuisisi. Selain lebih efisien karena menghemat biaya, kolaborasi ini dapat menciptakan ekosistem baru.

“Contoh saja, kami sedang membangun township, banyak effort yang kami taruh pada proyek ini dengan high technology. Tapi ini bisa jadi ekosistem bagus untuk startup, karena bisa berkolaborasi dan mereka bisa berkembang,” ungkapnya pada kesempatan sama.

Menurut Division Head E2Pay, Ariyo Nugroho, kolaborasi ini dapat menguntungkan startup dari sisi SDM. Pasalnya, korporasi memiliki sumber daya manusia (SDM) dan modal yang lebih memadai.

“Sebagai startup, kita sebetulnya tidak punya luxury seperti perusahaan. Kita bahkan tidak bisa compete dengan salary. Ini menekankan pentingnya kolaborasi,” ujar Ariyo.

Sementara, Principal Alpha JWC, Erika Dianasari menambahkan, ketimbang menggunakan strategi build or buy, kolaborasi bisa menjadi langkah krusial bagi bisnis meski akan ada banyak distraksi.

“Bagi saya, talent atau human capital itu penting dan jadi aset bagi perusahaan. Startup pasti menemui challenge dan task untuk bisa menguasai pasar. Kolaborasi antar SDM bisa saling menguntungkan dan menghasilkan karya yang bagus.”

Layanan Healthtech di Asia Berkembang Pesat, di Indonesia Belum Signifikan

Salah satu vertikal startup yang diprediksi bakal mengalami perkembangan adalah healthtech. Dalam survei Gallen Growth Asia dilaporkan beberapa tren perkembangan layanan healthtech, mulai dari kategori, pendanaan, hingga sebarannya di wilayah Asia Pasifik.

Asia ekosistem terbesar untuk healthtech

Meskipun mengalami pertumbuhan yang cukup baik sepanjang tahun 2017, dalam laporan terungkap, bahwa tahun 2018 diprediksikan menjadi puncak perkembangan healthtech di Asia Pacific. Kaitannya dengan investasi, nilainya sudah mencapai $3.3 miliar pada paruh pertama 2018.

Jumlah tersebut juga menempatkan Asia di peringkat kedua dalam hal ekosistem terbesar dari sudut nilai transaksi. Meski nilai transaksi di tahun 2018 menurun jumlahnya hingga 32% dibandingkan tahun 2017. Hingga saat ini Tiongkok dan India masih mendominasi lanskap healthtech di Asia.

Investasi healthtech di negara Asia / Galen Growth Asia
Investasi healthtech di negara Asia / Galen Growth Asia

Sementara itu negara di Asia lain yang tercatat merupakan pasar terbaik adalah Singapura (11%), Jepang (8%), dan Australia (8%). Sebagai negara hub di Asia, Singapura terus menunjukkan potensi sebagai lokasi yang menarik untuk investor. Hal ini dikarenakan jelasnya kerangka hukum yang mengatur proses pendanaan tersebut, stabilitas ekonomi serta insentif yang diberikan oleh pemerintah.

Kategori layanan healthtech

Kategori layanan healthtech di Asia / Galen Growth Asia
Kategori layanan healthtech di Asia / Galen Growth Asia

Dalam riset tersebut disebutkan sedikitnya ada enam kategori healthtech yang paling banyak diminati. Di antaranya adalah layanan penelitian kesehatan (14 investasi), online marketplace (12 investasi), genomics dan aplikasi terkait (12 investasi), data dan analisis medis (10 investasi), IoT (5 investasi) hingga diagnosis kesehatan (3 investasi).

Dari survei tersebut dapat disimpulkan, kategori yang paling dominan mencerminkan perubahan yang mulai banyak terjadi di kalangan masyarakat yang mulai terbiasa melakukan pembelian hingga pemesanan secara online.

Posisi healthtech Indonesia

Dalam hasil survei tersebut juga disebutkan Indonesia termasuk negara di Asia yang mendapatkan deal investasi, namun tidak mendapat sorotan signifikan jika dibandingkan dengan nilai total yang ada. Secara keseluruhan pada paruh pertama tahun 2018 tercatat dana investasi untuk layanan healthtech di Asia senilai $109 juta. Jumlah ini menurun dibandingkan dengan paruh pertama tahun 2017.

Perkembangan nilai investasi healthtech di Asia / Galen Growth Asia
Perkembangan nilai investasi healthtech di Asia / Galen Growth Asia

Terkait dengan share volume berdasarkan pasar selama paruh pertama 2018, Indonesia berada di posisi terakhir bersama dengan Filipina. Jumlah ini menurun dibanding tahun 2017, sebelumnya Indonesia memiliki persentase 7%.

 

Persentase pertumbuhan healthtech di Asia / Galen Growtch Asia
Persentase pertumbuhan healthtech di Asia / Galen Growtch Asia

Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang mulai menunjukkan pertumbuhan layanan kesehatan digital. Persebaran layanan kesehatan yang kurang optimal membuka potensi healthtech untuk berbaur dengan vertikal industri yang sudah ada. Besarnya jumlah populasi juga menjadikan Indonesia negara yang potensial untuk layanan healthtech.

 

Ekosistem layanan healthtech di negara Asia / Galen Growth Asia
Ekosistem layanan healthtech di negara Asia / Galen Growth Asia

Dalam riset tersebut disebutkan, Indonesia dengan inovasi lokal yang mulai marak bermunculan, memiliki peluang untuk berkembang sebagai inovator untuk layanan kesehatan digital. Saat ini tercatat terdapat sekitar 10 layanan kesehatan digital yang beroperasi di Indonesia, mulai dari Halodoc, Konsula, Alodokter, Dokter.id dan masih banyak lagi.

Natali Ardianto Resmi Bergabung sebagai CTO EmasDigi

Setelah hengkang dari posisi terdahulu sebagai salah satu Pendiri dan CTO Tiket.com, Natali Ardianto hari ini resmi menempati posisi baru sebagai CTO EmasDigi, sebuah startup yang fokus pada layanan jual beli emas secara online.

Kepada DailySocial, perwakilan EmasDigi membenarkan kabar tersebut dan menyebutkan hari ini (25/06) Natali Ardianto sudah mulai bekerja. DailySocial juga telah mengirimkan pertanyaan langsung ke Natali terkait dengan posisi barunya dan belum mendapatkan jawaban.

Saat ini posisi Natali Ardianto di Tiket telah digantikan Daniel Armanto.

Sebelum ikut mendirikan Tiket.com, Natali juga sempat membangun dua startup, yaitu Golfnesia dan Urbanesia.

Application Information Will Show Up Here

Nodeflux Bergabung dengan Portofolio Investasi East Ventures

Bertujuan untuk mempercepat misi meningkatkan bisnis melalui penelitian serta pengembangan produk berbasis computer vision dan deep learning, hari ini (06/5) Nodeflux mengumumkan telah resmi bergabung dalam portofolio investasi East Ventures​. Tidak ada informasi spesifik yang disampaikan mengenai pendanaan yang diberikan. Sebelumnya Nodeflux juga telah mendapatkan pendanaan awal dari pengembang platform smart city Qlue.

East Ventures yang fokus kepada pendanaan tahap awal startup menyambut baik masuknya Nodeflux dalam portofolio mereka. Intelligent video analytics yang dapat diimplementasikan ke berbagai sumber, baik itu CCTV, webcam, telepon, kamera, dan lain sebagainya, ke depannya dinilai memiliki potensi yang besar.

“Populasi Internet Indonesia menghasilkan data yang sangat besar dan membutuhkan otak untuk mengelola informasi dan mengekstrak nilai mereka. Nodeflux berhasil melakukannya. Mereka mengatur dan mengekstrak informasi dari gambar dan video, kemudian melatih mesin untuk dapat menyelesaikan masalah lintas sektor. Kami sangat senang dapat mendukung Meidy dan timnya untuk menjadikan teknologi AI di Indonesia dapat berkembang dan diaplikasikan,” ujar Managing Partner East Ventures, Willson Cuaca.

Menambah kemitraan dengan pemerintahan dan bisnis

Selanjutnya Nodeflux akan memperdalam teknologi sekaligus menambah kemitraan dengan bisnis hingga pemerintahan. Di antaranya adalah dengan pemerintah dari beberapa kota besar, yang menekankan konsep smart city, seperti Jakarta dan Bandung, untuk membuktikan teknologi mereka pada CCTV di seluruh kota. Selain itu, Nodeflux juga bekerja sama dengan Badan Kepolisian Indonesia untuk meningkatkan sistem operasional kepolisian.

“Sejak awal ketika kami membangun Nodeflux, kami melihat bahwa intelligent video analytics dapat menyelesaikan berbagai masalah di masyarakat. Kami yakin pendekatan ini akan banyak mengubah cara klien dalam memantau, mengukur, dan memahami lingkungan sekitar mereka,” kata CEO Nodeflux Meidy Fitranto..

Nodeflux juga merupakan perusahaan Indonesia pertama yang bergabung dengan program Nvidia Inception Program dari Nvidia, produsen GPU terkemuka di dunia. Nodeflux memiliki keunggulan dengan mempelajari teknologi ini lebih awal, masuk ke pasar terlebih dahulu dan mendapat dukungan besar dari Nvidia dalam mengembangkan teknologi yang mampu memenuhi permintaan terbaru dari klien.

Saat ini Nvidia dan Nodeflux tengah dalam proses untuk meningkatkan kemitraan mereka lebih lanjut agar dapat memberikan fleksibilitas yang lebih banyak dan membantu Nodeflux dalam menjangkau pasar global.

“Kami bukan hanya merupakan pemain pertama dan satu-satunya yang menyediakan solusi intelligent video analytics di Indonesia. Lebih dari pada itu, kami dapat dengan bangga mengatakan bahwa Nodeflux, produk yang kami kembangkan sendiri, mampu bersaing secara hebat dengan perusahaan teknologi asing dari Jepang, Israel, Singapura, Tiongkok, dan lainnya di pasar Indonesia dari segi kemajuan teknologi,” kata Meidy.

 

Ingin Pertemukan Startup dengan Investor Global, NextICorn International Summit Akan Digelar

Bertujuan untuk mempertemukan startup Indonesia dengan investor global, kegiatan NextICorn International Summit akan digelar tanggal 9-10 Mei 2018 mendatang di Bali. Acara ini diinisiasi oleh Kominfo bekerja sama dengan Amvesindo dan Global Consulting Ernst & Young.

Dalam acara tersebut, penyelenggara bakal mengundang investor global untuk hadir dan menemui startup terpilih. Chief Coordinator NextICorn Promotion Roadshow Calendar Donald Wihardja mengungkapkan, melalui kegiatan ini diharapkan bisa lebih mempromosikan Indonesia sebagai “digital paradise”.

“Kita perkenalkan Indonesia itu sebagai digital paradise, tempatnya bukan cuma bagus tapi pemerintah juga menyambut baik untuk digital initiative ini. Kita masyarakatnya juga sudah matang secara global, mahir pakai fintech, aplikasi, sehingga dapat menciptakan unicorn yang statusnya didapat hanya dengan customer di Indonesia,” kata Donald.

Donald menambahkan kegiatan ini bisa menjadi kesempatan yang baik untuk startup yang saat ini sudah memasuki tahapan pendanaan berikutnya dan masih kesulitan melakukan fundraising, usai mendapatkan pendanaan pra-seri A dan seri A.

Dari 70 startup terpilih nantinya akan melalui proses kurasi, berdasarkan kesiapan dari startup tersebut soal pendanaan. Proses kurasi dilaksanakan oleh Kominfo bekerja sama dengan Global Consulting Ernst & Young. Tujuan kurasi untuk membantu startup menyusun resume singkat dalam satu halaman mengenai gambaran serta model bisnis.

“Kita telah susun compendium atau booklet yang berisi informasi tentang startup tersebut sesuai dengan standar kebutuhan investor. Informasi yang disusun dalam compedium tersebut di antaranya model bisnis, kategori, proses, perkembangan terakhir startup tersebut, keadaan keuangan, serta potensi ke depannya,” kata Deputy to the Chairman for NextICorn Strategy Formulation Coordination Lis Sutjiati.

Dihadiri CEO dari startup unicorn Indonesia

Dalam acara tersebut rencananya turut hadir pendiri dari empat startup unicorn di Indonesia. Di antaranya adalah Nadiem Makarim (CEO & Founder Go-Jek), Ferry Unardi (CEO & Co-Founder Traveloka), William Tanuwijaya (CEO & Co-Founder Tokopedia) dan Achmad Zaky (CEO & Founder Bukalapak). Di hadapan pendiri startup lainnya serta investor, mereka nantinya akan memberikan presentasi dan mengisi sharing session dalam “Lane of Fame of Indonesian Unicorns.”

Pembicara internasional lain yang rencananya akan menghadiri acara tersebut dari ASEAN E-Sports Pioneer Nick Nash dan Eduardo Saverin yang merupakan salah satu pendiri Facebook.

“Ini pertama di dunia, ada negara punya program khusus untuk kolaborasi semua ekosistem dunia untuk bertemu VC dunia. Memang masih panjang jalannya, tapi kalau sudah ketemu, akan ada proses. Ini pemerintah sebagai proses akselerasi agar investor-investor dunia yang bisa menelurkan unicorn, ketemu dengan startup Indonesia,” kata Lis Sutjiati.

Google Bikin Startup Game Bernama Arcade?

Google dilaporkan secara diam-diam sedang membangun startup social-game yang dinahkodai oleh seorang pemuda jenius berusia 21 tahun yang pernah bekerja di jejaring sosial, Facebook.

Disebut dengan “Arcade,” startup ini dipimpin oleh Michael Sayman yang disebut pernah menjadi bagian dari Facebook pada usia 17 tahun dan merancang aplikasi Lifestage. Keluar dari Facebook, Sayman kemudian berlabuh ke Google untuk menjadi manajer produk di Google Assistant sebelum beralih ke Area 120, divisi khusus yang didedikasikan untuk mengembangkan ide-ide baru.

Dikutip dari Bloomberg, game yang dihasilkan oleh Arcade nantinya tidak akan terhubung ke jaringan sosial apa pun, baik Facebook ataupun Google Plus. Sebagai gantinya, pengguna diwajibkan memakai nomor seluler untuk membuat akun, persis seperti yang diterapkan oleh WhatsApp. Google sendiri sudah mengonfirmasi keberadaan Arcade kepada Bloomberg tetapi tidak mengungkapkan informasi lebih lengkap selain soal “fokusnya pada permainan mobile bersama teman-teman”.

Google sudah beberapa kali mengalami kegagalan dalam mengembangkan layanan media sosial. Google Plus adalah yang terakhir, tapi sebelum itu ada nama-nama lain yang mungkin familiar di telinga Anda, sebut saja Orkut, Dodgeball, Latitude, Google Lively dan Google Buzz. Jadi, mencoba konsep berbeda tanpa melibatkan integrasi akun ataupun ekosistem layanan mereka, sepertinya memang layak untuk dicoba.

Google sepertinya meyakini bahwa sebuah game, saat mencapai puncak popularitasnya, maka secara otomatis ia ia akan membentuk media sosial dalam bentuk lain namun dengan loyalitas yang tinggi. Jika mampu membentuk komunitas ini, Google tinggal mencari cara untuk membuat pengguna terpikat pada produk-produknya, terutama dari kawula muda.

Sumber berita Theverge dan gambar header Vougaorengel.