Primeskills Hadirkan Platform Edtech Berbasis “Extended Reality” dan Gamifikasi

Perkembangan teknologi telah menciptakan transformasi di berbagai sektor, salah satunya pendidikan. Proses belajar-mengajar yang semula tradisional kini semakin melibatkan teknologi, seperti yang tengah dikembangkan oleh Primeskills, startup edtech berbasis extended reality (XR) dan gamifikasi.

Startup ini didirikan di 2020 oleh William Irawan dengan misi menciptakan masa depan di mana masyarakat bisa mendapat pendidikan merata dan terdistribusi. Indonesia diprediksi mengalami bonus demografi pada 2030 mendatang. Populasi penduduk usia kerja diperkirakan melebihi 208 juta jiwa dengan sekitar 69% masuk dalam angkatan kerja.

Meski begitu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka pengangguran di Indonesia telah mencapai 5,83% dari total penduduk usia kerja. Dari jumlah tersebut, hampir 14% di antaranya merupakan lulusan jenjang pendidikan diploma dan sarjana (S1). Primeskills melihat skill gap sebagai salah satu penyumbang tingginya angka pengangguran di Indonesia.

Dalam keterangan resminya, William mengungkapkan, “berangkat dari masalah tersebut, kami mengembangkan inovasi training berbasis XR dan gamifikasi untuk mempersempit jarak keterampilan antara lulusan dan industri saat ini, seperti pembuatan modul dan konten menggunakan teknologi virtual reality (VR) demi meningkatkan kualitas pembelajaran.

Hal ini didukung oleh riset global Price Waterhouse Cooper (PwC) di mana para peserta pelatihan dengan menggunakan AR dan VR mengaku empat kali lebih cepat dan fokus berlatih dibanding di dalam kelas, 275% lebih percaya diri untuk mengaplikasikan pembelajaran keterampilan setelah training, dan 3,75 kali lebih terkoneksi secara emosional dengan materi yang diajarkan. Hal ini membuktikan AR dan VR dapat meningkatkan inovasi dan produktivitas.

Primeskills memosisikan diri sebagai enabler modul pembelajaran menggunakan teknologi terkini, yaitu Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), dan Learning Experience Platform, menjadikan pelatihan menjadi lebih imersif, lebih mudah dipahami, dan lebih efisien dalam proses pembelajarannya.

Melalui model bisnis B2B, Primeskills menyediakan kebutuhan mitra bisnisnya, mulai dari penyediaan perangkat VR Headset, pengembangan modul pembelajaran interaktif yang terkostumisasi dengan kebutuhan mitra bisnis, hingga layanan purna jual secara berkala, serta beberapa sistem pendukung pembelajaran yang memungkinkan mitra bisnis menggabungkan pembelajaran yang sudah ada dan modul yang dihasilkan oleh Primeskills dengan mudah.

Perusahaan membentuk ekosistem teknologi VR, dari proses menyediakan kurikulum, development, penyediaan hardware, hingga after sales. Primeskills telah merampungkan modul untuk beberapa industri, di antaranya industri perbankan, pendidikan, hospitality, dan healthcare.

Teknologi XR yang dikembangkan Primeskills merupakan gabungan dari seluruh immersive technology, seperti AR, VR, dan mixed reality (MR). Primeskills percaya dengan tidak hanya berfokus pada satu atau dua gaya belajar, melainkan menggabungkan dari auditori, visual, serta kinestetik sehingga diharapkan delivery pembelajaran jauh lebih efektif dan lebih mudah dipahami.

Target bisnis

Sepanjang 2022, Primeskills telah bekerja sama dengan beberapa institusi perbankan. Salah satunya, bersama CIMB Niaga telah menyelesaikan total lebih dari 1.500 jam pelatihan modul VR Training dan mendistribusikan total 325 unit VR Headsets ke 95 kota di seluruh Indonesia. Kerja sama ini merupakan salah satu penerapan VR training business-to-business (B2B) terbesar di Asia Tenggara.

Perusahaan juga telah bermitra dengan Universitas Kristen Petra untuk mengembangkan platform pembelajaran dan modul-modul XR interaktif untuk menjangkau pasar B2C. Salah satunya membuat metode pembelajaran berbasis digital yang mengombinasikan visual novel dan XR agar semakin menarik.

Di samping itu, termasuk dalam portofolio Primeskills, salah satu perusahaan retail terbesar Kawan Lama Group. Primeskills berperan menyediakan public showcase pada offline store mereka yang menggabungkan teknologi imersif khususnya VR yang dibuat, seperti situasi kehidupan asli untuk mempromosikan produk-produk unggulan mereka.

Di pemerintahan, Primeskills memenuhi kebutuhan VR Assessment untuk Kemendagri guna kebutuhan penilaian karyawan. Selain itu, pada awal tahun 2022 Primeskills telah menjalin kerjasama lanjutan dengan Kemenag RI untuk mendukung acara tahunan Hari Santri Nasional.

Secara spesifik, di tahun 2023 Primeskills akan terus mendorong peningkatan kualitas keterampilan lulusan universitas agar relevan dengan kebutuhan industri demi menekan angka skill gap di Indonesia, melalui pengalaman praktik dan soft skill training menggunakan teknologi XR dan gamifikasi.

Dalam wawancara terpisah, perusahaan mengungkapkan tengah fokus  adalah pada industri yang membutuhkan banyak pelatihan soft skills karena beberapa produk dan para ahli yang bekerja sama dengan kami bergerak pada bidang pelatihan tersebut seperti pelatihan leadership, coaching, customer services, sales, manners, public speaking, dsb.

“Sasaran target kami dimulai dari industri pendidikan hingga industri yang berfokus pada pengembangan SDM. Harapannya, kami dapat berperan aktif untuk meminimalisasi skill gap dan mendukung lulusan dari industri pendidikan untuk siap kerja,” tambah William.

Pihaknya meyakini teknologi teknologi imersif mampu menjadi solusi untuk tantangan skill gap di masa mendatang. Oleh karena itu, Primeskills akan terus meningkatkan performa kualitas teknologi dan berfokus dengan industri yang relevan, juga disesuaikan dengan tujuan di atas, yakni peningkatan kualitas SDM dengan menyasar human resources dan universitas.

“Sesuai visi kami, untuk memberikan edukasi immersive yang juga menyenangkan bagi masyarakat, kami akan terus berupaya menghadirkan teknologi imersif dan support system-nya menjadi solusi yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Dan dapat dinikmati bagi mitra bisnis kami saat ini maupun untuk calon mitra kami kedepannya baik dari sisi B2B maupun B2C,” tutup William.

Primeskills merupakan salah satu portofolio dari UMG Idealab Indonesia. Berdiri sebagai venture capital, UMG Idealab menyebutkan telah bertransformasi menjadi venture builder pada 2020. Saat ini perusahaan fokus mengembangkan tiga hal krusial, yaitu mengatasi perubahan iklim, mengatasi kesenjangan pendapatan, dan membantu UMKM bersaing secara global.

Bagaimana FisTx Selesaikan Masalah Inti Tambak Udang Lewat Teknologi

Bukan rahasia umum kalau industri akuakultur di Indonesia penuh dengan isu klasik, sehingga menjadikannya tidak seseksi industri riil dan nonriil lainnya. Kendala tersebut memengaruhi berjalannya kegiatan akuakultur di negara ini. Padahal, menurut Food and Agriculture Organization, Indonesia menempati peringkat ke-2 dari 10 negara peringkat teratas produksi akuakultur.

Meski masuk posisi atas, akan tetapi jumlah total produksi akuakultur negara ini sangat jauh berbeda dengan Tiongkok. Pada 2019, produksi ikan budidaya di Tiongkok sebesar 68,42 juta ton per tahun, sementara Indonesia 15,89 juta ton. Padahal, panjang garis pantai Tiongkok yang bisa dimanfaatkan untuk budidaya hanya 14.500 km, sementara Indonesia 99.083 km.

Kiwi Aliwarga dan Rico Wibisono, dengan latar belakang yang mendalam di dunia akuakultur mencoba untuk menyelesaikan isu klasik ini dengan mendirikan FisTx (dibaca Fistek) di Yogyakarta pada 2019. Kiwi sendiri merupakan pengusaha diaspora yang sukses membangun bisnis di Myanmar. Di kancah startup, Kiwi membangun UMG Idealab yang merupakan lengan investasi dari UMG Myanmar. Portofolionya tersebar di regional, tidak hanya di Indonesia saja, mulai dari Aruna, Crowde, Botika, Prosehat, Perawatku, Arutala, dan lainnya.

Sementara itu, Rico Wibisono punya ketertarikan di dunia perikanan sejak kecil hingga akhirnya melanjutkan di bangku kuliah. Kemudian, terjun ke industri ini dengan bekerja untuk berbagai perusahaan di CP Prima, Manggalindo, dan beberapa proyek di luar Indonesia, yakni di Vietnam, Brazil, Arab Saudi, dan Brunei Darussalam mengerjakan proyek tambak udang.

“Ketertarikan kami dalam dunia akuakultur, meneruskan kami untuk mengembangkan teknologi perikanan yang berkelanjutan berfokus pada 3P (profit, people, planet),” terang Co-founder dan COO FisTx Rico Wibisono kepada DailySocial.id.

Inovasi FisTx

FisTx menyoroti setidaknya ada empat tantangan dalam budidaya tambak udang, yakni manajemen tambak, operasional, tambak, dan alam, contohnya pemilihan lokasi tambak yang rawan bencana alam, seperti tsunami dan gempa. Oleh karenanya, FisTx berfokus pada pengembangan teknologi untuk budidaya udang pada proses perbaikan air yang lebih berkelanjutan.

Misalnya, mobile water sterilizer yang merupakan teknologi desinfeksi ramah lingkungan dengan sinar ultraviolet. Teknologi ini tidak menghasilkan residu bila dibandingkan dengan bahan kimia bahkan bisa mengefisiensikan biaya disinfektan sebesar 35%-53%. Alat ini juga dapat digunakan sebagai water treatment unit.

Kemudian, mengembangkan Recirculating Aquaculture System (RAS), yakni teknologi yang berkonsep kolam petak untuk sistem budidaya secara intensif dengan memanfaatkan air secara terus menerus, sehingga air pada kolam utama terjaga kualitasnya, menghemat penggunaan air dan biaya pergantian air. Produk ini serupa dengan akuarium, air kolam tidak dibuang tetapi disaring terus menerus. Air yang ada di kolam dapat dikonservasi dan dipakai berkesinambungan dengan sistem filtrasi yang perusahaan kembangkan.

Berikutnya, menghadirkan teknologi untuk imbuhan pakan guna meningkatkan penyerapan nutrisi, sehingga pertumbuhan lebih cepat dan limbah lebih sedikit. “Semua teknologi ini diarahkan pada keberlanjutan dan kesejahteraan petambak. Proses development-nya bergantung pada ketersediaan sumber daya dan kebutuhan pasar, ada yang tiga sampai delapan bulan.”

Disediakan pula aplikasi yang dinamai FisTx Aquagram yang dapat digunakan petambak untuk memantau kondisi tambak langsung dari ponsel mereka. Aplikasi merupakan teknologi pengukur kualitas air yang dapat mencatat kualitas air secara real time, tidak hanya untuk satu petak tambak tapi juga memantau empat petak sekaligus. Petambak akan memperoleh informasi terkait durasi pemberian pakan, jarak waktu pemberian pakan, kadar oksigen, hingga suhu dan tingkat keasamaan air.

Dalam satu alat sensor, mampu mengukur berbagai indikator. Beberapa di antaranya, suhu air kolam, EC, nilai pH, DO (Dissolved Oxygen atau kadar oksigen terlarut) dan ORP (Oxidation Reduction Potential). Semua data ini akan muncul pada aplikasi FisTx dalam sekali klik.

Dari seluruh rangkaian produk tersebut, FisTx menyesuaikan kembali dengan kebutuhan para petambak. Pihaknya menyediakan FisTx 360 yang merupakan sistem berlangganan untuk membantu semua kebutuhan budidaya, mendampingi petambak dengan konsultasi dan manajemen tambak selama satu siklus, mulai dari persiapan hingga panen. “Tapi kami juga menyediakan sistem beli putus, terutama untuk konsumen kami yang belum dijangkau oleh tim offline, tapi kami tetap terbuka dengan konsultasi online.”

Rico mengakui proses edukasi dalam memperkenalkan solusi Fistx tidak bisa dianggap sepele. Karena animo positif baru diterima perusahaan, apabila lokasi tambak dan persona petambaknya dilihat dari psikologi dan psikografinya. Maka dari itu, saat masuk ke lokasi baru perusahaan mengambil strategi dengan mencari early adopter dan dikawal hingga muncul hasil panen yang memuaskan.

“Dari situ terjadilah mouth to mouth branding, inilah yang kami lakukan dalam menjawab itu. Alhamdulillah, hingga saat ini kami memiliki 340 petambak yang tersebar di 21 provinsi.”

Salah satu perusahaan yang sudah menggunakan teknologi FisTx adalah PT Nayottama Kelola Laut Indonesia (NKLI). Awalnya, NKLI menggunakan teknologi existing Aqua Input sejak 2021 dan merasakan terjadinya peningkatan hasil tambak secara berkala dari 18 ton hingga 51 ton per hektare atau kenaikan hampir tiga kali lipat.

Kemudian, NKLI upgrade teknologi terbaru RAS FisTx untuk kolam budidaya yang terletak di Tasikmalaya, Jawa Barat, Januari 2021 lalu. Selain ramah lingkungan, manfaat lain yang didapat dari penggunaan teknologi RAS adalah meningkatkan produktivitas, meminimalisir permasalahan udang mati dini, dan hemat hingga 30% jika dibandingkan dengan pemakaian kimia seperti kaporit. Produksi per hari pun lebih cepat, tingkat pertumbuhan meningkat rata-rata sekitar 20%, dengan efisiensi pakan hingga 23,5%.

Harapan di akuakultur

Rico menilai solusi yang dibangun oleh FisTx ini sejatinya dapat diimplementasikan di luar tambak udang, seperti kepiting, belut, lobster, dan sidat. Hal tersebut sudah menjadi misi berikutnya perusahaan, kendati fokus utama saat ini masih pada budidaya udang.

“Potensi perikanan Indonesia luar biasa besar dan kami akan berikan hak yang sama untuk setiap spesies lain untuk dibudidayakan secara luas. [..] menjadi karunia besar bagi kami untuk bisa mengembangkan spesies lokal yang memiliki high demand, sehingga dapat memajukan pesisir seperti peradaban maritim yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita. Melalui budaya ini, kami ingin mengulang kembali kejayaan peradaban pesisir.”

Saat ini, FisTx didukung dengan 19 orang, terbagi jadi empat orang sales offline, tiga sales Aqua Input, dan satu sales project. Perusahaan akan terus menambah tim, terutama untuk bagian teknis dan expert agar solusi FisTx dapat lebih masif diadopsi banyak petambak di Indonesia. Meski tidak dijelaskan secara rinci, FisTx telah didukung dengan sokongan investasi dari UMG Idealab, perusahaan yang juga dipimpin oleh Kiwi.

“Tahun ini kami berfokus pada dua hal, yaitu sebagai base untuk target bisa profit di 2023 dan melakukan branding,” tutup Rico.

Komitmen Arutala Percepat Implementasi Teknologi Imersif untuk Bidang Edukasi

Sebelum istilah metaverse ramai dibicarakan, banyak pihak yang skeptis dengan pemanfaatan teknologi imersif di kehidupan sehari-hari. Selain karena butuh riset yang lama, dulu industri ini butuh perangkat yang harganya tidak murah. Faktor-faktor tersebut menyebabkan minimnya use case di lapangan.

Meskipun begitu, pesona di balik cabang teknologi yang fokusnya mendekatkan manusia dengan benda digital ini, berhasil menangkap perhatian Indra Haryadi dan Ambar Setyawan untuk merintis Arutala pada 2019 di Yogyakarta. Sebagai catatan, teknologi ini memungkinkan manusia untuk beraktivitas dan bereaksi di dalam dunia digital. Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), Mix Reality (MR), PC Simulator, hingga 360° Video adalah bagian dari teknologi imersif ini.

“Saya bertemu Ambar saat testing produk Oculus Quest yang saya dapat saat mengunjungi F8 di 2019. Ia punya background yang cukup kuat di dunia imersif. Singkat cerita, akhirnya kami sepakat untuk mendirikan PT Arutala Digital Inovasi. Kami banyak traction dan use case hingga sekarang,” terang Co-Founder & CEO Arutala Indra Haryadi saat dihubungi DailySocial.id.

Salah satu nilai yang ingin dikembangkan Arutala adalah teknologi imersif ini dapat memberikan solusi di berbagai lini kehidupan, salah satunya pelatihan yang bersifat high risk dan high cost. Setelah melakukan riset dan mengamati pola kebutuhan klien, disimpulkan bahwa pelatihan yang paling relevan dengan tantangan tersebut adalah bidang medis dan engineering base.

“Dengan menciptakan ruang baru melalui teknologi VR dan AR, kita dapat menekan angka risiko dan biaya di pelatihan pada kedua sektor tersebut untuk mencapai hasil yang optimal. Sektor kesehatan sendiri berisiko tinggi bagi pelatihan tenaga kesehatan sejak pandemi Covid-19.”

Implementasi teknologi imersif

Meski fokus pada pelatihan, perusahaan tetap membuka peluang untuk mengembangkan di sektor lainnya. Beberapa teknologi pengembangan tersebut, di antaranya adalah drone passenger VR untuk Frogs Indonesia, virtual store VR untuk Ecodoe, automotive virtual web, Gamelan VR, hingga Artda, yakni lagu dan tarian nasional anak-anak dalam bentuk AR hasil kolaborasi dengan Lab Sarisworo yang didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Saat ini, Arutala bermitra dengan tujuh institusi pendidikan dari tingkat SMK hingga perguruan tinggi dan lebih dari 25 pengembangan produk. Salah satu pengguna B2B Arutala adalah Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK). Dalam praktikum memandikan pasien untuk perawat, itu memerlukan SOP yang panjang.

Saat mengembangkan kebutuhan tersebut di tahun lalu, Arutala mendesainnya menyerupai konsep metaverse yang diusung Facebook. Yang mana, ruangan praktikum dibuat persis sama dengan realita dan para peserta dapat berinteraksi satu sama lain di dunia digital, melalui perangkat Oculus.

Sebagai catatan, Arutala resmi bergabung dalam program Oculus Independent Software Vendor (ISV) pada 2020. Oculus merupakan anak perusahaan dari Meta yang membuat dan mengembangkan produk alat VR seperti Oculus Quest, Oculus Rift, dan Oculus Go. Melalui kerja sama ini, Arutala memiliki peluang untuk berkolaborasi langsung dengan tim dari Oculus dan membantu adopsi VR di Indonesia maupun kawasan Asia Pasifik.

“Tahun lalu para perawat sudah menggunakannya untuk pengajaran dan terus kami lakukan pengembangan. Kami cukup senang dengan ini karena kami ingin menciptakan dampak dari apa yang kami lakukan.”

Selain UGM, klien Arutala lainnya adalah perusahaan prinsipal alat berat dari Myanmar, startup yang ingin terjun ke pengembangan produk berbasis AR, dan lainnya. Ia pun optimis bahwa ke depannya akan semakin banyak perusahaan yang berani untuk terjun ke dunia imersif, didukung oleh pandemi yang mengakselerasi penggunaan teknologi digital.

Dalam monetisasinya, di tengah era early adopter, yang mana membuat industrinya masih dalam tahap eksplorasi, maka salah satu model bisnis di Arutala adalah custom development. Jadi, baik Arutala maupun klien B2B, sama-sama mencari tahu solusi yang efektif dari masalah yang dihadapi klien. Begitu industri sudah lebih siap dan banyak use case yang bisa diteliti, maka akan membuka lebih besar kemungkinan bagi Arutala untuk menggali lebih banyak strategi monetisasi lainnya.

Ke depannya, untuk memasarkan lebih banyak use case dengan menggunakan teknologi imersif, Indra akan terus mengedepankan aspek riset sebagai bagian utama dari Arutala, perbanyak use case di berbagai industri, dan edukasi pasar. “Kita akan meneruskan riset dari sebelumnya orang belum kenal metaverse, tapi kita sudah buat. Berani investasi lebih banyak untuk riset adalah kunci untuk bersaing dengan negara lain. Dengan semangat itu, kami ingin Indonesia tidak ketinggalan,” tutupnya.

Dengan semangat riset, Indra pun membuka kesempatan bagi pihak-pihak yang berani dan tertarik dengan teknologi imersif pada masa depan. Arutala merupakan salah satu portofolio dari venture builder UMG Idealab sejak 2020. Mereka menyuntik dana tahap awal untuk Arutala dengan nominal dirahasiakan.

[Video] Komitmen UMG Idealab untuk Pengembangan Teknologi Kesehatan

DailySocial bersama Kiwi Aliwarga dari UMG Idealab Indonesia membahas bagaimana perusahaannya memilih startup yang cocok untuk mendapatkan pendanaan dan seperti apa tantangan dalam mendukung ekosistem startup di Indonesia

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

SociaBuzz Kantongi Pendanaan Baru dari UMG Idealab

Platform marketplace jasa kreatif SociaBuzz mengumumkan perolehan pendanaan tahapan awal dari UMG Idealab. Tidak disebutkan lebih lanjut berapa nilai investasi yang diterima. Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Rade Tampubolon mengungkapkan, selain untuk mengembangkan produk, dana segar akan digunakan juga untuk kegiatan pemasaran agar semakin banyak kreator dan talenta yang bisa mendapatkan manfaat dari berbagai fitur yang SociaBuzz sediakan.

“Secara keseluruhan kami telah menerima tiga pendanaan. Sebelumnya SociaBuzz telah mendapatkan pendanaan dari angel investor dengan nominal yang tidak disebutkan tahun 2015 lalu. SociaBuzz juga telah menerima dana dari program Ideabox Accelerator tahun 2016 lalu,” kata Rade.

Ada beberapa alasan mengapa penggalangan dana kembali dilancarkan SociaBuzz tahun ini dan memilih UMG Idealab sebagai investor. Di antaranya adalah kesamaan visi. Selain itu juga ekosistem portfolio yang ada, menghadirkan peluang kolaborasi bermanfaat ke depannya.

“Bagi kami di UMG Idealab, pendanaan ini merupakan langkah strategis yang selaras dengan tujuan kami untuk meningkatkan kolaborasi antar startup di ekosistem UMG Idealab agar mereka dapat saling mengenalkan produk mereka dan berbagi teknologi,” kata Managing Partner UMG Idealab Kiwi Aliwarga.

Pertumbuhan stabil selama pandemi

Beroperasi sejak 2015, SociaBuzz menjembatani bisnis atau pelanggan dengan influencer media sosial atau kreator. Platform bertujuan untuk menciptakan koneksi individu atau bisnis untuk menemukan pembuat konten atau talenta yang tepat untuk kebutuhan bisnis. Hingga saat ini SociaBuzz telah memiliki sekitar 72 ribu influencer/kreator dalam platform. Mereka juga telah memiliki 1.350 pengguna aktif — baik dari kalangan bisnis maupun konsumer.

Selama pandemi tidak ada perubahan yang signifikan dari bisnis SociaBuzz. Rade menegaskan, untuk fitur tertentu mengalami pertumbuhan yang signifikan. Dampak negatif pandemi lebih terasa ke layanan managed service influencer marketing yang SociaBuzz sediakan untuk brand.

Pada saat pandemi, beberapa brand memilih untuk menghentikan sementara proyek-proyek yang sudah direncanakan. Namun saat ini mulai terlihat brand sudah mulai pulih kembali dan lebih percaya diri lagi untuk mengeluarkan anggaran.

“Harapannya walaupun pandemi memberikan banyak tantangan, setiap orang yang memiliki passion dan kreativitas bisa menghasilkan lebih melalui fitur-fitur SociaBuzz,” kara Rade.

Aplikasi Jarvis Diluncurkan, Bantu Bisnis Pantau Kinerja Karyawan Saat WFH

Mencoba menjawab kebutuhan perusahaan di masa tren kerja jarak jauh ini, Jarvis (Jari Visibility) resmikan kehadirannya pada Juli 2020. Aplikasi ini membantu melacak produktivitas pekerja di luar kantor, dengan fitur yang mencakup manajemen kehadiran karyawan dengan selfie check-in dan check-out, perekaman lokasi berbasis GPS, dan pemantauan alur kerja.

Jarvis beroperasi di bawah jaringan perusahaan Jari Solusi Internasional. Startup tersebut diluncurkan pada 2017, menyediakan solusi SaaS yang mendukung bisnis. Produk awal mereka adalah aplikasi Jarco (Jarvis Collection), dibuat untuk institusi finansial agar dapat mengurangi penipuan dalam pengumpulan pembayaran.

Awalnya solusi Jarvis fokus melayani perusahaan di bidang keuangan. Namun menurut pemaparan Co-Founder & CEO Jari  Stephanus Lutfi, beberapa waktu terakhir banyak permintaan solusi bisnis dari perusahaan di sektor lain, termasuk ritel , manufaktur, e-commerce, dan hospitality. Di tengah WFH, mereka membutuhkan sistem untuk mengawasi kegiatan karyawan perusahaan di luar kantor.

Jari Solusi Internasional telah mendapatkan pendanaan awal dari UMG Idealab, diumumkan dua pekan lalu, Kamis (17/9). Tidak disebutkan detail investasi tersebut. Namun diketahui bahwa UMG berinvestasi pada startup tahap awal dengan ukuran tiket $5 ribu hingga $2 juta.

“Dengan pendanaan awal oleh UMG Idealab, Jari Solusi International akan fokus untuk meningkatkan penjualan dan pemasaran Jarvis, serta menguatkan infrastruktur untuk mendukung peluncuran produk baru,” ujar Lutfi.

Selain fitur yang sudah disebutkan di atas, ada beberapa layanan lain yang diklaim Lutfi menjadi value proposition produknya. Pertama ada Smartform, memungkinkan perusahaan membuat formulir online untuk berbagai kebutuhan. Selain itu, Jarvis juga dilengkapi dengan fitur Task Assignment untuk membantu koordinasi tim antara atasan dengan personil di bawahnya, serta fungsi supervisi mulai dari proses hingga hasil kerja tim. Aplikasi Jarvis juga dilengkapi oleh fitur Last Location untuk melihat posisi terakhir personil di lapangan.

Founder & CEO UMG Idealab Kiwi Aliwarga mengungkapkan, dalam wawancara secara terpisah, “Strategi investasi UMG Idealab terfokus dengan peran dan kontribusi kami di tiga sektor utama yaitu melawan perubahan iklim, mengurangi ketimpangan pendapatan (income inequality), serta mengembangkan teknologi untuk membantu UMKM Indonesia lebih maju dan kompetitif”.

Dimulai di Myanmar pada akhir 2014 dan beroperasi di Indonesia sejak 2016, perusahaan tersebut telah terlibat dalam lima kesepakatan tahun ini dengan Widya Life Science, Foodtx, startup pengiriman bahan makanan Zay Chin, dan pabrik cokelat Moodco.

Di Indonesia sendiri saat ini sudah ada puluhan layanan dari startup digital yang mencoba menyelesaikan masalah spesifik di bisnis, termasuk UKM. Beberapa dari mereka bahkan sudah mengantongi pendanaan puluhan juta dolar dan berkolaborasi dengan unicorn/decacorn. Potensi pasar yang ditargetkan memang sangat besar, menurut data BPS, sudah ada 64,2 juta unit usaha di skala tersebut.

Tabiat founder startup adalah mencoba menyelesaikan permasalahan dengan inovasi teknologi, termasuk bagi para pelaku UKM. Menurut riset SME Empowerment 2020DSResearch memetakan berbagai layanan startup lokal yang telah dirilis dan menyasar penyelesaian permasalahan finansial / permodalanoperasional, dan ekspansi.

Platform digital untuk UKM dari startup Indonesia / DSResearch
Platform digital untuk UKM dari startup Indonesia / DSResearch

Investasi ke Startup Myanmar, UMG Idealab Nilai Ekosistem di Sana Mirip Indonesia Delapan Tahun Lalu

UMG Idealab, Corporate Venture Capital (CVC) milik UMG Group, mengumumkan investasi tahap awal (seed) terhadap Zay Chin, startup online grocery di Myanmar. Adapun nilai investasinya tidak dapat disebutkan.

Zay Chin membidik posisinya sebagai platform terdepan untuk membantu para profesional muda dan ibu rumah tangga (IRT) di Myanmar dalam mencari kebutuhan pokok sehari-hari di pasar tradisional maupun pasar basah.

“Meskipun jumlah minimart dan pusat perbelanjaan terus bertambah di Myanmar, kami melihat kebutuhan para IRT di pasar tradisional tetap tinggi,” ucap CEO Zay Chin Kyaw Kyaw dalam keterangan resminya.

Sementara, Founder dan Executive Chairman UMG Idealab Kiwi Aliwarga menyebutkan investasi ini sejalan dengan strateginya untuk masuk ke pasar digital Myanmar. “Keputusan kami bersinergi dengan Zay Chin memungkinkan kami melanjutkan ekspansi di bisnis digital Myanmar,” tuturnya.

Dihubungi terpisah, Kiwi juga mengungkapkan bahwa pendanaan ini akan memperkuat upaya ekspansi operasional dan jaringan Zay Chin di Myanmar, terutama lewat kolaborasinya dengan BeeXprss sebagai partner last mile di Myanmar.

“Kesepakatan ini, untuk sekarang, akan fokus untuk pasar Myanmar dulu. Namun, dalam beberapa tahun ke depan, mereka [Zay Chin] akan ekspansi ke beberapa negara lain, yaitu Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Indonesia,” ungkap Kiwi kepada DailySocial.

Menurutnya, jika dibandingkan dengan Indonesia, ekosistem digital di Myanmar masih berada di tahap awal. Bisa dibilang ada gap delapan tahun dari sisi pengembangan. Dengan kata lain, ekosistem digital Myanmar sekarang sama seperti kondisi di Indonesia pada 2012 lalu. Namun, ia meyakini ekonomi digital di Myanmar akan berkembang cepat.

Sebagaimana diketahui, Kiwi Aliwarga merupakan konglomerat Myanmar asal Indonesia yang menginisiasi berdirinya UMG Idealab. Sejak 2016, UMG Idealab telah menyuntik pendanaan ke lima portofolio yang terdiri dari 2 startup teknologi, 1 UKM, dan 2 venture builder.

UMG Idealab menargetkan 5 sampai 15 portofolio dalam satu tahun. Ada tiga target utama yang dibidik melalui investasi ini, yaitu melawan perubahan iklim, mengurangi ketidaksetaraan pendapatan, dan mendorong bisnis UKM dengan teknologi. Kiwi mencontohkan layanan di sektor pendidikan dan kesehatan di Myanmar menggunakan teknologi berbasis IoT dan AI.

“Ada beberapa [portofolio] di pipeline kami, tapi closing di bulan ini bukan dari Indonesia dan Myanmar. Kami sudah mencapai kesepakatan tahap final dan kami akan umumkan pada akhir September ini.” Tutupnya.

Strategi Manajemen Risiko Perusahaan Modal Ventura

Konglomerat digital Jepang Softbank, melalui kendaraan investasinya, Vision Fund, sepanjang tahun 2013-2020 telah menggelontorkan pendanaan senilai hampir $10,5 miliar untuk perusahaan ride hailing Didi Chuxing, WeWork ($8,7 miliar), Uber ($8,3 miliar), dan Grab ($4,5 miliar).

Nama-nama populer tersebut telah berhasil meraih valuasi raksasa dengan mengedepankan konsep growth dan ekspansi besar-besaran. Namun “kericuhan” yang menimpa WeWork tahun 2019 lalu, memberikan dampak negatif ke Softbank sebagai pendukung terbesar.

Tercatat Softbank membukukan kerugian bersih sebesar $6,4 miliar, mayoritas karena dampak pengurangan valuasi WeWork.

Apa yang terjadi dengan Softbank  menjadi wake-up call bagi para investor secara global. Tidak hanya mengubah fokus dan mulai meninggalkan konsep growth at all cost, kebanyakan perusahaan modal ventura juga mulai fokus ke startup yang benar-benar berbasis teknologi.

Menurut CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma, setiap investor yang mengandalkan diversifikasi portofolio perlu disiplin dalam hal alokasi investasi.

“Jika uang [investasi] itu berasal dari Vision Fund [yang berdana total] $100 miliar, maka saya akan mengatakan investasi di WeWork memiliki eksposur yang masif pada dana tersebut. Softbank bermain di ‘liga besar’, jadi pasti kegagalannya jauh lebih terbuka,” kata Arya.

Perusahaan modal ventura seperti Softbank pernah memiliki keuntungan besar dengan Alibaba, tetapi “gagal” dengan WeWork. Untuk itu kali ini kami membahas bagaimana investor memitigasi risiko agar tetap bisa menjalankan bisnis dan berinvestasi secara sehat.

Pengelolaan risiko

Venture capital (VC) berinvestasi di salah satu kelas aset paling berisiko, yaitu startup. Menurut Shikhar Ghosh, Profesor Harvard Business School, dalam waktu 10 tahun terakhir 70% startup gagal. Semua kegagalan startup berasal dari keputusan yang dibuat perusahaan.

Idealnya, penilaian dan skenario mitigasi risiko dilakukan sejak pra-investasi hingga tahap investasi untuk menentukan keberhasilan. Itu sebabnya VC biasanya melakukan uji kelayakan (due diligence) yang mendalam sebelum dana diberikan.

“Setiap investasi tidak ada jaminan pasti akan return, tetapi jika kita berjalan bersama para startup dengan visi dan values yang sejalan dan menghasilkan produk atau layanan yang bisa membuat orang senang dan terbantu, hal tersebut sudah menjadi kenikmatan yang hebat. Financial return itu bonus-nya,” kata Managing Partner UMG Idealab Kiwi Aliwarga.

Kiwi menambahkan, setiap venture capital memiliki visi dan cara unik dalam hal melakukan investasi. UMG Idealab mengklaim berinvestasi dengan melihat alignment visi dan values dari para founder juga co-founder.

Di sisi lain, Indogen Capital mencoba fokus di tiga pondasi utama, yaitu unit economics, trend, dan exit market. Untuk tren, penyesuaian harus dilakukan untuk beradaptasi dengan perubahan terkini di pasar. Sementara penilaian unit economics dan exit market selalu konsisten dilakukan sejak hari pertama.

Unit economics sangat penting untuk mengidentifikasi path to profitability dari sebuah startup. Dari sini juga kita bisa menilai apakah startup tersebut memiliki potensi untuk mencapai long-term competitive advantage atau tidak,” kata Managing Partner Indogen Capital Chandra Firmanto.

Meninggalkan konsep growth at all cost

Apa yang terjadi dengan Softbank dan WeWork telah mengubah persepsi VC yang kebanyakan fokus ke growth. Meskipun cara ini berhasil untuk mengakuisisi lebih banyak pelanggan dengan cepat, proses yang panjang dan kebutuhan biaya yang besar menjadikan startup kesulitan untuk mendapatkan profit.

Relevansi growth at all cost juga dipertanyakan kebanyakan VC saat ini. Di zaman sekarang, capital sudah tidak lagi menjadi barang langka. Akibatnya growth story sudah tidak menjadi menarik, jika dibandingkan 10 tahun lalu ketika pendanaan VC masih terbilang jarang ditemukan.

“Untuk ke depannya, perusahaan yang bisa menunjukkan kemampuan menjadi perusahaan yang sustainable dalam jangka panjang adalah yang akan menarik bagi kebanyakan investor,” kata Chandra.

Hal senada diungkapkan Kiwi. Meskipun tidak mempercayai konsep growth at all cost, namun selalu ada batasan untuk pertumbuhan.

“Fokus pertama kami tidak tentang profit, tapi seberapa besar kita bisa membantu orang lain atau perusahaan lain dan memberikan kepuasan hati. I believe profit will follow if we deliver smile first to user and customers,” kata Kiwi.

Menurut Arya, meskipun konsep growth at all cost tidak memberikan efek positif untuk startup dan VC, namun konsep hyper-growth masih cukup relevan untuk diterapkan, selama pertumbuhan bisa menciptakan hambatan untuk masuk (barrier entry).

Contoh barrier entry adalah “biaya pengalihan” yang harus dikeluarkan pelanggan untuk beralih ke produk atau layanan kompetitor. Meskipun demikian, pertumbuhan berlebih ini harus masuk akal dalam hal biaya.

“Misalnya jika startup menghabiskan $1 untuk mendapatkan 1 pelanggan potensial, pelanggan itu lebih baik memiliki nilai jangka panjang lebih dari $1. Nilai tersebut belum tentu [tentang] berapa banyak pelanggan akan membayar kepada perusahaan, tetapi bisa jadi berapa banyak orang lain bersedia membayar untuk memiliki akses ke pelanggan, misalnya dengan memanfaatkan Google Ads,” kata Arya.

Dukung semua portofolio

Setelah mengakui kesalahan saat berinvestasi ke WeWork, satu pelajaran penting yang didapatkan Masayoshi Son adalah jangan fokus ke satu startup secara berlebihan.

Jika VC memiliki portofolio yang memiliki potensi dan peluang untuk tumbuh secara cepat dan positif, upayakan untuk menyeimbangkan fokus dan memperhatikan investasi ke portofolio lainnya. Jadikan kesuksesan yang dimiliki salah satu portofolio sebagai success story, namun jangan menjadikan startup tersebut startup utama untuk berinvestasi.

“Yang perlu diperhatikan VC agar terhindar dari masalah ini adalah stay true to your belief , sacrifice for your caused and go the extra mile. Jika para founder startup tidak bersedia mengorbankan kepercayaan dan visi mereka, there is no reason for VC to invest,” kata Kiwi.

Saat kondisi seperti ini, portofolio VC membutuhkan tidak hanya strategic support tapi juga moral support. VC sebaiknya membantu mereka fokus untuk bertahan dan relevan, serta untuk long term goal.

“Secara strategis, kita memberikan masukan kepada portofolio untuk course correct direction daripada perusahaan [gagal] terlebih dahulu. Setelah itu, kita juga fokus membantu dari segi operasional. Dari segi bantuan moral, kita mencoba semaksimal mungkin untuk selalu accessible terhadap semua founder dengan melakukan komunikasi [secara] konstan,” kata Chandra.

Indonesian Agritech’s Top Three Bucket List for The First Quarter of 2020

Agritech has become one of the essential segments in the industry for its representation of Indonesian culture. Agriculture held one-third of Indonesian land and workers. Technology has a crucial role to increase productivity in this industry due to the decreasing talent for the last decade.

Otherwise, the country should import more in order to feed its citizen. In 2025, Indonesian population is predicted to increase by 11 million from the current position at 270 million people.

Quoted from CompassList research project report titled “Indonesia Agritech Report 2020” released in March, the world is currently struggling with food supply crisis due to the Covid-19 pandemic. The global food supply chain is tightening for some countries are lockdown and stop exporting.

Most businesses are getting suspended as life continues, amid efforts to curb the spread of the virus. These conditions show the importance of maintaining food security – and national agriculture.

The report shows high optimism for agritech, given the sector is relatively new in Indonesia. As Chilibeli secured series A funding in March 2020, it shows a bright future in this sector. Chilibeli has just launched in less than a year.

“More efficient and equitable agricultural practices will pave the way for sustainable agriculture in Indonesia, benefiting farmers, resources and the community. This helps create a stronger agricultural sector, which in turn will support Indonesia’s food security and economic growth,” the report stated.

Require more deep-tech innovation

CompassList listed four categories for the current operational agritech. It’s based on funding, e-commerce, education and assistance, also technology development. In structural, it shows the highest concentration of agritech startups.

UMG Idealab‘s Investment & Venture Partner, Jefry Pratama said, the act of selling agriculture commodities is the simplest and most certain way for agritech startup to gain profit. Of all the highlighted startups, they utilize the e-commerce sector or market the products offline.

To date, the deep-tech startup in this industry only works with AI, data analytics, and robotics. There is no further deep-tech (a new technology that offers significant improvement of the current issue), such as genetical manipulation.

Source: CompassList
Source: CompassList

Startups took part in this sector includes Habibi Garden, BIOPS, HARA, and JALA. Each startup has a certain tech specialization in data collecting, farmers can translate daily and take action instantly.

JALA, for example, has been using series of sensors to detect water quality in shrimp ponds, salinity, and pH rate to oxygen. The data is to be sent to the cloud-based media analytics for further diagnosed options to improve water quality.

Shrimp farmers can eventually distribute less feed for exceeding feed can impact on the final quality. It should reduce shrimp waste and loss, also increasing yields.

The lack of deep tech innovation might occurs due to various factors. Starting from the lack of available talent, campus support, research institutions, large corporations. These entities have an important role in carrying the development costs (R&D) for certain sectors. This is where most likely the first time innovation has been found.

However, these issues are not impossible to overcome, as UMG Idealab did, the incubator and CVC from the conglomerate from Myanmar UMG. They invested in PT Mitra Sejahtera Pembangunan Bangsa (MSMB), an agritech startup focused on creating sensors, drones, and mobile applications for farmers.

Uniquely, the MSMB was founded by lecturers and students from UGM. The staff consists of students, recent graduates, and lecturers from local campuses in Yogyakarta and surrounding areas.

Other factors are also reflected in supporting infrastructure such as logistics and supply chain. India is more or less the same as Indonesia, although it cannot be generalized. Both are countries with large areas with infrastructure development that are still late in the countryside.

R&D becomes essential

The existence of an R&D center for a business is important, not just for agritech. To encourage more local farmers to increase their crop yields and reduce potential losses, more high-quality seed production is needed, developing better disease diagnosis tools, and new hardware.

Startups are yet to have the resources to create their own R&D, therefore, they become obstacles to entering “deep biotech” in seed development. They will take advantage of collaboration with local universities, such as IPB and UGM. The campus is equipped with expertise and facilities to pursue cross-marriages, genetic engineering and other basic science projects.

Unfortunately, this country still lacks funds to build R&D center. In 2018, the overall R&D budget will be Rp. 25.8 trillion or 0.2% of total GDP.

Source: CompassList
Source: CompassList

This condition encourages each stakeholder to collaborate to create superior seed varieties. Many multinational companies are financially supported through collaboration with local players and the central government, as well as with their own budgets. Collaboration like this can accelerate the discovery of seed development that suits local needs and conditions, such as varieties that are more resistant to drought.

“The government can play a more active role in developing Indonesian agriculture to be more resilient. We need to fund R&D in Indonesia, “added Pamitra Wineka’s Co-Founder & President TaniGroup.

Initiatives to accelerate logistics

The Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) estimates as much as 120 kg to 170 kg of food per capita is lost or wasted every year in South and Southeast Asia. This is homework for Indonesia to improve logistics and supply chain infrastructure to prevent the loss of food.

ADB statistics link 25% -45% of the results of this decay due to poor packaging, inadequate cooling systems, and long delivery times.

Here the role of government and private sector is needed to reduce post-harvest losses. You do this by building a warehouse, a packing place, a cooling place close to agricultural land and fisheries. Food delivery vehicles must also be improved through better road conditions and vehicles that can adjust the temperature.

TaniGroup created a logistics subsidiary, TaniSupply, in September 2019 to address imbalances in the supply chain. Then, 8villages worked with agricultural intermediaries to create VLOGS, gathering data on logistics providers in a platform to help farmers find logistical partners.

If small farmers from neighboring villages can agree to the same logistics provider, for example, they can increase their bargaining power by collectively asking for lower shipping rates.

Tokopedia also made a similar initiation by making a branch store, a smart warehouse that can predict which items sell best in the nearest city. All traders, even micro, can place their stock in warehouses based on predicted purchasing trends.

This model can be adopted for agricultural products because farmers and fishermen have more or less the same challenges as online traders in Tokopedia.

Simplifying modes of transportation and supply chains undoubtedly results in reduced post-harvest losses. There is a need for intensive initiatives from startups and the government to strengthen local food, allowing fresh products to be easily accessible to consumers without any middlemen who bother.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Tiga Catatan Agritech Indonesia Sepanjang Kuartal Pertama 2020

Agritech menjadi salah satu segmen industri yang penting karena melekat erat dengan Indonesia. Pertanian memakan hampir sepertiga dari penggunaan lahan dan tenaga kerja. Keberadaan teknologi sangat dibutuhkan untuk membantu industri ini agar punya produktivitas yang baik karena jumlah tenaga kerjanya terus menurun selama dekade terakhir.

Bila tidak, negeri ini harus mengimpor lebih banyak untuk memberi makan dirinya sendiri. Pada 2025, diprediksi populasi Indonesia bertambah 11 juta orang dari posisi saat ini sekitar 270 juta orang.

Mengutip dari laporan yang dirangkum lembaga riset CompassList bertajuk “Indonesia Agritech Report 2020” dirilis pada akhir Maret lalu, saat ini dunia sedang bergulat dengan ancaman krisis pangan akibat pandemic Covid-19. Rantai pasokan makanan global menjadi tegang karena semakin banyak negara menutup diri dan menghentikan ekspor pangan.

Sebagian besar bisnis juga ditangguhkan bersamaan dengan masih terus berlanjutnya kehidupan, di tengah upaya menahan penyebaran virus. Kondisi tersebut memperlihatkan pentingnya menjaga ketahanan pangan –dan pertanian nasional.

Laporan ini memperlihatkan optimisme yang tinggi untuk agritech, walau masih relatif baru di Indonesia. Pendanaan seri A yang diperoleh Chilibeli pada Maret 2020, menjadi salah satu contoh nyata bahwa sektor ini punya jalan cerah di masa mendatang. Chilibeli sendiri baru dirilis kurang dari setahun.

“Praktik pertanian yang lebih efisien dan adil akan membuka jalan bagi pertanian berkelanjutan di Indonesia, memberi manfaat bagi petani, sumber daya, dan masyarakat. Ini membantu menciptakan sektor pertanian yang lebih kuat, yang pada gilirannya akan mendukung ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia,” tulis laporan tersebut.

Butuh lebih banyak inovasi deep-tech

CompassList menerangkan startup agritech yang beroperasi saat ini terbagi menjadi empat jenis. Yakni seputar pembiayaan, e-commerce, edukasi dan pendampingan, dan pengembangan teknologi. Secara berurutan, sekaligus memperlihatkan konsentrasi startup agritech terbanyak.

Investment & Venture Partner UMG Idealab Jefry Pratama menjelaskan, aktivitas menjual komoditas pertanian adalah cara paling sederhana dan paling pasti buat startup agritech dalam memperoleh pendapatan. Dari seluruh startup yang disoroti, mereka memanfaatkan kehadiran e-commerce atau memasarkannya secara offline.

Startup yang bermain di deep tech sejauh ini memanfaatkan AI, analitik data, dan robotika. Belum ada sampai ke deep tech (teknologi baru yang menawarkan kemajuan signifikan atas yang saat ini sedang digunakan), seperti rekayasa genetika.

Sumber : CompassList
Sumber : CompassList

Startup yang bermain di pengembangan teknologi di antaranya ada Habibi Garden, BIOPS, HARA, dan JALA. Masing-masing punya spesialisasi teknologi dalam pengumpulan data, petani dapat menerjemahkan dengan bahasa sehari-hari dan bisa langsung ambil tindakan.

JALA misalnya, menggunakan serangkaian sensor untuk mendeteksi kualitas air dalam kolam tambak udang, salinitas, dan keasaman terhadap kandungan oksigen. Data dikirim ke media analisis berbasis cloud yang kemudian memberikan saran untuk meningkatkan kualitas air.

Petani udang pada akhirnya bisa mendistribusikan lebih sedikit pakan jika kelebihan pakan karena ini berdampak pada kualitas akhir. Mereka dapat mengurangi pemborosan dan kehilangan udang, meningkatkan hasil panen.

Masih minimnya inovasi deep tech, sebenarnya terjadi karena berbagai faktor. Mulai dari kurangnya ketersediaan talenta, dukungan dari kampus, lembaga riset, korporasi besar. Entitas-entitas ini punya peran penting dalam memikul biaya pengembangan (R&D) untuk sektor tertentu. Di sinilah kemungkinan besar terjadinya pertama kalinya inovasi ditemukan.

Namun isu tersebut dapat diatasi, seperti yang dilakukan oleh UMG Idealab, incubator dan CVC dari konglomerasi asal Myanmar UMG. Mereka berinvestasi ke PT Mitra Sejahtera Membangun Bangsa (MSMB), startup agritech fokus pada menciptakan sensor, drone, dan aplikasi mobile untuk petani.

Uniknya MSMB didirikan oleh dosen dan mahasiswa dari UGM. Pegawainya terdiri dari mahasiswa, lulusan baru, dan dosen dari kampus lokal di Yogyakarta dan sekitarnya.

Faktor lainnya juga terefleksi dari infrastruktur pendukung seperti logistik dan supply chain. India menjadi pembanding yang kurang lebih sama dengan Indonesia, meski tidak bisa disamaratakan. Keduanya sama-sama adalah negara dengan wilayah yang luas dengan pengembangan infrastruktur masih terlambat di pedesaan.

Keberadaan R&D semakin dibutuhkan

Keberadaan pusat R&D bagi suatu bisnis adalah maha penting, tidak hanya buat agritech saja. Untuk mendorong lebih banyak petani lokal yang bisa meningkatkan hasil taninya dan mengurangi potensi kerugian, maka dibutuhkan lebih banyak produksi benih berkualitas tinggi, mengembangkan alat diagnosis penyakit yang lebih baik, dan perangkat keras baru.

Startup kemungkinan besar belum punya sumber daya besar untuk membuat R&D sendiri, sehingga menjadi hambatan masuk ke “deep biotech” dalam pengembangan benih. Mereka akan memanfaatkan kolaborasi dengan universitas lokal, seperti IPB dan UGM. Kampus dilengkapi dengan keahlian dan fasilitas untuk mengejar perkawinan silang, rekayasa genetika, dan proyek ilmu dasar lainnya.

Sayangnya, di negeri ini masih kekurangan dana untuk bangun R&D. Pada 2018, keseluruhan anggaran litbang adalah Rp25,8 triliun atau 0,2% dari total GDP.

Sumber : CompassList
Sumber : CompassList

Kondisi ini mendorong setiap stakeholder saling kolaborasi untuk menciptakan varietas benih unggul. Banyak perusahaan multinasional yang didukung secara finansial melalui kolaborasi dengan pemain lokal dan pemerintah pusat, serta dengan anggaran mereka sendiri. Kolaborasi seperti ini dapat mempercepat ditemukannya pengembangan benih yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat, seperti varietas yang lebih tahan saat kekeringan.

“Pemerintah dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam mengembangkan pertanian Indonesia agar lebih tangguh. Kita perlu mendanai R&D di Indonesia,” tambah Co-Founder & Presiden TaniGroup Pamitra Wineka.

Inisiatif percepat logistik kian beragam

Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) mengestimasi sebanyak 120 kg sampai 170 kg makanan per kapita hilang atau terbuang tiap tahunnya di Asia Selatan dan Tenggara. Ini menjadi pekerjaan rumah buat Indonesia untuk memperbaiki logistik dan infrastruktur rantai pasokan untuk mencegah hilangnya makanan tersebut.

Statistik dari ADB mengaitkan 25%-45% dari hasil pembusukan ini karena pengepakan yang buruk, sistem pendingin yang tidak memadai, dan waktu pengiriman yang lama.

Di sini perlu peran pemerintah dan swasta untuk mengurangi kerugian pasca panen tersebut. Caranya dengan membangun gudang, tempat pengepakan, tempat pendingin yang dekat dengan lahan pertanian dan perikanan. Kendaraan pengiriman makanan juga harus ditingkatkan melalui kondisi jalan yang lebih baik dan kendaraan yang bisa menyesuaikan suhu.

TaniGroup membuat anak usaha khusus logistik TaniSupply pada September 2019 untuk mengatasi ketimpangan dalam rantai pasokan. Lalu, 8villages bekerja sama dengan perantara pertanian untuk membuat VLOGS, mengumpulkan data tentang penyedia logistik dalam platform untuk bantu petani mencari mitra logistik.

Jika petani kecil dari desa tetangga dapat menyetujui penyedia logistik yang sama, misalnya, mereka dapat meningkatkan daya tawar mereka dengan secara kolektif meminta tarif pengiriman yang lebih rendah.

Tokopedia juga membuat inisiasi sejenis dengan membuat TokoCabang, gudang pintar yang dapat memprediksi barang mana yang paling laku di kota terdekat. Seluruh pedagang, mikro sekalipun, dapat menempatkan stok mereka di gudang berdasarkan tren pembelian yang sudah diprediksi.

Model ini dapat diadopsi untuk produk pertanian karena petani dan nelayan punya tantangan yang kurang lebih sama dengan pedagang online di Tokopedia.

Menyederhanakan moda transportasi dan rantai pasokan niscaya berdampak pada berkurangnya kerugian pasca-panen. Perlu inisiatif yang gencar dari startup dan pemerintah untuk memperkuat makanan lokal, memungkinkan produk segar semakin mudah terjangkau ke tangan konsumen tanpa ada tengkulak yang mengganggu.